perilaku seksual dan orientasi seksual

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya. Baik
lingkungan alam maupun lingkungan social. Lingkungan social adalah tempat
dimana masyarakat saling berinteraksi dan melakukan sesuatu secara bersamasama antar sesame maupun dengan lingkungannya. Lingkungan social terdiri dari
keluarga, sekolah, dan masyarakat. Lingkungan dengan aneka ragam
kekayaannya merupakan sumber inspirasi dan daya cipta untuk diolah menjadi
kekayaan budaya bagi dirinya. Lingkungan dapat membentuk pribadi seseorang,
karena manusia hidup adalah manusia yang berfikir dan serba ingin tahu serta
mencoba-coba terhadap segala apa yang tersedia di alam sekitarnya.
Lingkungan merupakan factor penting dalam memengaruhi seseorang
berperilaku. Perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik
yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Psikologi
memandang perilaku manusia sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun
bersifat kompleks. Factor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan
perilaku, bahkan kadang-kadang kekuatannya lebih besar daripada karakteristik
individu (Azwar, 2011).
Kompleksitas perilaku manusia sejak dulu telah menjadi bahasan psikologi.
Salah satu tugas psikologi adalah memahami perilaku individu dalam kelompok
sosialnya, memahami motivasi perbuatan dan mencoba meramalkan respons
manusia agardapat memperlakukan manusia dengan sebaik-baiknya. Perilaku
remaja sangat rentan terhadap terjadinya perubahan perilaku. Karena remaja
bersifat sangat labil. Perubahan-perubahan mendasar dalam sikap dan perilaku
seksual reproduksi di kalangan remajatelah menjadi satu masalah social yang
2
memperihatinkan masyarakat. Selain perilaku remaja, tak ayal juga perilaku seksual
orang dewasa yang kadang menyimpang dan terjadilah orientasi seksual.
Oleh karena itu, penulis akan membahas materi mengenai perilaku seksual
dan orientasi seksual.
B. Ruang Lingkup Penulisan
Ruang lingkup penulisan makalah ini yaitu:
a. Mengenai perilaku seksual
b. Mengenai orientasi seksual
c. Mengenai perbedaan perilaku seksual dan orientasi seksual
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tinjauan tentang Perilaku Seksual
1. Perilaku
Perilaku ditinjau dari segi biologis merupakan suatu kegiatan
organisme yang bersangkutan, karena organisme mempunyai aktivitas
masing-masing. Perilaku manusia adalah semua tindakan manusia baik
yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar.
Sedangkan dilihat dari segi Psikologis, menurut Skinner (1938) dalam
Maryam (2014:96-97) perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang
terhadap stimulus dari luar, yang dikenal dengan S-O-R (stimulusorganisme-respon).
Perilaku merupakan seperangkat perbuatan/tindakan seseorang
dalam melakukan respons terhadap sesuatu dan kemudian dijadikan
kebiasaan karena adanya nilai yang diyakini. Setiap perbuatan seseorang
dalam merenspons sesuatu pastilah terkonseptualisasikan dari ranah
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Perbuatan seseorang didasari oleh
seberapa jauh pengetahuannya terhadap rangsang tersebut, bagaimana
perasaan dan penerimaannya, dan seberapa besar keterampilannya
dalam melaksanakan atau melakukan perbuatan yang diharapkan
(Mubarak, 2011:79)
Menurut Skinner dalam Maryam (2014) respons dibedakan menjadi
dua, yaitu:
4
a. Respondent response atau reflektif, merupakan tanggapan yang
ditimbulkan oleh stimulus tertentu yang disebut eliciting stimulation
yang menimbulkan respons atau tanggapan yang relative tetap (mis,
keinginan untuk makan)
b. Operant response atau respons instrumental merupakan respons
atau tanggapan yang timbul dan berkembang yang diikuti oleh
stimulus atau perangsang tertentu, mis hadiah.
Perilaku manusia dapat berbentuk aktif dan pasif. Bentuk pasif
(respon internal), perilaku semacam ini masih terselubung dan terjadi
dalam diri manusia sehingga tidak dapat diamati secara langsung oleh
orang lain. Perilaku pasif berupa pikiran, tanggapan, sikap batin, dan
pengetahuan. Sedangkan bentuk aktif (respon eksternal) perilaku ini
sudah merupakan tindakan nyata dan merupakan respon yang secara
langsung dapat diobservasi (Mubarak, 2011:80)
Menurut Lawrence Green (1980) dalam Mubarak (2011:80), perilaku
dibentuk dari tiga factor, yaitu:
a. Factor predisposisi terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan,
keyakinan, nilai-nilai, dsb
b. Factor pendukung terwujud dalam lingkungan fisik (tersedia atau
tidak tersedianya fasilitas atau sarana kesehatan)
c. Factor pendorong terwujud dalam sikap dan perilaku petugas
kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari
perilaku masyarakat.
Menurut
psikologi
social
perilaku
individu
ditentukan
berdasarkan keyakinan, nilai, insting, dorongan, dan sikap. Istilah ini
digunakan sebagai kerangka kerja teoritis perubahan perilaku manusia.
Menurut Bowden dan Manning (2012:77-79) menjelaskan pendasaran
social perilaku individu itu, yaitu:
5
a. Keyakinan, merupakan suatu pendirian berdasarkan informasi bahwa
seseorang individu memiliki satu situasi atau sebuah hal. Keyakinan
dibentuk dan dipengaruhi oleh banyak factor seperti personalitas,
keluarga, teman, kultur, dan pendidikan. Keyakinan ini didasari oleh
evaluasi individu terhadap situasi atau hal dan memerlukan waktu
untuk mengubahnya.
b. Nilai adalah pendirian emosional, yang dianggap penting oleh
individu dan diperhatikan secara antusias. Nilai dapat berubah
bergantung pada lingkungan tempat individu menemukan dirinya
sendiri
c. Insting (naluri) yang muncul saat lahir dan dibutuhkan individu untuk
bertahan hidup seperti rasa lapar atau haus. Insting lebih kuat dari
keyakinan dan sikap untuk memotivasi perilaku.
d. Dorongan digunakan untuk menggambarkan dorongan motivasi yang
kuat yang dipicu oleh insting.
e. Sikap dalam psikologi dianggap lebih akurat/nyata dibandingkan nilai
atau keyakinan. Sikap menggambarkan perasaan individu yang
relative stabil terhadap suatu situasi atau sebuah hal. Sikap terbentuk
dari komponen kognitif, afektif, dan perilaku.
