Quo Vadis LGBT

advertisement
QUA VADIS LGB-T?
(Quo vadis adalah sebuah kalimat dalam bahasa Latin yang terjemahannya secara harafiah
berarti: "Ke mana engkau pergi?" Kalimat ini adalah terjemahan Latin dari petikan bagian
apokrif Kisah Santo Petrus: "Tuhan, ke mana Engkau pergi?")
Dalam diri baik itu heteroseksual maupun homoseksual termasuk para
profesional sekalipun, seperti dokter bahkan psikiater masih tetap ada rasa anti
terhadap homoseksual. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai itu telah tertanam
(internalized) di dalam diri kita masing-masing. Karenanya sampai sekarang dan
hari-hari ke depan masih banyak mereka dengan orientasi seksual homoseksual
akan datang ke praktek dokter, psikiater dan lain sebagainya untuk tujuan
mengubah orientasi seksual mereka dan sering kecewa karena kegagalan.
Adapun permasalahan yang banyak dialami para lesbian, gay, biseksual dan
transgender (LGB-T) adalah sebagai berikut :
1. Mereka semua sejak dahulu dan nyata telah ada di sekeliling kita, jumlahnya
banyak namun belum teridentifikasi dan belum banyak mendapat perhatian.
Prevalensi Lesbian, Gay, Biseksual Dan Transgender (LGB-T) di Amerika Serikat
pada kelompok kulit putih diketahui yang eksklusif sebesar 2 - 4 % dan
predominan 7 – 13 %, sehingga keseluruhannya diperkirakan mencapai 10 %
dari populasi umum. Data yang menyangkut LGB-T di Indonesia belum ada
angka pastinya, misalnya penduduk Jawa Barat yang usia diatas 15 tahun ada
sebanyak 31.287.578 orang (BPS, 2010) dan prevalensinya sama dengan
kelompok kulit putih di Amerika Serikat, maka didapatkan jumlah gay eksklusif
yang usianya diatas 15 tahun ada sebanyak 469.313 orang dan secara
keseluruhan ada sebanyak 1.564.378 orang.
2. Belum ada kesepahaman para ahli di berbagai disiplin ilmu tentang LGB-T
sehingga tidak heran bila menimbulkan kebingungan dan kontroversi di
masyarakat. Misalnya, mengenai kondisi homoseksualitas, apakah suatu
penyakit atau bukan? Sejak diberlakukannya Pedoman Penggolongan dan
Diagnosa Gangguan Jiwa atau PPGDJ II tahun 1983, maka homoseksualitas
bukan lagi suatu penyakit, demikian pula pada PPGDJ III tahun 1993 yang masih
berlaku sampai saat ini.
PPGDJ II dan PPGDJ III menyebutkan bahwa yang diterapi itu adalah “ego-
dystonic homosexualiity”, yaitu orang homoseksual yang menginginkan
perubahan orientasi seksualnya ataupun aktivitas homoseks itu menyebabkan
gangguan pada dirinya.
Pengurus pusat PDSKJI berpendapat bahwa LGB-T termasuk Orang Dengan
Masalah Kejiwaan atau disingkat ODMK, seperti pada Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, dijelaskan bahwa ODMK adalah orang
