EKOSISTEM DAN SISTEM WILAYAH

advertisement
1
EKOSISTEM DAN SISTEM WILAYAH
Diabstraksikan dan dirangkum oleh:
Prof Dr Ir Soemarno MS
Bahan kajian MK. Dinamika Pengembangan Wilayah
PM pslp-ppsub 2011
EKOLOGI
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme
dengan lingkungannya dan yang lainnya. Berasal dari kata Yunani oikos
("habitat") dan logos ("ilmu"). Ekologi diartikan sebagai ilmu yang
mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara
makhluk hidup dan lingkungannya. Dalam ekologi, kita mempelajari makhluk
hidup sebagai kesatuan atau sistem dengan lingkungannya.
Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan
berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktor
biotik antara lain suhu, air, kelembapan, cahaya, dan topografi, sedangkan
faktor biotik adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan,
tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga berhubungan erat dengan tingkatantingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas, dan
ekosistem yang saling mempengaruhi dan merupakan suatu sistem yang
menunjukkan kesatuan.
Ekologi, biologi dan ilmu kehidupan lainnya saling melengkapi
dengan zoologi dan botani yang menggambarkan hal bahwa ekologi
mencoba memperkirakan, dan ekonomi energi yang menggambarkan
kebanyakan rantai makanan manusia dan tingkat tropik. Ekowilayah bumi
dan riset perubahan iklim ialah dua wilayah di mana ekolog (orang yang
mempelajari ekologi) kini berfokus.
Ekologi dalam politik
Ekologi menimbulkan banyak filsafat yang amat kuat dan
pergerakan politik – termasuk gerakan konservasi, kesehatan,
lingkungan,dan ekologi yang kita kenal sekarang. Saat semuanya
digabungkan dengan gerakan perdamaian dan Enam Asas, disebut gerakan
2
hijau. Umumnya, mengambil kesehatan ekosistem yang pertama pada
daftar moral manusia dan prioritas politik, seperti jalan buat mencapai
kesehatan manusia dan keharmonisan sosial, dan ekonomi yang lebih baik.
Orang yang menguasai pemahaman dan kepercayaan-kepercayaan
seperti itu disebut ”ekolog politik”. Beberapa penganut paham ini telah
mengorganisasikan dirinya ke dalam ”Kelompok Hijau”, namun ada juga ”
ekolog politik” dalam suatu partai politik (misalnya di Eropa). Seringkali
mereka menggunakan argumen ekologis untuk membuat kebijakan,
khususnya kebijakan hutan dan energi.
Ekologi dalam ekonomi
Banyak ”ekolog” yang berupaya menghubungkan ekologi dengan
ekonomi:
1. Lynn Margulis menyatakan bahwa studi ekonomi bagaimana
manusia membuat kehidupan. Studi ekologi bagaimana tiap
binatang lainnya membuat kehidupan.
2. Mike Nickerson mengatakan bahwa "ekonomi tiga perlima
ekologi" sejak ekosistem menciptakan sumber dan membuang
sampah, yang mana ekonomi menganggap dilakukan "untuk
bebas".
Ekonomi ekologi dan teori perkembangan manusia mencoba
memisahkan pertanyaan ekonomi dengan lainnya, namun susah. Banyak
orang berpikir ekonomi baru saja menjadi bagian ekologi, dan ekonomi tidak
boleh mengabaikan ekologi. "Modal alam" ialah contoh teori yang
menggabungkan dua hal itu.
Ekologi Antropologis
Ada kalanya ekologi disandingkan dengan antropologi, sebab
keduanya menggunakan banyak metode buat mempelajari satu hal yang
yang kita tak bisa tinggal tanpa itu. Antropologi ialah tentang bagaimana
tubuh dan pikiran kita are dipengaruhi lingkungan kita, ekologi ialah tentang
bagaimana lingkungan kita dipengaruhi tubuh dan pikiran kita.
3
Beberapa orang berpikir mereka hanya seorang ilmuwan, namun
paradigma mekanistik bersikeras meletakkan subyek manusia dalam kontrol
objek ekologi — masalah subyek-obyek. Namun dalam psikologi evolusioner
atau psikoneuroimunologi misalnya jelas jika kemampuan manusia dan
tantangan ekonomi berkembang bersama. Dengan baik ditetapkan Antoine
de Saint-Exupery: "Bumi mengajarkan kita lebih banyak tentang diri kita
daripada seluruh buku. Karena itu menolak kita. Manusia menemukan
dirinya sendiri saat ia membandingkan dirinya terhadap hambatan."
EKOSISTEM
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh
hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya.
Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan
menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling
mempengaruhi.
An ecosystem is a biological environment consisting of all the
organisms living in a particular area, as well as all the nonliving
(abiotic), physical components of the environment with which the
organisms interact, such as air, soil, water and sunlight
(http://en.wikipedia.org/wiki/Ecosystem).
The entire array of organisms inhabiting a particular ecosystem is
called a community. The number of species making up such a
community may vary from a myriad to a single species. In a typical
ecosystem, plants and other photosynthetic organisms are the
producers that provide the food. Ecosystems can be permanent or
temporary. Ecosystems usually form a number of food webs .
Ecosystems are functional units consisting of living things in a given
area, non-living chemical and physical factors of their environment,
linked together through nutrient cycle and energy flow.
Central to the ecosystem concept is the idea that living organisms
interact with every other element in their local environment.
Eugene Odum, a founder of ecology, stated: "Any unit that includes
4
all of the organisms (ie: the "community") in a given area interacting
with the physical environment so that a flow of energy leads to
clearly defined trophic structure, biotic diversity, and material cycles
(i.e.: exchange of materials between living and nonliving parts)
within the system is an ecosystem (Odum, E.P. (1971) Fundamentals of
ecology, third edition, Saunders New York).
Ecosystem management is a process that aims to conserve major
ecological services and restore natural resources while meeting the
socioeconomic, political and cultural needs of current and future
generations (Brussard Peter F, Reed Michael J and Tracy C Richard 1998
Ecosystem Management: What is it really? Landscape and Urban Planning
40: 9-20).
The principal objective of ecosystem management is the
efficient maintenance, and ethical use of natural resources
(Szaro, R., Sexton, W.T., and Malone C.R. 1998. The emergence of
ecosystem management as a tool for meeting people’s needs and
sustaining ecosystems. Landscape and Urban Planning 40: 1-7).
Ecosystem management acknowledges that the interrelation of
socio-cultural, economic and ecological systems is paramount to
understanding the circumstances that affect environmental
goals and outcomes (Lackey, R.T. 1998. Seven pillars of ecosystem
management. Landscape and Urban Planning 40: 21-30).
It is a multifaceted and holistic approach which requires a significant
change in how the natural and human environments are identified.
Several approaches to effective ecosystem management engage
conservation efforts at both a local or landscape level and involves:
adaptive management, natural resource management, strategic
management, and command and control management.