Menurut Bowden dan Manning (2012:79-82) factor-faktor yang
memengaruhi keyakinan, nilai, dan sikap yaitu:
a. Usia, riset menunjukkan bahwa mempromosikan kesehatan secara
umum dan terlibat dalam perilaku kesehatan yang positif cenderung
meningkat saat usia lebih dewasa
b. Gender,
wanita
cenderung
mempromosikan
(meningkatkan)
kesehatan mereka dibandingkan pria
c. Budaya/kultur, budaya adalah bagian dari masyarakat, tetapi budaya
yang sama atau serupa, dapat dimiliki oleh lebih dari satu
masyarakat.
6
d. Kelompok sebaya, teman sebaya merupakan factor penting dalam
membantu membentuk keyakinan kita sebagai manusia.
e. Kepribadian, dari segi psikologi mengartikan kepribadian sebagai
karakteristik berulang dan pola perilaku dalam diri seseorang yang
mendemonstrasikan ketertarikan, sikap, dan kemampuan mereka,
dan menunjukkan reaksi yang relative konstan terhadap lingkungan
Menurut Costa dan McCrae (1992) dalam Bowden dan Manning
(2012:82) menjelaskan model lima factor dalam perilaku kesehatan ,
yaitu:
a. Neurotisisme, merupakan predisposisi untuk mengalami dan
menujukkan emosi negative. Mereka yang memiliki neurotisme
(orang yang sensitive dan obsesif secara abnormal) tinggi cenderung
memiliki perilaku kesehatan negative.
b. Ekstrover, merupakan tingkat keluasan kemampuan bersosialisasi
dan tertarik dengan orang lain.mereka yang memiliki ekstrover tinggi
lebih cenderung memiliki perilaku kesehatan positif tetapi tekanan
kuat dari teman sebaya dapat memengaruhi perilaku kesehatan
c.
Keterbukaan, hal ini terkait dengan kreativitas, imajinasi, dan
kesiapan untuk mencoba pengalaman baru. Orang-orang yang
melaporkan memiliki tingkat keterbukaan yang tinggi juga dapat
melaporkan perilaku kesehatan negative
d. Persetujuan, merupakan derajat kepercayaan terhadap orang lain,
untuk menyampaikan afek positif kepada mereka. Mereka yang
memiliki sikap persetujuan dan kehati-hatian terbukti memiliki
perilaku kesehatan positif dan lebih mempertahankan pendekatan
terhadap perubahan perilaku kesehatan yang positif
e. Sikap hati-hati, merupakan derajat ketergantungan, penentuan, dan
control diri sendiri
7
2. Perubahan Perilaku
Perubahan perilaku mulai dipelajari pada perorangan melalui
pendekatan kejiwaan (psikologis). Perilaku berubah karena adanya
rangsangan dalam bentuk fisik, psikis, dan social yang dapat menyangkut
satu materi terbatas dan melibatkan banyak orang (kelompok dan
masyarakat). Terbentuknya perilaku dapat terjadi karena proses
kematangan dan yang paling besar pengaruhnya dari proses interaksi
dengan
lingkungannya.
Menurut
Maryam
(2015:110-115)
teori
perubahan perilaku, yaitu:
a. Teori stimulus organisme (SOR)
Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa penyebab terjadinya
perubahan perilaku bergantung pada tingkat kualitas rangsangan
yang berkomunikasi dengan organisme.
b. Teori Festinger
Teori ini menjelaskan bahwa ketidakseimbangan dalam diri
seseorang akan menyebabkan perubahan perilaku akibat adanya
perbedaan jumlah elemen kognitif atau pengetahuan yang seimbang
dengan yang tidak seimbang, yang sama pentingnya.
c. Teori Kurt Lewin
Teori ini berpendapat bahwa perilaku manusia adalah suatu keadaan
yang seimbang antara kekuatan yang mendorong dan kekuatan yang
menahan.
3. Perkembangan Psikoseksual dari Anak hingga Remaja
Berbagai cara dilakukan oleh anak dalam menanggapi perasaan-perasaan
yang terjadi terkait dengan masalah seks. Ada fase-fase psikologis yang harus
dilalui tiap individu. Antara lain fase psikoseksual, yaitu tahap-tahap
8
pertumbuhan dan perkembangan fungsi seksual yang dapat memengaruhi
perkembangan psikologis individu tersebut. Tiap individu akan mengalami
fase/tahap psikoseksual dalam tiap tahap perkembangan usianya (0-18 tahun).
Bila individu tersebut gagal melewati suatu masa yang harus dilaluinya sesuai
dengan tahap perkembangannya, maka akan terjadi gangguan pada diri orang
tersebut (Irianto, 2014).
Menurut Irianto (2014), perkembangan seorang anak akan melalui tahaptahap tertentu (fase psikoseksual) sesuai dengan perkembangan usianya, yaitu:
a. Sejak anak lahir hingga usia sekitar 1 tahun, kepuasan seksual dipenuhi
melalui daerah mulut
b. Anak berusia 2 sampai 3 tahun, kepuasan seksual berkisar di sekitar
daerah anus dalam bentuk mengeluarkan sesuatu
c. Usia 4 sampai 5 tahun, kepuasan seksual beralih ke alat kelamin (tahap
phallic), belum dihubungkan dengan tujuan pengembangan keturunan.
Anak pria suka mempermainkan alat kelaminya, sedangkan pada wanita
menggesek-gesekkan bagian luar alat kelaminnya pada guling atau
bantal. Jika hal ini terjadi, anak tidak boleh dimarahi, karena akan
menyebabkan gangguan kejiwaan, mis seeks fobia, impotensia psikologik
kalau dewasa.
d. Usia 6 sampai 10 tahun, merupakan tahap latent. Aktivitas seksual
seakan-akan menghilang, karena aktivitas lain misalnya bermain
e. Usia 11-14 tahun, Nampak lagi aktivitas seksual (tahap genital), kepuasan
seksual diperoleh melalui alat kelamin dan dapat mengembangkan
keturunan
Pada fase oral atau mulut (0-18 bulan) sikecil kadang menyetuh alat
kelaminnya. Jika demikian, orangtua harus menanggapi secara normal, tidak
marah,
terkejut, mengeluarkan kata-kata tidak pantas. Maka, anak akan
berpikir bahwa keingintahuan mereka terhadap tubuhnya adalah normal
sebagai bagian dari hidup. Pada fase anal (1 ½ - 3 tahun), kenikmatan
9
seksualnya terletak pada anus, yakni menahan buang air besar. Jika orangtua
mengatakan bahwa hasil produksinya kotor, jijik, dan sebagainya, bahkan jika
disertai dengan kemarahan atau bahkan ancaman yang dapat menimbulkan
kecemasan, maka dapat menganggu perkembangan pribadi anak. Dimana
perkembangan seksualitas dewasa anak merasa jijik terhadap alat kelaminnya
sendiri dan tidak dapat menikmati hubungan seksual dengan partnernya. Jika
pada fase ini terjadi hambatan, anak dapat mengembangkan sifat-sifat tidak
konsisten, kerapian, keras kepala, kesengajaan, kekikiran. Sehingga orangtua
harus mengusahakan agar anak merasa bahwa alat kelamin dan anus serta
kotoran yang dikeluarkannya adalah sesuatu yang biasa (wajar) dan bukan
sesuatu yang menjijikkan. Jika pertahanan terhadap sifat-sifat anak kurang
efektif, karakter anal menjadi ambivalensi (ragu-ragu) berlebihan, kurang rapi,
suka menentang, kasar dan cenderung sadomsokistik (dorongan untuk
menyakiti dan disakiti). Karakteristik anal terlihat pada penderita obsesif
kompulsif. Penyelesaian fase anal yang berhasil, menyiapkan dasar untuk
perkembangan kemandirian, kebebasan, kemampuan untuk menentukan
perilaku sendiri tanpa rasa malu dan ragu-ragu kemampuan untuk
menginginkan kerja sama yang baik tanpa perasaan rendah diri. Fase uretral,
fase ini mengacu pada kenikmatan dalam pengeluaran dan penahanan air seni.
