Laporan Studi Pustaka (KPM 403) PENGARUH KONFLIK AGRARIA TERHADAP AKSES LAHAN TIARA ANJANI DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015 i PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Laporan Studi Pustaka yang berjudul “Pengaruh konflik agraria terhadap akses lahan”, benar-benar hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atas lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari pustaka yang diterbitkan atau tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam naskah dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Laporan Studi Pustaka. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini. Bogor, 18 Mei 2015 Tiara Anjani NIM. I34120011 ii ABSTRAK TIARA ANJANI. Pengaruh Konflik Agraria terhadap Akses Lahan. Di bawah bimbingan IVANOVICH AGUSTA. Indonesia merupakan negara agraris yang cukup menaruh perhatian terhadap tanah. Setiap individu maupun kelompok berusaha untuk mendapatkan hak atas tanah tersebut. Dari kepentingan yang berbeda tersebut dapat menyebabkan konflik yang dalam hal ini disebut sebagai konflik agraria. Konflik agraria yang muncul akibat lahirnya hak erpacht menjadi semakin tek terendali ditambah dengan campur tangan pemerintah di dalamnya. Adanya ketimpangan kepemilikan lahan ditambah dengan hukum-hukum pertanian yang tidak berpihak pada petani semakin menyudutkan posisi petani. Oleh kerana itu, akibat terjadinya konflik menaruh perhatian baru terhadap akses lahan para petani. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui proses terjadinya konflik serta kondisi akses masayrakat terhadap lahan setelah terjadinya konflik. Kata kunci: Agraria, konflik, konflik agraria, akses lahan ABSTRACT TIARA ANJANI. Influences of Agrarian Conflict againts Land Access. Supervised by IVANOVICH AGUSTA Indonesia is an agrarian country which pay attention about use of land. An individual or group seeks to get rights of land. A differents interest about use of land can lead to a conflict that called by agrarian conflict. Agrarian conflict which arise as an effect from an erpacht rights are more controlled with a government policy surround it. The imballance of land ownership and law of agriculture that does not stand on peasant farmers make them in to the marginal group. Because of that, an result of conflict put a new attention on land access to peasant farmers towards agrarian resources. The aim on this research is to determine the occurrence of conflict as well as the condition access of peasant farmers to land after the conflict. Keywords : Agrarian, Conflict, Agrarian Conflict, Land Access. iii PENGARUH KONFLIK AGRARIA TERHADAP AKSES LAHAN Oleh TIARA ANJANI I34120011 Laporan Studi Pustaka Sebagai dyarat kelulusan KPM 403 pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institiut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015 iv LEMBAR PENGESAHAN Dengan ini menyatakan bahwa Laporan Studi Pustaka yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Tiara Anjani Nomor Pokok : I34120011 Judul : Pengaruh Konflik Agraria terhadap Akses Lahan dapat diterima sebagai kelulusan mata kuliah Studi Pustaka KPM (403) pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Disetujui oleh Dr. Ivanovich Agusta, SP, M.Si Dosen Pembimbing Diketahui oleh Dr. Ir. Siti Amanah, MSc Ketua Departemen Tanggal pengesahan :_______________________ v PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Semesta Alam, yang masih memberikan nikmat jasmani dan rohani serta waktu yang bermanfaat gabi penulis sehingga Studi Pustaka dengan judul “Pengaruh Konflik terhadap Akses Lahan” dapat diselesaikan tanpa hambatan dan masalah yang berarti. Pijian dan sholawat senantiasa penulis sampaikan kepada Rasulullah SAW, keluarga, beserta sahabat dan pengikut beliau hingga hari akhir. Laporan Studi Pustaka ini ditujukan untuk memenuhi syarakat kelulusan MK. Studi Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. Ivanovich Agusta SP, M.Si sebagai pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian laporan Studi Pustaka ini. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Ibu Eny Marfiany, Ibu Sarimah dan Bapak Mahfudin Syarif orang tua tercinta, Riswan Fadilah kakak tersayang serta semua keluarga yang selalu berdoa dan senantiasa melimpahkan kasih sayangnya untuk penulis. Tidak lupa penulis sampaikan terimakasih kepada Aldy Riandi yang senantiasa memberikan dukungan serta semangat. Dan juga ucapan terimakasih untuk teman-teman PBOS BEM FEMA juga teman-teman seperjuangan SKPM 49 yang selalu memberikan dukungan dan kebersamaan selama ini serta semua pihak yang telah memberikan dukungan sehingga terselesaikannya Studi Pustaka ini. Semoga laporan Studi Putaka ini bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Mei 2015 Tiara Anjani NIM. I34120011 vi DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR ........................................... Error! Bookmark not defined.ii PENDAHULUAN ................................................................................................... 1 Latar Belakang ..................................................................................................... 1 Tujuan Penelitian ................................................................................................. 2 Metode Penelitian................................................................................................. 2 RINGKASAN PUSTAKA ...................................................................................... 3 Bentuk-Bentuk Perlawanan Petani terhadap Dominasi Negara ........................... 3 Faktor Determinan Konflik Agraria di Desa Setrojenar Kecamatan Buluspesantren Kabupaten Kebumen ............................................................................................ 4 Konflik Agraria yang Tak Kunjung Usai ............................................................. 6 Konflik Nelayan di Jawa Timur: Studi Kasus Perubahan Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Komunitas Perkebun di Lebak, Banten .................... 8 Konflik Tanah Perkebunan di Indonesia .............................................................. 9 Kontestasi, Konflik dan Mekanisme Akses Atas Sumber Daya Agraria ........... 11 Revitalisasi Kebijakan Agraria guna Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat dalam Rangka Ketahanan Nasional .............................................................................. 13 Penguasaan Tanah Masyarakat Hukum Adat (Suatu Kajian terhadap Masyarakat Hukum Adat Ternate) ........................................................................................ 14 Proses Transformasi Agraria dan Konflik Sumberdaya Alam di Daerah Pedalaman: Studi Kasus di Kecamatan Long Bagun, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur ............................................................................................................................ 16 Reforma Agraria dan Aliansi Kelas Pekerja di Indonesia ................................. 18 RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN ............................................................... 20 Ruang Lingkup Agraria...................................................................................... 20 Lahan dan Fungsi Utama Lahan ..................................................................... 20 Ketimpangan Peruntukan dan Penggunaan Tanah ......................................... 20 Konflik dan Konflik Agraria .............................................................................. 22 Kepentingan Aktor ......................................................................................... 23 Resolusi Konflik Agraria ................................................................................ 24 Akses terhadap Sumberdaya Alam .................................................................... 25 SIMPULAN ........................................................................................................... 30 Hasil Rangkuman dan Pembahasan ................................................................... 30 Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Skripsi..................................... 31 Usulan Kerangka Analisis Baru ......................................................................... 32 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 34 RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... 36 vii DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Aliran Akses Tana ...............................................................................29 Gambar 2. Kerangka Analisis Konflik (Variabel X) .............................................30 Gambar 3. Kerangka Analisis Akses Lahan (Variabel Y) .....................................31 Gambar 4. Kerangka Analisis Variabel X dan Y ...................................................35 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 yang menyatakan “ bumi dan air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Hak tersebut berarti negara mempunyai tanggung jawab atas kemakmuran rakyat dengan mengelola sumberdaya yang ada di bumi Indonesia secara bijaksana. Indonesia yang merupakan negara agraris cukup menaruh perhatian yang lebih atas tanah. Setiap individu maupun kelompok berusaha untuk mendapatkan hak atas tanah tersebut. Namun, perhatian terhadap tanah hanya untuk kepentingan menguasai saja. Agraria yang juga meliputi pertanahan, menimbulkan berbagai macam permasalahan yang terjadi di masyarakat. Salah satu permasalahan yang terjadi termasuk konflik yang laten maupun manifest. Kenyataan yang banyak terjadi, masyarakat enggan memperpanjang konflik yang ada atau secara diam-diam menggunakan dan memanfaatkan sumber agraria tersebut tanpa sepengetahuan pihak lawan. Dalam kehidupan bermasyarakat terutama pada tataran masyarakat heterogen, tak dapat dipungkiri bahwa perbedaan tak bisa dihindarkan. Misalnya saja berbeda suku, agama, ras, dan berbagai perbedaan lain. Pada dasarnya hubungan masyarakat disusun oleh perbedaan-perbedaan identitas seperti yang telah disebutkan diatas maka konflik akan selalu ada di setiap hubungan antar manusia. Interaksi sosial yang dilakukan dapat menegaskan adanya perbedaan yang pada akhirnya berujung konflik. Menurut Undang-Undang No.7 Tahun 2012 pasal 1 menjelaskan bahwa “...konflik, adalah perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional.” (Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial 2012). Konflik dikatakan dapat terjadi apabila terjadi pertentangan. Entah dengan diri sendiri maupun oranglain. Pertentangan tersebut muncul karena adanya interaksi atau pertukaran sosial. Dari interaksi tersebut bisa saja muncul konflik yang menyebabkan perubahan sosial atau sebaliknya. Perubahan terjadi karena adanya keinginan manusia untuk hidup lebih baik lagi. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa konflik dan perubahan sosial itu dapat terjadi di setiap aras. Adanya keinginan manusia untuk terus mencari kepuasan hingga adanya rasa untuk menyingkirkan hak-hak orang lain semakin tak terkendali. Adanya perebutan atas sumberdaya alam yang terbatas. Adanya perbedaan kepentingan dari beberapa aktor yang terlibat dalam memperebutkan sumber-sumber agraria juga ikut menyumbang andil dalam konflik agaria tersebut. Studi kasus yang pernah dilakukan oleh Utomo (2008) mengenai pembangunan kawasan wisata yang menyebabkan perubahan sosial adalah yang terjadi di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). TNGL merupakan salah satu sumber penyokong kehidupan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Laju perkembangan penduduk yang signifikan dan berkembangnya tanaman kakao yang memiliki harga tinggi menambah pemanfaatan lahan yang pada akhirnya mengurangi luasan hutan. Di lain pihak, pengelola mempunyai kewajiban dalam menjaga kawasan hutan baik dari segi kelestariannya, maupun dari luasan wilayah 2 yang berimbas pada konflik antara pihak pengelola hutan dan masyarakat. Pada awalnya masyarakat dapat menanam tanaman kakao tetapi setelah kawasan tersebut dikelola oleh pihak Taman Nasional, masyarakat sudah tidak dapat akses untuk menanam kakao di kawasan tersebut.1 Dari kasus tersebut sangatlah jelas bahwa terjadi kontradiksi antara kepentingan suatu aktor atau golongan dengan keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup dari segi ekonomi. Hal yang menjadi titik berat penelitian mengenai pengaruh konflik agraria yang terjadi terhadap akses masyarakat terhadap lahan. Bagaimana konflik agraria tersebut dapat terjadi?. Hal tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini. Tujuan Penelitian 1. Menganalisis proses terjadinya konflik agraria 2. Menganalisis akses masyarakat terhadap lahan setelah terjadi konflik Metode Penelitian Penulisan laporan studi pustaka ini dilakukan dengan mengkaji berbagai literatur atau kepustakaan. Kepustakaan yang dimaksud antara lain adalah jurnal ilmiah, laporan hasil penelitian, dan dokumen resmi lainnya serta tulisan atau artikel penelitian yang membahas masalah-masalah terkait dengan topik kajian. Pengajian pustaka dilakukan dengan membaca, meringkas, dan mengkritisi sumber pustaka yang relevan yang kemudian dianalisis dengan teori-teori yang relevan sehingga menjadi tulisan yang utuh. 1 Utomo B. 2008. Dampak perambahan hutan Taman Nasional Gunung Leuser terhadap aspek sosial ekonomi masyrakat. Medan [ID]: Fakultas Pertanian, Universitas Sumatra Utara, Medan 3 RINGKASAN PUSTAKA 1 . Judul : Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (Edisi): hal Alamat URL/doi : 2006 : Artikel Jurnal Tanggal Unduh Bentuk-Bentuk Perlawanan Petani terhadap Dominasi Negara : Elektronik : Sichmen Pandiangan : : : Medan : Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial : Volume 05, No. 03 : http://usupress.usu.ac.id/files/Pemberdayaan%20Komunitas%2 0Vol_%205%20No_%203%20SeptemberDesember%202006.pdf#page=94 : 20 Maret 2015 Ringkasan: Pada masal Orde Baru, masyarakat ataupun petani berhadapan dengan kekuatan pemilik modal yang berkoalisi dengan penguasa. Termasuk konflik yang terjadi pada desa Sugapa, Kecamatan Silaen, Kabupaten Tapanuli Utara yang saat ini menjadi desa maju Kecamatan Sigumpar Kabupaten Toba Samosir yang masuk dalam gugus konflik sengketa tanah akibat Hak Guna Usaha (HGU) dan pembangunan Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Konflik tersebut melibatkan petani Sugapa dengan PT. Inti Indorayon Utama (IIU) yang saat ini menjadi PT. Toba Pulp Lestari (TPL). Petani Sugapa melakukan perlaawanan atas pengambil alihan tanah milik mereka yang luasnya mencapai 52 Ha kepada Pemerintah Tingkat II Tapanuli Utara yang kemudian diserahkan ke tangan PT. IIU. Proses pengambil alihan tanah tersebut diadakan oleh kepala desa tapi tidak melibatkan penggarap lahan tersebut. Namun, pada pengesahan pertemuan tersebut terdapat tandatangan para petani yang jelas tidak diikutsertakan dalam pertemuan. Tempat dan waktu pelaksanaannya juga tidak lazim. Pada tanggal 28 Oktober 1987 Kepala Desa memberikan lahan petani dan menerima piso-piso sebesar Rp. 650.000. 4 Sengketa tersebut berawal pada tahun 1987, dimana PT. IIU menanami lahan petani Sugapa dengan tanaman eucalyptus sebagai bahan baku industri. Atas alasan itulah, petani Sugapa yang notabene nya ibu-ibu melakukan perlawanan dengan mencabuti eucalyptus tersebut dan membiarkannya tergeletak diatas lahan mereka. Selain mencabuti tanaman eucalyptus, petani Sugapa juga melakukan aksi demonstrasi ke Kantor DPRD Taput dan Bupati dan bentuk-bentuk perlawanan lainnya. Tindakan para petani ini kemudian dilaporkan oleh pihak PT. IIU kepada pihak kepolisian yang mengakibatkan sepuluh orang petani dari kaum ibu-ibu ditangkap polisi dan kemudian diadili di Pengadilan Negeri Tarutung. Mereka dijatuhi hukuman percobaan selama enam bulan penjara. Melihat para kawanannya ditangkap, petani Sugapa lain tak hanya tinggal diam.mereka melakukan delegasi dengan bimbingan LSM ke Mendagri, DPR RI bahkan sampai kepada Pesiden untuk menyampaikan tuntutannya dan permohonan agar pemerintah menuntaskan permasalahan tanah mereka. Upaya kasasi ke Mahkama Agung juga tak luput dari usaha petani Sugapa. Namun terjadi kejangalan ketika Bupati dan PT.IIU menyatakan bahwa tanah rakyat Sugapa telah dikembalikan yang tercantum dalam surat pengembalian pada tanggal 11 April 1990, status lahan milik rakyat dinyatakan sebagai Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Bagi petani Sugapa status tanah HTI pola PIR bukanlah masalah besar, walaupun pada dasarnya mereka tidak menerima hal tersebut. Karena yang menjadi harapan adalah tanah tersebut dikembalikan dengan status penuh milik rakyat. Hal tersebut disebabkan karena bagi mereka ancaman dapat kapan saja yang memunculkan motivasi untuk senantiasa menjaga perjuangan mereka. Kemudian pada 1999, petani Sugapa mensahkan organisasi mereka yang dinamakan Credit Union (CU Sugapa) Sebab petani Sugapa melakukan perlawanan seperti yang telah dijelaskan diatas adalah karena hubungan yang tercipta antara sesama masyarakat petani Sugapa sangat kuat. Masing-masing terikat oleh kesamaan pandangan dan kebutuhan yaitu, mempertahankan tanah sebagai sumber mata pencaharian serta untuk kelangsungan komunitas mereka. Tak hanya itu, dalam perlawanannya petani Sugapa juga menggandeng LSM yang banyak memberi bantuan bagi masayrakat petani dengan dukungan moral dan pemberdayaan pemikiran. Analisis: Artikel jurnal ini mampu memberikan informasi mengenai corak konflik yang terjadi di Desa Sugapa, Kecamatan Silaen, Kabupaten Tapanuli Utara yaitu konflik antara masyarakat dengan pengusaha swasta mengenai HGU aau HTI. Dalam penelitian ini jelas metode yang digunakan adalah deskriptif dengan studi kasus. Menjelaskan runtutan konflik yang ada. Yang menarik dalam penelitian ini adalah pihak yang berkonflik adalah para ibu-ibu, sedangkan para laki-laki tidak ikut serta. Karena ketika laki-laki ikut serta mengurusi konflik akan dianggap kroni PKI, selain itu di Sugapa juga menganut matrilineal. 1 . Judul Tahun : Faktor Determinan Konflik Agraria di Desa Setrojenar Kecamatan Buluspesantren Kabupaten Kebumen : 2014 5 Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (Edisi): hal Alamat URL/doi Tanggal Unduh : Artikel Jurnal : Elektronik : Said Hidayat Putra, DRS. Turtiantoro, M.Si, Dra. Puji Astuti, M.Si. : : : - : Jurnal Ilmu Pemerintahan : Volume 1 : http://www.ejournals1.undip.ac.id/index.php/jpgs/article/viewFile/6822/6550 : 2 Maret 2015 Ringkasan: Konflik agraria yang terjadi di Desa Setrojenar Kecamatan Buluspesantren Kabupaten Kebumen disebabkan karena adanya perbedaan persepsi antara warga dan TNI AD. TNI mengklaim bahwa lebar area latihan mereka adalah 500 meter dari bibir pantai. Sedangkan warga mengakui lebar area latihan mereka hanya 225 meter yagn dapat dibuktikan dengan adanya patok yang bertuliskan Q222 atau yang sering disebut sebagai PAL Budeg. Faktor penyebab konflik agraria di Desa Setrojenar telah dapat diidentifikasi dari penelitian ini. Pertama, adanya upaya penguasaan lahan oleh warga. Sebelum terjadinya konflik tersebut, warga melihat adanya tanah terlantar yang belum dimanfaatkan untuk pertanian di area kawasan pesisir Desa Setrojenar. Kemudian ditanamlah area tersebut dengan tanaman semangka yang kemudian sampai saat ini menjadi lahan milik warga. Setelah menyadari adanya keuntungan ekonomi dari lahan tersebut maka warga berniat untuk memperluas area penanaman yang berujung pada upaya klaim tanah milik warga. Kedua, konflik laten mulai timbul ketika masalah patok pengaman yang disalahpersepsikan oleh warga sebagai upaya TNI untuk memperluas areal latihan militer. Pada awalnya TNI memasang tanda zona aman pada tanah warga dengan tanda bendera merah yang dikaitkan pada sebuah tiang. Namun pada tahun 1997 bendera tersebut digantikan dengan patok atau PAL Budeg. Atas dasar patok tersebutlah yang membuat warga resah dan mengira bahwa TNI akan memperluas area latihan militer. Ketiga, konflik mulai mencuat saat kepemimpinan Seno sebagai kepala Dislitbang TNI AD yang menerapkan upeti bagi warga yang telah panen dan melalui area latihan militer. Kemudian ditambah lagi saat kepemimpinan Nur Hidayat sebagai Kepala Desa Setrojenar yang mempermasalahkan status tanah di latihan TNI AD. Nur Hidayat bredalih bahwa tanah yang digunakan TNI AD adalah tanah desa dan TNI harus membayar sewa. Pandangan buruk warga terhadap TNI membuat warga menjadi 6 mudah untuk diprovokasi. Maka muncullah suatu gerakkan perjuangan yang dilakukan warga sebagai penolakkan atas tindakan yang dilakukan TNI tersebut. Puncak konflik terjadi pada 16 April 2011 warga tetap dengan aksi blokade-nya sedangkan TNI juga mengeluarkan pasukannya yang telah berjada dari Batalyon 49 Yogyakarta untuk meredam aksi anarkis warga dengan peringatan tembakan dan peluru karet. Seketika itu pula warga membubarkan diri karena ketakutan dengan ancaman tembakan dan peluru karet. Kemudian sejak aksi warga tersebut BPN Provinsi Jawa Tengah menetapkan sertifikat tanah TNI dengan lebar 500 meter serta panjang sekitar 22,5 km. Atas putusan tersebut TNI memasang pagar sebagai pembatas demi upaya keselamatan warga saat ada latihan menembak, tapi warga masih diperbolehkan masuk dan bercocok tanam di sebelah selatan pagar ketika tidak ada kegiatan TNI. Lalu terdapat kesepakatan bahwa warga tidak bisa meminta ganti rugi ketika tanamannya rusak akibat terkena peluru atau mortir dan pihak TNI harus memberikan ganti rugi ketika menimbulkan kerusakan pada lahan pertanian warga yang berada di sebelah utara pagar pembatas. Analisis : Penelitian ini menambah informasi tentang faktor penyebab konflik agraria dari penguasaan tanah sampai kepada faktor kepemimpinan yang kemudian menyebabkan konflik laten sampai manifest. Namun dalam penelitian ini tidak menggunakan acuan teori-teori pendukung. 