1 EKOSISTEM DAN SISTEM WILAYAH Diabstraksikan dan dirangkum oleh: Prof Dr Ir Soemarno MS Bahan kajian MK. Dinamika Pengembangan Wilayah PM pslp-ppsub 2011 EKOLOGI Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungannya dan yang lainnya. Berasal dari kata Yunani oikos ("habitat") dan logos ("ilmu"). Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. Dalam ekologi, kita mempelajari makhluk hidup sebagai kesatuan atau sistem dengan lingkungannya. Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktor biotik antara lain suhu, air, kelembapan, cahaya, dan topografi, sedangkan faktor biotik adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga berhubungan erat dengan tingkatantingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling mempengaruhi dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan kesatuan. Ekologi, biologi dan ilmu kehidupan lainnya saling melengkapi dengan zoologi dan botani yang menggambarkan hal bahwa ekologi mencoba memperkirakan, dan ekonomi energi yang menggambarkan kebanyakan rantai makanan manusia dan tingkat tropik. Ekowilayah bumi dan riset perubahan iklim ialah dua wilayah di mana ekolog (orang yang mempelajari ekologi) kini berfokus. Ekologi dalam politik Ekologi menimbulkan banyak filsafat yang amat kuat dan pergerakan politik – termasuk gerakan konservasi, kesehatan, lingkungan,dan ekologi yang kita kenal sekarang. Saat semuanya digabungkan dengan gerakan perdamaian dan Enam Asas, disebut gerakan 2 hijau. Umumnya, mengambil kesehatan ekosistem yang pertama pada daftar moral manusia dan prioritas politik, seperti jalan buat mencapai kesehatan manusia dan keharmonisan sosial, dan ekonomi yang lebih baik. Orang yang menguasai pemahaman dan kepercayaan-kepercayaan seperti itu disebut ”ekolog politik”. Beberapa penganut paham ini telah mengorganisasikan dirinya ke dalam ”Kelompok Hijau”, namun ada juga ” ekolog politik” dalam suatu partai politik (misalnya di Eropa). Seringkali mereka menggunakan argumen ekologis untuk membuat kebijakan, khususnya kebijakan hutan dan energi. Ekologi dalam ekonomi Banyak ”ekolog” yang berupaya menghubungkan ekologi dengan ekonomi: 1. Lynn Margulis menyatakan bahwa studi ekonomi bagaimana manusia membuat kehidupan. Studi ekologi bagaimana tiap binatang lainnya membuat kehidupan. 2. Mike Nickerson mengatakan bahwa "ekonomi tiga perlima ekologi" sejak ekosistem menciptakan sumber dan membuang sampah, yang mana ekonomi menganggap dilakukan "untuk bebas". Ekonomi ekologi dan teori perkembangan manusia mencoba memisahkan pertanyaan ekonomi dengan lainnya, namun susah. Banyak orang berpikir ekonomi baru saja menjadi bagian ekologi, dan ekonomi tidak boleh mengabaikan ekologi. "Modal alam" ialah contoh teori yang menggabungkan dua hal itu. Ekologi Antropologis Ada kalanya ekologi disandingkan dengan antropologi, sebab keduanya menggunakan banyak metode buat mempelajari satu hal yang yang kita tak bisa tinggal tanpa itu. Antropologi ialah tentang bagaimana tubuh dan pikiran kita are dipengaruhi lingkungan kita, ekologi ialah tentang bagaimana lingkungan kita dipengaruhi tubuh dan pikiran kita. 3 Beberapa orang berpikir mereka hanya seorang ilmuwan, namun paradigma mekanistik bersikeras meletakkan subyek manusia dalam kontrol objek ekologi — masalah subyek-obyek. Namun dalam psikologi evolusioner atau psikoneuroimunologi misalnya jelas jika kemampuan manusia dan tantangan ekonomi berkembang bersama. Dengan baik ditetapkan Antoine de Saint-Exupery: "Bumi mengajarkan kita lebih banyak tentang diri kita daripada seluruh buku. Karena itu menolak kita. Manusia menemukan dirinya sendiri saat ia membandingkan dirinya terhadap hambatan." EKOSISTEM Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. An ecosystem is a biological environment consisting of all the organisms living in a particular area, as well as all the nonliving (abiotic), physical components of the environment with which the organisms interact, such as air, soil, water and sunlight (http://en.wikipedia.org/wiki/Ecosystem). The entire array of organisms inhabiting a particular ecosystem is called a community. The number of species making up such a community may vary from a myriad to a single species. In a typical ecosystem, plants and other photosynthetic organisms are the producers that provide the food. Ecosystems can be permanent or temporary. Ecosystems usually form a number of food webs . Ecosystems are functional units consisting of living things in a given area, non-living chemical and physical factors of their environment, linked together through nutrient cycle and energy flow. Central to the ecosystem concept is the idea that living organisms interact with every other element in their local environment. Eugene Odum, a founder of ecology, stated: "Any unit that includes 4 all of the organisms (ie: the "community") in a given area interacting with the physical environment so that a flow of energy leads to clearly defined trophic structure, biotic diversity, and material cycles (i.e.: exchange of materials between living and nonliving parts) within the system is an ecosystem (Odum, E.P. (1971) Fundamentals of ecology, third edition, Saunders New York). Ecosystem management is a process that aims to conserve major ecological services and restore natural resources while meeting the socioeconomic, political and cultural needs of current and future generations (Brussard Peter F, Reed Michael J and Tracy C Richard 1998 Ecosystem Management: What is it really? Landscape and Urban Planning 40: 9-20). The principal objective of ecosystem management is the efficient maintenance, and ethical use of natural resources (Szaro, R., Sexton, W.T., and Malone C.R. 1998. The emergence of ecosystem management as a tool for meeting people’s needs and sustaining ecosystems. Landscape and Urban Planning 40: 1-7). Ecosystem management acknowledges that the interrelation of socio-cultural, economic and ecological systems is paramount to understanding the circumstances that affect environmental goals and outcomes (Lackey, R.T. 1998. Seven pillars of ecosystem management. Landscape and Urban Planning 40: 21-30). It is a multifaceted and holistic approach which requires a significant change in how the natural and human environments are identified. Several approaches to effective ecosystem management engage conservation efforts at both a local or landscape level and involves: adaptive management, natural resource management, strategic management, and command and control management. --------------Ilmu yang mempelajari ekosistem disebut ekologi. Ekologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu oikos dan logos. Oikos artinya rumah atau tempat tinggal, dan logos artinya ilmu. Istilah ekologi pertama kali dikemukakan oleh Ernst Haeckel (1834 - 1914). Ekologi merupakan 5 cabang ilmu yang masih relatif baru, yang baru muncul pada tahun 70-an. Akan tetapi, ekologi mempunyai pengaruh yang besar terhadap cabang biologinya. Ekologi mempelajari bagaimana makhluk hidup dapat mempertahankan kehidupannya dengan mengadakan hubungan atarmakhluk hidup dan dengan benda tak hidup di dalam tempat hidupnya atau lingkungannya. Para ahli ekologi mempelajari hal berikut: 1. Perpindahan energi dan materi dari makhluk hidup yang satu ke makhluk hidup yang lain ke dalam lingkungannya dan faktorfaktor yang menyebabkannya. 