Jika fase ini tidak dapat diselesaikan dengan baik, anak akan mengembangkan
sifat uretral yang menonjol, yaitu persaingan dan ambisi sebagai akibat
timbulnya rasa malu karena kehilangan control terhadap uretra. Jika fase ini
dapat diselesaikan dengan baik, maka anak akan mengembangkan persaingan
sehat, yang menimbulkan rasa bangga akan kemampuan diri. Anak pria meniru
dan membandingkan dengan ayahnya. Fase phallus (3-5 tahun), fase ini berada
pada masa praoperasional. Orang tua perlu memahami apa saja yang bias
dicerna dan ditangkap anak untuk memberikan pendidikan yang benar sesuai
perkembangan emosi dan mentalnya.
4. Perilaku Seksual pada Remaja
10
Perilaku seksual merupakan tingkah laku yang didorong oleh keinginan atau
hasrat seksual yang muncul dalam dirinya yang diwujudkan dengan melakukan
aktifitas yang mengacu adrenalin kearah seksual dengan menggunakan bagian
alat tubuh untuk memuaskan hasrat seksualnya atau dengan berfantasi untuk
memenuhi kebutuhan seksualnya. Perilaku seksual remaja ditinjau dari aspek
psikologis merupakan proses belajar yang terjadi pada diri individu untuk
mengekspresikan dorongan seksualnya melalui perasaan, sikap, dan pemikiran
tentang seksualitas (Fadli, 2013).
Perilaku seksual remaja dalam berpacaran adalah manifestasi dorongan
seksual yang diwujudkan mulai dari melirik ke arah bagian sensual pasangan
sampai bersenggama yang dilakukan oleh remaja yang sedang berpacaran.
Aktivitas seksual seolah-olah sudah menjadi hal yang lazim dilakukan oleh remaja
yang berpacaran (Mayasari dan Hadjam, 2000).
Rahman dan Hirmaningsih (1997) dalam Mayasari dan Hadjam (2000) juga
mengungkapkan adanya dorongan seksual dan rasa cinta membuat remaja ingin
selalu dekat dan mengadakan kontak fisik dengan pacar. Kedekatan fisik maupun
kontak fisik yang terjadi antara remaja yang sedang pacaran akan berbeda
dengan kedekatan fisik atau kontak fisik antara remaja dengan teman dan
keluarga. Kedekatan fisik inilah yang akhirnya akan mengarah pada perilaku
seksual dalam pacaran.
Kemampuan remaja dalam mengontrol diri sangat terkait erat dengan
kepribadian remaja itu sendiri. Menurut Myles (1983) dalam Mayasari (2000)
harga diri merupakan aspek kepribadian yang turut andil dalam mengontrol
perilaku seksual remaja berpacaran. Harga diri pada masa remaja cenderung
negatif karena adanya proses perubahan yang terjadi pada masa pubertas.
Perubahan fisik yang diikuti dengan perubahan sosial dan psikologis akan
membawa perilaku remaja dalam menilai diri sendiri dan mensejajarkan ‘siapa
saya’ dengan ‘bagaimana orang lain melihat saya’ (Masters dan Johnson, 1992).
Perubahan fisik yang berbeda pada kedua jenis kelamin membawa penilaian
11
yang berbeda pula terhadap perubahan sosial, psikologis dan perilaku yang
terjadi pada diri sendiri. Penilaian terhadap diri sendiri inilah yang membentuk
harga diri remaja berkaitan dengan masalah masalahnya salah satunya adalah
masalah seksualitasnya.
Harga diri juga akan mempengaruhi remaja dalam mengontrol perilaku
seksual remaja berpacaran. Tentu saja remaja yang memiliki harga diri positif
diharapkan lebih mampu mengontrol perilaku seksualnya, sehingga terhindar
dari risiko yang harus dihadapi atau mengancam seperti kehamilan, penyakit
kelamin yang menular, perasaan berdosa, dan remaja akan lebih memilih
perilaku berpacaran yang tidak bertentangan dengan norma sosial. Sebaliknya
remaja yang kurang mampu menghargai diri sendiri biasanya akan mengalami
kesulitan untuk mengontrol dan mengendalikan diri ketika berada dalam situasi
yang penuh rangsangan seksual dan cenderung mengambil keputusan
berdasarkan perasaan saat itu, tanpa ada kesempatan untuk berpikir panjang
atas akibat yang akan terjadi (mayasari dan Hadjam, 2000).
Perilaku seksual menurut Kinsey (1965) dalam Soejoeti (2001), meliputi
empat tahap, yaitu:
a. Bersentuhan
b. Bercumbuan
c. Berciuman
d. Berhubungan kelamin
5. Faktor yang memengaruhi perilaku seksual
Menurut Soejoeti (2001) Ada beberapa factor yang memengaruhi perilaku
seksual menyimpang, yaitu:
a. Pengaruh lingkungan yang sangat dominan dan film porno.