--------------Ilmu yang mempelajari ekosistem disebut ekologi. Ekologi berasal
dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu oikos dan logos. Oikos artinya
rumah atau tempat tinggal, dan logos artinya ilmu. Istilah ekologi pertama
kali dikemukakan oleh Ernst Haeckel (1834 - 1914). Ekologi merupakan
5
cabang ilmu yang masih relatif baru, yang baru muncul pada tahun 70-an.
Akan tetapi, ekologi mempunyai pengaruh yang besar terhadap cabang
biologinya. Ekologi mempelajari bagaimana makhluk hidup dapat
mempertahankan kehidupannya dengan mengadakan hubungan
atarmakhluk hidup dan dengan benda tak hidup di dalam tempat hidupnya
atau lingkungannya.
Para ahli ekologi mempelajari hal berikut:
1. Perpindahan energi dan materi dari makhluk hidup yang satu ke
makhluk hidup yang lain ke dalam lingkungannya dan faktorfaktor yang menyebabkannya.
2. Perubahan populasi atau spesies pada waktu yang berbeda
dalam faktor-faktor yang menyebabkannya
3. Terjadi hubungan antarspesies (interaksi antarspesies) makhluk
hidup dan hubungan antara makhluk hidup dengan
lingkungannya.
Komponen-komponen pembentuk ekosistem adalah: Komponen biotik dan
Komponen abiotik
Kedua komponen tersebut berada pada suatu tempat dan
berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur. Misalnya, pada suatu
ekosistem akuarium, ekosistem ini terdiri dari ikan, tumbuhan air, plankton
yang terapung di air sebagai komponen biotik, sedangkan yang termasuk
komponen abiotik adalah air, pasir, batu, mineral dan oksigen yang terlarut
dalam air.
Ekosistem merupakan suatu interaksi yang kompleks dan memiliki
penyusun yang beragam. Di bumi ada bermacam-macam ekosistem.
1. Susunan Ekosistem
Berdasarkan susunan dan fungsinya, suatu ekosistem tersusun atas
komponen sebagai berikut.
a. Komponen autotrof
(Auto = sendiri dan trophikos = menyediakan makan).
Autotrof
adalah
organisme
yang
mampu
menyediakan/mensintesis makanan sendiri yang berupa bahan
6
organik dari bahan anorganik dengan bantuan energi seperti
matahari dan kimia. Komponen autotrof berfungsi sebagai
produsen, contohnya tumbuh-tumbuhan hijau.
b. Komponen heterotrof (Heteros = berbeda, trophikos = makanan).
Heterotrof merupakan organisme yang memanfaatkan bahanbahan organik sebagai makanannya dan bahan tersebut
disediakan oleh organisme lain. Yang tergolong heterotrof
adalah manusia, hewan, jamur, dan mikroba.
c. Bahan tak hidup (abiotik). Bahan tak hidup yaitu komponen fisik
dan kimia yang terdiri dari tanah, air, udara, sinar matahari.
Bahan tak hidup merupakan medium atau substrat tempat
berlangsungnya kehidupan, atau lingkungan tempat hidup.
d. Pengurai (dekomposer)
Pengurai adalah organisme heterotrof yang menguraikan bahan
organik yang berasal dari organisme mati (bahan organik
kompleks). Organisme pengurai menyerap sebagian hasil
penguraian tersebut dan melepaskan bahan-bahan yang
sederhana yang dapat digunakan kembali oleh produsen.
Termasuk pengurai ini adalah bakteri dan jamur.
Ekosistem: Sebuah analisis
Tingkat organisasi yang lebih tinggi dari komunitas adalah ekosistem.
Di sini tidak hanya mencakup serangkain spesiesw tumbuhan saja, tetapi
juga segala macam bentuk materi yang melakukan siklus dalam system itu,
dan energi yang menjadi sumber kekuatan bagi ekosistem. Sinar matahari
merupakan sumber energi dalam sebuah ekosistem, yang oleh tumbuhan
dapat diubah menajdi energi kimia melalui proses fotosintesis.
Pembentukan jaringan hidup selanjutnya tentu saja bergantung pula pada
kemampuan tumbuhan menyerap pelbagai bahan mineral dari dalam tanah,
yang seterusnya diolah dalam proses metabolisme. Beberapa bagian
jaringan hidup yang dibentuk, seperti daun, buah, biji dan umbi, dapat
dimakan oleh herbivore. Dan kemudian hewan itu menjadi mangsa
karnivora yang lebih besar. Akhirnya, semua jaringan hidup, baik dari hewan
7
maupun tumbuhan akan mati, jatuh ke tanah sebagai sampah , dan menjadi
bahan makanan bagi anekaragam mikroba tanah. Sampah tumbuhan dan
hewan ini diubah oleh mikroba tanah melalui proses pembusukan menjadi
humus, serta diuraiakn menjadi bahan mineral proses mineralisasi. Jadi
dalam tanah itu dapat juga dijumpai dua jenis mikroba, yaitu mikroba
prmbusuk dan mikroba pengurai. Berdasarkan uraian yang singkat di atas itu
tampak dalam sebuah ekosistem terdapat rantai makanan.
Pada rantai makanan, mahluk dalam ekosistem dikulpulkan menjadi
beberapa kelompok, yang masing-masing mempunyai jarak transfer
makanan tertentu dari sumber energi yang masuk ekosistem. Tumbuhan
yang dapat membentuk bahan organic dari meineral dan energi matahari
dengan proses fotosistensis merupakan komponen produsen dalam
ekosistem. Mahluk yang menggunakan bahan organic yang telah dibentuk
oleh produsen, merupakan komponen konsumen dalam ekosisitem. Mahluk
yang menggunakan bahan organic yang telah dibentuk oleh produsen,
merupakan komponen dalam ekosistem. Masing-masing kelompok mahluk
yang mempunyai jarak transfer makanan tertentu dari sumber energi,
menempati suatu isngkatan trofik tertentu. Tingkat trofik berupa tumbuhan,
tingkat trofik 2 hewan herbivore, tingakat trofik 3 hewan karnivora kecil, dan
seterusnnya. Dalam ekosistem biasanya tingkatan trofik tidak lebih dari 5.
konsep rantai makanan sangat praktis unutk membahas aliran dalam energi
ekosistem. Tetapi yang biasanya terjadi dalam ekosistem sebetulnya adalah
hubungan saling makan yang lebih kompleks. Kalau hubungan saling makan
tadi disusun secara lebih lengkap. Akan didapatkan jarring makanan. Kalau
biomasa dari setiap tingkatan trofik dinyatakn dalam perbandingan luas,
disusun mulai dari tumbhuan di tempat paling bawah, dan tingkatan trofik
yang lebih tinggi di atasnya, akan tetapi terbenutklah sebuah piramida trofik
(disebut juga piramida makanan).