1 . Judul : Konflik Agraria yang Tak Kunjung Usai Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (Edisi): hal Alamat URL/doi : 2010 : Artikel Jurnal : Elektronik : Poerwanti Hadi Pratiwi : : : - : Jurnal DIMENSIA : Volume 04, No. 02 : http://journal.uny.ac.id/index.php/dimensia/article/viewFile/34 30/2914 7 Tanggal Unduh : 19 Maret 2015 Ringkasan: Konflik yang terjadi di Tawamangu melibatkan masyarakat Tawamangu pemilik tanah persil dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sebagai aktor utamanya. Konflik yang berlangsung sejak tahun 1986 mempermasalahkan tanah persil yang diakui masyarakat Tawamangu sebagai tanah milik perorangan/individu juga diakui oleh negara sebagai HPL (Hak Pengelolaan Lahan). Untuk menghimpun kekuatan, masyarakat membentuk organisasi pemilik tanah persil yang dinamai Himpunan Pemilik Tanah Persol Tawamangu (HPTPT). Masyarakat Tawamangu terus menggencarkan tuntutan atas kepemilikan tanah persil tersebut. Sehingga Pemerintah Provinsi Jawa Tengah memutuskan kebijakan yang didasarkan pada Rapat Paripurna DPRD Jawa Tengah No. 12 Tahun 2007 tentang Penjualan/Pelepasan Tanah Persil Tawamangu. Kebijakan tersebut menyatakan bahwa penduduk harus membayar sebesar Rp. 396.078.841.000,untuk membebaskan tanah seluas 682.220 m². Kebijakan tersebut sontak membuat masyarakat Tawamangu melakukan aksi penolakan. Kebijakan tersebut jelas bersifat politis dan elitis sehingga merugikan masyarakat dan semakin menguntungkan pemerintah. Kebijakan tersebut lantas menimbulkan konflik internal HPTPT, sehingga dalam tubuh HPTPT terbag menjadi dua kubu. Warga asli yang dirugikan kemudian memisahkan diri dan membentuk PWTPTP (Paguyuban Warga Tawamangu Pemilik Tanah Persil). Puncak konflik terjadi ketika masyarakat Tawamangu melancarkan aksi protes terhada Pemerintah dan DPRD Jawa Tengah atas kebijakan tersebut. Aksi protes ditujukan untuk mempertahankan lahan yang telah mereka kuasai sejak lama sebagai tempat pemukiman atau tempat perekonomian yang diambil alih secara paksa oleh negara; mereka menuntut apa yang mereka sebut hak nya yang sedang diambil alih oleh negara; penolakan kompensasi harga pembebasan tanah dengan alasan tanah tersebut adalah tanah rakyat, jadi tak peelu masyarakat Tawamangu membayarkan sejumlah uang. Masyarakat Tawamangu hanya mengakui kewajibannya membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Masyarakat Tawamangu terus menolak kebijakan kompensasi tersebut dengan menghimpun dukungan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), LSM, dan Keraton Mangkunegaraan, Bupati Karanganyar, dan DPRD Karanganyar. Dasar penolakan mereka adalah hukum positif bukti tertulis dan tidak tertulis yang dimiliki masyarakat Tawamangu. Untuk bukti tertulis dibuktikan melalui Pethuk Letter C dan surat-surat keterangan lain yang dikeluarkan oleh pihak kecamatan Tawamangu. Sedangkan untuk syarat tak tertulis dibuktikan melalui sejarah kepemilikan tanah persil yag sudah lama berkembang dalam masyarakat Tawamangu. Pada dasarnya masyarakat Tawamangu pemilik tanah persil menuntut pelepasan tanah tersebut tanpa adanya kompensasi, atau dapat disebut konversi kepemilikan menjadi hak milik penduduk komunitas lokal demi meningkatkan kesejahteraan. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah semestinya dapat bekerja sama dengan penduduk lokal untuk melakukan berbagai upaya renovasi dan menambah fasilitas penunjang objek wisata agar jumlah kunjungan wisata meningkat sehingga dapat meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Selain tiu resolusi konflik juga dapat ditempuh dengan didasari asas keadilan dengan mengedepankan partisipasi masyarakat lokal dalam setiap 8 proses pengambilan keputusan dan memperkecil ketimpangan sosial ekonomi dalam masyarakat. Analisis: Penelitian ini ampu memberikan informasi mengenai konflik yang terjadi pada masyarakat Tawamangu yang berbenturan kepentingang terhadap pemerintah daerah. Memperlihatkan bagaimana keberpihakan negara terhadap komunitas lokal. Namun dalam penelitian ini tidak dijelaskan bagaimana metode yang digunakan. Tujuan dari penelitian ini sudah sangat jelas yaitu menganalisis alasan masyarakat menolak serta resolusi yang pernah dilakukan sampai rencana resolusi yang seharusnya dilakukan. 1 . Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (Edisi): hal Alamat URL/doi Tanggal Unduh : Konflik Nelayan di Jawa Timur: Studi Kasus Perubahan Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Komunitas Perkebun di Lebak, Banten : 2011 : Artikel Jurnal : Elektronik : Luluk Anisa, Arif Satria, dan Rilus A Kinseng : : : - : Jurnal Sodality : Volume 03, No. 01 : http://202.124.205.111/index.php/sodality/article/download/58 70/4535 : 2 Maret 2015 Ringkasan: Nelayan Lokok tergolong nelayanyang berorientasi pemenuhan kebutuhan sendiri dan berorientasi pasar. Jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelakan Lekok antara lain payang jurung, ales, payang oras, jaring insang, jaring kepiting, jaring kelitik, bagan, bubu, dan tongep. Konflik nelayan di Kecamatan Lekok, Pasuruan, Jawa Timur bemula dari kelangkaan sumberdaya di Lekok sehigga membuat nelayan Lekok harus menangkap ikan ke perairan lain. Konflik yag terjadi dapat digolongkan sebagai konflik 9 kelas, konflik usaha dan konflik cara produksi/ alat tangkap. Konflik kelas ditunjukkan oleh kesenjangan teknologi penangkapan ikan yang intensitasnya tergolong sering. Berawal dari penyanderaan kapal nelayan Wates oleh bajak laut yang diduga “orang suruhan” nelayan Watu. Kemudian anggapan nelayan Semedusari yang meyatakan bahwa jaringnya hilang terbawa tongep milik nelayan Jatirejo yang berujung pada penyandraan. Namun nelayan Jatirejo berhasil melarikan diri kemudian menceritakan kejadian penyanderaan tersebut. Nelayan yang memiliki nasib dan kekesalan yang sama sontak melakukan penyerangan pada tanggal 8-9 April 2001 dengan melakukan pembakaran pemukiman nelayan watu dan Medusari. Selain konflik kelas juga terjadi konflik usaha karena kecurangan pengamba atau agen dengan memanipulasi timbangan, harga, dan penipuan grade ikan. Konflik usaha antara nelayan dengan pengamba atau agen tersebut memuncak ketika terjadi pemukulan terhadap pengamba. Kemudian nelayan melakukan tuntutan atas kecurangan pengamba pada 18 April 2000 yang diikuti oleh 200 nelayan lainnya. Kemudian pada akhirnya pengamba tetap menguasai nelayan dengan ancaman pemberhentian supply ikan ke perusahaan. Kemudian yang terakhir konflik cara produksi/alat tangkapyang diawali atas kecemburuan nelayan Kwanyar terhadap nelayan Lekok yang hasil tangkapannya lebih banyak akibat menggunakan tongep. Sedangkan di wilayah perairan Kwanyar tidak diperbolehkan menggunakan alat tagkap tersebut. Kemudian puncaknya nelayan Kwanyar melakukan aksi protes dengan penyanderaan perahu nelayan Lekok. Penanganan konflik telah ditempu dengan mediasi oleh Dinas Perikanan dan Kelautan yang membantu mensosialisasikan hukum dan undang-undang perikanan, polisi perairan untuk melakukan penjagaan wilayah perairan, kyai sebagai mediator, tokoh nelayan sebagai perwakilan yang menyampaikan aspirasi nelayan, juragan pemilik kapal, pengamba atau agen yang terlibat konflik, dan Camat serta Kepala Desa sebagai institusi pemerintah. Analisis: Penelitian ini mampu memberikan informasi mengenai penggolongan konflik, antara lain konflik kelas, konflik usaha serta konflik cara tangkap. Tujuan dan metode penelitian juga jelas yaitu dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Namun dalam analisis atau pembahasan konflik kelas yang dijelaskan tidak memiliki perbedaan dengan konflik cara tangkap yaitu menyangkut masalah penggunaan alat tangkap. Tidak jelas apakah penelitian ini membahas kesejahteraan komunitas pekebun Banten seperti yang tertera pada judul atau menganalisa konflik nelayan Jawa Timur seperti yang ada di pembahasan. 1 . Judul : Konflik Tanah Perkebunan di Indonesia Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis : 2009 : Artikel Jurnal : Elektronik : J. Sembiring 10 Nama Editor Judul Buku Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (Edisi): hal Alamat URL/doi Tanggal Unduh : : : - : Jurnal Hukum : Volume 3, No. 16 : http://law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/3%20J.%2 0Sembiring.pdf : 2 Maret 2015 Ringkasan: Perkebunan memiliki dua sisi yang bertentangan dalam pelaksanaannya. Di satu sisi perkebunan menjadi sumber ekonomi pencetak devisa andalan namun di sisi lain, perkebunan merupakan kantong ketimpangan ekonomi yang seringkali berujung perlawanan. Perlawanan ditimbulkan akibat adanya sengketa yang merupakan perselisihan antara dua pihak atau lebih karena merasa terganggu hak dan penguasaan tanahnya yang dielesaikan melalui musyawarah atau pengadilan. Sebuah konflik akan berkembang menjadi sengketa apabila tidak dapat diselesaikan. Perkebunan mulai berkembang pesat sejak diberlakukannya Agrarische Wet dan Agrarische Besluit.dua ketetuan tersebut menguntungkan kaum liberal yang ingin melakukan ekspansi perkebunan di Indonesia. Pada masa Orde Baru, konflik tanah perkebunan menyusut. Sedangkan masa Reformasi, intensitas konflik meningkat tajam seiring dengan pernyataan Gus Dur bahwa para P.T. Perkebunan sepatutnya mengembalikan 40 persen tanah kepada rakyat yang diambil tanpa dibayar. Ketika diberlakukan Otonomi Daerah, babak baru konflik telah dimulai. Konflik terselubung mulai timbul yang ditunjukkan dengan adanya permintaan dari beberapa daerah agar pihak perkebunan melepaskan sebagian areal HGU-nya untuk kepentingan daerah dengan BUMD, kawasan konservasi dan lain sebagainya. Pasca kemerdekaan telah menuntuk konflik menjadi semakin kompleks berikut subjek yang terlibat. Rentang 1950-1965 menunjukkan keterlibatan partai-partai politik dalam konflik tanah perkebunan ikut meramaikan konflik yang ada. Konflik sudah tidak lagi menyebut masyarakat dengan pengusaha, tapi juga menyebut masyarakat dengan penguasa bahkan antara penguasa dengan pengusaha. Objek dari konflik tersebut adalah tanah-tanah perkebunan yang ditelantarkan; tanahhak, baik yang telah berstatus HGU, tanah adat dan hak perseorangan; tanah negara; tumpang tindih hak, antara kehutanan/pertambangan dengan perkebunan dan juga antara HM dengan HGU. Penyebab konflik dapat disimpulkan bahwa rakyat menggarap tanah perkebunan tanpa dasar hukum yang jelas. Hal tersebut diperkuat dengan sistem perolehan hak secara tradisional mengenai perolehan hak milik karena occupatio. Berdasarkan konsep hukum 11 adat yang ipso facto, maka masyarakat yang menduduki areal perkebunan mempunyai hak untuk memperoleh tanah tersebut. Selain itu, dilihat dari perkembangan perkebunan di Indonesia menceritakan bahwa pemerintah memberika hak okupasi terhadap para okupan. Upaya tuntutan yang pernah diajukan masyarakat berupa gerakan protes dan pemberontakan dengan cara okupasi dan perusakan aset perkebunan. Kemudian mengangkat konflik pada tataran nasional dengan melibatkan LSM, parpol, pihak eksekutif dan juga legislatif di daerah masing-masing. Sedangkan upaya peyelesaian yang pernah ditempuh dilakukan baik secara represif maupun dengan memperbarui kontrak untuk melindungi hak rakyat. Namun, jika ditinjau pada era kemerdekaan upaya penyelesaian lebih kepada usaha non-litigasi, meskipun upaya represif telah dilakukan. Saat ini upaya penyelesaian melalui arbitrase yang berfungsi meredam konflik karena perbedaan dan ekspetasi antara pemegang hak atas tanah dan pihak lain yang memerlukan tanah yang berkaitan dengan penghargaan terhadap tanah tersebut. Analisis: Penelitian ini mampu memberikan informasi mengenai perkembangan konflik di Indonesia serta penyebab dan upaya penyelesaiannya. Namun dalam penelitian tersebut tidak jelas metode yang digunakan serta tujuannya juga tidak jelas. Tidak jelas pada unit analisa apa penelitian ini dilakukan. Serta acuan menganalisa perkebunan Indonesia seperti yang tertera pada judul tidak sesuai dengan pembahasan, karena lebih membahas perkembangan konflik Sumatra dan Jawa. 1 . Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (Edisi): hal Alamat : Kontestasi, Konflik dan Mekanisme Akses Atas Sumber Daya Agraria : 2011 : Artikel Jurnal : Elektronik : Mustapit : : : - : Jurnal Sosial Ekonomi Politik : Volume 05, No. 01 : http://jurnal.unej.ac.id/index.php/JSEP/article/download/382/2 12 URL/doi Tanggal Unduh 40 : 20 Maret 2015 Ringkasan: Sejak awal adanya pembukaan hutan yang dalam penelitian ini disebut Desa Sidomulyo juga pada daerah-daerah lain di Indonesia yang merupakan desa pinggiran hutan, sangat kental dengan perebutan penguasaan lahan atau klaim yang beraneka ragam. Masyarakat Sidomulyo yang sangat bergantung pada hutan untuk kepentingan ekologis, ekonomi, sosial, dan budaya mulai terusik dengan adanya penetapan hutan yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka menjadi hutan lindung. Hal tersebut menyebabkan ditutupnya akses masyarakat atas hutan yang kemudian berimplikasi pada gerakan sosial rekaliming untuk dijadikan kebun kopi rakyat terhadap kawasan hutan lindung yang selama ini di bawah pengelolaan Perhutani. Konflik ini muncul karena pertentangan kepentingan untuk mengelola hutan lindung tersebut dimana petani kopi rakyat untuk memenuhi kebutuan sosial, ekomoni, budaya dan ekologi sedangkan tujuan Perhutani yang seharusnya berorientasi kepentingan sosial dan ekonomi justru lebih condong kepada tujuan ekonomi dari hutan lindung tersebut tanpa memperhatikan aspek sosial yang ada di dalamnya. Petani kopi rakyat yang mendapat keuntungan dari hutan memberikan inisiatif “cukai” kepada Perhutani. Kemudian “cukai” ini diartikan berbeda oleh Perhutani, sehingga Perhutani menganggap ada keuntungan yang sangat menggiurkan dari hutan tersebut. Maka Perhutani membentuk LMHD (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) untuk mengakomodasi setoran “cukai”. Namun “cukai” tersebut ternyata menyulut konflik diantara petani kopi rakyat karena besaran “cukai” tidak desepakati bersama petani secara keseluruhan dan dianggap terlalu besar. Interaksi masyarakat Sidomulyo atas reklaiming tersebut terwujud dalam dua bentuk relasi kuasa agraria yaitu relasi teknis antar aktor utama (petani kopi rakyat dan Perhutani)dengan objek agraria (hutan lindung), kemudian relasi sosial antara pihak yang terkait langsung ataupun tak langsung (pegusaha, pemerintah). Dalam hubungan teknis, petani kopi rakyat menjadi sentral terkait reklaiming tersebut. Dimana petani yang mengaku kepemilikan atas hutan dengan aturan adat, Perhutani dengan hukum legal formal nya, kemudian relasi petani dengan pedagang atau eksportir untuk memasarkan hasil panennya (kopi). Hubungan petani dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan hanya sebatas tekis budidaya dan peningkatan kualitas kopi, ketika dimintai pendapat dan tindak lanjut atas masalah yang dihadapi rakyatnya, Dinas Kehutanan dan Perkebunan mengaku tidak bisa ikut campur karena itu adalah kuasa dari pemerintah pusat. Masyarakat Sidomulyo memiliki alasan yang kuat atas reklaimnya terhadap hutan lindung tersebut. Mereka menganggap kekayaan sumberdaya alam harus dimanfaatkan demi kemakmuran rakyat. Ketika mereka bekerja menjadi mandor di bawah perhutani, hasilnya tak dapat mencukupi kebutuhan hidup dibanding dengan membuka hutan dan menanam kopi. Namun, konflik yang terjadi antara petani kopi rakyat dengan Perhutani yang notabene nya tinggal dalam satu desa tidak sampai pada konflik terbuka. Mereka masih menjaga kehormatan masing-masing pihak dengan hidup harmoni. Konflik tersebut mengalami de-eskalasi (penurunan) ketika muncul perubahan sosial, interaksi para pihak yang berkonflik, peranan pihak ketiga, lembaga pendidikan dan media. Muncul paguyuban 13 petani kopi rakyat sebagai wadah memperjuangkan kepentingan mereka dan LMDH sebagai akomodasi dari pihak Perhutani merupakan suatu bukti bahwa pihak-pihak yang berkonflik sudah mengarah pada negosiasi untuk konsensus bersama. Analisis: Penelitian ini memberikan informasi mengenai konflik yang melibatkan petani kopi rakyat dengan Perhutani yang memperebutkan hutan lindung. Tumpang tindih kepentingan antar pihak yang menyebabkan konflik ternyata dapat diredam dengan adanya upaya-upaya konsensus. Tujuan dari penelitian ini jelas yaitu mengkaji mekanisme para pihak yag terlibat reklaiming dalam memelihara keuntungan dari hutan lindung. Unti analisa dan metode yang digunakan juga jelas yaitu pada tataran masyarakat Sidomulyo dengan menggunakan metode kualitatif. 1 . Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Nama Penerbi t Nama Jurnal Volum e (Edisi): hal Alamat URL/d oi Tangga l Unduh Rangkuman: : Revitalisasi Kebijakan Agraria guna Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat dalam Rangka Ketahanan Nasional : 2012 : Artikel Jurnal : Elektronik : LemHanNas : : : - : Jurnal Politik : 14:20-30 : http://www.lemhannas.go.id/portal/images/stories/humas/jurnal/jurnal_ politik.pdf : 2 Maret 2015 14 Tanah merupakan sumberdaya strategis yang mengarahkan manusia untuk menempatkan tanah dan penguasaannya yang pada akhirnya dapat menimbulkan konflik, mulai dari sesama masyarakat, antara pelaku bisnis dan masyarakat, ataupun antara masyarakat dengan pemerintah. Konflik yang terjadi biasanya ditimbulkan karena buruknya intergritas aparatur dalam tata kelola pertanahan dan kepastian hukum yang lemah. Umumnya konflik disebabkan karna masih digunakannya pendekatan kekerasan dalam penyelesaian konflik sementara di sisi lain terdapat perlawanan rakyat yang semakin kuat, tidak adanya kebijakan yang jelas dari pemerintah dalam menangani konflik agraria, pola kebijakan agraria yang tidak mengalami perubahan dan tidak memperhatikan kondisi rakyat yang tidak memiliki tanah, kemudian yang terakhir, reforma agraria tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tercatat sebanyak 163 konflik muncul sepanjang tahun 2011 di Indonesia. Tanah di Indonesia pada awalnya dikuasai oleh masyarakat adat yang kemudian berpindah kepemilikan kepada individu ataupun badan usaha. Faktanya, masih banyak tuan tanah yang menerapkan praktek kepemilikan liberal dimana siapapun dapat menguasai “asal punya uang dan mampu”. Tercatat sebanyak 163 konflik muncul sepanjang tahun 2011 di Indonesia. KPA menunjukkan data bahwa terdapat lebih dari 25 juta hektar hutan dikuasai HPH, 8 juta hektar dikuasai HTI dan 12 juta hektar dikuasai perkebunan sawit besar. Melihat dari masalah yang telah dijelaskan diatas maka pengelolaan sumderdaya agraria harus dilaksanakan melalui enam kegiatan yaitu: (1) penatagunaan tanah (2) pengaturan penguasaan tanah (3) pendataan bidang tanah (4) pemberian hak atas tanah (5) pendaftaran hak atas tanah dan peralihannya (6) penyelesaian sengketa pertanahan. Hal tersebut dapat ditunjau melalui analisis Astagatra (Aspek-aspek: Geografi, Demografi, Sumber Kekayaan Alam, Ideologi, Politik, Sosial Budaya, Pertahanan dan Keamanan). Langkah-langkah strategis yang dapat diambil untuk penyelesaian konflik agraria adalah mewujudkan percepatan reforma agraria secara konsisten dan konsekuen yang berlandaskan pada prinsip dasar UUPA Tahun 1960, melakukan transformasi kelembagaan yang berkaitan dengan tata kelola pemerintahan khususnya bidang pertanahan, serta meningkatkan kompetisi publik dan kesadaran hukum untuk berperan aktif dalam penyelesaian konflik agraria. Analisis: Jurnal tersebut dapat memberikan informasi mengenai faktor penyebab konflik agraria yang disebabkan dari kurangnya integritas pihak pemerintah maupun masyarakat serta solusi penyelesaiannya. Selain itu, jurnal tersebut juga mengangkat masalah yang jelas yaitu bagaimana solusi dari konflik agraria yang notabene nya menggunakan tindak kekerasan. 1 . Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama : Penguasaan Tanah Masyarakat Hukum Adat (Suatu Kajian terhadap Masyarakat Hukum Adat Ternate) : 2011 : Artikel Jurnal : Elektronik : Husen Alting 15 Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (Edisi): hal Alamat URL/doi Tanggal Unduh : : : - : Jurnal Dinamika Hukum : Volume 11, No. 01 : http://www.dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/art icle/viewFile/75/32 : 2 Maret 2015 Ringkasan : Sebelum datangnya para penjajah, pola penguasaan tanah di masyarakat hukum adat Ternate dikuasai oleh soanang/momole (penguasa adat). Kemudian ketika Ternate beralih menjadi kerajaan, hak penguasaan tanah juga beralih kepada sultan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sesuai hierarki hak yang berlaku dalam hukum adat. Masyarakat adat Ternate telah lama menganal adat kebiasaan yang mengatur kehidupan termasuk penguasaan tanah dan pengelolaannya. Mereka mengenal sistem penguasaan tanah yang bersifat tetap dalam bentuk hak sultan (aha kolano) yang dimiliki sultan dan tidak dipungut pajak dari hasil tanah tersebut, hak soa (aha soa) tanah yang diberikan sultan kepada warga dan tidak boleh diperjual belikan, dan hak cocatu (aha cocatu) tanah yang diberikan sultan untuk individu dengan sistem bagi hasil. Sedangkan bentuk penguasaan tanah sementara seperti hak tolagami (hak buka lahan), hak safa (hak penandah tanah), hak rububanga (bongkar hutan) dan hak jurame (kebun yang telah ditinggalkan). Namun, pola penguasaan tanah tersebut semakin terpinggirkan oleh politik hukum pertanahan yang tidak tegas melakukan peraturan dan perlindungan terhadap masyarakat adat yang diperkuat dengan perkembangan masyarakat yang cenderung meninggalkan Adat Se Atorang (perilaku sesuai adat istiadat). Akibatnya terjadi perebutan lahan baik oleh pemerintah, penguasa, maupun antar masyarakat. Ketika masa penjajahan, peguasaan atas sumber daya jatuh ke tangan penjajah (Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris dan Jepang) masyarakat diwajibkan menyerahkan seluruh hasil bumi dengan imbalan yang murah. Saat kekuasaan Spenyol, wilayah Ternate dibagi menjadi dua, yaitu sebelah utara diuasai dengan hukm adat, sedangkan sebelah selatan hukum barat (Spanyol). Untuk memberikan perlawanan terhadap Spanyol, Sultan Ternate melakukan kerja sama dengan Belanda. Namun, bukannya mendapat perlindungan tapi kekuasaan juga berpindah ke tangan Belanda. Saat VOC berkuasa (1902-1799), politik hukum pertanahan tidak memperdulikan hak tanah rayat termasuk hak masyarakat hukum adat, pengaturan, pemilikan dan penguasaan tanah diatur dengan hukum barat. 