Menurut penelitian, anak dibawah usia 14 tahun yang melihat hubungan
seks, lebih banyak terlibat praktik penyimpangan seksual, terutama
perkosaan. Pelaku pelecehan seksual pada anak dan pemerkosa, terangsang
12
adegan seks yang sebelumnya di tonton. Kebiasaan mengonsumsi pornografi
dapat menyebabkan ketidakpuasan terhadap bentuk pornografi lembut,
sebaliknya semakin kuat ingin melihat materi-materi yang mengandung
penyimpangan dan kekerasan seksual.
b. Kemajuan teknologi dan pengaruh budaya asing
c. Pola pergaulan semakin bebas yang didukung oleh fasilitas
d. Remaja tidak menerima pendidikan seks yang benar dan bertanggung jawab
atau pengetahuan mengenai masalah reproduksi yang sehat
e. Meningkatnya kesenjangan antara usia reproduksi yang datang lebih dini
dan usia menikah yang relative lebih tinggi.
f. Adanya pergeseran nilai-nilai norma dalam masyarakat
Menurut Ramli dalam Soejoeti (2001) menyatakan bahwa terjadinya perilaku
seksual di kalangan remaja dikarenakan alasan
a. suka sama suka
b. karena dibohongi oleh pasangannya.
c. Remaja lebih banyak menerima perubahan nilai-nilai individual dan
sosiokultural melalui media massa
d. Ketertutupan orang tua dalam membahas mengenai seks
Menurut Kirana dkk (2014) ada hubungan antara akses situs porno dan
teman sebaya terhadap perilaku seksual remaja. Remaja menjadi salah stu
segmen yang rentan terhadap keberadaan pornografi, terutama situs porno.
Konformitas adalah kondisi dimana seseorang mengadopsi sikap atau perilaku
dari teman sebaya dalam kelompoknya karena tekanan dari kenyataan atau
kesan yang diberikan oleh kelompoknya tersebut. Remaja selalu berusaha
menemukan konsep dirinya didalam kelompok teman sebaya.
Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya perilaku seksual dikalangan
remaja yaitu, perubahan hormonal, penundaan usia perkawinan, tabu atau
13
larangan, kemajuan teknologi, sikap membutuhkan seksual, pengetahuan yang
kurang tentang seks, pergaulan yang semakin bebas (Gultom, 2013).
Bagi sebagian anak perempuan jalanan, kehidupan seks merupakan bagian
dari kehidupan mereka di jalanan sehingga mereka mulai terbiasa untuk
melakukan prostitusi agar memperoleh uang (Rikawarstuti, 2013).
Menurut George Boeree dalam Anonim (…), perilaku seksual menyimpang
dikarenakan:
a. Pengaruh lingkungan di sekitar individu menimbulkan situasi sosial yang
sangat berpengaruh terhadap orientasi kejiwaan individu;
b. Pengalaman seksual menyimpang yang didapatkan oleh individu dalam masa
pertumbuhannya, seperti penganiayaan skunder berupa pemerkosaan
sejenis;
c. Pengaruh homophobia dalam bentuk interaksi dengan faktor-faktor yang
berkaitan dengan lingkup homoseksualitas seperti
dalam bentuk video
porno homoseksual;
a. Kondisi kehidupan individu yang terpisah dari lawan jenis seksualnya;
b. Kondisi genetik individu;
6. Faktor yang memengaruhi Perilaku seksual pranikah
Faktor internal yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah yaitu: adanya
dorongan biologis yang tidak terkontrol, kurangnya ketaatan dalam menjalankan
ibadah agama, adanya keinginan untuk mengaktualisasikan rasa cinta melalui
hubungan seksual, kepopuleran individu, kematangan seksual yang lebih awal
dialami, mekanisme pertahanan diri individu untuk menutupi kekurangan fisik
yang dimiliki, penyaluran dari masalah yang sedang dihadapi, hasrat untuk
melayani pasangan, prinsip sex just for fun, pasangan sudah dianggap sebagai
sosok yang ideal. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku
seksual pranikah yaitu: pengaruh teman di lingkungan individu, kurangnya atau
tidak adanya kontrol sosial dari lingkungan sekitar, ketidakberadaan dan
14
kurangnya peran orang tua, tersedianya fasilitas yang mendukung perilaku
seksual pranikah, maraknya media pornografi yang beredar dan mudah diakses,
komitmen bersama pasangan, kurangnya media yang memberikan informasi
tentang norma-norma dalam berperilaku, adanya larangan dari keluarga untuk
menikah dini, adanya aturan dari beberapa instansi untuk tidak boleh menikah
pada pegawai yang belum diangkat, pernah disakiti oleh pasangan yang
sebelumnya, pengalaman yang menyenangkan dalam melakukan hubungan
seksual dengan orang lain (Karmila dan Mayalisya, 2011).
Ayah yang menerapkan pola asuh otoriter dapat membentuk kepribadian
anak yang agresif. Begitu juga dengan ayah yang menerapkan pola asuh permisif
yang kurang memberi pengawasan yang berarti pada anak. Sehingga anak
mempunyai kebebasan dalam berperilaku sesuai yang dikehendakinya. Sejalan
dengan penelitian yang dilakukan Hidayat dkk (2013) bahwa pola asuh permisif
dan otoriter berpeluang untuk remaja melakukan perilaku seksual pranikah.
Remaja yang mendapat pola asuh permisif lebih banyak berperilaku seksual
karena pola asuh ini ibu tidak memberi pengawasan dan peringatan apabila
remaja dalam bahaya, khususnya perilaku seksual. Apabila lingkungan peer
remaja tersebut mendukung untuk melakukan seks bebas, serta konformitas
remaja yang juga tinggi pada peer-nya, maka remaja tersebut sangat berpeluang
untuk melakukan seks bebas (Armiyati, 2014)
7. Akibat Perilaku Seksual
Akibat perilaku seksual, yaitu:
a. Menurut Soejoeti (2001), akibat perilaku seksual menyimpang yaitu
kehamilan pranikah, terkena penyakit kelamin, terkena AIDS. Menurut
Irianto (2014) kehamilan telah menimbulkan posisi remaja dalam situasi
yang serba salah dan memberikan tekanan batin (stress)
b. Kecanduan seks, menurut ahli di bidang kejahatan seksual terhadap anak
menyatakan bahwa aktifitas seksual pada anak yang belum dewasa selalu
15
memunculkan dua kemungkinan pemicu yaitu pengalaman dan melihat.
Seorang wanita yang kecanduan seks bias melampiaskannya dengan
melacurkan diri. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan uang, ingin mencari
pengalaman, karena hiperseks, ingin menghukum diri, benci pada orangtua
atau lingkungan. Wanita pelacur sering defisiensi mental dan emosional,
atau malas dan tidak bias bekerja secara teratur (Irianto, 2014)
c. Perkosaan, hal ini terjadi karena adanya dorongan seksual pada individu
yang disebabkan oleh tontonan adegan seks. Sehingga hal ini akan
mempengaruhi pembentukan sikap, nilai, dan perilaku individu. Orang yang
memperkosa biasanya emosional tidak dewasa dan berasal dari broken
homes (Irianto, 2014)
d. Menurut Mayasari dan Hadjam (2000) bahwa perempuan yang berperilaku
berganti pacar dan melakukan aktivitas seksual maka harga dirinya sangat
rendah dan dapat dikucilkan oleh masyarakat. Peranan frekuensi berganti
pacar pada remaja perempuan tidak mempengaruhi peran harga diri
terhadap perilaku seksual dalam berpacaran. Meskipun telah dikendalikan,
harga diri tetap mempunyai peranan yang besar dalam berperilaku seksual.