Perhatikan bahwa liaran energi tidak berupa siklus, sedangkan
mineral beredar merupakan siklus. Energi matahri yang idubah menjadi
energi kimia oleh tumbuhan berklorofil digunakan untuk membentuk
jarungan hidup, atau ikatan kimia kompleks, seperti karbihidrat, lemak, dan
protein. Hasil ini dalam ekologi dinyatakan dengan unit produksi fotositensis
kotor ( gross photosynthetic production) per luas tertentu. Meskipun
demikian, hanya sebgaian jaringan biomassa; yang lain melepaskan diri,
8
sebagian lagi tak tereliminasi, dan sisanya hilang dalam proses pernafasan.
Efisisensi prodiksi (production efficiency) pada setiap tingkat makanan
dinyatakan dengan derajat produksi biomassa tersebut pada suatu tingkat
dibagi oleh derajat produksi biomassa pada tingkat yang dimakannya.
Derajat produlsi (produkvitas) dalam ekosistem dinyatkan dalam
satuan; berat (biasanya berat kering), atau kalori karena berat mahluk kering
kalau idbakar menghasilkan panas; per satuan (m2 unutk unit kecil, ha atau
km2 unutk unit besar) per satuan waktu (hari atau tahun).
Dalam kegunaan praktis, derajat produksi sering diukur dalam kalori
per meter persegi per tahun. Seperti dalam ilmu fisika, kimia dan ilmu
lainnya, seorang yang mempelajri ilmu leingkungan akan sering
berhubungan dengan pengertian kadar, sepat perubahan jumlah (rate
change in number). Misalnya perubahan N sehubungan dengan waktu,
dimana dapat menyatakan jumlah penduduk dunia , taua penduduk
Indonesia, ataupun jumlah hewan yang terdapat di suatu sawah.
Dari serangkaian uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam
kehidupan di muka bumi (biosfer) ini, mahluk hidup tidak darat berdiri
sendiri, tergantung satu dengan yang lainnya dan lingkungan abiotik. Dalam
ekosistem menjadi aliran energi dan siklus materi diubah dari bentuk
senyawa satu bentuk senyawa lin dan hakikatnya tidak ada materi yang
hilang dalam ekosistem bahakn di alam semesta ini. Energi pada massa
purba tertangkap oleh tumbuhan berhijau daun dan tumbuhan itu
(tumbuhan paku besar) terkubur jutaan tahun menjadi batu bara yang kini
digali manusia untuk sumber energi pabrik dan lainnya. Minyak bumi
sebgaia sumber energi juga terjadi dari hewan bersel tunggal (protozoa)
yang mendapat energi dari matahari, karena hewan itu makan tumbuhan
berhijau daun yang bersel tunggal.
Apabila suatu ekosistem terganggu, di mana siklus materi dan
transfer energi terpotong, maka komponen dalam ekosistem, termasuk
manusia akan terganggu pula sampai keseimbangan baru tercapai. Dalam
mencapai keseimbangan baru itu kadang-kadang suatu populasi terpaksa
tersingkirkan dari ekosistem atau dengan kata lain mungkin punah.
Ekosistem secra rinci dibedakan atas ekosistem darat dan ekosistem
air, selanjutnya ekosistem air tawar, misalnya; ekosistem danau, sungai
9
hulu; ekosistem air payau mislanya; muara sungai, tambak; ekosistem air
asin, misalnya; laut.
Dalam rangka penyusunan kebijakan dan strategik pengelolaan
lingkungan perlu memahami konsep dasar ekologi. Lebih spesifik lagi setelah
kita dapat memahami konsep ekologi dapat digunakan untuk melakukan
identifikasi karakteristik ekologi melalui penelusuran proses ekologi. Proses
ekologi dalam suatu wilayah ekosistem dapat diidentifikasi melalui
hubungan antara komponen lingkungan biofisik dan komponen lingkungan
sosial-budaya, seperti digambarkan secara ringkas pada Gambar 1.
Komponen Lingkungan
Biofisik _______
(Natural ecosystem)
Komponen Lingkungan
Sosial-Budaya
(Socio ecosystem)
Konsep dasar dan pola pemikiran ekologi sebagai dasar pemecahan
masalah lingkungan mengubah paradigma paham antrophosentrisme ke
paham ekosentrisme. Proses ekologi manusia (antrophoekosentrisme) yang
tergolong dalan socio-ecosystem terkait dengan kondisi biofisiknya dapat
diamati dalam setiap satuan ekosistem bentanglahan. Dalam hubungan
antar unsur-unsur yang terkandung dalam sistem sosial (human ecology)
maupun dalam sistem alam (natural ecosystem) terdapat beberapa proses
yang terjadi sebagai berikut:
(1) Hubungan saling keterkaitan (inter-relationships)
Unsur-unsur yang terkandung, baik dalam sistem sosial maupun
dalam sistem alami saling berinteraksi satu sama lain masingmasing membentuk subsistemsubsistem kecil dalam skala
lokalitas yang saling mempengaruhi (simbiotik maupun
parasitik). Subsistem yang mempunyai sifat dinamika tinggi
(mobile) juga berinteraksi dengan subsistem dari ekosistem lain
10
melalui proses aliran energi dan materi (flora, fauna) dan
melalui tukar-menukar ataupun perkawinan (antar manusia)
(2) Hubungan saling ketergantungan (independency)
Hubungan tersebut tidak hanya terbatas pada saling keterkaitan,
namun juga saling ketergantungan antar subsistem, dan bukan
yang mempunyai sifat dinamika tinggi, subsistem yang tidak
banyak bergerak pun mempunyai hubungan saling
ketergantungan. Keberadaan subsistem air dengan kualitas
tertentu sangat dibutuhkan oleh subsistem-subsistem lain
( pertumbuhan biota, proses biogeokimia).
(3) Aliran energi, materi, dan informasi
Hasil pengelolaan sumberdaya ekosistem menghasilkan materi
dan energi yang akhirnya kembali lagi ke manusia sebagai hasil
pemanenan. Hasil peningkatan budaya untuk memperbaiki
sistem pengelolaan lingkungan meningkatkan informasi begitu
terus sistem peningkatan budaya sehingga terbentuk aliran
informasi (perbaikan budaya sistem usahatani).
(4) Proses Seleksi dan Adaptasi
Manusia dalam menghadapi kondisi lingkungan sejak zaman
dulu hingga sekarang bersifat dinamik mengikuti kemajuan
budaya dan teknologi yang dikuasai. Pada awalnya manusia
sangat tergantung pada kondisi fisik lingkungannya
(deterministik), kemudian mampu mengadakan seleksi atau
mencoba dengan cara adaptasi (probabilitas/posibilitas),
akhirnya kenal dengan pendekatan sistem/ekosistem, mereka
mengkombinasikan menjadi pendekatan ”sistemik, adaptif, dan
dinamik”.
