TEORI LEADERSHIP BASIS - ETIKA DR. TJAHJANULIN DOMAI, MS PROF. DR. ABD. YULI ANDI GANI, MS Kepemimpinan Sektor Publik 3 SKS Administrasi Publik Penguasaan materi dalam modul ini, dirancang sebagai landasan dasar untuk dapat memahami, mengerti serta mampu menjelaskan tentang teori leadership berbasis etika. 1. Pendahuluan 2. Perspektif tentang Leadership Basis – Etika 3. Model Leadership Generik yang 4. Kesimpulan Didasarkan pada Kesadaran dan Kesungguhan 1. Mata Kuliah SKS Jurusan Tujuan Pembelajaran : : : : [1] TEORI LEADERSHIP BASIS - ETIKA PENDAHULUAN Pendekatan basis-etika umumnya berbeda tajam dengan pendekatan paling tradisional ke studi leadership yang difokuskan ke realita deskriptif dari sistem leader-sentris dan/atau pentingnya leader yang mempengaruhi pihak lain lewat karisma personal, visi, dan skillnya. Pendekatan basis-power atau “heroik” berasumsi bahwa sumber primer dari kearifan adalah leader atau bahwa pengetahuan adalah untuk keuntungan leader, bahwa leader adalah pembuat keputusan paling kritis dan penting, dan bahwa kesuksesan leader adalah pertimbangan pokok. Sebaliknya, pendekatan basis-etika berasumsi bahwa leader jarang memiliki kearifan. Pendekatan ini menyatakan bahwa seringkali, follower memiliki kontribusi penting atau memiliki fakta dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk keputusan di proses leadership. Pendekatan distributif yang dibahas sebelumnya, dan pendekatan etika yang akan dibahas di sini, adalah sebanding. Kedua, pendekatan ini berasumsi bahwa follower memiliki kepentingan sama sebagai leader, dan kadang, follower memiliki kepentingan lebih besar dibanding leader. Follower menyelesaikan kerja, dan mereka adalah fokus leader. Selain meningkatkan pengaruh personal, leader yang baik adalah yang terlibat pemberdayaan. Terakhir, pendekatan ini menegaskan bahwa leader etika harus mengurangi kepentingan personal agar bisa berperan efektif, termasuk di setting bisnis (Aronson, 2001; Block, 1993; Rost, 1990). Meski pendekatan basis-power tidak menggunakan power sebagai hasil personal, mereka menggunakan pandangan kosmopolitan Machiavelli bahwa pengaruh dan power benar-benar MODUL Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership Basis – Etika 2012 ada, dan bahwa keinginan orang dari sudut pandang “kebangsawanan” adalah baik (Machiavelli, 1998). Pendekatan basis etika berisi memiliki tiga pertimbangan (Ciulla, 2004; Ciulla, Price, dan Murphy, 2005). Pertimbangan pertamanya adalah maksud individu, apakah mereka leader atau member dari organisasi. Bagaimana karakter dan kearifan individu bisa membentuk kompas moral untuk melakukan kebaikan? Contoh, leader individu mungkin ambisius dan sangat hati-hati dalam mematuhi semua aturan. Leader bisa memaksakan hasil, dan harus yakin melakukan sesuatu dalam cara terotorisasi dan tepat. Leader ambisius cenderung self-centered dan karena itu, kurang bisa mendengar orang lain atau jarang mampu memberikan peluang developmental bagi keuntungan follower. Mereka juga sering menghindari kesalahan, padahal jelas-jelas mereka membiarkan masalah tertentu terjadi meski secara tidak langsung. Kemampuan leader ambisius untuk melakukan hal baik bisa terganggu oleh batasan kompas moralnya. Pertimbangan kedua berisi pemilihan alat tepat untuk melakukan kebaikan. Dalam filosofi, ini sering disebut pendekatan deontologi atau pendekatan duty. Dengan menjadi bermoral, berarti tahu dan mengikuti adat sosial yang tepat yang berawal dari hukum, aturan dan adat. Ketika situasinya menjadi lebih kompleks, peran leader adalah mengatasi nilai yang berkonflik dan bersaing. Kant (1787/1996) adalah yang terbaik bagi etika duty, yaitu lewat imperatif kategori besar, dalam sebuah masyarakat yang tertata. Pertimbangan ketiga adalah memilih hasil yang tepat. Dalam filosofi, ini sering disebut pendekatan teleologi atau utilitarian. Contoh dari ini adalah ketika manajer pria didekati oleh pegawai wanitanya yang marah sambil mengatakan bahwa supervisornya melakukan pelecehan dan menyebut tiga bahasa dan perilaku yang dianggapnya tidak tepat. Manajer menenangkan pegawainya dengan mengatakan bahwa dia akan bicara dengan supervisor. Manajer lalu bicara dengan supervisor, yang mana supervisor memang mengaku telah melakukan penilaian lewat ucapan dan perilaku yang buruk. Karena supervisor adalah pekerja keras dan kompeten, maka manajer cuma memberikan peringatan lisan ke supervisor. Dalam kasus ini, hasil manajer terganggu oleh pertimbangan eksesif untuk mencegah perselisihan dan melindungi pekerja yang baik, bukan melindungi hak legal dari korban. Tiga pertimbangan ini – intensi baik, sarana yang tepat, dan hasil yang tepat – harus berfungsi baik agar tercipta leadership yang baik (sebagai sebuah proses) dan kuat. Sistem dengan leadership etika memberikan kualitas hidup lebih tinggi bagi semua individu yang terlibat, kinerja organisasi yang lebih tinggi dalam rata-rata, dan keberlanjutan yang lebih besar seiring waktu. Kita akan membahas perspektif berbeda tentang apa yang paling penting dalam leadership etika. 2. PERSPEKTIF TENTANG LEADERSHIP BASIS-ETIKA Range yang masuk atau yang menjadi emphasis teori etika bisa terbilang luas. Ada lima “model” untuk ini. Pertama adalah inti esensial atau pondasi leader etika di semua teori. Empat model selanjutnya menghasilkan perspektif berlawanan, tapi tidak selalu kontradiktif, tentang leadership etika yang membangun moralitas leader. 