BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Berikut adalah penelitian sebelumnya yang merupakan penelitian sejenis dengan penelitian yang penulis lakukan. Tabel 2.1 Kajian Pustaka No. 1. 2. Judul Penulis Penelitian PENGARUH Mahesa FILM REALITA CINTA DAN ROCK N ROLL TERHADAP GAYA BERPAKAIAN ANAK IPS SMAN 6 JAKARTA ANGKATAN 2012 Teori Metode Lokasi Hasil kultivasi Kuantitatif SMAN penulis 6, menyimpulkan Jakarta bahwa, ada pengaruh film realita cinta dan rock n roll terhadap gaya berpakaian anak IPS SMAN 6 JAKARTA Angkatan 2012, sebesar 0,978 PENGARUH Nabila S-O-R kuantitatif SMA Tayangan TAYANGAN Mecadinisa alGossip Girl GOSSIP GIRL azhar mempengaruhi DI WARNER 3 Gaya TV TERHADAP Berbusana FASHION Siswi SMA STYLE REMAJA sebesar 61,9% (Studi Kasus sedangkan Terhadap Siswi sisanya SMA Al-Azhar 3 (100% Jakarta) 61,9% = 38,1%) di pengaruhi oleh sebab-sebab lain 9 10 3 2.2 PENGARUH Resky PROGRAM ACARA Satyawati “KOKI CILIK” DI TRANS 7 TERHADAP MINAT ANAK UNTUK BELAJAR MEMASAK. Kognitif kuantitatif SDN sosial 11 RSBI Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa variabel Tayangan Program Koki Cilik di Trans 7 mempunyai pengaruh sebesar 47.3% Landasan Teori Pada landasan teori ini penulis akan membahas teori-teori dasar yang berkaitan dengan tema skripsi ini yaitu content analisis program siaran televisi / radio. Teori-teori yang akan dibahas secara spesifik pada landasan teori ini adalah teori-teori dari para ahli di bidang ilmu komunikasi, komunikasi massa dan media massa. Pada landasan teori ini juga akan dibahas pendapat para pakar komunikasi sehubungan dengan tema yang diangkat pada penelitian ini. 2.2.1 Pengertian Komunikasi Kata komunikasi berasal dari bahasa lain, “communis”, yang berarti kebersamaan atau membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih. Akar katanya “communis” adalah communico”, yang artinya berbagi (Stuart, 1983, dalam Vardiansyah, 2004 : 3 ). Menurut Webester New Collegiate Dictionary (Riswandi, 2008 : 1), komunikasi adalah suatu proses pertukaran informasi di antara individu melalui system lambing-lambang, tanda-tanda atau tingkah laku. 11 Menurut Carl I Hovland (Mulyana, 2005 : 62), komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang (komunikator) menyampaikan rangsangan untuk mengubah perilaku orang lain. Menurut Everett M Rogers (Mulyana, 2005 : 62), komunikasi adalah proses suatu ide dialihkan dari satu sumber kepada satu atau banyak penerima dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. Menurut Harold Laswell (Mulyana, 2005 : 62), Laswell mengungkapkan bahwa cara terbaik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan “Siapa Mengatakan Apa dengan Saluran Apa Kepada Siapa dengan Akibat Apa?” (Who says What in Which Channel to Whom with What Effect?) Dari pendapat Laswell tersebut dapat disimpulkan lima unsur komunikasi sebagai berikut; 1. Siapa yang mengatakan (who says?) : Sumber (source) atau awal mula terbentuknya pesan. Dalam hal ini sumber dapat dinyatakan sebagai komunikator atau orang yang menjadi subjek penyampaian pesan, yang menyatakan pesan secara verbal maupun nonverbal. 2. Mengatakan apa (says what?) : ide, pesan atau informasi (message) yang hendak disampaikan oleh sumber kepada penerima. Pesan ini dapat disampaikan melalui symbol-simbol verbal maupun nonverbal. 3. Saluran apa (which channel?) : media (channel) yang digunakan oleh sumber untuk menyampaikan pesannya kepada penerima. Pemilihan media komunikasi ini dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan penyampaian pesan. 4. Kepada siapa (to whom) : penerima pesan (receiver) yang disampaikan oleh sumber. Penerima pesan atau komunikan dapat merupakan perorangan atau sekelompok orang. 12 5. Efek (what effect) : akibat yang ditimbulkan dari pesan yang disampaikan oleh sumber kepada penerima. Akibat ini dapat berupa berbagai bentuk, seperti pemahaman tentang suatu hal, perubahan sikap, ataupun umpan balik atau feedback. Berdasarkan pendapat tentang komunikasi dari beberapa ahli yang telah disebutkan, penulis menarik kesimpulan bahwa komunikasi adalah tahapan-tahapan penyampaian pesan, melalui sebuah media yang menghasilkan dampak bagi penerima pesan. 2.2.2 Proses Komunikasi Ada pun langkah-langkah yang harus dilakukan dalam proses komunikasi (Burhan Bungin, 2006 : 255) adalah sebagai berikut : 1. Ideation : penciptaan satu gagasan atau pemilihan seperangkat informasi untuk dikomunikasikan. Merupakan suatu pesan yang akan disampaikan. 