KONTEKS “ URBAN” DALAM ARSITEKTUR Disusun oleh : BIMO LAKSONO (1451010027) CESIA AYU ANTIKA (1451010030) ARSITEKTUR FAKULTAS ARSITEKTUR DAN DESAIN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JATIM 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun Buku Bunga Rampai tentang “Konteks dalam Arsitektur” ini untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Arsitektur Kontekstual. Terimakasih kami sampaikan kepada Bapak Heru Subiyantoro, ST, MT. selaku Dosen pengampu mata kuliah Arsitektur Kontekstual yang senantiasa memberikan arahan dan bimbingan, sehingga Buku Bunga Rampai tentang “Konteks dalam Arsitektur” ini dapat tersusun. Tak lupa kami juga mengucapkan terimakasih pada semua pihak yang telah membantu dan memberikan masukan sehingga Buku tersebut dapat tersusun lengkap. Kami berharap Buku Bunga Rampai ini dapat dijadikan acuan dalam mata kuliah tersebut sesuai dengan apa yang diharapkan bersama. Kami menyadari bahwa pembuatan makalah ini jauh dari kata sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan buku ini. Surabaya, 20 Oktober 2016 PENULIS DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan 1.3. Manfaat 1.4. Metode Penulisan II. PEMBAHASAN 2.1. Teori-Teori Urban 2.2. Elemen – Elemen Fisik Kota 2.3. Struktur dan Bentuk Kota 2.4. Konteks Urban dalam Arsitektur III. PENUTUP 3.1. Kesimpulan 3.2. Saran Daftar Pustaka BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konsep kontekstualisme dalam arsitektur mempunyai arti merancang sesuai dengan konteks yaitu merancang bangunan dengan menyediakan visualisasi yang cukup antara bangunan yang sudah ada dengan bangunan baru untuk menciptakan suatu efek yang kohesif (menyatu). Rancangan bangunan baru harus mampu memperkuat dan mengembangkan karakteristik dari penataan lingkungan, atau setidaknya mempertahankan pola yang sudah ada. Suatu bangunan harus mengikuti langgam dari lingkungannya agar dapat menyesuaikan diri dengan konteksnya dan memiliki kesatuan visual dengan lingkungan tersebut dan memiliki karakteristik yang sama. Desain yang kontekstual merupakan alat pengembangan yang bermanfaat karena memungkinkan bangunan yang dimaksud untuk dapat dipertahankan dalam konteks yang baik. Kontekstualisme dalam arsitektur pada hakekatnya adalah persoalan keserasian dan kesinambungan visual, memori dan makna dari urban fabric. Prinsip kontekstualisme dalam arsitektur adalah adanya pengakuan bahwa gaya arsitektur suatu bangunan selalu merupakan bagian fragmental dari sebuah gaya arsitektur yang lebih luas. Pada saat ini prinsip-prinsip yang sesuai untuk masa yang akan datang baru mulai muncul dengan jelas. Manifesto Modern sebagai naskah/tulisan yang sering dipakai untuk mengumumkan daftar prinsip Modern dengan suara keras lebih sensitif pada situasinya. Pendekatan dan pemikiran arsitektural yang sesuai untuk suatu situasi tertentu mungkin tidak sesuai digunakan untuk situasi yang lain. Arsitektur Modern tidak langsung dibuang ke dalam sampah, bahkan masih sangat penting sebagai prinsip yang paling sesuai untuk jalan Jendral Sudirman di Jakarta Pusat lain dari bahasa arsitektural yang sesuai dengan kawasan Keraton Surakarta. Hal ini merupakan prinsip pokok kontekstualisme yang menjadi salah satu unsur terpenting dalam agenda pasca Modern yang sedang timbul, tapi bukan hanya soal gaya yang terpilih. Generasi baru arsitektur barat telah jenuh membicarakan mengenai gaya arsitektur, yang sedang dicari adalah cara untuk membuatkan jati diri kepada masyarakat serta menawarkan sumbangan nilai-nilai hidup. Berangkat dari pemikiran ini, kami merasa perlu untuk mengangkat konteks dalam perancangan arsitektur. Konteks dalam perancangan arsitektur di sini adalah tentang Konteks Urban. Konteks Urban atau Kota identik dengan desain / perencanaan suatu kota, namun disini sebagai konteks, kita akan mengaplikasikan “Urban” dalam sebuah desain arsitektur. 1.2. 1.3.Tujuan a. Tujuan Umum Untuk menjelaskan Teori-Teori yang dapat digunakan untuk mendukung konteks Urban. b. Tujuan Khusus Untuk memperoleh gambaran umum tentang pengaplikasian konteks Urban dalam desain arsitektur. 1.4. Manfaat Adapun manfaat dari penulisan makalah ini, yakni : a. Dapat menjelaskan Teori-Teori yang dapat digunakan untuk mendukung konteks Urban. b. Dapat memperoleh gambaran umum tentang pengaplikasian konteks Urban dalam desain arsitektur. 