MERAWAT CITA-HUKUM PANCASILA Kompilasi Buah Pikir & Gagasan Hotma P. Sibuea Diterbitkan Dalam Rangka Satu Tahun Dedikasi Usep Ranawijaya Research Center (URRC) Usep Ranawijaya Research Center Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 2015 SEKAPUR SIRIH Puji syukur disampaikan kepada Allah SWT atas nikmat hidup yang ditandai dengan keinginan besar untuk terus memberikan karya yang berguna bagi masyarakat hukum. Atas izin Allah SWT pulalah meski dengan keterbatasan waktu dan keadaan, Tim Editor dapat merampungkan kompilasi tulisan dari Dr. Hotma Sibuea sebagai Dosen Senior di lingkungan Fakultas Hukum UTA ’45 Jakarta. Beliau merupakan seorang pemikir yang pernah menjadi murid sekaligus asisten kesayangan Prof. Usep Ranawijaya. Jika tahun pertama berdirinya URRC pada tahun 2014 lalu, dedikasi diberikan kepada Prof Usep dengan menerbitkan kumpulan pemikiran Usep Ranawijaya, Maka tahun kedua berdirinya URRC diterbitkan pikiran-pikiran dari Dr. Hotma Sibuea, Sang Usep Kecil. Pertanyaannya, mengapa beberapa tulisan Hotma? Hotma Sibuea telah secara serius mendalami hukum tata negara dengan cara pandang yang khas ilmu hukum. Selama 30 tahun lebih Beliau telah mendedikasikan ilmunya melalui pola pemikiran yang terkadang sedikit narsis. Tidak dapat dipungkiri kharisma yang sangat kental dalam tiap pemilihan kata guna menelurkan pikiran-pikirannya sangat dalam dan tanjam. Motonya pula yang selalu dipegang ‘bukan keluasan tetapi kedalaman’. Buku ini hanya beberapa dari karya beliau yang tercecer (yang sedikit dipaksa untuk itu oleh Dekan FH UTA ’45) kepada URRC untuk dikompilasi. Sebagai ‘pemikir’ yang produktif, ia dipaksa juga untuk membagi ilmunya kepada dosendosen yunior dalam diskusi-diskusi terbatas di FH UTA ’45 Jakarta. Materi yang disajikan dalam buku kecil ini merupakan ide-ide orsinal beliau yang dituangkan (tidak dalam tataran kelisanan) namun terdokumentasi dalam bentuk tulisan. Untuk itulah kiranya buku kecil ini menjadi alat pengepul tambang emas pemikiran yang berserakaan dari Beliau. Kiranya pikiran-pikirannya yang tersaji dalam buku ini bermanfaat bagi kontribusi berkembangnya ilmu hukum di Indonesia. Buku ini memuat lima karya. Diantaranya makalah Dr Hotma dan tim yang berjudul “Pembaharuan Hukum Acara Pidana dan Jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan Dalam Perspektif Pancasila, Asas-Asas Hukum Dan Politik Hukum Nasional” disampaikan dalam Seminar Komisi Hukum Nasional yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 26-27 November 2013 di Hotel Bidakara. Artikel berjudul “Pemberhentian Presiden/Wakil Presiden Pada Masa Jabatan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistim Ketatanegaraan Indonesia” dipublikasikan pada Jurnal Staatrechts FH UTA ’45 Jakarta, Vol. 1 No. 1 Tahun 2014. Kemudian artikel berjudul “Konsekuensi Yuridis Proklamasi Kemerdekaan Bagi Bangsa Indonesia Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara” dipublikasikan pada Jurnal Law Review FH UPH Vol.XII No.3, Maret 2013. Makalah berjudul “Landasan/Dasar dan Arah Pengembangan Pengajaran Hukum dan Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta Dalam Perspektif Cita Hukum (Rechtsidee) Pancasila. Pokok-pokok pikiran yang disampaikan dalam diskusi dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta pada tanggal 12 Februari 2015 dalam rangka persiapan menyambut Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016. Makalah “Metodologi Penelitian Hukum” disampaikan pada Acara Prajabatan dan Diskusi Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus Jakarta pada tanggal 3 dan 10 Agustus 2015. Gagasan yang diberikan Dr Hotma selalu memiliki akar filsafat ilmu yang kuat dan dalam. Tak ayal jika nantinya mungkin saja akan mendapatkan pengikut untuk mengembangkan pemikiran-pemikirannya, semacam ‘Hotmanian’ atau ‘Hotmaxisme’, seperti halnya ‘Kaum Tjipian’ yang sangat terkenal di di FH Undip Semarang. Ucapan terimakasih Tim Editor sampaikan kepada teman-teman yang terlibat dan ikut membantu dalam penyusunan buku kecil ini. Kepada Dr. Hotma Sibuea, Tim meminta maaf karena tidak memberitahukan terlebih dahulu mengenai rencana penerbitan buku ini. Hal ini merupakan dedikasi sekaligus kado kecil bagi Beliau agar kiranya api semangat membagi pikiran-pikirannya, khususnya pada dosendosen muda tetap menyala. Harapan terakhir, kiranya buku ini bermanfaat bagi seluruh pembaca. Semoga ! Tim Editor DAFTAR ISI Sekapur Sirih 1. Cita Hukum Pancasila Menjadi Ciri Khas Fakultas Hukum UTA’ 45 2. 5. 23 Pemberhentian Presiden Dan Wakilnya Merujuk Pancasila dan UUD 4. 6 Cita Hukum Pancasila Sebagai Rujukan Ekslusif Pembaharuan Hukum Nasional 3. i 37 Merdeka : Pancasila Mampu Hapus Produk Hukum Kolonial 73 Karakter Penelitian Hukum 85 CITA HUKUM PANCASILA MENJADI CIRI KHAS FAKULTAS HUKUM UTA’ 451 1.Sesuai dengan anak judul di atas, ide atau gagasan dalam tulisan ini semata-mata adalah langkah awal untuk mengembangkan Pengajaran Hukum Dan Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta Perspektif Cita Dalam Hukum (Rechtsidee) Pancasila. Oleh karena itu, ide yang dikemukakan dalam pokok-pokok pikiran berikut masih memiliki banyak kekurangan pada berbagai hal atau aspek. Ide atau gagasan yang dikemukakan dalam pokok-pokok pikiran dalam makalah ini adalah tindak lanjut dari diskusi yang dilakukan beberapa kali dengan dekan dan rekan-rekan dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Diskusi dilakukan pada waktu senggang dan dalam suasana santai atau informal. 2.Sebagai kesimpulan diskusi yang sudah dilakukan, Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 dipandang perlu memiliki ciri khas yang berbeda dari ciri khas fakultas hukum yang lain. Sepanjang yang dapat diketahui, ada beberapa fakultas hukum yang mencanangkan memiliki ciri khas dengan cara seperti pengajaran hukum yang berfokus pada hukum bisnis, hukum agraria, hukum ketatanegaraan, hukum pidana dan lain-lain. Ada pula fakultas hukum yang memiliki ciri khas dari perspektif metode pendekatan dalam pengajaran hukum yakni berfokus pada metode pendekatan empiris. Menurut penulis, cara untuk membangun ciri khas tidak perlu meniru cara yang dilakukan oleh fakultas hukum seperti disebut di atas. Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 1 Judul asli makalah ini adalah Landasan/Dasar Dan Arah Pengembangan Pengajaran Hukum Dan Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta Dalam Perspektif Cita Hukum (Rechtsidee) Pancasila (Suatu Langkah Awal). Ditulis dan dipresentasikan oleh Dr. Hotma P. Sibuea dalam Prajabatan Dosen tetap UTA’45 pada tanggal 3 dan 10 Agustus 2015. Judul diubah semata-mata guna kepentingan pembuatan buku ini tanpa mengurangi isi kandungan yang ada. perlu menempuh cara lain untuk membangun ciri khas yang berbeda dari fakultas hukum yang lain. 3.Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta mengumandangkan pernyataan sebagai kampus kaum nasionalis. Sebagai bagian dari kampus nasionalis, Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta harus memiliki ciri khas yang mencerminkan nilai-nilai kebangsaan (nasionalisme). Dalam konteks implementasi nilai-nilai kebangsaan dalam khasanah akademik dan ilmu pengetahuan hukum, ciri khas nasionalis seyogianya tercermin dalam dasar (landasan) dan arah pengajaran hukum dan Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Secara lebih konkrit, ciri khas nasionalis tersebut seyogianya tercermin dalam kurikulum pengajaran hukum dan ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. 4.Dalam rangka implementasi nilai-nilai kebangsaan (nasionalisme) sebagai ciri khas pengajaran hukum dan Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, dasar dan pengembangan pengajaran hukum dan ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 harus bertitik tolak dari sesuatu yang fundamental dalam kehidupan hukum bangsa Indonesia. Sesuatu hal yang fundamental tersebut adalah pandangan hidup bangsa Indonesia. Pandangan hidup bangsa Indonesia harus menjadi dasar (landasan) dan arah pengembangan pengajaran hukum dan ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Jalan pikiran demikian bertitik tolak dari atau berpedoman pada gagasan Soediman Kartohadiprojo yang mengemukakan komentar sebagai berikut “. . . pemikiran hukum dan pengembanan Ilmu Hukum di Indonesia seyogianya berpangkal pada titik tolak pandangan hidup bangsa Indonesia tersebut.”3 1 Judul asli makalah ini adalah Landasan/Dasar Dan Arah Pengembangan Pengajaran Hukum Dan Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta Dalam Perspektif Cita Hukum (Rechtsidee) Pancasila (Suatu Langkah Awal). Ditulis dan dipresentasikan oleh Dr. Hotma P. Sibuea dalam Prajabatan Dosen tetap UTA’45 pada tanggal 3 dan 10 Agustus 2015. Judul diubah semata-mata guna kepentingan pembuatan buku ini tanpa mengurangi isi kandungan yang ada. 5.Ide atau gagasan untuk membangun dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan Hukum berkarakter Indonesia seperti dikemukakan Soediman Kartohadiprojo juga dilakukan pada cabang ilmu pengetahuan Teori Hukum. Gagasan atau ide untuk membangun dan mengembangkan Teori Hukum berkarakter Indonesia juga mulai dirintis oleh sarjana hukum atau penulis-penulis lain. Ada penulis yang sudah mulai merintis untuk membangun dan mengembangkan Teori Hukum sebagai cabang ilmu pengetahuan hukum yang memiliki ciri khas Indonesia yakni Saudara Oloan Sitorus dan Darwinsyah Minin.2 6.Dalam konteks hukum atau kehidupan hukum bangsa Indonesia, pandangan hidup yang dimaksud Soediman Kartohadiprojo adalah Pancasila3. Pancasila disebut sebagai cita hukum (rechtsidee) bangsa Indonesia dalam konteks hukum dan kehidupan hukum.4 Oleh karena itu, titik tolak, landasan atau dasar untuk membangun ciri khas pengajaran hukum dan Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta adalah cita hukum Pancasila. Dengan perkataan lain, sebagai implementasi nilai-nilai kebangsaan dalam konteks akademik atau ilmu pengetahuan hukum, cita hukum Pacasila harus ditempatkan sebagai landasan dan arah pengembangan pengajaran hukum dan Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta 2 Soediman Kartohadiprojo, Pantja Sila, Suatu Usaha Percobaan Mendekati Problema Sekitarnya dalam Bernard Arief Sidharta, Refleksi Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia (Bandung, 1999), hlm. 174. 2 Oloan Sitorus dan Darwinsyah Minin, Membangun Teori Hukum Indonesia (Yogjakarta, 2005), 40 halaman. 3 Soediman Kartohadiprojo, Pantja Sila, Suatu Usaha Percobaan Mendekati Problema Sekitarnya dalam Bernard Arief Sidharta, Refleksi Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia (Bandung, 1999), hlm. 174. 4 Abdul Hamid S Attamimi, Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia dalam Oetojo Oesman dan Alfian (ed.), Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara (Jakarta, 1992), hlm. 62. 7.Dalam hubungan dengan upaya perintisan landasan dan arah pengembangan pengajaran hukum dan Ilmu Hukum berdasarkan cita hukum (rechtsidee) Pancasila, pokok-pokok pendirian atau prinsip yang menjadi titik tolak pokokpokok pikiran (ide atau gagasan) yang dikemukakan dalam makalah singkat ini adalah hal-hal berikut ini. 8.Pertama, gagasan (ide) untuk membangun dan mengembangkan pengajaran hukum dan Ilmu Hukum yang berkarakter nasional (Indonesia) berdasarkan cita hukum Pancasila bertitik tolak dari sejarah perkembangan Ilmu Hukum (faktor internal). Sejak Revolusi Perancis berakhir, Ilmu Hukum berkarakter universal berganti menjadi Ilmu Hukum berkarakter nasional. Ilmu Hukum memiliki karakter nasional karena objek kajiannya adalah hukum positif dari suatu negara tertentu. Sesuai dengan objek kajiannya yakni hukum positif suatu negara, Ilmu Hukum yang berkembang pada tiap negara memiliki ciri-ciri dan karakter nasional yang berbeda dari Ilmu Hukum negara lain. Pandangan demikian dikemukakan oleh seorang guru besar Ilmu Hukum berkebangsaan Belanda yakni Paul Scholten. Paul Scholten mengemukakan pandangan sebagai berikut: “Ilmu tentang hukum positif selalu merupakan ilmu dari suatu hukum positif tertentu dalam sebuah negara tertentu. Ilmu Hukum itu sendiri ditentukan secara historis dan nasional. Ilmu (de wetenschap) tentang hukum positif (het positief recht) itu tidak ada, yang ada adalah ilmu tentang hukum positif Belanda atau Perancis. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Hanya orang yang berpartisipasi pada hukum ini yang dapat mengerjakannya, hanya orang Belanda yang dapat mengolah hukum positif Belanda. Ini tidak berarti bahwa orang asing tidak dapat melakukan pemaparan yang demikian (memaparkan hukum kita - - maksudnya hukum orang Belanda --- pen.), tetapi ini akan menjadi perbandingan hukum.5 5 Paul Scholten, De structuur der Rechtswetenschap atau Struktur Ilmu Hukum (terj. Bernard Arief Sidharta), (Bandung, 2003), hlm. 15-16. 9.Kedua, faktor eksternal yakni faktor kondisi faktual bangsa Indonesia yang sampai sekarang masih “dijajah” oleh ilmu hukum peninggalan Belanda meskipun bangsa Indonesia sudah merdeka sejak 65 (enam puluh lima) tahun lalu. Bernard Arief Sidharta mengemukakan sebagai berikut “Ilmu Hukum yang diajarkan di dalam lingkungan pendidikan tinggi hukum di Indonesia pada permulaannya berasal dari ilmu hukum yang dikembangkan oleh Belanda yang tatanan hukumnya termasuk dalam lingkungan Romano-Germanic Law (Kontinental).”6 10.Oloan Sitorus dan Darwinsyah Minin mengemukakan pandangan yang senada dengan Bernard Arief Sidharta di atas sebagai alasan untuk mengembangkan pengajaran hukum dan ilmu hukum berkarakter nasional. Oloan Sitorus dan Darwinsyah Minin mengemukakan pendapat sebagai berikut: “Meskipun sejak tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia telah berdiri sebagai negara yang berdaulat yang berarti sejak saat itu dilakukan penjebolan hukum kolonial dan pembangunan hukum nasional, namun sampai saat ini masih dirasakan adanya penetrasi nilai-nilai hukum dan postulat-postulat hukum yang bersumber pada falsafah liberal-individualistik negara Barat.”7 11.Satjipto Rahardjo mulai mengembangkan Ilmu Hukum Indonesia dengan berlandaskan pada hukum progresif. Ilmu Hukum progresif versi Satjipto Rahardjo memiliki ciri tertentu sebagai Ilmu Hukum yang membebaskan. Dalam hubungan dengan Ilmu Hukum Progresif yang berkarakter membebaskan itu, Satjipto Rahardjo mengemukakan sebagai berikut: “Ilmu Hukum progresif memperhatikan semua kendala tersebut. Demi mengejar garis depan ilmu yang selalu berubah di atas, maka ia (Ilmu Hukum Progresif - - - pen.) memilih untuk membiarkan dirinya 6 Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia (Bandung, 1999), hlm. 12. 