Ditinjau dari substansinya dalam satu kesatuan ekosistem
bentanglahan (lokalitas) terdapat tiga komponen pembentuk permasalahan
lingkungan yang saling interaksi dan saling negasi. Sebagai input ekosistem
bentang lahan yang mengandung: (1) sumberdaya alam (SDA) yang
menempati (2) kawasan budidaya dan non-budidaya, akibat exploitasi
lingkungan hidup tergantung pada (3) kualitas manusia (SDM) menyebabkan
penurunan (degradasi) kualitas lingkungan. Terjadinya penurunan/degradasi
11
kualitas lingkungan adalah akibat exploitasi lingkungan hidup yang
menyimpang (malpraktek) melegalkan upaya pemanfaatan lahan yang
sebenarnya merupakan kawasan yang harus dilindungi atau pun ruang
terbuka hijau. Meluasnya lahan kritis, miskin dan terlantar, lahan miring dan
tebing sungai longsor, banjir yang melanda di permukiman dan perumahan,
kekeringan di bagian hulu, pencemaran dan kontaminasi air tanah,
merosotnya kesehatan dan sanitasi lingkungan. Dampak dari malpraktek
tersebut meluas menimpa kembali kehidupan manusia dan akhirnya dapat
menurunkan kualitas sumberdaya manusia .
Lahan Kritis/Terlantar,
Longsor lahan, Banjir
Kekeringan, Tercemar
(Dampak Malpraktek)
Kawasan
Budidaya, Non-Budidaya
(Carrying Capacity)
Sumberdaya Alam,
Sumberdaya Manusia
(Resources Potential)
Gambar 2. Komponen utama dalam Pengelolaan Ekosistem.
Ketiga komponen pembentuk lingkungan tidak terpisah, namun
membentuk satu kesatuan lokalitas dalam suatu ekosistem bentanglahan,
sumberdaya alam potensial dan kawasan budidaya dan non-budidaya
merupakan input alam (given), sumberdaya manusia potensial tergantung
pada tingkat penguasaan tekno-budaya (cultural ecology), dampak exploitasi
lingkungan akibat penyalahgunaan praktek pemanfaatan lahan (malpraktek).
Manusia sesuai kodratnya diberikan kelebihan ilmu pengetahuan
yang secara alami (instinctive) dapat muncul dengan sendirinya tergantung
12
kepada kepekaan dalam menanggapi atau pun membaca fenomena alam
dan kemudian menerjemahkan ke dalam dunia nyata (real world) sebagai
tindakan nyata manusia. Manusia selalu diuji kepekaannya dalam
menanggapi tanda-tanda alam, untuk itu manusia selalu meningkatkan
kemampuan budaya, mulai dari budaya yang hanya sekedar untuk
mempertahankan hidup (survival) hingga budaya untuk membuat rekayasa
menciptakan lingkungan hidup yang nyaman, sejahtera, dan berkelanjutan
(sustainable).
Manusia dalam setiap memanfaatkan sumberdaya alam (SDA) pada
dasarnya dengan kemampuan teknologi yang dikuasainya dalam
implementasinya lebih mementingkan aspek ekonomi (mencari keuntungan
sebesar-besarnya) daripada kepentingan ekologi (prinsip kelestarian).
Kegiatan ekonomi menjadi tumpuhan dalam setiap manajemen sumberdaya
alam agar sesuai dengan investasi yang ditanamkan dan waktu serta ruang
yang disediakan terbatas.
Manusia (SDM) memilih Sumberdaya alam (SDA) dengan bantuan
teknologi penginderaan Jauh (PJ) dan melalui pengolahan sistem informasi
geografis (SIG/GIS) dalam setiap pengelolaan SDA dan Lingkungan Hidup
(LH) untuk kegiatan ekonomi. Keterkaitan antar sub-komponen tersebut
dapat saling interaksi yang menguntungkan dan dapat pula saling negasi
yang merugikan.
Lingkungan
Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup
keadaan sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta
flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan
kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana
menggunakan lingkungan fisik tersebut.
Lingkungan terdiri dari komponen abiotik dan biotik. Komponen
abiotik adalah segala yang tidak bernyawa seperti tanah, udara, air, iklim,
kelembaban, cahaya, bunyi. Sedangkan komponen biotik adalah segala
sesuatu yang bernyawa seperti tumbuhan, hewan, manusia dan mikroorganisme (virus dan bakteri). Ilmu yang mempelajari lingkungan adalah
13
ilmu lingkungan atau ekologi. Ilmu lingkungan adalah cabang dari ilmu
biologi.
Konsep lingkungan di Indonesia
Lingkungan, di Indonesia sering juga disebut "lingkungan hidup".
Misalnya dalam Undang-Undang no. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, definisi Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan
semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan
perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
SISTEM WILAYAH
Wilayah adalah sebuah daerah yang dikuasai atau menjadi teritorial
dari sebuah kedaulatan. Pada masa lampau, seringkali sebuah
wilayah dikelilingi oleh batas-batas kondisi fisik alam, misalnya
sungai, gunung, atau laut. Sedangkan setelah masa kolonialisme,
batas-batas tersebut dibuat oleh negara yang menduduki daerah
tersebut, dan berikutnya dengan adanya negara bangsa, istilah yang
lebih umum digunakan adalah batas nasional.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Wilayah).
Dengan menggunakan pendekatan regional, maka wilayah dibedakan
menjadi :
1. Wilayah Formal. Merupakan suatu wilayah yang dicirikan
berdasarkan keseragaman atau homogenitas tertentu. Oleh
karena itu, wilayah formal sering pula disebut wilayah seragam
(uniform region). Homogenitas dari wilayah formal dapat
ditinjau berdasarkan kriteria fisik atau alam ataupun kriteria
sosial budaya. Wilayah formal berdasarkan kriteria fisik
didasarkan pada kesamaan topografi, jenis batuan, iklim dan
vegetasi. Misalnya wilayah pegunungan kapur (karst), wilayah
beriklim dingin, dan wilayah vegetasi mangrove. Adapun wilayah
formal berdasarkan kriteria sosial budaya seperti wilayah suku
14
Asmat, wilayah industri tekstil, wilayah Kesultanan Yogyakarta,
dan wilayah pertanian sawah basah.
2. Wilayah Fungsional. Merupakan suatu wilayah yang di
dalamnya terdapat banyak hal yang diatur oleh beberapa pusat
kegiatan yang satu sama lain saling berhubungan misalnya kota
terdapat berbagai pusat kegiatan mulai dari CBD, perkantoran,
pasar dan seterusnya yang satu sama lain dihubungkan dengan
jaringan jalan raya. Wilayah fungsional lebih bersifat dinamis
dibandingkan dengan wilayah formal.
“Ruang” adalah wadah kehidupan manusia beserta sumberdaya
alam yang terkandung di dalamnya meliputi bumi, air dan ruang angkasa
sebagai satu kesatuan. Konsep ruang mempunyai beberapa unsur, yaitu:
(1) jarak, (2) lokasi, (3) bentuk, dan (4) ukuran. Konsep ruang sangat
berkaitan erat dengan waktu, karena pemanfaatan bumi dan segala
kekayaannya membutuhkan organisasi/pengaturan ruang dan waktu.
