BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Manusia senantiasa hidup

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
Manusia senantiasa hidup dalam suatu lingkungan, baik lingkungan fisik,
psikis, atau spiritual, yang di dalamnya terdapat hubungan timbal balik. Menurut
Gerungan (2002) di dalam hubungan timbal balik akan terjadi saling
memengaruhi antara manusia dan lingkungannya. Seseorang akan mulai
membayangkan bagaimana pandangan dan penilaian orang lain terhadap dirinya
yang pada akhirnya akan memberikan gambaran tentang dirinya sendiri. Konsep
diri sangat berhubungan dengan pengalaman sosial, seperti misalnya identitas
pribadi seorang individu tergantung pada hubungannya dengan orang lain
(Wirawan, 1998). Konsep diri terbentuk karena adanya interaksi seseorang dengan
orang–orang yang berada di sekitarnya.
Konsep diri dapat berbentuk konsep diri yang positif maupun yang negatif,
tergantung dari diri individu sendiri. Pada dasarnya konsep diri terbentuk melalui
proses belajar sejak masa pertumbuhan seseorang dari kecil sampai dewasa.
Seperti misalnya pada seorang anak, anak akan mulai berpikir dan merasakan
dirinya seperti apa yang telah ditentukan oleh orang lain dalam lingkungannya,
misalnya orang tua, guru, ataupun teman–temannya. Sebagai contoh, seorang anak
yang diidentifikasikan sebagai “anak nakal” biasanya memiliki konsep diri yang
lebih negatif dibandingkan dengan sebutan “anak baik”. Anak yang tergolong
1
sebagai “anak nakal” akan melihat dirinya sebagai anak yang buruk, pemalas
ataupun bodoh.
Pada masa remaja, individu juga mengalami perkembangan seksual, kematangan
organ seksual mulai berfungsi, baik untuk reproduksi (menghasilkan keturunan)
maupun rekreasi (mendapat kesenangan), karena proses perkembangan inilah
menimbulkan adanya dorongan seksual dan rasa ketertarikan pada lawan jenis
kelamin. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2004) dengan adanya dorongan seksual
pada diri individu akan membuat seseorang mulai mengembangkan konsep diri
sejalan dengan peran jenis kelamin dan juga berdasarkan bawaan biologis. Seks
itu merupakan energi psikis, yang ikut mendorong manusia untuk bertingkah
laku. Tidak cuman bertingkah laku dibidang seks saja, yaitu melakukan reaksi
seksual atau bersanggama, akan tetapi juga melakukan kegiatan-kegiatan non
seksual. Umpamanya saja berprestasi dibidang ilmiah, seni, melakukan tugastugas moril, dan lain-lain. Sebagai energi psikis, seks merupakan motifasi atau
dorongan untuk berbuat/bertingkah laku. Oleh freud, seorang sarjana psikoanalisa,
disebutnya sebagai libido sexualis (libido = gasang, dukana, dorongan hidup,
nafsu erotis).
Seks adalah satu mekanisme bagi manusia agar mampu mengadakan
keturunan.Sebab itu seks merupakan mekanisme yang vital sekali dengan mana
manusia mengabadikan sejenisnya.Di samping hubugan sosial biasa, diantara
wanita dan pria itu bisa terjadi hubungan khusus yang sifatnya erotis, yang disebut
sebagai relasi seksual. Dengan relasi seksual ini kedua belah pihak mengayati
bentuk kenikmatan dan puncak kepuasan seksual atau orgasme.Jika dilakukan
2
dalam hubungan yang normal sifatnya.Hubungan seksual diantara dua jenis
kelamin yang berlainan sifat dan jenisnya (antara seorang pria dan seorang
wanita) disebut sebagai relasi heteroseksual. Jika dilakukan di antara dua jenis
kelamin yang sama, disebut sebagai homoseksual (kartono, 2009:225).
Homoseksualitas, heteroseksualitas, dan aseksualitas umumnya lebih dikenal
dengan Biseksualitas. Meskipun secara fisik maupun orientasi seksualnya bisa
dianggap sebagai kaum heteroseksual atau homoseksual, tapi kaum biseksual juga
memiliki ketertarikan pada sejenis (bagi hetero) dan berbeda jenis (bagi
homo).Kalau heteroseksual, homoseksual dan transeksual lebih bisa diidentifikasi
dengan mudah, tidak demikian dengan biseksual.Kelompok biseksual memang
berada dalam wilayah abu-abu.