7 Oloan Sitorus dan Darwinsyah Minin, Op. cit., halaman 1. terbuka dan cair sehingga selalu bisa menangkap dan mencerna perubahan yang terjadi. Dalam kualitas yang demikian itu maka Ilmu Hukum Progresif adalah tipe ilmu yang selalu gelisah melakukan pencarian dan pembebasan.”8 12.Bernard Arief Sidharta memulai upaya pembangunan dan pengembangan Ilmu Hukum berkarakter Indonesia dengan menulis sebuah disertasi tentang Struktur Ilmu Hukum yang bertitik tolak dari perspektif Filsafat Ilmu. Upaya tersebut bertitik tolak dari kedua faktor di atas. Bernard Arief Sidharta merintis pengembangan Ilmu Hukum Indonesia yang berkarakter nasional dengan fondasi Pancasila sebagai cita hukum.9 Dalam karya yang lain, Bernard Arief Sidharta mengemukakan komentar sebagai berikut: Tulisan berbentuk buku kecil yang sekarang ini diberi judul “Ilmu Hukum Indonesia,” karena memang dimaksudkan sebagai bahan bacaan untuk mempelajari tatanan hukum positif yang berlaku di Indonesia, khususnya bagi para mahasiswa yang sedang mempelajari hukum di perguruan tinggi di Indonesia. Berkenaan dengan hal itu, Paul Scholten dalam suatu makalah berjudul “De structuur der Rechtswetenschap” mengemukakan bahwa “Ilmu dari Hukum positif pada akhirnya adalah ilmu tentang hukum positif tertentu yang berlaku di suatu negara tertentu. Hukum positif demikian sangat dipengaruhi sejarah dan berada pada lingkup nasional . . . . . . . (dan seterusnya seperti dikutip di atas).” Jika pendapat Scholten ini benar, maka pernyataan tadi berlaku bagi semua ilmu hukum, yang pada dasarnya adalah selalu ilmu hukum positif suatu negara tertentu, termasuk bagi Ilmu Hukum Indonesia.”10 8 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia dalam Ahmad Gunawan dan Mu’ammar Ramadhan (penyunting), Menggagas Hukum Progresif Indonesia (Semarang, 2006), hlm. 1-18. 9 Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Op. cit., hlm. 180. 10 Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia, Upaya Pengembangan Ilmu Hukum Sistematik Yang Resposif Terhadap Perubahan Masyarakat (Yogjakarta, 2013), halaman V-VI pada kata pengantar. 13.Jika bertitik tolak dari jalan pikiran Bernard Arief Sidharta yang dikemukakan di atas, Ilmu Hukum Indonesia seharusnya berbeda dari Ilmu Hukum negara lain. Masing-masing Ilmu Hukum yang berkembang dalam suatu negara memiliki karakter nasional sesuai dengan sejarah bangsa yang bersangkutan. Jika demikian halnya, Ilmu Hukum yang harus dikembangkan di Indonesia adalah Ilmu Hukum Indonesia yang memiliki karakter nasional sesuai dengan sejarah bangsa Indonesia. 14.Dalam kenyataannya, Ilmu Hukum yang diajarkan di fakultas-fakultas hukum di Indonesia bukan Ilmu Hukum Indonesia yang pondasi kefilsafatannya adalah Pancasila sebagai cita hukum bangsa Indonesia. Akan tetapi, Ilmu Hukum warisan Belanda yang termasuk dalam lingkungan Romano-Germanic Law (Kontinental) seperti dikemukakan di atas. Kondisi ideal belum terwujud dalam kenyataan sampai dengan sekarang. Konsep-konsep hukum atau pengertianpengertian hukum ataupun postulat-postulat hukum yang diajarkan di fakultasfakultas hukum termasuk di Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta sampai dengan sekarang berasal dari atau merupakan warisan zaman kolonial Belanda. 15.Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia dan (tatanan) hukum dalam konteks keindonesiaan berpedoman pada cita hukum (rechtsidee) Pancasila. Cita hukum Pancasila memiliki fungsi yang bersifat fundamental dalam pembangunan dan pengembangan hukum dan Ilmu Hukum Indonesia. Sebagai cita hukum (rechtsidee), Pancasila bukan hanya berfungsi dalam pengembangan Ilmu Hukum Indonesia tetapi juga pengembangan tata hukum positif Indonesia. Sesuai dengan cita hukum Pancasila, tatanan hukum positif yang berlaku di Indonesia harus bersumber dari cita hukum. Akan tetapi, untuk menumbuhkan tatanan hukum nasional yang bersumber dari cita hukum Pancasila diperlukan suatu sarana pengolah ilmiah yakni Ilmu Hukum nasional.11 11 Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Op. cit., hlm. 12. 16.Jika berpedoman pada uraian di atas, sebagai cita hukum (rechtsidee), di satu pihak, Pancasila menentukan dan mempengaruhi (a) pengembangan Ilmu Hukum Indonesia sebagai sarana pengolah ilmiah untuk menumbuhkan dan mengembangkan tatanan hukum Indonesia (nasional) dan di lain pihak menentukan dan mempengaruhi (b) pengembangan tatanan hukum Indonesia. Jadi, sebagai cita hukum bangsa Indonesia. Pancasila berfungsi ganda dalam kehidupan hukum bangsa Indonesia. 17.Setiap cita hukum (rechtsidee) selalu memiliki 2 (dua) jenis kandungan unsur atau substansi. Pertama, unsur-unsur yang emosional-idiil yang batasannya rasionalnya tidak begitu pasti.12 Unsur emosional-idiil dalam suatu cita hukum (rechtsidee) bersumber dari filsafat hidup yang dianut oleh seseorang atau suatu masyarakat yang menuntun yang bersangkutan meyakini tatanan nilai tertentu dan bukan tatanan nilai yang lain. Kedua, cita hukum juga mengandung unsurunsur rasional yang memungkinkan disusun suatu pengertian hukum umum (allgemein Rechtsbegriff) sesuai dengan kandungan rechtsidee yang bersangkutan.13 Unsur rasional dalam cita hukum (rechtsidee) bersumber dari akal-budi yang membuat seseorang atau sekelompok anggota masyarakat membuat keputusan untuk memilih dan meyakini nilai-nilai tertentu dan bukan nilai-nilai yang lain sesuai dengan masyarakatnya dan lingkungan alam fisik yang mengelilinginya. 18.Kedua unsur emosional-idiil dan unsur rasional cita hukum (rechtsidee) yang disebut di atas juga terdapat dalam Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee) bangsa Indonesia. Unsur emosional-idiil dan unsur rasional dalam cita hukum Pancasila adalah titik tolak atau dasar pembangunan dan pengembangan tata hukum dan Ilmu Hukum Indonesia. Dalam konteks kedua unsur cita hukum 12 Moh. Koesnoe, “Perumusan dan Pembinaan Cita Hukum dan asas-asas Hukum Nasional, Ditinjau dari Hukum Adat,” Varia Peradilan, Nomor 120, Jakarta, September 1995, hlm. 95. 13 Ibid., hlm. 97. (rechtsidee) Pancasila tersebut, A.M.W. Pranarka mengemukakan bahwa Pancasila berkedudukan sebagai (a) belief system dan (b) knowledge system.14 19.Unsur rasional cita hukum (rechtsidee) Pancasila menjadi titik tolak pengembangan Pancasila sebagai knowledge system seperti dikemukakan A.M.W. Pranarka di atas. Dalam konteks Pancasila sebagai knowledge system, Ilmu Hukum Indonesia dapat dikembangkan dengan bertitik tolak dari Pancasila sebagai cita hukum bangsa Indonesia. 20.Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia yang bertitik tolak dari Pancasila sebagai cita hukum bangsa Indonesia dimulai dari premis filosofis tentang hakikat manusia Indonesia, hubungan manusia dengan alam semesta dan hubungan manusia dengan Tuhan dari perspektif Pancasila. Bernard Arief Sidharta mengemukakan pandangan filosofis tentang ketiga hal di atas sebagai berikut ”Pandangan hidup Pancasila bertitik tolak dari keyakinan bahwa alam semesta dengan segenap isinya termasuk manusia yang sebagai suatu keseluruhan terjalin secara harmonis diciptakan Tuhan.”15 Dari pernyataan di atas tergambar perspektif Pancasila dalam memandang hakikat manusia Indonesia, hubungan manusia Indonesia dengan alam semesta dan hubungan manusia Indonesia dengan Tuhan. 21.Pandangan filosofis tentang hakikat manusia Indonesia sebagai suatu kesatuan yang harmonis dengan alam semesta diciptakan oleh Tuhan dapat dipandang sebagai premis pertama yang diderivasi dari cita hukum (rechtsidee) Pancasila. Dari premis tersebut dapat dikembangkan pandangan filosofis tentang hakikat manusia.Dalam konteks ini, Notonagoro mengemukakan bahwa hakikat manusia Indonesia adalah mahluk “mono-dualis.” Notonagoro mengemukakana sebagai berikut “. . .hakikat manusia adalah machluk yang bersusun dalam 14 A.M.W. Pranarka, Suatu Konstruksi Filsafat Hukum Dengan Latar Belakang Evolusi Pengetahuan Dewasa Ini, Jurnal Pro Justitia, Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, (Bandung, 1992), hlm. 467 15 Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Op. cit., hlm. 183. sifatnya ialah individu dan machluk social kedua-duanya.” 16 Pandangan filosofis tentang hakikat manusia seperti ini berbeda dari pandangan filosofis yang lain yang memandang manusia sebagai mahluk individu semata-mata atau mahluk sosial semata-mata. Pandangan Notonagoro tersebut kemudian dikembangkan oleh Soediman Kartohadiprojo yang mengemukakan bahwa manusia Indonesia adalah manusia yang memiliki unsur “4 R yaitu (1) rasio, (2) rasa, (3) raga dan (4) rukun.” 22.Pandangan tentang manusia seperti dikemukakan di atas merupakan titik tolak untuk merumuskan suatu konsep/pengertian umum hukum berdasarkan cita hukum Pancasila. Pengertian/konsep umum hukum tersebut memiliki ciri-ciri (a) kategoris, (b) a priori, (c) metaphysis dan mendahului ilmu pengetahuan hukum. Jika berdasarkan Alinea Pertama Pembukaan UUD 1945, pengertian/konsep umum hukum berdasarkan cita hukum Pancasila adalah pengertian/konsep umum hukum yang bersifat idealis.17 Hukum adalah bukan semata-mata perintah tetapi hukum adalah keadilan sosial. 23.Pengertian/konsep hukum umum bangsa Indonesia yang bersifat idealis tersebut dari segi substansi mengandung nilai-nilai kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.18 Ketiga nilai dalam konsep/pengertian hukum umum tersebut bersumber dari nilai-nilai cita hukum (rechtsidee) Pancasila. Ketiga nilai cita hukum di atas sesungguhnya harus dijabarkan lebih lanjut untuk membangun dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan Hukum Indonesia Penggarapan konsep/pengertian umum hukum yang bersifat kategoris tersebut merupakan bagian dari aktivitas Filsafat Hukum. Namun, bidang ini adalah lahan kering, miskin kegiatan sampai sekarang. Moh. Koesno mengemukakan sebagai berikut: 16 Univesitas Gadjah Mada, Pembahasan Ilmiah Mengenai Susunan Pemerintahan Negara Republik Indonesia, (Yogjakarta, Tanpa Tahun), hlm 38. 17 Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Op. cit., hlm. 102. 18 Ibid., hlm. 105. “Sampai kini dalam kalangan hukum kita belum ada suatu upaya menjabarkan bagaimana isi dari ketiga nilai tersebut di atas sehingga pengetahuan yang mendalam dan mantap tentang nilai-nilai itu sampai kini belum dapat dijumpai. Sebagai konsekuensi isi substansi dari Rechtsidee kita tersebut juga tidak banyak diketahui dengan baik. Apa yang ada ialah hanya perkiraan-perkiraan atas sesuatu yang terdapat dalam simbolik saja.”19 24.Konsep/pengertian umum hukum berdasarkan cita Pancasila seperti dikemukakan di atas tentu saja berbeda dari konsep hukum yang dikembangkan John Austin, Hans Kelsen atau Hart sebagai tokoh-tokoh positivisme hukum yang sangat terkenal yang sampai dengan sekarang sangat kuat pengaruhnya dalam pengajaran hukum pidana di Indonesia. 25.Konsep/pengertian umum hukum berdasarkan cita hukum Pancasila yang bersifat idealis di atas adalah patokan untuk membatasi unsur-unsur yang harus dan dapat disebut sebagai hukum dalam perspektif cita hukum (rechtsidee) Pancasila. Dengan perkataan lain, tanpa kehadiran itu, sesuatu tidak dapat disebut sebagai hukum dalam perspektif cita hukum Pancasila. Dalam konteks ini, Moh. Koesnoe mengemukakan sebagai berikut “Unsur-unsur tersebut adalah unsur yang menunjukkan tersimpannya di dalamnya suatu isi yang menentukan (konstitutip) bagi apa yang dapat dikatakan hukum itu.”20 Dengan perkataan lain, konsep/pengertian umum hukum itu menjadi tolok ukur (batu penguji) bagi apa yang disebut hukum dalam perspektif cita hukum Pancasila. 26.Dalam pengertian umum hukum terdapat unsur-unsur yang besifat idil. Unsur idiil pengertian umum hukum tersebut disebut asas-asas hukum. Asas-asas hukum mempunyai fungsi konstitutip dan regulatip terhadap pembentukan norma-norma hukum positif.21 Asas-asas hukum umum kemudian mengalami 19 20 Moh. Koenoe, Op. cit., hlm. 105. Ibid., hlm. 96. proses positivisasi menjadi norma-norma hukum positif dalam arti yang luas. Menurut Sudikno Mertokusumo, dalam arti luas, hukum positif meliputi hukum tertulis, hukum tidak tertulis dan yuriprudensi.22 27.Pengolahan nilai-nilai cita hukum menjadi seperangkat asas-asas hukum adalah aktivitas Filsafat Hukum. Asas-asas hukum menjadi titik tolak pembentukan hukum (sebagai proses politik dan karya yuridis), penerapan hukum dan penegakan hukum serta penemuan hukum dan interpretasi hukum sebagai karya-karya yuridis berbudaya. Aktivitas pengolahan asas-asas hukum menjadi norma-norma hukum positif baik dalam bentuk norma hukum abstrak-umum (rechtsvorming) atau norma-norma hukum individual-konkrit (rechtsvinding) dilakukan oleh lembaga-lembaga pembentuk hukum. Jika bertitik tolak dari penjelasan di atas, cita hukum tidak secara langsung dapat membentuk normanorma hukum positif. Dalam pembentukan norma-norma hukum positif, cita hukum Pancasila memiliki fungsi tertentu. 28.Uraian yang dikemukakan di atas menggambarkan hubungan cita hukum, asas hukum dan pembentukan norma-norma hukum positif. Dengan cara yang lain, Bernard Arief Sidharta mengemukakan komentar sebagai berikut “Tatanan hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan pengejawantahan cita-hukum yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan ke dalam perangkat berbagai aturan hukum positif, lembaga hukum dan proses (perilaku birokrasi pemerintahan dan warga masyarakat).”23 29.Pancasila sebagai cita hukum mengandung nilai-nilai ideal yang hendak diselenggarakan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Nilai-nilai ideal itu menjadi titik tolak dalam membangun dan mengembangkan tata hukum Indonesia. Akan tetapi, nilai-nilai ideal tersebut tidak serta merta dapat 21 Dardji Darmodihardjo dan Shidarta, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila Dalam Sistem Hukum Indonesia (Jakarta, 1996), hlm. 101. 22 Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum (Yogjakarta, 2011). hlm. 45. 23 180. Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Op. cit., hlm. dioperasionalkan sebagai penuntun bertingkah-laku. Untuk membentuk normanorma hukum positif yang dalam kebersistemannya disebut tata hukum, nilainilai cita hukum Pancasila harus mengalami proses normativisasi supaya memiliki bentuk yang lebih konkrit daripada nilai-nilai hukum sebagai asas-asas hukum seperti dikemukakan di atas. 30.Dalam konteks pembentukan norma-norma hukum positif, cita hukum adalah landasan (dasar) dan sekaligus sebagai tolok ukur (norma kritik) terhadap keberadaan norma-norma hukum tersebut. Dalam konteks penjelasan yang diuraikan di atas, Bernard Arief Sidharta mengemukakan sebagai berikut “Dalam dinamika kehidupan kemasyarakatan, cita hukum itu akan mempengaruhi dan berfungsi sebagai asas-asas hukum yang memedomani, norma kritik (kaidah evaluasi) dan faktor yang memotivasi dalam penyelenggaraan hukum (pembentukan, penemuan dan penerapan hukum) dan perilaku hukum.”24 31.Unsur rasional dalam cita hukum Pancasila sebagaimana dikemukakan di atas merupakan titik tolak pengembangan Ilmu Hukum Indonesia. Dalam konteks pengembangan Ilmu Hukum Indonesia berdasarkan cita hukum (rechtsidee) Pancasila, Bernard Arief Sidharta mengemukakan komentar sebagai berikut “Sejalan dengan itu, Ilmu Hukum yang mempelajari tatanan hukum sebagai sarana intelektual untuk memahami dan menyelenggarakan tatanan hukum tersebut, dalam pengembangannya seyogianya pula bertumpu dan mengacu pada cita hukum itu (maksudnya: cita hukum Pancasila - - - pen.).”25 32.Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia berdasarkan cita hukum Pancasila harus bertitik tolak premis-premis filosofis yang dikembangkan oleh Filsafat Hukum Indonesia seperti dikemukakan di atas. manusia Indonesia seperti Premis filosofis tentang hakikat dikemukakan Notonagoro dan Soediman Kartohadiprojo di atas menjadi titik tolak pengembangaan konsep-konsep 24 25 Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia, Op. cit., hlm. 96. Ibid., hlm. 97. hukum bangsa Indonesia. Pandangan filosofis manusia Indonesia dari perspektif Pancasila seperti dikemukakan di atas dapat menjadi titik tolak dalam pembentukan konsep Hak Asasi Manusia versi bangsa Indonesia atau pembentukan konsep hukum hak milik dan hak-hak yang lain. Cara kerja yang sama juga dapat dilakukan untuk pengembangan konsep-konsep hukum yang lain seperti konsep HAKI. Konsep hukum pidana dan perdata menurut versi bangsa Indonesia. 33.Konsep-konsep hukum tersebut kemudian akan dipergunakan sebagai titik tolak oleh para pengemban kewenangan dalam pembentukan norma-norma-norma hukum positif seperti DPR, Presiden, Pengadilan (Hakim) dan sebagainya. Norma-norma hukum positif tersebut adalah objek kajian atau apsek ontologis dari Ilmu Hukum Indonesia. Tatanan norma-norma hukum positif Indonesia adalah objek kajian (ontologi) Ilmu Hukum Indonesia.26 Dengan demikian, hubungan cita hukum Pancasila dengan aspek ontologi dan epistemologis (pembentukan konsep hukum adalah salah satu aspek epistemologi) Ilmu Hukum Indonesia sudah dapat dijelaskan. 34.Akhirnya, Pancasila sebagai cita hukum juga berfungsi pada pembentukan aksiologi Ilmu Hukum Indonesia. Hal itu jelas disebut Bernard Arief Sidharta bahwa “Ilmu Hukum seyogianya mengacu pada cita hukum.” Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee) adalah pondasi aksiologis Ilmu Hukum Indonesia. Sebagai landasan aksiologis, nilai kegunaan/manfaat Ilmu Hukum Indonesia adalah untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan sila kelima Pancasila. 26 Sudikno Mertokusumo, op. cit., hlm. 41. 35.Demikian pokok-pokok pikiran yang dapat disampaikan pada kesempatan yang baik ini. Harapan yang tersimpan dalam hati adalah semoga pokok-pokok pikiran ini dapat dikembangkan pada bidang masing-masing oleh rekan-rekan sejawat dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta menjadi gagasan yang lebih maju dan lebih lengkap. Jakarta, 17 Februari 2015 Daftar Pustaka Abdul Hamid S Attamimi, Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia dalam Oetojo Oesman dan Alfian (ed.), Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: 1992. Bernard Arief Sidharta. Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum,Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Bandung: 1999. ----------------------------. Ilmu Hukum Indonesia, Upaya Pengembangan Ilmu Hukum Sistematis Yang Responsif Terhadap Perubahan Masyarakat, Yogjakarta: 2013. Dardji Darmodihardjo dan Shidarta. Penjabaran Nilai-nilai Pancasila Dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: 1996. Oetojo Oesman dan Alfian. Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: 1992. Moh. Koesnoe. “Perumusan dan Pembinaan Cita Hukum dan asas-asas Hukum Nasional, Ditinjau dari Hukum Adat.” Varia Peradilan, Nomor 120, Jakarta: September 1995. Satjipto Rahardjo. Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia dalam Ahmad Gunawan dan Mu’ammar Ramadhan (penyunting), Menggagas Hukum Progresif Indonesia. Semarang: 2006. Scholten, Paul. De structuur der Rechtswetenschap atau Struktur Ilmu Hukum (terj. Bernard Arief Sidharta), Bandung: 2003). Sitorus, Oloan dan Darwinsyah Minin. Membangun Teori Hukum Indonesia. Yogjakarta: 2005. Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Yogjakarta: 2013. CITA HUKUM PANCASILA SEBAGAI RUJUKAN EKSLUSIF PEMBAHARUAN HUKUM NASIONAL1 A. Pendahuluan Pembaharuan hukum nasional sesungguhnya sudah harus dilaksanakan sejak proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta. Hal itu merupakan konsekuensi logis dari Proklamasi Kemerdekaan karena Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia menuntut segenap tatanan hukum positif yang berlaku di Indonesia harus berlandaskan Pancasila sebagai falsafah negara dan cita hukum bangsa Indonesia.2 Akan tetapi, cita-cita ideal pembaharuan hukum tersebut tidak dapat direalisir karena situasi dan kondisi pada masa itu. Oleh karena itu, untuk mencegah kemungkinan kekacauan hukum perlu ditetapkan suatu politik hukum (kebijakan hukum) yang bersifat sementara dalam masa peralihan pasca Proklamasi Kemerdekaan. Politik hukum (kebijakan hukum) yang bersifat sementara dan yang bertujuan untuk menyikapi masa peralihan tersebut ditetapkan Pemerintah dan kemudian dituangkan dalam Peraturan Peralihan UUD 1945. Politik hukum (kebijakan hukum) masa peralihan yang dituangkan dalam Peraturan Peralihan UUD 1945 tersebut membawa konsekuensi logis terhadap keberadaan segenap tatanan hukum positif produk hukum kolonial. Berdasarkan politik hukum (kebijakan) hukum dalam Peraturan Peralihan UUD 1945 tersebut, tatanan hukum produk kolonial Belanda kemudian ditetapkan untuk tetap berlaku dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Pemberlakuan tatanan hukum produk kolonial 1 Judul asli makalah ini adalah Pembaharuan Hukum Acara Pidana Dan Jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan Dalam Perspektif Pancasila, Asas-Asas Hukum Dan Politik Hukum Nasional. disampaikan dalam Seminar Komisi Hukum Nasional yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 26-27 November 2013 di Hotel Bidakara. Judul diubah semata-mata guna kepentingan pencetakan buku ini tanpa mengurangi isi kandungan yang ada. 2 Hotma P. Sibuea, Konsekuensi Yuridis Proklamasi Kemerdekaan Bagi Bangsa Indonesia Dalam Kehidupan Berbangasa dan Bernegara, Jurnal Ilmiah, Law Review, Vol. XII No.3. Maret 2013, hlm. 322. Belanda di zaman kemerdekaan adalah suatu politik hukum (kebijakan hukum) peralihan yang bertujuan untuk mencegah kevakuman hukum. Dengan berdasarkan kebijakan hukum yang dikemukakan di atas, tatanan hukum produk kolonial masih tetap diberlakukan pascaproklamasi kemerdekaan dan sampai dengan sekarang meskipun dengan melakukan berbagai penyesuaian. Sisi positif dari politik hukum (kebijakan hukum) masa peralihan tersebut adalah bahwa untuk sementara persoalan kemungkinan kevakuman hukum dapat ditanggulangi. Namun, di sisi lain, ada segi kekurangannya yaitu bahwa pembaharuan hukum secara menyeluruh yang bersifat nasional tidak pernah dapat dilaksanakan sampai dengan sekarang meskipun pembaharuan hukum nasional itu sesungguhnya merupakan tuntutan dan konsekuensi logis dari Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas. Oleh karena itu, sampai dengan sekarang, tatanan hukum positif produk kolonial Belanda masih tetap diberlakukan meskipun hanya berkenaan dengan beberapa undang-undang tertentu saja. Keberadaan berbagai produk hukum kolonial tersebut sudah barang tentu harus segera diperbaharui supaya dapat menyesuaikan diri dengan dan memenuhi perkembangan masyarakat. Politik hukum yang bersifat sementara dan yang bertujuan untuk menyikapi masa peralihan sebagaimana dikemukakan di atas juga berdampak terhadap keberadaan tatanan hukum pidana positif. Situasi dan kondisi yang sama dengan yang dikemukakan di atas juga terjadi dalam bidang hukum pidana. Sampai dengan sekarang masih terdapat undang-undang di bidang hukum pidana produk kolonial yang masih berlaku. Meski demikian, niat untuk melakukan pembaharuan hukum pidana yang bersifat menyeluruh sebenarnya sudah sejak lama diwacanakan para akademisi dan praktisi hukum di Indonesia. Untuk hukum pidana materil, alasan filosofis menjadi alasan utama (alasan mendasar) mengingat hukum pidana materil yang berlaku sekarang sebagian masih merupakan produk hukum zaman kolonial yang tentu saja berlatar belakang filosofis/ideologis yang sesuai dengan kepentingan kolonial. Dalam konteks hukum pidana formil (hukum acara pidana), sebenarnya pembaharuan hukum sudah pernah dan berhasil dilakukan pada tahun 1981 dengan ditetapkannya KUHAP. KUHAP (UU Nomor 8 Tahun 1981) digadang-gadang sebagai karya agung bangsa Indonesia. Akan tetapi, tanpa bermaksud untuk menyampingkan hasil pembaharuan hukum acara pidana tersebut ternyata selang beberapa waktu, kelemahan-kelemahan KUHAP semakin nyata. Oleh karena itu, gagasan untuk melakukan pembaharuan hukum acara pidana juga mulai disuarakan oleh berbagai pihak. Untuk konteks hukum acara pidana (hukum pidana formal), alasan penyalahgunaan kewenangan dan dan pelanggaran/pengabaian hak-hak asasi oleh penegak hukum seringkali menjadi alasan yang mendorong perlu dilakukan pembaharuan hukum acara pidana. Dengan perkataan lain, seperti dikemukakan oleh Adnan Buyung Nasution, hukum acara pidana yang berlaku sekarang masih memiliki beberapa kekurangan dalam praktik sehingga perlu dilakukan pembaharuan untuk mengikuti dan mengantisipasi perkembangan masyarakat.3 Kelemahan KUHAP sebagaimana dikemukakan di atas akhirnya melahirkan gagasan untuk melakukan pembaharuan hukum acara pidana secara menyeluruh. Dalam konteks pembaharuan hukum acara pidana yang sedang dilaksanakan sekarang, salah satu jabatan baru yang tidak terdapat dalam KUHAP diintrodusir dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana masa depan yaitu Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Hakim Pemeriksa Pendahuluan adalah suatu jabatan baru dalam sistem KUHAP masa depan tersebut. Sebagai jabatan yang baru, jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan merupakan adopsi dari sistem hukum negara lain. Sudah barang tentu, jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan tersebut tidak dapat secara serta merta diadopsi begitu saja dari sistem hukum acara pidana negara lain tanpa pengkajian yang mendalam. Kajian yang mendalam terhadap keberadaan jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai jabatan baru dalam RUU-KUHAP yang baru perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. 3 Buyung Nasution, Praperadilan Versus Hakim Komisaris, Newsletter KHN, April 2002, hlm. 1. Pengkajian terhadap eksistensi Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai suatu jabatan baru dalam sistem hukum acara pidana dapat dilakukan secara komprehensif dengan bertitik tolak dari berbagai cabang disiplin hukum seperti Filsafat Hukum, Teori Hukum, Ilmu Hukum (Dogmatika Hukum) maupun Politik Hukum. Di samping itu, berbagai metode pendekatan juga dapat dilakukan untuk melakukan kajian seperti metode pendekatan filosofis, komparatif, kesisteman dan lain-lain untuk melengkapi metode pendekatan normatif. Pada kesempatan ini, kehadiran makalah yang disusun oleh Tim Penulis Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta adalah dalam konteks dan latar belakang serta perspektif sebagaimana dikemukakan di atas. Secara konkrit dapat dikemukakan bahwa kehadiran makalah Tim Penulis Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta ini adalah dalam rangka menambah kajian mengenai jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan yang sudah dilakukan oleh berbagai pihak. Makalah ini diharapkan dapat menawarkan kerangka berfikir yang bersifat sistematis untuk menguji keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai suatu jabatan dalam RUU-KUHAP. B.Pancasila Sebagai Cita Hukum Bangsa Indonesia Dan Asas-Asas Hukum Nasional Titik tolak untuk melakukan pembahasan terhadap jabatan baru Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam KUHAP masa depan tersebut harus dimulai dari perspektif filosofis. Pembahasan secara demikian bertjuan untuk menguji landasan filosofis jabatan baru Hakim Pemeriksa Pendahuluan tersebut secara mendalam. Dalam konteks ini, pertanyaan pokok yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut. Apakah Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai jabatan baru dalam RUUKUHAP mempunyai landasan falsafah atau memiliki akar filosofis yang kuat dalam kehidupan hukum bangsa Indonesia? Dalam rangka menjawab pertanyaan yang dikemukakan di atas, pembahasan tentang eksistensi jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan tersebut akan bertitik tolak dari landasan falsafah bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Apa sebab demikian? Hal itu karena landasan filosofis kehidupan hukum bangsa Indonesia adalah Pancasila. Namun, sudah barang tentu nilai-nilai Pancasila sebagai cita hukum yang bersifat abstrak-umum tersebut tidak dapat dipakai secara langsung untuk menguji kebasahan keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Ada proses berfikir yang harus dilakukan untuk dapat menderivasi nilai-nilai cita hukum Pancasila supaya menghasilkan seperangkat pokok-pokok pendirian atau asas-asas hukum yang lebih konkrit. Dalam perspektif doktrin, Pancasila ditempatkan sebagai cita hukum (Rechtsidee) bangsa Indonesia.4 Hal itu mengandung arti bahwa para ahli dan atau akademisi umunya bersepakat bahwa Pancasila adalah cita hukum bangsa Indonesia. Kedudukan Pancasila sebagai cita hukum bangsa Indonesia juga sudah dilegitimasi secara politis dan yuridis. Kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum (cita hukum) sudah ditetapkan dalam undang-undang yang mengatur tentang tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Hal itu mengandung arti bahwa keberadaan dan fungsi Pancasila dalam konteks kehidupan hukum di Indonesia yakni sebagai cita hukum bangsa Indonesia sudah memiliki dasar pijakan yang kuat baik secara akademis maupun secara sosiologis, politis dan yuridis, Sebagai cita hukum, Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam kedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum, Pancasila menjadi sumber hukum yang terakhir dan tertinggi.5 Sebagai cita hukum, kedudukan Pancasila adalah di atas segenap tatanan hukum positif yang berlaku dalam Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, segenap tatanan hukum positif yang terdapat dalam kehidupan hukum di Indonesia mengalir dari sumber yang satu dan yang tertinggi yakni cita hukum Pancasila. Sebagai konsekuensinya, norma-norma hukum positif tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam cita hukum Pancasila. Jika sekiranya terdapat tatanan hukum 4 Abdul Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu PelitaI-IV, Disertasi, Depok, 1990, hlm. 307 dan seterusnya. 