16 Melalui politik pemerintahan, hak masyarakat hukum adat semakin terpinggirkan dengan desakan kebijakan pemerintah yang hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi semata. Bahkan pada sisi lain, keberadaan masyarakat hukum adat ditakuti sebagai ancaman peradaban demokrasi dan sistem politik modern. Saat ini, penundukkan hukum adat terhadap hukum negara tengah berlangsung. Dimana berlakunya hukum adat harus sejalan dengan peraturan perundangan negara. Melalui kriteria dan fakta atas keberadaannya masyarakat hukum adat Ternate memiliki ciri seperti adanya sumberdaya alam yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat; dimiliki atau dikuasai oleh sekelompok orang atau individu; dikerjakan secara tetap maupun berpindah; masih ada di lokasi tersebut secara turun temurun; mempunyai tanda-tanda fisik berupa sawah, ladang, hutan, dan simbol-simbol berupa makam, patung, rumah-rumah adat dan bahasa daerah; terdata istitusi adat yang mengatur penggunaan dan pemafaatan; memiliki norma yang disepakati bersama masyarakat; kemudian yang terakhir mempunyai bukti secara tertulis, maupun melalui pengakuan oleh masyarakat. Analisis: Penelitian ini mampu memberikan informasi mengenai penguasaan pada masyarakat hukum adat Ternate. Namun pada penelitian ini belum jelas metode yang dilakukan dalam menganalisis penguasaan tanah pada masyarakat hukum adat Ternate. 1 . Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (Edisi): hal Alamat URL/doi : Proses Transformasi Agraria dan Konflik Sumberdaya Alam di Daerah Pedalaman: Studi Kasus di Kecamatan Long Bagun, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur : 2013 : Artikel Jurnal : Elektronik : Eddy Mangopo Angi, C.B.Wiati : : : - : Jurnal Hutan Tropis : Volume 01, No. 02 : http://ejournal.unlam.ac.id/index.php/jht/article/download/762 /704 17 Tanggal Unduh : 20 Maret 2015 Ringkasan: Kecamatan Long Bagon menganut apa yang disebut dengan “tana’Peraaq” atau yang mereka sebut dengan “Tana Mawa” yang bermakna tanah kesayangan. Begitu mereka memaknai tanah sebagai suatu yang sangat penting bagi kehidupannya. “Tana’Peraaq” dapat dikatakan sebagai tanah komunal karena dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum dan tidak boleh diperjual belikan. Pada dasarnya mereka mengelola lahan dengan membuka hutan yang kemudian digunakan untuk berladang. Lahan yang awalnya komunal tapi kini karena populasi meningkat maka lahan-lahan tersebut dibagikan kepada masing-masing Kepala Keluarga (KK). Tanah-tanah tersebut umumnya merupakan tanah warisan, namun ada juga yang sifatnya dipinjamkan sementara. Disitulah keuntungan dapat dirasakan oleh petani yang tidak bertanah. Namun, ketika beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit dan tambang batu bara masuk, beberapa masyarakat Long Bagon merasa harus memiliki lahan sepenuhnya dari lahan yang tadinya dipinjamkan oleh petani lain untuk bekerjasama dengan perusahaan dan mendapatkan untung yang lebih besar. Sementara petani yang tanah pinjamannya diambil oleh pemiliknya tidak berdaya, apalagi ketika tanah yang digarapnya sudah siap panen dan ternyata diambil kembali oleh pemilik aslinya. Dari situlah konflik kepentingan antar masyarakat muncul. Di Long Bagon terdapat ijin usaha yang disebut IUKhM (Ijin Usaha Kehutanan Masyarakat) merupakan program pemerintah Kabupaten Kutai Barat untuk mensejahterakan masyarakat sekitar hutan. Dalam pengelolaannya, program ini menggandeng perusahaan yang akan mengeksploitasi hutan dengan memberikan fee kepada masyarakat sebagai gantinya. Pemerintah Kabupaten Kutai Barat pernah meneluarkan izin berupa IUPHHK-HA dan HPHH. Dari beberapa izin yang dikeluarkan pemerintah, teradapat permasalahan yang timbul yaitu tumpang tindih lahan antara IUKhM dengan perkebunan kelapa sawit; perebutan lahan antara pengelola oleh masyarakat dengan izin tambang atau perkebunan kelapa sawit; konflik batas kampung. Konflik batas kampung berawal saat kepala kampung secara sepihak memberikan izin kepada PT.TBA untuk dijadikan areal pembibitan kelapa sawit dengan kompensasi air bersih tanpa persetujuan kepala kampung lain. PT. Tunas Bersusun Abadi (PT.TBA) merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit pertama yang masuk ke kampung Long Melaham (bagian dari kecamatan Log Bagun). Konflik semakin memanas ketika lapangan PT.TBA melakukan penggusuran perkebunan karet untuk areal pembibitan yang awalnya 3 ha menjadi 5 ha tanpa kompensasi apapun bagi masyarakat. konflik tersebut dirasa tidak dapat diselesaikan karena saat ini sudah tidak ada lagi saksi hidup maupun dokumen sebagai bukti mengenai batas antar kampung. Analisis: Penelitian ini memberikan informasi mengenai sejarah terjadinya konflik sumber daya alam di Long Bagun yang melibatkan multistakeholder. Metode yang digunakan cukup jelas, namun unit analisa nya belum mengerucut. Masih belum jelas pada tataran apa mengkaji konflik tersebut. Penjelasan dalam penelitian ini seperti tata kelola dan tata kuasa tidak ringkas. Tidak jelas alur untuk mengarahkan pembaca. 18 1 . Judul : Reforma Agraria dan Aliansi Kelas Pekerja di Indonesia Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (Edisi): hal Alamat URL/doi Tanggal Unduh : 2013 : Artikel Jurnal : Elektronik : Emilianus Yakob Sese Tolo : : : Yogyakarta : Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik : Volume 16, No. 03 : http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/ 298 : 20 Maret 2015 Ringkasan: Pada artikel Reforma Agrari dan Aliansi Kelas Pekerja di Indonesia menjelaskan bagaimana reforma agraria terbentuk sampai kepada fakta-fakta empiris mengenai dasar direkmendasikannya reforma agraria dan upaya-upaya yan dapat ditempuh. Implementasi reforma agraria didukung oleh UU No. 13/1946 yang memberikan hak istimewa kepada elit desa mengenai kepemilikan tanah dan hak kepemimpinannya dicabut. Tanah yang telah diambil laih tersebut kemudian diberikan kepada petani penggarap yang sebelumnya bagi hasil dari 5:5 menjadi 6:4. Namun pemerintah tetap memberikan kompensasi bulanan seumur hidup bagi mereka yang kehilangan tanah. Pada tahun 1951, pemerintah membentuk Panitia Jakarta yang menghasilkan tiga usulan penting yaitu perlu adanya penetapan batas luas maksimum dan minimum; yang dapat memiliki tanah untuk usaha tani kecil hanya warga Indonesia; pengakuan atas kuasa kepemilikan tanah rakyat. PKI merupakan penggerak organisasi pedesaan berhaluan kiri seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), Serikat Buruh Kehutanan Indonesia (SABUKSI) didukung kuat oleh pemerintah karena dianggap sejalan dengan visi misi reforma agraria. Namun perjuangan tersebut menjadi hal yang tabu ketika PKI disingkirkan oleh negara pada saat Orde Baru. Pemerintahan saat itu mempunyai kebijakan yang sangat bertentangan dengan UUPA dengan memihak pada stabilitas nasional yang mengandalkan investasi asing. Pada Repelita I (1969-1974), pemrintah melakukan revolusi hijau yang 19 berimplikasi pada naiknya harga tanah yang kemudian menimbulkan masalah baru yaitu banyak petani yang kehilangan pkerjaan akibat intervensi teknologi; nilai jual tanah menjadi lebih tinggi. Ketika Orde Baru lengser, isu reforma agraria kembali memuncak. Tahun 2001, pemerintah menerbitkan Tap. MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang bertujuan mengurangi ketimpanan dan menyelesaikan konflik agraria. Namun faktanya, kemauan politik yang telah direncanakan tidak bisa diimplementasikan. Terbukti dengan adanya UU No. 2/2012 dan Perpres. No. 71/2012 yang disinyalir sebagai penentang reforma agraria dengan memuluskan proses pembebasan tanah atas nama pembangunan dan kepentingan umum. Dari situlah konflik agraria kembali memuncak. Reforma agraria dianggap pembatas pembangunan. Oleh sebab itulah reforma agraria tidak dapat dikatakan sebagai sumber pembangunan dan kesejahteraan. Reforma agraria perlu diikuri dengan reforma lain seperti jaminan hukum dan tersedianya kredit jasa. Dari hasil studi terdahulu telah dapat dibuktikan bahwa kepemilikan tanah jelas berdampak positif terhadap pembangunan ekonomi dan mendorong para petani untuk mengolah tanahnya lebih baik. Ketiak petani tidak mempunyai lahan garapanakibat land grabbing yang diikuti oleh mengeskalasinya konflik agraria, banyak petani yang melakukan urbanisasi untuk menjual tenaganya menjadi buruh demi kehidupan yang lebih baik. Hal tersebut jelas berimplikasi pada buruh kota yang sama-sama mencari pekerjaan yang layak. Berlimpahnya tenaga di kota akibat urbanisasi membawa dua implikasi yaitu seperti yang kita ketahui pertumbuhan ekonom kota tidak selalu dapat menampung tenaga yang ada sehingga mengakibatkan gaji rendah bahkan sampai pengangguran. Selain itu, karena berlimpahnya tenaga di kota menyebabkan posisi tawar buruh yang rendah dengan adanya sistem outsourcing yang dapat memberhentikan buruh sewaktu-waktu tanpa jaminan. Hal tersebutlah yang menjadi titik berat dari pentingnya menyatukan gerakan buruh dan petani. Namun hal ini menjadi sulit ketika adanya fragmentasi atas tujuan, komunikasi, ambisi, dan ego serikat. Oleh karena itu, reforma agraria sangatlah penting karena membawa keuntungan ganda yaitu petani yang telah memiliki lahan dapat memaksimalkan produktivitasnya juga kepada buruh karena mengurangi tenaga kerja di kota sehinga mereka bisa memiliki posisi tawar yang tinggi berhadapan dengan outsourcing dan gaji murah. Analisis: Jurnal ini memberikan informasi bagaimana kaitan antara pentingnya reforma agraria dengan aliansi kaum pekerja yaitu buruh dan petani. Dimana ketika petani memiliki lahan dan dapat meningkatkan produktifitasnya, kemudian buruh tidak lagi berebut lapangan pekerjaan akibat adanya urbanisasi sehingga dapat melawan outsourcing dan gaji rendah. Tujuan dari artikel ini jelas yaitu ingin mencari hubungan reforma agraria dengan aliansi kelas pekerja. Namun tidak dijelaskan apa metode yang digunakan dalam jurnal ini. Kemudian unit analisisnya tidak jelas. 20 RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN Ruang Lingkup Agraria Indonesia merupakan negara agraris yang mendukung bahwa kebutuhan masyarakat Indonesia atas tanah merupakan hal yang penting. namun dalam pengertiannya di tengah masyarakat, agraris hanya sebatas tanah pertanian yang dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Agraria tak hanya meliputi pertanahan ataupun pertanian saja melainkan juga mencakup air, udara dan segala kandungan di dalamnya. Sedangkan agraria juga dipahami sebagai ruang hidup bagi manusia, tetumbuhan, hewan, dan kehidupan ekologi itu sendiri, serta hubungan yang terjalin antara makhluk hidup tersebut (Luthfi, Razif dan Fauzi, [tidak ada tahun]). Lahan dan Fungsi Utama Lahan Definisi lahan menurut (Sadikin, 2009) adalah keterkaitan dengan tanah. Menurut Utomo (Sadikin, 2009), lahan memiliki ciri-ciri yang unik dibandingkan sumberdaya lainnya, yakni lahan merupakan sumberdaya yang tidak habis, namun jumlahnya tetap dan dengan lokasi yang tidak dapat dipindahkan2. Lahan sebagai modal alami utama yangmelandasi kegiatan kehidupan memiliki dua fungsi dasar, yaitu3 Fungsi kegiatan budidaya, yang memiliki makna suatu kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan, seperti pemukiman, baik sebagai kawasan perkotaan maupun pedesaan, perkebunan, hutan produksi dan lain-lain. Fungsi lindung, bermakna bahwa kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utamanya untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang ada, yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa yang bisa menunjang pemanfaatan budidaya. Ketimpangan Peruntukan dan Penggunaan Tanah Rezim Orde Baru mempetieskan Undang-undang No. 5 Tahun 1960 atau dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), sehingga mengakibatkan struktur penguasaan dan pemilikan tanah yang timpang4. Hal tersebut didukung oleh Sichmen Pandiangan dalam penelitiannya terhadap konflik yang melibatkan petani Tapanuli Utara (Sugapa) dengan PT Indorayon Utama atas sengketa tanah akibat HGU dan PIR 5. Penguasaan tanah menurut (Luthfi, Razif dan Fauzi, [tidak ada tahun]) pada masa Orde Baru mempunyai keunikan yaitu para pemiliknya mengumpulkan dengan cara membeli. Contohnya, di salah satu kabupaten Jawa Tengah terdapat tiga orang yang memiliki tanah seluas 90 hektare dengan cara membeli. Tetapi, penguasaan tanah itu tidak diikuti dengan usaha tani yang luas. Ini berarti, penguasaan tanah luas banyak yang disewakan atau bagi hasil dengan buruh tani yang tak bertanah. 