Istilah Agraria berasal dari kata : Akker (Bahasa Belanda), Agros (Bahasa Yunani) berarti tanah pertanian, Agger (Bahasa Latin) berarti tanah atau sebidang tanah, Agrarius (Bahasa Latin) berarti perladangan, persawahan, pertanian, Agrarian (Bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian. Pengertian Agraria menurut Mr. Subekti : “Agraria adalah urusan tanah dan segala apa yang ada di dalamnya dan di atasnya, seperti telah diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria. Menurut Subekti/Tjitrosoedibjo bahwa “hukum agraria (Agrarisch Recht) adalah keseluruhan daripada ketentuan-ketentuan hukum, baik hukum perdata, maupun hukum tata Negara (staatsrecht) maupun hukum tata usaha Negara (administratif recht) yang mengatur hubungan-hubungan antara orang termasuk badan hukum, dengan bumi, air, dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah Negara dan mengatur pula wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan-hubungan tersebut.” Boedi Harsono menyatakan Hukum Agraria bukan hanya merupakan satu perangkat bidang hukum. Hukum agraria merupakan satu kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masing mengatur hak-hak pengusaan sumber – sumber daya alam tertentu yang termasuk pengertian agraria. Kelompok berbagai bidang hukum tersebut terdiri atas: -Hukum Tanah. - Hukum Air. - Hukum Pertambangan. - Hukum Perikanan. -Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur dalam Ruang Angkasa. Hukum agraria dalam arti sempit : Sama dengan hukum tanah atau hukum pertanahan, dasar hukumnya adalah pasal 1 ayat 4 UUPA jo pasal pasal 4 ayat 1, yaitu hanya meliputi permukaan bumi yang disebut tanah. Hukum agraria dalam arti luas : Keseluruhan peraturan-peraturan hukum atau sekelompok hukum yang terdiri atas hukum tanah, hukum air, hukum pertambangan, hukum perikanan, hukum kehutanan dan hukum mengenai sumbersumber alam dan mengenai ruang angkasa. Secara garis besar, Hukum Agraria setelah berlakunya UUPA dibagi menjadi 2 bidang, yaitu: Hukum Agraria Perdata (Keperdataan) Adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang bersumber pada hak perseorangan dan badan hukum yang memperbolehkan, mewajibkan, melarang diperlakukan perbuatan hukum yang berhubungan dengan tanah (objeknya). Hukum Agraria Adminitrasi (Administratif ) Adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang memberi wewenang kepada pejabat dalam menjalankan praktek atau politik hukum Negara dan mengambil tindakan dari masalah-masalah agraria yang timbul. Ruang lingkup Agraria menurut UUPA meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya (BARAKA). Ruang lingkup agraria menurut UUPA sama dengan ruang lingkup sumber daya agrarian/sumber daya alam menurut Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ruang lingkup agraria/sumber daya agraria/sumber daya alam dapat dijelaskan sebagai berikut: Dengan berlakunya UUPA, maka terjadi pencabutan beberapa peraturan hukum agraria lama, baik secara tegas maupun secara diam-diam. Pencabutan Secara Tegas Pencabutan secara tegas meliputi peraturan hukum agraria berikut ini: -Agrarisch Wet, Staatsblad No. 55 Tahun 1870. -Domeinverklaring, Staatsblad No. 118 Tahun 1870. -Agrarisch Eigendom, Staatsblad No. 117 Tahun 1872. -Buku II BW sebanyak 330 Pasal, kecuali pasal mengenai hypotheek dan staatsblad mengenai credietverband. - Dengan diundangkannya UU. No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, maka ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek dan credietverband dinyatakan tidak berlaku lagi Dengan berlakunya UUPA, maka terjadi pencabutan beberapa peraturan hukum agraria lama, baik secara tegas maupun secara diam-diam. Pencabutan Secara Tegas Pencabutan secara tegas meliputi peraturan hukum agraria berikut ini: -Agrarisch Wet, Staatsblad No. 55 Tahun 1870. -Domeinverklaring, Staatsblad No. 118 Tahun 1870. -Agrarisch Eigendom, Staatsblad No. 117 Tahun 1872. -Buku II BW sebanyak 330 Pasal, kecuali