19 BAB II LANDASAN TEORI A. Biseksual 1. Definisi Biseksual Krafft-Ebing, salah seorang seksologis Jerman menyebut biseksual dengan sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu spesies atau kejadian yang merupakan kebetulan dari karakteristik pria dan wanita dalam satu tubuh (Bowie dalam Storr, 1999). Ellis (dalam Storr, 1999) kemudian meninggalkan istilah psychosexual hermaphroditism dan memperluas makna dari biseksual sebagai hasrat seksual untuk pria maupun wanita yang dialami oleh individu. Menurut Freud (1905), biseksual merupakan kombinasi dari maskulinitas dan feminitas, sedangkan menurut Stekel (1920) dan Klein (1978), biseksual bukanlah merupakan kombinasi dari maskulinitas dan femininitas melainkan heteroseksualitas dan homoseksualitas (dalam Storr, 1999). Dalam pengertian umumnya, biseksual adalah orientasi seksual yang mempunyai ciri-ciri berupa ketertarikan estetis, cinta romantis, dan hasrat seksual kepada pria dan wanita. Menurut Masters (1992), biseksual adalah istilah untuk orang yang tertarik secara seksual baik itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Biseksual juga didefinisikan sebagai orang yang memiliki ketertarikan secara psikologis, emosional dan seksual kepada laki-laki dan perempuan (Robin & Hammer, 2000 dalam Matlin, 2004). Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa biseksual adalah istilah untuk orang dengan orientasi seksual yang memiliki ketertarikan estetis, psikologis, emosional dan seksual baik kepada laki-laki maupun perempuan. 2. Perkembangan Identitas Pada Biseksual Universitas Sumatera Utara 20 Terdapat empat tingkatan pada biseksual dalam menghadapi identitas mereka (Weinberg dkk, 1994): a. Initial Confusion Merupakan periode yang sangat membingungkan, ragu dan berjuang dengan identitas mereka sebelum mendefinisikan diri mereka sendiri sebagai biseksual. Biasanya merupakan langkah awal dalam proses menjadi biseksual. Bagi beberapa biseksual, periode ini dilewati dengan perasaan seksual yang kuat terhadap kedua jenis kelamin yang sangat mengganggu, tanpa orientasi, dan terkadang menakutkan. b. Finding And Applying The Label Pada beberapa orang yang awalnya belum mengenal istilah biseksual, biasanya mereka mendapatkan istilah tersebut dengan mendengar, membacanya di suatu sumber, atau mempelajarinya dari komunitas biseksual. Penemuan ini membuat perasaan mereka menjadi lebih bermakna sehinga hal ini kemudian menjadi titik balik dalam kehidupan mereka. Dilain pihak ada pula yang sudah memiliki pengetahuan tentang biseksual namun belum dapat melabelnya pada diri mereka. Hal ini terjadi pada mereka yang awalnya merasakan dirinya sebagai homoseksual. Selain itu ada pula yang tidak menjalani titik balik yang spesifik dalam kehidupannya namun perasaan seksual terhadap kedua jenis kelamin terlalu sulit untuk disangkal. Mereka pada akhirnya menyimpulkan untuk tidak memilih. Faktor terakhir yang mengarahkan seseorang untuk memakai label biseksual adalah dorongan yang datang dari temanteman yang telah mendefinisikan diri mereka sebagai biseksual. c. Settling into the identity Tingkatan ini dikarakteristikkan dengan transisi yang lebih rumit dalam selflabeling. Pada tingkat ini mereka lebih dapat menerima diri, tidak begitu memperhatikan sikap negatif dari orang lain Universitas Sumatera Utara 21 d. Continued uncertainity Banyak pria dan wanita yang meragukan identitas biseksual mereka karena hubungan seksual yang eksklusif. Setelah terlibat secara eklusif dengan pasangan berbeda jenis dalam waktu tertentu, beberapa diantara mereka mempertanyakan sisi homoseksual dari seksualitas mereka. Sebaliknya, setelah terlibat dengan pasangan sejenis, mereka mulai mempertanyakan komponen heeroseksual dalam seksualitas mereka. B. Psychological Well-Being 1. Definisi Psychological Well-Being Istilah Psychological Well-Being (PWB) berawal dari tulisan filsuf Aristoteles mengenai eudaimonia (Ryff,1989). Istilah ini tidak hanya sekedar berarti kebahagiaan