2.1 Model Integritas Dasar untuk Leader Baik Hampir semua teori etika difokuskan ke integritas leader. Ribuan tahun lalu, Confucius mengatakan bahwa kekuatan bangsa adalah pada integritas rumahnya. [2] Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership Basis – Etika 2012 Seorang komandan militer dan juga presiden, Dwight Eisenhower, mengatakan bahwa kualitas puncak dari leadership adalah integritas yang tidak dipertanyakan. Makna dasar dari integritas adalah keseluruhan, dan ini didasarkan ada prinsip konsistensi orang terhadap kata, pikiran, prinsip, aksi dan setting sosialnya. Tiga hallmark integritas yang paling sering dicari adalah kejujuran, keterpercayaan, dan kefairan. Ketika ditanya tentang karakteristik ini, berbagai elemen integritas malah tertinggi, dan sering memiliki rangking lebih tinggi dibanding kompetensi. Level pertama kejujuran adalah memberitahukan kebenaran dalam ekspresi lisan dan tulisan. Orang jujur dari perspektif ini adalah yang tidak pernah bohong, baik itu bohong putih atau bohong sopan. Mereka terpercaya di dalam situasi privat dan publik. Memberitahu kebenaran bisa terjadi dalam cara lunak seperti mengakui kesalahan atau tidak menghindari pajak. Level lebih tinggi dari pemberitahuan kebenaran selalu memiliki informasi yang tepat meski itu tidak dipaksakan. Ini sering disebut sebagai keterusterangan (forthrightness). Rahasia dan “bohong omisi” bukan sifat orang jujur. Elemen kedua dari integritas adalah keterpercayaan (trustworthiness), yang bisa berisi beberapa elemen. Orang terpercaya tahu apa prinsip yang dianutnya dan mampu menjelaskannya sehingga orang lain tahu “dimana dia berposisi”. Tentu saja, orang terpercaya adalah yang konsisten dengan prinsipnya (Manz, dkk, 2008; Palanski dan Yammarino, 2009). Dalam sektor publik, prinsip ini berisi dedikasi ke layanan publik, komitmen ke kebaikan umum, dedikasi ke hukum lahan, dan kebajikan sipil lainnya. Agar disebut terpercaya, sangat penting untuk mengikuti komitmen, yang mana ini disebut kredibilitas. Banyak orang membuat komitmen berlebihan, dan ini malah merusak kredibilitasnya di pihak lain. “Kepercayaan diidentifikasi sebagai salahsatu konstruk yang paling sering diperiksa dalam literatur organisasi sekarang ini” (Burke dkk, 2007). Kadang ini digunakan sebagai sinonim konsep integritas (Newell, Reeher, dan Ronayne, 2008). Elemen ketiga dari integritas adalah kefairan. Kefairan berarti bahwa orang tahu dan mengikuti aturan, dan memastikan bahwa ini bisa diterapkan ke semua orang. Karena pihak dengan tanggungjawab manajemen dan tanggungjawab eksekutif memiliki banyak diskresi, maka kefairan dianggap penting dalam kesetaraan perlakuan atau dalam membuat pengecualian rasional dan tepat. Sebuah nostrum (solusi) masalah manajemen adalah bahwa meski musuh anda melaporkan kesalahan anda, temanlah yang sering membawa anda dalam masalah. Saat melihat masalah dengan mata buta, dan/atau memberikan bantuan berlebihan ke pihak yang dekat dengan leader, ini menjadi sumber kerawanan, dan bisa menghilangkan semangat kefairan. Dalam contoh di atas ketika manajer menindaklanjuti insiden pelecehan seksual dari temannya, dia perlu mengambil tindakan agresif agar bisa memenuhi standar kefairan. Pihak yang dianggap sangat fair tidak akan melakukan “self-dealing” atau menggunakan posisi untuk keuntungan personal, tapi berbagi hasil serata mungkin (Carnevale, 1995). Terakhir, karena menyeimbangkan tanggungjawab dan pertimbangan adalah sesuatu yang rumit, maka orang fair butuh waktu untuk mendengar semua pihak yang berselisih. Orang dengan integritas baik dipersepsikan memberitahu kebenaran, bertindak konsisten, dan memberikan perlakuan baik ke pihak lain. Pihak dengan integritas tinggi cenderung menunjukkan keterusterangan, tindak lanjut sungguh-sungguh, dan kecerdikan tidak biasa dalam meraih keseimbangan yang memenuhi berbagai kepentingan situasi. [3] Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership Basis – Etika 2012 2.2 Leader Etika sebagai Manajer Moral Salahsatu mandat pertama bagi leader etika dan proses leadership etika adalah memastikan bahwa aturan, regulasi dan hal-hal lainnya telah: ditetapkan dengan jelas; diajarkan dengan jeals dan menyeluruh ke anggota organisasi baru; diperbarui dan diupdate bagi anggota veteran, dan ditegakkan secara konsisten dan fair untuk semua orang. Organisasi selalu bergantung pada anggotanya saat harus mengetahui dan menjalankan “duty”-nya (Trevino, Weaver dan Reynolds, 2006). Ini terjadi dalam organisasi sektor publik yang mana delegasi otoritas untuk mengerjakan tugas publik berasal dari undang-undang dan ini diartikulasikan lewat hukum administratif. Konten yang harus dijalankan oleh leader publik etika berada di dalam undang-undang otoritas, sedangkan harapan agar leader menghindari perilaku self-serving dan perilaku yang tidak pantas dituliskan di dalam legislasi etika. Legislasi etika menjelaskan perilaku yang dilarang seperti konflik kepentingan, pemberian hadiah, nepotisme, dst. Manajemen moral adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan fungsi leadership, yang menunjukkan bahwa harapan organisasi bisa dipahami dan ditegakkan (Brown dan Trevino, 2006). Pendekatan ini kadang disebut pendekatan duty atau pelatihan etika. Pendekatan ini bukan hanya diekspresikan dalam dokumen legislatif dan regulasi, tapi juga code of conduct, sumpah kantor, dan dokumen standar profesional (Menzel, 2007). Pentingnya leadership etika bisa paling kuat ketika itu tidak ada. Bayangkan sebuah agensi publik entrepreneurial, seperti agensi pembangunan ekonomi, yang aturan dan regulasinya tidak dibuat dengan jelas, sehingga personel agensi harus menebak berapa banyak inisiatif yang harus diambil. Bayangkan hasil dari tidak dilatihnya petugas polisi atau petugas tunjangan kesejahteraan. Bayangkan kekacauan akibat pegawai veteran tidak diberitahu tentang mandat legal baru atau bila mereka tidak diberi pendidikan tentang area kelemahan organisasi. Bayangkan rusaknya reputasi agensi bila ada budaya “semuanya lolos” dan penegakannya lambat, yang biasanya berakhir dengan skandal publik dan intervensi judisial atau legislatif. Ada beberapa kekuatan yang bisa ditemukan di dalam pendekatan ini. Karena United States dan negara maju lainnya adalah negara hukum, maka pendekatan duty dan pendekatan compliance adalah yang konsisten (Rohr, 1989). Sebuah pendekatan rule bisa membantu agensi dalam menciptakan visi dan metode yang sama (Svara, 2007). Karena hukum, regulasi dan aturan organisasi sering menjadi kompleks atau bernuansa, maka perspektif pelatihan etika bisa menimbulkan due deference bagi waktu dan fokus yang dibutuhkan untuk penguasaan aspek fungsi organisasi. Bila aturan (rule) tidak ditegakkan, maka terjadi kebusukan moral dan kekecewaan pegawai (Trevino, 1992). Terakhir, dengan mengetahui aturan dan regulasi, pegawai bisa memiliki konfidensi dan bisa meningkatkan kepercayaan publik (Gilman, 2005). Ini adalah pertimbangan penting, dan sering ditulis dalam teori leadership etika bersama dengan model integritas dasar. Pendekatan duty atau compliance juga memiliki kelemahan, umumnya dari tiga