pasal mengenai hypotheek dan staatsblad mengenai credietverband. - Dengan diundangkannya UU. No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, maka ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek dan credietverband dinyatakan tidak berlaku lagi Pencabutan Secara Diam-diam Pencabutan secara diam-diam meliputi ketentuanketentuan Buku III BW tentang perjanjian dan ketentuanketentuan Buku IV tentang pembuktian dan lampau waktu, kedua-dua sepanjang mengenai pengaturan hal-hal yang berkenaan dengan agraria, dinyatakan tidak berlaku lagi walaupun UUPA tidak mencabutnya secara tegas. Namun, pihak-pihak yang mengadakan perjanjian sewamenyewa tanah pada dasarnya masih dapat menggunakan ketetuan pasal-pasal sewa-menyewa dalam BW, misalnya Pasal 1320 BW tentang syarat-syarat sah perjanjian, Pasal 1338 BW tentang akibat hukum perjanjian sah (asas kebebasan berkontrak). Sebelum berlaku UUPA No. 5/1960 ada beberapa ketentuan yang mengatur pertanahan yaitu: Ketentuan-ketentuan yang tunduk kepada hukum perdata Barat 2. Ketentuan-ketentuan yang tunduk kepada hukum adat 1. Pada masa Pemerintahan Belanda banyak ada peraturanperaturan yang mengatur masalah pertanahan di Indonesia seperti: 1. Agrarische Wet 1870 2. Agrarische Besluit 3. Domein Verklaring 4. Pasal-pasal Buku ke II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia Agrarische Wet 1870 Bertujuan untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada pengusaha swasta untuk dapat berkembang di Hindia Belanda. Bentuk hak yang diberikan kepada pengusaha adalah hak erpacht (hak guna usaha). Hek erpacht merupakan hak kebendaan yang memberikan kewenangan yang luas kepada pemegang haknya untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan tanah kepunyaan pihak lain. Pemegang hak erpacht boleh menggunakan semua kewenangan yang terkandung dalam eigendom (hak milik) atas tanah. . Agrarische Besluit Merupakan ketentuan pelaksana dari Agrarische Wet, dimana dalam Pasal 1 Agrarische Besluit dimuat sebuah pernyataan asas yang sangat penting bagi perkembangan dan pelaksanaan Hukum Tanah Administratif Hindia Belanda. Asas tersebut dinilai kurang menghargai dan tidak melindungi hak-hak rakyat atas tanah yang bersumber pada hukum adat. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa : “…………………. Semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein (milik) Negara. Ketentuan yang terdapat dalam asas tersebut lazim disebut Domein Verklaring (pernyataan domein). Domein Verklaring Berfungsi sebagai landasan hukum bagi pemerintah untuk memberikan tanah dengan hak-hak barat yang diatur dalam KUHPerdata, seperti erpacht, hak opstal dan lain-lainnya. Dalam rangka domein verklaring, pemberian tanah dengan hak eigendom dilakukan dengan cara pemindahan hak milik Negara kepada penerima tanah. Berfungsi di bidang pembuktian pemilikan. Pasal-pasal Buku ke II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Termasuk pasal-pasal buku ke II yang mengenai Hypotheek yang telah diatur dalam UU Hak Tanggungan. Ketentuan-ketentuan yang tunduk kepada hukum adat. Dengan keanekaragam suku bangsa tersebut akan terlihat dengan berlakunya ketentuan UUPA, yang sama sekali tidak akan membedakan antar suku atau adat istiadat didalam mengusai dan memiliki lahan-lahan tersebut. Dengan demikian akan jelas bagi kita bahwa hukum adat tersebut harus dilhilangkan sifat kedaerahannya dan harus bersifat lebih Nasional. Sebelum berlakunya UUPA, peraturan-peraturan hukum tanah tidak merupakan satu kesatuan yang mempunyai tempat tersendiri dalam tata susunan hukum di Indonesia. Hukum Tanah di Hindia Belanda (Indonesia) terdiri atas 5 perangkat hukum, yaitu: 1. Hukum Tanah Adat 2. Hukum Tanah Barat 3. Hukum Tanah Administratif 4. Hukum Agraria Swapraja 5. Hukum Agraria Antar Golongan Hukum Tanah Adat Yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah Hukum Agraria yang bersumber pada Hukum Adat dan berlaku terhadap tanah-tanah yang