Membangun LOYALITAS Sumber Daya Manusia Dr. Hardani Widhiastuti, MM., PSI. Perpustakaan Nasional : Katalog dalam Terbitan (KDT) ISBN : 978-602-9019-09-4 Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penulis atau penerbit. MEMBANGUN LOYALITAS SUMBER DAYA MANUSIA 47 halaman + vi Dr. Hardani Widhhiastuti, MM., PSI. Tata Letak Desain sampul : Priyono : Saiful Hadi Cetakan I tahun 2012 Penerbit Semarang University Press Jl. Soekarno Hatta, Semarang ii Kata Pengantar Sumber Daya Manusia (SDM) berguna sebagai alih-alih fungsi suatu aset perusahaan yang paling berharga. Akan tetapi apabila suatu organisasi atau perusahaan dihadapkan pada suatu masalah, maka tidak segan-segan SDM menjadi sasaran utama pamangkasan. Sebagai praktisi dan ilmuwan, perlu adanya pemikiran untuk mengadakan perubahan dalam rangka memberi penyadaran bagi kita semua akan pentingnya dorongan dalam rangka membangun loyalitas SDM. Pada buku ini diberikan suatu wawasan dan langkah-langkah bagaimana cara agar SDM bukan sebagai suatu obyek, melainkan suatu subyek yang selalu butuh pengembangan diri maupun keahlian. Penulis berharap agar dari tulisan ini muncul ide-ide lanjutan untuk mengembangkan pembahasan dengan topik yang lebih tajam. Menumbuhkan loyalitas SDM disadari bersama tidak begitu mudah, akan tetapi setelah membaca tulisan dari buku ini diharapkan dapat memberi masukan kepada praktisi, pimpinan perusahaan/organisasi, ilmuwan, dosen dan mahasiswa akan pentingnya memperhatikan segi SDM, mengingat SDM merupakan pelaku sebagai kunci utama suatu usaha. Agar memudahkan pemahaman bagi yang membaca buku ini, maka tulisan dibuat sederhana tetapi berbobot, sehingga semua pihak yang berminat dan membaca, bisa mengerti dan diterapkan pada usaha masing-masing. Pada kesempatan ini pula disampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dan membantu terselesaikannya penyusunan buku ini. Penulis iii iv Daftar Isi Halaman Judul .......................................................................... Halaman Hak Cipta .................................................................. Kata Pengantar .......................................................................... Daftar Isi .................................................................................. i ii iii v BAB I PENDAHULUAN .................................................. A. Sumber Daya Manusia ..................................... B. Lahirnya Manajemen Sumber Daya Manusia ... 1 1 2 BAB II SDM SEBAGAI ASET USAHA ........................... A. Keeronisan SDM .............................................. 1. Perencanaan Sumber Daya manusia ......... 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perencanaan SDM ..................................... 2.1 Lingkungan Eksternal Organisasi ...... 2.2 Faktor Internal Organisasi.................. 2.2.1 Faktor Ketenaga kerjaan ...... 2.2.2 Faktor-faktor lain ................. 6 6 6 9 9 10 11 11 BAB III LOYALITAS SDM ................................................ A. Sebab – sebab Turunnya Loyalitas SDM ......... B. Kepemimpinan dan Loyalitas SDM ................. C. Kepuasan dan Loyalitas SDM .......................... 13 13 17 18 BAB IV LOYALITAS DAN KEKUATAN ORGANISASI ........................................................ A. Membangkitkan spirit untuk Membangun Loyalitas ........................................................... 1. Studi Kasus di PT. Astra, Tbk..................... 2. Studi Kasus pada PT. Bank DKI ................ 24 26 26 32 v BAB V PEMBENTUKAN SDM MENJADI SUMBER DAYA INSANI ....................................................... A. Peran Komitmen Organisasi .............................. B. Menyiapkan Manajemen Insani ....................... 35 36 39 DAFTAR PUSTAKA ............................................................. 45 vi Bab I Pendahuluan A. Sumber Daya Manusia Manusia, merupakan salah satu mahluk hidup yang memiliki kelebihan-kelebihan yang lebih banyak dibandingkan mahluk ciptaan Allah yang lain. Manusia memiliki naluri dalam hidupnya untuk berkelompok. Dengan berkelompok, maka salah satu kebutuhan yaitu bersosialisai juga akan terpenuhi, sehingga manusia disebut dengan mahluk sosial. Manusia memiliki potensi yang beragam sesuai dengan kemampuan masing-masing. Manusia merupakan mahluk yang adaptif dan peka terhadap apa yang terjadi dan dibutuhkan di lingkungannya. Kemampuan dan potensi inilah akhirnya manusia membangun suatu organisasi yang merupakan intensi nyata akan 1 keberadaan manusia dengan seluruh potensi. Satu pihak manusai membangun kelompok untuk mewujudkan angan-angan yang terealisasi dalam visi, misi, dan tujuan organisasi yang dibentuknya. Di pihak lain, manusia memenuhi kebutuhan untuk hidup dengan pilihan menjadi bagian dari sekian banyak manusia yang berperan serta menggerakkan roda organisasi, dengan seluruh kekuatan dan potensi. Dengan demikian, peran serta sekelompok manusia inilah yang disebut dengan Sumber Daya Manusia, karena manusia tersebut menjadi bagian integral dari sistem yang membentuk organisasi. Dewasa ini, perkembangan terbaru memandang Sumber Daya manusia atau SDM bukan saja semata-mata hanya sebagai sumber daya, melainkan lebih berupa modal atau aset bagi organisasi. Karena itu kemudian munculah istilah baru di luar H.R. (Human Resources), yang berfungsi sebagai H.C. (Human Capital). SDM dilihat bukan sekadar sebagai aset utama, tetapi aset yang bernilai dan dapat dilipatgandakan, dikembangkan (bandingkan dengan portfolio investasi) dan juga bukan sebaliknya sebagai liability (beban,cost). Perspektif SDM sebagai investasi bagi organisasi lebih mengemuka (Greer, 1995). B. Lahirnya Manajemen Sumber Daya Manusia Gerakan hubungan manusia dimulai sejak abad 20, yang mau tidak mau disadari atau tidak ikut berperan dalam perkembangan Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM). Gerakan-gerakan pekerja di Amerika Serikat maupun gerakan pekerja saat perubahan Industri I dan Perubahan Industri ke II, memberi pemahaman bagi ilmuwan dan pakar-pakar Ekonomi maupun Psikologi Industri pada abad itu. 2 Gerakan-gerakan yang mengawali berdirinya MSDM, tanpa disadari sebenarnya membuat suatu pemicu mengenai konsep yang memikirkan adanya hubungan kemanusiaan tersebut. Kontribusi gerakan kemanusiaan khususnya di dunia industri merupakan harmonisasi hubungan antar karyawan dengan pihak manajemen secara utuh, mengingat sumber daya manusia (SDM) merupakan suatu aset perusahaan yang paling utama, karena melalui sumber daya manusia itulah akan tercipta suatu atmosfir lingkungan kerja yang nyaman, yang memberi dampak pada tercapainya tujuan perusahaan. Organisasi-organisasi pekerja mempengaruhi konsep-konsep yang berada dalam MSDM. Dasar pemikirannya adalah bahwa SDM merupakan pekerja yang perlu dimanusiawikan, sehingga untuk kondisi-kondisi yang berpengaruh terhadap keberhasilan kerja dan terwujudnya tujuan perusahaan, perlu jaminan-jaminan penunjang kesejahteraan pekerja, jaminan penunjang kondisi kerja, serta dukungan lain yang benar-benar diperlukan oleh pekerja agar mereka lebih nyeman dalam bekerja. Tahap perkembangan berdirinya MSDM pun melewati enam tahapan, antara lain; gerakan ilmu manajemen, gerakan kesejahteraan industri, peran psikologi industri, gerakan hubungan antar manusia, gerakan serikat pekerja, gerakan profesionalitas MSDM. Perkembangan MSDM berdasarkan pergerakan tersebut membuat MSDM semakin kompleks dan mengglobal. Tokoh-tokoh ilmuwan sudah sejak dekade terakhir banyak yang membuat tulisan tentang MSDM dalam berbagai sudut pandang. Akan tetapi masih perlu memberikan pemahaman lebih lanjut mengenai MSDM itu sendiri beserta aktivitasnya. Tuntutan profesionalitas dalam penanganan SDM, membutuhkan suatu petunjuk terhadap pengelolaan SDM secara profesional juga. Oleh 3 sebab itu, gerakan-gerakan yang mengawali hingga berkembangnya MSDM tidak hanya didasari oleh satu bidang ilmu saja, akan tetapi didukung oleh lebih dari tiga bidang ilmu, antara lain ilmu ekonomi, psikologi, sosiologi, hukum, serta tehnik lingkungan. Para pengarang buku-buku yang membahas mengenai Sumber Daya manusia antara lain Kunde, Ramsay, berpendapat mengenai perlunya memperhatikan masalah kondisi kerja dalam arti luas, mengingat kondisi kerja karyawan merupakan inti penunjang kenyamanan karyawan. Memang pergerakan dan teori-teori penunjang SDM tersebut banyak berasal dari AS dan Eropa, mengingat publikasi tokoh-tokoh berasal dari dua benua tersebut. Kemajuan teknologi juga berawal dari benua tersebut. Sebut saja Harvard Business School dan Michigan Business School merupakan tempat munculnya MSDM dikembangkan di AS, dan dari ke dua sekolah tersebut muncul pula