yang
mempunyai
masalah
fisik,
mental,
sosial,
pertumbuhan
dan
perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami
gangguan jiwa.
Sama halnya dengan mereka penderita AIDS atau stroke yang berisiko
mengalami gangguan jiwa.
3. Sampai saat ini eksistensi LGB-T di masyarakat ditolak oleh kultur budaya dan
juga agama, karena dianggap sesuatu hal yang aneh, tabu, dosa, bahkan
dikucilkan dan mendapat stigma atau diskriminasi. Oleh karenanya komunitas
tersebut tidak berani terus terang dan tidak berani tampil, akan tetapi secara
diam-diam tetap melakukan perilaku seksual berisiko dan bahkan melakukan
propaganda yang dapat menyebabkan peningkatan penularan HIV dan hepatitis
C. Selain itu mereka juga mengalami stres dan depresi serta tidak jarang untuk
mengatasinya menggunakan cara yang destruktif, seperti minum alkohol atau
menggunakan drugs (NAFZA). Di UK angka pengguna narkotik dan psikotropik di
kalangan LGB-T lebih tinggi dari populasi umum.
4. Menurut hasil survey terpadu biologis dan perilaku 2009 dan 2013 (STBP)
diketahui bahwa LGB-T melakukan perilaku seksual berisiko (high risk sexual
behavior) dalam 1 (satu) tahun terakhir 73 % melalui seks anal, dengan
frekwensi rata-rata 1 kali dalam setiap minggu dan safe sex dengan
menggunakan kondom dalam 1 minggu terakhir untuk LSL (Lelaki Seks dengan
Lelaki) yang berisiko hanya 54 %, dan LSL berisiko rendah 60 %. Selain itu LSL
yang membeli seks dari pria pekerja seks untuk LSL berisiko tinggi 19 % dan
LSL berisiko rendah 6 % dan dari wanita pekerja seks 17 %. LSL kelompok
biseksual sebagian punya pasangan perempuan.
5. Epidemi HIV-AIDS di Indonesia pada beberapa tahun yang lalu biasanya
dihubungkan dengan penggunaan jarum suntik (penasun) dan wanita pekerja
seksual, dan ternyata saat ini situasi epidemi HIV-AIDS di Indonesia sudah berubah. Pada tahun-tahun
mendatang, kecenderungan jumlah terbesar infeksi
HIV baru akan terjadi di antara LSL dan diikuti oleh perempuan umum, yaitu
perempuan berisiko rendah yang terinfeksi karena berhubungan seks dengan
pasangannya.
Dimana Epidemi kita Sekarang?
Epidemi HIV-AIDS di Indonesia terkonsentrasi pada populasi kunci, kecuali di
Tanah Papua dimana epidemi sudah pada ‘general population’.
HIV prevalence di Indonesia adalah 0.4%, Tanah Papua 2.3%
Jumlah ODHA di estimasi adalah 590 ribu orang
Prevalensi di Jakarta
sudah diatas 1,03% 
bisa diikuti oleh JABAR.
Non Tanah Papua:
0.06 – 0.68%
Tanah Papua:
1.1 – 3.5%
2
Source: Estimated number of KAPs and PLHIV, MoH, 2012
Pusat-pusat epidemi HIV
35 kota (29 kota pelabuhan) di 6 koridor ekonomi di Indonesia