5 Dardji Darmodihardjo dan Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Jakarta, 1995, hlm. 191. positif yang bertentangan dengan nilai-nilai dalam cita hukum Pancasila dengan sendirinya tatanan hukum positif yang demikian tidak memiliki landasan (pijakan) filosofis sehingga harus disingkirkan dari tatanan hukum positif. Dalam konteks pembaharuan hukum acara pidana, prinsip yang dikemukakan di atas sudah barang tentu juga berlaku. Artinya, norma-norma hukum acara pidana yang akan dibentuk oleh badan pembentuk undang-undang harus bersumber dari dan selaras dengan cita hukum Pancasila. Dalam kedudukan sebagai cita hukum (sumber dari segala sumber hukum), Pancasila melakukan peranan sebagai pemberi tuntunan terhadap keberadaan tatanan hukum positif. Dalam istilah Abdul Hamid S. Attamimi, fungsi Pancasila sebagai cita hukum adalah sebagai bintang pemandu terhadap segenap tatanan hukum yang terdapat di Indonesia.6 Bintang pemandu dalam istilah Hamid S. Attamimi di atas mengandung arti bahwa arah perkembangan hukum dan pembaharuan hukum nasional termasuk pembaharuan hukum acara pidana juga harus dipandu oleh cita hukum Pancasila. Fungsi pemandu dan penunjuk arah perkembangan segenap tatanan hukum positif dilakukan oleh setiap cita hukum dengan maksud untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Fungsi seperti itu juga dilakukan oleh cita hukum Pancasila terhadap segenap tatanan hukum positif yang berlaku di Indonesia termasuk tatanan norma hukum acara pidana. Sebagai cita hukum, Pancasila berfungsi untuk membimbing dan memandu arah perkembangan tatanan hukum positif yang berlaku di Indonesia supaya segenap tatanan hukum positif itu mengarah kepada suatu tujuan ideal segenap bangsa Indonesia yaitu citacita “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Arah perkembangan dan tuntunan terhadap tata hukum positif dilakukan oleh cita hukum Pancasila dalam 2 (dua) sisi sekaligus. Sebagai cita hukum, Pancasila adalah batu penguji tatanan hukum positif. Sekaligus dengan fungsi sebagai batu penguji, cita hukum Pancasila juga memberikan tuntunan terhadap arah perkembangan tatanan hukum positif. Dalam hubungan dengan kedua fungsi cita hukum tersebut, Abdul Hamid S. Attamimi mengemukan bahwa fungsi yang 6 Abdul Hamid S. Attamimi, op. cit., hlm. 319. dijalankan oleh cita hukum termasuk cita hukum Pancasila dilakukan dari 2 (dua) sisi sekaligus yaitu (a) menguji hukum positif yang berlaku dan (b) mengarahkan hukum positif yang berlaku supaya hukum positif tersebut mengarah kepada sesuatu tujuan.7 Cita hukum Pancasila melakukan kedua macam fungsi yang disebut di atas dengan bertitik tolak dari atau berdasarkan nilai-nilai yang dikandungnya. Nilainilai cita hukum berfungsi sebagai kiblat (penunjuk arah) dan sekaligus sebagai kriteria penilai (batu penguji) bagi tatanan hukum positif yang berlaku di Indonesia termasuk hukum acara pindana yang menjadi pokok pembicaraan pada saat sekarang. Akan tetapi, nilai-nilai yang terkandung dalam cita hukum Pancasila masih bersifat abstrak-umum. Nilai-nilai cita hukum Pancasila tersebut tentu saja tidak dapat secara langsung memberikan pengarahan terhadap tatanan hukum acara pidana positif yang berlaku maupun yang hendak dibentuk oleh pembentuk undang-undang (hukum acara pidana yang dicita-citakan atau ius constituendum). Hukum positif berkenaan dengan atau menyentuh alam konkrit-individual yang berbeda dari alam nilai-nilai dalam cita hukum yang bersifat metafisis. Untuk dapat memberikan arahan terhadap perkembangan dan pembaharuan hukum positif termasuk pemabahruan hukum acara pidana, nilai-nilai ideal dalam cita hukum Pancasila yang bersifat abstrak-umum terlebih dahulu harus diolah. Dari proses pengolahan tersebut kemudian dapat diderivasi (diturunkan atau dihasilkan) seperangkat prinsip-prinsip hukum (pokok-pokok pendirian hukum) atau asas-asas hukum yang sifatnya lebih konkrit. Asas-asas hukum atau prinsip-prinsip hukum apa saja yang dapat diderivasi (diturunkan) dari cita hukum Pancasila? Cita hukum Pancasila mengandung seperangkat nilai-nilai ideal yang menjadi tujuan yang hendak dicapai oleh bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari perangkat nilai-nilai ideal yang terdapat dalam cita hukum Pancasila dapat diderivasi berbagai macam prinsip-prinsip hukum atau pokok-pokok pendirian hukum atau asas-asas hukum. Prinsip-prinsip hukum atau asas-asas hukum yang diderivasi dari 7 Ibid. cita hukum Pancasila itu kemudian menjadi pedoman atau pegangan dalam menetapkan suatu garis kebijakan hukum nasional (politik hukum nasional).8 Dalam konteks perbincangan tentang Pembaharuan Hukum Acara Pidana dan keberadaan jabatan baru yang disebut Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam sistem Hukum Acara Pidana masa depan tidak perlu semua asas-asas hukum yang diderivasi dari cita hukum Pancasila harus dibicarakan. Menurut pandangan Tim Penulis, ada 3 (tiga) prinsip-prinsip hukum atau asas-asas hukum yang relevan untuk dibicarakan lebih lanjut dalam hubungan dengan keberadaan jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan tersebut. Ketiga macam prinsip-prinsip hukum, pokokpokok pendirian hukum atau asas-asas hukum yang dimaksud adalah (a) asas negara hukum, (b) asas demokrasi dan (c) asas pembatasan kekuasaan (pembatasan kewenangan). C. Asas-Asas Hukum Dan Kebijakan Hukum Nasional Apa sebab ketiga prinsip hukum atau pokok-pokok pendirian hukum atau asas hukum yang dikemukakan di atas harus menjadi perspektif dalam memperbincangkan keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai suatu jabatan dalam sistem hukum acara pidana masa depan? Dari perspektif Hukum Tata Negara, Hakim Pemeriksa Pendahuluan adalah suatu jabatan ketatanegaraan dan merupakan bagian dari organisasi jabatan dalam Negara Republik Indonesia. Setiap jabatan dalam organisasi negara Republik Indonesia harus diuji sesuai atau tidak dengan asas-asas hukum kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika keberadaan jabatan tersebut dapat lolos dari pengujian terhadap asas-asas hukum kehidupan berbangsa dan bernegara dengan sendirinya kehadiran jabatan tersebut dapat diterima dalam tatanan organisasi jabatan. Namun, pengujian secara langsung terhadap asas-asas hukum yang dikemukakan di atas tidak dapat dilalukan karena asas-asas hukum tersebut masih bersifat abstrak-umum meskipun sudah lebih konrkit dari nilai-nilai dalam cita hukum Pancasila. 8 Hotma P. Sibuea, Politik Hukum, Krakataw Book, Jakarta, 2010, hlm.194. Asas-asas hukum negara hukum, asas demokrasi dan asas pembatasan kekuasaan (pembatasan kewenangan) sebagai asas-asas hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara belum dapat secara langsung dipakai sebagai patokan untuk menguji keberadaan jabatan baru Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Asas-asas hukum tersebut harus diproses atau diolah lebih dahulu untuk dapat memahami makna hakiki dari asas-asas hukum tersebut supaya kemudian dapat dihasilkan gambaran pemahaman dan atau pengertian yang lebih jelas tentang asas-asas hukum tersebut. Pemahaman terhadap asas-asas hukum secara baik akan dapat menghasilkan seperangkat prinsip atau pokok pendirian yang lebih konkrit. Prinsip atau pokok pendirian itu kemudian dapat dipakai sebagai pedoman dalam merumuskan kebijakan pembaharuan hukum acara pidana secara menyeluruh dan dalam melakukan pengaturan terhadap jabatan-jabatan ketatanegaraan yang dibentuk dalam sistem hukum acara pidana tersebut seperti halnya keberadaan jabatan baru Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai suatu jabatan dalam lingkungan organisasi jabatan dalam Negara Republik Indonesia. Makna ketiga asas hukum yang dikemukakan di atas harus dielaborasi lebih dahulu supaya dapat diungkap prinsip-prinsip hukum yang lebih konkrit yang terkandung dalam ketiga asas hukum tersebut. Prinsip-prinsip hukum yang diturunkan (diderivasi) dari ketiga asas hukum yang disebut di atas akan menghasilkan seperangkat pokok pendirian yang lebih konkrit yang dapat dijadikan sebagai pedoman (pegangan) dalam merumuskan kebijakan hukum berkenaan dengan pembaharuan hukum acara pidana dan menguji keberadaan jabatan baru dalam KUHAP masa depan yakni Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Jika ketiga asas hukum yang dikemukakan di atas dielaborasi akan dapat diungkap makna-makna sebagai berikut. Asas negara hukum yang diderivasi dari cita hukum Pancasila mengandung makna bahwa dalam organisasi Negara Republik Indonesia kekuasaan tunduk kepada hukum. Segenap kewenangan yang melekat pada para penyelenggara negara harus dibatasi oleh hukum atau tunduk kepada hukum.9 Dengan perkataan lain, sekecil apapun kekuasaan yang melekat pada suatu jabatan termasuk jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan, kekuasaan itu harus tunduk kepada hukum. Inilah makna supremasi hukum sebagai salah satu prinsip hukum atau pokok pendirian atau asas hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus selalu diingat dan ditegakkan. Dalam konteks pembaharuan hukum acara pidana dan keberadaan jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan, prinsip ini juga berlaku. Penegasan bahwa kekuasaan para penyelenggara negara harus tunduk kepada hukum sangat penting diingat dan ditegakkan dengan maksud untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh para penyelenggara negara khususnya jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam hal ini. Asas demokrasi yang diderivasi dari cita hukum Pancasila mengandung makna bahwa dalam organisasi Negara Republik Indonesia, kekuasaan yang tertinggi berada di tangan rakyat. Rakyat adalah pemegang kedaulatan (kekuasaan tertinggi) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, sumber dari segenap kewenangan yang melekat kepada jabatan adalah berasal dari rakyat. Asas kedaulatan rakyat ini lebih jauh mengandung konsekuensi bahwa tujuan pemberian kewenangan kepada suatu jabatan seperti halnya Hakim Pemeriksa Pendahluan adalah untuk dan dalam rangka melayani kepentingan rakyat. Jabatan-jabatan dalam organisasi negara Republik Indonesia dibentuk semata-mata untuk melayani dan mengabdi kepada kepentingan rakyat sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi (kedaulatan). Asas pembatasan kekuasaan (pembatasan kewenangan) yang diderivasi dari cita hukum Pancasila mengandung makna bahwa dalam organisasi Negara Republik Indonesia, kekuasaan yang melekat kepada suatu jabatan tertentu bukanlah kekuasaan yang bersifat absolut (mutlak). Dalam perspektis asas pembatasan kekuasaan atau kewenangan tidak dikenal kekuasaan yang bersifat mutlak. Segenap kekuasaan harus dibatasi supaya tidak membuka peluang terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang karena kekuasaan yang sewenang-wenang pada 9 Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik, Erlangga, Jakarta, 2010, hlm. 48 –dan seterusnya. akhirnya akan melanggar atau mengabaikan hak-hak rakyat. Padahal, rakyat itu sendiri adalah pemegang kekuasaan yang tertinggi dalam negara Republik Indonesia. D.Pokok-Pokok Dalam Pendirian Politik Hukum Nasional Berkenaan Dengan Hakim Pemeriksa Pendahuluan Sebagai Suatu Jabatan Ketatanegaraan Makna dari asas-asas hukum yang dikemukakan di atas merupakan pokokpokok pendirian (prinsip) yang berfungsi sebagai pedoman dalam merumuskan suatu kebijakan hukum nasional dalam rangka pembaharuan hukum acara pidana pada umumnya dan pembentukan dan pengaturan jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam KUHAP masa depan. Dengan perkataan lain, pokok-pokok pendirian yang terkandung dalam makna asas-asas hukum yang dikemukakan di atas seharusnya menjadi pedoman atau penuntun dalam menetapkan suatu garis kebijakan hukum nasional (politik hukum nasional) dalam rangka pembaharuan hukum acara pidana nasional termasuk dalam hal melakukan pengaturan terhadap berbagai hal yang berkenaan dengan jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Dengan demikian, pokok-pokok pendirian yang terkandung dalam asas-asas hukum yang dikemukakan di atas menjadi dasar untuk menetapkan suatu kebijakan pembaharuan hukum acara pidana nasional. Dengan berdasarkan dan atau berpedoman pada garis kebijakan hukum nasional (politik hukum nasional) yang ditetapkan berdasarkan asas-asas hukum yang dikemukakan di atas dilakukanlah pengaturan terhadap jabatan baru yang disebut sebagai Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Oleh karena itu, berarti bahwa keberadaan jabatan baru Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam KUHAP masa depan harus diuji terhadap prinsipprinsip yang melandasasi garis kebijakan hukum nasional (politik hukum nasional) dalam rangka pembaharuan hukum acara pidana termasuk pengaturan jabatan baru seperti Hakim Pemeriksa Pendahuluan tersebut. Sesuai dengan atau bertitik tolak dari pokok-pokok pendirian yang dikemukakan di atas dapat dikemukakan pandangan dan sikap mengenai kehadiran Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam rangka Pembaharuan Hukum Acara Pidana sebagaimana dimaksud di atas. Pada prinsipnya, Tim Penulis dapat menerima keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam KUHAP masa depan dengan catatan-catatan sebagai berikut. Pertama, keberadan Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai suatu jabatan dalam sistem Hukum Acara Pidana masa depan dapat diterima sepanjang keberadaan jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan tersebut dapat ditempatkan dalam perspektif Asas Negara Hukum yang intinya adalah supremasi hukum. Dari perspektif asas negara hukum, kewenangan yang dimiliki oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai jabatan baru dalam KUHAP masa depan harus ditundukkan kepada hukum. Dengan demikian, pengaturan kewenangan jabatan baru Hakim Pemeriksa Pendahuluam tersebut harus secara sedemikian rupa dan dilakukan secara ketat sehingga dapat memperkecil peluang penyalahgunaan kekuasaan atau kesewenang-wenangan. Jangan sampai jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan malah disalahgunakan untuk mencapai kepentingan-kepentingan tertentu. Kedua, keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam sistem Hukum Acara Pidana masa depan dapat diterima sepanjang keberadaan jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan tersebut dapat ditempatkan dalam perspektif Asas Demokrasi. Dari perspektif asas demokrasi tersebut, Hakim Pemeriksa Pendahuluan harus menjadi pengayom hak-hak rakyat. Hakim Pemeriksa Pendahuluan harus melindungi hak hak rakyat dan berupaya mencegah jangan sampai hak-hak rakyat diabaikan atau dilanggar oleh penegak hukum yang lain. Dengan perkataan lain, pemberian kewenangan kepada jabatan baru yang disebut sebagai Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam sistem hukum acara pidana masa depan harus berpihak kepada kepentingan rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Dengan demikian, kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan harus diatur secara detail untuk mencegah potensi penyalahgunaan kewenangan yang berpotensi melanggar atau mengabaikan hak-hak rakyat sebagai pemegang kedaulatan politis. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan adalah dalam rangka mengawal hak-hak rakyat sebagai pemegang kedaulatan politis. Ketiga, keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam sistem Hukum Acara Pidana masa depan dapat diterima sepanjang diposisikan dalam perspektif asas pembatasan kekuasaan atau pembatasan kewenangan. Kewenangan jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan harus diatur dan dibatasi secara baik. Pengaturan kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan harus secara detail dan rinci supaya tidak membuka peluang menjadi jabatan yang sewenang-wenang. Pemberian kiewenangan diskresi yang bersifat subjektif kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan harus sedapat mungkin dihindari karena pengalaman menunjukkan bahwa para penegak hukum yang memegang kewenangan diskresi subjektif sering menyalahgunakan kewenangannya dengan akibat pelanggaran terhadap hak-hak rakyart. Dengan perkataan lain, pemberian kewenangan diskresi yang bersifat objektif kepada jabatan-jabatan termasuk Hakim Pemeriksa Pendahuluan lebih tepat daripada diskresi subjektif untuk menutup peluang kemungkinan penyalahgunaan kewenangan. E.Penutup Demikian pandangan Tim Penulis dari Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta yang dapat disampaikan sebagai sumbasih pemikiran dalam rangka Pembaharuan Hukum Acara Pidana dalam konteks jabatan baru yang disebut sebagai Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Atas segala kekurangan dan kelemahannya mohon dimaafkan. Terima kasih. PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN WAKILNYA MERUJUK PANCASILA DAN UUD 1 Abstract Normativisasi process (positivisasi) values into legal norms called legal establishment. Establishment of law made ruler (state) with reference to the ideal values in the destination country mixed with real factors such as the development of society, technology, international development, and so on. Therefore, the process of establishing the rule of law is a real concrete cultural processes because the law is man’s work that reflects your taste, reason and human initiative. Keywords: Positivism, impeachment, constitution Abstrak Proses normativisasi (positivisasi) nilai ke dalam norma-norma hukum yang disebut pembentukan hukum. Pembentukan hukum dibuat oleh penguasa (negara) dengan mengacu pada nilai-nilai ideal yang menjadi tujuan suatu negara, dan dipengaruhi oleh faktor-faktor riil seperti perkembangan masyarakat, teknologi, pembangunan internasional, dan sebagainya. Oleh karena itu, proses pembentukan aturan hukum adalah proses budaya nyata karena hukum adalah karya manusia yang mencerminkan rasa manusia, alasan dan inisiatif manusia. Kata Kunci : Positvisme, impeachment, konstitusi A. Pendahuluan Kehadiran norma hukum dalam kenyataan sesungguhnya menampilkan aneka ragam wajah (multi dimensi) sehingga dapat didekati dari berbagai perspektif. Dari perspektif filosofis, hukum hadir sebagai tatanan norma yang mengandung nilai-nilai keadilan yang didambakan umat manusia. Dari perspektif yuridis, hukum hadir sebagai tatanan norma yang ditetapkan oleh penguasa (negara) yang jika dilanggar dikenai hukuman oleh negara. Dari perspektif sosiologis, hukum hadir sebagai tatanan norma yang berfungsi sebagai instrumen sosial untuk mengatur tingkah laku tiap individu sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing dalam kehidupan bersama manusia.2 Dalam dimensi filosofis (das sollen), hukum mengandung nilai-nilai keadilan yang hendak direalisasikan dalam kehidupan manusia. Keadilan sebagai nilai-nilai ideal yang bersifat abstrak dan umum tidak serta merta dapat menuntun perilaku manusia. Akan tetapi, harus melalui proses normativisasi (positivisasi) menjadi peraturan hukum konkrit dalam bentuk UUD, UU, putusan hakim dan sebagainya. Setelah itu, norma-norma hukum baru dapat menyentuh dunia realitas untuk mengatur perilaku manusia dengan cara menetapkan hak dan kewajiban setiap individu dalam hal tertentu supaya tujuan hidup berbangsa dan bernegara sebagai cita-cita bersama dapat diraih. Proses normativisasi (positivisasi) nilai-nilai menjadi norma-norma hukum disebut pembentukan hukum. Pembentukan hukum dilakukan penguasa (negara) dengan mengacu pada nilai-nilai ideal dalam tujuan negara yang diramu dengan faktor-faktor nyata seperti perkembangan masyarakat, teknologi, perkembangan dunia internasional dan sebagainya. Oleh karena itu, proses pembentukan peraturan hukum konkrit sesungguhnya merupakan proses budaya (kultur) karena hukum adalah karya manusia yang mencerminkan cipta rasa, akal budi dan karsa manusia. Peraturan hukum konkrit sebagai produk budaya (kultuur) menjadi jembatan yang menghubungkan dunia cita-cita (das sollen) dengan dunia realitas (das sein). Oleh karena itu, keberadaan hukum dalam dunia realitas sekaligus menghadirkan momen das sollen (nilai-nilai keadilan), das kultuur (nilai-nilai kepastian hukum) dan das sein (nilai-nilai kemanfaatan hukum) secara serentak. 1 Judul asli artikel ini adalah Pemberhentian Presiden/Wakil Presiden Pada Masa Jabatan Oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaaan Indonesia. Namun judul diubah semata-mata guna kepentingan pembuatan buku ini tanpa mengurangi isi kandungan yang ada. Dipublikasikan pada Jurnal Staatrechts FH UTA ’45 Jakarta, Vol. 1 No. 1 Tahun 2014 2 Bandingkan dengan Meuwissen, Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum (terjemahan B. Arief Sidharta), Bandung, 2007, hlm. 35-37. Akan tetapi, penampilan dimensi-dimensi hukum dalam realitas tidak selalu ideal yakni mengedepankan nilai-nilai keadilan. Dalam praktik, momen kemanfaatan atau kepastian hukum dapat lebih menonjol karena pengaruh berbagai faktor ekstra yudisial seperti kepentingan atau kekuasaan dalam kehadiran norma-norma hukum dalam kenyataan. Sebagai jembatan penghubung dunia cita-cita (das sollen) dengan dunia realitas (das sein), dinamika kehidupan masyarakat berpengaruh secara langsung terhadap keberadaan tatanan norma-norma hukum. Moh. Koesno mengemukakan sebagai berikut “Hukum memperhatikan segala perubahan-perubahan di dalam sesuatu masyarakat yang diaturnya. Dari itu, perubahan suatu keseimbangan di dalam sesuatu masyarakat dapat membawa kepada adanya perubahan di dalam dunia hukum.”3 Dengan cara yang berbeda meskipun dengan pengertian yang sama, Jan Gijssels dan Mark van Hoecke mengemukakan pengaruh dinamika masyarakat terhadap tatanan norma-norma hukum sebagai berikut “. . . hukum . . . memperoleh dorongan pertumbuhannya (groei stimulus) dari luar hukum. Faktorfaktor ekstra-yuridikal memelihara proses pertumbuhan dinamikal berlangsung terus.”4 Akibat perubahan masyarakat terhadap tatanan norma-norma hukum terjadi dalam berbagai tingkatan yang berbeda. Menurut Moh. Koesno, dinamika perubahan masyarakat menimbulkan akibat yang berbeda-beda terhadap keberadaan tatanan hukum.5 Dinamika masyarakat dapat mengubah seperangkat kaidah hukum positif atau lembaga hukum tertentu; mengubah asas-asas hukum dalam suatu rezim hukum atau mengubah kehidupan hukum secara keseluruhan jika menyentuh cita-cita hukum sebagai bagian terdalam dari hukum. Perubahan yang menyentuh alam cita hukum mengandung arti sebagai perubahan dalam 3 Moh. Koesnoe, Hukum dan Perubahan Perhubungan Kemasyarakatan, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1967, hlm. 7. 4 Jan Gijssel dan Mark van Hocke, Apakah Teori Hukum itu? (Terjemahan B. Arief Sidharta), Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, 2009, hlm. 13. 5 Moh. Koesnoe, op. cit., hlm. 9. penilaian terhadap kejadian-kejadian nyata dalam masyarakat yang harus ditertibkan oleh hukum.6 Dalam konteks kehidupan bernegara, dinamika masyarakat dapat mengubah tatanan norma-norma hukum dasar yang disebut konstitusi. Menurut Hans Kelsen konstitusi adalah “. . . the highest level within national law.”7 Sebagai demikian, konstitusi mengatur berbagai hal penting mengenai struktur organisasi negara, hak-hak warga negara ataupun hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu, perubahan konstitusi selalu mengandung arti sebagai perubahan cara pandang yang bersifat mendasar tentang berbagai aspek kehidupan bernegara dan dalam skala yang luas baik pada masa kini maupun pada masa datang. Hal itu membuat perubahan konstitusi harus dilakukan dengan hati-hati, cermat, teliti dengan pertimbangan matang. Perubahan konstitusi juga harus dapat mengantisipasi perkembangan zaman sehingga harus bersifat visioner dan bukan demi tujuan sesaat karena kepentingan sekelompok anggota masyarakat. Dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara (dinamika masyarakat) yang mengakibatkan perubahan Undang-undang dasar 1945 sebagai landasan konstitusional Negara Republik Indonesia terjadi sejak masa proklamasi kemerdekaan. Perubahan konstitusi pada masa lalu dilakukan berdasarkan konvensi (praktik ketatanegaraan) semata-mata. Perubahan formal UUD 1945 yang pertama terjadi tahun 1999-2002 sebagai akibat dinamika masyarakat yang disebut gerakan reformasi tahun 1998. Amandemen UUD 1945 tahun 1999-2002 mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia yang mendasar. Perubahan UUD 1945 tahun 1999-2002 berkenaan dengan 2 (dua) aspek kehidupan bernegara. Pertama, berkaitan dengan hak-hak warga negara dan hak-hak asasi manusia. Kedua, berkaitan dengan berbagai aspek organisasi negara seperti sistem distribusi kekuasaan, sistem pemerintahan, tugas dan wewenang lembaga negara, hubungan lembaga negara, sistem pengisian lembaga-lembaga negara, pembatasan masa jabatan dan sistem pemberhentian pejabat negara dan sebagainya. 6 7 Ibid. Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York, 1961, hlm. 124. Penelitian ini tidak dimaksudkan unbtuk meneliti berbagai aspek yang disebut di atas. Fokus penelitian ini tertuju pada aspek tugas dan wewenang lembaga negara serta hubungan lembaga-lembaga negara. Secara lebih khusus, penelitian ini berkaitan dengan tugas dan wewenang serta hubungan fungsional antara DPR, MK, MPR dalam konteks sistem pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pada masa jabatan. Perubahan UUD 1945 tahun 1999-2002 menghasilkan beberapa aspek keorganisasian negara yang lebih baik seperti pembatasan masa jabatan Presiden dan pembentukan lembaga negara baru DPD dan MK. Akan tetapi, perubahan UUD 1945 ternyata memiliki beberapa kelemahan baik secara konseptual, sistem maupun teknis. Hal itu terjadi karena perubahan UUD 1945 dilakukan dengan tergesa-gesa dan tidak direncanakan dengan baik.8 Proses amandemen yang tergesa-gesa mengakibatkan UUD 1945 pascaamandemen mengandung berbagai permasalahan ketatanegaraan. Salah satu permasalahan UUD 1945 pascaamandemen tahun 1999-2002 berkenaan dengan pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pada masa jabatan. Problematika yang terkait dengan masalah pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pada masa jabatan tersebut dapat diketahui dari uraian di bawah ini. Dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan disebutkan “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Konstruksi kedaulatan rakyat yang demikian menempatkan MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Sebagai konsekuensinya, MPR diposisikan sebagai lembaga-tertinggi negara sedangkan DPR, Presiden, DPA, BPK dan MA lembaga-tinggi negara yang tidak sederajat dengan MPR. Dalam sistem keorganisasian negara seperti disebut di atas, kekuasaan negara dalam sistem UUD 1945 sebelum amandemen adalah sistem pembagian kekuasaan. Dalam kedudukan sebagai lembaga-tertinggi negara, relasi MPR dengan Presiden berbeda derajat. MPR lebih tinggi daripada Presiden. Presiden tunduk dan 8 Bagir Manan, Pembaharuan UUD 1945, Makalah yang disajikan pada Seminar Hukum Nasional VII, Jakarta, 1999, hlm. 10. bertanggungjawab kepada MPR. Hubungan fungsional demikian memiliki konsekuensi logis terhadap mekanisme pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pada masa jabatan. MPR adalah lembaga tunggal yang menentukan nasib Presiden. Dengan perkataan lain, “nasib” Presiden ditentukan semata-mata oleh MPR. Secara konkrit, kedudukan Presiden semata-mata bergantung pada dinamika kekuatan politik dominan di MPR. Sebagai akibatnya, Presiden dapat diberhentikan sewaktu-waktu pada masa jabatannya karena konstelasi dinamika politik di MPR. Sebagai contoh, Presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan pada masa jabatan karena dinamika kekuatan politik dominan di MPR menghendaki demikian.9 Demikian pula Soekarno diberhentikan pada masa jabatan karena dinamika kekuatan politik dominan di internal MPR yang disebut Orde Baru. Mekanisme pemberhentian Presiden sebelum amandemen UUD 1945 seperti diuraikan di atas adalah bersifat sederhana. Namun, justru kesederhanaan itu yang menjadi kelemahan UUD 1945. Presiden/Wakil Presiden dapat diberhentikan MPR sewaktu-waktu karena konstelasi dan dinamika politik di internal MPR. Mekanisme pemberhentian Presiden/Wakil Presiden seperti itu dapat menimbulkan ketidakstabilan pemerintahan yang berdampak terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis dan konstitusional. Sebagai contoh, kasus Soekarno dan Abdurrahman Wahid yang diberhentikan pada masa jabatan hanya karena alasan-alasan politis yang tidak jelas dan tidak diatur dalam UUD 1945. Pada saat amandemen UUD 1945 tahun 1999-2002, salah satu tujuan yang hendak dicapai adalah untuk membentuk pemerintahan yang stabil. Untuk itu, dibentuk sistem pemerintahan Presidensil yang kuat yang dapat menghasilkan sistem pemerintahan yang stabil sesuai dengan prinsip fixed executive system. Dalam rangka mewujudkan sistem pemerintahan Presidensil yang kuat, konstruksi kedaulatan rakyat berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen diubah. Perubahan konstruksi kedaulatan rakyat dilakukan pada Amandemen Ketiga UUD 1945. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Amandemen Ketiga menyebutkan 9 Kunthi Dyah Wardani, Impeachment dalam Ketatanegaraan Indonesia, Yogjakarta, 2007, hlm. 10. “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar.” Pascaamandemen ketiga UUD 1945, konstruksi kedaulatan rakyat berubah secara prinsipil. Menurut Hendra Nurtjahyo, ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 perubahan ketiga mengandung arti kekuasaan negara diselenggarakan menurut ketentuan konstitusi.10 Dalam perspektif kedaulatan rakyat menurut ketentuan konstitusi, semua lembaga negara berkedudukan sama sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Dalam konstruksi kedaulatan rakyat di atas, rakyat berkedudukan sebagai pemegang kedaulatan politik. MPR, DPR, DPD dan Presiden merupakan pemegang kedaulatan hukum dalam konteks kewenangan masing-masing. MPR pemegang kedaulatan hukum dalam pembentukan dan perubahan UUD 1945. Presiden, DPR dan DPD pemegang kedaulatan hukum dalam pembentukan undang-undang. Konstruksi kedaulatan rakyat seperti disebut di atas jelas berbeda dari konstruksi kedaulatan rakyat menurut UUD 1945 sebelum perubahan. Sebagai konsekuensi perubahan yang dikemukakan di atas, relasi lembaga negara MPR dengan Presiden, DPR, MA, MK, BPK dengan demikian juga ikut berubah. Perubahan konstruksi kedaulatan rakyat juga mengubah sistem pendistribusian kekuasaan negara. Sistem pembagian kekuasaan UUD 1945 sebelum amandemen ditinggalkan dan beralih kepada sistem pemisahan kekuasaan. Jimly Asshidiqqie mengemukakan bahwa pascaamandemen UUD 1945, negara Republik Indonesia menganut sistem pemisahan kekuasaan dan bukan pembagian kekuasaan.10 Perubahan sistem distribusi kekuasaan seperti itu mengandung konsekuensi terhadap kedudukan, kewenangan dan hubungan fungsional lembaga-lembaga negara. Hubungan fungsional DPR, MK, MPR dan Presiden berubah. Perubahan tersebut berakibat terhadap mekanisme pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pada masa jabatan. Pascaamandemen UUD 1945, mekanisme pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pada masa jabatan melibatkan beberapa lembaga negara yakni DPR, MK dan MPR. 10 Hendra Nurtjahyo, Filsafat Demokrasi, Jakarta, 2005, hlm. 19. Jimly Asshidiqqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Yogjakarta, 2004, hlm. 11. 