aliran tentang pengembangan MSDM. Pandangan mengenai pengelolaan SDM dengan MSDM yang mendasarkan pada tercapainya tujuan perusahaan, yaitu dengan pemikiran dasar produktivitas dan target pemasaran produk dengan tercapainya target penjualan produk. Selain itu karyawan dimotivasi agar dapat ikut serta dalam penentuan dan realisasi strategi, sedangkan di satu sisi karyawan dieksploitasi semaksimal mungkin seperti halnya mengelola suatu aset dan material. Pengelolaan SDM dalam perusahaan atau organisasi memiliki kecenderungan untuk mengelola secara utuh, dalam arti profesionalitas diharapkan terjaga. Efektivitas, efisiensi, kualitas kerja, kemampuan SDM, setiap saat perlu menjadi perhatian utama. SDM tidak lagi diasumsikan sebagai faktor produksi. Konsep tentang SDM ini sudah sejalan dengan perubahan paradigma 4 manajerial yang meletakkan konsep keunggulan kompetitif SDM sebagai salah satu cara organisasi mencapai sukses. Faktor SDM diberdayakan melalui implementasi fungsi-fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia dengan dukungan sumbersumber daya lainnya. Dengan adanya kontribusi inti dari MSDM akan halnya SDM dalam pengintegrasian konsep-konsep strategia perusahaan, maka MSDM memiliki kandungan sifat stratejik. Stratejik SDM akan menyangkut dimensi-dimensi organisasi, antara lain tujuan, jangkauan, struktur fungsi tugas. Carneval, misalnya mengemukakan bahwa karyawan hendaknya jangan dipandang sebagai “modal” yang mengandung konsekuensi “biaya”, melainkan dianggap sebagai salah satu bentuk sumber daya organisasi yang dapat meningkatkan keunggulan kompetitif organisasi. Manajemen SDM dikembangkan dalam rangka mengelola SDM dalam rangka memanusiakan manusia dan dalam rangka mengelola SDM. Miner dan Miner mengemukakan bahwa manajemen SDM perlu dalam rangka pengembangan, penerapan, menilai kebijakan-kebijakan, menerapkan prosedur, metode dan program yang berhubungan dengan SDM dalam organisasi. 5 Bab II SDM Sebagai Aset Usaha A. Keeronisan SDM 1. Perencanaan Sumber Daya Manusia Perencanaan SDM merupakan bagian dan fungsi dari Manajemen Sumber Daya Manusia. Bila membahas masalah SDM, maka tidak dapat dilepaskan dengan peran MSDM yang berfungsi untuk menganalisa dan mengidentifikasi tersedianya kebutuhan SDM dalam kaitannya dengan upaya pencapaian tujuan organisasi. Apabila kita cermati bersama, maka ada tiga kepentingan dalam perencanaan SDM, yaitu kepentingan individu, kepentingan organisasi, dan yang lebih luas lagi adalah kepentingan nasional. 6 Handoko (2001) Perencanaan sumber daya manusia atau perencanaan tenaga kerja merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi permintaan-permintaan bisnis dan lingkungan pada organisasi di waktu yang akan datang dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tenaga kerja yang ditimbulkan oleh kondisi-kondisi tersebut. Pandangan lain mengenai definisi perencanaan sumber daya manusia dikemukakan oleh Mangkunegara (2008) Perencanaan tenaga kerja dapat diartikan sebagai suatu proses menentukan kebutuhan akan tenaga kerja berdasarkan peramalan pengembangan, pengimplementasian, dan pengendalian kebutuhan tersebut yang berintegrasi dengan perencanaan organisasi agar tercipta jumlah pegawai, penempatan pegawai yang tepat dan bermanfaat secara ekonomis. Komponen yang terkait dengan perencanaan SDM antara lain : 1. Tujuan Perencanaan SDM harus mempunyai tujuan dengan menghubungkan antara SDM yang ada dengan kebutuhan perusahaan pada masa yang akan datang, misalnya antara lain untuk menghindari manajemen dan tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas. 2. Perencanaan Organisasi Perencanaan organisasi tidak dapat dilepaskan dari peran SDM. Peran-peran yang ada dalam rangka perencanaan organisasi, juga akan merubah SDM dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan organisasi dan peningkatan SDM itu sendiri. Misalnya perubahan teknologi, akan berdampak pada kebutuhan SDM dan organisasi untuk ikut serta mengembangkan teknologi seiring dengan pengembangan di eksternal organisasi. 7 Dengan demikian, perencanaan SDM memberikan petunjuk masa depan, dengan menentukan dimana tenaga kerja diperoleh, kapan tenaga kerja tersebut dibutuhkan, dan pelatihan dan pengembangan jenis apa yang harus dimiliki tenaga kerja. Untuk keperluan tersebut, maka perlu dicermati persyaratan perencanaan SDM, yang meliputi : 1. Harus mengetahui secara jelas mengenai apa yang akan direncanakan kaitannya dengan SDM di suatu bagian 2. Harus mampu mengump[ulkan dan menganalisis informasi tentang SDM 3. Harus mempunyai pengalaman luas tentang job analysis, dan situasi SDM 4. Harus mampu membaca situasi SDM masa kini dan masa mendatang 5. Mampu memperkirakan peningkatan SDM dan teknologi masa depan 6. Mengetahui secara luas peraturan dan kebijakan perburuhan pemerintah. Apabila para pengelola organisasi akan melakukan perencanaan terhadap SDM yang terkait dengan upaya pencapaian tujuan organisasi, maka organisai tersebut perlu mengikuti prosedur perencanaan dan sebaiknya tidak menghilangkan salah satu bahkan lebih dari satu prosedur, antara lain : 1. Perlu menetapkan secara jelas mengenai kualitas SDM sesuai dengan kebutuhan. 2. Mengumpulkan data dan informasi tentang SDM. 3. Mengelompokkan data dan informasi SDM tersebut serta menganalisa. 4. Menetapkan beberapa alternative pilihan dalam kaitannya dengan perencanaan SDM. 5. Memilih yang terbaik dari alternatif yang ada menjadi rencana. 8 6. Menginformasikan rencana kepada para karyawan untuk direalisasikan perencanaan Sumber Daya Manusia. 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perencanaan SDM Perencanaan SDM memiliki kaitan dengan variabel-variabel lain. Handoko (2001) mengemukakan adanya keterkaitan perencanaan sumber daya manusia yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: 2.1. Lingkungan Eksternal Organisasi Perubahan-perubahan lingkungan sulit diprediksi dalam jangka pendek dan kadang-kadang tidak mungkin diperkirakan dalam jangka panjang, yaitu : a. Perkembangan ekonomi mempunyai pengaruh yang besar tetapi sulit diestimasi. Sebagai contoh tingkat inflasi, pengangguran dan tingkat bunga sering merupakan faktor penentu kondisi bisnis yang dihadapi perusahaan. b. Kondisi sosial-politik-hukum mempunyai implikasi pada perencanaan sumber daya manusia melalui berbagai peraturan di bidang personalia, perubahan sikap dan tingkah laku, dan sebagainya. c. Sedangkan perubahan-perubahan teknologi sekarang ini tidak hanya sulit diramal tetapi juga sulit dinilai. Perkembangan komputer secara dasyat merupakan contoh jelas bagaimana perubahan teknologi menimbulkan gejolak sumber daya manusia. d. Para pesaing merupakan suatu tantangan eksternal lainnya yang akan mempengaruhi permintaan sumber daya manusia organisasi. Sebagai contoh, “pembajakan” manajer akan memaksa perusahaan untuk selalu menyiapkan penggantinya melalui antisipasi dalam perencanaan sumber daya manusia. 9 2.2. Faktor Internal Organisasi a. Rencana strategik dan rencana operasional. Rencana stratejik dan rencana operasional suatu perusahaan. Sehingga setiap ada perbaikan atau perubahan rencana stratejik akan berpengaruh pada perencanaan SDM. b. Anggaran/Cost SDM. Semakin besar jumlah SDM, maka semakin besar pula dana yang diperlukan untuk membayar upah. Sehingga kemampuan suatu perusahaan atau organisasi sangat berpengaruh terhadap perencanaan SDM. c. Peramalan produksi dan penjualan. Peramalan ini dapat diketahui berapa jumlah keuntungan yang akan didapat oleh organisasi, yang dampaknya dapat mempengaruhi perencanaan SDM d. Faktor bisnis baru. Dengan memperhitungan lingkungan/iklim bisnis dan kemampuan menjaring, menganalisa dan memanfaatkan informasi, selalu terbuka peluang bagi sebuah perusahaan untuk mengembangkan usaha bisnisnya. e. Faktor desain organisasi dan desain pekerjaan. Desain organisasi dan desain pekerjaan pada dasarnya merupakan hasil menterjemahkan rencana stratejik dan operasional, yang dirancang untuk mewujudkan pekerjaan agar berlangsung efektif efisien. Cara mendesain organisasi dan mendesain pekerjaan, baik secara langsung akan berpengaruh pada perencanaan SDM suatu perusahaan. f. Faktor Keterbukaan dan keikutsertaan manajer. Manajer yang terbuka dan bersedia ikut serta memberi informasi lengkap untuk melakukan analisis SDM dan selanjutnya melibatkan dalam menyusun perencanaan SDM. 10 2.2.1 Faktor Ketenagakerjaan a. Kondisi SDM seperti pensiun, PHK, meninggal dunia, dan SDM yang sering absen, dalam perencanaan SDM harus diperhitungkan sebagai pengurangan tenaga kerja yang harus diganti. b. Promosi, pindah kerja, pelatihan, pendidikan, harus diperhitungkan, sehingga keterampilan SDM meningkat. 