Hal ini dapat dijelaskan dengan adanya standar ganda yang
menuntut
perempuan untuk lebih menjaga dan membatasi tingkah laku termasuk
perilaku seksual. Remaja perempuan juga dituntut untuk bersikap pasif
khususnya dalam interaksi seksual. Kecaman sosial terhadap pelanggaran
norma sosial dan agama yang didapat oleh remaja perempuan lebih besar
daripada laki-laki. Penilaian sosial yang negatif akan di dapat seorang remaja
perempuan jika berinisiatif lebih dahulu dalam interaksi seksual. Kenyataan
inilah yang membuat seorang remaja perempuan berusaha untuk menjaga
citra atau ‘nama baik’. Harga diri bagi seorang perempuan menjadi sesuatu
yang penting dan dipertaruhkan, sehingga remaja perempuan berusaha
untuk mengontrol perilaku seksualnya. Remaja perempuan tidak ingin
dianggap ‘murahan’ atau ‘gampangan’. Usaha menjaga ‘gengsi’ dan
16
menghindari perasaan bersalah membuat remaja perempuan membutuhkan
kontrol diri yang lebih besar daripada laki-laki. Kondisi inilah yang membuat
frekuensi berganti pacar kurang begitu berperan dalam peningkatan tahapan
perilaku seksual remaja yang sedang berpacaran. Bagi remaja perempuan
justru harga dirilah yang lebih berperan dalam mengontrol perilaku seksual
mereka. Sedangkan pada subjek laki-laki, pengaruh frekuensi berganti pacar
yang dikendalikan membuat harga diri kehilangan peranannya dalam
mengontrol perilaku seksual. Hal ini berarti faktor frekuensi berganti pacar
mempunyai peranan yang lebih besar daripada harga diri. Menurut Abbot
(1992) dalam Mayasari dan Hadjam (2000) hal ini menunjukkan adanya
sumbangan yang lebih besar pada frekuensi berganti pacar daripada harga
diri terhadap perilaku seksual. Ada beberapa alasan yang dapat
dikemukakan untuk menjelaskan fenomena tersebut. Salah satunya adalah
adanya standar ganda dalam masyarakat yang memberikan keleluasaan
yang lebih besar pada laki-laki daripada perempuan. Hal ini membuat lakilaki merasa lebih bebas untuk bereksplorasi dalam berbagai macam bentuk
perilaku seksual. Risiko kehamilan yang tidak dialami oleh laki-laki semakin
memperkuat kesempatan ini. Kelonggaran ini yang membuat remaja laki-laki
kehilangan kontrol dalam mengatur perilaku seksualnya. Bertambahnya usia
dan pengalaman sebelumnya membuat bergantinya pacar dapat dijadikan
kesem- patan untuk mengeksplorasi perilaku seksual yang lebih dalam.
Apalagi orientasi laki-laki berpacaran lebih ke arah aktivitas seksual daripada
mengutamakan afeksi, membuat laki-laki dapat cepat beraktivitas seksual
tanpa melibatkan perasaan terlebih dahulu.
8. Penanganan terhadap Perilaku Seksual
Penanganan terhadap perilaku seksual remaja dapat diatasi dengan
beberapa cara menurut beberapa penelitian berikut:
17
a. Perlu adanya peningkatan pengawasan dan bimbingan orang tua terhadap
anaknya dengan cara bijaksana. Orangtua seefektif mungkin berkomunikasi
dengan anak, pembinaan dari para alim ulama dan tokok-tokoh masyarakat
lebih ditingkatkan, menambah kegiatan positif diluar jam sekolah, perlu
dikembangkan model pembinaan remaja yang berkaitan dengan reproduksi
sehat, dan perlu adanya wadah untuk menampung permasalahan reproduksi
remaja yang sesuai dengan kebutuhan remaja (Soejoeti, 2001).
b. Pihak sekolah hendaknya selalu memberikan materi pendidikan seksual dan
kesehatan reproduksi sehingga remaja tidak berusaha mencari sendiri
informasi yang mereka butuhkan, agar para remaja tidak salah dalam
memahami hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas mereka. pihak sekolah
hendaknya melakukan pemeriksaan secara berkala terhadap handphone
dari para siswa untuk mencegah agar siswa tidak menyimpan hal-hal yang
berkaitan dengan pornografi di handphone mereka. pihak sekolah
hendaknya secara rutin melakukan pertemuan dengan orang tua siswa
untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan perubahan sikap dan
perilaku para siswa terutama terhadap perubahan perilaku seksual yang
sedang dihadapi oleh para siswa, agar para orang tua lebih waspada dalam
mengawasi perubahan- perubahan yang sedang dialami oleh anak-anak
mereka (Kirana, 2014)
c. Menurut Arief dan Armai (2002) dalam Rikawarastuti (2013) Salah satu
pendekatan penanganan perilaku seksual pada anak jalanan yang diterapkan
adalah 1) Pendekatan berbasis di jalanan, 2) Pendekatan berbasis di panti, 3)
Pendekatan berbasis di masyarakat, 4) rumah singgah. Rumah singgah
berperan dalam membimbing dan membina anak jalanan dalam suasana
kekeluargaan termasuk menangani perilaku seksual
18
B. ORIENTASI SEKSUAL
Orientasi seksual adalah ketertarikan secara emosional dan seksual kepada
jenis kelamin tertentu. Menurut PKBI Yogya (2016) Orientasi seksual secara garis
besar dapat dibedakan menjadi:
a. Heteroseksual, yaitu orang yang tertarik secara emosi dan seksual terhadap
lawan jenisnya.
b. Homoseksual, yaitu orang yang tertarik secara emosi dan seksual terhadap
sesama jenisnya. Gay adalah istilah untuk homoseksual laki-laki, dan
lesbian
adalah
istilah
untuk
homoseksual
perempuan.