sumber, yaitu fokus eksesif kepelarangan, implementasi buruk, atau masalah penyelesaian korupsi. Ketika fokus tunggal dari leadership etika didasarkan pada kepatuhan (compliance), maka ini sering disebut pendekatan “low road”, yang berarti satu jalan menuju proses kompleks dan/atau berarti satu rute lebih mudah karena ini adalah solusi “teknis” ke persoalan tindakan yang salah. Meski begitu, bersikap etis tidak lalu [4] Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership Basis – Etika 2012 melarang tindakan salah dan bereaksi ke ancaman terhadap integritas. Menjadi etika adalah melakukan sesuatu yang benar dan melakukan sesuatu dengan benar, dan itu bukan proses pasif. Tahap lebih tinggi dari moralitas bukan ditekankan pada perilaku penghindaran (avoidance), tapi pada perilaku terpusat-prinsip (principle-centered) (Kohlberg, 1981). Perilaku terakhir ini diabaikan pendekatan compliance, kecuali bila perilaku ini dicampurkan dengan perspektif lain. Terkait dengan implementasi, etika atau perspektif pelatihan kode etik bisa lemah bila dijalankan dengan buruk karena materinya tidak mencukupi, pelatihannya superfisial atau kurang, kurang contoh kuat, model peran kontradiktif, dan sebagainya. Mungkin aspek paling rumit dari manajemen moral muncul bila sumber otoritas atau penegak manajemen moral menjadi korup, atau setidaknya dianggap korup. Contoh historis ekstrim ini menimbulkan masalah provokatif. Hitler memerintahkan bawahannya untuk menjalankan kamp kematian, seorang presiden memerintahkan penyamaran untuk menutupi powernya yang berlebihan, atau seorang gubernur menjual privilege pemerintah untuk mendapatkan payoff. Dalam situasi tersebut, tindakan salah ini memang nyata (dalam retrospeksi) sehingga diskusinya diarahkan ke norma sosial, bukan tentang perintah yang tidak tepat. Tapi, persoalan menjadi lebih kompleks di saat aturan sosial mengatur satu hal, tapi kesadaran orang mengatur hal lainnya. Contoh dari ini adalah advokasi aborsi. Bagaimana harus merubah opini otoritas, bila ada kemungkinan bahwa itu adalah kebiasaan atau eksentrikitas individu, atau malahan kesalahan blak-blakan? Perspektif selanjutnya akan difokuskan ke leader sebagai evaluator penting dari norma etika. 2.3 Leader Etika sebagai Autentik Jika perspektif manajer moral memberikan emphasis ke peran eksternal dari nilai otoritas, maka leadership autentik memberikan emphasis ke perspektif internal. Pendahulu dari kerangka konsep ini adalah Argyris (1957, 1993), Covey (1990), Fairholm (1991), dan banyak lagi lainnya. Definisi ini beragam antar peneliti sekarang (Avolio dan Gardner, 2005). Leader autentik, menurut Avolio dan Gardner, adalah yang self-aware (sadar diri) akan nilai, kognisi dan emosinya. Nilai inti dari leader autentik adalah keterpercayaan, kredibilitas, kehormatan bagi orang lain, kefairan, akuntabilitas dan aspek lain dari integritas personal dasar. Mereka cakap dalam regulasi-diri, khususnya dalam hal intelejensi emosional, tujuan perbaikan diri, dan kongruensi seimbang antara self aktual dan self ideal. Leader autentik mengontrol dorongan ego dan defensivitasnya, yang nantinya mempermudah sikap terbuka, feedback dan komunikasi murni. Kesadaran diri dan penerimaan diri bisa meningkatkan transparansi komunikasi tentang nilai, identitas, emosi, tujuan dan motif ke pihak lain. Karena itu, leader autentik membangun kapital psikologi positif dengan follower, yang nantinya kesadaran diri di pihak follower akan ditingkatkan dan dari situ, interaksi autentik terbentuk. Meski begitu, meski overlapnya dengan teori etika lain bisa luas sampai derajat pendekatan etika all-inclusive ke leadership, ternyata diskusi etika lebih sering membicarakan elemen kesadaran diri dan regulasi diri, khususnya bila dilihat dari sudut pandang manajemen moral. Kekuatan dari pendekatan leadership autentik bisa jadi besar. Konstruk leadership autentik bisa berisi peran individu di luar sekadar penerimaan pasif ke norma sosial. Leader autentik bertanggungjawab atas kesadaran dirinya dan regulasi dirinya. Mereka memberikan perhatian ke penyesuaian mutual dan berkelanjutan dari norma moral. [5] Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership Basis – Etika 2012 Emphasisnya diberikan ke aspek positif dari leadership, dimana leader bertanggungjawab atas kesehatan emosionalnya dan meningkatkan kesadaran moral dan kesehatan emosional pihak lain. Karena itu, ini memadukan beberapa pertimbangan etika, yang salah satunya adalah penggunaan pengaruh positif dalam model leadership general. Kritikus (misal, Cooper, Scandura, dan Schriesheim, 2005) mengemukakan beberapa tantangan saat membuat “pendekatan sangat normatif”. Pertama, definisi leadership autentik adalah amorphous dan all-inclusive, dan definisinya selalu sirkular. Leader yang baik adalah autentik dan sebaliknya. Sepertinya ada sedikit konsensus dalam konstruk yang mengisi leadership autentik, perkembangan leadership autentik dan followership autentik. Konsekuensinya, ini menimbulkan isu pengukuran signifikan dan isu level analisis. Terakhir, ketika pakar teori membuat protokol penelitian yang lebih elaborat, jarak antara penelitian dan aksesibilitas praktisi malah lebih besar (George, 2003). 2.4 Leader Etika Sebagai Metor Spiritual Untuk Follower, Klien Dan Konstituen Meski leadership spiritual sebagai paham pikiran hanya muncul di tahun 2003, ini memiliki presiden kuat di dalam tradisi leadership servant (Greenleaf, 1977) dan etika Kohlberg (1981). Filosofi leadership spiritual-servant sudah ada sejak jaman kuno, dan dikenal lewat tulisan pakar humaniter besar seperti Lao-Tzu dan Jesus. Ide dasarnya adalah bahwa prinsip bahwa orang harus melayani raja, pangeran atau potentate adalah ide yang mundur dan salah. Leader-lah yang harusnya melayani rakyat. Peningkatan nasib rakyat, pemberdayaannya dan kerendahan hati rakyat, adalah ukuran dari kebesaran leadership. Greenleaf selalu dijadikan referensi dan menjadi pusat penelitian (Graham, 1991; Russell dan Stone, 2002). Greeleaf Centers memiliki pengikut luas, dan bukan hanya didirikan di United States, tapi juga di UK, Eropa dan Asia. Institusi ini mengajarkan filosofi leadership servant, dan ini populer di kalangan komunitas non-profit. Kohlberg mengemukakan tiga level perkembangan moral yang digunakan