Pada awalnya, para ahli teori penyusunan identitas memandang biseksual
sebagai salah satu bentuk penyembunyian identitas homoseksual atau sebagai
tahap transisi antara identitas heteroseksual dan identitas gay dan lesbian (Fox,
1995).Akhir-akhir ini, biseksualitas telah diterima sebagai sebuah orientasi
seksual tersendiri. Namun, kurangnya penerimaan oleh kaum gay dan lesbian
serta kaum heteroseksual membuat penyusunan identitas biseksual sangat
menantang (Paul, 1996).
Menggunakan tiga penelitian yang dilakukan pada tahun 1980-an, Weinberg,
Williams, dan Pryor (1994) mengemukakan tiga tahap penyusunan identitas
biseksual: kebingungan awal, menemukan dan memakai label (identitas), dan
menyesuaikan diri dengan identitas baru tersebut. Mereka juga menyatakan bahwa
seringkali ada tahap ke empat, yaitu kebingungan lanjutan, yang dialami oleh
3
kaum biseksual karena kurangnya penerimaan (validasi) atas orientasi seksual ini.
Namun, para peneliti lain menyimpulkan bahwa penyusunan identitas biseksual
merupakan sebuah proses rumit yang tidak bisa dimasukkan dalam tahapantahapan linear seperti itu. Konteks sosial, hubungan yang dijalani oleh individu,
dan
seberapa
terbuka
individu
tersebut
terhadap
biseksualitas
sangat
mempengaruhi cara mereka menafsirkan identitas mereka (Fox, 1995). Orientasi
seksual kaum biseksual dewasa tidak terlalu tergantung pada orientasi seksual
mereka sebelum dewasa (Weinberg & Hammersmith, 1981). Kebanyakan
biseksual wanita pada awalnya mengidentifikasi diri sebagai heteroseksual dan
kemudian baru menyadari perasaan homoseksualnya, sementara kebanyakan pria
justru sebaliknya, berangkat dari identitas homoseksual, baru menemukan
identitas biseksualnya (Bell et.al ; 1981). Kaum biseksual umumnya menyadari
identitas dirinya dua atau tiga tahun lebih lama dari kaum gay atau lesbian (Fox,
1995). Kebanyakan kaum biseksual dalam penelitian Bell et.al
(1981)
menyatakan bahwa mereka mengalami konflik dalam menyeimbangkan berbagai
variabel yang terkait dengan ketertarikan dan perilaku seksual mereka namun
seiring dengan berjalannya waktu merasa lebih aman dengan identitas biseksual
tersebut. Jika dilakukan dengan sesama jenis, tergolong homoseksual jika
dilakukan di antara sesama laki-laki, dan tergolong lesbianisme jika dilakukan di
antara sesama wanita.Sebenarnya Homoseksualitas di kalangan wanita disebut
cinta lesbis atau lesbianisme.Seperti yang Kartini Kartono dalam buku Psikologi
Abnormal dan Abnormalitas Seksual ungkapkan bahwa lesbian atau lesbianisme
4
berasal dari kata Lesbos yaitu pulau di tengah Lautan Egeis yang pada zaman
kuno dihuni oleh para wanita.” (Kartono, 2009 : 249).
Umumnya individu biseks lebih memilih untuk bersikap sebagai heteroseksual
daripada sebagai homoseksual.Kemungkinan besar kaum mereka lebih menderita
dibandingkan dengan kita, akibat perlakuan sosial masyarakat terhadap mereka
atas dasar orientasi seksual mereka (Rey Reykets, 2010).Pengakuan individu
biseks kepada orang-orang di sekitarnya mengenai perilaku seksual mereka yang
memungkinkan dengan wanita maupun dengan pria dapat mengakibatkan
munculnya reaksi-reaksi negatif.
Misalnya saja hukum negara yang tidak memperbolehkan terjadinya
pernikahan
antara
sesama
jenis
kelamin,
norma
agama
yang
tidak
memperbolehkan hubungan homoseksual, aturan tidak tertulis yang berlaku di
masyarakat untuk menghindari relasi dengan kaum homoseksual, menutup
kesempatan bagi kaum homoseksual untuk berkarya / bekerja, bersekolah atau
pun kesempatan untuk mendapat pelayanan kesehatan yang sama dengan yang
lain (Adesla, 2009). Hal-hal tersebut dapat memicu tekanan stres yang cukup berat
bagi individu biseks. Selain itu, konflik internal individu biseks berkaitan dengan
orientasi seksualnya juga menambah tekanan stres. Tekanan stres yang diterima,
jika sampai melampaui batas kesanggupan individu untuk menghadapi dan
mengatasinya, dapat berujung kematian akibat perencanaan bunuh diri. Menurut
Gibson (1989), perencanaan bunuh diri pada remaja homoseksual akibat konflik
internal berkaitan dengan orientasi seksual memiliki persentasi yang cukup tinggi.