Unsur-unsur tersebut di atas secara bersama-sama menyusun unit tata
ruang yang disebut wilayah.
Wilayah dapat didefinisikan sebagai suatu unit geografi yang
dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara
internal dalam dimensi ruang yang merupakan wadah bagi kegiatankegiatan sosial ekonomi yang memiliki keterbatasan serta kesempatan
ekonomi yang tidak sama.
Konsep-konsep wilayah klasik, yang mendefinisikan wilayah
sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik dimana komponenkomponen dari wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara
fungsional;
1) Wilayah homogen, yaitu wilayah yang dibatasi berdasarkan
pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah
tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak
dominan bisa bersifat heterogen. Pada umumnya wilayah
homogen sangat dipengaruhi oleh potensi sumberdaya alam
dan permasalahan spesifik yang seragam. Dengan demikian
konsep wilayah homogen sangat bermanfaat dalam
penentuan sektor basis perekonomian wilayah sesuai dengan
15
2)
3)
4)
5)
potensi/daya dukung utama yang ada dan pengembangan pola
kebijakan yang tepat sesuai dengan permasalahan masing
masing wilayah;
Wilayah nodal, menekankan perbedaan dua komponenkomponen wilayah yang terpisah berdasarkan fungsinya.
konsep wilayah nodal diumpamakan sebagai suatu ”sel hidup”
yang mempunyai inti dan plasma. Inti adalah pusat-pusat
pelayanan/pemukiman, sedangkan plasma adalah daerah
belakang ( hinterland );
Wilayah sebagai sistem, dilandasi atas pemikiran bahwa
komponen-komponen di suatu wilayah memiliki keterkaitan
dan ketergantungan satu sama lain dan tidak terpisahkan;
Wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi
berdasarkan kenyataan terdapatnya sifat-sifat tertentu pada
wilayah baik akibat sifat alamiah maupun non alamiah
sehingga perlu perencanaan secara integral;
Wilayah administratif-politis, berdasarkan pada suatu
kenyataan bahwa wilayah berada dalam satu kesatuan politis
yang umumnya dipimpin oleh suatu sistem birokrasi atau
sistem kelembagaan dengan otonomi tertentu. wilayah yang
dipilih tergantung dari jenis analisis dan tujuan
perencanaannya. Sering pula wilayah administratif ini sebagai
wilayah otonomi. Artinya suatu wilayah yang mempunyai
suatu otoritas melakukan keputusan dan kebijaksanaan
sendiri-sendiri dalam pengelolaan sumberdaya-sumberdaya di
dalamnya.
Daerah, dalam konteks pembagian administratif di Indonesia, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat. Daerah terdiri atas Provinsi, Kabupaten, atau Kota. Sedangkan
kecamatan, desa, dan kelurahan tidaklah dianggap sebagai suatu Daerah
(daerah otonom). Daerah dipimpin oleh Kepala Daerah (gubernur/bupati/
16
walikota), dan memiliki Pemerintahan Daerah serta Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
PENGEMBANGAN WILAYAH
Kegiatan pengembangan wilayah adalah suatu kegiatan yang
memiliki dua sifat yaitu sifat akademis dan sifat birokratis dalam mengelola
wilayah. Sifat akademis biasanya menggunakan istilah “seyogyanya” dan
sifat terapan biasanya menggunakan istilah “seharusnya”. Dengan demikian,
pendekatan geografi, dalam tulisan ini, dapat digunakan dan dapat pula
tidak digunakan dalam kegiatan pengembangan wilayah tergantung
kemauan politis pemegang kekuasaan. Suatu pendekatan yang sudah dipilih
dan diputuskan oleh pengambil keputusan politis maka “harus” dilaksanakan
oleh para pelaksana di lapangan dan “tidak boleh” menggunakan yang lain.
Regional science is a field of the social sciences concerned with analytical
approaches to problems that are specifically urban, rural, or regional.
Topics in regional science include, but are not limited to location theory or
spatial economics, location modeling, transportation, migration analysis,
land use and urban development, interindustry analysis, environmental
and ecological analysis, resource management, urban and regional policy
analysis, geographical information systems, and spatial data analysis. In the
broadest sense, any social science analysis that has a spatial dimension is
embraced by regional scientists.
(http://en.wikipedia.org/wiki/Regional_science).
Regional development is the provision of aid and other assistance to
regions which are less economically developed. Regional development may
be domestic or international in nature. The implications and scope of
regional development may therefore vary in accordance with the definition
of a region, and how the region and its boundaries are perceived internally
and externally (http://en.wikipedia.org/wiki/Regional_development).
17
Konsepsi pembangunan wilayah pada dasarnya adalah
pembangunan proyek proyek berdasarkan hasil analisa data spasial (Sandy
dalam Kartono, 1989), sehingga ketersediaan peta menjadi mutlak
diperlukan. Karena keseluruhan proyek berada di tingkat kabupaten/kota
maka pemerintah kabupaten/kota mutlak perlu menyiapkan peta peta fakta
wilayah dalam tema tema yang lengkap. Dalam lingkup pekerjaan inilah
antara lain dituntut peran aktif kajian-kajian para ahli geografi.
Pewilayahan data spasial untuk menetapkan proyek pembangunan
disebut wilayah subyektif, sedang wilayah yang ditetapkan untuk suatu
bidang kehidupan sebagai tujuan pembangunan (penetapan wilayah
pembangunan) disebut wilayah obyektif. Implementasi wilayah
pembangunan pada umumnya tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Produk akhir dari analisis data spasial disebut “wilayah geografik”
sedang cakupan ruang muka bumi yang dianalisis disebut
“area/geomer/daerah”.
Pada saat ini semakin dapat dirasakan bahwa perkembangan suatu
daerah tertentu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh daerah sekitarnya
mulai dari daerah tetangga sampai daerah yang lebih jauh jaraknya bahkan
pengaruh dari bagian bumi lainnya. Dampak globalisasi telah membuktikan
hal itu. Oleh karena itu, wilayah sebagai system spasial dalam lingkup
kegiatan pengembangan wilayah merupakan subsistem spasial dalam
lingkup yang lebih luas. Sebuah kabupaten/kota, dalam kegiatan
pengembangan wilayah, di samping menganalisis data spasial
kabupaten/kota yang bersangkutan, juga perlu memperhatikan paling tidak
bagaimana perkembangan daerah sekitarnya (interregional planning).
Sebuah kabupaten/kota tidak dapat hidup sendiri dan oleh karena itu perlu
mengadakan kerja sama dengan daerah tetangganya.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, suatu proyek
pembangunan daerah dilaksanakan pada tingkat kabupaten/kota sebagai
unit terrendah dalam hirarki pembangunan. Proyek terkait dengan jenisnya
dan dananya. Setelah jenis dan dananya disediakan maka tahap berikutnya
adalah menetapkan di bagian mana dari daerah kabupaten/kota proyek
tersebut akan dilaksanakan. Ada beberapa cara untuk menetapkan proyek
pembangunan. Cara penetapan proyek biasanya dilakukan, pada tahap awal,
18
melalui suatu kajian akademis antara lain berdasarkan pendekatan geografi,
pendekatan ekonomi dan lainnya.