oleh banyak pakar etika leadership. Level 1 adalah pra-konvensional, dan ini berisi orientasi kepatuhan dan hukuman (bagaimana saya menghindari hukuman), dan orientasi selfinterest (apa yang ada untuk saya?) dari pihak yang memiliki kompas moral yang immature atau tidak mapan. Level kedua adalah konvensional, yang berisi tahap kecocokan (berdasarkan norma sosial) dan orientasi otoritas dan ketertiban tatanan sosial (moralitas law-and-order). Laevel tertinggi adalah post-konvensional, yang berisi orientasi kontrak-sosial (ditunjukkan dalam konstitusi negara demokratik dan instrumen legal kapitalistik), dan tahap prinsip etika universal (mengikuti kesadaran prinsipil). Level ini relatif mudah ditransfer ke proses leadership. Tipe kerangka intelektual ber-layer sering dibicarakan di literatur leader di sektor publik (Cooper, 1990; Cooper dan Wright, 1992). Meski gerakan leadership spiritual memiliki dalil normatif yang sangat kuat, ini mengambil pendekatan yang lebih empiris dibanding leadership servant, yang cenderung menggunakan atomisasi proposisi uji konkrit (Liden dkk, 2008). Proponen kunci dari leadership spiritual adalah Louis Fry dan koleganya (misal, Fry, 2003; Fry, Vitucci dan Cedillo, 2005). Dalil keseluruhan dari leader spiritual adalah bahwa otoritas aksi berasal dari pihak yang dibantu, khususnya pihak yang dipengaruhi di luar organisasi. Dunia stakeholder perlu dipandang dalam cara lebih luas, tidak terbatas pada klien dan konsumen langsung, atau bahkan manusia. Bahkan ilmuwan besar seperti Einstein “tidak ingin menjadi orang [6] Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership Basis – Etika 2012 yang sukses, tapi ingin menjadi orang yang bernilai, dan menurutnya, ”hidup untuk orang lain adalah hidup yang bernilai”. Ada empat proposisi yang bisa ditarik dari beberapa peneliti di bidang ini. Pertama, nilai inti yang ditekankan di model integritas, tapi tidak masuk diperspektif lain, adalah kebutuhan akan kerendahan hati leader. Ini berkonflik dengan model leadership autentik yang menitikberatkan pada konfidensi diri, dan bahkan ini diabaikan oleh pendekatan manajer moral. Kerendahan hati menganggap cinta altruistik dan “panggilan hidup” sebagai nilai ekspliist. Dalam literatur sektor publik, ada banyak literatur tentang pentingnya motivasi public service (Perry, 1996, 1997; Alonso dan Lewis, 2001). Dalam perspektif leadership lain, konsep ini cenderung dibungkus oleh istilah yang kurang evokatif seperti komitmen dan dedikasi. Kedua, leader spiritual selalu mendahulukan kebutuhan bawahan dan konstituen eksternal. Seorang supervisor bisa menghentikan kerjanya untuk membantu bawahan yang bermasalah, atau seorang pekerja intake memberikan waktunya untuk membantu klien meski dia sendiri dikejar waktu. Ini juga berarti bahwa peran perkembangan dari leader adalah penting karena ini juga dibutuhkan di superleadership. Ini memunculkan alasan pemberdayaan. Ketiga, leader spiritual melakukan kerja emosional dan penyembuhan emosional. Kerja emosional adalah tindakan yang menunjukkan sensitivitas dan rasa peduli ke orang lain. Kerja emosional adalah yang paling ekstensif ketika kejadian negatif terjadi seperti bencana, kematian dan penderitaan besar. Meski kerja emosional terjadi pada bawahan dan anggota organisasi lain, perspektif ini menunjukkan bahwa di beberapa pekerjaan, seperti pekerja sosial, pekerja darurat, dan pengajar, ada harapan besar bahwa leader akan menunjukkan kerja emosional dengan klien (Gardner, Fischer dan Hunt, 2009; Newman, Guy dan Mastracci, 2009). Terakhir, leadership spiritual memberikan emphasis ke hasil akhir di pihak komunitas dan lingkungan. Dari perspektif ini, prinsip integrasi Kohlberg tentang kesadaran ruang dan waktu adalah imperatif bagi leader spiritual yang sadar dan peduli dengan kebutuhan manusia dan lingkungan. Salahsatu kekuatan leadership spiritual adalah bahwa ini langsung berkaitan dengan kebutuhan untuk membantu dan menciptakan perbedaan. Martin Luther King mengatakan bahwa individu tidak dikatakan hidup sampai dia naik di atas batasan sempit pertimbangan individualistiknya dan menuju pertimbangan luas semua manusia. Meski ilmuwan sosial sering menggunakan perasaan yang memiliki nuansa religius, sentimen ini sangat kuat sehingga mereka kadang harus memimpin orang untuk meresikokan hidupnya atau merubah vokasi (kecakapan)-nya. Leadership spiritual (atau servant) membentuk sebuah model yang menganalisa leader dalam hal peduli dan panggilan, dan ini mendorong semua leader untuk lebih dekat ke model spiritual. Contoh, setelah periode panjang kerakusan dan skandal korporat, maka mudah untuk melihat bahwa banyak organisasi bisnis mencoba menggunakan perspektif humaniter dan perspektif “hijau” saat mengangkat konstruk etika seperti tanggungjawab sosial korporat dan bottom line tripel – orang, planet dan profit. Meski begitu, leadership spiritual bukan hanya menjadi model universalistik yang memiliki banyak bentuk, tapi juga berpotensi menjadi model situasional. Beberapa profesi bisa lebih terbuka dibanding lainnya bagi model leadership servant, khususnya dalam sektor nonprofit dan sektor publik. Ironisnya, contoh lainnya adalah militer kontemporer. Bila perang konvensional mendorong adanya leadership yang heroik, rejimen, dan kasar, maka aktivitas pembangunan bangsa yang berlandaskan militer menganggap bahwa tentara dan supervisornya berusaha menunjukkan kepedulian [7] Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership Basis – Etika 2012 ke populasi, membantu proyek masyarakat, dan menunjukkan rasa peduli ke keberlanjutan jangka panjang. Tantangan leadership servant dan leadership spiritual adalah memahami prosedur dan fungsi otorisasi organisasi normal. Ini berisi skill dalam mendapatkan pengetahuan tentang organisasi dan tugas di tangan sehingga posisinya bisa secara efektif mendukung pihak lain. Tantangan lainnya adalah memutuskan apakah ini adalah pendekatan normatif atau empiris, dan apakah metode ideal bisa preskriptif atau deskriptif. Ada persoalan yang perlu dipertimbangkan, yaitu apakah pendekatan spiritual memang atau perlu membedakan antara efisiensi bottom-line dan hasil, atau apakah ini adalah hasil akhir yang diinginkan. Terakhir, kadang ada resistansi sangat kuat untuk melawan alasan normatif dari leadership servant di sektor privat dimana pasar dilihat sebagai sumber kearifan primer, dan pertimbangan shareholder dan pemilik adalah penting bagi kesuksesan kapitalisme (Milton Friedman, 1970). Beberapa pendekatan leadership manajerialist dan legalistik dalam sektor publik memiliki bentuk resistansi yang kurang agresif ke pendekatan basis agama. 