Dalam kondisi tertentu, situasi-situasi yang dinilai dapat mengakibatkan respon-
5
respon negatif baik secara fisik maupun emosional. Tentunya mereka tidak akan
membiarkan hal ini berlarut-larut. Mereka akan melakukan berbagai cara untuk
mengatasi masalah-masalah tersebut. Hal inilah yang dinamakan coping behavior.
Berdasarkan pendapat Lazarus dan Folkman (1984 ) Coping merupakan sebuah
upaya kognitif dan prilaku yang berubah secara konstan untuk mengelola tuntutan
eksternal dan atau internal tertentu yang dinilai berat dan melebihi sumber daya
(kekuatan) seseorang. Pada dasarnya coping menggambarkan proses aktivitas
kognitif, yang disertai dengan aktivitas perilaku (Folkman, 1984).
Dalam penelitian ini dapat ditemukan permasalahan biseksual pada tiga
subjek penelitian antara lain karena permasalahan yang ada pada keluarga,
sehingga membuat subjek mengalami pergaulan bebas sampai mengenal obatobatan. Kurangnya kasih sayang dan perhatian dari keluarga, membuat subjek
memiliki keinginan untuk mencoba merasakan biseksual itu seperti apa dan
bagaimana rasanya menjadi biseksual.
Untuk mengetahui bagaimana strategi coping yang dilakukan individu
biseksual yang telah mengakui orientasi seksualnya pada keluarga dan/atau teman
individu, maka dilakukan penelitian berupa studi kasus. Penelitian ini bertujuan
untuk mencari tahu bagaimana individu biseksual memilih langkah strategi
coping, tekanan yang dialami sebelum melakukan strategi coping, beserta kondisi
sebelum dan sesudah melakukan strategi coping.
Dengan pendekatan metode studi kasus dalam penelitian ini, maka dapat diperoleh
pemahaman secara keseluruhan atau komprehensif mengenai individu biseksual.
6
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana strategi coping yang
dilakukan oleh individu biseksual, tekanan yang dialami sebelum melakukan
strategi coping, beserta kondisi individu biseksual sebelum dan sesudah
melakukan strategi coping?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini merupakan studi kasus yang bertujuan untuk mengetahui strategi
coping yang dilakukan oleh individu biseksual, tekanan yang dialami sebelum
melakukan strategi coping, beserta kondisi individu biseksual sebelum dan
sesudah melakukan strategi coping.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1. Teoritis
1). Umum
Hasil penelitian ini mampu menambah pemahaman dan memberikan
sumbangan secara teoritis bagi perkembangan ilmu psikologi pada umumnya.
2). Khusus
Secara khusus hasil penelitian ini dapat menjadi referensi ilmu psikologi di
area kesehatan mental, mengenai dinamika strategicoping individu biseksual, baik
sebagai penelitian lanjutan maupun penelitian lain secara lebih teliti dan
menyeluruh dengan subjek biseksual.
1.4.2. Praktis
1). Bagi kaum biseksual
7
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi
mengenai strategi coping sehingga kehidupan kaum biseksual dapat terbantu
dengan strategi coping yang tepat dan dapat menjalani hidup dengan lebih siap
dan bahagia.
2). Bagi masyarakat umum
Bagi masyarakat pada umumnya, penelitian ini diharapkan dapat menjadi
bahan referensi baru tentang biseksual, sehingga masyarakat mampu membuka
diri terhadap keberadaan mereka dan mampu melibatkan mereka dalam kehidupan
bermasyarakat.Penelitian ini juga diharapkan mampu membuka wacana baru
mengenai berbagai pengalaman kehidupan dan perilaku kaum biseksual, sehingga
masyarakat mampu melihat sisi positif, menjadi lebih menghargai dan peka
terhadap kaum biseksual.
3). Bagi lembaga terkait LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender) Hasil
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk memberi pembinaan
pada kaum homoseksual, khususnya bagi kaum biseksual.
4). Bagi penulis
Penelitian ini merupakan wahana untuk menerapkan teori yang telah
didapat selama perkuliahan pada masalah yang terjadi dalam kehidupan nyata.
8
Download