2.2.2 Faktor-Faktor lain a. Pasar Tenaga Kerja. Faktor ini perlu diperhatikan kaitannya dengan keterampilan/ keahlian, untuk memberi kepastian berapa banyak yang diperlukan untuk kemungkinan mendapat di pasar tenaga kerja. Prestasi Kerja. Hal ini merupakan bagian dalam memperhitungkan kualitas, yang mempengaruhi pengaturan penempatan dalam perencanaan SDM. b. Waktu yang tersedia untuk mencapai sasaran. Sejumlah waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam perencanaan SDM. c. Faktor demografi. Sebaran penduduk sangat berpengaruh terhadap perencanaan SDM, mengingat kondisi, karakteristik dan ketersediaan sumber daya dapat dipenuhi berdasarkan ketersediaan sdm di wilayah tertentu. d. Faktor supervise Terutama memperhitungkan kemampuan dalam memberikan bimbingan dan pengawasan. Sehingga dengan supervise tersebut didapat kriteria SDM yang dibutuhkan. 11 e. Faktor lokasi Lokasi member pengaruh yang tidak sedikit, karena jauh dekatnya lokasi perushaan atau organisasi dengan pemukiman akan berdampak pada perencanaan SDM. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, Perncanaan SDM dipengaruhi oleh Lingkungan Eksternal dan Internal Organisasi, Ketenaga kerjaan, dan faktor lain sepert Pasar Tenaga Kerja, prestasi Kerja,Waktu yang tersedia untuk mencapai sasaran, faktor Demografi dan Supervisi, serta faktor lokasi, melalui diagram gambar berikut ini : Gambar 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi perencanaan SDM 12 Bab III Loyalitas Sumber Daya Manusia A. Sebab – sebab Turunnya Loyalitas SDM Penyebab terjadinya ketidak loyalnya para sumber daya manusia, salah satu sebabnya adalah adanya ketidakpuasan karyawan. Ketidakpuasan tersebut berasal dari berbagai hal, antara lain ketidakcocokan dengan pimpinan, kenyamanan kerja, lingkungan kerja, masalah upah, fasilitas minim, maupun yang bersifat psikologis seperti penghargaan terhadap karyawan, kebutuhan untuk ikut serta berpartisipasi dalam pengembangan usaha, dll. (Nitisemito, 1996) Uraian yang disampaikan oleh Nitisemito pun mengemukakan bahwa sebenarnya loyalitas karyawan dapat dihindari apabila para pemilik usaha memperhatikan indikasi-indikasi yang memunculkan 13 turunnya loyalitas kerja yang terlihat dalam sikap kerja karyawan. Hal itu dapat diketahui dalam perilaku yang ditunjukkan, antara lain : 1. Turun/rendahnya produktivitas kerja. Produktivitas kerja tersebut dapat diukur atau diperbandingkan dengan waktu sebelumnya. Produktivitas kerja yang turun ini dapat terjadi karena pekerjaan yang tertunda. 2. Meningkatnya tingakat absensi. Pada umumnya, apabila loyalitas dan sikap karyawan menurun, maka terlihat dalam perilaku kerja yang malas untuk datang tiap hari. Bila ada gejala-gejala absensi naik, maka perlu dicari penyebabnya. 3. Tingkat Perpindahan yang tinggi. Turn over atau keluar masuknya karyawan yang meningkat tersebut terutama adalah karena tidak senangnya para karyawan bekerja pada perusahaan tersebut, sehingga karyawan mencari perusahaan yang lain yang diminati. Tingkat perpindahan karyawan yang tinggi ini selain berdampak pada menurunnya produktivitas kerja, juga dapat mempengaruhi kelangsungan jalannya perusahaan. 4. Kegelisahan dimana-mana. Loyalitas dan sikap kerja yang menurun menyebabkan kegelisahan bagi karyawan yang lain. Apabila dampak ini dirasakan oleh pimpinan dan segera mengambil langkah, maka hal ini segera dapat teratasi. Namun tidak semua pimpinan memahami dan peduli terhadap situasi perusahaan. 5. Tuntutan yang sering terjadi. Tuntutan yang merupakan perwujudan dan ketidakpuasan, dimana pada tahap tertentu akan menimbulkan keberanian untuk mengajukan tuntutan. 14 6. Pemogokan. Indikasi paling dapat diambil kesimpulan adalah saat terjadi pemogokan karyawan. Hal ini terjadi apabila karyawan suatu perusahaan sudah tidak merasa tahan lagi hingga memuncak, yang akhirnya muncul tuntutan karyawan sebagai dampak atas ketidak puasan. Apabila tuntutan tersebut tidak dipenuhi, biasanya terjadi mogok kerja. Mengenai loyalitas, juga mempunyai kaitan dengan tingkat kematangan karyawan. Disatu sisi kematangan karyawan tidak mungkin serempak, karena masing-masing orang memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Latar belakang karyawan dari sisi keluarga adalah dipengaruhi oleh pola asuh dan lingkungan keluarga, status gizi, pendidikan. Selain itu,dari sisi usiapun ada dampaknya terhadap keputusan kaitannya dengan loyalitas. Pada kategori usia para karyawan yang berbeda menunjukkan aksentuasi loyalitas yang berbeda pula seperti yang diuraikan berikut ini: a. Angkatan kerja yang usianya di atas lima puluh tahun menunjukkan loyalitas yang tinggi pada organisasi. Mungkin alasan – alasan yang menonjol ialah bahwa mereka sudah mapan dalam kekaryaannya, penghasilan yang memadai, memungkinkan mereka menikmati taraf hidup yang dipandangnya layak. Banyak teman dalam organisasi, pola karirnya jelas, tidak ingin pindah, sudah “terlambat” memulai karier kedua, dan dalam waktu yang tidak terlalu lama akan memasuki usia pensiun. b. Tenaga kerja yang berada pada kategori usia empat puluhan menunjukkan loyalitas pada karir dan jenis profesi yang selama ini ditekuninya. Misalnya, seseorang yang menekuni karir di bidang keuangan akan cenderung “ bertahan” pada bidang 15 tersebut meskipun tidak berarti menekuninya hanya dalam organisasi yang sama. Karena itu pindah ke profesi lain, tetapi bergerak di bidang yang sama, bukanlah merupakan hal yang aneh. Barangkali alasan pokoknya terletak pada hasrat untuk benar – benar mendalami bidang tertentu itu karena latar belakang pendidikan dan pelatihan yang pernah ditempuh, bakat, minat, dan pengalaman yang memungkinkannya menampilkan kinerja yang memuaskan yang pada gilirannya membuka peluang untuk promosi, menambah penghasilan, dan meniti karir secara mantap. c. Tenaga kerja dalam kategori 30 – 40 tahun menunjukkan bahwa loyalitasnya tertuju pada diri sendiri. Hal ini dapat dipahami karena tenaga kerja dalam kategori ini masih terdorong kuat untuk memantapkan keberadaannya, kalau perlu berpindah dari satu organisasi ke organisasi lain dan bahkan mungkin juga dari satu profesi ke profesi lain. Di samping itu pula didukung oleh tingkat kebutuhan yang semakin lama semakin meningkat tetapi tidak diimbangi dengan pemasukan yang cukup sehingga banyak para pekerja yang mencari pekerjaan lain yang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari – hari. d. Bagi mereka yang lebih muda dari itu, makna loyalitas belum diserapi dan kecenderungan mereka masih lebih mengarah kepada gaya hidup santai, apabila mungkin disertai dengan kesempatan “berhura – hura” Pada kenyataan sehari – hari banyak sekali terjadi kecurangan – kecurangan yang dilakukan oleh para karyawan yang umumnya mempunyai umur relatif muda hal itu juga dipicu oleh tingkat angan – angan yang tinggi, tetapi tidak diiringi oleh tingkat kerajinan yang tinggi dari dalam dirinya sendiri, oleh karena itu tingkat 16 penganggguran semakin lama semakin meningkat (Nitisemito, 1996). Tantangan dan kesulitan menyebabkan menurunnya tingkat loyalitas karyawan. Disatu sisi, suatu negara dengan tingkat loyalitas yang rendah akan berdampak pada stabilitas negara tersebut. Bahkan hasil penelitian dari Fortune 500, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Buckingham dan Coffman terhadap 80.000 manajer di lebih dari 400 perusahaan (2009), membuktikan bahwa ada korelasi positif antara loyalitas karyawan dan kinerja perusahaan. Karyawan yang loyal akan lebih banyak membawa keuntungan bagi perusahaan. Bagaimana dengan kondisi peruahaan sendiri? Apabila di perusahaan sudah tidak banyak dipertanyakan karena karyawan sudah loyal karena banyak karyawan yang sudah bangga karena mengabdi dan mendedikasikan seumur hidupnya pada perusahaan. Loyalitas sudah sekaligus melekat dalam kontrak kerja. B. Kepemimpinan dan Loyalitas SDM Secara umum, karyawan merupakan aset terbesar dalam suatu organisasi perusahaan. Dengan demikian para atasan atau pimpinan perusahaan selalu khawatir apabila kehilangan karyawan terutama karyawan yang berkualitas. Arus informasi menjadi penunjang untuk mendukung organisasi maupun untuk kepentingan karyawan tersebut. Bagi mereka yang menginginkan karir yang lebih baik juga tersedia informasi. Sehingga alasan-alasan tersebut menjadi kendala dalam mengembangkan organisasi. Upaya yang dilakukan salah satunya adalah mengoptimalkan kepemimpinan yang ada. Para pimpinan perusahaan maupun organisasi selalu berupaya agar SDM ataupun karyawan menjadi termotivasi dan betah untuk 17 tinggal lama di organisasi atau perusahaan tersebut, karena kepemimpinan atau leadership merupakan salah satu eleman atau unsur yang dapat mendorong