11 Mekanisme pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pascaamandemen UUD 1945 dibuat lebih sulit untuk memberikan jaminan masa jabatan yang lebih pasti supaya dapat dihasilkan sistem pemerintahan Presidensil yang kuat dan stabil. Seandainya pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pada masa jabatan dapat dilakukan sewaktu-waktu seperti pada zaman Soekarno dan Abdurrachman Wahid dapat terjadi gangguan terhadap kestabilan pemerintahan sehingga dapat menimbulkan hal-hal negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemerintah yang tidak stabil mustahil dapat menyelenggarakan tugas-tugasnya dengan baik untuk mewujudkan negara hukum yang sejahtera dan demokratis yang dicitacitakan oleh bangsa Indonesia. Kemungkinan seperti dikemukakan di atas harus dicegah sehingga pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pada masa jabatan sedapat mungkin harus dihindarkan. Pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pada masa jabatan harus dipandang sebagai proses yang dilakukan hanya dalam keadaan luar biasa. Dengan perkataan lain, pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pada masa jabatan harus berdasarkan alasan-alasan yang diatur dalam UUD 1945. Mekanisme pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pada masa jabatan dimulai dari dakwaan DPR bahwa Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela atau karena tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal itu diatur dalam Pasal 7A UUD 1945 perubahan ketiga yang menyebutkan: “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.” Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diajukan DPR kepada MPR. Akan tetapi, DPR terlebih dahulu harus mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk “memeriksa, mengadili dan memutus” usulan pemberhentian tersebut. Hal itu diatur dalam Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 perubahan ketiga yang menyebutkan: “Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau pendapat bahwa Presiden/Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.” Pendapat DPR mengenai Presiden/Wakil Presiden yang diduga melakukan pelanggaran hukum, perbuatan tercela atau berada dalam keadaan seperti diatur Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 terkait dengan fungsi pengawasan DPR. Pasal 7B ayat (2) UUD 1945 menyebutkan “Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden/Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden adalah dalam rangka fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.” Pengajuan permintaan DPR kepada MK untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR mengenai pelanggaran hukum, perbuatan tercela atau keadaan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden seperti diatur dalam Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 perubahan ketiga dapat dilakukan dalam Sidang Paripurna DPR. Sidang Paripurna DPR harus dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 (dua per tiga) jumlah anggota DPR. Dengan perkataan lain, Sidang paripurna DPR dinggap memenuhi korum jika dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) jumlah anggota DPR. Pengajuan permintaan DPR kepada MK harus disetujui oleh 2/3 (dua per tiga) anggota DPR yang hadir. Pasal 7B ayat (3) UUD 1945 perubahan ketiga menyebutkan “Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.” Dengan perkataan lain, permintaan DPR kepada MK untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR mengenai pelanggaran hukum, perbuatan tercela atau keadaan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden harus didukung oleh 4/9 (empat per sembilan) dari 560 (lima ratus enam puluh) orang jumlah anggota DPR. Mahkamah Konstitusi Presiden/Wakil Presiden yang menerima usulan pemberhentian wajib memeriksa, mengadili dan memutus pendapat (tuduhan) tersebut dalam tempo paling lambat 90 (sembilan puluh) hari. Hal itu diatur dalam Pasal 7B ayat (4) UUD 1945 perubahan ketiga yang menyebutkan “Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili dan memutus dengan seadiladilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.” Setelah MK menerima dari DPR dakwaan terhadap Presiden/Wakil Presiden berkaitan dengan hal-hal yang diatur dalam Pasal 7A UUD 1945) perubahan ketiga, MK akan mengadakan persidangan.12 Ada 2 (dua) macam kemungkinan keputusan MK mengenai tuduhan DPR terhadap Presiden/Wakil Presiden. Pertama, MK memutuskan bahwa tuduhan DPR terhadap Presiden/Wakil Presiden tidak terbukti. Dalam hal demikian, tuduhan harus dianggap gugur sehingga kasus dianggap sudah selesai. Kedua, MK memutuskan bahwa tuduhan DPR terhadap Presiden/Wakil Presiden terbukti sehingga kasus harus dilanjutkan ke MPR. Dalam hal tuduhan yang dinyatakan terbukti itu berkaitan dengan konteks pidana berarti aspek pidana yang terkait dapat diproses lebih lanjut. Dalam hal kasus sampai ke tangan MPR berarti nasib Presiden/Wakil Presiden ditentukan oleh MPR. Pasal 7B ayat (5) UUD 1945 perubahan ketiga menyebutkan: “Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil 12 Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa Sidang MK dapat dibandingkan dengan forum previlegiatum dalam Konstitusi RIS 1949. pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau pendapat bahwa Presiden/Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Setelah menerima usul pemberhentian Presiden/Wakil Presiden dari DPR, MPR harus melaksanakan sidang untuk menentukan nasib usul DPR mengenai pemberhentian Presiden paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak usul diterima. Pasal 7B ayat (6) UUD 1945 perubahan ketiga menyebutkan “Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.” Sidang MPR untuk mengambil keputusan menerima atau menolak usulan DPR harus memenuhi syarat keabsahan persidangan dan pengambilan keputusan. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 7B ayat (7) UUD 1945 perubahan ketiga yang menyebutkan: “Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Menurut penulis, pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pada masa jabatan masih mengandung potensi yang dapat melahirkan problema ketatanegaraan yang berdampak luas terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Gambaran problematika ketatanegaraan yang terkait dengan pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pada masa jabatan tersebut dapat diketahui dari uraian berikut ini. Ada 2 (dua) kemungkinan yang akan dilakukan MPR berkenaan dengan usulan DPR untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden. Pertama, MPR dapat memberhentikan Presiden/Wakil Presiden sesuai dengan keputusan MK. Jika MPR memberhentikan Presiden/Wakil Presiden sesuai dengan keputusan MK, Presiden/Wakil Presiden akan berhenti pada masa jabatan sesuai dengan keputusan tersebut. Pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pada masa jabatan tersebut tidak menimbulkan problematik hukum ketatanegaraan. Jika pemberhentian Presiden/Wakil Presiden karena dakwaan atas pelanggaran hukum, aspek pidana kasus pelanggaran hukum yang didakwakan DPR terhadap Presiden/Wakil Presiden harus diproses secara hukum. Kedua, MPR menolak memberhentikan Presiden/Wakil Presiden meskipun MK memutuskan bahwa Presiden/Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden. Jika MPR tidak memberhentikan Presiden/Wakil Presiden yang sudah dinyatakan MK melakukan pelanggaraan hukum, perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat berarti MPR menganulir (mengabaikan) keputusan MK. Keputusan MPR tersebut jelas menimbulkan masalah bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Presiden/Wakil Presiden yang bermasalah tersebut dapat tetap menjalankan tugas dan wewenangnya tetapi bermasalah secara hukum dan moral. Suatu saat, keadaan seperti itu mungkin saja terjadi Namun, kemungkinan itu sama sekali tidak diantisipasi MPR pada waktu mengamandemen UUD 1945 sehingga terjadi kekosongan norma (normvacuum) berkenaan dengan hal tersebut. Kekosongan norma tersebut tentu saja akan menimbulkan problema ketatanegaraan. Jika bertitik tolak dari uraian di atas, mekanisme pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pada masa jabatan seperti diatur dalam Pasal 7A UUD 1945 Perubahan Ketiga masih mengandung masalah yang perlu diteliti. Untuk meneliti hal tersebut, penulis bertitik tolak dari perspektif asas-asas negara hukum demokratis, asas (sistem) konstitusional dan asas (sistem) pemisahan kekuasaan. Sesuai dengan uraian yang dikemukakan di atas, ada beberapa masalah hukum (issu hukum) yang perlu diteliti dan dicari jawabannya. Masalah-masalah hukum (issu hukum) tersebut ditetapkan sebagai masalah penelitian seperti dipaparkan pada bagian identifikasi masalah. Oleh karena itu, bertitik tolak dari uraikan yang dipaparkan di atas, penulis tertarik untuk melakukan suatu penelitian hukum dengan judul “Pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden pada Masa Jabatan dalam Perspektif Sistem Ketatanegaraan Indonesia.” Sesuai dengan uraian di atas, penulis dapat merumuskan 2 (dua) masalah penelitian yang perlu dijawab. Kedua masalah penelitian tersebut adalah sebagai berikut: 1. Apakah putusan MK yang memvonis Presiden/Wakil Presiden telah terbukti melakukan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/ Wakil Presiden memiliki kekuatan mengikat terhadap MPR? 2. Apa makna dan konsekuensi yuridis keputusan MPR yang menganulir keputusan MK terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia yang berpedoman pada asas negara hukum demokratis, asas konstitusional dan asas pemisahan kekuasaan? B. Metode Penelitian Sebagai suatu karya ilmiah, penelitian ini bertujuan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Sudah barang tentu, tujuan tersebut berkaitan dengan pokok permasalahan yang perlu dicari jawabannya. Oleh sebab itu, tujuan penelitian ini, sesuai dengan pokok permasalahan yang dikemukakan di atas adalah untuk meneliti dan mengkaji: 1. Putusan MK yang memvonis Presiden/Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/ Wakil Presiden dalam kerangka sistem ketatanegaraan Indonesia yang berpedoman pada asas negara hukum demokratis, asas (sistem) konstitusional dan asas (sistem) pemisahan kekuasaan mengikat MPR. 2. Makna dan konsekuensi yuridis keputusan MPR yang menganulir keputusan MK yang memvonis Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/ Wakil Presiden dalam kerangka sistem ketatanegaraan Indonesia yang berpedoman pada asas negara hukum demokratis, sistem konstitusional dan sistem pemisahan kekuasaan. Sebagai karya ilmiah, penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan suatu kegunaan atau manfaat tertentu. Kegunaan hasil penelitian ini dapat dipandang dari 2 (dua) macam perspektif yang satu sama lain berbeda tetapi saling berkaitan. Kedua macam perspektif tersebut adalah sudut pandang teoretis dan praktis. Jika ditinjau dari sudut pandang teoretis, penelitian ini memiliki manfaat atau kegunaan teoretis yang bersifat umum maupun bersifat khusus. Secara umum, hasil penelitian bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan bahan kepustakaan Hukum Tata Negara. Secara khusus, hasil penelitian bermanfaat menambah pengetahuan dan kepustakaan mengenai impeachment sebagai lembaga ketatanegaraan dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia yang berpedoman pada asas negara hukum demokratis, asas (sistem) konstitusional dan asas (system) pemisahan kekuasaan. Jika ditinjau dari perspektif praktik ketatanegaraan, hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi problema ketatanegaraan yang berdampak luas terhadap sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemungkinan terjadi problema ketatanegaraan tersebut terbuka lebar jika MPR menganulir keputusan MK untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden yang sudah divonis oleh MK terbukti melakukan pelanggaran hukum, perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden seperti diatur dalam Pasal 7A UUD 1945. Sebelum masalah ketatanegaraan yang dikemukakan di atas terjadi pada masa yang akan datang, bangsa Indonesia perlu melakukan langkah-langkah antisipasi penanggulangannya. Penelitian ilmiah ini bertujuan untuk mencari alternatif pencegahan dampak yang mungkin terjadi dan yang tidak dikehendaki bersama. Dalam konteks sebagaimana dkemukakan di atas, hasil penelitian ini dapat dipakai MPR sebagai bahan pertimbangan untuk mengamandemen kembali UUD 1945 dalam rangka melengkapi ketentuan mengenai mekanisme dan proses pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pada masa jabatan supaya tidak terjadi konsekuensi-konsekuensi yang menimbulkan masalah ketatanegaraan seperti dikemukakan di atas. Permasalahan yang dikemukakan di atas harus dijawab dan untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan data. Untuk memperoleh data yang relevan harus dipergunakan suatu metode penelitian tertentu. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dipergunakan suatu metode penelitian yang disebut metode penelitian yuridis-normatif. Metode penelitian yuridis-normatif adalah metode penelitian yang mengkaji data sekunder (data yang sudah didokumentasikan). Data penelitian disebut bahan-bahan hukum. Bahan-bahan hukum terdiri atas (a) bahan hukum primer, (b) bahan hukum sekunder dan (c) bahan hukum tersier. Bahan hukum primer meliputi segenap norma-norma hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum konkrit seperti UUD 1945, undang-undang dan keputusan Mahkamah Konstitusi. Bahan hukum sekunder meliputi buku-buku, jurnal hukum, hasil penelitian hukum, tesis, disertasi dan sebagainya. Kedua bahan hukum tersebut dapat dilengkapi dengan bahan hukum tersier seperti kamus hukum maupun ensiklopedia hukum. Bahan-bahan hukum tersebut di atas dapat dikumpulkan atau dihimpun dengan melakukan studi pustaka (library research). Studi kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum yang tersedia atau terdapat di berbagai sumber bahan-bahan hukum seperti perpustakaan. Studi kepustakaan juga dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan hukum dengan cara penelusuran bahan-bahan hukum melalui internet. Bahan-bahan hukum tersebut dihimpun, diklasifikasi, ditafsirkan dan kemudian disistematisasi. Untuk keperluan tersebut berbagai metode penafsiran dipergunakan seperti metode penafsiran gramatika, metode penafsiran historis, teleologis, sistematis, futuristik dan hermeneutik. C. Hasil Penelitian Dan Pembahasan 1. Teori (Asas) Negara Hukum Asas negara hukum sudah dikenal sejak zaman Yunani Kuno sehingga usianya sudah sangat tua dan telah menempuh perjalanan sejarah yang sangat panjang. Gagasan, ide, konsep atau asas negara hukum dikatakan sudah sangat tua karena Plato dan Aristoteles ahli filsafat berkebangsaan Yunani sudah membicarakan asas negara hukum dalam karyanya.13 Dalam pandangan Plato, kekuasaan harus dibatasi supaya tidak disalahgunakan penguasa. Ide Plato tentang pembatasan kekuasaan bersendikan pada moralitas penguasa yang baik dan terpuji serta penguasaan ilmu pengetahuan terutama ilmu pengetahuan pemerintahan.14 Plato berpandangan, kekuasaan dapat dikendalikan jika penguasa memiliki moralitas yang baik, arif dan bijaksana. Ide, konsep atau asas negara hukum Plato dapat dikatakan sebagai ide negara hukum yang berdimensi moralitas. Aristoteles juga berpandangan bahwa kekuasaan harus dibatasi supaya tidak disalahgunakan penguasa. Namun, ide Aristoteles mengenai instrumen pembatasan kekuasaan berbeda dari Plato. Aristoteles tidak berpedoman kepada moralitas seperti dikemukakan Plato. Ide, konsep atau asas negara hukum Aristoteles bersendikan pada konsepsi politea atau negara berdasarkan konstitusi.15 Ide pembatasan kekuasaan Aristoteles adalah ide, konsep atau asas negara hukum yang berdimensi yuridis.16 Ide negara hukum (cita negara hukum) untuk beberapa lama dilupakan orang dan baru pada Abad XVII timbul kembali di Barat.17 Kelahiran kembali ide atau cita negara hukum di Barat merupakan reaksi terhadap kekuasaan absolut penguasa (raja) yang sewenang-wenang. Kondisi seperti itu sama seperti keadaan atau situasi kelahiran ide atau cita negara hukum pada masa Plato dan Aristoteles zaman Yunani Kuno.18 Di Eropa Barat, ide atau citra negara hukum mengejawantah dalam 2 (dua) macam konsepsi. Pertama, citra negara hukum berdasarkan konsepsi Rule of Law di negara-negara dengan sistem hukum Common Law seperti Inggris. Kedua, citra negara hukum berdasarkan konsepsi Rechtsstaat di negara-negara dengan sistem hukum Civil Law seperti Belanda, Perancis dan Indonesia. Citra negara hukum 13 Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, Jakarta, 2010, hlm. 10-19. 