dipunyai dengan hak-hak atas tanah yang diatur oleh Hukum Adat, yang selanjutnya seiring disebut tanah adat atau tanah Indonesia. Hukum Tanah Barat Yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah Hukum Tanah yang bersumber pada Hukum Perdata Barat, khususnya yang bersumber kepada Buku II Boergerlijk Wetboek (BW). Hukum Agraria Antar Golongan Hukum yang digunakan untuk sengketa (kasus) agraria (tanah), maka timbulah Hukum Agraria Antar Golongan, yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang menentukan hukum manakah yang berlaku (Hukum Adat atau Hukum Barat apabila 2 orang yang masingmasing tunduk pada hukumnya sendiri-sendiri bersengketa mengenai tanah). Hal ini berkaitan dengan dualisme hukum tanah, yaitu hukum tanah adat (tanahtanah hak Indonesia) dan hukum tanah barat (tanahtanah hak barat), khususnya dalam kaitannya dengan kepemilikan tanah oleh warga pribumi dan non pribumi. Hukum Tanah Administratif Yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan atau putusan-putusan yang merupakan pelaksanaan dari politik agraria pemerintah didalam kedudukannya sebagai badan penguasa. Hukum Agraria Swapraja Yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah Hukum Agraria yang bersumber pada peraturanperaturan tentang tanah di daerah-daerah swapraja (Yogyakarta, Aceh), yang memberikan pengaturan tanah-tanah di wilayah daerahdaerah swapraja yang bersangkutan. Sebagai undang-undang nasional, UUPA mempunyai sifat nasional material dan sifat nasional formal. Sifat nasional material berkenaan dengan substansi UUPA. Sedangkan sifat nasional formal berkenaan dengan pembentukan UUPA. Sifat nasional material menunjukan kepada substansi UUPA yang harus mengandung asas-asas berikut ini : 1. Berdasarkan hukum adat tanah 2. Sederhana 3. Menjamin kepastian hukum 4. tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agraria 5. Memungkinkan bumi, air ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dapat berfungsi untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur 6. sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia 7. Memenuhi keperluan rakyat Indonesia mengenai soal agraria 8. Merupakan penjelmaan nilai-nilai Pancasila 9. Merupakan pelaksanaan GBHN (dahulu) Dekrit Presiden. 10. Melaksanakan ketentuan Pasal 33 UUD 1945. Sifat Nasional Formal UUPA Sifat nasional formal menunjukan kepada pembentukan UUPA yang memenuhi sifat-sifat berikut ini: 1. 2. 3. 4. 5. Dibuat oleh pembentukan Undang-undang Nasional Indonesia, yaitu DPRGR Disusun dalam bahasa nasional Indonesia. Dibentuk di Indonesia. Bersumber pada UUD 1945 Berlaku dalam wilayah negara Republik Indonesia. Tujuan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) adalah : Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan, bagi Negara rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur. 2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan. 3. Meletakkan dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. 1. Asas Kenasionalan Yaitu merupakan hubungan antara Bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan ruang angkasa Indonesia yang bersifat abadi. Ini berarti bahwa selama rakyat indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia masih ada dan selama hal yang berhubungan diatas tersebut masih ada pula maka dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut. Asas ini termuat dalam Pasal 1 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUPA Asas Kekuasaan Negara Yaitu Asas pada suatu tingkatan tertinggi, bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya di kuasai oleh suatu negara dengan memberi wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat untuk mencapai tingkatan tertinggi yang ditujukan untuk mencapai kemakmuran rakyat dengan terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Asas ini termuat dalam Pasal 2 UUPA Asas Pengakuan Hak Ulayat Yaitu Asas yang mengutamakan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dari