BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Salah satu permasalahan di Indonesia sebagai negara berkembang adalah kasus malnutrisi. Malnutrisi adalah kelainan yang disebabkan oleh ketidakseimbangan atau tidak memadainya asupan makanan tertentu maupun kurang sempurnanya penyerapan atau penggunaan makanan (Dorland, 1981). Malnutrisi bukan masalah yang dapat dianggap remeh, sekitar 6 juta balita meninggal per tahun akibat penyakit ini. Berdasarkan laporan UNICEF (2012) pada tahun 2006-2010, prevalansi malnutrisi pada anak balita di Indonesia yaitu sedang 18%, berat 5%, akut 14%, dan kronis 37%. Protein merupakan salah satu jenis nutrisi penting yang sering kali menjadi penyebab kasus-kasus malnutrisi. Kurang gizi protein kronis (stunting) dapat beresiko penyakit dan kematian atau pertumbuhan yang tidak optimal. Kurangnya asupan energi dan protein sering disebut KEP (Kurang Energi Protein) atau KKP (Kurang Kalori Protein). KEP dapat terjadi pada seluruh lapisan masyarakat, khususnya pada kelompok yang rentan terhadap gizi buruk seperti balita, ibu hamil, dan ibu menyusui. Penyakit-penyakit yang dapat timbul akibat kurangnya asupan protein antara lain marasmus, kwashiorkor, apati, edema, dan lain-lain. Protein mengandung asam amino yang menjadi unit pembangun dalam tubuh manusia, seperti sel dan DNA. Asam amino juga dibutuhkan dalam proses sintesis enzim dan protein struktural (Arrieta dan Prats-Moya, 2012). Asam amino sebenarnya dapat disintesis sendiri oleh tubuh yang disebut asam amino non esensial, namun beberapa asam amino tidak dapat disintesis oleh tubuh, yaitu asam amino esensial. Asam amino esensial dapat diperoleh dari asupan makanan, baik yang berasal dari protein hewani maupun protein nabati. Asam amino esensial yang bisa diperoleh dari asupan makanan adalah histidin, isoleusin, leusin, lisin, fenilalanin, treonin, triptofan, metionin, dan valin (Ryan, 2009). Setiap sumber makanan kaya protein memiliki kadar asam amino esensial yang berbeda-beda. Semakin lengkap dan 1 2 tinggi kadar asam amino esensial yang terdapat dalam sumber makanan tersebut, maka kualitas proteinnya akan semakin baik. Banyak sumber makanan yang tinggi protein tetapi rendah kandungan asam amino esensialnya sehingga perlu dilakukan fortifikasi pangan. Fortifikasi pangan adalah penambahan satu atau lebih zat gizi (nutrien) ke dalam bahan pangan. Tujuan utama fortifikasi adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan dalam upaya mempertahankan dan memperbaiki kualitas gizi bahan pangan tersebut. Fortifikasi merupakan salah satu strategi yang biasanya digunakan oleh industri makanan untuk meningkatkan nilai biologi dari suatu produk (Poletti dkk., 2004). Nilai biologi yang dimaksud adalah suatu indeks kualitas protein yang menunjukkan seberapa banyak protein fungsional dapat dibuat dalam tubuh dari protein yang dikonsumsi. Salah satu sumber protein nabati yang mengandung asam amino esensial cukup tinggi dan paling banyak dikonsumsi di Indonesia adalah kedelai. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka kebutuhan kedelai semakin meningkat. Konsumsi kedelai menurun karena produksi kedelai di Indonesia tidak dapat mencukupi kebutuhan seluruh penduduk. Selama ini kebutuhan akan kedelai diatasi dengan impor, namun dengan semakin tingginya harga kedelai impor, dibutuhkan alternatif sumber protein baru yang murah dan terjangkau bagi masyarakat, sehingga ketergantungan terhadap kedelai impor dapat diatasi. Sumber protein nabati yang lain dapat berasal dari kacang-kacangan dan biji-bijian, yang dikenal memiliki kandungan protein yang cukup tinggi. Salah satu contoh biji-bijian yang dapat dimanfaatkan adalah biji melon. Omobolanle dkk. (2014) melakukan analisis kandungan nutrisi dalam biji Cucumis melo yang menunjukkan kadar protein mencapai 30,97%. Penelitian ini mengkaji tentang kadar asam amino esensial yang terkandung dalam biji melon sebagai alternatif sumber protein baru yang potensial dan terjangkau dalam fortifikasi makanan. Sumber asam amino fortifikasi dapat berasal dari hasil sintesis atau protein hidrolisat (Gopakumar, 1998). Protein hidrolisat bisa diperoleh dari bahanbahan alam seperti biji-bijian, kacang-kacangan, ikan, dan sumber protein lainnya. 3 Untuk memperoleh asam amino esensial dari biji melon secara maksimal, perlu dilakukan isolasi. Salah satu metode isolasi yang dapat diterapkan adalah fraksinasi. Fraksinasi asam amino dapat dilakukan pada pH yang dekat dengan titik isoelektriknya (pI), karena asam amino merupakan ion dipolar yang akan bersifat netral pada titik tersebut. Pada penelitian ini fraksinasi akan dilakukan pada pH 7 dan 8 untuk membandingkan fraksi protein mana yang paling berpotensi sebagai fortificant. Fraksi protein yang lebih berkualitas ditunjukkan dari banyaknya kandungan asam amino esensial. Rumusan masalah pada penelitian ini adalah: 1. Bagaimana kandungan protein dalam biji melon? 2. Bagaimana kondisi yang optimal untuk ekstraksi protein dari biji melon? 3. Bagaimana komposisi asam amino esensial dari fraksi protein biji melon pI 7 dan 8 untuk masing-masing ekstrak? 4. Apakah fraksi protein biji melon pI 7 dan 8 berpotensi untuk fortifikasi pangan? I.2 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui kandungan gizi dari biji melon berupa kadar air, abu, lemak, protein, dan karbohidrat. 2. Isolasi protein dari biji melon dengan ekstraksi asam dan basa. 3. Melakukan pengendapan fraksinasi pada pH 7 dan 8 serta mengetahui komposisi asam amino esensial dari fraksi protein biji melon pI 7 dan 8. 4. Mempelajari potensi protein hasil fraksinasi biji melon sebagai bahan fortifikasi pangan. I.3 Manfaat Penelitian 1. Meningkatkan nilai ekonomi dari biji melon. 2. Memberikan informasi tentang kandungan nutrisi yang terdapat dalam biji melon. 3. Menambah pengetahuan tentang alternatif sumber asam amino esensial untuk fortifikasi pangan. 4. Memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kimia dan aplikasinya.