2. Encoding : sumber menerjemahkan informasi atau gagasan dalam wujud kata, tanda atau lambang. Mengekspresikan gagasan dalam bentuk bahasa lisan, bahasa tertulis ataupun perilaku nonverbal, seperti bahasa isyarat, ekspresi wajah, atau gambar-gambar. 3. Encode : penyampaian pesan yang telah disandi kepada penerima dengan cara berbicara, menulis, menggambar ataupun melalui suatu tindakan tertentu. Yang dapat dikenal dengan istilah channel, yaitu alat-alat untuk menyampaikan suatu pesan. 4. Decoding : memberikan penafsiran interpretasi terhadap pesan yang disampaikan kepadanya. Penerimalah yang akan menentukan bagaimana memahami suatu pesan dan bagaimana pula respons terhadap pesan tersebut. 13 5. Feedback : umpan balik. Mempertimbangkan kembali pesan yang telah disampaikannya kepada penerima dan dapat dijadikan landasan untuk mengevaluasi efektivitas komunikasi. Gambar 2.1 Proses Komunikasi Sender Encoding Media Decoding Receiver Message Noise feedback Response Sementara menurut Sasa Djuarsa Sendjaja dalam bukunya “Pengantar ilmu Komunikasi”, menyebutkan bahwa proses komunikasi terdiri dari dua cara, yaitu : 1. Proses cara primer Proses cara primer adalah proses penyampaian pikiran dan perasaan seseorang pada orang lain dengan menggunakan simbol sebagai media. Lambang media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya, yang secara langsung mampu menerjemahkan pikiran atau perasaan komunikator kepada komunikan. 2. Proses secara sekunder Proses secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama (Sendjaja, 2004 :113) 14 2.2.3 Jenis-jenis Komunikasi Pada dasarnya komunikasi dapat dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu komunikasi tertulis, lisan, nonverbal, satu arah, dan dua arah. Berikut penjelasannya : 1. Komunikasi Tertulis, yaitu komunikasi yang disampaikan secara tertulis. Keuntungannya dapat dipersiapkan terlebih dahulu secara baik, dapat dibaca berulang-ulang. Sedangkan kekurangannya memerlukan dokumentasi yang cukup banyak, kadang-kadang tidak jelas, umpan balik yang diminta cukup lama. 2. Komunikasi Lisan, yaitu komunikasi yang dilakukan secara lisan. Dapat dilakukan secara langsung berhadapan atau tatap muka dan dapat pula melalui telepon. 3. Komunikasi Nonverbal, yaitu komunikasin dengan menggunakan mimik, pantomime, dan bahasa isyarat. 4. Komunikasi satu arah, yaitu komunikasi yang bersifat koersif dapat berbentuk perintah, instruksi, dan bersifat memaksa dengan menggunakan sanksi-sanksi. 5. Komunikasi dua arah, yaitu lebih bersifat informatif dan persuasif dan memerlukan hasil (feedback). Sementara Mulyana (2005 : 72), membagi komunikasi berdasarkan jumlah komunikannya. : 1. Komunikasi intrapribadi 2. Komunikasi antar pribadi 3. Komunikasi kelompok 4. Komunikasi publik 15 5. Komunikasi organisasi 6. Komunikasi massa 2.2.4 Komunikasi Massa Komunikasi massa menurut Gerbner (dalam Rakhmat (2009 : 188), adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dam lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri. Selain itu, Kurt Lang & Gladys Engel Lang melalui jurnal dengan judul “Mass Society, Mass Culture, and Mass Communication: The Meaning of Mass” mengatakan bahwa We begin with a quick look back at how “mass communication” came to denote characteristics that today most everyone takes for granted. When people speak of the media, they usually have in mind corporate bodies or government agencies whose access to modern technology enables them to disseminate the same uniform content to a geographically dispersed multitude. At first, this capability was confined to cheap print, and then later expanded to motion-pictures, both of which were still dependent on physical transport. This limitation did not extend to either radio or television, which, given their wide reach, were destined to become the media of mass communication par excellence. But to develop into mass communication, the new technology had to be employed to reach a large audience. As late as the end of the 1920s, Ernest W. Burgess (1886-1966), a University of Chicago sociologist whose interest was mostly in human ecology, could still write about the conquest of space by new forms of transportation and communication, such as the automobile, the motion picture, the airplane, and the radio, without even a single reference to the expansion in the size of audiences and its consequences (1929, p. 1072). Two years later, David O. Woodbury devoted a book (1931) to “communication at a distance,” grouping