1.5. Metode Penulisan a. Jenis penulisan : Deskriptif, yaitu menggunakan metode studi pustaka dengan mengkaji sumbersumber yang relevan sesuai dengan materi yang dibahas. b. Waktu dan tempat penulisan : Oktober 2016, Progdi Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan , Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Surabaya. BAB II PEMBAHASAN 2.1. TEORI – TEORI URBAN A. TEORI KONSENTRIS (THE CONSENTRIC THEORY) Teori ini dikemukakan oleh E.W. Burgess (Yunus, 1999), atas dasar study kasusnya mengenai morfologi kota Chicago, menurutnya sesuat kota yang besar mempunyai kecenderungan berkembang ke arah luar di semua bagian-bagiannya. Masing-masing zona tumbuh sedikit demi sedikit ke arah luar. Oleh karena semua bagian-bagiannya berkembang ke segala arah, maka pola keruangan yang dihasilkan akan berbentuk seperti lingkaran yang berlapis-lapis, dengan daerah pusat kegiatan sebagai intinya. Gambar 1.1. pola konsentris kota Secara berurutan, tata ruang kota yang ada pada suatu kota yang mengikuti suatu pola konsentris ini adalah sebagai berikut: 1. Daerah Pusat atau Kawasan Pusat Bisnis (KPB). Daerah pusat kegiatan ini sering disebut sebagai pusat kota. Dalam daerah ini terdapat bangunanbangunan utama untuk melakukan kegiatan baik sosial, ekonomi, poitik dan budaya. Contohnya : Daerah pertokoan, perkantoran, gedung bank dan lainnya. kesenian, Gambar 1.2. Kawasan Pusat Bisnis di Surabaya 2. Daerah Peralihan. Daerah ini kebanyakan di huni oleh golongan penduduk kurang mampu dalam kehidupan sosial-ekonominya. Penduduk ini sebagian besar terdiri dari pendatang-pendatang yang tidak stabil (musiman), terutama ditinjau dari tempat tinggalnya. Di beberapa Gambar 1.3. Daerah Peralihan di Surabaya tempat pada daerah ini terdapat kegiatan industri ringan, sebagai perluasan dari KPB. 3. Daerah Pabrik dan Perumahan Pekerja. Daerah ini di huni oleh pekerja-pekerja pabrik yang ada di daerah ini. Kondisi perumahannya sedikit lebih buruk daripada daerah peralihan, hal ini disebabkan karena kebanyakan pekerja-pekerja yang tinggal di sini adalah dari golongan pekerja kelas Gambar 1.4. Kawasan Pabrik / Industri rendah. 4. Daerah Perumahan yang Lebih Baik Kondisinya. Daerah ini dihuni oleh penduduk yang lebih stabil keadaannya dibanding dengan penduduk yang menghuni daerah yang disebut sebelumnya, baik ditinjau dari pemukimannya maupun dari perekonomiannya. 5. Daerah Penglaju. Daerah ini mempunyai tipe kehidupan yang dipengaruhi oleh pola hidup daerah pedesaan disekitarnya. Sebagian menunjukkan ciri-ciri kehidupan perkotaan dan sebagian yang lain menunjukkan ciri-ciri kehidupan pedesaan, Kebanyakan penduduknya mempunyai lapangan pekerjaan nonagraris dan merupakan pekerjapekerja penglaju yang bekerja di dalam kota, sebagian penduduk yang lain adalah penduduk yang bekerja di bidang pertanian. B. TEORI SEKTOR Teori sector ini dikemukakan oleh Homer Hoyt (Yunus, 1991 & 1999), dinyatakan bahwa perkembangan-perkembangan baru yang terjadi di dalam suatu kota, berangsur-angsur menghasilkan kembali karakter yang dipunyai oleh sectorsektor yang sama terlebih dahulu. Alasan ini terutama didasarkan pada adanya kenyataan bahwa di dalam kota-kota yang besar terdapat variasi sewa tanah atau sewa rumah yang besar. Belum tentu sesuatu tempat yang mempunyai jarak yang sama terhadap KPB akan mempunyai nilai sewa tanah atau rumah yang sama, atau belum tentu semakin jauh letak atau tempat terhadap KPB akan mempunyai nilai sewa yang semakin rendah. Kadang-kadang daerah tertentu dan bahkan sering terjadi bahwa daerah-daerah tertentu yang letaknya lebih dekat dengan KPB mempunyai nilai sewa tanah atau rumah yang lebih rendah daripada daerah yang lebih jauh dari KPB. Gambar 1.5. pola sektor kota Keadaan ini sangat banyak dipengaruhi oleh factor transportasi, komunikasi dan segala aspek-aspek yang lainnya. 1. Pertumbuhan VertikaL, yaitu daerah ini dihuni oleh struktur keluarga tunggal dan semakin lama akan didiami oleh struktur keluarga ganda. Hal ini karena ada factor pembatas, yaitu : fisik, social, ekonomi dan politik. 2. Pertumbuhan Memampat, yaitu apabila wilayah suatu kota masih cukup tersedia ruang-ruang kosong untuk bangunan tempat tinggal dan bangunan lainnya. 3. Pertumbuhan Mendatar ke Arah Luar (Centrifugal), yaitu biasanya terjadi karena adanya kekurangan ruang bagi tempat tinggal dan kegiatan lainnya. Pertumbuhannya bersifat datar centrifugal, karena perembetan pertumbuhannya akan kelihatan nyata pada sepanjang rute transportasi. Pertumbuhan datar centrifugal ini dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu : Pertumbuhan Datas Aksial, pertumbuhan kota yang memanjang ini terutama dipengaruhi oleh adanya jalur transportasi yang menghubungkan KPB dengan daerah-daerah yang berada diluarnya. Pertumbuhan Datar Tematis, pertumbuhan lateral suatu kota tipe ini tidak mengikuti arah jalur transportasi yang ada, tetapi lebih banyak dilatarbelakangi oleh keadaan khusus, sebagai cintih yaitu dengan didirikannya beberapa pusat pendidikan, sehingga akan menarik penduduk untuk bertempat tinggal di daerah sekitarnya. Di lingkungan pusat kegiatan yang beru ii akan timbul suatu suasana perkotaan yang secara administrative mungkin terpisah dari kota yang ada. Oleh karena jarak antara pusast kegiatan yang baru dengan daerah perkotaan yang lama biasanya tidak terlalu jauh, maka pertumbuhan selanjutnya adalah pada pusat yang lama dengan pusat yang baru akan bergabung menjadi satu. Pertumbuhan Datar Kolesen, perkembangan lateral ketiga ini terjadi karena adanya gabungan dari perkembangan tipe satu dan dua. Sehubungan dengan adanya perkembangan yang terus-menerus dan bersifat datar pada kota (pusat kegiatan), maka mengakibatkan terjadinya penggabungan pusat-pusat tersebut satu kesatuan kegiatan. Perumusan Kriteria Liveable Cities Yang Terdiri Dari 8 Variabel Dan 35 Kriteria Sebagai Berikut : (Symposium Iap 2008) 1. Fisik Kota : Tata ruang, arsitektur, RTH, ciri dan karakter budaya lokal 2. Kualitas Lingkungan : kebersihan kota dan tingkat pencemaran. 