2. Perubahan populasi atau spesies pada waktu yang berbeda dalam faktor-faktor yang menyebabkannya 3. Terjadi hubungan antarspesies (interaksi antarspesies) makhluk hidup dan hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Komponen-komponen pembentuk ekosistem adalah: Komponen biotik dan Komponen abiotik Kedua komponen tersebut berada pada suatu tempat dan berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur. Misalnya, pada suatu ekosistem akuarium, ekosistem ini terdiri dari ikan, tumbuhan air, plankton yang terapung di air sebagai komponen biotik, sedangkan yang termasuk komponen abiotik adalah air, pasir, batu, mineral dan oksigen yang terlarut dalam air. Ekosistem merupakan suatu interaksi yang kompleks dan memiliki penyusun yang beragam. Di bumi ada bermacam-macam ekosistem. 1. Susunan Ekosistem Berdasarkan susunan dan fungsinya, suatu ekosistem tersusun atas komponen sebagai berikut. a. Komponen autotrof (Auto = sendiri dan trophikos = menyediakan makan). Autotrof adalah organisme yang mampu menyediakan/mensintesis makanan sendiri yang berupa bahan 6 organik dari bahan anorganik dengan bantuan energi seperti matahari dan kimia. Komponen autotrof berfungsi sebagai produsen, contohnya tumbuh-tumbuhan hijau. b. Komponen heterotrof (Heteros = berbeda, trophikos = makanan). Heterotrof merupakan organisme yang memanfaatkan bahanbahan organik sebagai makanannya dan bahan tersebut disediakan oleh organisme lain. Yang tergolong heterotrof adalah manusia, hewan, jamur, dan mikroba. c. Bahan tak hidup (abiotik). Bahan tak hidup yaitu komponen fisik dan kimia yang terdiri dari tanah, air, udara, sinar matahari. Bahan tak hidup merupakan medium atau substrat tempat berlangsungnya kehidupan, atau lingkungan tempat hidup. d. Pengurai (dekomposer) Pengurai adalah organisme heterotrof yang menguraikan bahan organik yang berasal dari organisme mati (bahan organik kompleks). Organisme pengurai menyerap sebagian hasil penguraian tersebut dan melepaskan bahan-bahan yang sederhana yang dapat digunakan kembali oleh produsen. Termasuk pengurai ini adalah bakteri dan jamur. Ekosistem: Sebuah analisis Tingkat organisasi yang lebih tinggi dari komunitas adalah ekosistem. Di sini tidak hanya mencakup serangkain spesiesw tumbuhan saja, tetapi juga segala macam bentuk materi yang melakukan siklus dalam system itu, dan energi yang menjadi sumber kekuatan bagi ekosistem. Sinar matahari merupakan sumber energi dalam sebuah ekosistem, yang oleh tumbuhan dapat diubah menajdi energi kimia melalui proses fotosintesis. Pembentukan jaringan hidup selanjutnya tentu saja bergantung pula pada kemampuan tumbuhan menyerap pelbagai bahan mineral dari dalam tanah, yang seterusnya diolah dalam proses metabolisme. Beberapa bagian jaringan hidup yang dibentuk, seperti daun, buah, biji dan umbi, dapat dimakan oleh herbivore. Dan kemudian hewan itu menjadi mangsa karnivora yang lebih besar. Akhirnya, semua jaringan hidup, baik dari hewan 7 maupun tumbuhan akan mati, jatuh ke tanah sebagai sampah , dan menjadi bahan makanan bagi anekaragam mikroba tanah. Sampah tumbuhan dan hewan ini diubah oleh mikroba tanah melalui proses pembusukan menjadi humus, serta diuraiakn menjadi bahan mineral proses mineralisasi. Jadi dalam tanah itu dapat juga dijumpai dua jenis mikroba, yaitu mikroba prmbusuk dan mikroba pengurai. Berdasarkan uraian yang singkat di atas itu tampak dalam sebuah ekosistem terdapat rantai makanan. Pada rantai makanan, mahluk dalam ekosistem dikulpulkan menjadi beberapa kelompok, yang masing-masing mempunyai jarak transfer makanan tertentu dari sumber energi yang masuk ekosistem. Tumbuhan yang dapat membentuk bahan organic dari meineral dan energi matahari dengan proses fotosistensis merupakan komponen produsen dalam ekosistem. Mahluk yang menggunakan bahan organic yang telah dibentuk oleh produsen, merupakan komponen konsumen dalam ekosisitem. Mahluk yang menggunakan bahan organic yang telah dibentuk oleh produsen, merupakan komponen dalam ekosistem. Masing-masing kelompok mahluk yang mempunyai jarak transfer makanan tertentu dari sumber energi, menempati suatu isngkatan trofik tertentu. Tingkat trofik berupa tumbuhan, tingkat trofik 2 hewan herbivore, tingakat trofik 3 hewan karnivora kecil, dan seterusnnya. Dalam ekosistem biasanya tingkatan trofik tidak lebih dari 5. konsep rantai makanan sangat praktis unutk membahas aliran dalam energi ekosistem. Tetapi yang biasanya terjadi dalam ekosistem sebetulnya adalah hubungan saling makan yang lebih kompleks. Kalau hubungan saling makan tadi disusun secara lebih lengkap. Akan didapatkan jarring makanan. Kalau biomasa dari setiap tingkatan trofik dinyatakn dalam perbandingan luas, disusun mulai dari tumbhuan di tempat paling bawah, dan tingkatan trofik yang lebih tinggi di atasnya, akan tetapi terbenutklah sebuah piramida trofik (disebut juga piramida makanan). Perhatikan bahwa liaran energi tidak berupa siklus, sedangkan mineral beredar merupakan siklus. Energi matahri yang idubah menjadi energi kimia oleh tumbuhan berklorofil digunakan untuk membentuk jarungan hidup, atau ikatan kimia kompleks, seperti karbihidrat, lemak, dan protein. Hasil ini dalam ekologi dinyatakan dengan unit produksi fotositensis kotor ( gross photosynthetic production) per luas tertentu. Meskipun demikian, hanya sebgaian jaringan biomassa; yang lain melepaskan diri, 8 sebagian lagi tak tereliminasi, dan sisanya hilang dalam proses pernafasan. Efisisensi prodiksi (production