mass media with personal communication forms, such as letters that rely on carriers, or with those which do not. Dari jurnal diatas dapat disimpulkan setelah diartikan secara bebas bahwa, komunikasi massa telah mempermudahkan pekerjaan setiap orang. Melalui komunikasi massa, kita dipermudah dengan tidak hanya mendapatkan referensi berdasarkan satu sumber 16 saja. Perkembangan teknologi juga telah menjadikan komunikasi massa dapat menjangkau khalayak secara lebih luas. Dari pengertian tentang komunikasi massa diatas, dapat kita simpulkan komunikasi massa berbeda dari jenis komunikasi lainnya. Menurut Wright (dalam Ardianto, 2007 : 4), berikut adalah karakteristik yang membedakan komunikasi massa dengan jenis komunikasi lainnya : 1. Diarahkan kepada khalayak yang relatif besar, heterogen dan anonim 2. Pesan disampaikan secara terbuka 3. Pesan diterima secara serempak pada waktu yang sama dan bersifat sekilas (khusus untuk media melektronik) 4. Komunikator cenderung berada atau bergerak dalam organisasi yang kompleks yang melibatkan biaya besar. Komunikasi massa dapat dilakukan bila memiliki ciri-ciri yaitu : komunikator terlembagakan, pesan bersifat umum, komunikan heterogen, adanya keserempakan, mengutamakan isi daripada hubungan, bersifat satu arah, umpan balik tertunda dan stimulasi alat indra terbatas (Elvinaro dan Lukiati, 2004 : 7-8) Menurut Nurudin, M. Si. Dalam buku Pengantar Komunikasi Massa (2007:65), Fungsi komunikasi massa antara lain : 1. Menginformasikan (to inform) Komponen yang paling penting untuk mengetahui fungsi informasi ini adalah berita-berita yang disajikan. Unsur 5W + 1H merupakan bagian terpenting untuk menyampaikan informasi kepada khalayak. 2. Menghibur (to entertaint) Fungsi hiburan untuk media elektronik menduduki posisi yang paling tinggi dibandingkan dengan fungsi0fungsi yang lainnya. Saat ini masyarakat kita masih menjadikan televisi sebagai media hiburan. 17 3. Mengajak (to persuade) Fungsi persuasif komunikasi massa tidak kalah pentingnya dengan fungsi informasi dan hiburan. Banyak bentuk tulisan yang kalau diperhatikan sekilas hanya berupa informasi, tetapi jika diperhatikan secara lebih jeli ternyata terdapat fungsi persuasi. Komunikasi juga diadakan untuk mempengaruhi pihak-pihak tertentu. 4. Pengawasan Menurut Laswell, komunikasi massa mempunyai fungsi pengawasa. Artinya, menunjuk pada pengumpulan dan penyebaran informasi mengenai kejadiankejadian yang ada di sekitar kita. 5. Pendidikan (to educate) Yakni membuka kesempatan untuk memperoleh pendidikan secara luas, baik untuk pendidikan formal di sekolah maupun untuk di luar sekolah. Juga meningkatkan kualitas penyajian materi yang baik, menarik, dan mengesankan 2.2.5 Media Massa Media massa adalah media komunikasi dan informasi yang melakukan penyebaran informasi secara massa dan dapat diakses oleh masyarakat secara masal (Bungin, 2006 : 7). Sementara menurut Hafied Cangara, media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio, dan televisi. (Cangara, 2006 : 122) 18 Media massa memiliki pengaruh besar di dalam segala aspek kehidupan masyarakat dewasa ini. Banyak perubahan di lingkungan masyarakat yang merupakan pengaruh dari media massa. Steven M. Chaffie (dalam Ardianto, 2007 : 50-58), membedakan efek media massa menjadi dua, yaitu efek yang ditimbukan oleh kehadiran media massa itu sendiri dan efek yang ditimbulkan dari pesan yang disampaikan oleh media massa tersebut. Dari dua kategori tersebut Chaffie menjelaskan efek media massa sebagai berikut : 1. Efek kehadiran media massa a. Efek ekonomi Dengan kehadiran media massa maka terciptalah lapangan kerja, dimana stasiun televisi, radio, dsb, tentunya membutuhkan sumber daya manusia untuk bekerja di dalamnya. b. Efek sosial Kehadiran media massa berpengaruh pada struktur dan interaksi sosial di masyarakat. Kebutuhan akan media massa tertentu menjadi pembeda dalam struktur sosial di masyarakat. c. Penjadwalan sehari-hari Hal yang paling sering terlihat di kehidupan sehari-hari adalah kebiasaan membaca koran di pagi hari. Membaca koran di pagi hari menjadi seperti sebuah ritual yang dilakukan orang sebelum beraktifitas. d. Efek hilangnya perasaan tidak nyaman Dalam hal ini media massa dapat membantu masyarakat apabila terjadi situasi yang kurang nyaman seperti pada saat sendirian atau kesepian. 