pada kepentingan perorangan atau golongan. Dan Hak Ulayat sebagai hak masyarakat hukum adat diakui keberadaannya dengan syarat hak ulayat tersebut masih ada yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Asas ini termuat dalam Pasal 3 UUPA Asas Hak Tanah Fungsi Sosial Yaitu Hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi hingga tercapai tujuan pokok, yaitu kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan bagi rakyat. Asas ini termuat dalam Pasal 6 UUPA Asas bahwa hanya warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik atas tanah Yaitu hanya warganegara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, Hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing dan pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang. Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luasnya terbatas. Demikian juga pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik. Asas ini termuat dalam Pasal 9 UUPA Asas persamaan bagi setiap warga negara Indonesia Yaitu terhadap masih adanya perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum dari golongangolongan rakyat yang ekonominya kuat dan rakyat yang lemah ekonominya, maka tiap-tiap warganegara Indonesia baik laki-laki maupun wanita diberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Asas ini termuat dalam Pasal 9, 11, 13 UUPA Asas tanah pertanian harus dikerjakan, diusahakan secara aktif oleh pemilik dan mencegah cara-cara yang bersifat pemerasan Yaitu Tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri, untuk itu agar semboyan ini dapat diwujudkan perlu diadakan ketentuan-ketentuan lainnya. Perlu ada ketentuan mengenai batas maksimum luas tanah yang boleh dipunyai dengan hak milik (pasal 17), agar dicegah tertumpuknya tanah ditangan golongan-golongan yang tertentu saja. Dalam hubungan ini pasal 7 memuat suatu azas yang penting, yaitu bahwa pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak dipekenankan, karena hal yang demikian itu adalah merugikan kepentingan umum. A Asas ini termuat dalam Pasal 7, 10, 17 UUPA Asas tata guna tanah/penggunaan tanah secara berencana merupakan rangkaian kegiatan untuk mengatur peruntukan, penggunaan dan persediaan tanah secara berencana dan teratur sehingga diperoleh manfaat yang lestari, optimal, seimbang dan serasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan negara. (TAP MPR RI/III/MPR/2002) Berkaitan dengan dianutnya asas-asas yang berkaitan dengan hubungan antara tanah dengan tanaman dan bangunan yang ada diatasnya, maka terdapat asas-asas : 1. Asas perlekatan atau asas accessie adalah asas yang melekatkan bangunan suatu benda pada benda pokoknya, jadi bahwa bangunan-bangunan dan benda-benda/ tanaman yang terdapat diatasnya merupakan satu kesatuan dengan tanah, serta merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan Dengan demikian, yang termasuk pengertian hak atas tanah meliputi juga pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah yang dihaki kecuali ada kesepakatan dengan pihak lain (Pasal 500, dan 571 BW) Asas pemisahan horizontal (horizontale scheiding). Hukum tanah yang dianut oleh UUPA bertumpu pada hukum adat, dimana tidak mengenal asas perlekatan tersebut, melainkan “asas pemisahan horizontal”, yang maknanya bangunan dan tanaman bukan merupakan bagian dari tanah, dimana hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatasnya. Berfungsinya hukum adat sebagai pelengkap Hukum Tanah Nasional yang tertulis itulah arti dan makna ketentuan Pasal 5, bahwa hukum Tanah Nasionalialah Hukum adat. Pernyataan itupun menunjukan fungsi hukum adat sebagai sumber utama dalam pembangunan hukum tanah nasional. Berdasarkan pada hukum adat sebagai sumber utama dalam mengambil bahan-bahan yang dibutuhkan untuk pembangunan hukum tanah nasional, maka tetap dimungkinkan untuk mengadopsi lembaga-lembaga yang baru yang belum dikenal dalam hukum adat. Di samping itu, dapat pula mengambil lembaga-lembaga hukum asing guna