Pada
perkembangannya, ada banyak istilah yang digunakan pada waktu dan
budaya yang berbeda.
c. Biseksual, yaitu orang yang tertarik secara emosi dan seksual terhadap
lawan dan sesama jenisnya
1. Faktor yang memengaruhi terjadinya orientasi seksual
Menurut PKBI Yogya (2016) Secara garis besar, terdapat dua teori yang
dapat menjelaskan fenomena tersebut yaitu teori biologis dan teori
psikologis, yaitu:
a. Teori biologi mempercayai bahwa orientasi seksual dipengaruhi oleh
faktor genetik atau faktor hormonal. Penelitian terakhir mengenai faktor
biologis dalam pembentukan orientasi seksual dilakukan oleh Simon
LeVay (Rice, 2002) yang menemukan sekumpulan syaraf dalam
hypothalamus laki-laki heteroseksual ukurannya tiga kali lebih besar
dibandingkan dengan yang dimiliki oleh laki-laki homoseksual dan
perempuan heteroseksual. Namun, hasil penelitian ini menimbulkan
pertanyaan: Apakah kumpulan syaraf yang lebih kecil itu yang
menyebabkan seseorang menjadi homoseksual atau justru sebaliknya,
19
kehomoseksualan seseorang yang menyebabkan ukurannya mengecil?
Penelitian yang lain menunjukkan bahwa syaraf-syaraf berubah dalam
merespon suatu pengalaman. Hipotesis lain menyatakan mungkin ada
faktor lain yang tidak diketahui yang menyebabkan baik itu
homoseksualitas maupun perbedaan ukuran syaraf.
b. Berbeda dengan teori biologis, teori psikologis mencoba menerangkan
faktor penyebab homoseksualitas bukan dari aspek fisiologis. Namun,
lagi-lagi sebuah penelitian yang melibatkan 686 laki-laki homoseksual,
293 perempuan homoseksual, 337 laki-laki heteroseksual, dan 140
perempuan heteroseksual, tidak dapat menemukan pendukung yang
kuat bagi teori-teori psikoanalisis, teori belajar sosial, atau teori
sosiologis lainnya, sehingga mereka membuat kesimpulan bahwa
homoseksualitas pasti memiliki dasar biologis.
2. Gangguan Seksualitas
Gangguan hubungan seksual, baik pada wanita maupun pria, dipengaruhi
oleh factor psikologis, misalnya akibat kekurangan atau kesalahan pendidikan
dan penyuluhan seksual, hubungan seksual yang tidak sempurna, pandangan
hidup yang salah tentang seks, ketakutan akan akibat-akibat hubungan seksual
(kehamilan, penyakit venerik), pengalaman buruk dari hubungan seksual di masa
lampau, hubungan suami-istri yang tidak harmonis, dan sebagainya (Irianto,
2014).
3. Heteroseksual
Terdapat pola ertentu dalam perkembangan heteroseksual, tetapi
tergantung
pada
perbedaan
usia
dalam
mencapai
berbagai
tahap
perkembangannya sebagai akibat adanya perbedaan kesempatan untuk
mengembangkan minat seks dan perbedaan dalam usia kematangan seksual.
Dalam perkembangan heteroseksual terdapat dua aspek yang berbeda. Pertama,
20
perkembangan pola perilaku yang melibatkan kedua jenis seks, dan kedua
perkembangan sikap yang berhubungan dengan relasi antara kedua kelompok
seks. Kedua aspek ini dulu sangatlah kaku karena tradisi sangat menentukan.
Remaja yang berpacaran menyimpang dari pola perilaku pasti tidak akan
memperoleh dukungan social. Laki-laki yang mencium pacarnya dianggap kurang
ajar, perempuan yang membiarkan diri dicium akan dianggap murahan (AlMighwar, 2006).
Menurut Al-Mighwar (2006), ada beberapa ciri yang membedakan perilaku
heteroseksual remaja modern dari remaja tradisional, antara lain:
a. berciuman dianggap tabu pada remaja tradisional, dianggap biasa pada
remaja modern
b. remaja modern tidak mengganggap salah terhadap perubahan perilaku
seksualnya, karena biasanya mereka hanya mempunyai satu pasang seksual
yang dalam banyak kasus diharapkan akan dinikahinya kelak, meskipun
orangtua menentangnya.
c. Remaja modern beralasan bahwa pola perilaku seksual merupakan suatu
keharusan, tunduk pada tekanan kelompok sebaya, sebagai ungkapan penuh
makna. Tidak demikian halnya pada remaja tradisional
d. Remaja modern, mengganggap sudah sewajarnya berhubungan seks yang
disertai kasih sayang, perilaku seksual pada remaja tradisional mengganggap
tabu.
e. Remaja modern beranggapan bahwa keperawanan bukanlah masalah yang
penting dalam pernikahan. Sedangkan remaja tradisional yang bercumbu
tidak dihargai oleh remaja laki-laki
f. Remaja modern yang hamil di luar nikah seringkali diterima oleh orangtua,
dinikahkan, bahkan orangtua ikut serta membesarkan dan menanggung
biaya hidup anak it. Adapun remaja tradisional, hal itu dianggap aib yang
sangat besar.
g. Kumpul kebo disikapi lunak oleh remaja modern
21
4. Homoseksual
Para ahli mengatakan homoseks pria maupun homoseks wanita sama saja
dengan kita yang heteroseksual. Bedanya hanya pada ketertarikan seksualnya
saja.Beberapa tahun lalu homoseksualitas dianggap sebagai kelainan atau
penyakit jiwa. Akan tetapi, akhir-akhir ini para ahli jiwa cenderung
menyatakannya sebagai penyimpangan dalam batas-batas normal saja.
Homoseks ada dua tipe, yaitu (1) homoseks sistonik, jika merasa dirinya tidak
sakit, sudah merasa bahagia dengan keadaannya, maka dokter dan ahli jiwa tidak
bias menolongnya, dan (2) homoseks diastonik, yaitu merasa risau akan keadaan
dirinya dan ingin menjadi heteroseks kembali, maka dokter dan ahli jiwa dapat
melatih tingkah lakunya (dengan bantuan kemauan dari yang bersangkutan
sendiri) sehingga sejauh mungkin mendekati perilaku orang-orang biasa (yang
heteroseks) (Irianto, 2014).
Pada tahun 1979, Cass mempublikasikan enam tahap pembentukan
identitas homoseksual yaitu Identity Confusion (Kebingungan), Identity
Comparison (Membandingkan), Identity Tolerance (Yakin), Identity Acceptance
(Membuka jati diri), Identity Pride (Bangga), Identity Synthesis (Merasa Nyaman)
(Mastuti, 2012).
Ketertarikan sesama jenis dianggap melenceng dari garis normal itu,
masyarakat mencela dan mencemooh mereka. Masyarakat tetap menuntut agar
mereka kembali “normal”. Karena tuntutan ini, sebagian dari mereka lalu
berusaha kembali. Ada yang berusaha berobat ke dokter, konsultasi ke psikiater,
atau
mendekati
lawan
jenisnya
untuk
menurunkan
atau
mengubah
homoseksualitasnya. Bukti yang menyakinkan bahwa homoseksual dipengaruhi
lingkungan. Seorang dapat menjadi homoseksual yang menyenangkan pada
22
masa kanak-kanak atau dipisahkan dari kelamin yang berlainan untuk waktu yang
lama, atau hubungan seksual yang tidak memuaskan dengan seks yang
berlawanan dapat mendorong seseorang mencari kawan dari seks yang sama. Di
dalam masyarakat homoseksual mengalami kesulitan dalam pekerjaannya.