Pendekatan geografi dilakukan melalui tahapan penetapan masalah,
pengumpulan data dan analisis data mulai dari kegiatan penyaringan,
pengelompokan, klasifikasi data, kegiatan pengwilayahan, korelasi dan
analogi. Oleh karena adanya keragaman berbagai masalah yang dihadapi
masyarakat, berdasarkan kemampuan keuangan pemerintah dan skala
waktu pelaksanaan, disusun skala prioritas proyek.
Hasil korelasi secara spasial (tumpang tindih atau overlay peta
wilayah) dapat ditunjukan masalah apa sebagai prioritas proyek dan di mana
lokasi proyek tersebut dilaksanakan. Dalam pelaksanaanya, pendekatan
geografi tidaklah sesederhana itu.
Beberapa cara lain untuk menetapkan proyek pembangunan dapat
disebutkan antara lain dengan menerapkan teori Economic Base, Multiplier
Effect yang berkaitan dengan teori input-output dan penerapan teori lokasi,
(Location Theory), teori pusat (Central Place Theory) dan penerapan teori
Kutub Pengembanngan (Growth Pole Theory). .
1. Teori Lokasi. Paling tidak ada tiga hal yang dapat dijadikan
pertimbangan dalam menetapkan lokasi proyek pembangunan
yaitu (1) pengeluaran terrendah (2) jangkauan pemasaran dan
(3) keuntungan tertinggi.
2. Teory Pusat Pelayanan. Pola ideal yang diharapkan terbentuk,
asumsi homogin dalam hal bentuk medan, kualitas tanah dan
tingkat ekonomi penduduk serta budayanya, Christaller
menyajikan bentuk pola pelayanan seperti jejaring segi enam
(hexagonal). Bentuk pola pelayanan hexagonal ini secara teoritis
mampu memperoleh optimasi dalam hal efisiensi transportasi,
pemasaran dan administrasi.
3. Teori Kutub Pertumbuhan. Berbeda dengan Christaller yang
berlatar belakang ahli Geografi, teori Kutub Pertumbuhan
diprakarsai dan dikembangankan oleh para ahli ekonomi. Teori
ini melahirkan konsep ekonomi seperti konsep Industri
Penggerak (leading industry), konsep Polarisasi dan konsep
penularan (trickle atau spread effect).
19
Beberapa kelemahan penerapan cara di atas dalam penetapan
kegiatan pembangunan dihadapkan pada faktor politis pengambil kebijakan
di tingkat kabupaten/kota, faktor ketersediaan dana dan ketersediaan lahan
tempat dilaksanakannya kegiatan. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa
pendekatan kewilayahan menjadi faktor kunci dalam kegiatan penetapan
proyek pembangunan berdasarkan penetapan prioritas secara tepat.
Location theory is concerned with the geographic location of economic
activity; it has become an integral part of economic geography, regional
science, and spatial economics. Location theory addresses the questions
of what economic activities are located where and why. Location theory
rests on the assumption that agents act in their own self interest. Thus
firms choose locations that maximize their profits and individuals
choose locations that maximize their utility.
(http://en.wikipedia.org/wiki/Location_theory).
Central place theory is a geographical theory that seeks to explain the
number, size and location of human settlements in an urban system. The
theory was created by the German geographer Walter Christaller, who
asserted that settlements simply functioned as 'central places' providing
services to surrounding areas (Goodall, B. 1987. The Penguin Dictionary of
Human Geography. London: Penguin).
(http://en.wikipedia.org/wiki/Central_place_theory)
Pengembangan wilayah merupakan program menyeluruh dan
terpadu dari semua kegiatan dengan memperhitungkan sumberdaya yang
ada dan memberikan kontribusi kepada pembangunan suatu wilayah.
Konsep pengembangan wilayah adalah suatu upaya dalam mewujudkan
keterpaduan penggunaan sumberdaya dengan penyeimbangan dan
penyerasian pembangunan antar daerah, antar sektor serta antar pelaku
pembangunan dalam mewujudkan tujuan pembangunan daerah.
Menurut Undang-undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan
Ruang, definisi kawasan adalah Wilayah dengan fungsi utama lindung
atau budi daya.
Konsep kawasan adalah wilayah yang berbasis pada keberagaman fisik
dan ekonomi tetapi memiliki hubungan erat dan saling mendukung satu
20
sama lain secara fungsional demi mempercepat pertumbuhan ekonomi
daerah dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dalam kaitan ini, kawasan didefinisikan sebagai kawasan yang
mempunyai fungsi tertentu, dimana kegiatan ekonominya, sektor dan
produk unggulannya, mempunyai potensi mendorong pertumbuhan
ekonomi wilayah sekitarnya. Kawasan ini secara sendiri-sendiri maupun
secara bersama membentuk suatu klaster.
Pembangunan kawasan adalah usaha untuk mengembangkan dan
meningkatkan hubungan kesalingtergantungan dan interaksi atara sistem
ekonomi (economic system), masyarakat (social system), dan lingkungan
hidup beserta sumberdaya alamnya (ecosystem).
 Membangun masyarakat pedesaan, beserta sarana dan
prasarana yang mendukungnya;
 Mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan;
 Mengurangi tingkat kemiskinan melalui peningkatan
pendapatan masyarakat;
 Mendorong pemerataan pertumbuhan dengan mengurangi
disparitas antar daerah;
 Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan konservasi
sumberdaya alam demi kesinambungan pembangunan daerah.
 Mendorong pemanfaatan ruang desa yang efisien dan
berkelanjutan.
Konsep pengembangan wilayah bermula dari konsep atau teori
lokasi yang bermula dari Von Thunen, yang intinya adalah konsentrasi
aktivitas ekonomi akan terjadi pada lokasi tertentu karena adanya proses
economies of scale . Walaupun teori Von Thunen tersebut adalah teori
berkaitan dengan sewa tanah, akan tetapi teori itu relevan untuk
menjelaskan aktivitas ekonomi dalam suatu lokasi atau wilayah tertentu.
Aktivitas ekonomi yang terjadi pada suatu lokasi ini kemudian akan diikuti
berkembangnya berbagai fasilitas dan prasarana lain yang mendukung
aktivitas ekonomi, dan kemudian aktivitas tersebut akan dapat menarik
aktivitas-aktivitas daerah sekitarnya. Oleh karena itu, lokasi ini akan
menjadi pusat pertumbuhan dalam wilayah tersebut ( growth pole
theory ).