3. Transportasi-Aksesibilitas : angkutan umum, kualitas jalan, waktu tempuh ke tempat aktivtas, pedestrian. 4. Fasilitas : Fasilitas kesehatan, pendidikan, peribadatan, rekreasi, taman kota. 5. Utilitas : Air bersih, listrik, telekomunikasi 6. Ekonomi : tingkat pendapatan, biaya hidup, ramah investasi 7. Sosial : Ruang publik, ruang kreatif, interaksi sosial, kriminalitas, tingkat kesetaraan warga kota, partisipasi warga, dukungan terhadap orang tua, penyandang cacat, dan wanita hamil. 8. Birokrasi dan Pemerintahan : Leadership yang kuat, dukungan kebijakan, kepastian hukum, akuntabilitas pemerintah, tingkat penerapan rencana kota, dukungan program pembangunan, dukungan pembiayaan. C. TEORI PERTUMBUHAN KOTA Menurut Spiro Kostof (1991), Kota adalah Leburan Dari bangunan dan penduduk, sedangkan bentuk kota pada awalnya adalah netral tetapi kemudian berubah sampai hal ini dipengaruhi dengan budaya yang tertentu. Bentuk kota ada dua macam yaitu geometri dan organik.Terdapat dikotomi bentuk perkotaan yang didasarkan pada bentuk geometri kota yaitu Planned dan Unplanned. 1. BENTUK PLANNED (terencana) dapat dijumpai pada kota-kota eropa abad pertengahan dengan pengaturan kota yang selalu regular dan rancangan bentuk geometrik. 2. BENTUK UNPLANNED (tidak terencana) banyak terjadi pada kota-kota metropolitan, dimana satu segmen kota berkembang secara sepontan dengan bermacam-macam kepentingan yang saling mengisi, sehingga akhirnya kota akan memiliki bentuk semaunya yang kemudian disebut dengan organik pattern, bentuk kota organik tersebut secara spontan, tidak terencana dan memiliki pola yang tidak teratur dan non geometrik. Elemen-elemen pembentuk kota pada kota organik, oleh kostol dianalogikan secara biologis seperti organ tubuh manusia, yaitu : 1. Square, open space sebagai paru-paru. 2. Center, pusat kota sebagai jantung yang memompa darah (traffic). 3. Jaringan jalan sebagai saluran arteri darah dalam tubuh. 4. Kegiatan ekonomi kota sebagai sel yang berfikir. 5. Bank, pelabuhan, kawasan industri sebagai jaringan khusus dalam tubuh. 6. Unsur kapital (keuangan dan bangunan) sebagai energi yang mengalir ke seluruh sistem perkotaan. Dalam suatu kota organik, terjadi saling ketergantungan antara lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Contohnya : jalan-jalan dan lorong-lorong menjadi ruang komunal dan ruang publik yang tidak teratur tetapi menunjukkan adanya kontak sosial dan saling menyesuaikan diri antara penduduk asli dan pendatang, antara kepentingan individu dan kepentingan umum. Perubahan demi perubahan fisik dan non fisik (sosial) terjadi secara sepontan. Apabila salah satu elemnya terganggu maka seluruh lingkungan akan terganggu juga, sehingga akan mencari keseimbangan baru. Demikian ini terjadi secara berulang-ulang. Menurut Kevin Lynch (1981), definisi model organik atau kota biologis adalah kota yang terlihat sebagai tempat tinggal yang hidup, memiliki ciri-ciri kehidupan yang membedakannya dari sekedar mesin, mengatur diri sendiri dan dibatasi oleh ukuran dan batas yang optimal, struktur internal dan perilaku yang khas, perubahannya tidak dapat dihindari untuk mempertahankan keseimbangan yang ada, menurutnya bentuk fisik organik : Membentuk pola radial dengan unit terbatas. Memiliki focused centre. Memiliki lay out non geometrik atau cenderung romantis dengan pola yang membentuk lengkung tak beraturan. Material alami. Kepadatan sedang sampai rendah. Dekat dengan alam Di dalam model organik ini, organisasi ruang telah membentuk kesatuan yang terdiri dari unit-unit yang memiliki fungsi masing-masing. Kota terbentuk organik mudah untuk mengalami penurunan kualitas karena perkembangannya yang spontan, tidak terencana dan sepotong-sepotong. Masyarakat penghuni kota ini bermacammacam yang merupakan percampuran antara berbagai macam manusia dalam suatu tempat yang memiliki keseimbangan. Masing-masing memiliki fungsi yang berbeda, saling menyimpang tetapi juga saling mendukung satu sama lain. Kota organik memiliki ciri khas pada kerjasama pemeliharan lingkungan sosial oleh masyarakat. D. TEORI PERTUMBUHAN KOTA Terdapat beberapa pandangan yang berkaitan dengan perubahan suatu kawasan dan sekitarnya sebagai bagian dari suatu kawasan perkotaan yang lebih luas, menurut Gallion dalam buku ¨The Urban Pattern¨ disebutkan bahwa perubahan suatu kawasan dan sebagian kota dipengaruhi letak geografis suatu kota. Hal ini sangat berpengaruh terhadap perubahan akibat pertumbuhan daerah di kota tersebut, apabila terletak di daerah pantai yang landai, pada jaringan transportasi dan jaringan hubungan antar kota, maka kota akan cepat tumbuh sehingga beberapa elemen kawasan kota akan cepat berubah. Dalam proses perubahan yang menimbulkan distorsi (mengingat skala perubahan cukup besar) dalam lingkungan termasuk didalamnya perubahan penggunaan lahan secara organik, terdapat beberapa hal yang bisa diamati yaitu : 1. Pertumbuhan terjadi satu demi satu, sedikit demi sedikit atau terus menerus. 