2.5 Leader Etika Sebagai Agen Transformasi Perubahan Untuk Kebaikan Umum Dari awal renaissance leadership transformasional dan karismatik di akhir 1970-an, upaya intelektual besar dilakukan untuk membedakan antara leader berorientasiperubahan yang pengaruhnya lebih besar daripada hidupnya, yang dilatari oleh pertimbangan ego atau “personal”, dan leader yang dilatari oleh pertimbangan “sosial”. Perbedaan antara Mahatma Ghandhi yang transformasional dan Adolf Hitler pseudotransformasional adalah penting dalam hal ini (Bass dan Steidlmeier, 1999). Contoh, meski Burns (1978) mengatakan bahwa leader transformasional sebagai sebuah kelas sering peduli dengan perubahan apakah itu baik atau menyakitkan, atau bertindak dari ambisi atau keinginan personal untuk melakukan kebaikan, Burns juga mengatakan bahwa orang besar adalah leader yang “mentransformasi”. Leader transformasi adalah leader yang memahami kebutuhan orang akan perubahan, yang bisa menjelaskan kebutuhan itu, dan yang mampu menciptakan perubahan jangka panjang yang menguntungkan masyarakat. Leader semacam itu bisa menguatkan kebutuhan personalnya akan keterkenalan dan kesuksesan dengan maksud memberikan kebaikan bagi masyarakat. Leader transformasi bisa meningkatkan moralitas orang bila didasarkan pada perspektif Burns. Perspektif politik ini lebih diarahkan ke proses politik dimana perubahan transformasional bukan hanya transformatif, tapi juga manipulatif untuk menciptakan kemegahan personal dan sikap reaksioner berdasarkan penghasutan. Meski begitu, proses politik ini bisa terjadi di setting organisasi privat dan publik. Dalam literatur karismatik, Conger (1989) dan lainnya menegaskan pentingnya penggunaan power personal untuk kebaikan atau hasil sosial, bukan orientasi power personal (Kanungo, 2001; Parry dan Proctor-Thomson, 2002). Alat dan karakteristik leader transformasi bisa berupa pengumpulan informasi dari berbagai sumber seperti klien dan konsumen, yang menstimulasi terjadinya diskusi tentang ideal organisasi, dan bukan sekadar kebutuhan akan survive dan tumbuh. Dari situ, bisa dicetak visi bersama yang tidak hanya didasarkan pada keyakinan satu eksekutif, dan karena itu, membantu pemastian bahwa perubahan akan difokuskan ke keuntungan jangka panjang, bukan hasil jangka pendek. Tema ini didiskusikan dan didukung dalam literatur leadership dengan fokus di sektor publik. Model leadership adaptif dari Heifetz (1994) menfokuskan diri ke kebutuhan [8] Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership Basis – Etika 2012 leader untuk fokus ke kerja keras pembentukan konsensus, khususnya dalam menyelesaikan masalah kontemporer yang kompleks. Dia membedakan antara masalah teknis rutin, yang dipecahkan lewat keahlian, dan masalah adaptif, seperti kejahatan, kemiskinan dan reformasi pendidikan, yang membutuhkan pendekatan inovatif dan saratnilai. Masalah adaptif ini membutuhkan diagnosa situasi untuk mengetahui nilai yang terlibat dan menghindari solusi dominan-eksekutif, untuk menemukan cara untuk memoderasi perubahan yang menimbulkan stress, untuk tetap fokus ke isu relevan dan untuk memastikan bahwa tanggungjawab ke masalah berada di tangan stakeholder primer, bukan hanya eksekutif. Bryson dan Crosby (1992) membantu leader sektor publik menfokuskan perencanaan strategisnya ke kebutuhan basis-masyarakat, bukan tujuan berorientasi kompetitif, yang cenderung mendominasi perspektif sektor privat. Dengan terfokus ke kebutuhan masyarakat, maka agensi publik bisa menjaga keterpercayaannya (Carnevale, 1995) dan mendapat peran substantif legitimate di meja kebijakan (Terry, 1995), yaitu sebagai “konservator” dari kebaikan publik. Kekuatan dari perspektif ini adalah bahwa tidak ada keraguan bahwa perubahan adalah sebuah fungsi leader yang berskala besar dan penting, khususnya di kalangan eksekutif. Teori leadership transformasi mengintegrasikan nilai manajerial dan normatif ke dalam satu model. Perubahan adalah proses gegabah yang dipengaruhi secara negatif oleh ambisi, postur, manajemen imej, dorongan eksesif untuk bersaing dan dominan, keinginan egoistik dalam mengimplementasikan visi, dahaga akan hasil jangka pendek, dan seterusnya. Leadership transformasi adalah sebuah model yang mengharuskan leader untuk membuang kebutuhan dan keinginannya sendiri dan mementingkan kebutuhan dan keinginan dari organisasi dan masyarakat yang nasibnya dipengaruhi organisasi. Selain itu, ide keseluruhan dari leadership transformasi adalah memang cocok bagi sektor publik, khususnya bila melihat kebaikan umum dan fokus sosialnya dibanding orientasi profit dan fokus individu yang sering ada di sektor privat. Ada beberapa kelemahan di sini. Pertama, ketika teori mengawinkan perspektif deskriptif dan normatif, campurannya sangat kompleks dan arbitrary. Perubahan baik versus buruk dan motif moral versus immoral mudah terdeteksi. Ketepatan leadership ketika diukur dengan aspek historis sering dipengaruhi oleh penjelasan kesuksesan atau moralitas. “Pembebasan” orang Mexico oleh Spanyol, yang dipimpin Cortez di saat itu, dari “kediktatoran” Montezuma dan agama “pribumi” pasti bisa menjadi cerita berbeda jika Cortez terbunuh saat mendarat di Veracruz, dan/atau jika raja pribumi Montezuma kurang jahat dibanding Cortez. Kedua, leadership transformasi adalah heroik dalam artian bahwa perubahan adalah fungsi primer dari leader, dan menunjukkan bahwa fungsi leadership lainnya adalah detail manajemen yang tidak konsekuensial. Kritikus mengatakan bahwa ini seperti mengatakan bahwa peran Woodrow Wilson dalam menciptakan League of Nations adalah transformasi, meski itu tidak berfungsi semestinya, dan dia gagal membawa negaranya sendiri, United States, masuk menjadi anggotanya. Ide ini terbilang besar, dan memberikan semangat, tapi manajemen proses adalah sebuah kegagalan. Jenderal dan CEO selalu sadar bahwa rencana pertempuran atau peluncuran produk membutuhkan pelaksanaan yang ekselen – yaitu