atau menunjukkan antara kepuasaan terhadap keinginan yang benar dan salah (Hedonistic), melainkan Eudaimonia lebih memberikan karakteristik yang tertinggi dari keberadaan manusia, yaitu berjuan untuk mencapai kesempurnaan dengan jalan merealisasikan potensi yang sebenarnya. Aristoteles (dalam Ryff,1989) berpendapat bahwa pengertian bahagia bukanlah diperoleh dengan jalan mengejar kenikmatan dan menghindari rasa sakit, atau terpenuhinya segala kebutuhan individu, melainkan melalui tindakan nyata yang mengaktualisasikan potensi-potensi yang dimiliki individu. Hal inilah yang merupakan tugas dan tanggungjawab manusia sehingga merekalah yang menentukan apakah menjadi individu yang merasa bahagia, merasakan apakah hidupnya bermutu, berhasil atau gagal. Universitas Sumatera Utara 22 Pada intinya psychological well-being merujuk pada perasaan-perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif (misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan dan sebagainya) sampai ke kondisi mental positif, misalnya realisasi potensi atau aktualisasi diri (Bradburn dalam Ryff dan Keyes, 1995). Ryff mengajukan beberapa literatur untuk mendefinisikan kondisi mental yang berfungsi positif yaitu Rogers menyebutnya dengan istilah fully functioning person, Maslow menyebutnya dengan konsep selfactualized person, dan Jung mengistilahkannya dengan individuasi, serta Allport menyebutnya dengan konsep Maturity (Ryff,1989). PWB dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasaan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi (Ryff, 1995). Menurut Bradburn, dkk (dalam Ryff, 1989) kebahagiaan (hapiness) merupakan hasil dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia. Ryff menyebutkan bahwa PWB terdiri dari enam dimensi, yaitu penerimaan terhadap diri sendiri, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan terhadap lingkungan, memiliki tujuan dan arti hidup serta pertumbuhan dan perkembangan yang berkelanjutan (Ryff & Keyes, 1995). Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa psychological wellbeing (kesejahteraan psikologis) adalah kondisi individu yang ditandai dengan adanya perasaan bahagia, mempunyai kepuasaan hidup dan tidak ada gejala-gejala depresi. Kondisi tersebut dipengaruhi adanya fungsi psikologis yang positif seperti penerimaan diri, relasi sosial yang positif, mempunyai tujuan hidup, perkembangan pribadi, penguasaan lingkungan dan otonomi. 2. Dimensi Psychological Well-Being Universitas Sumatera Utara 23 Menurut Ryff (dalam Keyes, 1995), pondasi untuk diperolehnya kesejahteraan psikologis adalah individu yang secara psikologis dapat berfungsi secara positif (positive psychological functioning). Komponen individu yang mempunyai fungsi psikologis yang positif yaitu: 1. Penerimaan Diri (Self-Acceptance) Self-acceptance dalam PWB ini berkaitan dengan penerimaan individu pada masa kini dan masa lalunya. Selain itu juga berkaitan dengan adanya penilaian positif atas kondisi diri sendiri. Seseorang memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri adalah mereka yang memahami dan menerima berbagai aspek diri termasuk di dalamnya kualitas baik maupun buruk, dan bersikap positif terhadap kehidupan yang dijalaninya. Sebaliknya, individu yang memiliki nilai yang rendah adalah mereka yang menunjukkan adanya ketidakpuasan terhadap kondisi dirinya, mengalami masalah dengan kualitas tertentu dari dirinya, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi pada kehidupan masa lalu, dan ingin menjadi orang yang berbeda dari diri sendiri. 2. Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relations with Others) Komponen lain dari PWB adalah kemampuan individu untuk membina hubungan yang hangat dengan orang lain. Individu yang matang digambarkan sebagai individu yang mampu untuk mencintai dan membina hubungan interpersonal yang dibangun atas dasar saling percaya. Individu juga memiliki perasaan yang kuat dalam melakukan empati dan afeksi terhadap sesama manusia, Universitas Sumatera Utara 24 memiliki persahabatan yang mendalam, dan mempunyai kemampuan identifikasi yang baik dengan orang lain. Individu yang memiliki hubungan positif dengan orang lain mampu membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dengan orang lain. Selain itu, individu memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan empati, afeksi, dan mempunyai hubungan yang intim, serta memahami prinsip memberi dan menerima dalam hubungan antar pribadi. Selain itu, ia memiliki kedekatan (intimacy) dengan orang lain dan mampu memberikan bimbingan serta pengarahan kepada orang lain (generativity). Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi hubungan positif menunjukkan tingkah laku yang tertutup dalam berhubungan dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat, terbuka dan peduli dengan orang, merasa terasing dan frustasi dalam hubungan interpersonalnya, serta tidak bersedia untuk melakukan kompromi agar dapat mempertahankan hubungan dengan orang lain. 3. Otonomi (Autonomy) Ciri utama seseorang yang memiliki otonomi yang baik antara lain kemampuan untuk menentukan nasib sendiri, kemampuan untuk mengatur tingkah laku, dan kemampuan untuk mandiri. Ia mampu mengambil keputusan tanpa adanya campur tangan orang lain. Selain itu, orang tersebut memiliki ketahanan dalam menghadapi tekanan sosial, dapat mengatur tingkah laku dalam diri, serta dapat mengevaluasi diri dengan standar personal, bukan tergantung pada penilaian orang lain terhadap dirinya. Sebaliknya, individu yang kurang memiliki otonomi akan sangat memperhatikan dan mempertimbangkan harapan dan evaluasi dari orang lain, Universitas Sumatera Utara 25 berpegangan pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting, serta mudah terpengaruh oleh tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu. 4. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery) Kemampuan untuk menguasai lingkungan didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk memilih, menciptakan, atau mengelola lingkungan agar berjalan seiring dengan kondisi psikologis dirinya dalam rangka pengembangan diri. Individu yang baik dalam dimensi penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan. Ia dapat mengendalikan aktivitas eksternal yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungannya, serta mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pribadi. Sebaliknya, individu yang memiliki penguasaan lingkungan yang kurang baik akan mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan kualitas lingkungan sekitarnya serta tidak mampu memanfaatkan peluang dan kesempatan diri lingkungan sekitarnya. 5. Tujuan Hidup (Purpose in Life) Kondisi mental yang sehat memungkinkan individu untuk menyadari bahwa ia memiliki tujuan tertentu dalam hidup yang ia jalani serta mampu memberikan makna pada hidup yang ia jalani. Allport (1961) menjelaskan bahwa salah satu ciri kematangan individu adalah memiliki tujuan hidup, yakni memiliki rasa keterarahan (sense of directedness) dan tujuan (intentionality). Selain itu, Rogers (1961) mengemukakan bahwa fully functioning person memiliki tujuan dan cita- Universitas Sumatera Utara 26 cita serta rasa keterarahan yang membuat dirinya merasa bahwa hidup ini bermakna (Ryff, 1989). Individu yang memiliki nilai tinggi dalam dimensi tujuan hidup adalah individu yang memiliki tujuan dan arah dalam hidup, merasakan arti dalam hidup masa kini maupun yang telah dijalaninya, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup, serta memiliki tujuan dan sasaran hidup yang ingin dicapai dalam hidup. Sebaliknya, individu yang kurang memiliki tujuan hidup akan kehilangan makna hidup, arah dan cita-cita yang tidak jelas, tidak melihat makna yang terkandung untuk hidupnya dari kejadian di masa lalu, serta tidak mempunyai harapan atau kepercayaan yang memberi arti pada kehidupan (Ryff, 1995). 6. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth) Individu yang matang secara psikologis tidak hanya mampu mencapai karakteristik-karakteristik pribadi dan pengalaman terdahulu., melainkan juga mempunyai keinginan untuk terus mengembangkan potensinya, tumbuh sebagai individu yang fully functioning. Untuk dapat berfungsi sepenuhnya, individu harus memiliki keterbukaan terhadap pengalaman. Individu yang terbuka pada pengalaman akan lebih menyadari lingkungan sekitarnya dan tidak berhenti pada pendapat-pendapat sebelumnya yang kemungkinan tidak benar. Rogers menyebutnya sebagai “keinginan untuk menjadi”. Individu yang mencapai kondisi tersebut tidak berhenti pada suatu keadaan statis dan berhenti mengembangkan dirinya. Justru keterbukaan terhadap pengalaman, selalu menghadapi tantangan dan tugas-tugas baru pada setiap fase kehidupannya. Individu yang matang selalu berusaha mengaktualisasikan dirinya dan menyadari potensi-potensi yang dimiliki. Universitas Sumatera Utara 27 Individu yang memiliki pertumbuhan pribadi yang baik ditandai dengan adanya perasaan mengenai pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya, memandang diri sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan memiliki pengetahuan yang bertambah. Sebaliknya, individu yang memiliki pertumbuhan pribadi yang kurang baik akan merasa dirinya mengalami stagnasi, tidak melihat peningkatan dan pengembangan diri, merasa bosan dan kehilangan minat terhadap kehidupannya, serta merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap dan tingkah laku yang lebih baik (Ryff, 1995). 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being seseorang antara lain: 1. Usia. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989), ditemukan adanya perbedaan tingkat psychological well-being pada orang dari berbagai kelompok usia. Dalam dimensi penguasaan lingkungan terlihat profil meningkat seiring dengan pertambahan usia. Semakin bertambah usia seseorang maka semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya. Oleh karenanya, individu tersebut semakin dapat pula mengatur lingkungannya menjadi yang terbaik sesuai dengan keadaan dirinya. Individu yang berada dalam usia dewasa akhir memiliki skor psychological well-being yang lebih rendah dalam dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan diri; individu yang berada dalam usia dewasa madya memiliki skor psychological well- Universitas Sumatera Utara 28 being yang lebih tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan; individu yang berada dalam usia dewasa awal memiliki skor yang lebih rendah dalam dimensi otonomi dan penguasaan lingkungan dan memiliki skor psychological well-being yang lebih tinggi dalam dimensi pertumbuhan diri. Dimensi penerimaan diri dan dimensi hubungan positif dengan orang lain tidak memperlihatkan adanya perbedaan seiring dengan pertambahan usia (Ryff dalam Ryan & Deci, 2001). 2. Jenis Kelamin Menurut Ryff (1989), satu-satunya dimensi yang menunjukkan perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan adalah dimensi hubungan positif dengan orang lain. Sejak kecil, stereotype gender telah tertanam dalam diri anak laki-laki digambarkan sebagai sosok agresif dan mandiri, sementara itu perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta sensitif terhadap perasaan orang lain (Papalia & Feldman, 2001). Tidaklah mengherankan bahwa sifat-sifat stereotype ini akhirnya terbawa oleh individu sampai individu tersebut dewasa. Sebagai sosok yang digambarkan tergantung dan sensitif terhadap perasaan sesamanya, sepanjang hidupnya wanita terbiasa untuk membina keadaan harmoni dengan orang-orang di sekitarnya. Inilah yang menyebabkan mengapa wanita memiliki skor yang lebih tinggi dalam dimensi hubungan positif dan dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain. 3. Status sosial ekonomi Ryff dkk., (dalam Ryan & Decci, 2001) mengemukakan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan diri. Individu yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status ekonomi yang lebih baik darinya. Menurut Davis (dalam Robinson & Universitas Sumatera Utara 29 Andrew, 1991), individu dengan tingkat penghasilan tinggi, status menikah, dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan memiliki psychological well-being yang lebih tinggi. 