karyawan untuk loyal di organisasi, karena kenyamanan adalah buah dari hasil kebijakan yang diterapkan dalam unit kerja yang dipimpinannya. Hal ini tercermin dalam gaya kepemimpinan (leadership style) seorang atasan. Dengan demikian sangatlah penting untuk diketahui oleh seorang pemimpin tentang gaya kepemimpinan yang tepat agar loyalitas karyawan dapat meningkat. Sehingga yang dapat diperoleh dengan adanya terapan gaya kepemimpinan tersebut, ada peningkatan loyalitas dan hubungan antara atasan dan bawahan serta antara karyawan sendiri, juga akan lebih baik karena kerja sama tim, distribusi tugas, dan komunikasi dapat terjalin lebih baik. Sebagai contoh adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Work Indonesia tahun 2004/2005 oleh Watson Wyatt (WW) yang merupakan konsultas Sumber Daya Manusia (SDM) menyatakan bahwa hanya 23 persen responden yang puas dengan penyelia atau atasan mereka. Angka ini lebih rendah 18 persen di bawah rata-rata angka untuk Asia Pasifik. Angka ketidakpuasan karyawan di Indonesia adalah nomor dua terendah di kawasan Asia Pasifik, hanya ada 23 persen karyawan yang menyatakan atasan mereka telah menjalankan kebijakan dan prosedur secara baik. Sedangkan pendapat mereka mengenai perlakuan atasan terhadap karyawan baik adalah sebesar 30 persen (Lilis, 2004) C. Kepuasan dan Loyalitas SDM Pengertian kepuasan kerja ada beberapa pendapat sebagaimana hasil penelitian Herzberg, bahwa faktor yang mendatangkan kepuasan adalah prestasi, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, 18 tanggungjawab, dan kemajuan (Armstrong, 1994). Pendapat lain menyatakan kepuasan kerja (job satisfaction) adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan di mana para karyawan memandang pekerjaan mereka (Handoko, 2001). Sedangkan Wexley dan Yulk (1977) yang disebut kepuasan kerja ialah perasaan seseorang terhadap pekerjaan. Perasaan tersebut merupakan sikap umum (generalized attitude) seseorang terhadap pekerjaannya, yang didasarkan atas penilaiannya terhadap aspek pekerjaannya. Teori kepuasan yang lain adalah teori yang berkaitan dengan tiga teori kepuasan dan loyalitas, walau tidak langsung, yaitu : 1. Teori kesenjangan (Discrepancy Theory) Locke (1969) menyebutkan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan terhadap aspek pekerjaan tergantung pada kesenjangan antara persepsi karyawan mengenai apa yang ia peroleh dengan apa yang ia inginkan. Seorang karyawan akan merasa puas jika merasakan tidak adanya kesenjangan antara kondisi kerja yang dia inginkan dengan kondisi kerja yang senyatanya. Ketidakpuasan akan terjadi manakala karyawan merasa kondisi kerja yang ada, jumlah karakteristik kerja yang ada, adalah kurang atau tidak seperti yang diharapkan. 2. Teori Keadilan (Equity Theory) Teori ini menunjukkan kondisi-kondisi semacam apa yang dipersepsikan karyawan sebagai adil atau tidak adil dan masuk akal atau tidak masuk akal. Komponen dari teori ini adalah masukan (inputs), perolehan (outcomes), orang pembanding (comparison person). Input adalah apa saja yang bernilai yang dipersepsi oleh karyawan sebagai kontribusi terhadap pekerjaannya seperti pendidikan, pengalaman, keterampilan, jumlah usaha yang telah ia kerahkan, jumlah jam kerja, dan peralatan serta bahan-bahan milik pribadi yang telah digunakan 19 dalam bekerja. Outcomes adalah apa saja yang bernilai yang dipersepsi karyawan sebagai sesuatu yang diperoleh seperti upah atau gaji, manfaat, simbol-simbol status, pengakuan, dan peluang untuk berprestasi atau berekspresi diri. Sedangkan orang pembanding adalah seseorang atau sejumlah orang yang bekerja di perusahaan yang sama degan dirinya, atau bekerja di perusahaan lain, atau ketika berada pada posisi sebelumnya, yang dijadikan dasar perbandingan. Menurut teori ini, seorang karyawan menilai keadilan dengan cara membandingkan rasio pendapatan:pengeluaran dirinya dengan satu atau sejumlah karyawan. Jika perbandingan kedua rasio tersebut dinilai seimbang, maka karyawan akan mempersepsi adanya keadilan atau ketidakadilan. 3. Teori Dua Faktor (Two-Factor Theory) Menurut teori ini, karakteristik kerja dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu dissatisfiers atau hygiene factor dan kelompok kedua disebut satisfier atau motivator factor (Gibson et.al., 1996). Beberapa unsur yang termasuk hygiene factors antara lain gaji, supervise, hubungan interpersonal, kondisi kerja, keamanan kerja, dan status. Jika dalam pekerjaan ternyata kadar hygiene factor ternyata tidak seperti yang diharapkan, maka akan terjadai ketidakpuasan kerja, begitu pula sebaliknya. Secara umum, hygiene factor dan motivator factors. Dengan demikian, berdasarkan teori-teori di atas, unsure seperti situasi kerja yang sehat, akan menyebabkan motivasi kerja naik, yang akhirnya berdampak kinerja karyawan naik yang menyebabkan outcomes terlihat meningkat. Kepuasan dan ketidakpuasan kerja merupakan variabel moderator yang secara nyata akan mempengaruhi karyawan atau SDM suatu organisasi akan loyal melalui komitmen yang telah disepakati bersama. 20 Loyalitas merupakan ukuran untuk melihat apakan seorang karyawan memiliki komitmen yang kuat atau tidak terhadap organisasi perusahaan. Komitme adalah suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi yang berarti setuju dengan aturan yang telah ditetapkan, nilai-nilai, tujuantujuan serta kepentingan organisasi, serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi tersebut (Blau dan Boal, 1987). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wijayantie (2010) di RSI Hidayatullah Yogyakarta, dari sampel sejumlah 55 subyek penelitian, mereka yang menyatakan dan hasil yang diterima bahwa kepuasan kerja dan komitmen organisasi saling berpengaruh adalah sejumlah 40,7% terhadap intense yang keluar. Dengan demikian, 59,3% dipengaruhi oleh sebab-sebab lain. Walaupun hasil penelitian ternyata pengaruh ke dua variabel tersebut terhadap intense keluar ternyata nihil, akan tetapi berdasarkan hasil perhtungan statistic terbukti signifikan (dengan signifikansi kepuasan kerja sebesar 0,003 (p value < 0,05), tingkat signifikan variabel komitmen organisasional = 0,004 (p value < 0,05). Jadi temuan tersebut secara statistic tetap bermakna. Pada penelitian ini juga terungkap bahwa sebagian besar perawat yang menjadi responden (62,22%) memiliki tingkat kepuasan sedang, hanya 37,38% responden yang sudah memiliki tingkat kepuasan kerja yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kepuasan kerja perawat masih sangat perlu ditingkatkan. Dari aspek sifat pekerjaan, secara umum (68,89%) responden sudah merasa puas, tapi sebagian (31,11%) responden hanya merasa cukup puas. Sebagian responden tersebut merasa pekerjaannya terlalu rutin, membosankan, kurang memberi perasaan berprestasi. Aspek perilaku atasan, terdapat 44,45% responden yang memiliki tingkat kepuasan tinggi, 53,33% responden memiliki 21 tingkat kepuasan sedang, dan 2,22% responden memiliki tingkat kepuasan rendah. Mereka menilai perilaku atasannya antara lain kurang bijaksana, kurang menghargai prestasi mereka, emosional, sangat kaku (kurang fleksibel), kurang memberi masukan. Dari aspek perilaku rekan kerja, 66,67% responden memiliki tingkat kepuasan tinggi dan sisanya (33,33%) hanya menilai cukup memuaskan. Dari aspek gaji/kompensasi, 66,67% responden memiliki tingkat kepuasan rendah, 24,44% responden tingkat kepuasannya sedang, dan hanya 8,89% responden yang sudah merasa sangat puas. Sebagian besar responden menilai gaji yang diberikan antara lain kurang adil, rendah, kurang bagus jika dibandingkan instansi sejenis yang lain. Dilihat dari sisi komitmen organisasional, para responden. 40%-nya tinggi, 60% lainnya sedang. Masih banyak perawat yang menilai antara lain pihak rumah sakit dalam pencapaian tujuannya kurang memerhatikan kepentingan mereka, sehingga hal ini memengaruhi persepsi atau pemihakan mereka terhadap RSI Hidayatullah. Perlu disadari bahwa adanya intensi keluar pada perawat, walaupun belum benar-benar terwujud menjadi tindakan keluar, tentulah sedikit banyak berpengaruh pada motivasi kerja bahkan kinerja mereka yang berakibat mengganggu keefektifan organisasi. Pada penelitian ini terdapat 40% responden yang memiliki tingkat intensi keluar berkategori sedang, 60% lainnya berkategori rendah. Perawat yang memiliki intensi keluar yang cukup kuat sulit diharapkan akan memberikan sepenuh kemampuannya, secara fisik maupun secara mental dalam bekerja. Besar kemungkinan sambil bekerja mereka masih memikirkan peluang-peluang lain untuk berpindah kerja. Jika mereka menemukan peluang yang cukup menarik, besar kemungkinan mereka akan benar-benar keluar untuk pindah ke rumah sakit lain atau pekerjaan lain. Karena intensi keluar merupakan prediktor 22 yang kuat untuk terjadinya tindakan nyata keluar, maka langkahlangkah manajemen untuk menekan timbulnya intense keluar perlu dilakukan. Dengan demikian, karena terbukti dari penelitian yang mendukung teori di atas, maka kepuasan dan ketidakpuasan kerja akan mempengaruhi komitmen kerja yang secara tidak langsung akan mempengaruhi laoyalitas karyawan untuk komit dengan organisasi dimana ia bekerja. Sehingga perlu memperhatikan kepentingan dua arah agar tujuan organisasi dapat terwujud. Caranya adalah dengan mengakomodasikan ke dua kepentingan antara karyawan dan organisasi, seperti tunjangan saat organisasi diuntungkan dan gaji serta bonus termasuk penghargaan saat tujuan organisasi terwujud. 