manajemen yang sempurna – agar sukses. Point yang terkait dengan ini adalah bahwa banyak orang yang dianggap leader tidak memiliki mandat atau kebutuhan untuk mentransformasi perubahan. Non-eksekutif dan eksekutif di lingkungan stabil jarang menggunakan langsung teori leadership transformasi. [9] Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership Basis – Etika 2012 Ringkasnya, sebuah perspektif etika tentang leadership bisa berarti bahwa leader dihadapkan dengan stok besar komunitas organisasi, profesional, dan sosial, dan leader harus memasukkan kebaikan umum ke dalam proses dan produk. Proses untuk sukses dan hasil sukses ditempatkan dalam konteks sosial yang menitikberatkan kesetaraan dan keberlanjutan. Yang mendasari pendekatan etika adalah integritas personal dari pihak yang terlibat dalam proses leadership. Kejujuran, keterpercayaan, dan kefairan individu adalah pondasi dari sebuah perspektif etika. Meski begitu, variasi dalam emphasis teori etika berbeda bukanlah hal sepele. Manajemen moral berkonsentrasi untuk memastikan bahwa aturan hukum dan struktur organisasi telah dipertimbangkan. Budaya organisasi lambat, khususnya di sektor publik fishbowl, bisa menimbulkan skandal, kebencian publik, investigasi legislatif, demoralisasi pegawai, dan biropathologi lainnya. Pendekatan “jalan tinggi” ke manajemen moral juga memastikan bahwa elemen diskresioner pembuatan keputusan bisa ditingkatkan lewat pendidikan profesional. Leader autentik adalah leader yang tahu dirinya dengan baik sehingga kemampuannya dalam regulasi-diri, ulet, optimistik, non-defensif, dan berorientasi ke orang lain, bisa ditingkatkan ketika mereka melakukan proses leadership. Berawal dari keterpusatan, leader autentik cenderung memancarkan kearifan dan semangat positif. Leader servant atau leader spiritual selalu berorientasi ke orang lain. Mereka termotivasi oleh empati, kepedulian dan kasih sayuang ke pihak yang mempercayakan peran leadership kepadanya. Membantu orang lain bukanlah masalah yang harus dipecahkan oleh leader servant, tapi ini adalah tujuan dari leadership. Bunda Teresa adalah contoh dari leader servant, dan banyak contoh dari ini ditemukan di leader dan manajer di agensi non-profit dan agensi kerja-sosial. Leadership transformasi difokuskan ke bisnis perubahan, yang memadukan perspektif sosial dengan proses organisasi dan evolusi sosial. Tidak seperti leadership servant, leader transformasi cenderung difokuskan ke proses, bukan orang individu. Leader transformasi adalah fasilitator dari perubahan, dan menggunakan skillnya untuk memastikan bahwa kebutuhan akan perubahan tidak akan memberikan Tentu saja, leader etika ideal bisa menggunakan semua gaya di semua waktu. Dalam realitanya, leader memiliki preferensi etika, dan kebutuhan akan lansekap etika selalu berbeda signifikan, sehingga pembedaan perspektif dibutuhkan untuk tujuan analitik. 3. MODEL LEADERSHIP GENERIK YANG DIDASARKAN PADA KESADARAN DAN KESUNGGUHAN Gaya leadership didasarkan pada level kesadaran sosial, disiplin diri, dan keberanian leader, yang beragam dari tidak etis sampai keteladanan (Van Wart, 1998a). Gejala paling umum dari leader yang memiliki gaya tidak etis adalah bahwa mereka menggunakan posisinya untuk keuntungan personal atau untuk kelompok khusus, tapi di saat sama, merugikan pihak lain. Leader tidak etis bisa menggunakan posisi dan powernya untuk mengangkat kepentingan temannya dan mengabaikan kepentingan orang lain, atau untuk mencari imbalan. Yang juga tidak etis adalah leader yang menggunakan posisinya sebagai platform untuk mengangkat egonya, bukan untuk menyelesaikan kebaikan. Leader semacam itu cenderung menggunakan semua cara untuk menghasilkan pencapaian. Leader bisa disebut tidak etis bila leader mengabaikan tanggungjawab atau membuang keputusan yang dianggapnya kurang mencerminkan dirinya, atau bila mereka bekerja dengan buruk atau malas. [10] Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership Basis – Etika 2012 Banyak leader bergaya netral secara etika. Mereka tidak sadar dengan persoalan etika, atau jika pun sadar, mereka tidak punya waktu untuk merefleksikannya. Seorang manajer senior bisa jadi tidak tahu bila supervisornya sering menggunakan gaya yang merendahkan martabat pegawainya, karena dia tidak menerima informasi tentang supervisornya. Manajer senior mungkin tahu masalah itu tapi mengabaikannya. Kadang, manajer bangga dengan pelaksanaan tugasnya yang bersifat teknis dan “netral”. Lalu, bagaimana dengan panduan otoritatif dan tugas birokratik? Manajer yang bekerja di mode ini umumnya mencoba memahami sifat prosedural dari kerja, aturan dan kefairan teknis. Etika, selama bukan melanggar aturan, bukanlah bagian dari pekerjaannya. Karena itu, leader yang netral etika bisa beragam dari leader yang tidak responsif atau tidak sadar dengan persoalan etika moderat hingga leader yang berusaha menata dan menganggap kerjanya sebagai prosedural dan bebas nilai. Leader netral etika adalah yang bebas dari perilaku tidak tepat, tapi mereka tidak aktif menciptakan iklim etika. Analisis leadership etika berumur setua filosofi. Banyak karya Aristoteles tentang etika dibuat dalam konteks leadership (Aristoteles, 1953). Perspektif etika berbasiskebajikan menitikberatkan ke proses rasional yang dijalankan leader. Orang dengan karakter baik – leader etika – melakukan tiga praktek. Pertama, orang berkarakter baik akan mengenali persoalan etika. Mereka paham bahwa banyak nilai selalu bersaing di setting sosial, dan bahwa leader sering menjadi arbiter dari siapa mendapat apa saat mengalokasikan nilai. Contoh, keputusan sederhana tentang menambah jam kerja memiliki banyak penjelasan. Apa efeknya ke pegawai, klien, kualitas kerja, kemampuan manajer dalam mengkoordinasi jam kerja dan membuat orang bisa mengatur waktunya, biaya operasi dan sebagainya? Kedua, leader etika menggunakan waktu untuk melakukan refleksi tentang persoalan yang berisi satu nilai penting dibanding lainnya. Perhatikan leader yang mengevaluasi supervisornya yang bermasalah. Seorang supervisor yang penindas adalah seorang pekerja keras, terorganisir dan kaya informasi. Dia adalah pekerja terbaik, dan dia memimpin unit yang paling produktif. Konundrum etikanya adalah bahwa leader tidak boleh merendahkan atau menindas bawahannya