efficiency) pada setiap tingkat makanan dinyatakan dengan derajat produksi biomassa tersebut pada suatu tingkat dibagi oleh derajat produksi biomassa pada tingkat yang dimakannya. Derajat produlsi (produkvitas) dalam ekosistem dinyatkan dalam satuan; berat (biasanya berat kering), atau kalori karena berat mahluk kering kalau idbakar menghasilkan panas; per satuan (m2 unutk unit kecil, ha atau km2 unutk unit besar) per satuan waktu (hari atau tahun). Dalam kegunaan praktis, derajat produksi sering diukur dalam kalori per meter persegi per tahun. Seperti dalam ilmu fisika, kimia dan ilmu lainnya, seorang yang mempelajri ilmu leingkungan akan sering berhubungan dengan pengertian kadar, sepat perubahan jumlah (rate change in number). Misalnya perubahan N sehubungan dengan waktu, dimana dapat menyatakan jumlah penduduk dunia , taua penduduk Indonesia, ataupun jumlah hewan yang terdapat di suatu sawah. Dari serangkaian uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam kehidupan di muka bumi (biosfer) ini, mahluk hidup tidak darat berdiri sendiri, tergantung satu dengan yang lainnya dan lingkungan abiotik. Dalam ekosistem menjadi aliran energi dan siklus materi diubah dari bentuk senyawa satu bentuk senyawa lin dan hakikatnya tidak ada materi yang hilang dalam ekosistem bahakn di alam semesta ini. Energi pada massa purba tertangkap oleh tumbuhan berhijau daun dan tumbuhan itu (tumbuhan paku besar) terkubur jutaan tahun menjadi batu bara yang kini digali manusia untuk sumber energi pabrik dan lainnya. Minyak bumi sebgaia sumber energi juga terjadi dari hewan bersel tunggal (protozoa) yang mendapat energi dari matahari, karena hewan itu makan tumbuhan berhijau daun yang bersel tunggal. Apabila suatu ekosistem terganggu, di mana siklus materi dan transfer energi terpotong, maka komponen dalam ekosistem, termasuk manusia akan terganggu pula sampai keseimbangan baru tercapai. Dalam mencapai keseimbangan baru itu kadang-kadang suatu populasi terpaksa tersingkirkan dari ekosistem atau dengan kata lain mungkin punah. Ekosistem secra rinci dibedakan atas ekosistem darat dan ekosistem air, selanjutnya ekosistem air tawar, misalnya; ekosistem danau, sungai 9 hulu; ekosistem air payau mislanya; muara sungai, tambak; ekosistem air asin, misalnya; laut. Dalam rangka penyusunan kebijakan dan strategik pengelolaan lingkungan perlu memahami konsep dasar ekologi. Lebih spesifik lagi setelah kita dapat memahami konsep ekologi dapat digunakan untuk melakukan identifikasi karakteristik ekologi melalui penelusuran proses ekologi. Proses ekologi dalam suatu wilayah ekosistem dapat diidentifikasi melalui hubungan antara komponen lingkungan biofisik dan komponen lingkungan sosial-budaya, seperti digambarkan secara ringkas pada Gambar 1. Komponen Lingkungan Biofisik _______ (Natural ecosystem) Komponen Lingkungan Sosial-Budaya (Socio ecosystem) Konsep dasar dan pola pemikiran ekologi sebagai dasar pemecahan masalah lingkungan mengubah paradigma paham antrophosentrisme ke paham ekosentrisme. Proses ekologi manusia (antrophoekosentrisme) yang tergolong dalan socio-ecosystem terkait dengan kondisi biofisiknya dapat diamati dalam setiap satuan ekosistem bentanglahan. Dalam hubungan antar unsur-unsur yang terkandung dalam sistem sosial (human ecology) maupun dalam sistem alam (natural ecosystem) terdapat beberapa proses yang terjadi sebagai berikut: (1) Hubungan saling keterkaitan (inter-relationships) Unsur-unsur yang terkandung, baik dalam sistem sosial maupun dalam sistem alami saling berinteraksi satu sama lain masingmasing membentuk subsistemsubsistem kecil dalam skala lokalitas yang saling mempengaruhi (simbiotik maupun parasitik). Subsistem yang mempunyai sifat dinamika tinggi (mobile) juga berinteraksi dengan subsistem dari ekosistem lain 10 melalui proses aliran energi dan materi (flora, fauna) dan melalui tukar-menukar ataupun perkawinan (antar manusia) (2) Hubungan saling ketergantungan (independency) Hubungan tersebut tidak hanya terbatas pada saling keterkaitan, namun juga saling ketergantungan antar subsistem, dan bukan yang mempunyai sifat dinamika tinggi, subsistem yang tidak banyak bergerak pun mempunyai hubungan saling ketergantungan. Keberadaan subsistem air dengan kualitas tertentu sangat dibutuhkan oleh subsistem-subsistem lain ( pertumbuhan biota, proses biogeokimia). (3) Aliran energi, materi, dan informasi Hasil pengelolaan sumberdaya ekosistem menghasilkan materi dan energi yang akhirnya kembali lagi ke manusia sebagai hasil pemanenan. Hasil peningkatan budaya untuk memperbaiki sistem pengelolaan lingkungan meningkatkan informasi begitu terus sistem peningkatan budaya sehingga terbentuk aliran informasi (perbaikan budaya sistem usahatani). (4) Proses Seleksi dan Adaptasi Manusia dalam menghadapi kondisi lingkungan sejak zaman dulu hingga sekarang bersifat dinamik mengikuti kemajuan budaya dan teknologi yang dikuasai. Pada awalnya manusia sangat tergantung pada kondisi fisik lingkungannya (deterministik), kemudian mampu mengadakan seleksi atau mencoba dengan cara adaptasi (probabilitas/posibilitas), akhirnya kenal dengan pendekatan sistem/ekosistem, mereka mengkombinasikan menjadi pendekatan ”sistemik, adaptif, dan dinamik”. Ditinjau dari substansinya dalam satu kesatuan ekosistem bentanglahan (lokalitas) terdapat tiga komponen pembentuk permasalahan lingkungan yang saling interaksi dan saling negasi. Sebagai input ekosistem bentang lahan yang mengandung: (1) sumberdaya alam (SDA) yang menempati (2) kawasan budidaya dan non-budidaya, akibat exploitasi lingkungan hidup tergantung pada (3) kualitas manusia (SDM) menyebabkan penurunan (degradasi) kualitas lingkungan. Terjadinya penurunan/degradasi 11 kualitas lingkungan adalah akibat exploitasi lingkungan hidup yang menyimpang (malpraktek) melegalkan upaya pemanfaatan lahan yang sebenarnya merupakan kawasan yang harus dilindungi atau pun ruang terbuka hijau. Meluasnya lahan kritis, miskin dan terlantar, lahan miring dan tebing sungai longsor, banjir yang melanda di permukiman dan perumahan, kekeringan di bagian hulu, pencemaran dan kontaminasi air tanah, merosotnya kesehatan dan sanitasi lingkungan. Dampak dari malpraktek tersebut meluas menimpa kembali kehidupan manusia dan akhirnya dapat menurunkan kualitas sumberdaya manusia . Lahan Kritis/Terlantar, Longsor lahan, Banjir Kekeringan, Tercemar (Dampak Malpraktek) Kawasan Budidaya, Non-Budidaya (Carrying Capacity) Sumberdaya Alam, Sumberdaya Manusia (Resources Potential) Gambar 2. Komponen utama dalam Pengelolaan Ekosistem. Ketiga komponen pembentuk lingkungan tidak terpisah, namun membentuk satu kesatuan lokalitas dalam suatu ekosistem bentanglahan, sumberdaya alam potensial dan kawasan budidaya dan non-budidaya merupakan input alam (given), sumberdaya manusia potensial tergantung pada tingkat penguasaan tekno-budaya (cultural ecology), dampak exploitasi lingkungan akibat penyalahgunaan praktek pemanfaatan lahan (malpraktek). Manusia sesuai kodratnya diberikan kelebihan ilmu pengetahuan yang secara alami (instinctive) dapat muncul dengan sendirinya tergantung 12 kepada kepekaan dalam menanggapi atau pun membaca fenomena alam dan kemudian menerjemahkan ke dalam dunia nyata (real world) sebagai tindakan nyata manusia. Manusia selalu diuji kepekaannya dalam menanggapi tanda-tanda alam, untuk itu manusia selalu meningkatkan kemampuan budaya, mulai dari budaya yang hanya sekedar untuk mempertahankan hidup (survival) hingga budaya untuk membuat rekayasa menciptakan lingkungan hidup yang nyaman, sejahtera, dan berkelanjutan (sustainable). Manusia dalam setiap memanfaatkan sumberdaya alam (SDA) pada dasarnya dengan kemampuan teknologi yang dikuasainya dalam implementasinya lebih mementingkan aspek ekonomi (mencari keuntungan sebesar-besarnya) daripada kepentingan ekologi (prinsip kelestarian). Kegiatan ekonomi menjadi tumpuhan dalam setiap manajemen sumberdaya alam agar sesuai dengan investasi yang ditanamkan dan waktu serta ruang yang disediakan terbatas. Manusia (SDM) memilih Sumberdaya alam (SDA) dengan bantuan teknologi penginderaan Jauh (PJ) dan melalui pengolahan sistem informasi geografis (SIG/GIS) dalam setiap pengelolaan SDA dan Lingkungan Hidup (LH) untuk kegiatan ekonomi. Keterkaitan antar sub-komponen tersebut dapat saling interaksi yang menguntungkan dan dapat pula saling negasi yang merugikan. Lingkungan Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut. Lingkungan terdiri dari komponen abiotik dan biotik. Komponen abiotik adalah segala yang tidak bernyawa seperti tanah, udara, air, iklim, kelembaban, cahaya, bunyi. Sedangkan komponen biotik adalah segala sesuatu yang bernyawa seperti tumbuhan, hewan, manusia dan mikroorganisme (virus dan bakteri). Ilmu yang mempelajari lingkungan adalah 13 ilmu lingkungan atau ekologi. Ilmu lingkungan adalah cabang dari ilmu biologi. Konsep lingkungan di Indonesia Lingkungan, di Indonesia sering juga disebut "lingkungan hidup". Misalnya dalam Undang-Undang no. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, definisi Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. SISTEM WILAYAH Wilayah adalah sebuah daerah yang dikuasai atau menjadi teritorial dari sebuah kedaulatan. Pada masa lampau, seringkali sebuah wilayah dikelilingi oleh batas-batas kondisi fisik alam, misalnya sungai, gunung, atau laut. Sedangkan setelah masa kolonialisme, batas-batas tersebut dibuat oleh negara yang menduduki daerah tersebut, dan berikutnya dengan adanya negara bangsa, istilah yang lebih umum digunakan adalah batas nasional. (http://id.wikipedia.org/wiki/Wilayah). Dengan menggunakan pendekatan regional, maka wilayah dibedakan menjadi : 1. Wilayah Formal. Merupakan suatu wilayah yang dicirikan berdasarkan keseragaman atau homogenitas tertentu. Oleh karena itu, wilayah formal sering pula disebut wilayah seragam (uniform region). Homogenitas dari wilayah formal dapat ditinjau berdasarkan kriteria fisik atau alam ataupun kriteria sosial budaya. Wilayah formal berdasarkan kriteria fisik didasarkan pada kesamaan topografi, jenis batuan, iklim dan vegetasi. Misalnya wilayah pegunungan kapur (karst), wilayah beriklim dingin, dan wilayah vegetasi mangrove. Adapun wilayah formal berdasarkan kriteria sosial budaya seperti wilayah suku 14 Asmat, wilayah industri tekstil, wilayah Kesultanan Yogyakarta, dan wilayah pertanian sawah basah. 2. Wilayah Fungsional. Merupakan suatu wilayah yang di dalamnya terdapat banyak hal yang diatur oleh beberapa pusat kegiatan yang satu sama lain saling berhubungan misalnya kota terdapat berbagai pusat kegiatan mulai dari CBD, perkantoran, pasar dan seterusnya yang satu sama lain dihubungkan dengan jaringan jalan raya. Wilayah fungsional lebih bersifat dinamis dibandingkan dengan wilayah formal. “Ruang” adalah wadah kehidupan manusia beserta sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya meliputi bumi, air dan ruang angkasa sebagai satu kesatuan. Konsep ruang mempunyai beberapa unsur, yaitu: (1) jarak, (2) lokasi, (3) bentuk, dan (4) ukuran. Konsep ruang sangat berkaitan erat dengan waktu, karena pemanfaatan bumi dan segala kekayaannya membutuhkan organisasi/pengaturan ruang dan waktu. Unsur-unsur tersebut di atas secara bersama-sama menyusun unit tata ruang yang disebut wilayah. Wilayah dapat didefinisikan sebagai suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal dalam dimensi ruang yang merupakan wadah bagi kegiatankegiatan sosial ekonomi yang memiliki keterbatasan serta kesempatan ekonomi yang tidak sama. Konsep-konsep wilayah klasik, yang mendefinisikan wilayah sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik dimana komponenkomponen dari wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional; 1) Wilayah homogen, yaitu wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan bisa bersifat heterogen. Pada umumnya wilayah homogen sangat dipengaruhi oleh potensi sumberdaya alam dan permasalahan spesifik yang seragam. Dengan demikian konsep wilayah homogen sangat bermanfaat dalam penentuan sektor basis perekonomian wilayah sesuai dengan 15 2) 3) 4) 5) potensi/daya dukung utama yang ada dan pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai dengan permasalahan masing masing wilayah; Wilayah nodal, menekankan perbedaan dua komponenkomponen wilayah yang terpisah berdasarkan fungsinya. konsep wilayah nodal diumpamakan sebagai suatu ”sel hidup” yang mempunyai inti dan plasma. Inti adalah pusat-pusat pelayanan/pemukiman, sedangkan plasma adalah daerah belakang ( hinterland ); Wilayah sebagai sistem, dilandasi atas pemikiran bahwa komponen-komponen di suatu wilayah memiliki keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain dan tidak terpisahkan; Wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan terdapatnya sifat-sifat tertentu pada wilayah baik akibat sifat alamiah maupun non alamiah