19 Pada saat sendirian atau kesepian orang bisa memanfaatkan untuk mendengarkan radio, atau membaca koran. e. Efek menunbuhkan perasaan tertentu Pengalaman seseorang dengan media massa tertentu, dapat menyebabkan seseorang lebih memilih satu media massa dibanding media massa yang lain. 2. Efek pesan a. Efek kognitif Efek kognitif adalah akibat dari sebuah pesan yang disampaikan media massa, dimana komunikan mendapatkan informasi atau pengetahuan yang belum diketahui. b. Efek afektif Efek afektif adalah dimana komunikan bukan hanya mendapatkan informasi dari pesan yang disampaikan, tetapi juga ikut terlibat secara emosional ke dalam pesan yang disampaikan. c. Efek behavioral Efek behavioral adalah terjadinya perubahan sikap atau tingkah laku yang merupakan dampak pengetahuan yang didapatkan dari media tersebut. Selain efek yang disampaikan Steven M. Chaffie diatas, banyak pendapat ahli yang muncul berkaitan dengan dampak yang ditimbulkan oleh media massa, sehingga muncul teori-teori tentang dampak media massa seperti teori kultivasi, teori uses and gratification, teori agenda setting, dll Kini bentuk media massa sudah semakin berkembang dan beragam. Berikut ini beberapa contoh media massa dari paradigma paradigma baru (Nurudin, 2007 : 13) : 20 Gambar 2.2 Media Massa dari Paradigma Baru TV Majalah Radio Media Internet Massa Tabloit Surat Kabar Namun secara garis besar media massa dapat dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu (Nurani, 2010 : 200) : 1. Media Cetak, yang contohnya adalah surat kabar. Yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a. Pesan yang disampaikan memuat unsur reproduksi utama : simbol verbal gambar dan warna b. Relatif nyaman, mudah dibawa kemana-mana c. Unsur umpan balik yang ada juga bersifat verbal d. Sumber kehidupan industri media cetak adalah iklan dan penjualan 2. Media audio, misalnya adalah radio. Yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a. Unsur reproduksinya adalah suara b. Secara relatif bisa dibawa kemana-mana c. Tidak bisa dinikmati berulang-ulang alias tidak dapat didengar kembali d. Pesan bersifat serempak e. Proses komunikasinya menggunakan unsur umpan balik, baik verbal dan nonverbal 21 3. Media audio-visual, misalnya Televisi. Yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a. Unsur reproduksinya bersifat verbal, gambar, warna, suara dan gerakan. b. Tidak portable karena tidak bisa dibawa kemana-mana c. Pesan tidak bisa diulang karena tampilan pesan sekilas sehingga cepat berlalu. d. Bersifat serempak e. Umpan balik : verbal dan nonverbal 2.2.6 Televisi Kata televisi diadopsi dari bahasa inggris yaitu television. Dimana kata television sendiri berasal dari dua kata yaitu tele dan visio. Kata tele berasal dari bahasa yunani yang berarti jauh, sementara visio berasal dari bahasa lain yang artinya pandangan atau pengelihatan. Menurut ensiklopedia indonesia (dalam Parwadi, 2004 : 28), televisi adalah sistem elektronis yang menyampaikan suatu isi pesan dalam bentuk audio visual gerak dan merupakan sistem pengambilan gambar, penyampaian dan penyuguhankembali gambar melalui tenaga listik, gambar tersebut ditangkap dengan kamera televisi, diubah menjadi sinyal listrik, dan dikirim langsung lewat kabel listrikkepada pesawat penerima. Seperti media massa yang lain, televisi memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri dalam proses penyampaian informasi. Kelebihan televisi antara lain (Syahputra 2006 : 70) : 22 1. Menguasai jarak dan waktu, karena teknologi televisi menggunakan elektromagnetik, kabel-kabel dan fiber yang dipancarkan transmisi melalui satelit. 2. Sasaran yang dicapai untuk menjangkau massa cukup besar, nilai aktualitas terhadap suatu liputan atau pemberitaan cukup cepat 3. Daya rangsang terhadap media televisi cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh kekuatan suara dan gambarnya yang bergerak (ekspresif) 4. Informasi atau berita-beritayang disampaikan lebih singkat, jelas dan sistematis. Sedangkan kekurangan televisi sebagai media massa, yaitu (Syahputra, 2006 : 70) : 1. Media televisi terikat waktu tontonan 2. Televisi tidak bisa melakukan kritik sosial dan pengawasan sosial secara langsung dan vulgar 3. Pengaruh televisi lebih cenderung menyentuh aspek psikologis massa. Bersifat “transitory”, karena sifat ini membuat isi pesannya tidak dapat dimemori oleh pemirsanya. Lain halnya dengan media cetak, informasi dapat disimpan dalam bentuk kliping. Selain itu, berikut pendapat Tunjung Riyadi dalam artikelnya pada jurnal Humaniora mengenai televisi dalam media massa. “Mengupas televisi dari sisi media massa berarti berfokus pada aspek