2. Pertumbuhan yang terjadi tidak dapat diduga dan tidak dapat diketahui kapan dimulai dan kapan akan berakhir, hal ini tergantung dari kekuatan-kekuatan yang melatar belakanginya. 3. Proses perubahan lahan yang terjadi bukan merupakan proses segmental yang berlangsung tahap demi tahap, tetapi merupakan proses yang komprehensif dan berkesinambungan. 4. Perubahan yang terjadi mempunyai kaitan erat dengan emosional (sistem nilai) yang ada dalam populasi pendukung. 5. Faktor-faktor penyebab perubahan lainya adalah vision (kesan), optimalnya kawasan, penataan yang maksimal pada kawasan dengn fungsi-fungsi yang mendukung, penggunaan struktur yang sesuai pada bangunan serta komposisi tapak pada kawasan. (Cristoper Alexander, A New Theory Of Urban Design, 1987, 14:32-99). Uraian diatas sesuai dengan kondisi kawasan penelitian yang berada di kawasan bencana alam, yaitu adanya perubahan pola tata ruang lingkungan permukiman (kampung kota) mengarah kepada tatanan kawasan mitigasi bencana alam yang nantinya melalui tahapan proses terus menerus yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan manusianya. Dalam kaitanya dengan kota dan arsitektur, morfologi memiliki dua aspek yaitu aspek diakronik yang berkaitan dengan perubahan ide dalam sejarah dan aspek sinkronik yaitu hubungan antar bagian dalam kurun waktu tertentu yang dihubungkan dengan aspek lain. Aspek metamorfosis adalah sejarah individual dari bangunan dan kota, kesemuanya harus dilakukan dalam analisis morfologi. Karya arsitektur merupakan salah satu refleksi dan perwujudan kehidupan dasar masyarakat menurut makna yang dapat dikomunikasikan (Rapoport, 1969). Keseragaman dan keberagaman sebagai ungkapan perwujudan fisik yang terbentuk yaitu citra dalam arti identitas akan memberikan makna sebagai pembentuk citra suatu tempat (place). Ada tiga komponen struktural yang dapat dikaji (Schultz, 1984) : X TIPOLOGI : menyangkut tatanan sosial (sosial order) dan pengorganisasian ruang (spatial organization) yang dalam hal ini menyangkut ruang (space) berkaitan dengan tempat yang abstrak. X MORFOLOGI : menyangkut kualitas spasial figural dan konteks wujud pembentuk ruang yang dapat dibaca melalui pola, hirarki, dan hubungan ruang satu dengan yang lainya. Tipologi lebih menekankan pada konsep dan konsistensi yang dapat memudahkan masyarakat mengenai bagian-bagian arsitektur. Morfologi lebih menekankan pada pembahasan bentuk geometris, sehingga untuk memberi makna pada ungkapan ruang harus dikaitkan dengan nilai ruang tertentu, nilai ruang sangat berkaitan dengan organisasi ruang, hubungan ruang dan bentuk ruang, perwujudan spasial fisik merupakan produk kolektif perilaku budaya masyarakat serta pengaruh ¨kekuasaan¨ tertentu yang melatarbelakanginya. Karakteristik suatu tempat dalam hal ini penggunaan suatu lingkungan binaan tertentu bukan hanya sekedar mewadahi kegiatan fungsional secara statis, melainkan menyerap dan menghasilkan makna berbagai kekhasan suatu tempat antara lain setting fisik bangunan, komposisi dan konfigurasi bangunan dengan ruang publik serta kehidupan masyarakat setempat. Perubahan morfologi tidak lepas dari pendukung kegiatan (activity support) karena adanya keterkaitan antara fasilitas ruang-ruang umum kawasan dengan seluruh kegiatan yang menyangkut penggunaan ruang yang menunjang keberadaan ruangruang umum. Kegiatan dan ruang-ruang umum merupakan hal yang saling mengisi dan melengkapi, keberadaan pendukung kegiatan mulai muncul dan tumbuh, bila berada diantara dua kutub kegiatan yang ada di kawasan tersebut keberadaan pendukung kegiatan tidak lepas dari tumbuhnya fungsi kegiatan publik yang mendominasi penggunaan ruang kawasan, semakin dekat dengan pusat kegiatan semaking tinggi intensitas dan keberagaman kegiatan. E. TEORI DESAIN SPASIAL KOTA Menurut Tracik (1986) dalam suatu lingkungan permukiman ada rangkaian antara figure ground, linkage dan palce. Figure ground menekankan adanya public civics space atau open space pada kota sebagai figure. Melalui figure ground plan dapat diketahui antara lain pola atau tipologi, konfigurasi solid void yang merupakan elemtal kawasan atau pattern kawasan penelitian, kualitas ruang luar sangat dipengaruhi oleh figure bangunan-bangunan yang melingkupinya, dimana tampak bangunan merupakan dinding ruang luar, oleh karena itu tata letak, bentuk dan fasade sistem bangunan harus berada dalam sistem ruang luar yang membentuknya. Komunikasi antara privat dan publik tercipta secara langsung. Ruang yang mengurung (enclosure) merupakan void yang paling dominan, berskala manusia (dalam lingkup