14 Ibid., hlm. 13. 15 Ibid. 16 J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Agustinus, Machiavelli (Jakarta, 2001), hlm. 185. 17 Azhary, Negara Hukum Indonesia, Jakarta, 1995, hlm.21. 18 Ibid. konsepsi Rule of Law dan Civil Law memiliki perbedaan semangat yang mendasar. Namun, ide negara hukum Eropa Barat memiliki tujuan yang sama dengan ide negara hukum berdasarkan konsepsi Rule of Law yakni bertujuan membatasi kekuasaan untuk mencegah kesewenang-wenangan. Namun, ide atau citra negara hukum yang dibicarakan dalam penelitian ini adalah negara hukum berdasatkan konsepsi Rechtsstaat dengan alasan karena konsepsi tersebut memiliki persamaan dengan konsepsi negara hukum yang berkembang di Indonesia. Formula yang ditawarkan negara hukum berdasarkan konsepsi Rechtsstaat yang berkembang di negara-negara Eropa Barat untuk membatasi kekuasaan adalah berlandaskan pada prinsip-prinsip ideal yang seyogyanya dijalankan suatu negara seperti perlindungan hak asasi manusia, pemisahan kekuasaan dan sebagainya. Hakikat negara hukum berdasarkan prinsip-prinsip ideal yang dikemukakan di atas adalah pembatasan kekuasaan negara (penguasa) dengan bersaranakan hukum. Jika ditinjau dari perspektif perkembangan ide pembatasan kekuasaan, ide negara hukum berdasarkan konsepsi Rechtsstaat Eropa dapat dibagi dalam 4 (empat) fase yaitu (a) Negara Hukum Liberal atau Klasik (menurut Immanuel Kant), (b) Negara Hukum Formal (menurut Julius Stahl) dan (c) Negara Hukum Abad XX atau negara hukum kesejahteraan yang demokratis. Perbedaan ide pembatasan kekuasaan dalam perspektif ketiga konsepsi negara hukum di atas bersifat gradual semata-mata. Negara hukum Immanuel Kant juga disebut dengan istilah yakni Negara Hukum Liberal/Klasik. Konsepsi Negara Hukum Liberal/Klasik lahir sebagai reaksi terhadap praktik negara polisi (Polizei Staat).19 Negara Polisi menyelenggarakan ketertiban dan keamanan serta menyelenggarakan semua kebutuhan hidup warga tanpa melibatkan rakyat. Dalam pandangan Hans Nawiasky, polizei terdiri atas 2 (dua) macam hal yaitu (a) Sicherheit Polizei yang berfungsi sebagai penjaga tata tertib dan keamanan dan (b) Verwaltung Polizei atau Wohlfart Polizei yang berfungsi sebagai penyelenggara perekonomian atau penyelenggara semua kebutuhan hidup warganya.20 19 20 Azhary, op. cit., hlm. 44. Ibid. Secara konseptual, ide negara polisi adalah ide yang baik. Namun, ide dengan praktik jauh panggang dari api. Dalam praktik yang terjadi adalah kesewenang-wenangan penguasa. Sebagai contoh, pemerintahan Louis XIV dari Perancis yang sewenang-wenang sehingga menyebabkan Revolusi Perancis tahun 1789.21 Secara akademik atau teoretis, kesewenang-wenangan terjadi karena konsepsi Negara Polisi memiliki kelemahan yaitu tidak memiliki mekanisme untuk membatasi kekuasaan penguasa. Golongan rakyat yang menentang kesewenang-wenangan penguasa adalah golongan borjuis-liberal. Golongan ini menentang penguasa bukan untuk berkuasa tetapi memperjuangkan kemerdekaan individu. Golongan borjuis-liberal menuntut kebebasan individu supaya secara bebas dapat berusaha dalam bidang ekonomi. Golongan ini menghendaki supaya Sicherheit Polizei sebagai penjaga tata tertib dan keamanan tetap dipertahankan sedangkan Wohlfart Polizei dilepaskan dari fungsi negara. Dalam memperjuangkan cita-cita tersebut, golongan borjuis-liberal mengajukan formula pembatasan kekuasaan negara (penguasa) berdasarkan (a) perlindungan hak asasi manusia dan (b) pemisahan kekuasaan.22 Perlindungan hak asasi manusia perlu supaya penguasa menghormati hak-hak individu sehingga tidak bertindak sewenang-wenang. Namun, pemisahan kekuasaan juga perlu untuk mencegah kekuasaan absolut. Dengan kedua instrumen pembatasan kekuasaan tersebut, penguasa diharapkan tidak bertindak sewenang-wenang sehingga kemerdekaan atau hak-hak individu terjamin. Praktik Negara Hukum Liberal/Klasik ternyata hanya menguntungkan golongan borjuis-liberal. Negara hukum Liberal/Klasik berpihak hanya kepada kepentingan orang-orang kaya. Dengan demikian, negara hukum Liberal/Klasik semata-mata merupakan justifikasi dominasi memperhatikan golongan rakyat golongan borjuis-liberal tanpa kebanyakan sehingga Liberal/Klasik bukan untuk kesejahteraan dan kepentingan rakyat. 21 Ibid. 22 Hotma P. Sibuea, op. cit., hlm 28. negara hukum Kegagalan Negara Hukum Liberal menyelenggarakan kesejahteraan bagi semua golongan rakyat menjadi faktor pendorong kelahiran Negara Hukum Formal yang dipelopori oleh Julius Stahl. Ada 4 (empat) pilar (unsur) negara hukum formal yaitu (a) perlindungan terhadap hak asasi manusia, (b) pemisahan kekuasaan (c) tindakan pemerintah harus berdasar atas peraturan perundangundangan dan (d) adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri.23 Penambahan jumlah pilar negara hukum formal harus dipandang sebagai peningkatan niat untuk mempertegas pembatasan kekuasaan. Muara keempat pilar negara hukum formal adalah untuk memberikan jaminan terhadap kemerdekaan individu dengan membatasi kekuasaan penguasa supaya tidak sewenang-wenang. Negara hukum formal memiliki kelemahan prinsipil yakni bersifat kaku. Pemerintah terlalu ketat diikat dengan undang-undang sehingga menjadi lamban dalam bertindak untuk mengantisipasi perkembangan-perkembangan baru yang terjadi dalam masyarakat. Asas legalitas mengikat pemerintah terlalu ketat sehingga pemerintah sering mengalami kesulitan untuk mengambil tindakan secara cepat dalam menyikapi perkembangan-perkembangan baru yang belum diatur undang-undang karena masyarakat yang lebih cepat berkembang daripada pembentukan undang-undang. Sebagai akibatnya, upaya penyelenggaraan kesejahteraan masyarakat menjadi terganggu. Oleh karena itu, pada abad XIX, negara hukum formal ditinggalkan dan orang kemudian beralih pada asas negara hukum yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman yakni negara hukum kesejahteraan (wohlfart staat, social service state).24 Negara Hukum Kesejahteraan atau negara hukum demokratis mengandung konsepsi yang lebih rumit atau kompleks daripada negara hukum liberal dan negara hukum formal. Miriam Budiardjo menggambarkan kompleksitas negara hukum kesejahteraan yang demokratis sebagai berikut: “Pada dewasa ini, dianggap bahwa demokrasi harus meluas mencakup dimensi ekonomi dengan suatu sistem yang menguasai kekuatan-kekuatan 23 Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 156. 24 Ibid., hlm. 160. ekonomi dan yang berusaha memperkecil perbedaan sosial dan ekonomi terutama perbedaan-perbedaan yang timbul dari distribusi kekayaan yang tidak merata. Negara semacam ini dinamakan welfare state (negara kesejahteraan) atau social service state (negara yang memberikan pelayanan kepada masyarakat).”25 Negara hukum kesejahteraan demokratis (wohlfart staat, social service state) yang sangat kompleks seperti dikemukakan di atas membawa konsekuensi yang sangat luas terhadap berbagai aspek kehidupan bernegara. Dalam negara hukum kesejahteraan, negara tidak hanya berfungsi untuk menyelenggarakan keamanan dan ketertiban tetapi juga memberikan pelayanan jasa-jasa kepada masyarakat. Oleh karena itu, fungsi penguasa (pemerintah) juga bukan sematamata memerintah tetapi juga melayani masyarakat. Aspek pelayanan masyarakat (public servant) sebagai tugas pejabat negara berpengaruh terhadap struktur ketatanegaraan, sistem distribusi kekuasaan, kedudukan, fungsi, tugas dan wewenang lembaga negara, hubungan lembaga negara, mekanisme pembatasan kekuasaan negara termasuk terhadap mekanisme pemberhentian pejabat-pejabat negara pada masa jabatan dan sebagainya. Kesejahteraan bangsa (kesejahteraan umum) sebagai tujuan negara dapat diselenggarakan jika ditopang oleh sistem ketatanegaraan dan mekanisme penyelenggaraan negara yang sesuai dengan tujuan negara. Penataan struktur ketatanegaraan dan mekanisme penyelenggaraan negara yang dapat mewujudkan tujuan negara hukum kesejahteraan yang demokratis harus berpedoman pada prinsip-prinsip pembatasan kekuasaan dan pendistribusian kekuasaan kepada organ-organ negara. Dari perspektif Ilmu Hukum Ketatanegaraan, prinsip (pokokpokok pendirian) yang dimaksud lazim disebut asas-asas hukum ketatanegaraan. Asas-asas hukum ketatanegaraan yang dikemukakan di atas berfungsi konstitutif dan regulatif terhadap pembentukan norma-norma hukum ketatanegaraan yang dituangkan dalam konstitusi (undang-undang dasar). Konstitusi (undang-undang dasar) mengatur hal-hal yang bersifat dasar dalam 25 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, 2006, hlm. 59. kehidupan berbangsa dan bernegara seperti hak-hak warga negara dan hak asasi manusia, wewenang dan tugas organ-organ negara, hubungan organ-organ negara, masa jabatan pejabat-pejabat negara dan sudah barang tentu termasuk tata cara pemberhentian pejabat-pejabat negara pada masa jabatan yang menjadi fokus pembahasan penelitian ini. 2. Teori Konstitusi Cita-cita negara hukum kesejahteraan seperti dikemukakan di atas tidak akan pernah tercapai jika para penyelenggara negara tidak dapat bekerja dengan baik. Untuk dapat bekerja dengan baik, masing-masing organ negara harus memiliki batas-batas tugas dan wewenang dan didukung oleh mekanisme kerja yang sudah ditetapkan sebagai pedoman pelaksanaan tugas dan wewenang. Pembagian tugas dan wewenang serta hubungan kerja di antara organ-organ negara ditetapkan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip tertentu yang berkenaan dengan cara pengorganisasian negara dan penyelenggaraan negara. Prinsip (pokok-pokok pendirian) tentang cara pengorganisasian negara dan penyelenggaraan negara hukum kesejahteraan yang demokratis untuk pertama kali dituangkan dalam konstitusi (undang-undang dasar). Konstitusi (undang-undang dasar) berfungsi untuk mengatur struktur ketatanegaraan, tugas dan wewenang organ-organ negara, mekanisme penyelenggaraan negara, hak-hak warga negara dan hak asasi manusia dan lain-lain. Pada hakikatnya, ada 2 (dua) macam prinsip (pokok-pokok pendirian) yang lazim terdapat dalam negara hukum demokratis yaitu (a) penyelenggaraan negara dilaksanakan dengan melibatkan rakyat dalam segala urusan secara langsung maupun perwakilan dan (b) kewenangan dan tugas para penyelenggara negara ditetapkan dengan dan dibatasi oleh hukum atau kontitusi dalam arti yang luas. Sesuai dengan kedua prinsip tersebut, struktur organisasi negara hukum kesejahteraan yang demokratis tentu saja harus bercorak demokratik.26 Struktur organisasi negara yang bercorak demokratis membuka saluran kepada rakyat untuk 26 Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Indonesia, Dasar-dasarnya, Jakarta, 1982, hlm. 201. ikut terlibat dalam penyelenggaraan negara dalam segala aspeknya. Dalam konteks struktur organisasi negara yang bercorak demoklratis tersebut, Usep Ranawijaya mengemukakan komentar sebagai berikut “Dalam sistem demokrasi pada dasarnya . . . . tidak ada satu urusan pun dalam negara yang boleh dijauhkan dari jangkauan kedaulatan rakyat.” 27 Pengaruh kedaulatan rakyat dalam sistem negara hukum demokratis tampak antara lain dalam hal: 1. Jaminan mengenai hak asasi dan kebebasan dasar manusia sebagai syarat dapat berfungsinya kedaulatan rakyat, 2. Penentuan dan pembatasan wewenang pejabat negara, 3. Sistem pembagian tugas antara jabatan-jabatan penting yang bersifat saling membatasi dan mengimbangi (checks and balances system).28 Dalam suatu negara hukum demokratis, struktur ketatanegaraan diatur dalam suatu konstitusi dalam arti sempit yakni suatu dokumen pokok yang berisi aturan mengenai susunan organisasi negara beserta cara kerjanya negara itu.29 Materi-muatan yang diatur dalam konstitusi berbeda-beda menurut pandangan para pakar. Namun, secara garis besar pendapat para pakar mengenai materi-muatan konstitusi adalah sama. C.F. Strong misalnya mengemukakan pendapat tentang materi-muatan konstitusi sebagai berikut “But whatever its form, a true constitution will have the following facts about it very clearly marked: first, how the various agencies are organized, secondly, what power is entrusted to those agencies, and thirdly, in what manner such power is to be exercised.”30 Hal itu berarti bahwa konstitusi berkaitan dengan (a) cara pengorganisasian oragn-organ negara, (b) wewenang yang dipercayakan kepada organ-organ negara dan (c) caracara melaksanakan kewenangan organ-organ negara. Materi-muatan yang diatur dalam konstitusi seperti dikemukakan di atas dalam garis besarnya sesuai dengan pengertian konstitusi yang dikemukakan oleh 27 28 29 Ibid., hlm. 205. Ibid. Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Indonesia, Dasar-dasarnya, op. cit. hlm. 183. 