23 Bab IV Loyalitas dan Kekuatan Organisasi Suatu fenomena atau atau keadaan yang berhubungan dengan waktu, menjadikan suatu organisasi tumbuh. Masa atau waktu pertumbuhan organisasi atau sering disebut dengan Organization Life cicle. Organisasi yang bertumbuh dan berkembang tidak dapat dilepaskan dari peran para karyawan yang merupakan bagian dari faktor internal organisasi dan faktor eksaternal. Walaupun sumber daya manusia sudah dikelola secara maksimal oleh menajemen, akan tetapi SDM hanya merupakan bagian dari faktor internal tersebut. Sehingga variabel atau bagian lainnya antara lain kepemimpinan, kebijakan, yang sewaktu-waktu dapat berubah karena adanya tuntutan dari dalam maupun dari luar organisasi. 24 Berdasarkan hasil penelitian oleh Fortune 500 maupun Fortun 1000 yang telah disebutkan pada BAB III, memberi gambaran kepada kita bahwa realita tersebut meyakinkan dan mendorong untuk mempertanyakan mengapa kita harus loyal pada organisasi dalam arti organisasi apapun dimana kita menjadi anggota. Kesadaran bahwa loyalitas tidak selamanya langka, kemudian dihayati oleh para karyawan hingga sampai pada tataran pimpinan. Kesadaran muncul betapa loyalitas menjadi dan tergantung pada seringnya SDM menghitung-hitung atas apa dan berapa yang didapat pada jangka pendek. Sementara SDM telah berjuang, berpikir dan menjalankan tugas organisasi. Bagi karyawan yang smart, tentunya memiliki terjemahan atas keahlian dan loyalitas, sehingga loyalitas tidak kaku. Di beberapa organisasi perusahaan yang profesional, mengembangkan rasa loyalitas justru melalui sikap yang lebih agresif, seperti “going the extra mile”, dengan lebih membuka wawasan, sehingga bisa merasakan kompetisi di pasaran dan mengembangkan kesiagaan untuk bertindak sejalan dengan harapan menajemen perusahaan. Dari sisi perusahaan, sudah tidak jamannya untuk memberi harapan garansi “employment” seumur hidup. Perusahaan justru perlu mengekspresikan ‘loyalitas’ pada karyawan dengan cara loyal pada prinsip-prinsip pengembangan talenta atau empowerment, terutama bagi karyawan yang memang menampakkan ambisinya untuk mengembangkan diri. Dengan demikian, fenomena karyawan bertahan selama puluhan tahun di perusahaan tidak berarti bertahan secara pasif, namun aktif mengembangkan diri dan mendorong pertumbuhan perusahaan. Sebuah perusahaan kurir dunia bahkan secara terbuka mengumumkan, “In my business ... and in your business ... loyalty means caring enough to correct a bad situation.” Pandangan ini 25 adalah dari sudut pandang loyalitas konsumen dan karyawan dalam rangka menanamkan brand image dan organization image. Bila timbul masalah dalam hubungan pelanggan atau karyawan dengan perusahaan, bukan berarti harus ‘patah arang’. Kita bisa mengembangkan rasa percaya bahwa masalah akan ditangani secara serius. Kita lihat loyalitas bukan musnah, tetapi berubah bentuk menjadi lebih realistis. A. Membangkitkan spirit untuk Membangun Loyalitas 1. Studi Kasus di PT Astra, Tbk. Loyalitas dapat terbentuk karena adanya motivator dari pihak manajemen organisasi perusahaan. Spirit para karyawan yang dibangun secara bersama-sama dengan pihak pengelola organisasi justru akan lebih besar hasilnya dibandingkan dengan hanya sekadar memotivasi. Semangat itulah yang diharapkan menjadi jantung yang berdegup setiap berada di organisasi atau perusahaan. Contoh yang dapat menjadi gambaran bagi pengelola SDM adalah bagaimana PT Astra International Tbk. Menjadi selalu terdepan (Sudarmadi, 2011). Presiden direktur yang selalu focus akan komitmen untuk mengelalo SDM dengan maksimal. Presiden direktur Astra sadar betul bahwa mengelola SDM tidak mudah dan tidak hanya membalikkan tangan, akan tetapi memiliki strategi sehingga agar perusahaan tersebut tetap menjadi besar. Prijono Sugiarto yang merupakan Presiden Direktur PT Astra Tbk. (Dorimulu dkk., 2011) mengemukakan bahwa ia bergabung dengan PT Astra sejak 21 tahun silam bukan sekadar berupaya meningkatkan kualitas SDM, akan tetapi lebih pada memelihara dan meningkatkan spirit di kalangan karyawan. “Spirit menjadi 26 yang terbaik tak boleh luntur. Di bisnis apapun, kami ingin berjuang menjadi yang terbaik,” ujar peraih gelar Dipl Ing Teknik Mesin dari University of A Sc Konstanz, Jerman, dan Dipl Wirtschaftsing bidang Administrasi Bisnis dari University of A Sc Bochum, Jerman, tersebut.Yang pasti, meski Grup Astra dianggap sudah sukses, Prijono merasa pencapaian kelompok usaha yang dirintis William Soerjadjaja ini belum lengkap. “Hasil yang dicapai Astra, menurut saya, belum full,” tuturnya. Rupanya, Prijono juga punya obsesi besar untuk emiten berkapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia (BEI) itu. “Saya ingin Astra menjadi kebanggaan bangsa ini,” tegas dia. Berdasarkan kronologis karir Prijono tersebut, selanjutnya setelah lulus kuliah di Jerman, ia bekerja di Mercedes Benz, di Jerman, kemudian di Mercedes Benz Indonesia sebagai sales engineering manager. Pada 1990, Prijono pindah ke Astra dan memegang divisi BMW. Pada 2000, saya diminta menjadi anggota direksi. Setelah 10 tahun menjadi anggota direksi, ia diangkat menjadi presiden direktur di Astra International. Sudah 21 tahun ia di Astra. Kemudian Prijono tertarik di karena Astra merupakan perusahaan swasta nasional yang terkenal dengan empat hal, yakni reputasi, integritas, good corporate governance, dan profesional. Astra juga menjunjung tinggi human resources sebagai aset yang begitu berharga. Saya coba bangun SDM secara maksimal. Tahapan Perlakuan terhadap Karyawan PT Astra, Tbk. Pertama masuk, karyawan diberi training tentang Astra. Kemudian, ketika yang fresh graduate naik ke posisi manajer, ada program Astra Middle Management Program. Yang dari posisi middle manager akan naik menjadi senior manager, harus mengikuti Astra Senior Management Program. Naik lagi ke 27 general manager atau executive, ada Astra General Management Program. Ada juga Astra Executive Program dan Astra Advance Executive Program. Jadi, mendidik manusia Astra harus continue dari pertama masuk hingga menjadi top talent, sampai top executive. Di Astra seorang Direktur Utama dibantu delapan direksi. Setiap hari tak dimungkiri pasti ada masalah. Tapi, ia berprinsip untuk menyelesaikan setiap masalah dengan kepala dingin. Take it easy !. Misalnya, ketika terjadi tsunami di Jepang, itu menjadi masalah bagi Astra, tapi ia dan semua jajaran direksi mencoba mengatasinya dengan baik. Prinsipnya adalah selalu mengedepankan teamwork. Ada Tiga “W” sebagai kunci sukses Astra, antara lain : 1. Winning concept, artinya sebelum masuk bisnis harus punya konsep yang baik. 2. Winning system, artinya setelah konsep dibuat bagus, selanjutnya adalah menjalankan bisnis dengan sebuah sistem yang bisa mengontrolnya. 3. Winning team, artinya pertama-tama Anda harus kasih kepercayaan pada tim yang kuat. Apapun yang dibuat, berharap selalu ingin menjadi yang terbaik. Gambaran Organisasi PT.Astra Tbk. Sejak 1984, Om Willem (pendiri Astra, William Soerjadjaja) dan direksi mempunyai pedoman yang disebut dengan Catur Dharma yang sampai kini tidak pernah kami tinggalkan, yaitu : 1. Menjadi aset yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. 2. Memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan. 3. Menghargai individu dan membina kerja sama. 4. Berusaha mencapai yang terbaik. 