sudut pandang mata 25-30 derajat) void adalah ruang luar yang berskala interior, dimana ruang tersebut seperti di dalam bangunan, sehingga ruang luar yang enclosure terasa seperti interior. Diperlukan keakraban antara bangunan sebagai private domain dan ruang luar sebagai public dominan yang menyatu. Dalam ¨lingkage theory¨ sirkulasi merupakan penekanan pada hubungan pergerakan yang meruakan kontribusi yang sangat penting. Menurut Fumihiko Maki, Linkage secara sederhana adalah perekat, yaitu suatu kegiatan yang menyatukan seluruh lapisan aktivitas dan menghasilkan bentuk fisik kota, dalam teorinya dibedakan menjadi tiga tipe ruang kota formal, yaitu : Composition form, Megaform dan groupform. Teori linkage yang dapat diterapkan dalam kajian ini adalah group form yang merupakan ciri khas dari bentuk-bentuk spasial kota yang mempunyai kajian sejarah. Linkage ini tidak terbentuk secara langsung tetapi selalu dihubungkan dengan karakteristik fisik skala manusia, rentetan-rentetan space yang dipertegas oleh bangunan, dinding, pentu gerbang, dan juga jalan yang membentuk fasade suatu lingungan perkampungan. Linkage theory ini dapat digunakan sebagai alat untuk memberikan arahan dalam penataan suatu kawasan (lingkungan). Dalam konteks urban design, linkage menunjukkan hubungan pergerakan yang terjadi pada beberapa bagian zone makro dan mikro, dengan atau tanpa aspek keragaman fungsi yang berkaitan dengan fisik, historis, ekonomi, sosial, budaya dan politik (danarti Karsono, 1996). Menurut Shirvani (1985), linkage menggambarkan keterkaitan elemen bentuk dan tatanan masa bangunan, dimana pengertian bentuk dan tatanan massa bangunan tersebut akan meningkatkan fungsi kehidupan dan makna dari tempat tersebut. Karena konfigurasi dan penampilan massa bangunan dapat membentuk, mengarahkan, menjadi orientasi yang mendukung elemen linkage tersebut. Bila pada figure ground theory dan linkage theory ditekankan pada konfigurasi massa fisik , dalam place theory ditekankan bahwa integrasi kota tidak hanya terletak pada konfigurasi fisik morfologi, tetapi integrasi antara aspek fisik morfologi ruang dengan masyarakat atau manusia yang merupakan tujuan utama dari teori ini, melalui pandangan bahwa urban design pada dasarnya bertujuan untuk memberikan wadah kehidupan yang baik untuk penggunaan ruang kota baik publik maupun privat. Pentingnya place theory dalam spasial design yaitu pemahaman tentang culture dan karakteristik suatu daerah yang ada menjadi ciri khas untuk digunakan sebagai salah satu pertimbangan agar penghuni (masyarakat) tidak merasa asing di dalam lingkungannya. Sebagaimana tempat mempunyai masa lalu (linkage history), tempat juga terus berkembang pada masa berikutnya. Artinya, nilai sejarah sangat penting dalam suatu kawasan kota. Aspek spesifik lingkungan menjadi indikator yang sangat penting dalam menggali potensi, mengatur tingkat perubahan serta kemungkinan pengembangan di masa datang, teori ini memberikan pengertian bahwa semakin penting nilai-nilai sosial dan budaya, dengan kaitan sejarah di dalam suatu ruang kota. 2.2. ELEMEN-ELEMEN FISIK KOTA Dalam desain perkotaan (Shirvani, 1985) terdapat elemen-elemen fisik Urban Design yang bersifat ekspresif dan suportif yang mendukung terbentuknya struktur visual kota serta terciptanya citra lingkungan yang dapat pula ditemukan pada lingkungan di lokasi penelitian, elemen-elemen tersebut adalah : A. Tata Guna Tanah Tata guna lahan dua dimensi menentukan ruang tiga dimensi yang terbentuk, tata guna lahan perlu mempertimbangkan dua hal pertimbangan yaitu umum dan pertimbangan pejalan kaki (street level) yang akan menciptakan ruang yang manusiawi. Gambar 1.6. Contoh tata guna lahan kec. Tawangmangu Peruntukan lahan suatu tempat secara langsung disesuaikan dengan masalahmasalah yang terkait, bagaimana seharusnya daerah zona dikembangkan, Shirvany mengatakan bahwa zoning ordinace merupakan suatu mekanisme pengendalian yang praktis dan bermanfaat dalam urban design, penekanan utama terletak pada masalah tiga dimensi yaitu hubungan keserasin antar bangunan dan kualitas lingkungan. Jika kita melihat dilokasi penelitian bisa dilihat dari zona mitigasi tiap-tiap wilayah kaitanya dalam menyiapkan daerah yang masuk dalam wilayah bencana alam siap menghadapinya dan juga membentuk kualitas hidup lingkungan dan bersifat kawasan yang manusiawi. B. Bentuk dan Massa Bangunan Menyangkut aspek-aspek bentuk fisik karena setting, spesifik yang meliputi ketinggian, besaran, floor area ratio, koefisien dasar bangunan, pemunduran (setback) dari garis jalan, style bangunan, skala proporsi, bahan, tekstur dan warna agar menghasilkan bangunan yang berhubungan secara harmonis dengan bangunanbangunan lain disekitarnya. Prinsip-prinsip dan teknik Urban Design yang berkaitan dengan bentuk dan massa bangunan meliputi : Scale, berkaitan dengan sudut pandang manusia, sirkulasi dan dimensi bangunan sekitar. Urban Space, sirkulasi ruang yang disebabkan bentuk kota, batas dan tipe-tipe