audiens yang menjadi kajiannya. Membandingkan media televisi dengan media lain merupakan salah satu jalan termudah untuk memahami karakteristiknya. Penonton televisi mempunyai karakteristik yang unik. Mereka tersebar dimana-mana dan mempunyai selera yang beragam. Mereka punya pilihan menonton saluran yang disukai. Hal ini beda dengan penonton film di bioskop. Sekali datang ke biokop mereka harus berkonsentrasi penuh dalam ruang yang benar-benar disiapkan untuk menonton dalam kondisi 23 senyaman mungkin. Dengan menyadari berbagai macam sifat para penonton ini, perancang program dituntut mampu memenuhi kebutuhan semua khalayak. Strategi yang dilakukan biasanya adalah menentukan satu sasaran pemirsa yang memiliki banyak kesamaan keinginan. Ini tercermin dari kesamaan usia penonton, gender, tingkat ekonomi dan insight psikografinya. Lebih mudahnya mengetahui target audien dari sisi geografi, demografi dan psikografi.” 2.2.7 Program Televisi Secara teknis program televisi diartikan sebagai penjadwalan atau perencanaan siaran televisi dari hari ke hari (horizontal programming) dari jam ke jam (vertical programming) setiap harinya (Soenarto, 2007 :1) Program-program yang ditayangkan oleh stasiun televisi dibuat untuk menarik perhatian penonton. Demi memenuhi kebutuhan penontonnya stasiun televisi saling berlomba untuk membuat program yang menarik. Menurut morissan (2008 : 7) pada dasarnya program televisi dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu : 1. Program informasi Program informasi adalaha segala jenis program yang tujuannya menambah pengetahuan (informasi) kepada khalayak audien. Program informasi terbagi menjadi dua bagian yaitu : a. Berita keras (hard news) Berita keras atau hard news adalah berita yang sajiannya berisi segala informasi penting dan menarik yang harus disiarkan oleh media penyiaran karena sifatnya yang harus segera diketahui khalayak. b. Berita lunak (soft news) Berita lunak atau soft news adalah program berita yang menyajikan program informasi yang penting dan menarik yang disampaikan secara mendalam (indepth) namun tidak bersifat harus segera ditayangkan. 24 2. Program hiburan Segala bentuk siaran yang ditujukan untul menghibur audiens dalam bentuk musik, lagu, cerita, dan permainan. Sementara Soenarto, membagi program hiburan menjadi 2 jenis, yaitu : a. Program Drama Program siaran drama berisi cerita fiksi. Istilah ini juga disebut sinetron cerita. Untuk membedakannya dengan sinetron non cerita adalah format sinetron yang terdiri dari beberapa jenis yaitu : sinetron drama modern, sinetron drama legenda, sinetron drama komedi, sinetron drama saduran dan sinetron yang dikembangkan dari cerita atau buku novel, cerita pendek dan sejarah (Soenarto, 2007 : 62-63) b. Program non Drama Program non-drama merupakan bentuk acara yang tidak disertai bumbu cerita. Acara non-drama diolah seperti apa adanya. Program jenisa dokumenter termasuk program nondramatik ini bisa didaptnkan dari keadaan senyatanya, bisa mengenai alam, budaya manusia, ilmu pengetahuan dan kesenian. (Soenarto :62-63) 2.2.8 Film televisi Film televisi berbeda dengan film layar lebar, film televisi yang dimaksud disini adalah film yang diproduksi oleh sebuah stasiun televisi atau rumah produksi khusus untuk ditayangkan di televisi. Film televisi biasanya ditayangkan dalam durasi 120 sampai 180 menit. Proses pembuatan film televisi tidak serumit proses pembuatan film layar lebar, karena film televisi biasanya tidak terlalu mementingkan 25 kualitas gambar namun lebih fokus kepada isi cerita film tersebut. Terdapat beberapa hal yang membedakan film televisi dengan film layar lebar, berikut penjelasannya : 1. Film televisi dibuat khusus untuk ditayangkan di televisi. 2. Proses produksi film televisi lebih singkat daripada film layar lebar. 3. Biaya produksi film televisi relatif lebih murah daripada film layar lebar. 