sehingga perlu perencanaan secara integral; Wilayah administratif-politis, berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa wilayah berada dalam satu kesatuan politis yang umumnya dipimpin oleh suatu sistem birokrasi atau sistem kelembagaan dengan otonomi tertentu. wilayah yang dipilih tergantung dari jenis analisis dan tujuan perencanaannya. Sering pula wilayah administratif ini sebagai wilayah otonomi. Artinya suatu wilayah yang mempunyai suatu otoritas melakukan keputusan dan kebijaksanaan sendiri-sendiri dalam pengelolaan sumberdaya-sumberdaya di dalamnya. Daerah, dalam konteks pembagian administratif di Indonesia, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Daerah terdiri atas Provinsi, Kabupaten, atau Kota. Sedangkan kecamatan, desa, dan kelurahan tidaklah dianggap sebagai suatu Daerah (daerah otonom). Daerah dipimpin oleh Kepala Daerah (gubernur/bupati/ 16 walikota), dan memiliki Pemerintahan Daerah serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. PENGEMBANGAN WILAYAH Kegiatan pengembangan wilayah adalah suatu kegiatan yang memiliki dua sifat yaitu sifat akademis dan sifat birokratis dalam mengelola wilayah. Sifat akademis biasanya menggunakan istilah “seyogyanya” dan sifat terapan biasanya menggunakan istilah “seharusnya”. Dengan demikian, pendekatan geografi, dalam tulisan ini, dapat digunakan dan dapat pula tidak digunakan dalam kegiatan pengembangan wilayah tergantung kemauan politis pemegang kekuasaan. Suatu pendekatan yang sudah dipilih dan diputuskan oleh pengambil keputusan politis maka “harus” dilaksanakan oleh para pelaksana di lapangan dan “tidak boleh” menggunakan yang lain. Regional science is a field of the social sciences concerned with analytical approaches to problems that are specifically urban, rural, or regional. Topics in regional science include, but are not limited to location theory or spatial economics, location modeling, transportation, migration analysis, land use and urban development, interindustry analysis, environmental and ecological analysis, resource management, urban and regional policy analysis, geographical information systems, and spatial data analysis. In the broadest sense, any social science analysis that has a spatial dimension is embraced by regional scientists. (http://en.wikipedia.org/wiki/Regional_science). Regional development is the provision of aid and other assistance to regions which are less economically developed. Regional development may be domestic or international in nature. The implications and scope of regional development may therefore vary in accordance with the definition of a region, and how the region and its boundaries are perceived internally and externally (http://en.wikipedia.org/wiki/Regional_development). 17 Konsepsi pembangunan wilayah pada dasarnya adalah pembangunan proyek proyek berdasarkan hasil analisa data spasial (Sandy dalam Kartono, 1989), sehingga ketersediaan peta menjadi mutlak diperlukan. Karena keseluruhan proyek berada di tingkat kabupaten/kota maka pemerintah kabupaten/kota mutlak perlu menyiapkan peta peta fakta wilayah dalam tema tema yang lengkap. Dalam lingkup pekerjaan inilah antara lain dituntut peran aktif kajian-kajian para ahli geografi. Pewilayahan data spasial untuk menetapkan proyek pembangunan disebut wilayah subyektif, sedang wilayah yang ditetapkan untuk suatu bidang kehidupan sebagai tujuan pembangunan (penetapan wilayah pembangunan) disebut wilayah obyektif. Implementasi wilayah pembangunan pada umumnya tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. Produk akhir dari analisis data spasial disebut “wilayah geografik” sedang cakupan ruang muka bumi yang dianalisis disebut “area/geomer/daerah”. Pada saat ini semakin dapat dirasakan bahwa perkembangan suatu daerah tertentu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh daerah sekitarnya mulai dari daerah tetangga sampai daerah yang lebih jauh jaraknya bahkan pengaruh dari bagian bumi lainnya. Dampak globalisasi telah membuktikan hal itu. Oleh karena itu, wilayah sebagai system spasial dalam lingkup kegiatan pengembangan wilayah merupakan subsistem spasial dalam lingkup yang lebih luas. Sebuah kabupaten/kota, dalam kegiatan pengembangan wilayah, di samping menganalisis data spasial kabupaten/kota yang bersangkutan, juga perlu memperhatikan paling tidak bagaimana perkembangan daerah sekitarnya (interregional planning). Sebuah kabupaten/kota tidak dapat hidup sendiri dan oleh karena itu perlu mengadakan kerja sama dengan daerah tetangganya. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, suatu proyek pembangunan daerah dilaksanakan pada tingkat kabupaten/kota sebagai unit terrendah dalam hirarki pembangunan. Proyek terkait dengan jenisnya dan dananya. Setelah jenis dan dananya disediakan maka tahap berikutnya adalah menetapkan di bagian mana dari daerah kabupaten/kota proyek tersebut akan dilaksanakan. Ada beberapa cara untuk menetapkan proyek pembangunan. Cara penetapan proyek biasanya dilakukan, pada tahap awal, 18 melalui suatu kajian akademis antara lain berdasarkan pendekatan geografi, pendekatan ekonomi dan lainnya. Pendekatan geografi dilakukan melalui tahapan penetapan masalah, pengumpulan data dan analisis data mulai dari kegiatan penyaringan, pengelompokan, klasifikasi data, kegiatan pengwilayahan, korelasi dan analogi. Oleh karena adanya keragaman berbagai masalah yang dihadapi masyarakat, berdasarkan kemampuan keuangan pemerintah dan skala waktu pelaksanaan, disusun skala prioritas proyek. Hasil korelasi secara spasial (tumpang tindih atau overlay peta wilayah) dapat ditunjukan masalah apa sebagai prioritas proyek dan di mana lokasi proyek tersebut dilaksanakan. Dalam pelaksanaanya, pendekatan geografi tidaklah sesederhana itu. Beberapa cara lain untuk menetapkan proyek pembangunan dapat disebutkan antara lain dengan menerapkan teori Economic Base, Multiplier Effect yang berkaitan dengan teori input-output dan penerapan teori lokasi, (Location Theory), teori pusat (Central Place Theory) dan penerapan teori Kutub Pengembanngan (Growth Pole Theory). . 1. Teori Lokasi. Paling tidak ada tiga hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan lokasi proyek pembangunan yaitu (1) pengeluaran terrendah (2) jangkauan pemasaran dan (3) keuntungan tertinggi. 