21
Growth pole theory, as originally formulated, assumes that growth does
not appear everywhere at the same time, but it manifests itself in “points”
or “poles” of growth (Perroux, 1950; 1955). With variable intensities, the
growth spreads by different channels and eventually affects the economy
as a whole (Vanneste, 1971). It is widely argued that Perroux’s initial
concept of growth pole denoted an individual plant; one that occupied an
abstract economic space, rather than a specific geographical space such as
a city or region (Vanneste, 1971; Monsted, 1974; Mitchell-Weaver, 1991).
In his latter writings, as Vanneste (1971) points out, Perroux refined his
concept of growth pole as a dynamic unity in a defined environment. The
unit is simple or complex: (a) a firm, or (b) group of firms not
institutionalized, or (c) group of firms institutionalized, such as private and
semi-public undertakings.
Based on these features of the growth pole concept, other authors
associated a functional attribute to the concept. They postulated that a
growth pole is formed when an industry, through the flow of goods and
incomes which it is able to generate, stimulates the development and
growth of other industries related to it (technical polarization); or
determines the prosperity of the tertiary sector by means of the incomes it
generates (income polarization); or stimulates an increase of the regional
economy by causing a progressive concentration of new activities
(psychological and geographical polarization). To the extent that the
growth pole concept has a functional character, Vanneste (1971) argues
that it would be wrong to neglect the spatial aspect and the geographical
implications of the concept.
If the growth pole has a local geographical base, then it is safe to assume
that it can induce external economies in local firms. This means that
growth is induced not only through direct trading between firms located in
the same geographic area, but also through a structural change in the
region. In that sense, Monsted (1974) asserts that local trade and business,
which are not even directly associated with the growth pole will experience
high demand induced by better resources and wages in the region.
Bhandari (2006) thinks that the geographical aspects of growth poles are
now considered to be the most important facet of growth pole theory.
22
The growth pole concept involves an enormous confusion of ideas, which
makes it extremely difficult to put forward a clear definition of it. The
Geography Dictionary (2004) defines growth poles as follows:
“A point of economic growth. Growth poles are usually urban locations,
benefiting from agglomeration economies, and should interact with
surrounding areas, spreading prosperity from the core to the periphery”.
Pengembangan keunggulan suatu wilayah pada dasarnya
merupakan implementasi atas penguatan daya saing atau keunggulan
kompetitif suatu daerah. Konsep keunggulan daya saing sendiri mulanya
dikembangkan untuk model industri dan dikembangkan oleh Porter
(1986), yang dikenal dengan Model Berlian.
Model berlian menjelaskan daya saing internasional sebuah
negara atau wilayah. Model ini disebut ”diamond” karena
digambarkan sebentuk kotak berbentuk berlian yang
sususnannya berisi sejumlah faktor yang menentukan daya saing
suatu wilayah atau negara.
Menurut model “diamond of advantage” dari Porter (1990),
suatu kawasan secara alamiah akan mengembangkan keunggulan
kompetitif berdasarkan kemampuan inovasi dari perusahanperusahan yang ada di dalamnya dan vitalitas ekonomi suatu
wilayah merupakan hasil langsung dari persaingan industri yang
ada di kawasan tersebut.
The diamond model is an economical model developed by Michael
Porter in his book The Competitive Advantage of Nations (1990),
where he published his theory of why particular industries become
competitive in particular locations (Traill, B. dan Eamonn Pitts. 1998).
Afterwards, this model has been expanded by other scholars. The
approach looks at clusters of industries, where the competitiveness
of one company is related to the performance of other companies
and other factors tied together in the value-added chain, in
customer-client relation, or in a local or regional contexts. The
Porter analysis was made in two steps (Porter, 1990). First, clusters
23
of successful industries have been mapped in 10 important trading
nations. In the second, the history of competition in particular
industries is examined to clarify the dynamic process by which
competitive advantage was created. The second step in Porter's
analysis deals with the dynamic process by which competitive
advantage is created. The basic method in these studies is historical
analysis. The phenomena that are analysed are classified into six
broad factors incorporated into the Porter diamond (Porter, 1990),
which has become a key tool for the analysis of competitiveness:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Factor conditions are human resources, physical resources,
knowledge resources, capital resources and infrastructure.
Specialized resources are often specific for an industry and
important for its competitiveness. Specific resources can be
created to compensate for factor disadvantages.
Demand conditions in the home market can help companies
create a competitive advantage, when sophisticated home market
buyers pressure firms to innovate faster and to create more
advanced products than those of competitors.
Related and supporting industries can produce inputs which are
important for innovation and internationalization. These
industries provide cost-effective inputs, but they also participate
in the upgrading process, thus stimulating other companies in the
chain to innovate.
Firm strategy, structure and rivalry constitute the fourth
determinant of competitiveness. The way in which companies are
created, set goals and are managed is important for success. But
the presence of intense rivalry in the home base is also important;
it creates pressure to innovate in order to upgrade
competitiveness.
Government can influence each of the above four determinants of
competitiveness. Clearly government can influence the supply
conditions of key production factors, demand conditions in the
home market, and competition between firms. Government
interventions can occur at local, regional, national or
supranational level.
Chance events are occurrences that are outside of control of a
firm. They are important because they create discontinuities in
which some gain competitive positions and some lose.
24
The Porter thesis is that these factors interact with each other to
create conditions where innovation and improved competitiveness
occurs.
The Porter diamond (Porter, 1990)
KONSEP ECO-REGION
An ecoregion (ecological region), sometimes called a bioregion, is
an ecologically and geographically defined area that is smaller than
an ecozone and larger than an ecosystem.
Ecoregions cover relatively large areas of land or water, and contain
characteristic, geographically distinct assemblages of natural communities
and species. The biodiversity of flora, fauna and ecosystems that
characterise an ecoregion tends to be distinct from that of other ecoregions.
25
In theory, biodiversity or conservation ecoregions are relatively large areas
of land or water where the probability of encounter of different species and
communities at any given point remain relatively constant, within an
acceptable range of variation (largely undefined at this point).
Three caveats are appropriate for all biogeographic mapping
approaches (http://en.wikipedia.org/wiki/Ecoregion):
1. Firstly, no single biogeographic framework is optimal for all
taxa. Ecoregions reflect the best compromise for as many
taxa as possible.
2. Secondly, ecoregion boundaries rarely form abrupt edges;
rather, ecotones and mosaic habitats bound them.
3. Thirdly, most ecoregions contain habitats that differ from
their assigned biome.
Ecoregions defined
Biodiversity is not spread evenly across the Earth but follows
complex patterns determined by climate, geology and the evolutionary
history of the planet. These patterns are called "ecoregions". WWF defines
an ecoregion as a "large unit of land or water containing a geographically
distinct assemblage of species, natural communities, and environmental
conditions". The boundaries of an ecoregion are not fixed and sharp, but
rather encompass an area within which important ecological and
evolutionary processes most strongly interact. The Global ecoregions
recognize the fact that, whilst tropical forests and coral reefs harbour the
most biodiversity and are the traditional targets of conservation
organizations, unique manifestations of nature are found in temperate and
boreal regions, in deserts and mountain chains, which occur nowhere else
on Earth and which risk being lost forever if they are not conserved.