28 Spirit tersebut menjadi yang terbaik, tidak pernah dan tidak boleh lepas. Spirit ini harus menjadi jantung perusahaan. Di bisnis apapun, sepakat bahwa berjuang untuk yang terbaik. Bahwa pada semester I tahun 2011 kinerja perusahaan menjadi bagus, ini hasil proses yang begitu panjang. Revenue kami tumbuh 23%, profit kami Rp 8,6 triliun, tumbuh 33%, tersebut dari hasil proses. Sepuluh tahun lalu, mungkin Astra 85% di otomotif, tapi by design Astra melakukan diversifikasi agar menjadi perusahaan yang punya kekuatan non-otomatif yang nantinya bisa mempunyai operasional excellence di bidang otomatif. Dalam perjalanannya, otomotif tetap atraktif, dan hal tersebut dianggap suatu berkah. Jika Astra memegang pangsa pasar 55% roda empat (mobil) dan 51% roda dua (sepeda motor), hal tersebut juga syukuri. Tapi, Astra juga ingin divisi-divisi lain berkembang. Harus ada titik keseimbangan, katanya. Sekarang otomotif 50%, finansial 18%, United Tractors (alat berat dan batubara) 16%, Astra Agro Lestari (perkebunan sawit) 11%, sisanya infastruktur dan mata rantai logistik. Ke depan, Astra menginginkan dalam hal otomotif dan non-otomotif seimbang 50:50, hal ini bukan berarti Astra akan tinggalkan otomotif. Otomotif Astra tetap, kini lokalisasi (local content) di otomotif sudah 85%, bahkan di sepeda motor 95%. Berapa banyak nilai tambah yang Astra hasilkan melalui lokalisasi? First tier supplier Astra itu ada 150 perusahaan, second tier 850 perusahaan. Sekitar 1.000 perusahaan terlibat, Data tersebut belum bicara tier ketiga dan keempat. Sehingga, automotive value chain tersebut dari hulu ke hilir, dari mulai pembuatan komponen, menjadi assembling, distributor, main dealer, dealer, sampai ke financing Astra Credit Company, FIF untuk dua roda, hingga Asuransi Astra Buana untuk asuransi. Engine, casting sudah diproduksi di Indonesia. Ada 29 beberapa item kalau dilokalkan tidak feasible dan skala keekonomiannya kurang. Misalnya lebih baik impor baut daripada membuat pabriknya akan tetapi tidak ada nilai tambah. Kalau karburator roda dua sudah bisa dibuat di Indonesia. Pada tahun 1970-an, pemerintah meng-introduce kendaraan bermotor yang namanya KBMS atau dikenal dengan nama Kijang, kondisi tersebut adalah asal muasalnya mereka menggunakan penalti, dan apabila dilokalkan maka kena penalti. Selanjutnya, sejak akhir 1990- an pemerintah mengubah system insentif, sekarang, apapun yang dilokalkan harus dengan cost penalty di bawah satu. Sehingga, kalau setir dilokalkan harus lebih murah dari impor. Astra membuat lokalisasi bukan sekadar memenuhi peraturan pemerintah, tapi karena memang jauh lebih murah. Sekarang engine block semua dilakukan di Karawang. Alih teknologi sudah terjadi, bahkan Toyota Group sudah menunjuk Indonesia sebagai export base Daihatsu Group untuk mobil-mobil kecil. Toyata memiliki 51% di Astra Daihatsu Motor. Toyota juga sudah menetapkan rekayasa dilakukan di Indonesia. Kami berharap pada 2014-2015 minor change sudah bisa dilakukan putra-putri Indonesia dan pada 2018 major change sudah bisa dilakukan di Karawang. Kami di sana ada lahan 190 hektare. Ini adalah salah satu dari 19 proyek yang dicanangkan Presiden SBY. Jadi, assembling di Jepang akan pindah ke Indonesia. Untuk teknologi medium, orang Indonesia tidak kalah. Bahkan, ada satu produk yang akan dikeluarkan Toyota, adalah karya orang-orangnya Astra dari Daihatsu Motor. Astra sadari, otomotif Astra merupakan kemitraan strategis dengan Jepang, dan tidak bisa lepas dari Isuzu, Toyota, dan Daihatsu. Kalau menginginkan menjadi pemain global, harapan Astra bukan dari otomotif. Untuk menjadi pemain global harus jadi 30 natural owner. Astra menjadi eksportir saja sudah bangga. Tapi, kalau akan memainkan bisnis lain seperti batubara, Astra menganggap menjadi global player. Prinsipal Astra sebagai satu strategic partner yang baik. Bukan hanya pandai menjual, tapi juga pandai bermain di hulu. Melalui Astra Otoparts, banyak pemain Jepang yang masuk ke Indonesia. Misalnya di Denso kami punya 26%, di Akebono 50%, Kayaba 50%. Dengan adanya musibah tsunami, mereka semakin melirik Indonesia. Kalau mereka masuk, kepercaya mereka akan melirik Astra. Prijono berharap bahwa mereka yakinbahwa sasarannya adalah Indonesia, bukan negara Asia Tenggara lainnya. Tiongkok, India, dan Indonesia yang mereka pilih, karena politik terjamin, kurs stabil, hanya masalah dikeluhkan infrastruktur yang menjadi keluhan. Mudah-mudahan ada perbaikan infrastruktur. Gambaran di atas menjadikan suatu contoh nyata , bahwa dengan pengelolaan sistem manajemen yang mumpuni, maka sumberdaya manusia juga akan lebih tertata, dihargai, serta memiliki spirit untuk menunjang loyalitas. Sehingga dalam jangka panjang akan mendukung dinamika organisasi. Dengan adanya gambaran kasus Astra Tbk. Tersebut menyadarkan semua pemerhati organanisasi, bahwa yang utama sebenarnya adalah komitmen yang dibangun adalah justru berasal dari pimpinan terlebih dahulu. Apabila seorang pimpinan sudah memiliki komitmen yang jelas untuk mengembangkan organisasi dengan segenap penjelasan secara rinci mengenai apa yang harus dilakukan baik oleh organisasi, manajemen, maupun oleh karyawannya, maka visi yang ditetapkan akan lebih mudah dipahami oleh semua anggota organisasi tersebut, tak terkecuali para manajer bahkan pemiliknya sekalipun. 31 2. Kasus pada PT Bank DKI Contoh kasus lain kaitannya dengan loyalitas SDM adalah pada PT Bank DKI (Wisesa, 2008). Dalam penelitian tersebut dikemukakan bahwa karyawan merupakan aset terbesar dalam perusahaan sehingga banyak atasan yang tidak ingin kehilangan karyawannya yang berkualitas. Tetapi kesempatan berkarir yang semakin luas belakangan ini ditunjangdengan perkembangan arus informasi yang begitu cepat sehingga sulit bagiatasan untuk menahan karyawannya yang ingin mengejar karir lebih baik di perusahaan lain. Untuk itu diperlukannya loyalitas seorang karyawan kepada atasan guna mengurangi atau mencegah hal tersebut. Penelitian tersebut diikuti oleh lebih dari 8.000 responden dari 46 perusahaan yangmewakili 14 bidang industri di Indonesia.PT. Bank DKI merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang perbankan khususnya Bank Regional yang bersifat Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang ada di DKI Jakarta. Dalam perkembangannya perusahaan tersebut membutuhkan Sumber Daya Manusia yang handal dan memiliki loyalitas guna bersaing di dunia perbankan. Untuk mengelolaSumber Daya Manusia tersebut maka dibutuhkan seorang pemimpin atau pengendali yang mampu menerapkan gaya kepemimpinan yang sesuai dilingkungan kerjanya. Dengan adanya penelitian di PT. Bank DKI,diharapkan dapat menambah pengetahuan dan gambaran mengenai perilakuorganisasi terutama mengenai hubungan dari gaya kepemimpinan denganloyalitas bawahan kepada atasan dalam suatu organisasi bisnis di bidang perbankan. Semenjak tahun 1992, PT. Bank DKI berubah status menjadi Bank Devisa melalui lisensi yang diberikan oleh Bank Indonesia. Perubahan pun terjadi dalam manajemen perusahaan dimana 32 sebelumnya adalah milik Pemerintah Daerah menjadi Perseroan Terbatas (PT.), hal ini dapatdiketahui melalui perubahan nama perusahaan yang dilakukan yaitu dariBank Pembangunan Daerah Jaya (BPD Jaya) menjadi PT. Bank DKI.Selama 16 tahun terakhir ini, PT. Bank DKI berada pada tahap perkembangan dimana terjadi perbaikan di semua lini, sehingga penelitianmengenai hubungan gaya kepemimpinan dengan loyalitas karyawan kepadaatasan dibutuhkan guna memberikan masukan dan perbaikan bagi sistemyang telah ada khususnya dalam hal kepemimpinan. Permasalahan yang inti dalam penelitian ini adalah bahwa aset sumber daya manusia mensyaratkan pengelolaan yang berbeda dengan aset berwujud (tangible asset ), sebab aset ini memiliki pikiran, perasaan, dan perilaku, sehingga jika dikelola dengan baik maka akan mampu memberikan sumbangan besar bagi kemajuan perusahaan secaraaktif. Setiap orang memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda-beda dikarenakan banyaknya perbedaan pada setiap individu seperti perbedaanusia, jenis kelamin, jabatan / posisi, latar belakang pendidikan, statuskeluarga serta perbedaan status sosial lainnya. Untuk itu diperlukan caramengelola yang berbeda. Hal tersebut akan berhubungan dengan loyalitas para karyawan kepada atasan dalam menerima dan melaksanakan tugas danwewenang serta tanggung jawab di dalam pekerjaannya sehingga akan berdampak terhadap tujuan akhir perusahaan. Hasil penelitian yang didapat adalah bahwa berdasarkan uji korelasi Rank Spearman, gaya kepemimpinan atas dasar pertimbangan korelasi positif dengan nilai koefisien korelasi ® adalah 0,622 yang masuk dalam kategori keeratan hubungan kuat karena terletak pada interval 0,4 33 Bab V Pembentukan SDM menjadi Sumber Daya Insani Menurut Tulus (1995) dalam buku “Manajemen Sumber Daya Manusia”, dijelaskan arti penting sumber daya manusia adalah bahwa sumber daya manusia merupakan salah satu unsur masukan atau input yang bersama-sama dengan unsur lainnya seperti bahan baku, modal, mesin dan teknologi, yang dapat diubah melalui proses manajemen yang akhirnya menjadi bentuk keluaran atau output berupa barang dan jasa dalam upaya mencapai tujuan organisasi, sesuai dengan apa yang sudah tertuang dalam visi dan misi organisasi. 