2. Teory Pusat Pelayanan. Pola ideal yang diharapkan terbentuk, asumsi homogin dalam hal bentuk medan, kualitas tanah dan tingkat ekonomi penduduk serta budayanya, Christaller menyajikan bentuk pola pelayanan seperti jejaring segi enam (hexagonal). Bentuk pola pelayanan hexagonal ini secara teoritis mampu memperoleh optimasi dalam hal efisiensi transportasi, pemasaran dan administrasi. 3. Teori Kutub Pertumbuhan. Berbeda dengan Christaller yang berlatar belakang ahli Geografi, teori Kutub Pertumbuhan diprakarsai dan dikembangankan oleh para ahli ekonomi. Teori ini melahirkan konsep ekonomi seperti konsep Industri Penggerak (leading industry), konsep Polarisasi dan konsep penularan (trickle atau spread effect). 19 Beberapa kelemahan penerapan cara di atas dalam penetapan kegiatan pembangunan dihadapkan pada faktor politis pengambil kebijakan di tingkat kabupaten/kota, faktor ketersediaan dana dan ketersediaan lahan tempat dilaksanakannya kegiatan. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa pendekatan kewilayahan menjadi faktor kunci dalam kegiatan penetapan proyek pembangunan berdasarkan penetapan prioritas secara tepat. Location theory is concerned with the geographic location of economic activity; it has become an integral part of economic geography, regional science, and spatial economics. Location theory addresses the questions of what economic activities are located where and why. Location theory rests on the assumption that agents act in their own self interest. Thus firms choose locations that maximize their profits and individuals choose locations that maximize their utility. (http://en.wikipedia.org/wiki/Location_theory). Central place theory is a geographical theory that seeks to explain the number, size and location of human settlements in an urban system. The theory was created by the German geographer Walter Christaller, who asserted that settlements simply functioned as 'central places' providing services to surrounding areas (Goodall, B. 1987. The Penguin Dictionary of Human Geography. London: Penguin). (http://en.wikipedia.org/wiki/Central_place_theory) Pengembangan wilayah merupakan program menyeluruh dan terpadu dari semua kegiatan dengan memperhitungkan sumberdaya yang ada dan memberikan kontribusi kepada pembangunan suatu wilayah. Konsep pengembangan wilayah adalah suatu upaya dalam mewujudkan keterpaduan penggunaan sumberdaya dengan penyeimbangan dan penyerasian pembangunan antar daerah, antar sektor serta antar pelaku pembangunan dalam mewujudkan tujuan pembangunan daerah. Menurut Undang-undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, definisi kawasan adalah Wilayah dengan fungsi utama lindung atau budi daya. Konsep kawasan adalah wilayah yang berbasis pada keberagaman fisik dan ekonomi tetapi memiliki hubungan erat dan saling mendukung satu 20 sama lain secara fungsional demi mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam kaitan ini, kawasan didefinisikan sebagai kawasan yang mempunyai fungsi tertentu, dimana kegiatan ekonominya, sektor dan produk unggulannya, mempunyai potensi mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya. Kawasan ini secara sendiri-sendiri maupun secara bersama membentuk suatu klaster. Pembangunan kawasan adalah usaha untuk mengembangkan dan meningkatkan hubungan kesalingtergantungan dan interaksi atara sistem ekonomi (economic system), masyarakat (social system), dan lingkungan hidup beserta sumberdaya alamnya (ecosystem). Membangun masyarakat pedesaan, beserta sarana dan prasarana yang mendukungnya; Mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan; Mengurangi tingkat kemiskinan melalui peningkatan pendapatan masyarakat; Mendorong pemerataan pertumbuhan dengan mengurangi disparitas antar daerah; Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan konservasi sumberdaya alam demi kesinambungan pembangunan daerah. Mendorong pemanfaatan ruang desa yang efisien dan berkelanjutan. Konsep pengembangan wilayah bermula dari konsep atau teori lokasi yang bermula dari Von Thunen, yang intinya adalah konsentrasi aktivitas ekonomi akan terjadi pada lokasi tertentu karena adanya proses economies of scale . Walaupun teori Von Thunen tersebut adalah teori berkaitan dengan sewa tanah, akan tetapi teori itu relevan untuk menjelaskan aktivitas ekonomi dalam suatu lokasi atau wilayah tertentu. Aktivitas ekonomi yang terjadi pada suatu lokasi ini kemudian akan diikuti berkembangnya berbagai fasilitas dan prasarana lain yang mendukung aktivitas ekonomi, dan kemudian aktivitas tersebut akan dapat menarik aktivitas-aktivitas daerah sekitarnya. Oleh karena itu, lokasi ini akan menjadi pusat pertumbuhan dalam wilayah tersebut ( growth pole theory ). 21 Growth pole theory, as originally formulated, assumes that growth does not appear everywhere at the same time, but it manifests itself in “points” or “poles” of growth (Perroux, 1950; 1955). With variable intensities, the growth spreads by different channels and eventually affects the economy as a whole (Vanneste, 1971). It is widely argued that Perroux’s initial concept of growth pole denoted an individual plant; one that occupied an abstract economic space, rather than a specific geographical space such as a city or region (Vanneste, 1971; Monsted, 1974; Mitchell-Weaver, 1991). In his latter writings, as Vanneste (1971) points out, Perroux refined his concept of growth pole as a dynamic unity in a defined environment. The unit is simple or complex: (a) a firm, or (b) group of firms not institutionalized, or (c) group of firms institutionalized, such as private and semi-public undertakings. Based on these features of the growth pole concept, other authors associated a functional attribute to the concept. They postulated that a growth pole is formed when an industry, through the flow of goods and incomes which it is able to generate, stimulates the development and growth of other industries related to it (technical polarization); or determines the prosperity of the tertiary sector by means of the incomes it generates (income polarization); or stimulates an increase of the regional economy by causing a progressive concentration of new activities (psychological and geographical polarization). To the extent that the growth pole concept has a functional character, Vanneste (1971) argues that it would be wrong to neglect the spatial aspect and the geographical implications of the concept. If the growth pole has a local geographical base, then it is safe to assume that it can induce external economies in local firms. This means that growth is induced not only through direct trading between firms located in the same geographic area, but also through a structural change in the region. In that sense, Monsted (1974) asserts that local trade and business, which are not even directly associated with the growth pole will experience high demand induced by better resources and wages in the region. Bhandari (2006) thinks that the geographical aspects of growth poles are now considered to be the most important facet of growth pole theory. 