memperkaya dan memperkembangkan hukum tanah nasional. Namun demikian, dalam mengadopsi lembaga-lembaga baru tersebut syaratnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Pendaftaran Tanah Dalam hukum tanah adat tidak mengenal adanya lembaga pendaftaran tanah. Lembaga ini merupakan konsep lembaga modern, karena semua proses yang berkaitan dengan hak-hak atas tanah, missal jual beli, tukar menukar dan hibah didaftarkan dan dibukukan dalam buku tanah dan kemudian diterbitkan sertipikat sebagai bukti pemilikan tanahnya. Hak Tanggungan Lembaga ini dipergunakan dalam jaminan hak atas tanah untuk melayani perkreditan modern. Pembebanan terhadap hak tanggungan sebagai lembaga jaminan atas tanah dilakukan melalui 2 cara : tahap pertama tahap pembebanan, yang harus dilakukan dihadapan PPAT, akta yang dibuat oleh PPAT tersebut sebagai bukti bahwa benar telah dilakukan perbuatan hukum yang bersangkutan. Tahap kedua adalah tahap pendaftaran di kantor pertanahan. Pendaftaran ini wajib dilakukan dalam rangka memenuhi syarat publisitas bagi sahnya kelahiran dan berlakunya hak jaminan yang diberikan terhadap pihak ketiga. Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan. Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan tersebut diadakan dalam rangka memnuhi kebutuhan masyarakat modern, yang belum ada dalam lingkungan masyarakat pedesaan. Urutan vertikal mengenai hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional (UUPA) menurut Boedi Harsono yang dikutip oleh Noor (2006) dalam susunan berjenjang yaitu sebagai berikut : 1. Hak bangsa. 2. Hak menguasai dari negara 3. Hak ulayat 4. Hak Perseorangan atas Tanah Hak bangsa, sebagai yang disebut dalam Pasal 1 UUPA, merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan meliputi semua tanah dalam wilayah negara, yang merupakan tanah bersama. Hak bangsa ini dalam penjelasan Umum Angka II UUPA dinyatakan sebagai hak ulayat yang dingkat pada tingkat yang paling atas, pada tingkat nasional, meliputi semua tanah di seluruh wilayah negara. Hak Bangsa Indonesia Atas Tanah, dikenal dengan nama "Hak Bangsa", dan merupakan hak yang paling tinggi dalam tata urutan jenis-jenis hak-hak penguasaan atas tanah. Hak ini merupakan Hak Bangsa Indonesia atas bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekakyaan alam yang terkandung didalamnya yang berada di dalam wilayah Negara Indonesia (ruang lingkup). Hak menguasai dari negara sebagaimana yang disebut dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, merupakan hak penguasaan atas tanah sebagai penugasan pelaksanaan hak bangsa yang termasuk bidang hukum publik, meliputi semua tanah bersama bangsa Indonesia. Dalam tata urutan jenis-jenis hak-hak penguasaan atas tanah, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, menempati tata urutan yang kedua. Ditempatkannya Hak Menguasai Negara Atas Tanah dibawah Hak Bangsa, bahwa Negara sebagai organisasi kekuasan seluruh rakyat (bangsa), mengadop dari konsep hukum adat adalah sebagai "empu" atau "tuan" untuk menguasai sesuatu, yang dalam hal ini adalah bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yaitu bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dari Bangsa Indonesia. Hak ulayat, dari masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataan masih ada, hak ulayat merupakan hak penguasaan atas tanah bersama masyarakat hukum adat tertentu. Hak Perseorangan Atas Tanah yang memberikan kewenangan untuk memakai, dalam arti menguasai, menggunakan, dan atau mengambil manfaat tertentu dari suatu bidang tanah tertentu, yang terdiri dari : 1. Hak atas tanah. 2. Hak atas tanah wakaf 3. Hak tanggungan, Dengan berlakunya UUPA, maka terjadi pencabutan beberapa peraturan hukum agraria lama. Sebutkan dan jelaskan peraturan yang secara tegas! 2. Hukum Tanah di Hindia Belanda (Indonesia) terdiri atas 5 perangkat hukum, sebutkan dan jelaskan! 3. Jelaskan tujuan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). 1.