34 Suatu organisasi apapun termasuk perusahaan, memang dapat merubah visi dan misinya. Hal ini dimungkinkan karena ada faktorfaktor yang berpengaruh terhadap kelangsungan suatu organisasi seperti perusahaan, mengingat adanya kebijakan dari pemerintah yang ikut mengatur regulasi suatu perusahaan, seperti tentang ekspor impor, batasan suatu perusahaan besar atau kecilnya usaha, kebijakan tentang SDM kaitannya dengan penghapusan outsourcing, serta kebijakan lain yang berkaitan dengan regulasi perusahaan dan bidang keuangan. Upaya tersebut syah-syah saja apabila dengan berbagai upaya dan alasan untuk mempertahankan komitmen perusahaan maupun karyawan. Strategi organisasi sering menjadi suatu upaya dalam rangka mempertahankan organisasi dan kebersamaan. Ada berbagai strategi yang sering dipakai olah organisasi atau perusahaan untuk memenej organisasi, namun tidak serta merta dapat diterapkan dengan leluasa, karena harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi serta usaha perusahaan tersebut. Jelasnya, tidak tergantung pada keputusan mengenai strategi mana yang tepat, akan tetapi lebih pada strategi mana yang efektif, sehingga dapat diterapkan di perusahaan tersebut. Ada beberapa upaya yang dilakukan oleh para pengelola organisasi atau perusahaan, sehingga para karyawannya tidak tega dan dengan penuh kesadaran seminimal mungkin mencegah melakukan hal-hal yang melanggar norma, seperti : 1. Melakukan korupsi dalam bentuk apapun. 2. Melakukan pelecehan seksual. 3. Menyebarkan isu yang tidak pada tempatnya di pekerjaan. 4. Berbagai bentuk kolusi ataupun penyogokan dengan alasan apapun, misalnya untuk upaya promosi jabatan, penerimaan lowongan pekerjaan. 35 5. Melakukan sesuatu yang merugikan orang lain dalam konteks pekerjaan. 6. Melakukan sesuatu yang bukan haknya atau wewenangnya, seperti keinginatahuan tentang penilaian kerja karyawan lain maupun tentang gaji karyawan lain. 7. Memberikan penilaian terhadap karyawan yang tidak obyektif. 8. Melakukan kegiatan pelatihan atau training dengan dasar mencari uang tidak atas kebutuhan. 9. Memberikan informasi lamaran pekerjaan dengan mencantumkan persyaratan agama dan ras/suku. A. Peran Komitmen Organisasi Komitmen organisasi (Organizational Commitment) adalah sikap yang mencerminkan sejauh mana seseorang individu mengenal dan terikat pada organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen yang tinggi kemungkinan akan melihat dirinya sebagai anggota sejati organisasi. Seorang tokoh ilmuwan Fred Luthan (Baron, A.R. & Greenberg, J., 2000) misalnya, mendefinisikan komitmen organisasi sebagai suatu keinginan kuat anggota organisasi karena peran organisasi yang juga mendukung anggota organisasi tersebut. Dengan kata lain, komitmen organisasi merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan dimana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan. Tokoh lain Woodman, Sawyer, dan Griffin (Baron, A.R. & Greenberg, J., 2000), berpendapat bahwa komitmen organisasi lebih pada kreativitas dalam organisasi yang merupakan kreativitas kelompok, yang memungkinkan adanya individu-individu saling 36 bekerja sama dalam situasi atau lingkungan yang saling mendukung. Apabila menyoroti Komitmen organisasi memang agak kompleks, mengingat menyesuaikan antara pihak manajemen dan anggota organisasi merupakan kesatuan unsure yang memfasilitasi tujuan organisasi agar dapat tercapai. Menurut L. Mathis-John H. Jackson, keinginan untuk tinggal bersama sebagai anggota organisasi merupakan sesuatu yang sangat berarti karena apabila kesepakatan tersebut tidak terjadi akan berdampak pada anggota itu sendiri yang berupa ketidakhadiran karyawan ataupun terjadinya angka perputaran karyawan yang meningkat. Ikatan karyawan kepada organisasi atau perusahaan, merupakan cerminan sejauh mana seseorang individu mengenal dan terikat dengan organisasi. Menurut Griffin, karyawan yang memiliki komitmen tinggi kemungkinan akan melihat dirinya sebagai anggota organisasi sejati. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi lebih pada keselarasan antara pihak organisasi dan pihak anggota organisasi dimana pihak organisasi selalu berupaya untuk mempertahankan anggota dalam organisasi tersebut. Peran organisasi dalam upaya membangun komitmen tersebut tidak hanya berat di satu sis, akan tetapi pihak organisasi harus berupaya juga untuk memelihara komitmen tersebut. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah adanya program-program khusus yang diadakan oleh perusahaan kaitannya dengan bagaimana meningkatkan SDM baik secara khusus maupun kaitannya dengan fisik, dan organisasi. Karena dengan diadakannya serta perhatian perusahaan terhadap karyawan khususnya dari sisi fisik, juga akan mendukung kinerja yang mumpuni. Contoh saja mengenai program kesehatan fisik maupun mental, tidak menutup kemungkinan 37 menjadi suatu yang lebih menyeluruh, karena usaha preventif bagaimana pun juga diperlukan. Seperti kaus atau masalah yang berkaitan dengan tekanan kerja misalnya yang dapat menimbulkan stress kerja, akan dapat lebih tertangani apabila karyawan sudah dibekali dengan kiat-kiat mengatasinya, dibandingkan dengan tanpa usaha dari perusahaan untuk melakukan usaha kuratif dan mengembangkan program-program hubungan manusiawi yang akrab dan sehat antara karyawan dan para pimpinan (eksekutif), juga pembinaan bidang spiritual keagamaan. Contoh Kasus : Seperti apa yang telah dilakukan oleh PT Tiga Pilar Sejahtera (TPS) Food, yang kita ketahui bersama bahwa PT TPS tersebut berdiri tahun 1959 yang produksi unggulannya adalah bihun jagung yang terletak di Kabupaten Sukoharjo, Solo Jawa Tengah. Berawal dari usaha tersebut, maka pada tahun 1992 perusahaan TPS tersebut berkomitmen untuk membangun secara professional dan resmi berdiri dan kantor pusatnya pun berpindah ke Jakarta, dan bisnisnya tidak hanya sebatas dibidang food, akan tetapi merambah ke dunia agribisnis, perdagangan, energy dan property. Transformasi usaha menghasilkan secara mekanis tidak sekadar bihun, juga memproduksi mi, biskuit, permen dan snack. Namun secara humanistic juga diperhatikan. Hal ini dibuktikan dengan adanya dampak human capital yang telah terbentuk. Pembelajaran yang dilakukan oleh pihak manajemen, tidak sekadar mengeksploitasi para karyawannya, akan tetapi lebih terintegrasi, menanamkan good corporate governance yang terencana. Pendekatan humanistic dengan mendirikan TPS Academiy yang mempusisikan sebagai kawah candradimuka bagi para karyawan agar memiliki dedikasi tinggi. Tidak sekadar membelajarkan 38 berkinerja baik, tetapi juga ber etika. Dampak dari dedikasi tersebut akan sangat terasa hasilnya pada laba perusahaan yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Budaya perusahaan juga mendukung tercapainya Sumber Daya Insani yang dikehendaki, karena masing-masing perusahaan memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Hal ini tidak saja berkaitan dengan jenis usaha, akan tetapi juga dari sisi lingkup dan peta SDMnya. TPS memiliki dua budaya organisasi yang sering disebut Hard Value, yang lebih mengutamakan kejujuran, kerja keras, dan disiplin. Sedangkan Soft Value, lebih menekankan pada menumbuhkan suasana kekeluargaan di tempat kerja. Selain memiliki Budaya Organisasi, PT TPS bersama groupnya, juga berkomitmen atas tiga pilar, yaitu product excellence, process excellence, dan service excellence (Soetjipto, 2012) B. Menyiapkan Manajemen Insani Tidak ada harapan tanpa usaha. Itulah yang selalu memberi suatu gagasan tentang bagaimana caranya membuat orang dapat memiliki impian yang “super” seperti kata Mario Teguh dalam tayangan di media elektronik. Namun bagaimana memulainya? Sebagai inspirasi dari apa yang disampaikan oleh tokoh spiritual Mahatma Gandhi (Margono, 2010): “Your beliefs become your thoughts; your thoughts become your words; your words become your actions; your actions become your habits; your habits bicome your values; your values become your destiny.” 