22 The growth pole concept involves an enormous confusion of ideas, which makes it extremely difficult to put forward a clear definition of it. The Geography Dictionary (2004) defines growth poles as follows: “A point of economic growth. Growth poles are usually urban locations, benefiting from agglomeration economies, and should interact with surrounding areas, spreading prosperity from the core to the periphery”. Pengembangan keunggulan suatu wilayah pada dasarnya merupakan implementasi atas penguatan daya saing atau keunggulan kompetitif suatu daerah. Konsep keunggulan daya saing sendiri mulanya dikembangkan untuk model industri dan dikembangkan oleh Porter (1986), yang dikenal dengan Model Berlian. Model berlian menjelaskan daya saing internasional sebuah negara atau wilayah. Model ini disebut ”diamond” karena digambarkan sebentuk kotak berbentuk berlian yang sususnannya berisi sejumlah faktor yang menentukan daya saing suatu wilayah atau negara. Menurut model “diamond of advantage” dari Porter (1990), suatu kawasan secara alamiah akan mengembangkan keunggulan kompetitif berdasarkan kemampuan inovasi dari perusahanperusahan yang ada di dalamnya dan vitalitas ekonomi suatu wilayah merupakan hasil langsung dari persaingan industri yang ada di kawasan tersebut. The diamond model is an economical model developed by Michael Porter in his book The Competitive Advantage of Nations (1990), where he published his theory of why particular industries become competitive in particular locations (Traill, B. dan Eamonn Pitts. 1998). Afterwards, this model has been expanded by other scholars. The approach looks at clusters of industries, where the competitiveness of one company is related to the performance of other companies and other factors tied together in the value-added chain, in customer-client relation, or in a local or regional contexts. The Porter analysis was made in two steps (Porter, 1990). First, clusters 23 of successful industries have been mapped in 10 important trading nations. In the second, the history of competition in particular industries is examined to clarify the dynamic process by which competitive advantage was created. The second step in Porter's analysis deals with the dynamic process by which competitive advantage is created. The basic method in these studies is historical analysis. The phenomena that are analysed are classified into six broad factors incorporated into the Porter diamond (Porter, 1990), which has become a key tool for the analysis of competitiveness: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Factor conditions are human resources, physical resources, knowledge resources, capital resources and infrastructure. Specialized resources are often specific for an industry and important for its competitiveness. Specific resources can be created to compensate for factor disadvantages. Demand conditions in the home market can help companies create a competitive advantage, when sophisticated home market buyers pressure firms to innovate faster and to create more advanced products than those of competitors. Related and supporting industries can produce inputs which are important for innovation and internationalization. These industries provide cost-effective inputs, but they also participate in the upgrading process, thus stimulating other companies in the chain to innovate. Firm strategy, structure and rivalry constitute the fourth determinant of competitiveness. The way in which companies are created, set goals and are managed is important for success. But the presence of intense rivalry in the home base is also important; it creates pressure to innovate in order to upgrade competitiveness. Government can influence each of the above four determinants of competitiveness. Clearly government can influence the supply conditions of key production factors, demand conditions in the home market, and competition between firms. Government interventions can occur at local, regional, national or supranational level. Chance events are occurrences that are outside of control of a firm. They are important because they create discontinuities in which some gain competitive positions and some lose. 24 The Porter thesis is that these factors interact with each other to create conditions where innovation and improved competitiveness occurs. The Porter diamond (Porter, 1990) KONSEP ECO-REGION An ecoregion (ecological region), sometimes called a bioregion, is an ecologically and geographically defined area that is smaller than an ecozone and larger than an ecosystem. Ecoregions cover relatively large areas of land or water, and contain characteristic, geographically distinct assemblages of natural communities and species. The biodiversity of flora, fauna and ecosystems that characterise an ecoregion tends to be distinct from that of other ecoregions. 25 In theory, biodiversity or conservation ecoregions are relatively large areas of land or water where the probability of encounter of different species and communities at any given point remain relatively constant, within an acceptable range of variation (largely undefined at this point). Three caveats are appropriate for all biogeographic mapping approaches (http://en.wikipedia.org/wiki/Ecoregion): 1. Firstly, no single biogeographic framework is optimal for all taxa. Ecoregions reflect the best compromise for as many taxa as possible. 