4. Karna ditayangkan lewat televisi, dalam penayangan film televisi terdapat jeda iklan komersial. Walaupun ditujukan untuk televisi, tidak sedikit film televisi yang diangkat ke layar lebar di masa sekarang ini, seperti film “Brian’s Song” (1971) yang diproduksi ulang ke dalam bentuk layar lebar pada tahun 2001. Begitu pula sebaliknya, ada beberapa film layar lebar yang dibuat sekuelnya dalam bentuk film televisi, seperti “Parent Trap”. Di indonesia hanya ada beberapa stasiun televisi yang memproduksi dan menayangkan film televisi, contohnya SCTV dan Trans TV . Di SCTV terdapat slot program Gala Sinema, sementara di RCTI terdapat slot program Bioskop Trans TV. Di negara lain, film televisi sudah menjadi perhatian sejak awal kemunculannya. Film televisi yang pertama kali ditayangkan di dunia adalah “The Pied Piper of Hamelin”, film ini merupakan film musikal yang di produksi di amerika pada tahun 1957. Film televisi mulai digemari ketika salah satu stasiun televisi di amerika membuat program “NBC Saturday Night at The Movies”, yaitu sebuah program yang menayangkan berbagai jenis film di setiap minggunya. Ada beberapa film televisi yang berhasil meledak di masyarakat bahkan mendapatkan penghargaan, seperti “The Day After” (1983), “Duel” (1971), “If Wall Could Walk” (1990), dan film televisi yang diteliti oleh penulis yaitu “Temple Grandin”. (http://zeeupik.blogspot.com/pengertian-drama-televisi-film.html, 7/10/2013) 26 2.3 Landasan Konseptual Pada teori khusus ini yang Berhubungan dengan Topik / Judul yang dibahas, peneliti akan membahas kerangka teori dari perilaku dan teori dasar agenda setting berdasarkan teori yang sudah ada ataupun dari narasumber dan sumber – sumber lainnya yang lengkap, relevan, dan berhubungan dengan pokok bahasan. 2.3.1 Perilaku Perilaku adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati pihak luar (Notoatmodjo 2003 : 114). Perilaku juga berarti apa yang orang lakukan dan katakan (Raymond G.Miltenberger 2004 : 2). Perilaku menunjang apa yang akan manusia lakukan. Jika anda mengatakan bahwa seseorang marah, anda tidak dapat mengindentifikasi perilaku orang tersebut. Tetapi jika anda mengindentifikasi apa yang orang lakukan dan katakan saat sedang marah, maka anda telah mengindentifikasi perilakunya sebagai orang yang marah. .Perilaku seseorang dikelompokkan ke dalam perilaku wajar, perilaku dapat diterima, perilaku aneh, dan perilaku menyimpang. Perilaku dianggap sebagai sesuatu yang tidak ditujukan kepada orang lain dan oleh karenanya merupakan suatu tindakan sosial manusia yang sangat mendasar. Perilaku tidak boleh disalahartikan sebagai perilaku sosial, yang merupakan suatu tindakan dengan tingkat lebih tinggi, karena perilaku sosial adalah perilaku yang secara khusus ditujukan kepada orang lain. Menurut Edward E. Sampson, terdapat perspektif yang berpusat pada persona dan perspektif yang berpusat pada situasi. Perspektif yang berpusat pada persona 27 mempertanyakan faktor-faktor internal apakah, baik berupa instik, motif, kepribadian, sistem kognitif yang menjelaskan perilaku manusia. Secara garis besar terdapat dua faktor (Jalaludin Rakhmat, 2008 : 32) : 1. Faktor Biologis Biologis terlibat dalam seluruh kegiatan manusia, bahkan berpadu dengan faktor-faktor sosiopsikologis. Menurut Wilson, perilaku sosial dibimbing oleh aturan-aturan yang sudah diprogram secara genetis dalam jiwa manusia. Pentingnya kita memperhatikan pengaruh biologis terhadap perilaku manusia. a. Faktor Sosiopsikologis - Komponen Kognitif Aspek intelektual yang berkaitan dengan apa yang diketahui manusia. - Komponen Afektif Merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis, didahulukan karena erat kaitannya dengan pembicaraan sebelumnya. b. Komponen Konatif Aspek volisional, yang berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak. Perilaku diatur oleh prinsip dasar perilaku yang menjelaskan bahwa ada hubungan antara perilaku manusia dengan peristiwa lingkungan. Perubahan perilaku dapat diciptakan dengan merubah peristiwa didalam lingkungan yang menyebabkan perilaku tersebut. Dari pengertian diatas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa perilaku merupakan perbuatan/tindakan dan perkataan seseorang yang sifatnya dapat diamati, digambarkan dan dicatat oleh orang lain ataupun orang yang melakukannya. 28 2.3.2 Teori Kognitif Sosial Teori kognitif sosial merupakan sebuah penamaan baru dari teori belajar sosial (social learning theory) yang dikembangkan oleh Albert Bandura. Nama baru dengan nama teori kognitif sosial ini dilakukan pada tahun 1970-an dan 1980-an. Ide pokok dari pemikiran Bandura juga merupakan pengembangan dari ide Miller dan Dollard tentang belajar meniru (imitative learning). Bandura telah mengelaborasi proses belajar sosial dengan factor-faktor kognitif dan behavioral yang mempengaruhi seseorang dalam proses belajar sosial.Teori ini memiliki peran dalam mempelajari pengaruh dari isi media massa terhadap masyarakat luas. Baranowski, Perry, dan Parcel (1997 : 161) menyatakan bahwa “reinforcement is the primary construct in the operant