ruang. Urban Mass, meliputi bangunan, permukaan tanah dan obyek dalam ruang yang dapat tersusun untuk membentuk urban space dan pola aktifitas dalam skala besar dan kecil. C. Sirkulasi dan Parkir Elemen sirkulasi adalah satu aspek yang kuat dalam membentuk struktur lingkungan perkotaan, tiga prinsip utama pengaturan teknik sirkulasi adalah : Jalan harus menjadi elemen ruang terbuka yang memiliki dampak Gambar 1.7. Sirkulasi dan Parkir yang kurang baik visual yang positif. Jalan harus dapat memberikan orientasi kepada pengemudi dan membuat lingkungan menjadi jelas terbaca. Sektor publik harus terpadu dan saling bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. D. Ruang terbuka Ian C. Laurit mengelompokkan ruang terbuka sebagai berikut : Ruang terbuka sebagai sumber produksi. Ruang terbuka sebagai perlindungan terhadap kekayaan alam dan manusia (cagar alam, daerah budaya dan sejarah). Ruang terbuka untuk kesehatan, kesejahteraan dan kenyamanan. Ruang terbuka memiliki fungsi : Menyediakan cahaya dan sirkulasi udara dalam bangunan terutama di pusat kota. Menghadirkan kesan perspektif dan visa pada pemandangan kota (urban scane) terutama dikawasan pusat kota yang padat. Menyediakan arena rekreasi dengan bentuk aktifitas khusus. Melindungi fungsi ekologi kawasan. Memberikan bentuk solid foid pada kawasan. Sebagai area cadangan untuk penggunaan dimasa depan (cadangan area pengembangan). Gambar 1.8. Ruang Terbuka Hijau di tengah kota Aspek pengendalian ruang terbuka pusat kota sebagai aspek fisik, visual ruang, lingkage dan kepemilikan dipengaruhi beberapa faktor : Elemen pembentuk ruang, bagaimana ruang terbuka kota yang akan dikenakan (konteks tempat) tersebut didefinisikan (shape, jalan, plaza, pedestrian ways, elemen vertikal). Faktor tempat, bagaimana keterkaitan dengan sistem lingkage yang ada. Aktifitas utama. Faktor comfortabilitas, bagaimana keterkaitan dengan kuantitas (besaran ruang, jarak pencapaian) dan kualitas (estetika visual) ruang. Faktor keterkaitan antara private domain dan public domain. E. Jalur pejalan kaki Sistem pejalan kaki yang baik adalah : Mengurangi ketergantungan dari kendaraan bermotor dalam areal kota. Meningkatkan kualitas lingkungan dengan memprioritaskan skala manusia. Lebih mengekspresikan aktifitas PKL mampu menyajikan kualitas udara. Gambar 1.9. Jalur pejalan kaki yang Gambar 1.10. Jalur pejalan kaki yang di salah nyaman gunakan F. Activity support Muncul oleh adanya keterkaitan antara fasilitas ruang-ruang umum kota dengan seluruh kegiatan yang menyangkut penggunaan ruang kota yang menunjang akan keberadaan ruang-ruang umum kota. Kegiatan-kegiatan dan ruang-ruang umum bersifat saling mengisi dan melengkapi. Pada dasarnya activity support adalah : 1. Aktifitas yang mengarahkan pada kepentingan pergerakan (importment of movement). 2. Kehidupan kota dan kegembiraan (excitentent). Keberadaan aktifitas pendukung tidak lepas dari tumbuhnya fungsi-fungsi kegiatan publik yang mendominasi penggunaan ruang-ruang umum kota, semakin dekat dengan pusat kota makin tinggi intensitas dan keberagamannya. Bentuk actifity support adalah kegiatan penunjang yang menghubungkan dua atau lebih pusat kegiatan umum yang ada di kota, mislnya open space (taman kota, taman rekreasi, plaza, taman budaya, kawasan PKL, pedestrian ways dan sebagainya) dan juga bangunan yang diperuntukkan bagi kepentingan umum. G. Simbol Dan Tanda Ukuran dan kualitas dari papan reklame diatur untuk : Menciptakan kesesuaian. Mengurangi dampak negatif visual. Dalam waktu bersamaan menghilangkan kebingungan serta persaingan dengan tanda lalu lintas atau tanda umum yang penting. Tanda yang didesain dengan baik menyumbangkan karakter pada fasade bangunan dan menghidupkan street space dan memberikan informasi bisnis. Dalam urban design, preservasi harus diarahkan pada perlindungan permukiman yang ada dan urban place, sama seperti tempat atau bangunan sejarah, hal ini berarti pula mempertahankan kegiatan yang berlangsung di tempat itu. 2.3. STRUKTUR DAN BENTUK KOTA Menurut Kostof, pola kota secara garis besar dapat dibagi dalam tiga bentuk, yaitu : A. GRID Pola kota dengan sistem grid dapat ditemui hampir di semua kebudayaan dan merupakan salah satu bentuk kota tua. Pola kota dengan sistem grid dikembangkan oleh Hippodamus, salah satunya adalah kota Miletus. Pola grid ini merupakan mekanisme yang cukup universal dalam mengatur lingkungan Gambar 1.11. pola kota grid dan pola ini terbentuk karena adanya kebutuhan suatu sistem yang berbentuk segi empat (grid iron) guna memberikan suatu bentuk geometri pada ruangruang perkotaan. Blok-blok permukimannya dirancang untuk memungkinkan 18 rumah tersebut dihubungkan kepada bangunan dan ruang publik (Kostof, 1991). Bentuk grid ini mempunyai hirarki, dan bergantung satu sama lain. dan setiap grid dihubungkan dengan jalan. Contoh : Los Angeles, Tokyo B. ORGANIK Pola organik merupakan organisme yang berkembang sesuai dengan nilai-nilai budaya dan sosial dalam masyarakatnya