Homoseksual dapat beragama, moralistic, penuh tanggung jawab terhadap
negaranya (Irianto, 2014).
Seperti kata Profesor Stevi Jackson, Seksualitas itu cair. Dia mencari zona
nyaman
(perasaan)
bersama
orang
yang bisa
mengerti
dia
dengan
sepenuhnya. Pria tentu lebih memahami pria, demikian juga wanita lebih
memahami wanita. Itu salah satu dasar mengapa terjadi hubungan sejenis
(Mery, 2011).
ada beberapa hal yang mendasari seseorang menjadi seorang lesbian yaitu
peristiwa hamil dengan lelaki yang bukan kekasih membuat enggan memiliki
kekasih lelaki atau sekedar berhubungan dengan lelaki dan memilih menjadi
lesbian, beberapa individu juga memandang hubungan heteroseksual adalah
hubungan yang kurang menyenangkan, seperti sulit menemukan koneksi antara
dirinya dengan kekasihnya, dapat juga disebabkan adanya trauma pelecehan
seksual yang ia alami menumbuhkan kenikmatan yang tidak disadari. Kenikmatan
secara tak sadar yang dirasakan inilah yang membuat hampir seluruh perilaku
diorientasikan dalam hubungan seksual, baik dengan lelaki maupun perempuan.
Sensasi menyenangkan yang dirasakan saat berhubungan dengan sesama jenis
membuatnya semakin yakin dan percaya diri sebagai lesbian (Marthilda, 2014)
5. Biseksual
Menurut MacDonald dalam Herma (2013) individu biseksual adalah
individu yang dapat terlibat dan menikmati aktivitas seksual dengan kedua jenis
kelamin, yaitu jenis kelamin yang sama dan jenis kelamin yang berbeda, atau
mengetahui bahwa dirinya tertarik melakukan hal tersebut. Kebanyakan
biseksual tidak tertarik kepada wanita dan pria sama besarnya, dan terkadang
23
berpindah-pindah fase ketertarikannya sepanjang waktu. Ada kalanya pada saat
ini ia tertarik kepada wanita tetapi seminggu kemudian ia hanya tertarik kepada
pria.
Menurut Widyarini (2004) dalam Herma (2013) faktor pendorong
kecenderungan berorientasi biseksual akan mewujud menjadi tindakan atau
perilaku biseksual yang didorong oleh beberapa keadaan, yaitu:
a. Coba-coba
Perilaku biseksual dapat muncul dari hasil coba-coba antara lelaki
homoseksual dengan sahabat perempuannya, perempuan lesbian dengan
sahabat laki-lakinya, atau seseorang yang telah menikah namun mencoba
pengalaman seksual baru dengan sesama jenisnya. Mereka yang awalnya
hanya tertarik kepada satu jenis kelamin bisa menjadi tertarik pada dua
jenis kelamin
b. Seks bebas
Dalam keadaan semacam ini, sangat terbuka kemungkinan untuk cobacoba melakukan hubungan biseksual, terutama apabila perilaku tersebut
mengalami kenikmatan dan cenderung diulang-ulang sehingga ia dapat
berkembang menjadi orang yang berperilaku biseksual
c. Kebutuhan emosional yang tak terpenuhi
Para wanita biseksual mempunyai beberapa kebutuhan emosional yang
hanya dapat dipenuhi oleh laki-laki, sementara kebutuhan emosional
lainnya, menurut mereka hanya dapat dipenuhi perempuan. Untuk
memenuhi hal tersebut, mereka memiliki peran biseksual
d. Kebutuhan akan variasi dan kreativitas
Mereka yang menjadi biseksual dalam hal ini disebabkan karena ingin
memenuhi kebutuhan akan adanya variasi dan kreativitas. Hal tersebut
bertujuan untuk mendapatkan kepuasaan dan kenikmatan dalam
24
melakukan hubungan seksual yang mungkin dirasakan sebagai sesuatu
yang monoton
Menurut Herma (2013) Kondisi psikologis pada kaum biseksual, yaitu:
a. Gaya hidup kaum biseksual adalah gaya hidup functional. Mereka bisa
berganti-ganti pasangan namun tidak mempunyai masalah dalam hal
sosialisasi. B
b. Biseksual digolongkan ke dalam komunitas orang-orang homoseksual.
c. Problematika kehidupan biseksual adalah masalah kebimbangan akan
orientasi seksual mereka. Masalah yang paling menyulitkan adalah
dalam hal menjalin hubungan asmara dan coming-out pada orang
sekitar
d. Kesejahteraan psikologi pada biseksual yaitu kaum biseksual tetap
berktivitas
demi
kepentingan
ekonomi
keluarganya,
mampu
menciptakan hubungan yang hangat dengan orang lain, ada kalanya
cenderung introvert,
25
Sumber: Herma (2013)
Ada 2 jenis kecenderungan LGBT yaitu Ego sistonik dan ego distonik. Ego
sistonik adalah LGBT merasa sangat nyaman dengan perasaannya sehingga
cenderung menunjukkan di depan umum tanpa merasa canggung sedangkan ego
distonik adalah LGBT yang merasa kurang nyaman dengan keadaannya sehingga
tidak menunjukkan keadaan sebenarnya di di depan umum.
6. Penanganan Orientasi seksual
a. Untuk biseksual, yaitu segera merealisasikan niat untuk menjadi
heteroseksual dan menghentikan kedekatan serta komunikasi dengan
orang-orang homoseksual yang sekiranya bisa menghalangi niat untuk
berubah, masyarakat tidak boleh menjauhi informan dan bisa
membimbing informan ke arah yang lebih baik agar kaum ini
bersemangat untuk dapat meraih kehidupan yang lebih baik,
b. Kaum yang LGBT dapat melakukan terapi hormone dan konseling
7. Tanda-tanda penyimpangan orientasi seksual
Menurut Health detik (2010) tanda-tanda penyimpangan orientasi seksual,
yaitu:
a. Punya perasaan yang berubah-ubah terhadap lawan jenis
Seseorang merasa menjadi orang yang berbeda dibandingkan masa lalu.
Contohnya, dulu punya ketertarikan dengan lawan jenis tapi sekarang rasa
seperti itu sudah tidak ada. Jika seseorang merasa seolah-olah selalu
menjadi orang yang berbeda perasaannya terhadap sesama jenis maka ada
kemungkinan ia memiliki orientasi seksual gay atau lesbian.