dan memegang semua power untuk dirinya sendiri dengan mengatasnamakan organisasi. Ketiga, leader etika menemukan cara untuk mengintegrasikan kebaikan kolektif ke dalam keputusan yang tepat. Dengan menggunakan contoh sebelumnya, perubahan gaya supervisor, tanpa menghapus produktivitas atau kontribusi supervisor, bukanlah tugas mudah. Integrasi set nilai yang tepat tapi berbeda bisa berarti kerja keras bagi leader etika. Ini juga berarti harus menemukan kompromi yang mengoptimalkan beberapa nilai penting. Sejumlah pakar teori berusaha mengidentifikasi bukan hanya leader etika tapi juga leder sangat etis, atau teladan (Cooper dan Wright, 1992; Hart, 1992). Apa yang membuat orang memiliki karakter tinggi? Ini adalah pertanyaan penting bagi leadership sektor publik karena stewardship dari kebaikan publik adalah sebuah proses sosial, dan sering sarat tantangan. Dua elemen lain yang perlu dipertimbangkan adalah kontribusi dan keberanian. Membuat kontribusi besar ke kelompok, organisasi, komunitas, atau sistem bisa melibatkan kerja keras, ketekunan, dan keterlibatan banyak orang, yang selanjutnya membutuhkan kepercayaan, empati dan pengasuhan. Satu tipe kontribusi substansial adalah penyelesaian proyek atau kerja baik. Seorang direktur perpustakaan kota mencari otorisasi untuk mengimplementasikan layanan tambahan seperti program purna-sekolah untuk penduduk tidak mampu, meski ini kurang populer karena dewan [11] Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership Basis – Etika 2012 kebijakan didominasi oleh penduduk yang lebih kaya. Tipe kedua dari kontribusi ini adalah peningkatan kesadaran moral di pihak follower atau masyarakat. Burns (1978) mengatakan bahwa tanggungjawab leader politk adalah memandu transformasi masyarakat lewat pertimbangan keadilan, kebebasan, dan kesetaraan. Leader sendiri harus dirubah lewat proses tersebut sehingga moralitasnya bisa naik ke level lebih tinggi yang lebih sosial. Heifetz (1994) mengemukakan sebuah peran fasilitatif yang dimainkan leader dalam proses peningkatan kesadaran moral. Dia yakin bahwa leader harus mengartikulasikan konflik nilai dari pekerja, organisasi dan komunitasnya di dalam lingkungan yang berubah cepat. Leader teladan membantu kelompok untuk melakukan dialog sampai keputusan koheren berhasil dibuat sehingga menguntungkan situasi winwin. Leader tidak memilih jawaban atau menjadikan keputusan dibuat. Leader hanya mempermudah pemaduan jawaban dan keputusan dengan memobilisasi orang agar bisa menyelesaikan persoalan yang membandel. Ini berarti bahwa leader harus memberikan perhatian ke persoalan kritis, melakukan diskusi jujur, mengolah perspektif yang bersaing, dan memfasilitasi proses pembuatan keputusan dalam cara tepat waktu. Level akhir atau tertinggi dari leadership teladan adalah kemauan untuk mengorbankan diri demi kebaikan umum dan/atau untuk menunjukkan keberanian yang tidak umum. David K. Hart (1992) mengatakan bahwa leader semacam itu muncul ketika leader menghadapi episode moral. Pengorbanan melibatkan penyangkalan pribadi terhadap komoditas general agar bisa meningkatkan kesejahteraan orang lain atau kebaikan umum. Leader yang mau berkorban bisa memberikan waktu banyak, bertindak tanpa pamrih finansial, mengabaikan kemajuan karir, atau mencari prestise sebagai bagian dari hasrat untuk melayani pihak lain. Leader terbaik adalah leader yang mampu melakukan pengorbanan, tapi merasa senang dengan peluang untuk membantu (DePree, 1989; Block, 1993). Greenleaf (1977) menyebut ini sebagai “leader servant” yang peduli dengan empati, perkembangan pihak lain, penyembuhan, keterbukaan, kesetaraan, sikap mendengar, dan penerimaan tanpa syarat terhadap pihak lain. Ketika bertindak, ini dilakukan dengan persuasi yang memberikan threshold tinggi pada sifat inklusi. Mereka ini mencoba menghindari paradigma power tidak rata yang tipikal di organisasi hirarkis, dan menggunakan paradigma primus inter pares (pertama di antara yang setara) (Greenleaf, 1977). Dikatakan di sini bahwa model hirarkis dari leadership sering merusak leader. Beberapa tantangan yang dirasakan leader “kuat” adalah: Menjadi kepala tunggal di puncak piramida adalah sesuatu yang abnormal dan rawan korup; Imej proteksi diri dalam omniscience sering berawal dari komunikasi yang tersamar dan terfilter; Orang yang berada di puncak piramida sering merasa sendiri; Tuntutan kantor malah merusak kreativitas leader; Posisi puncak malah mencegah proses leadership dengan persuasi karena kepala selalu memegang terlalu banyak power; Di situasi akhir, kepala menjadi performer, bukan orang alami, dan power kreatif semakin hilang; Seorang kepala bisa memunculkan prinsip bahwa di antara orang yang berkemampuan, satu orang harus menjadi bos agar kelompok bisa efektif. Sikap haus akan status membuat setiap orang menjadi korup (Greenleaf, 1977). [12] Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership Basis – Etika 2012 Meski begitu, beberapa leader mau bertindak luar biasa dan melakukan pengorbanan atau membuat keputusan penting yang membutuhkan keberanian besar. Membuat keputusan tegas bisa menimbulkan stigmatisasi sosial. Menunjukkan kebenaran tidak menyenangkan tentang orang, kepentingan, atau kelompok kuat bisa menyebabkan hilangnya sebuah pekerjaan atau bahkan kehancuran karir. Kasus Marie Ragghianti bisa menjadi contoh dari keberanian yang besar. Dia kehilangan patron, pekerjaan dan karir saat mengejar kebaikan publik. Meski banyak leader tidak merasakan situasi semacam ini, ketika itu ada, peluang tercapainya kebesaran atau mediokritas dan/atau kegagalan, selalu berjalan seiring. Kadang, keputusan tidak begitu bahaya bagi karir seseorang. Keputusan bisa saja kontroversial sehingga itu diabaikan agar tidak menimbulkan masalah di waktu kemudian. Keberanian mengambil keputusan bisa menghasilkan kebesaran etika jika integritas etika leader adalah mature. Contoh, Thomas Jefferson mengabaikan privilege eksekutif tapi menggandakan ukuran negara dengan perintah eksekutif unilateral ketika dia melakukan Louisiana Purchase di tahun 1804. Tindakan ini adalah yang memicu Revolusi Amerika. Model leadership etika umumnya dikatakan sebagai teori universal, meski ini berbeda dari setting sektor privat, yang memiliki diskresi moral lebih banyak tentang tanggungjawab