dan biasanya berkembang dari waktu ke waktu tanpa adanya perencanaan. Pola organik ini perubahaanya terjadi secara spontan serta bentuknya mengikuti kondisi topografi yang ada. Sifat pola organik ini adalah fleksibel, tidak geografis, biasanya berupa garis melengkung dan dalam perkembangan masyarakat mempunyai peran yang besar dalam menentukan bentuk kotanya. Berbeda dengan bentuk grid dan diagram yang biasanya ditentukan penguasa kotanya (Kostof, 1991). C. DIAGRAM Pola kota dengan sistem diagram ini biasanya digambarkan dalam simbol atau hirarki yang mencerminkan bentuk sistem sosial dan kekuasaan yang berlaku saat ini. Berbeda dengan sistem grid yang lebih mengutamakan efisiensi dan nilai ekonomis, motifasi dasar dari pola kota dengan sistem diagram ini adalah (Kostof, 1991) : Regitimation, sistem kota yang dibentuk berdasarkan simbol kekuasaan dan dari segi politik berfungsi untuk mengawasi/mengorganisir sistem masyarakatnya. Seperti bentuk kerajaan atau monarki (Versailles) dan demokrasi (Washington DC). Holy City, kota yang dibangun berdasarkan sistem kepercayaan masyarakatnya seperti kota Yerusalem. - BENTUK KOTA Kota merupakan suatu komponen yang memiliki unsur yang terlihat nyata secara fisik seperti perumahan & prasarana umum, hingga komponen yang secara fisik tidak dapat terlihat yaitu berupa kekuatan politik & hukum yang mengarahkan kegiatan kota (Melville C. Branch, 1984:154). Rossi, Aldo (1982) dalam bukunya yang berjudul The Architecture of the city, Kota didefinisikan sebagai objek buatan manusia dalam skala besar dan dipandang sebagai sebuah arsitektur yang berupa konsentrasi elemen-elemen fisik spasial yang tumbuh dan berkembang. Sesuai dengan bentukan alam kota terbentuk secara topografis, morfologi berwawasan lingkungan dan respon lansekap. Sedangkan sesuai dengan pertumbuhan karakteristiknya kota terbentuk secara sosial dan ekonomi, mengakomodasi kegiatan penduduk dengan efektif dan efisien. Berikut ini merupakan bentuk-bentuk kota : 1. Bentuk kompak mempunyai 7 macam bentuk, yaitu: a. Bentuk Bujur Sangkar (The Squre city) = menunjukan adanya kesempatan perluasan kota ke segala arah yang “relatif” seimbang dan kendala fisikal “relatif” tidak begitu berarti. b. Bentuk Empat Persegi Panjang (The Rectangular Cities) timbul karena adanya hambatan-hambatan fisikal terhadap perkembangan areal kota pada salah satu sisi-sisinya. Hambatan-hambatan tersebut antara lain dapat berupa lereng yang terjal, perairan, gurun pasir, hutan, dan lain sebagainya. “Space” untuk perkembangan arealnya cukup besar baik melebar maupun memanjang. b. Bentuk Kipas (Fan Shaped Cities) = merupakan bentuk sebagian lingkaran. Dalam hal ini, ke arah luar lingkaran kota yang bersangkutan mempunyai kesempatan berkembang yang relatif seimbang. Oleh sebab-sebab tertentu pada bagian-bagian lainnya terdapat beberapa hambatan perkembangan areal kekotaannya yang dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu Hambatanhambatan alami (natural constraints), misalnya perairan, pegunungan ; Hambatan-hambatan artificial (artificial constraints), misalnya saluran buatan, zoning, ring road. c. Bentuk Bulat (Rounded Cities) = merupakan bentuk paling karena kesempatan perkembangan areal ke arah bagian luarnya sama. Tidak ada kendala-kendala fisik yang berarti pada sisi-sisi luar kotanya. d. Bentuk Pita (Ribbon Shaped Cities) = dimensi memanjangnya jauh lebih besar dari pada dimensi melebar maka bentuk ini menempati klasifikasi tersendiri dan mengambarkan bentuk pita. Dalam hal ini jelas terlihat adanya peranan jalur memanjang (jalur transportasi) yang sangat dominan dalam mempengaruhi perkembangan areal kekotaannya, serta terhambatnya perluasan areal ke samping. e. Bentuk Gurita / Bintang (Octopus/Star Shaped Cities) = Peranan jalur transportasi pada bentuk ini juga sangat dominan sebagaimana dalam “ribbon-shaped city”. Hanya saja, pada bentuk gurita jalur transportasi tidak hanya satu arah saja, tetapi beberapa arah ke luar kota. f. Bentuk Yang Tidak Berpola (Unpatterned Cities) = Kota seperti ini merupakan kota yang terbentuk pada suatu daerah dengan kondisi geografis yang khusus. Daerah di mana kota tersebut berada telah menciptakan latar belakang khusus dengan kendala-kendala pertumbuhan sendiri. Contohnya adalah sebuah kota pulau yang mempunyai bentuk khusus, karena perkembangan arealnya terhambat oleh laut dari berbagai arah. 2. Bentuk tidak kompak mempunyai empat macam bentuk, yaitu: a. Berantai (chained cities). Merupakan bentuk kota terpecah tapi hanya terjadi di sepanjang rute tertentu. Kota ini seolah-olah merupakan mata rantai yang dihubungkan oleh rute transportasi, sehingga peran jalur transportasi sangat dominan. b. Terpecah (fragment cities). Merupakan bentuk kota dimana perluasan areal kota tidak langsung menyatu dengan induk, tetapi cenderung membentuk exclaves (umumnya berupa daerah permukiman yang berubah dari sifat perdesaan menjadi sifat perkotaan). c. Terbelah (split cities). Merupakan bentuk kota kompak namun terbelah perairan yang lebar. Kota tersebut terdiri dari dua bagian yang terpisah yang dihubungkan oleh jembatan-jembatan. d. Satelit (stellar cities). Merupakan bentuk kota yang didukung oleh majunya transportasi dan komunikasi yang akhirnya tercipta bentuk kota megapolitan. Biasa terdapat pada kota-kota besar yang dikelilingi oleh kota-kota satelit. Dalam hal ini terjadi gejala penggabungan antara kota besar utama dengan kota-kota satelit di sekitarnya, sehingga kenampakan morfologi kotanya mirip “telapak katak pohon”. 