Medan
Bukittinggi
Padang


Batam
Pekanbaru

 Jambi 



Pontianak

Samarinda
Banjarmasin
Jakut, Jaktim, Jakpus,
Jaksel,
Makasar
Bandar Lampung
Jakbar
Cilegon
Cirebon
Tangerang
Surabaya
 Semarang
Bandung
Denpasar
Mataram
Yogyakarta
Surakarta
 

Sorong

Palembang


Manado
Ternate





Manokwari
Jayapura

Ambon





Merauke
Kupang
5
Sebagai contoh, perbandingan trend kasus baru AIDS di Jawa Barat pada tahun
2008 menunjukkan kasus baru didominasi oleh pengguna narkoba suntik
(penasun) 69,96 % dan heteroseksual 22,89 %, akan tetapi kecenderungan
pada tahun 2013 menunjukkan bahwa kasus baru didominasi oleh heteroseksual
sebanyak 73,26 % dan penasun menurun menjadi 12,30 %. Dari perbandingan
trend kasus baru AIDS di Jawa Barat tahun 2008 dan 2013 diketahui bahwa
angka penularan melalui jarum suntik menurun sementara kelompok heteroseksual mengalami peningkatan, lebih jelas bisa dilihat pada gambar berikut :
Perbandingan Trend Kasus Baru HIV dan AIDS
di Jawa Barat 2008 dan 2013
Perinatal/
Anak
3%
lain-lain
2013
2008
Transfusi
darah
0%
2%
Homosex
2%
Heterosex
26%
Penasun
69,96%
Tahun 2008 kasus baru didominasi
oleh Pengguna Narkoba Suntik
Pe ri natal/
An a k
6%
Tra nsfusi
da rah
0%
Homosex
6%
l a in-lain
11%
Pe nasun
13%
Heterosex
73,26%
Tahun 2013 kasus baru didominasi
oleh Heteroseksual
Dari gambar perbandingan trend kasus baru AIDS di Jawa Barat di atas
tahun 2008 dan tahun 2013 diketahui bahwa angka penularan melalui jarum suntik
menurun dari 69,96 % menjadi 12,30 %. Sementara dari kelompok heteroseksual
mengalami peningkatan dari 22,89 % menjadi 73,26 %.
Berdasarkan kelompok risiko di Jawa Barat, kenaikan penularan kasus baru
pada kelompok LGB-T sejalan dengan kenaikan penularan pada wanita risiko
rendah. Kondisi ini perlu dikaji lebih jauh kemungkinan terjadinya penyebaran dari
kelompok LGB-T ke populasi umum.
Kinseys Heteroseksual–Homoseksual Rating Scale membagi homoseksualitas
menjadi 7 tingkatan seperti yang tergambar di bawah ini :
H
H
e
o
t
m
e
o
r
s
o
e
s
k
e
s
x
u
u
a
a
l
l
0
1
2
3
4
5
6
Heterosexual – Homosexual Rating Scale
Homoseksual dengan Skala Kinsey 1 sampai 5 atau yang disebut biseksual
mereka melakukan hubungan seksual baik dengan sesama jenis maupun dengan
lawan jenis. Semakin tinggi Skala Kinsey semakin sering melakukannya dengan
sejenis, sebaliknya semakin rendah Skala Kinsey semakin sering melakukannya
dengan yang lawan jenis. Biseksual laki-laki punya pasangan seksual perempuan
dan perilaku seksual mereka lebih tinggi dalam frekuensi aktivitas seksual dan lebih
banyak dalam jumlah pasangan dibandingkan dengan kelompok heteroseksual.
Karena biseksual mempunyai juga pasangan perempuan dan melakukan perilaku
seks berisiko maka sangat mungkin akan menjadi jembatan bagi penyebaran HIVAIDS dan Hepatitis C pada populasi umum.
Peran akademisi dan organisasi profesi dalam membantu pemerintah
mengendalikan penyebaran HIV-AIDS pada masyarakat umum dan kelompok LGB-T
sangatlah penting. Dalam hal ini, tenaga kesehatan harus menyadari bahwa masalah
HIV-AIDS pada kelompok LGB-T di Indonesia merupakan masalah yang besar
karena berdasarkan data-data di atas, Indonesia merupakan salah satu negara di
dunia dengan peningkatan infeksi baru HIV yang tertinggi, dan penularan itu
terutama pada kelompok LGB dan perempuan umum atau berisiko rendah. Tenaga
kesehatan perlu menyadari bahwa HIV dalam jangka waktu yang lama tidak
bermanifestasi
apapun,
namun
berpotensi
menularkan.
Diharapkan
tenaga
kesehatan juga harus mampu memberikan informasi yang benar dan jelas dan harus
mampu memberikan konseling tentang HIV-AIDS termasuk pada kelompok LGB-T.
Dari pengalaman lapangan telah diamati bahwa kemampuan-kemampuan tersebut
sangat kurang dimiliki oleh tenaga kesehatan.
Hal yang paling penting dalam mengantisipasi penyebaran dan dampak HIVAIDS di masyarakat termasuk pada kelompok LGB-T adalah melakukan test antiHIV, bila hasilnya positif akan diberikan pengobatan ARV tanpa melihat hasil CD4.
Program ini juga merupakan bentuk dukungan terhadap program WHO yang akan
diterapkan bagi penderita infeksi-HIV, untuk mendukung Bandung sebagai “the city
of test and treat”.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat sangat mendukung pelaksanaan “scientific
meeting” yang dilaksanakan sebagai upaya untuk menambah pemahaman dan dari
berbagai sudut pandang stakeholders agar dapat menyikapi permasalahan LGB-T
secara benar yang akan menjadi masukan yang sangat berarti bagi semua pihak.
Yang perlu dikembangkan adalah sudut pandang dari : neurosience, hormonal,
psikologi, psikiatri dan sebagainya.*****
Kontributor :
Poppi Sophia
Aktivis Komisi Penanggulangan HIV-AIDS Provinsi Jawa Barat
Download