2. Secondly, ecoregion boundaries rarely form abrupt edges; rather, ecotones and mosaic habitats bound them. 3. Thirdly, most ecoregions contain habitats that differ from their assigned biome. Ecoregions defined Biodiversity is not spread evenly across the Earth but follows complex patterns determined by climate, geology and the evolutionary history of the planet. These patterns are called "ecoregions". WWF defines an ecoregion as a "large unit of land or water containing a geographically distinct assemblage of species, natural communities, and environmental conditions". The boundaries of an ecoregion are not fixed and sharp, but rather encompass an area within which important ecological and evolutionary processes most strongly interact. The Global ecoregions recognize the fact that, whilst tropical forests and coral reefs harbour the most biodiversity and are the traditional targets of conservation organizations, unique manifestations of nature are found in temperate and boreal regions, in deserts and mountain chains, which occur nowhere else on Earth and which risk being lost forever if they are not conserved. (http://wwf.panda.org/about_our_earth/ecoregions/about/what_is_an_ecoregio n/). 26 DAFTAR PUSTAKA Beatley, T. 2000. Urban Ecocycle Balancing: Towards Closed–Loop Cities. In Green Urbanism, Learning from European Cities, Washington, DC, Island Press. Bhandari, L. 2006. Clusters Initiatives and Growth Poles: Correcting Coordination Failures. Indicus Analytics, November 2006. Boyden, S, dan J. Celecia. 1981. The Ecology of Megalopolis. The UNESCO Courier. Boyden, S, Millar, S, Newcombe, K, dan B. O’Neill. 1981. The Ecology of a City and its People: The Case of Hong Kong, Canberra, Australian National University Press. Brandon, C dan R. Ramankutty. 1993. Toward an Environmental Strategy for Asia. World Bank Discussion Paper 224, Washington, D.C., World Bank. Chapin F.S. III, Matson, P.A., dan H.A. Mooney. 2003. Principles of terrestrial ecosystem ecology. Springer-Verlag, New York, N.Y. Defries, R.S., J.A. Foley dan G.P. Asner. 2004. Land-use choices: balancing human needs and ecosystem function. in: Frontiers in ecology and environmental science. 2:249-257. Douglas, I. 1981. The City as Ecosystem. Progress in Physical Geography, Vol. 5, no. 3, pp 315–367. Douglas, I. 1983. The Urban Environment, London, Edward Arnold. Ehrenfeld, J.G. dan L.A.Toth. 1997. Restoration ecology and the ecosystem perspective. In: Restoration Ecology 5:307-317. Fitzpatrick, K, dan M. LaGory. 2000. Unhealthy Places: The Ecology of Risk in the Urban Landscape, New York, Routledge. Folke, C, Jansson, A, Larsson, J, dan R.Costanza. 1997. Ecosystem Appropriation of Cities. Ambio Vol. 26, no.3, pp 167–172. Friedmann, J. 1956. Locational aspects of economic development. Land Economics, vol. 32: 213-227. Gilbert, O. L. 1989. The Ecology of Urban Habitats, New York, Chapman and Hall. 27 Grove, J M, dan W.R. Burch. 1997. A Social Ecology Approach and Application of Urban Ecosystem and Landscape Analyses: A Case Study of Baltimore, Maryland. Urban Ecosystems, no. 1, pp 259–275. Hough, M. 1990. Formed by Natural Process: A Definition of a Green City. In D. Gordon (ed.), Green Cities: Ecologically Sound Approaches to Urban Space, Montreal, Black Rose Books. Isard, Walter. 1956. Location and Space-Economy: A General Theory Relating to Industrial Location, Market Areas, Land Use, Trade and Urban Structure Cambridge, Massachusetts: The MIT Press. Isard, Walter. 1975. Introduction to Regional Science. New York: Prentice Hall, p. 6. Latiff, A dan M. Omar (eds.) 1983. Proceedings of Regional Seminar on Development of Techniques for Analysis of Tropical Cities on an Ecosystem Basis, Bangi, Universiti Kebangsaan Malaysia. Low, N., B.Gleeson, I. Elander dan R. Lidskog (eds.) 2000. Consuming Cities: The Urban Environment in the Global Economy After the Rio Declaration, London, Routledge. McDonnell, M.J. dan S.T.A. Pickett. 1991. Comparative Analysis of Ecosystems Along Gradients of Urbanization: Opportunities and Limitations. In J J Cole, G M Lovett, and S E G Findlay (eds), Comparative Analyses of Ecosystems: Patterns, Mechanisms and Theories, New York, Springer–Verlag. McGranahan, G., J.Songsore dan M. Kjellen. 1996. Sustainability, Poverty and Urban Environmental Transitions. In David Satterthwaite (ed), Sustainability, the Environment and Urbanization, London: Earthscan Publications. McMichael, A J. 2000. The Urban Environment and Health in a World of Increasing Globalization: Issues for Developing Countries. Bulletin of the World Health Organization, Vol.78, no. 9, pp 1117–1126. Monsted, M. 1974. François Perroux’s Theory of “Growth Pole” and “Development Pole”: A Critique. Antipode, vol. 6, Issue 2: 106-113, July 1974. Odum, E.P. 1969. The strategy of ecosystem development. Science 164:262270. 28 Odum, H.T. 1971. Environment, Power, and Society. Wiley-Interscience New York, N.Y. Olson, J.S. 1963. Energy storage and the balance of producers and decomposers in ecological systems. Ecology 44:322-331. Perroux, F. 1950. Economic space: theory and applications. Quarterly Journal of Economics, Vol. 64: 90-97. Pickett, S.T.A., W.R.Burch, Jr., T.W.Foresman, J.M.Grove, dan R. Rowntree. 1997. A Conceptual Framework for the Study of Human Ecosystems. Urban Ecosystems no. 1, pp 185–199. Porter, M.E. (ed.). 1986. Competition in Global Industries. Harvard Business School Press, Boston, 1986. Porter, M.E. 1979. How Competitive Forces Shape Strategy. Harvard Business Review, March/April 1979. Porter, M.E. 1980. Competitive Strategy. Free Press, New York, 1980. Porter, M.E. 1985. Competitive Advantage. Free Press, New York, 1985. Porter, M.E. 1987. From Competitive Advantage to Corporate Strategy. Harvard Business Review, May/June 1987, pp 43-59. Porter, M.E. 1990. The competitive advantage of nations. New York: Free Press. Porter, M.E. 1991. Towards a Dynamic Theory of Strategy. Strategic Management Journal, 12 (Winter Special Issue), pp. 95-117. Porter, M.E. 2008. The Five Competitive Forces That Shape Strategy. Harvard Business Review, January 2008, pp. 79-93. Porter, M.E. dan M.R. Kramer. 2006. Strategy and Society: The Link Between Competitive Advantage and Corporate Social Responsibility. Harvard Business Review, December 2006, pp. 78-92. Traill, B. dan Eamonn Pitts. 1998. Competitiveness in the Food Industry. Springer. pp. 301. http://books.google.com/books?id=g_iw4ocyAgC&printsec=frontcover#PPA17,M1. Vanneste, O. 1971. The Growth Pole Concept and the Regional Economic Policy: with an Example of Application to the Westflemish Economy. College of Europe, Postgraduate Institute of European Studies, Belgium. Vasishth, A dan D.C. Slone. 2002. Returning to Ecology: An Ecosystems Approach to Understanding the City. In Dear, M. J. (ed) Chicago to 29 LA: Making Sense of Urban Theory, Thousand Oaks, Sage Publications.