2 Sadikin IM. 2009. Analisis Dampak Konversi Lahan Pertanian terhadap Produksi Padi dan Land Rent. [Skripsi]. Bogor [ID]: Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Petanian Bogor. 119 hal. 3 Ibid. hal 25 4 Luthfi AN, Razif, Fauzi M. tidak ada tahun. Kronik Agraria Indonesia, Memperluas Imajinasi Lintas Zaman, Sektor dan Aktor. Bogor [ID]. 79 hal 21 Ketidaksesuaian dan kompetisi dalam peruntukan dan penggunaan tanah tidak hanya terjadi antar sektor, tapi juga antara instansi pemerintah dan rakyat, yang seringkali menimbulkan sengketa dan konflik agraria yang berkepanjangan. Salah satu bentuk dari kompetisi penggunaan tanah adalah masalah perubahan fungsi tanah yang berkembang dengan sangat cepat, sebagai akibat dari pembangunan yang bersifat sektoral. Terutama alih fungsi dari tanah pertanian ke non-pertanian berlangsung dengan tingkat kecepatan yang sangat tinggi. Menurut (Lucas dan Purwanto 2009) salah satu bentuk hubungan sosial yang penting diperhatikan adalah kaitan antara penggunaan lahan itu dengan kepentingan investasi. Proses komersialisasi di segala bidang sebagai akibat pembangunan tidak bisa dielakkan. Akibatnya, sebagian petani tersingkir dari kepemilikan tanahnya, dan dengan demikian juga buruhtani tersingkir dari pekerjaan di sektor pertanian. Dampak yang diakibatkan oleh perubahan orientasi pembangunan pada masa Orde Baru muncul fakta-fakta mengenai berbagai ketidakserasian atau ketipangan (incompatibilities) di bidang agraria6. Sedikitnya ada empat bentuk ketidakserasian atau ketimpangan agraria yang dapat diidentifikasi menurut (Lucas dan Purwanto 2009) yaitu: Ketimpangan dalam hal penguasaan sumber-sumber agrarian Ketidakserasan dalam hal “peruntukan” sumber-sumber agraria, khususnya tanah Ketidakserasianantara persepsi dan konsepsi menganai agrarian Hukum Pertanahan Tak dapat dipungkiri hukum-hukum agraria yang berlaku di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh hukum agraria saat pemerintah jajahan Belanda. Supriadi dalam bukunya Hukum Agraria menyebutkan hukum-hukum agraria yang berkembang di Indonesia7 yaitu: Agrarische Wet 1870 Hukum tanah ini dibuat tahun 1870 dan diundangkan dalam S1870-55 tahun 1870 sebagai tambahanayat-ayat baru pada Pasa 62 Regeling Reglement8 Hindia Belanda Tahun 1845. Diberlakukannya Agrarische Wet adalah untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta untuk dapat berkembang di Hindia Belanda. Bentuk hak yang diberikan pemerintah Belanda adalah hak erpacht9. Agrarische Besluit Merupakan peraturan lebih lanjut dari Agrarische Wet yang diundangkan dalam S. 1970-118. Dalam Pasal 1 Agrarische Besluit tersebut dimuat sebuah pernyataan asas yang sangat penting bagi perkembangandan pelaksanaan Hukum Tanah Administratif Hindia Belanda. Asas tersebut dinilai kurang menghargai, bahkan emerkosa hak-hak rakyat atas tanah yag bersumber pada hukum adat. Dalam ketentuan adas tersebut dinyatakan bahwa “...semua tanah yang pihak lain tidak 6 7 Lucas A, Purwanto B. 2009. Seluk beluk masalah agraria reforma agraria dan penelitian agraria. Yogyakarta [ID]: STPN Press dan Sajogyo Institute. 258 hal. Supriadi. 2007. Hukum Agraria. Jakarta [ID]: Sinar Grafika. Hal 47-50 Regering Reglement semula terdiri atas tiga ayat, kemudian ditambahdengan lima ayat 9 Hak erpacht adalah hak kebendaan yang memberikan kewenangan yang paling luas kepada pemegang haknya untuk menikmati sepenuhnya akan keguaan tanah kepunyaan pihak lain. 8 22 dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein (milik) negara. Ketentuan tersebut sering disebut sebagai Domein Verklaring. Apabila dicermati lebih lanjut, hak milik ini merugikan kepentingan pemilik tanah. Sebab tolak ukur yang dipakai adalah tolak ukur yang bertumpu pada pembuktian tertulis. Sementara pada waktu itu (zaman penjajahan Belanda) hampir dipastikan semua masyarakat tidak memiliki surat pembuktian hak milik dalam bentuk sertifikat tanah, kecuali orang-orang tertentu, misalnya kaum bangsawan karena memiliki kedekatan dengan pemerintah jajahan tersebut. Konflik dan Konflik Agraria Konflik dapat mengakar pada setiap komponen kehidupan masyarakat. Munurut (Lucas dan Purwanto, 2009) konflik adalah suatu situasi proses, yaitu proses interaksi antara dua atau lebih individu atau kelompok dalam memperebutkan objek yang sama demi kepentingannya. Menurut Gunawan Wiradi konflik dapat terjadi ketika satu individu atau dua individu dan kelompok saling berebut sebuah objek. Pada kasus konflik atau sengketa agraria, objek yang dimaksud adalah tanah dan benda-benda lain yang terkait dengan tanah seperti air, tambang, tanaman, dan juga udara yang bersangkutan. Konflik agraria menceriminkan keadaan dimana tidak terpenuhinya keadilan bagi kelompok masyarakat yang mengantungkan hidupnya pada sektor agraria yang harus bersaing dengan pemilik modal yang kuat yang kemudian diperparah dengan dukungan negara yang mengekploitasi sumberdaya alam demi kepentingan ekonomi semata (Rokhmad, 2008). Hal tersebut diperkuat oleh pendapat (Satria, 2002) dalam teori transformasi konflik yaitu konflik muncul akibat ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalh-masalah sosial, budaya, dan ekonomi. Pendapat lain muncul dari (Luthfi, Razif dan Fauzi, [tidak ada tahun]) bahwa konflik agraria dimulai sejak Undang-undang Agraria tahun 1970 terbit. Contohnya antara lain pemberontakan petani di perkebunan karet Ciamis pada 1905 dan kasus Gempolsewu di Kendal 1920an, kemudian disusul pemberontakan petani di Sumatera Timur, Sulawesi Selatan, Minahasa dan Blitar. Seluruh konflik itu bersumber dari lahirnya hak erpacht (sekarang hak guna usaha, HGU) yang memberi jalan bagi kelahiran perkebunan-perkebunan besar dan penggusuran tanah pertanian rakyat10. Bila dipertanyakan apa sebab timbulnya konflik belum ada yang mampu memberikan cukup penghasilan kepada buruh tani dan peduduk daerah di luar sektor pertanian. Konflik agraria didalamnya terdapai keterhubungan antara hukum, ekonomi, politik, sosial, budaya bahkan juga agama yang membuat konflik tersebut menjadi semakin komples untuk dicari pemecahannya11. Jantung dari konflik agraria (the heart of agrarian conflict) adalah masalah-masalah tanah yang kian marak terjadi di masyarakat12. Menurut Noer Fauzi, sengketa agraria yang terjadi pada masa Orde Baru dapat dibedakan menjadi tiga kategori:13 Pertama, perusahaan perkebunan mengambil alih tanah-tanah yang sebelumnya dikuasai oleh rakyat. Investasi perkebunan membutuhkan tanah sebagai modal utamanya. Hal demikian diperkuat dengan penelitian Sichmen Pandiangan yang menjelaskan konflik yang melibatkan petani Tapanuli Utara (Sugapa) dengan PT Inti Indorayon Utama yang menunjukkan pengambil alihan tanah yang sebelumnya dikuasai petani Sugapa guna 10 Luthfi AN, Razif, Fauzi M. tidak ada tahun. Kronik Agraria Indonesia, Memperluas Imajinasi Lintas Zaman, Sektor dan Aktor. Bogor [ID]. 79 hal. 11 Rokhmad A. 2008. Paradigma Resolusi Konflik Agraria. Semarang [ID]: Walisongo Press. 190 hal. 12 Ibid., hal 2 13 Fauzi N. 1999. Petani dan Penguasa. Yogyakarta [ID]: 316 hal. 23 menginvestasikan tanah sebagai modal. Fakta menunjukkan bahwa tanah-tanah di Jawa, kecuali lahan hutan, hampir tidak ada lahan kosong yang terlantar. Tanah-tanah negara tidak ada eks perkebunan Belanda (hak erpacht) maupun tanah-tanah negara tidak ada yang tersisia. Masalah-masalah utama yang muncul, antara lain adalah; (i) penolakan petani atas pencerabutan hubungannya dengan tanah; (ii) ganti rugi untuk petani yang tidak memadai; (iii) ploretarisasi petani kaena hilangnya hubungan dengan tanah; (iv) pemukiman kembali (resetlement) petani yang tergusur dari tanahnya14. Kedua, konflik tanah akibat eksploitasi hutan. Pemerintah memberikan keleluasaan kepasa swasta dan atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengeksploitasi hutan seraya meminggirkan masyarakat sekitarnya. Atas dasar peta hutan yang berlaku di akhir kekuasaan kolonian Belanda, pemerintah membuat batas-batas hutan dari pemukiman dan tanah penduduk setempat. Dalam kasus sengketa tanah berbasis hutan, masalah utama yang sering muncul adalah; (i) penolakan petani untuk keluar dari tanah yang di klaim; (ii) kehancuran sumberdaya subsistensi masyarakat adat; (iii) penyediaan sumber ekonomi da pemikiman alternatif yang memadai; (iv) kemunduran kualitas ekologis di tingkat lokal hingga global15. Ketiga, terdapat sejumlah kasus di mana pemerintah melakukan pengambilalihan (penggusuran) tanah untuk program pembangunan, baik pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Pembangunan jalan tol, pembangkit listrik, real estate, mall, tempat wisata, dan lain-lain membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Dalam hal ini, beberapa masalah yang mengemuka adalah; (i) penolakan penduduk untuk menyerahkan tanah garapannya; (ii) ganti rugi yang tidak layak dibanding dengan harga tanah di pasar umum; (iii) pemukiman kembali penduduk (resetlemen)yang tidak memadai dan alternaatif usaha ekonomi. Tidak hanya untuk pembanguan, pihak pemerintah dengan segala kuasanya juga tak jarang membuat petani semakin tersingkir. Seperti yang terjadi di Tawamangu, pemerintah mempermasalahkan mengenai pembayaran pajak atas tanah yang notabene nya hak milik rakyat16. Kepentingan Aktor Kondisi ideal menurut (Nawawi 2006) strategi dan rencana pembangunan harus mengikutsertakan pemerintah, semua warga masyarakat turut menjadi “pemain” dan tidak ada yang sekedar menjadi “penonton” Elite Politik Dalam teori administrasi pembangunan, kelompok elite politik sering dikenal sebagai “legitimizers”17. Mereka pada umumnya terdiri dari tokoh-tokoh partai politik dan sebagian diantaranya duduk di lembaga perwakilan sebagai “wakil rakyat” selaku pemegang kedaulatan rakyat. Dengan demikian mereka berbicara atas nama rakyat dan salah satu fungsi mereka ialah menentukan bidang-bidang pembangunan apa yang akan dilaksanakan oleh pemerintah termasuk skala prioritasnya18. Elite Administratif 14 Ibid., hal 199 Ibid., hal 201-202 16 Pratiwi PH. 2010. Konflik agraria yang tak kunjung usai. [internet]. [dikutip 3 Mei 2015]. Dapat diunduh dari: http://journal.uny.ac.id/index.php/dimensia/article/viewFile/3430/2914 17 Nawawi I. 2006. Pembangunan dan problema masyarakat kajian konsep, model, teori dari aspek ekonomi dan sosiologi. Surabaya [ID]: CV Putra Media Nusantara. 180 hal. 18 Lucas A, Purwanto B. 2009. Seluk beluk masalah agraria reforma agraria dan penelitian agraria. Yogyakarta[ID]: STPN Press dan Sajogyo Institute. 