39 Kata-kata Mahatma Gandhi tersebut di atas membuat inspirasi bagi kita dan bagi orang-orang yang selalu berusaha untuk menjadi karyawan yang inspiratif bagi dan berdedikasi tinggi. Tidak ada orang yang lahir dengan “sempurna”, yaitu, selain memiliki fisik yang sempurna juga perilaku yang baik yang dapat menjadi panutan orang-orang disekelilingnya. Semua orang, sebagai insan yang luhur, harapannya dapat menjadi apa yang dipahami dan sesuai apa yang berlaku di lingkunannya. Namun, tidak semua lingkungan adalah yang memiliki perilaku dan pemahaman yang sama. Hal ini terjadi karena orang memiliki kepribadian dan persepsi sendiri-sendiri, belum lagi lingkungan masing-masing yang mempengaruhi. Belum ada orang yang dapat menerjemahkan kesempurnaan hidup yang dapat terwujud walau tidak sepenuhnya sempurna. Pengembangan secara seimbang, masing-masing orang juga memiliki pemukiran yg berbeda pula. Aspek fisik, intelektual, emosi, estetika, sosial, etika, finansial dan juga spiritual. Keseimbangan tersebutlah yang kemungkinan besar akan membawa seseorang ke arah kesempurnaan. Namun pada kenyatannya tidak mampu meraih harapan tersebut, mengapa? Jawabannya adalah karena kita memiliki kemampuan yang berbeda satu sama lain. Hal terpenting pula yang dapat menjadi pedoman akan keberhasilan aspek-aspek terpenuhi adalah adanya niat kita masing-masing. Ada sementara orang yang mau merubah diri karena belajar dari pengalaman. Namun ada sementara orang yang tidak mau merubah diri karena ada hal-hal yang berkepentingan. Akibatnya roda kehidupan (wheel of life) menjadi tidak seimbang. Kalau hal ini dibiarkan dalam jangka panjang, akan menyebabkan kehidupan manusia tidak produktif dan sulit berkembang. Hal ini dapat digambarkan seperti berikut : 40 Memang tidak mudah untuk membangun dan bahkan mengembangkan keyakinan agar mempunyai kesempatan untuk benar-benar memperbaiki diri. Usaha untuk dapat memperbaiki diri menurut Margono (2010), adalah : 1. Membangun impian Faktor utama yang dapat memunculkan atau timbulnya upaya sukses adalah adanya impian yang kita miliki. Setiap orang yang sukses pasti diawali dengan impian. Walt Disney, misalnya, yang memiliki pengalaman masa lalu mengenai cemoohan yang dia terima setelah menuturkan mengenai impian yang tidak pernah putus untuk membangun suatu taman impian khusus diperuntukan bagi anak-anak. Setelah berhasil membangun Walt Disney di California tahun 1955, maka diasmpaikan dalam pidato peresmiannya bahwa yang menjadi sesuatu berhasil terwujud adalah adanyapenciptaan impian ke depan. 2. Menuliskan keyakianan memberdayakan. 41 Anthony Robbins (Margono, 2010) berpendapat melalui penelitiannya dengan membagi keyakinan dalam dua kategori yaitu keyakinan memberdayakan dan keyakinan yang tidak memberdayakan. Keyakinan memberdayakan tersebut akan mengembangkan keseimbangan hidup yang kita miliki masingmasing, sementara keyakinan tidak memberdayakan akan membatasi perkembangan hidup kita. 3. Menggali keyakinan yang benar dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Sebagai manusia, perlu mempelajari keberhasilan orang lain. Setelah itu, perlu mencari informasi sebanyak mungkin dari media cetak atau dari elektronik untuk mencari tahu mengenai orang-orang sukses. Tujuannya adalah untuk mencari tahu mengenai hal-hal baru atau acuan-acuan baru, untuk menguatkan keyakinan kita untuk lebih sukses. 4. Keuntungan memegang teguh keyakinan Hal ini dilakukan saat seseorang mengalami drop, lelah, tak berdaya, merasa tidak berguna, dan perasaan lain yang muncul. Suasana hati tersebut akan melemahkan manusia apabila tidak terselesaikan. Sehingga perlu memunculkan bayangan positif mengenai keinginan manusia itu sendiri untuk memperkuat cara kerja otak manusia, sehingga akan meningkatkan keyakinan manusia, yang memberi dampak antara lain : a. Tubuh terasa lebih fit b. Merasakan getaran karena orang-orang mencari anda c. Seolah-olah merasakan anda memiliki sahabat-sahabat baru d. Merasakan adanya imej baru atas keberhasilan anda e. Bangga dengan penghormatan oleh orang-orang disekeliling anda f. Merasakan adanya kebahagiaan karena dipromosikan 42 g. Merasakan dampak keberhasilan dengan pemenuhan kebutuhan yang atas orang-orang yang disayangi h. Merasakan ketenangan jiwa dalam hidup dan hilangnya 5. Kerugian dengan mempertahankan keyakinan yang tidak memberdayakan. Setiap orang selalu ada sisi baik dan sisiburuk, sisi kelemahan dan sisi kekuatan, sisi kebaikan dan sisi keburukan. Oleh sebab itu, kita sebagai manusia perlu memegang teguh keyakinan tersebut. 6. Pentingnya menghancurkan limiting belief Keyakinan yang tidak memberdayakan (limiting belief) adalah mental blok yang menghalangi manusia untuk mencapai kesuksesan yang kita harapkan. Ciri-ciri limiting belief antara lain perasaan tidak enak hati, malas, sikap menunda-nunda pekerjaan, motivasi yang tidak stabil, ragu, khawatir, merasa tertekan, takut, bingung, cemas, dll. Salah satu cara untuk mematahkan limiting belief adalah dengan menggunakan teknik EFT (Emotional Freedom Technique) Teknik ini diketemukan oleh Gary Craig, seorang enginner dari Stanford University dan murid Dr. Callahan yang menemukan Callahan Technique atau Tough Field Therapy (TFT). EFT merupakan teknik penyembuhan tubuh dan pikiran yang mengkombinasikan efek fisik dari perawatan meridian dengan efek mental dalam memfokuskan pada sakit atau permasalahan pada waktu yang sama. 7. Melakukan afirmasi Afirmasi adalah suatu yang diproyeksikan atau dimasukan ke dalam pikiran bawah sadar dan bersifat sugestif, biasanya berupa kata-kata atau kalimat yang diucapkan dengan penuh keyakinan dan berulang-ulang. 43 8. Meyakini semua hal yang mungkin terjadi Ada sementara orang yang yang meyakini bahwa sesuatu hal mustahil terjadi. Tetapi sebenarnya tidak ada sesuatu hal yang tidak mungkin terjadi, selama kita meyakini hal tersebut. Usaha manusia untuk merubah diri menjadi yang lebih baik, perlu kesadaran dan contoh-contoh, serta upaya perubahan tersebut. Tidak mudah menyadarkan seseorang untuk merubah dan membangun diri menjadi yang lebih baik. Beberapa hal perlu diketahui dengan sungguh-sungguh dari diri orang tersebut agar mau dan mempercayai diri untuk menjadi yang lebih baik. Harapan tersebut berdampak pada keinginan untuk membangun loyalitas diri. Apabila loyalitas sesuai dengan harapan, bahwa hal tersebut dapat merubah perilaku, maka organisasi atau perusahaan menjadi lebih solid dengan adanya karyawan yang terlahir dengan sumber daya insani. 44 DAFTAR PUSTAKA Armstrong, M, 1994, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta : Alex Media Kompetindo. Baron, A.R. & Greenberg, J., 2000, Behavior in Organization : Understanding & Managing The Human Side of Work, Prentice Hall International Inc. , Canada. Blau,G.J., & Boal, K.R., 1987, Conceptualizing How Job Involvement and Organizational Commitment Affect Turnover and Absenteeism, Academy of Management Review. Buckingham, M & Coffman C., 2009, Pertama, Langgar Semua Aturan, Hal-Hal yang Dilakukan Secara Berbeda oleh Para Manajer Terhebat Dunia, Penterjemah : Th. Dewi Wulansari, Azkia Publisher, Kelompok Pustaka Alvabet. Dorimulu, dkk., Spirit Harus Jadi Jantung Perusahaan, Investor Daily, Jakarta, Edisi 12 September 2011 Gatewood, R.D, & Field, H.S., 2000, Human Resource Selection, The Dryden Press, Harcourt Brace College Publisher. Gibson,J.L., Ivancevich, J.M., Donnelly, Jr., J.H., 1996, Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses, Alih Bahasa : Nunuk Ardiani , Penerbit Binarupa Aksara, Jakarta.. Greer, Charles R. Strategy and Human Resources: a General Managerial Perspective. New Jersey: Prentice Hall, 1995. Handoko, H.T., 2001, Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, BPFE, Yogyakarta. 45 Hasibuan, 2000, Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara, Jakarta. Hasibuan, 2000, Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara, Jakarta. Lilis, 2004, Leadership, Republika Locke, E.A., 1969, What is Job Satisfaction?, Organizational and Human Performance, 4:309-336. Mangkunegara, 2008, Manajemen Sumber Daya Perusahaan, Remaja Rosdakarya, Bandung. Manusia Margono,H., Yusuf,S., Hans,J., 2010, Manajemen Insan Sempurna, The Real Secret To Balance Your Life, PT. Insan SempurnaMandiri, Jakarta. Nitisemito, 1996, Manajemen Personalia (Manajemen Sumber Daya Manusia, Ghalia Indonesia. Simamora, H., 1997, Manajemen Sumber Daya Manusia, STIE YKPN, Yogyakarta. Soetjipto, BW., 2012, Kepepetisme Dalam Transformasi Korporat, Majalah Swa, No.25, XXVIII, 22 Nov-5Des 2012 Sudarmadi, 2011, Belajar dari para Senior, majalah Swa, Edisi 13 Oktober 2011. Swansburg, A.C. (1996). Management and Leadership for Nurse Managers. Jones and Bartlett Publishers International, London England. Tulus, M.A., 1995, Manajemen Sumber Daya Manusia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 46 Wexley, K.N., & Yukl, G.A., 1977, Organizational Behavior and Personal Psychology, Richard D. Irwin Inc., Homewood, Illinois. Wijayantie, FC., Pengaruh Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasional Terhadap Keinginan Untuk Keluar (Intensi Keluar) dari Suatu Organisasi pada Perawat di RSI Hidayatullah, Yogyakarta. Wisesa, Reifan., 2008, Hubungan Gaya Kepemimpinan Dengan Loyalitas Karyawan Kepada Atasan Grup Sumber Daya Manusia PT. Bank DKI, Skripsi, Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. 47