26
b. Tidak mempedulikan stereotip atau pandangan orang lain
Orang seperti ini cuek terhadap pandangan orang lain dan tidak mau tahu
penilaian orang terhadap orientasi seksnya. Mereka lebih berani
menunjukkan status seksnya yang tidak normal.
c. Memahami perilaku 'gay' dan 'straight' (normal).
Orang seperti ini biasanya tahu ketika punya perasaan tertarik dengan
sesama jenis tapi tidak ada rasa itu dengan lawan jenisnya. Beberapa orang
terkadang memiliki kedua perasaan tersebut (biseksual).
d. Kenali perasaan terdalam yang dimiliki
Jika orang tersebut memiliki keinginan seks yang lebih kuat dibanding
perasannya terhadap orang berjenis kelamin sama. Biasanya orang seperti
ini lebih terangsang melihat sesama jenis ketimbang lawan jenis.
e. Fantasi seks saat melakukan masturbasi
Ketika melakukan masturbasi, ia menemukan dirinya berfantasi melakukan
hubungan seks dengan orang yang berjenis kelamin sama dan sering tidak
bisa mencapai klimaks ketika berfantasi dengan orang yang berlawanan
jenis.
f. Merasa malu jika melihat adegan ciuman sesama jenis
Ketika menonton televisi, seseorang merasa malu saat melihat adegan
telanjang atau ciuman dari orang yang berjenis kelamin sama.
C. Tinjauan Perbedaan Perilaku Seksual dan Orientasi Seksual
Orientasi seksual berbeda dengan perilaku seksual karena orientasi seksual
bekaitan dengan perasaan dan konsep diri. Meskipun seringkali berkaitan,
orientasi seksual tidak dapat meramalkan perilaku seksual seseorang, demikian
sebaliknya, perilaku seksual tidak dapat menunjukkan orientasi seksual
seseorang. Dalam hal pasangan seksual, seorang heteroseksual mungkin saja
berhubungan seksual dengan sesama jenisnya. Atau pada kebanyakan kasus,
27
seorang homoseksual dapat berhubungan seksual dengan lawan jenisnya karena
terpaksa atau dipaksa untuk menikah (PKBI Yogya, 2016)
Pada perilaku seksual yang telah dibahas sebelumnya, baik heteroseksual,
homoseksual, maupun biseksual dapat melakukan perilaku seksual yang sama,
seperti berpelukan, berciuman, petting, oral seks, kecuali pasangan gay tidak
dapat melakukan seks vaginal, dan pasangan lesbian tidak dapat melakukan seks
vaginal dan seks anal (PKBI Yogya, 2016)
28
DAFTAR PUSTAKA
Armiyati, P,D., Asfriyati, Arma, A, J, A. 2014. PENGARUH POLA ASUH ORANG
TUA DAN KONFORMITAS TEMAN SEBAYA TERHADAP PERILAKU SEKSUAL
PADA REMAJA DI DESA BANGUN REJO KECAMATAN TANJUNG MORAWA
KABUPATEN
DELI
SERDANG
TAHUN
2014
(online),
(http://www.jurnal.usu.ac.id/index.php/gkre/article/view/7614, diakses 24 Mei
2014)
Azwar, S. 2011. Sikap Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Bowden, J dan Manning, V. 2012. Promosi Kesehatan dalam Kebidanan: Prinsip
& Praktek, ED.2. Jakarta:EGC
Fadli, F. 2013. Perilaku Seksual (online),
(http://fazrianfaldi.blogspot.co.id/2013/02/perilaku-seksual.html diakses
24 Mei 2016)
Gultom, A,J., Lubis, M, R., dan Fitria, M. 2013. FAKTOR-FAKTOR YANG
BERHUBUNGAN DENGAN SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI
YANG TINGGAL DI KOST LINGKUNGAN V KELURAHAN PADANG BULAN
KECEMATAN
MEDAN
BARU
TAHUN
2013(onine),
(repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/47047/7/Cover.pdf, diakses 24 Mei
2016)
Herma, M,N. 2013. Kondisi Psikologis pada Biseksual (online), (http://digilib.uinsuka.ac.id/12431/1/BAB%20I,%20VI,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf, diakses 25
Mei 2016)
Karmila dan Mayalisya. 2011. KECEMASAN DAN DAMPAK DARI PERILAKU
SEKSUAL
PRANIKAH
PADA
MAHASISWA(online),
(https://eprints.uns.ac.id/6826/, diakses 24 Mei 2016)
Kirana, U., Yusad, Y., dan Mutiara, E. 2014. PENGARUH AKSES SITUS PORNO DAN
TEMAN SEBAYA TERHADAP PERILAKU SEKSUAL REMAJA DI SMA
YAYASAN PERGURUAN KESATRIA MEDAN TAHUN 2014(online), (http://
jurnal.usu.ac.id/index.php/gkre/article/view/8473, diakses 24 Mei 2016)
29
Marthilda, D., dkk. 2014. FAKTOR-FAKTOR PEMILIHAN ORIENTASI SEKSUAL (Studi
Kasus Pada Lesbian) (online), (journal.unnes.ac.id › Home › Vol 3, No 1 (2014),
diakses 25 Mei 2016).
Maryam, S. 2015. Promosi Kesehatan dalam Pelayanan Kebidanan. Jakarta:EGC
Mastuti, E, R. 2012. PEMBENTUKAN IDENTITAS ORIENTASI SEKSUAL PADA REMAJA
GAY(onine), (journal.unika.ac.id/index.php/pre/article/download/271/262,
diakses 25 Mei 2016)
Mayasari, F dan Hadjam, R, N. 2000. PERILAKU SEKSUAL REMAJA DALAM
BERPACARAN DITINJAU DARI HARGA DIRI BERDASARKAN JENIS
KELAMIN (online) (jurnal.ugm.ac.id/jpsi/article/view/7004/5456, diakses 24
Mei 2016)
Mubarak, I, W. 2011. Promosi Kesehatan Untuk Kebidanan. Jakarta: Salemba
Medika
PKBI Yogya. 2016. Orientasi Seksualitas (online), (http://pkbidiy.info/?page_id=3489, diakses 24 Mei 2016)
Rikawarastuti. 2013. Vol 4 No. 1. Tinjauan Pendekatan Penanganan Perilaku
Seksual
Anak
Jalanan
(online),
(www.poltekkesjakarta1.ac.id/file/dokumen/56Jurnal_Rikawarastuti.pdf,
diakses 24 Mei 2016)
Soejoeti, Z.S. 2001. Perilaku Seks di Kalangan Remaja dan Permasalahannya
(online), Vol 11 No 1 (http://www/ejournal.litbang.depkes.go.id, diakses 24
Mei 2016)
Download