(http://wwf.panda.org/about_our_earth/ecoregions/about/what_is_an_ecoregio
n/).
26
DAFTAR PUSTAKA
Beatley, T. 2000. Urban Ecocycle Balancing: Towards Closed–Loop Cities. In
Green Urbanism, Learning from European Cities, Washington, DC,
Island Press.
Bhandari, L. 2006. Clusters Initiatives and Growth Poles: Correcting
Coordination Failures. Indicus Analytics, November 2006.
Boyden, S, dan J. Celecia. 1981. The Ecology of Megalopolis. The UNESCO
Courier.
Boyden, S, Millar, S, Newcombe, K, dan B. O’Neill. 1981. The Ecology of a
City and its People: The Case of Hong Kong, Canberra, Australian
National University Press.
Brandon, C dan R. Ramankutty. 1993. Toward an Environmental Strategy for
Asia. World Bank Discussion Paper 224, Washington, D.C., World
Bank.
Chapin F.S. III, Matson, P.A., dan H.A. Mooney. 2003. Principles of terrestrial
ecosystem ecology. Springer-Verlag, New York, N.Y.
Defries, R.S., J.A. Foley dan G.P. Asner. 2004. Land-use choices: balancing
human needs and ecosystem function. in: Frontiers in ecology and
environmental science. 2:249-257.
Douglas, I. 1981. The City as Ecosystem. Progress in Physical Geography, Vol.
5, no. 3, pp 315–367.
Douglas, I. 1983. The Urban Environment, London, Edward Arnold.
Ehrenfeld, J.G. dan L.A.Toth. 1997. Restoration ecology and the ecosystem
perspective. In: Restoration Ecology 5:307-317.
Fitzpatrick, K, dan M. LaGory. 2000. Unhealthy Places: The Ecology of Risk in
the Urban Landscape, New York, Routledge.
Folke, C, Jansson, A, Larsson, J, dan R.Costanza. 1997. Ecosystem
Appropriation of Cities. Ambio Vol. 26, no.3, pp 167–172.
Friedmann, J. 1956. Locational aspects of economic development. Land
Economics, vol. 32: 213-227.
Gilbert, O. L. 1989. The Ecology of Urban Habitats, New York, Chapman and
Hall.
27
Grove, J M, dan W.R. Burch. 1997. A Social Ecology Approach and
Application of Urban Ecosystem and Landscape Analyses: A Case
Study of Baltimore, Maryland. Urban Ecosystems, no. 1, pp 259–275.
Hough, M. 1990. Formed by Natural Process: A Definition of a Green City. In
D. Gordon (ed.), Green Cities: Ecologically Sound Approaches to
Urban Space, Montreal, Black Rose Books.
Isard, Walter. 1956. Location and Space-Economy: A General Theory
Relating to Industrial Location, Market Areas, Land Use, Trade and
Urban Structure Cambridge, Massachusetts: The MIT Press.
Isard, Walter. 1975. Introduction to Regional Science. New York: Prentice
Hall, p. 6.
Latiff, A dan M. Omar (eds.) 1983. Proceedings of Regional Seminar on
Development of Techniques for Analysis of Tropical Cities on an
Ecosystem Basis, Bangi, Universiti Kebangsaan Malaysia.
Low, N., B.Gleeson, I. Elander dan R. Lidskog (eds.) 2000. Consuming Cities:
The Urban Environment in the Global Economy After the Rio
Declaration, London, Routledge.
McDonnell, M.J. dan S.T.A. Pickett. 1991. Comparative Analysis of
Ecosystems Along Gradients of Urbanization: Opportunities and
Limitations. In J J Cole, G M Lovett, and S E G Findlay (eds),
Comparative Analyses of Ecosystems: Patterns, Mechanisms and
Theories, New York, Springer–Verlag.
McGranahan, G., J.Songsore dan M. Kjellen. 1996. Sustainability, Poverty
and Urban Environmental Transitions. In David Satterthwaite (ed),
Sustainability, the Environment and Urbanization, London:
Earthscan Publications.
McMichael, A J. 2000. The Urban Environment and Health in a World of
Increasing Globalization: Issues for Developing Countries. Bulletin of
the World Health Organization, Vol.78, no. 9, pp 1117–1126.
Monsted, M. 1974. François Perroux’s Theory of “Growth Pole” and
“Development Pole”: A Critique. Antipode, vol. 6, Issue 2: 106-113,
July 1974.
Odum, E.P. 1969. The strategy of ecosystem development. Science 164:262270.
28
Odum, H.T. 1971. Environment, Power, and Society. Wiley-Interscience New
York, N.Y.
Olson, J.S. 1963. Energy storage and the balance of producers and
decomposers in ecological systems. Ecology 44:322-331.
Perroux, F. 1950. Economic space: theory and applications. Quarterly
Journal of Economics, Vol. 64: 90-97.
Pickett, S.T.A., W.R.Burch, Jr., T.W.Foresman, J.M.Grove, dan R. Rowntree.
1997. A Conceptual Framework for the Study of Human Ecosystems.
Urban Ecosystems no. 1, pp 185–199.
Porter, M.E. (ed.). 1986. Competition in Global Industries. Harvard Business
School Press, Boston, 1986.
Porter, M.E. 1979. How Competitive Forces Shape Strategy. Harvard
Business Review, March/April 1979.
Porter, M.E. 1980. Competitive Strategy. Free Press, New York, 1980.
Porter, M.E. 1985. Competitive Advantage. Free Press, New York, 1985.
Porter, M.E. 1987. From Competitive Advantage to Corporate Strategy.
Harvard Business Review, May/June 1987, pp 43-59.
Porter, M.E. 1990. The competitive advantage of nations. New York: Free
Press.
Porter, M.E. 1991. Towards a Dynamic Theory of Strategy. Strategic
Management Journal, 12 (Winter Special Issue), pp. 95-117.
Porter, M.E. 2008. The Five Competitive Forces That Shape Strategy.
Harvard Business Review, January 2008, pp. 79-93.
Porter, M.E. dan M.R. Kramer. 2006. Strategy and Society: The Link Between
Competitive Advantage and Corporate Social Responsibility.
Harvard Business Review, December 2006, pp. 78-92.
Traill, B. dan Eamonn Pitts. 1998. Competitiveness in the Food Industry.
Springer.
pp. 301.
http://books.google.com/books?id=g_iw4ocyAgC&printsec=frontcover#PPA17,M1.
Vanneste, O. 1971. The Growth Pole Concept and the Regional Economic
Policy: with an Example of Application to the Westflemish Economy.
College of Europe, Postgraduate Institute of European Studies,
Belgium.
Vasishth, A dan D.C. Slone. 2002. Returning to Ecology: An Ecosystems
Approach to Understanding the City. In Dear, M. J. (ed) Chicago to
29
LA: Making Sense of Urban Theory, Thousand Oaks, Sage
Publications.
Download