4. Budaya Ryff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme-kolektivisme memberi dampak terhadap psychological well-being yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang menjunjung tinggi nilai kolektivisme, memiliki skor yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain. D. Gambaran Psychological Well-Being Pada Individu Biseksual Yang Berpacaran. Masa dewasa awal atau dewasa dini memiliki beberapa tugas perkembangan, salah satu diantaranya adalah memilih pasangan. (dalam Hurlock, 1999). Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang lain yang biasanya disebut dengan istilah pacaran. Gembeck dan Patherick (2006) menyatakan bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam berpacaran yaitu keintiman dengan pasangan dan berbagi dengan orang lain yang merefleksikan tugas perkembangan pada masa ini. Hal ini jugalah yang terjadi pada individu biseksual. Biseksual merupakan sebuah istilah yang merupakan salah satu dari tiga klasifikasi utama orientasi seksual manusia disamping homoseksual dan heterogenitas. Masters (1992) mengatakan bahwa biseksual adalah istilah untuk orang yang tertarik secara seksual baik itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Biseksual juga didefinisikan sebagai orang yang memiliki ketertarikan secara psikologis, emosional dan seksual kepada pria dan wanita (Robin & Hammer dalam Matlin, 2004). Selain Universitas Sumatera Utara 30 itu, biseksual juga dapat didefinisikan sebagai orientasi seksual yang mempunyai ciriciri berupa ketertarikan estetis, cinta romantis dan hasrat seksual kepada pria dan wanita. Orang-orang yang memiliki orientasi biseksual, dapat mengalami pengalaman seksual, emosional dan ketertarikan afeksi kepada sesama jenis dan lawan jenis (dalam wikipedia, 2008). Kinsey dalam penelitian yang dilakukan di Amerika menyatakan sekitar 1% individu mengatakan bahwa diri mereka adalah biseksual yaitu 1,2% pria dan 0,7% wanita (dalam Santrock, 2003). Di Indonesia sendiri belum ada data statistik yang menunjukkan presentasi biseksual karena wacana sosial tentang biseksual masih terbatas (Oetomo, 2006). Individu gay, lesbi atau biseksual sering mengalami diskriminasi. Secara khusus, kaum biseksual sering mendapatkan penolakan dari komunitas heteroseksual dan homoseksual. Pada umumnya, individu biseksual memiliki fluktuasi dalam ketertarikan yang romantis. Mereka merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis lebih awal dibandingkan merasakan ketertarikan terhadap sesama jenisnya (Fox & Weinberg et al dalam Matlin, 2004). Bagi individu biseksual, hubungan romantis ataupun pacaran dapat berpengaruh terhadap Psychological Well-Being mereka. Psychological WellBeing (yang selanjutnya disebut dengan PWB) merujuk pada perasaan-perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif, misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan dan sebagainya sampai ke kondisi mental positif, misalnya realisasi potensi atau aktualisasi diri (Bradburn dalam Ryff & Keyes,1995). Ryff (dalam Keyes,1995) juga menyatakan bahwa PWB dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasaan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi. Universitas Sumatera Utara 31 Ryff (1989) menyebutkan bahwa PWB terdiri dari enam dimensi, yaitu penerimaan diri (self-acceptance), memiliki hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life) dan pertumbuhan pribadi (personal growth). Kepuasan hubungan romantisme, komitmen terhadap pasangan dan coming out ataupun self-disclosure dapat menimbulkan masalah atau konflik intrapersonal maupun interpersonal seperti stress, kecemasan dan ketakutan yang akan berpengaruh terhadap PWB individu biseksual yang berpacaran (dalam Savin-William & Cohen, 1995). Universitas Sumatera Utara