258 hal. 15 24 Meskipun memang benar bahwa pemerintah bukanlah satu-satunya pihak yang bertangung jawab untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan pembangunan nasional, tetap merupakan kenyataan bahwa peranan pemerintah dengan seluruh jajarannya bersifat dominan. Pemerintah antara lain berfugsi untuk menjabarkan strategi pembangunan nasional menjadi rencana pembangunan, baik untuk kepentingan jangka panjang, jangka sedang, dan jangka pendek. Aparat pemerintah pula-lah yang harus menciptakan ikim yang kondusif untuk meningkatkan kepedulian dan partisipasi berbagai kelompok di masyarakat. Bahkan dalam mengalokasikan sumberdaya dan dana tertentu, misalnya melalu tender berbagai proyek pembangunan di berbagai wilayah kekuasaan negara. Pengalaman menunjukkan bahwa ada kegiatan pembangunan tertentu yang demi kepentingan nasional dan karena sifatnya yang menyagkut keselamatan negara dan eksistensinya diselenggarakan sendiri oleh pemerintah. Elite Bisnis (Captain of Industries) Meskipun harus diakui bahwa sektor swasta di negara-negara idustri baru, sedang berkembang dan sedang membangun belum sekuat rekan-rekan (counterparts) mereka di negara-negara industri maju, kini semakin disadari bahwa sektor tersebut terutama melalui interaksi dan partisipasinya merupakan mitra bagi pemerintah dalam melaksanakan pembangunan nasional. Tak jarang dilemparkan tuduhan kepada dunia usaha bahwa mereka dihinggapi oleh “mental catut” dan mengelola usahanya dengan cara-cara manipulatif dan spekulatif. Ada kalanya tuduhan tersebut masih diperkuat dengan persepsi negatif di kalangan masyarakat mengenai perilaku para usahawan antara lain dalam bentuk memberikan suap, uang pelicin, kolusi dengan anggota birokrasi pemerintah, manipulasi perolehan lisensi istimewa, penanaman modal hanya pada kegiatan ekonomi yang akan mendatangkan keuntungan seketika tapi tidak mempunyai daya tahan untuk jangka panjang, dan perilaku tercela lainnya. Resolusi Konflik Agraria Abu Rokhmad dalam bukunya yang berjudul Paradigma Resolusi Konflik Agraria menjelaskan bahwa di dalam masyarakat hukum, setidaknya ada dua kecenderungan dalam menyelesaikan sengketa, yaitu melalui pengadilan dan di luar pengadilan19. Pertama, kecenderungan memilih pengadilan sebagai sarana menyelesaikan sengketa (pendekatan litigasi). Pendekatan ini menggunakan sistem perlawanan (the advisary system) dan paksaan (coersion) untuk menyelesaikan sngketa di masayrakat dan menghasilkan keputusan yang win-lose solution. Wujud nyata pendekatan ini adalah penyelesaian sengketa secara hukum, dimana sengketa harus diajukan ke pengadilan untuk memperoleh keputusan yang adil dan memiliki kepastian hukum. Hukum dan masayrakat merupakan dua entitas yang tak dapat dipisahkan. Hukum membutuhkan masayrakat karena dari sanalah hukum tumbuh dan berfungsi sebagaimana adanya. Sebaliknya, secara faktual masyarakat juga membutuhkan hukum (juga tatanan kebiasaan dan tatanan kesusilaan, yang pada hakekatnya merupakan “hukum” tak tertulis yang hidup di masyarakat) sebagai sarana untuk menjaga ketertiban sosial. Kedua, dengan cara non-litigasi yaitu penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Meski tidak semua dapat diselesaikan dengan cara non-litigasi, namun pendekatan ini merupakan cara lain yang dapat dipilih oleh masayrakat yang sedang bersengketa. Landasan berpikirnya terletak pada asumsi bahwa masyarakat lebih suka hidup damai 19 Rokhmad A. 2008. Paradigma Resolusi Konflik Agraria. Semarang [ID]: Walisongo Press. Hal 11-14 25 daripada bersengketa. Jika terpaksa bersengketa, cara-cara musyawarah mufakat lebih didahulukan dari pada berpekara di pengadilan. Cara non-litigasi menjanjikan win-win solution, tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. Di samping itu, cara ini sangat dipengaruhi oleh kenyataan adanya kekecewaan terhadap peradilan yang tidak efisien, mahal dan terlalu lama. Banyak perkara yang menumpuk di pengadilan karena terbatasnya sumber daya manusia yang dimiliki. Akses terhadap Sumberdaya Alam Seiring dengan perubahan sosial, perubahan fungsi lahan memang tidak mungkin dapat dihindarkan. Masalahnya adalah bagaimana menjamin proses alih fungsi lahan dapat sejalan dengan mempertimbangan asas keadilan dalam hal akses rakyat tani terhadap tanah garapan. Faktanya sering ditemui proses alih fungsi lahan tersebut lebih didorong oleh aksi-aksi spekulasi tanah. Tanah rakyat yang sudah digusur “dibebaskan” itu ternyata tidak digunakan sesuai dengan peruntukannya tetapi banyak yang ditelantarkan. Dan itulah yang menyebabkan terjadinya gejala “dekonstruksi”20. Penyalahgunaan tanah mengakibatkan investasi guna menaikkan produktivitas menjad terhalang, banyak rumah tangga miskin pedesaan tidak sanggup mendapatkan akses ke tanah yang cukup ketika akses itu mungkin merupakan pilihan terbaik mereka untuk bisa keluar dari kemiskinan21. Hampir 40 persen penduduk sama sekali tidak memiliki akses ke lahan pertanian22. Perlu diperhatikan bahwa “hak” dan “akses” merupakan hal yang berbeda. Kunci pembeda antara hak dan akses dijelaskan oleh (Mustapit, 2011) yaitu bersandar pada perbedaan antara “hak dan “kemampuan”. Hak secara umum menimbulkan sejenis klaim yang diakui dan didukung secara sosial baik oleh huku, adat, atau konvensi. Sedangkan “kemampuan”yang merupakan inti dari akses lebih mirip dengan “kuasa” yang dapat digambarkan dalam dua hal23. Pertama, sebagai kemampuan beberapa aktor untuk mempengaruhi praktek dan ide orang lain. Kedua, sebagai kekuasaan yang timbul (walaupun tidak selalu berkaitan) dari masyarakat 24. Menurut (Peluso, 2003) akses adalah kemampuan atau kesempatan untuk mendapatkan manfaat dari sesuatu (dalam hal ini semberdaya hutan/ lahan)25. Keterbatasan akses masyarakat ke sektor pertanian juga dapat dilihat dari pengusaan lahan yang juga sangat sempit26. Dari sejarahnya, jalan menuju akses tanah yang paling mewah adalah yang dilakukan lewat land reform koersif yang dilakukan pemerintah27. Sebagian besar tanah 20 Dekonstruksi adalah suatu proses penggusuran tanah secara berantai, yang pada gilirannya mengakibatkan terjadinya konflik yang meluas baik di dataran rendah maupun di pegunungan (Lucas dan Purwanto, 2009) 21 Bernstein H, Byress TJ, Borras S, Kay C, dkk. 2008. Kebangkitan Studi Reforma Agraria di Abad 21. Yogyakarta [ID]: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. 384 hal. 22 Ibid., hal 317 23 Mustapit. 2011. Kontestasi, konflik dan mekanisme akses atas sumber daya agraria. [internet]. [dikutip pada 8 Mei 2015]. Dapat diunduh dari: http://jurnal.unej.ac.id/index.php/JSEP/article/download/382/240 24 Ibid., hal 60 Ribot JC, Peluso NL. 2003. Rural Sociology. [internet]. [dikutip pada 8 mei 2015]. Dapat diunduh dari: http://community.eldis.org/.5ad50647/Ribot%20and%20Peluso%20theory%20of%20access.pdf 26 Kutanegara PM. 2000. Akes terhadap sumberdaya dan kemiskinan di pedesaan Jawa: kasus Desa Sriharjo, Yogyakarta. [internet]. [dikutip pada: 8 mei 2015]. Dapat diunduh dari: http://jurnal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/viewFile/704/550 27 Bernstein H, Byress TJ, Borras S, Kay C, dkk. op.cit. hal. 82 25 26 yang dulunya diakses lewat pengalihan privat, keanggotaan komunitas, apropiasi langsung dan transaksi pasar28. Beberapa jalan menuju akses tanah dalam kepemilikan formal atau informal, kolektif maupun individual, berikut bisa dieksplorasi: (1) pengalihan dalan keluarga seperti pewarisan, pengalihan inter vivo, alokasi petak tanah tertentu kepada anggota keluarga terentu; (2) akses lewat keanggotaan komunitas dan pasar tanah informal; (3) akses lewat pasar penjualan tanah; (4) akses lewat beberapa intervensi kebijakan non-koersif seperti misalnya skema kolonisasi, dekolektivisasi, dan devolusi dan land reform yang dibantu oleh pasar tanah29. Menghadapi persoalan pengalihan tanah dari land reform sesungguhnya masih mengalami titik kritis. Kemudian tugas utama yang harus dikerjakan adalah30: (1) mempertahankan daya saing petani hasil land reform yang tersisa lewat intervensi pembangunan pedesaan dalam suatu konteks pasar bebas dan konteks layanan pertanian yang semakin privat; (2) mengembangkan beberapa cara baru untuk menyediakan akses tanah bagi mereka yang tidak punya tanah dan bagi para petani lahan sempit, terutama petani muda, dalam konteks di mana land reform redistributif yang dilakuka negara secara politik tidak bisa lagi dilakukan. Akses berkelanjutan atas tanah dengan demikian harus berbentuk lain, terutama harus dilakukan dalam bentuk bermacam pendampingan orang miskin pedesaan dalam memanfaatkan pasar penjualan dan pasar sewa tanah untuk tujuan itu31. Bernstein dkk, telah merumuskan bagaimana aliran akses tanah dalam kepemilikan formal atau informal, kolektif maupun individual, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dan dapat digambarkan sebagai berikut 28 Ibid., hal 82 Ibid., hal 83 30 Ibid., hal 105 31 Bernstein H, Byress TJ, Borras S, Kay C, dkk. 2008. Kebangkitan Studi Reforma Agraria di Abad 21. Yogyakarta [ID]: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. 384 hal. 29 27 Pengalihan dalam keluarga Pewarisan Pengalihan inter-vivo Alokasi tanah dalam rumah tangga Keanggotaan komunitas Sumberdaya milik bersama (Common Pool Resources) Pasar tanah Penjualan Program pemerintah Reforma tanah ekspropriatif Skema kolorisasi Alokasi informal Akses tanah dalam sistem kepemilikan (formal dan inormal) Pasar sewa tanah Akses penggunaan tanah Implikasi penggunaan tanah Efisiensi Gambar 1. Aliran Akses Tanah 28 Kerangka Analisis Konflik (Variabel Y) Konflik Agraria Kepentingan Aktor Elite Bisnis Elite Bisnis Elite Bisnis Berbeda kepentingan Resolusi Konflik Litigasi Non-Litigasi Gambar 2. Kerangka Analisis Konflik (Variabel X) Keterangan: : Sebab akibat :Rincian : Dapat dilakukan 29 Kerangka Analisis Akses Lahan (Variabel Y) Alih fungsi lahan Spekulasi tanah Penggusuran tanah garapan Akses Lahan Kemampuan mempengaruh i orang lain Kekuasaan Gambar 3. Kerangka Analisis Akses Lahan (Variabel Y) Keterangan : : hubungan sebab akibat : hubungan mempengaruhi : digambarkan oleh 30 SIMPULAN Hasil Rangkuman dan Pembahasan Indonesia merupakan negara agraris yang cukup menaruh perhatian terhadap tanah. Setiap individu maupun kelompok berusaha untuk mendapatkan hak atas tanah tersebut. Dari kepentingan masing masing aktor seperti elit politik, elit administratif, elit bisnis bahkan masyarakat sekalipun faktanya mengalami benturan yang mengakibatkan adanya konflik yang sering disebut konflik agraria. Menurut (Lucas dan Purwanto, 2009) konflik merupakan proses interaksi antara dua atau lebih individu atau kelompok dalam memperebutkan objek yang sama demi kepentingannya. Pada kasus sengketa agraria, objek yang dimaksud adalah tanah dan benda-benda lain yang terkait dengan tanah seperti air, tambang, tanaman, dan juga udara yang bersangkutan. Konflik agraria mencerminkan keadaan dimana tidak terpenuhinya keadilan bagi kelompok masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor agraria yang harus bersaing dengan pemilik modal yang kuat yang kemudian diperparah dengan dukungan negara yang mengeksploitasi sumberdaya alam demi kepentingan ekonomi semata (Rokhmad, 2008). Berdasarkan pendapat (Luthfi, Razif dan Fauzi, [tidak ada tahun]) bahwa konflik agraria dimulai sejak Undang-undang