2.4. KONTEKS URBAN DALAM ARSITEKTUR Dalam Francis Tibbalds’ menyatakan: “Place matter most”, yang merupakan ide untuk menghormati dan menghargai “place” sebagai element utama dalam rancang kota. Setiap wilayah memiliki kualitas keunikan tersendiri yang harus diperhatikan oleh seorang perancang kota. Buchanan (1988) menyatakan kontek lokal tidak hanya lingkungan sekitar tapi mencakup seluruh kota dan sekeliling kawasan, termasuk pola tata guna lahan, nilai lahan, topografi, microclimate, sejarah, sosial-budaya, dan pergerakan dalam kota. Study of london’s urban environmental quality (Tibbalds ., 1993) mengidentifikasikan 8 faktor kunci pembentuk, untuk memahami perbedaan dalam kontek urban disain. yaitu :1.skala manusia dan kekompakan, 2.structure, ligibility, identity, 3.kebersihan, kenyamanan dan keamanan, 4.urban management, 5.nilai/kualitas visual, 6.aktivitas dan peruntukan campuran, 7.ruang publik dan tempat privat, 8.pergerakan dan pedestrian yang bersahabat. Lang (1994) membagi menjadi 4 lingkungan yg saling berhubungan. 1) Terrestrial environment : bumi 2) Animate environment : organisme hidup yang ada di dalam nya 3) Social environment : lingkungan sosial, hubungan antar individu. 4) Cultural environment : kebiasaan, norma, adat dalam masyarakat. Faktor terrestrial dan animate meliputi: cuaca dan iklim serta lingkungan alami seperti: geologi, bentuk dan topografi tanah, ancaman lingkungan, dan sumber daya air dan pangan. Faktor social dan cultural meliputi: kebudayaan manusia, kepemilikan lahan, populasi, dan kemampuan beradaptasi masyarakat dalam perubahan. Jadi jelas bahwa kontek tidak hanya terpaku pada “place” tempat dalam lingkungan fisik, tapi juga masyarakat yang menciptakan, menduduki, dan memakai lingkungan yang dibangun. Hubungan antara budaya dan lingkungan adalah merupakan proses dua arah. Budaya setempat akan mempengaruhi bentuk suatu lingkungan dan lingkungan akan melambangan budaya yang ada. Dalam dua dekade terakhir kita melihat munculnya budaya ‘café society’, ‘loft living’ dalam budaya kehidupan kota di inggris. Ini merupakan hasil dari masyarakat yang mencari gaya hidup dan media industry yang memberikan gambaran positif terhadap hal tersebut, hal ini juga membuat peluang bagi para pengembang (developer) dan perancang. Merupakan kenaifan jika asumsi bahwa prinsip urban design yang baik adalah universal dan disamakan antara budaya yg beda. Urban desaign memerlukan sensitivitas keragaman budaya, perbedaan budaya akan menciptakan rancangan yg berbeda. Barrie Shelton’s learning from the Japanese City: West Meets East in Urban Design, menyatakan ide tentang ruang perkotaan adalah budaya spesifik. Perubahan ekonomi, social budaya dan teknologi akan berdampak pada berubahan lingkungan kota. Tekanan globalisasi dan internasionalisasi mempengaruhi standarisasi bangunan (bentuk, style, dan metode konstruksi), melupakan tradisi setempat, pengunaan produk masal, desentralisasi, memisahkan orang dari alam, tekanan ekonomi member pengaruh pada keputusan manusia mengenai lingkungan hidupnya, sektor publik tidak diperhitungkan dan penyamaan peraturan dalam pembangunan serta meningkatnya mobilitas yang didominasi oleh mobil. Tekanan ini berdampak pada dimensi lokal dan global, menciptakan hubungan antara kontek lokal dan global. Dari penjelasan diatas kita dapat mengambil salah satunya, misal topografi sebuah kota. Dalam membuat sebuah ide bentuk, topografi sebuah kota dapat kita tuangkan sebagai bentuk dasar, kemudian dikembangkan bersama ide- ide lain dalam konteks Urban tersebut. Sebagai konteks, kita dapat memilih banyak hal dari “Urban” ysng akan kita angkat menjadi konsep-konsep perancangan arsitektur. BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas, maka simpulan yang dapat penulis sampaikan adalah sebagai berikut : 1. Terdapat berbagai macam teori mengenai Urban / Kota yang dikemukakan para ahli. Masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda namun mirip 2. Dengan konteks tersebut dapat dihasilkan konsep konsep yang tidak biasa dalam berarsitektur 3.2. Saran Adapun saran yang dapat penulis sampaikan adalah sebagai berikut: Mahasiswa mampu memahami teori-teori tentang urban, sehingga dapat menerapkannya dalam sebuah desain melalui metode dan konsep perancangan yang baik dan benar. Mahasiswa juga mampu mengembangkan konsep-konsep tersebut bahkan mampu menemukan konsep baru dalam menggunakan konteks urban.