form of learning”. Proses penguatan merupakan bentuk utama dari cara belajar seseorang. Proses penguatan juga merupakan konsep sentral dari proses belajar sosial. Di dalam teori kognitif sosial, penguatan bekerja melalui proses efek menghalangi (inhibitory effects) dan efek membiarkan (disinhibitory effects). Inhibitory Effects terjadi ketika seseorang melihat seorang model yang diberi hukuman karena perilaku tertentu. Sebagai contoh pada tayangan film “Temple Grandin” diberi gambaran apabila seorang pengidap autisme tidak diperlakukan dengan baik maka emosinya menjadi meledak-ledak. Sebaliknya, Disinhibitory Effects terjadi ketika seseorang melihat model yang diberi penghargaan atau imbalan untuk suatu perilaku tertentu, misalnya pada tayangan film “Temple Grandin”, tokoh Temple Grandin mendapatkan gelar professor dikarenakan kerja kerasnya serta dibantu dengan dukungan dan bantuan dari keluarga dan orang-orang disekitarnya. 29 Efek-efek yang dikemukakan di atas tidak tergantung pada imbalan dan hukuman yang sebenarnya, tetapi dari penguatan atas apa yang dialami orang lain tapi dirasakan seseorang sebagai pengalamannya sendiri (vicarious reinforcement). Menurut Bandura, vicarious reinforcement terjadi karena adanya pengaharapan hasil (outcome expectations) dan harapan hasil konsep (outcome expectancies). Outcome expectancies menunjukkan bahwa ketika kita melihat seseorang model diberi penghargaan dan dihukum, kita akan berharap mendapatkan hasil yang sama jika kita melakukan perilaku yang sama dengan model. Dalam hal ini, dapat dilihat pada tayangan film “Temple Grandin” yang merupakan kisah nyata dari perjalanan hidup seseorang yang mengidap autisme, hal itu dialami oleh diri tokoh itu sendiri. Seperti dikatakan oleh Baronowski dkk (1997 : 162), “People develop expectations about a situation and expectations for outcomes of their behavior before they actually encounter the situations”, orang akan mengembangkan pengharapan tentang suatu situasi dan pengharapan suatu hasil dari perilakunya sebelum benarbenar mengalami situasi tersebut. Selanjutnya, seseorang mengikat nilai dari pengharapan tersebut dalam bentuk outcome expectancies (harapan akan hasil). Harapan-harapan ini mempertimbangkan sejauh mana penguatan tertentu yang diamati itu dipandang sebagai sebuah imbalan atau pengharapan atau hukuman. Konsep-konsep yang telah dikemukakan merupakan proses dasar dan pembelajaran dalam teori kognitif sosial. Meskipun demikian, terdapat beberapa konsep lain yang dikemukakan teori ini yang akan mempengaruhi sejauh mana belajar sosial berperan. Salah satu tambahan yang penting bagi teori ini adalah konsep identifikasi (indentification) dengan model di dalam media. Secara khusus teori kognitif sosial menyatakan bahwa jika seseorang merasakan hubungan 30 psikologis yang kuat dengan sang model, proses belajar sosial akan lebih terjadi. Menurut White (1972 : 252) identifikasi muncul mulai dari ingin menjadi hingga berusaha menjadi seperti model dengan beberapa kualitas yang lebih besar. Teori Kognitif Sosial juga mempertimbangkan pentingnya kemampuan sang “pengamat” untuk menampilkan sebuah perilaku khusus dan kepercayaan yang dipunyainya untuk menampilkan perilaku tersebut. Menurut Bandura (1977:191) self-efficacy atau efikasi diri dan hal ini dipandang sebagai sebuah prasyarat kritis dari perubahan perilaku. Misalnya dalam tayangan film “Temple Grandin”, diceritakan bahwa penderita autisme juga dapat menerima pendidikan selayaknya orang normal. Teori kognitif sosial menyatakan bahwa tak semua penderita autisme diberikan pendidikan selayaknya orang normal oleh orangtuanya. Dalam hal ini orangtua tersebut dianggap tidak mempunyai tingkat efikasi diri yang cukup untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak penderita autisme. Teori Kognitif Sosial memberikan sebuah penjelasan tentang bagaimana perilaku bisa dibentuk melalui pengamatan pada model-model yang ditampilkan oleh media massa. Efek dari pemodelan ini meningkat melalui pengamatan tentang imbalan dan hukuman yang dijatuhkan pada model, melalui identifikasi dari khalayak pada model tersebut, dan melalui sejauh mana khalayak memiliki efikasi diri tentang perilaku yang dicontohkan di media. Konsep Kognitif Sosial adalah penonton belajar dari apa yang mereka lihat (observational learning). Di dalam hal ini penonton “Temple Grandin” yang sebagian besar adalah orang-orang yang memiliki hubungan dengan penderita autisme sudah dapat di prediksi melakukan proses identification, yaitu penonton 31 merasa ada kedekatan psikologis dan berusaha meniru yang dilakukan atau dipaparkan oleh model tersebut. 