Agraria tahun 1970 terbit. Seluruh konflik itu bersumber dari lahirnya hak erpacht (sekarang hak guna usaha, HGU) yang memberi jalan bagi kelahiran perkebunan-perkebunan besar dan penggusuran tanah pertanian rakyat32. Jantung dari konflik agraria (the heart of agrarian conflict) adalah masalahmasalah tanah yang kian marak terjadi di masyarakat33. Noer Fauzi membagi sengketa agraria pada masa orde baru menjadi tiga kategori yakni: Pertama, perusahaan perkebunan mengambil alih tanah-tanah yang sebelumnya dikuasai oleh rakyat. Investasi perkebunan membutuhkan tanah sebagai modal utamanya. Hal demikian diperkuat dengan penelitian Sichmen Pandiangan yang menjelaskan konflik yang melibatkan petani Tapanuli Utara (Sugapa) dengan PT Inti Indorayon Utama yang menunjukkan pengambil alihan tanah yang sebelumnya dikuasai petani Sugapa guna menginvestasikan tanah sebagai modal. Fakta menunjukkan bahwa tanah-tanah di Jawa, kecuali lahan hutan, hampir tidak ada lahan kosong yang terlantar. Tanah-tanah negara tidak ada eks perkebunan Belanda (hak erpacht) maupun tanah-tanah negara tidak ada yang tersisia. Masalah-masalah utama yang muncul, antara lain adalah; (i) penolakan petani atas pencerabutan hubungannya dengan tanah; (ii) ganti rugi untuk petani yang tidak memadai; (iii) ploretarisasi petani kaena hilangnya hubungan dengan tanah; (iv) pemukiman kembali (resetlement) petani yang tergusur dari tanahnya. Kedua, konflik tanah akibat eksploitasi hutan. Pemerintah memberikan keleluasaan kepasa swasta dan atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengeksploitasi hutan seraya meminggirkan masyarakat sekitarnya. Atas dasar peta hutan yang berlaku di akhir kekuasaan kolonian Belanda, pemerintah membuat batas-batas hutan dari pemukiman dan tanah penduduk setempat. Dalam kasus sengketa tanah berbasis hutan, masalah utama yang sering muncul adalah; (i) penolakan petani untuk keluar dari tanah yang di 32 Luthfi AN, Razif, Fauzi M. tidak ada tahun. Kronik Agraria Indonesia, Memperluas Imajinasi Lintas Zaman, Sektor dan Aktor. Bogor [ID]. 79 hal. 33 Ibid., hal 2 31 klaim; (ii) kehancuran sumberdaya subsistensi masyarakat adat; (iii) penyediaan sumber ekonomi da pemikiman alternatif yang memadai; (iv) kemunduran kualitas ekologis di tingkat lokal hingga global. Ketiga, terdapat sejumlah kasus di mana pemerintah melakukan pengambilalihan (penggusuran) tanah untuk program pembangunan, baik pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Pembangunan jalan tol, pembangkit listrik, real estate, mall, tempat wisata, dan lain-lain membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Dalam hal ini, beberapa masalah yang mengemuka adalah; (i) penolakan penduduk untuk menyerahkan tanah garapannya; (ii) ganti rugi yang tidak layak dibanding dengan harga tanah di pasar umum; (iii) pemukiman kembali penduduk (resetlemen)yang tidak memadai dan alternaatif usaha ekonomi. Berkaitan dengan perebutan atas sumberdaya agaria yang memunculkan konflik, maka atas persoalan tersebut akses masyarakat dan petani petut untuk dipertanyakan. Pada dasarnya banyak petani yang kehilangan aksesnya akibat adanya alih fungsi lahan yang samasekali tidak menguntungkan bagi mereka. Tidak ada asas keadilan dalam hal akses rakyat tani terhadap tanah garapan yang akhirnya menyebabkan dekonstruksi yaitu proses penggusuran tanah secara berantai yang mengakibatkan terjadinya konlflik. Mustapit menjelaskan bahwa akses pada dasarnya melekat pada kemampuan atau kuasa yang digambarkan dalam dua hal yaitu: Pertama, sebagai kemampuan beberapa aktor untuk mempengaruhi praktek dan ide orang lain. Kedua, sebagai kekuasaan yang timbul (walaupun tidak selalu berkaitan) dari masyarakat. Melihat persoalan konflik dan akses tersebut, maka Abu Rokhmad dalam bukunya yang berjudul Paradigma Resolusi Konflik Agraria menjelaskan bahwa di dalam masyarakat hukum, setidaknya ada dua kecenderungan dalam menyelesaikan sengketa, yaitu melalui pengadilan dan di luar pengadilan34. Pertama, kecenderungan memilih pengadilan sebagai sarana menyelesaikan sengketa (pendekatan litigasi). Pendekatan ini menggunakan sistem perlawanan (the advisary system) dan paksaan (coersion) untuk menyelesaikan sngketa di masayrakat dan menghasilkan keputusan yang win-lose solution. Kedua, dengan cara non-litigasi yaitu penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Landasan berpikirnya terletak pada asumsi bahwa masyarakat lebih suka hidup damai daripada bersengketa. Jika terpaksa bersengketa, cara-cara musyawarah mufakat lebih didahulukan dari pada berpekara di pengadilan. Cara non-litigasi menjanjikan win-win solution, tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. Kemudian mengenai akses petani terhadap lahannya, dalam menangani persoalan pengalihan tanah melalui land reform dapat dilakukan hal seperti: (1) mempertahankan daya saing petani hasil land reform yang tersisa lewat intervensi pembangunan pedesaan dalam suatu konteks pasar bebas dan konteks layanan pertanian yang semakin privat; (2) mengembangkan beberapa cara baru untuk menyediakan akses tanah bagi mereka yang tidak punya tanah dan bagi para petani lahan sempit, terutama petani muda, dalam konteks di mana land reform redistributif yang dilakuka negara secara politik tidak bisa lagi dilakukan. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Skripsi Konflik agraria berdampak terhadap akses masyarakat terhadap sember-sumber agraria tersebut. Adanya pertentangan kepentingan antar pihak yang terlibat tentu 34 Rokhmad A. 2008. Paradigma Resolusi Konflik Agraria. Semarang [ID]: Walisongo Press. Hal 11-14 32 menimbulkan berbagai masalah yang pada akhirnya akan memicu konflik. Melihat situasi tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana proses terjadinya konflik agraria? 2. Bagaimana akses masyarakat terhadap lahan setelah adanya konflik? Usulan Kerangka Analisis Baru Kerangka analisis yang dibuat merupakan gabungan kerangka analisis dari pustaka yang telah dirujuk sebelumnya. Kerangka ini menunjukkan keterkaitan antar variabel dalam pustakanya. Berdasarkan kerangka analisis, dijelaskan bahwa agraria tak dapat terlepas dari lahan dan fungsi lahan itu sendiri. Atas dasar kepentingan setiap individu atau kelompok mengenai lahan maka lahir apa yang disebut sebagai hukum pertanahan untuk mengatur hal-hal yang menyangkut tentang lahan. Namun ketika dilihat dari lahan, kepemilikan dan hukum yang ada, terjadi kesenjangan. Bahwa terdapat kepemilikan tanah yang timpang serta hukum pertanahan yang semakin menyudutkan petani. Oleh karena itu, ketimpangan tersebut dapat menyebabkan konflik agraria yang melibatkan berbagai aktor. Aktor-aktor tersebut memiliki kepentingan masing-masing yang memungkinkan terjadinya benturan kepentingan dan memunculkan konflik, khususnya konflik agraria. Konflik agraria yang umum terjadi adalah kasus sengketa lahan yang dapat dikategorikan menjadi pengambilalihan tanah rakyat oleh pihak perkebunan, konflik akibat eksploitasi hutan, serta penggusuran tanah yang disebabkan proses pembangunan. Dari konflik tersebut diduga memiliki pengaruh terhadap akses masyarakat atau petani terhadap lahan. Semakin kecilnya akses petani terhadap lahan perlu mendapat perhatian dengan memperhatikan aliran akses tanah oleh petani. Berawal dari ketimpangan kepemilikan yang notabene nya menyudutkan akses petani terhadap lahan. 33 Kerangka Analisis Ketimpangan AGRARIA Lahan dan fungsi lahan Hukum pertanahan Konflik Agraria kategori sengketa lahan kepentingan aktor resolusi konflik Akses Lahan Ketimpangan peruntukkan dan penggunaan lahan Akses masyarakat terhadap sumberdaya agraria Aliran akses tanah Keterangan : : Hubungan sebab akibat Gambar 4. Kerangka Analisis Variabel X dan Y : Hipotesis 34 DAFTAR PUSTAKA Bernstein H, Byress TJ, Borras S, Kay C, dkk. 2008. Kebangkitan Studi Reforma Agraria di Abad 21. Yogyakarta [ID]: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. 384 hal. Kutanegara PM. 2000. Akes terhadap sumberdaya dan kemiskinan di pedesaan Jawa: kasus Desa Sriharjo, Yogyakarta. [internet]. [dikutip pada: 8 mei 2015]. Dapat diunduh dari: http://jurnal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/viewFile/704/550 Lucas A, Purwanto B. 2009. Seluk beluk masalah agraria reforma agraria dan penelitian agraria. Yogyakarta [ID]: STPN Press dan Sajogyo Institute. 258 hal. Luthfi AN, Razif, Fauzi M. tidak ada tahun. Kronik Agraria Indonesia, Memperluas Imajinasi Lintas Zaman, Sektor dan Aktor. Bogor [ID]. 79 hal. Mustapit. 2011. Kontestasi, konflik dan mekanisme akses atas sumber daya agraria. [internet]. [dikutip pada 8 Mei 2015]. Dapat diunduh dari: http://jurnal.unej.ac.id/index.php/JSEP/article/download/382/240 Nawawi I. 2006. Pembangunan dan problema masyarakat kajian konsep, model, teori dari aspek ekonomi dan sosiologi. Surabaya [ID]: CV Putra Media Nusantara. 180 hal Pandiangan S. 2006. Bentuk-bentuk perlawanan petani terhadap dominasi negara. [internet]. [dikutip 3 Maret 2015]. Dapat diunduh dari: http://usupress.usu.ac.id/files/Pemberdayaan%20Komunitas%20Vol_%205%20No _%203%20September-Desember%202006.pdf#page=94 Pratiwi PH. 2010. Konflik agraria yang tak kunjung usai. [internet]. [dikutip 3 Mei 2015]. Dapat diunduh dari: http://journal.uny.ac.id/index.php/dimensia/article/viewFile/3430/2914 Rokhmad A. 2008. Paradigma Resolusi Konflik Agraria. Semarang [ID]: Walisongo Press. 190 hal. Ribot JC, Peluso NL. 2003. Rural Sociology. [internet]. [dikutip pada 8 mei 2015]. Dapat diunduh dari: http://community.eldis.org/.5ad50647/Ribot%20and%20Peluso%20theory%20of% 20access.pdf Sadikin IM. 2009. Analisis Dampak Konversi Lahan Pertanian terhadap Produksi Padi dan Land Rent. [Skripsi]. Bogor [ID]: Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Petanian Bogor. 119 hal. Supriadi. 2007. Hukum Agraria. Jakarta [ID]: Sinar Grafika. 448 hal. Satria A. 2008. Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta [ID]: Pustaka Cidesindo. 130 hal. 35 Wiradi G. 2009. Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir. Jakarta [ID]: Konsorsium Pembaruan Agraria. 200 hal. 36 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Tiara Anjani dilahirkan di Jakarta, 14 September 1994 dari pasangan Mahfudin Syarif dan Eny Marfiany. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pendidikan formal dijalani penulis mulai dari TK. Sehati Jakarta Barat (1999-2000), SDN 01 Tegal Alur (2000-2006), SMP Negeri 224 Jakarta (2006-2009), SMA Negeri 95 Jakarta (2010-2012). Pada tahun 2012, penulis diterima menjadi mahasiswi Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPT Undangan. Penulis merupakan mahasiswi penerima Beasiswa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Angkasa Pura II. Selain aktif dalam kegiatan perkuliahan, penulis juga aktif sebagai staf Departemen Pengembangan Budaya Olahraga dan Seni BEM FEMA (Badan Eksekutif Mahasiswa, Fakultas Ekologi Manusia) kabinet Mozaik Toska (2013-2014), Ketua Bidang Seni Departemen Pengembangan Budaya Olahraga dan Seni BEM FEMA (Badan Eksekutif Mahasiswa, Fakultas Ekologi Manusia) kabinet Terasa manis (2014-2015), Pimpinan Produksi Komunitas Teater UptoDate (2014). Hingga kini penulis aktif menjadi mahasiswa aktif IPB.