sosial, dan ini berlawanan dengan tanggungjawab korporat/agensi. Pengecualian tentang ini adalah level tertinggi dari leadership teladan, yang membutuhkan tindakan berani atau pengorbanan. Tantangan/peluang yang ada adalah relatif tidak biasa dan spesifik situasi. Kualitas leadership etika dimoderasi oleh tiga faktor. Pertama, seberapa sadar leader persoalan etika dan seberapa aktif leader dalam merefleksikannya? Elemen kognitif harus digabung dengan etika kepedulian yang memotivasi leader untuk memadukan nilai komunal dalam cara keseluruhan. Kedua, leader etika tidak lalu etika, tapi mereka hanya melakukan refleksi etika yang konstan. Disiplin diri jauh lebih penting bagi orang yang ingin membangun karakter tinggi. Disiplin diri yang besar normalnya dibutuhkan untuk menyelesaikan proyek moral penting atau meningkatkan kesadaran moral di dalam masyarakat. Ketiga, keberanian di pihak leader bisa mempengaruhi kemampuan dan keberaniannya dalam melakukan pengorbanan personal dan martirdom administratif. Variabel kinerja dalam leadership etika adalah berbeda dari pendekatan lain yang menitikberatkan pada efisiensi produksi atau kepuasan follower. Berbagai pakar teori dalam pendekatan general ini mengemukakan tujuan berbeda, tapi tujuan yang paling sering dilontarkan adalah meningkatkan kebaikan umum dan pemberdayaan follower. Tujuan ini berbeda dari pendekatan basis-power ke leadership. Lebih jauh dari itu, pendekatan basis-etika menitikberatkan pada kualitas pembuatan keputusan seperti yang ditunjukkan di metode komprehensif (Cooper, 1990). 4. KESIMPULAN Karena butuh jalur berbeda dari pendekatan lainnya, maka leadership basis-etika memiliki beberapa kekuatan. Contoh, ini memunculkan pertanyaan. Dari siapa, leadership didapatkan? Dalam pendekatan ini, konteks leadership sebagai sebuah fenomena sosial untuk meningkatkan kebaikan umum harus menjadi pertimbangan pertama. Pendekatan lain dengan perspektif instrumental sering menekankan produktivitas, kesuksesan, atau pengaruh, tapi ini mendorong leader menggunakan narkisisme eksesif yang [13] Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership Basis – Etika 2012 mengatasnamakan efisiensi atau kontrol. Di banyak konteks bisnis, leader diajari prinsip bahwa tanggungjawab sosial adalah batasan yang harus dihindari atau diabaikan (Friedman, 1970; Henry, 2003). Pendekatan lain bisa menambah komponen etika, tapi ini umumnya menjadi tambahan bagi teori. Leadership basis-etika juga memberikan inspirasi karena teladan yang diberikan dan tantangan yang dihadapi. Secara teori, leadership basis-etika memberikan wawasan dan rekomendasi berguna, khususnya terkait dengan keberanian yang dibutuhkan dan sifat dari karakter leader. Satu kelemahannya adalah bahwa ini memberikan sedikit wawasan tentang aspek pragmatis dari leadership. Konundrum etika bisa dikatakan relatif jarang di dalam rutinitas manajer. Leadership basis-etika sering memiliki kualitas filosofi yang abstrak. Ini sebagian adalah hasil warisan intelektual dan sebagian lagi disebabkan oleh basis normatif general. Dari persepsi kelemahan yang ada, leadership etika adalah yang paling sering dibentuk dalam pikiran follower yang ingin menempatkan kepercayaan, integritas dan konsep di puncak preferensinya terhadap leader. Pikiran ini selalu dibawa dalam setting sektor publik dan non-profit dimana stewardship menjadi bagian dasar dari hak layanan. TUGAS DAN DISKUSI KELAS 1. Pembuatan makalah secara individu yang akan didiskusikan dalam kelas 2. Pembuatan makalah secara kelompok yang akan didiskusikan dalam kelas 3. Makalah individu dan kelompok menjadi tugas akhir mahasiswa REFERENSI Aronson (2001); Block (1993); Rost (1990); Machiavelli (1998); Ciulla (2004); Ciulla, Price dan Murphy (2005); Kant (1787 – 1996). Teori Leadership Basis-Etika. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England. Bryson dan Crosby (1992); Carnevale (1995); Terry (1995); Cortez, Montezuma, Woodrow Wilson, Teresa (2011). Teori Leadership Basis-Etika. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England. Carnevale (1995); Trevino, Weaver dan Reynolds (2006); Brown dan Trevino (2006); Menzel (2007); Rohr (1989); Svara (2007); Trevino (1992); Gilman (2005). Teori Leadership Basis-Etika. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England. Confucius, Dwight Eisenhower, Manz et al., (2008); Palanski dan Yammarino (2009); Burke et al., (2007); Newell, Racher dan Ronoyne (2008). Teori Leadership Basis-Etika. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England. Cooper (1990); Cooper dan Wright (1992); Liden et al., (2008); Louis Fry et al., (2003); Vitucci dan Cedillo (2005). Teori Leadership Basis-Etika. Dalam Montgomery Van Mart [14] Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership Basis – Etika 2012 (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England. David K. Hart (1992); De Pree (1989); Block (1993); Greenleaf (1977); Cooper (1994); Friedman (1970; Henry (2003). Teori Leadership Basis-Etika. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England. Greenleaf (1977); Kohlberg (1981); Lao-Tzu, Jesus, Greenleaf, Graham (1991); Russell dan Stone (2002). Teori Leadership Basis-Etika. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England. Kohlberg (1981); Argyris (1957 – 1993); Covey (1990); Fairholm (1991); Avolio dan Gardner (2005); Cooper, Scandura dan Schriesheim (2005); George (2005). Teori Leadership Basis-Etika. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England. Mahatma Ghandhi, Odolf Hitler, Bass dsan Steidlmeir (1999); Burns (1978); Conger (1989); Kanungo (2001); Parry dan Proctor – Thomson (2002); Heifetz (1994). Teori Leadership Basis-Etika. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England. Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England. Perry (1996 – 1997); Alonso dan Lewis (2001); Gardner, Fischer dan Hunt (2009); Newman, Guy dan Mastracci (2009); Martin Luther King (2011); Milton Friedman (1970). Teori Leadership Basis-Etika. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England. Van Wart (1998a); Aristoteles (1953); Konandrum (2011); Cooper dan Wriget (1992); Hart (1992); Burns (1978); Heifetz (1994). Teori Leadership Basis-Etika. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England. [15]