2.4 Kerangka Pikir Kerangka pemikiran penelitian ini menunjukkan bahwa dalam penelitian ini menggunakan 2 variabel yakni : variabel Independen (X) yang terdiri dari variabel tayangan film televisi Temple Grandin, serta variabel dependent (Y) yaitu variabel perilaku orangtua murid SLB Santa Lusia. Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa masing-masing variabel independen berpengaruh secara serempak terhadap variabel dependen. Tujuan penelitian, seperti halnya tujuan teori, adalah menjelaskan dan memprediksikan fenomena. Penjelasan dan prediksi fenomena secara sistematis digambarkan dengan variabelitas variabel-variabel dependen yang dijelaskan atau dipengaruhi oleh variabel-variabel independen. Bentuk hubungan antara variabelvariabel Independen dengan variabel-variabel dependen, dapat berupa hubungan korelasional dan hubungan sebab- akibat. Sesuai dengan fenomena sosial yang dijelaskan, bentuk hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen dapat bersifat positif atau negative. Gambar 2.3 Pengaruh variabel X terhadap variabel Y Variabel independen (X) Variabel dependen (Y) Tayangan film “Temple Grandin” Perilaku Orangtua murid SLB Santa Lusia Keterangan : 32 Variabel Independen : a. Tayangan film televisi Temple Grandin merupakan variabel Independen (X) yang mempengaruhi variabel dependen (Y) Variabel Dependen : b. Perilaku orangtua murid SLB Santa Lusia yang dipengaruhi oleh tayangan film Temple Grandin Menjadi (X) merupakan variabel dependen (Y) Variabel-varaibel ini yang nantinya akan menentukan apakah hipotesis dapat dibuktikan dalam penelitiaan ini Rancangan uji hipotesis penelitian ini disajikan berdasarkan tujuan penelitian. Tingkat kepercayaan adalah 90%, jadi tingkat presisi atau batas ketidak akuratan sebesar α = 10% = 0,1. Variabel X : Tayangan Film “Temple Grandin” Variabel Y : Perilaku Orangtua murid SLB Santa Lusia Permasalahan : Adakah Pengaruh Film Televisi “Temple Grandin” Terhadap Perilaku Orangtua Murid SLB Santa Lusia? Hipotesis : Ho : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara tayangan film Televisi “Temple Grandin” terhadap perilaku orangtua SLB Santa Lusia 33 Ha : Ada pengaruh yang signifikan antara tayangan film Televisi “Temple Grandin” terhadap perilaku orangtua SLB Santa Lusia Dasar pengambilan keputusan : Sig > 0,1 Maka H0 diterima, H1 ditolak Sig < 0,1 Maka H1 diterima, H0 ditolak 34 2.5 Operasionalisasi Konsep 2.2 Tabel Operasionalisasi Konsep Variabel Dimensi Indikator Skala Pengukuran Tayangan film televisi Temple Grandin Tema - - - Alur - - - - Tayangan film Temple Grandin menceritakan tentang kehidupan seorang yang menderita autisme (observational learning) Secara keseluruhan Tayangan film Temple Grandin menceritakan tentang seorang penderita autisme yg berhasil menjadi seorang profesor (disinhibitory effect) Film Temple Grandin diangkat dari sebuah kisah nyata (vicarious reinforcement) Film Temple Grandin menayangkan proses proses perjuangan penderita autisme secara bertahap (disinhibitory effect) Dalam film Temple Grandin ditayangkan kejadian yg akan terjadi apabila penderita autisme diabaikan (inhibitory effect) Film Temple Grandin menjelaskan pentingnya peranan orang tua (observational learning) Tayangan film Temple Grandin memberi pengetahuan tentang bagaimana mendidik anak penderita autisme? Skala Likert 5 = Sangat setuju 4 = Setuju 3 = Ragu-ragu 2 = Tidak Setuju 1 = Sangat tidak setuju 35 Tokoh - - - Perilaku Orangtua Murid SLB Santa Lusia Kognitif - - Afektif - Konatif - Dalam film Temple Grandin diceritakan tokoh memiliki emosi yang sangat tidak stabil (inhibitory effect) Tokoh Temple Grandin memberi motivasi dan inspirasi (Self afficacy) Tokoh Temple Grandin mengajak untuk lebih perduli terhadap penderita autisme (Self Afficacy) Mengerti isi cerita dari film Temple Grandin Memahami pesan yang ada dalam Film Temple Grandin Menjadi mengerti tentang autisme setelah menonton film Temple Grandin Menyukai isi cerita film Temple Grandin Mengubah persepsi tentang autisme Timbul perasaan simpati termotivasi setelah menonton film Temple Grandin Terjadi perubahan sikap terhadap anak Terjadi perubahan pola didik terhadap anak Lebih semangat dalam memperjuangkan pendidikan anak Skala Likert 5 = Sangat setuju 4 = Setuju 3 = Ragu-ragu 2 = Tidak Setuju 1 = Sangat tidak setuju