30 C. F. Strong, Modern Political Constitution, London, 1966, hlm. 12. pakar yang lain. C. F. Strong mengemukakan definisi konstitusi yang sekaligus mencerminkan materi-muatan konstitusi sebagai berikut “Again, a constitution may be said to be collection of principles according to which the powers of the government, the rights of the governed, and the relations between the two are adjusted.”31 Materi-muatan konstitusi seperti dikemukakan oleh para pakar di atas sesungguhnya sudah mencerminkan fungsi utama (fungsi pokok) konstitusi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara yakni membatasi (a) kekuasaan penguasa dengan cara menetapkan batas-batas tugas dan wewenang organ negara dan (b) melindungi rakyat (warga negara) dengan cara menetapkan hak-hak warga negara (rakyat). Pembatasan kekuasaan dan perlindungan hak-hak warga negara sebagai hakikat fungsi konstitusi juga dapat diketahui dari definisi konstitusi berikut ini. Eric Barent mengemukakan pandangan mengenai fungsi konstitusi yang kurang lebih sama dengan pendapat di atas yakni sebagai berikut: “Constitutionalism is a belief in the impositions of restrains on government by means of a constitution. It advocates the adoption of a constitution which is more than a ‘power map’; its function is to organize political authority, so it cannot be used oppressively or arbitrarily. This is also the value underlying the classic principle of the separation of powers formulated by the French jurist, Montesquieu, in L’Esprit des Lois.”32 Pembatasan kewenangan organ-organ negara sebagai fungsi utama konstitusi pada dasarnya berkaitan dengan 2 (dua) macam aspek kekuasaan yakni (a) ruang lingkup kekuasaan (scope of power) dan (b) jangka waktu kekuasaan. Pembatasan ruang lingkup kekuasaan dapat dilakukan dengan cara (a) sistem pemisahan kekuasaan secara fungsional maupun dengan (b) sistem pembagian kekuasaan. Pembatasan kekuasaan yang berkaitan dengan jangka waktu kekuasaan dapat dilakukan dengan cara menetapkan kurun waktu (jangka waktu) masa jabatan pejabat negara. Sebagai contoh masa jabatan Presiden Indonesia 5 (lima) 31 Ibid., hlm. 11. 32 Eric Baret, Introduction to Constitutional Law, London, 1998, hlm. 14. tahun, Presiden Amerika Serikat 4 (empat) tahun sedangkan Presiden Perancis 7 (tujuh tahun). Pemberhentian pejabat pada masa jabatan juga dapat dipandang sebagai pembatasan kekuasaan dari sudut pandang tertentu. Pembatasan kekuasaan dalam pengertian yang luas termasuk pemberhentian pejabat pada masa jabatan sebagaimana dikemukakan di atas harus diatur secara tegas dan komprehensif serta dirumuskan dengan baik dalam konstitusi. Jika pembatasan kekuasaan termasuk pemberhentian pejabat pada masa jabatan dilakukan dengan cara seperti dikemukakan di atas, ada berbagai macam manfaat yang dapat diperoleh. Manfaat yang dimaksud adalah (a) untuk menghindari kemungkinan tumpang tindih kekuasaan di antara organ-organ negara dan (b) untuk menghindari kemungkinan terjadi problema ketatanegaraan yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai akibat penormaan pembatasan kekuasaan yang tidak baik (penormaan yang kabur). 3. Teori Pemisahan Kekuasaan dan Teori Check and Balances System Sebagaimana dikemukakan, pembatasan kekuasaan organ-organ negara diatur dalam konstitusi. Sistem pembatasan kekuasaan yang lazim dilakukan dalam pengorganisasian kekuasaan negara dalam negara hukum demokratis adalah sistem pemisahan kekuasaan. Doktrin klasik pemisahan kekuasaan negara yang terkenal adalah Doktrin Trias Politika Montesquieu. Menurut doktrin ini, kekuasaan negara dipisahkan berdasarkan 3 (tiga) macam fungsi negara yang tertentu yaitu (a) fungsi legislatif, (b) ekskutif dan (c) judisial. Masing-masing fungsi dijalankan oleh suatu organ negara yang terpisah dari organ negara yang lain sehingga baik fungsi maupun organ pelaksananya juga terpisah. Doktrin Trias Politika atau Teori Pemisahan Kekuasaan yang dikemukakan di atas memiliki kelemahan fundamental jika dipandang dari perspektif penyelenggaraan negara hukum kesejahteraan yang demokratis. Kelemahan Doktrin Trias Politika yang mencolok adalah karena pemisahan fungsi dan organ dilakukan sehingga hal itu menutup peluang kerja sama di antara organ-organ negara. Padahal, kerja sama di antara organ-organ negara adalah conditio sine quanon penyelenggaraan negara hukum kesejahteraan yang demokratis. Kelemahan Doktrin Trias Politika diperbaiki oleh sistem Check and Balances System. Sistem ini diciptakan oleh bangsa Amerika. Teori Check and Balances System membuka peluang bagi organ-organ negara untuk bekerja sama melalui mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi. Motif yang melatarbelakangi kelahiran Check and Balances System adalah untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Metode Check and Balances System secara efektif dapat menciptakan keseimbangan kekuasaan dan pengawasan di antara organorgan negara. Dalam konteks Check and Balances System, lembaga peradilan (sebagai organ negara pemegang kekuasaan judisial) memegang peranan yang sangat penting. Lembaga peradilan diberi kewenangan konstitusional untuk mengawasi kekuasaan legislatif dalam membentuk undang-undang karena lembaga peradilan diberi wewenang untuk menguji keabsahan (konstitusionalitas) undang-undang. Mekanisme pengujian undang-undang oleh lembaga peradilan disebut uji material (judicial review). Sebaliknya, badan legislatif tidak berwenang menguji dan menganulir putusan badan peradilan. Dengan demikian, dalam perspektif Check and Balances System terdapat dominasi dan supremasi kekuasaan judisial atas kekuasaan legislatif dan eksekutif (judicial heavy). Kekuasaan badan judisial yang sangat dominan diterima sebagai kewajaran dalam penyelenggaraan negara hukum kesejahteraan yang demokratis pada zaman sekarang. Hal itu menunjukkan bahwa prinsip pembagian fungsi kenegaraan seperti dicanangkan Montesquieu dalam doktrin Trias Politika pada beberapa abad yang lalu sudah bergeser sedemikian jauh. Bahkan, pada zaman sekarang, kewenangan badan judisial yang demikian besar dianggap sebagai salah satu prinsip konstitusional penyelenggaraan negara modern. Namun, perlu juga dicermati supaya jangan sampai terjadi kesewenang-wenangan badan judisial. Untuk itulah, prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang berpedoman pada konstitusi mutlak harus ada dalam penyelenggaraan negara moderen. Salah satu aspek pembatasan kekuasaan yang harus dirumuskan dengan tegas dan baik dalam konstitusi adalah sistem pembatasan kekuasaan atau kewenangan lembaga-lembaga negara. Jika ditinjau dari sudut pandang tertentu, pembatasan kekuasaan meliputi 2 (dua) hal penting yakni (a) ruang lingkup kekuasaan (scope of power) dan (b) masa berlaku kekuasaan.33 Pembatasan kekuasaan yang berkenaan dengan ruang lingkup kekuasaan (scope of power) membicarakan lingkup kewenangan suatu lembaga negara. Pembatasan kekuasaan berdasarkan ruang lingkup kekuasaan dilakukan secara fungsional. Konstitusi menentukan fungsi tertentu yang dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga negara sesuai dengan kewenangannya. Dalam hal ini, doktrin klasik yang berkenaan dengan pembatasan ruang lingkup kekuasaan organ-organ negara yang dapat dikemukakan sebagai contoh adalah doktrin Trias Politika Montesquieu. Pembatasan kekuasaan yang berkenaan dengan masa berlaku kekuasaan berkaitan dengan jangka waktu kekuasaan pejabat negara. Sebagai contoh, masa jabatan Presiden Indonesia adalah 5 (lima) tahun. Masa jabatan Presiden Perancis adalah 7 (tujuh) tahun sedangkan Presiden Amerika Serikat adalah 4 (empat) tahun. Namun, meskipun masa jabatan Presiden bersifat pasti (fixed executive system), mekanisme ketatanegaraan seperti diatur dalam konstitusi dapat mengakhiri masa jabatan Presiden sebelum masa jabatan berakhir. Mekanisme pemberhentian pejabat-pejabat negara termasuk pejabat Presiden/Wakil Presiden seperti dikemukakan di atas disebut impeachment. Lembaga impeachment adalah lembaga ketatanegaraan yang hakikatnya bersifat membatasi kekuasaan pejabat negara dari segi waktu. Lembaga impeachment bekerja jika penjabat lembaga negara dituduh melakukan suatu pelanggaran hukum atau perbuatan tercela atau suatu sebab lain. Jika yang dituduh melakukan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat adalah Presiden/Wakil Presiden, tuduhan itu tentu saja menjadi masalah nasional karena berkenaan dengan pemimpin nasional. Tuduhan bahwa Presiden/Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat tentu saja merupakan masalah yang sangat serius karena dapat menimbulkan masalah nasional yakni mangganggu stabilitas pemerintahan. Kemungkinan itu perlu mendapat perhatian supaya pengaturan masalah impeachment dan pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pada masa 33 Bandingkan dengan pendapat Jack J.H. Nagel seperti dikutip Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 9. jabatan perlu diatur dalam konstitusi dengan cara yang baik sehingga tidak menimbulkan masalah ketatanegaraan jika pada akhirnya Presiden/Wakil Presiden harus berhenti sebelum masa jabatan berakhir. 4. Pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pada Masa Jabatan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Dari Perspektif Asas Negara Hukum, Asas Konstitusional dan Asas Pemisahan Kekuasaan a. Kekuatan Mengikat Keputusan Mahkamah Konstitusi Terhadap MPR dalam Konteks Impeachment oleh Dewan Perwakilan Rakyat Apakah putusan MK yang memvonis Presiden/Wakil Presiden telah terbukti melakukan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/ Wakil Presiden memiliki kekuatan mengikat terhadap MPR? Pertanyaan itulah yang akan dijawab pada bagian ini. Sebagaimana dikemukakan pada bagian sebelumnya, jika MK memutuskan bahwa Presiden/Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana didakwakan oleh DPR berdasarkan Pasal 7A UUD 1945, DPR harus melaporkan hal itu kepada MPR. MPR akan melakukan Sidang Paripurna untuk mengambil sikap (keputusan) berkenaan dengan putusan (vonis) MK tersebut. Pertama, MPR mungkin akan memberhentikan Presiden/Wakil Presiden sesuai dengan diktum vonis MK. Jika hal itu yang terjadi, permasalahan impeachment DPR terhadap Presiden/Wakil Presiden akan selesai sesuai dengan ketentuan konstitusi yang mengatur masalah tersebut. Dengan demikian, pemberhentian Presiden/Wakil Presiden tersebut sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan konstitusional (UUD 1945). Keadaan demikian tidak akan menimbulkan permasalahan hukum dan diperkirakan juga tidak akan menimbulkan masalah sosial dan politis karena tidak ada pemicunya. Kedua, MPR mungkin akan mengabaikan diktum vonis MK. Jika terjadi keadaan bahwa MPR tidak memberhentikan Presiden/Wakil Presiden pada masa jabatannya berarti bahwa putusan (vonis) MK tersebut diabaikan atau dikesampingkan oleh MPR. Dalam hal terjadi keadaan yang demikian, akan timbul problematika hukum. Apakah keputusan MK sebagai lembaga peradilan dapat diabaikan oleh MPR sebagai lembaga politik? Dengan pertanyaan lain, apakah keputusan MK memiliki kekuatan mengikat terhadap MPR sebagai lembaga politik? Permasalahan tersebut dibahas dalam perspektif, asas negara hukum yang demokratis, asas konstitusional dan asas pemisahan kekuasaan. Dalam perspektif negara hukum, organisasi negara ditata sedemikian rupa sehingga fungsi-fungsi negara dapat didistribusikan kepada lembaga-lembaga negara. Tujuannya adalah agar tidak terjadi sentralisasi kekuasaan di tangan lembaga tertentu yang mengundang kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan (de tournemnet de pouvoir). Dalam konteks inilah kehadiran doktrin pemisahan kekuasaan menemukan relevansi dan urgensinya. Pendistribusian kekuasaan tersebut menghasilkan domain (ruang lingkup) kekuasaan atau kompetensi absolut tiap lembaga negara. Dalam konteks doktrin Trias Politica Montesquieu, kita dapat merumuskan domain kekuasaan atas (a) kekuasaan legislative sebagai kekuasaan pembentuk undang-undang, (b) kekuasaan eksekutif sebagai kekuasaan menjalankan perintah undang-undang dan (c) kekuasaan judisial sebagai kekuasaan yang berfungsi untuk menindak setiap perbuatan yang melanggar perinrah undangundang. Kekuasaan judisial tersebut dijalankan oleh lembaga peradilan sehingga secara klasik funsi dan wewenang lembaga peradilan adalah menyelesaikan kasus dengan cara menerapkan undang-undang terhadap peristiwa konkrit. Metode yang lazim dipergunakan dalam konteks penyelesaian masalah hukum tersebut adalah (a) metode penafsiran dan (b) metode penemuan hukum atau komposisi hukum. Keputusan (vonis) yang ditetapkan oleh lembaga peradilan (hakim) merupakan keputusan pada instansi terakhir untuk konteks permasalahan a quo. Dengan perkataan lain, keputusan yang dibuat pengadilan atau hakim merupakan keputusan terakhir dalam konteks penyelesaian suatu masalah hukum. Ruang lingkup kewenangan lembaga peradilan atau hakim semakin berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Kompetensi peradilan berkembang karena pengadilan atau hakim tidak hanya mengadili sengketa perbuatran yang melanggar undang-undang saja. Lembaga peradilan atau hakim juga dapat mengadili undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Putusan pengadilan atau hakim dalam konteks kasus pengadilan undang-undang terhadap undang-undang yang lebih tinggi secara material (judicial review) juga bersifat final dan mengikat (final and binding). Hal ini berarti bahwa jika suatu undang-undang dinyatakan oleh hakim atau lembaga peradilan bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi dengan demikian tidak ada lagi lembaga negara yang lain yang dapat membatalkan keputusan pengadilan atau hakim tersebut. Putusan (vonis) pengadilan atau hakim itu adalah putusan akhir yang tidak dapat dikesampingkan atau dianulir oleh lembaga negara yang lain. Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebagai negara hukum demokratis tidak terlepas dari bingkai prinsip konstitusional dan asas pemisahan kekuasaan. Dari perspektif doktrin pemisahan kekuasaan, Mahkamah Konstitusi memilili ruang lingkup kewenangan yang secara atributif berbeda dari ruang lingkungan kekuasaan badan legislatif (DPR, DPD dan MPR) ataupun dengan badan eksekutif (Presiden). Bahkan, MK memiliki kompetesni absolut yang secara atributif berbeda dari kewenangan MA yang merupakan puncak peradilan untuk kasus-kasus di luar kompetensi MK. Jika berpedoman pada asas pemisahan kekuasaan, ruang lingkup kekuasaan MK tidak boleh dicampuri oleh lingkungan kekuasaan yang lain baik legislatif maupun eksekutif. Dengan perkataan lain, MK merupakan instansi terakhir yang berwenang memberikan keputusan (vonis) atas setiap permasalahan hukum yang termasuk dalam ruang lingkup kewenangan atau kekuasaannya. Jika MK sudah menetapkan putusan (vonis) atas suatu kasus hukum berarti bahwa putusan MK itu merupakan keputusan akhir dan dengan sendirinya harus mengikat semua pihak termasuk lembaga-lembaga negara. Penghormatan semua pihak dan semua lembaga negara terhadap setiap putusan yang ditetapkan MK mencerminkan prinsip konstitusional. Penghormatan ini menunjukkan bahwa para pihak menaati pendistribusian kewenangan atau kekuasaan lembaga-lembaga negara yang diatur dalam konstitusi yang dalam hal ini mencakup ketentuan UUD 1945 dan undangundang. Jika bertitik tolak dari uraian tentang prinsip negara hukum, asas konstitusional dan asas pemisahan kekuasaan yang dikemukakan di atas jelas bahwa keputusan MK yang menetapkan bahwa Presiden/Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden harus dipatuhi oleh MPR. MPR harus tunduk terhadap keputusan tersebut karena MK merupakan instansi terakhir yang berwenang menetapkan penyelesaian akhir secara hukum terhadap kasus tersebut. Jika hendak dikatakan dengan cara lain berarti bahwa keputusan MK dalam kasus a quo adalah mengikat MPR. Sesuai dengan keputusan MK tersebut, fungsi Sidang MPR adalah dalam rangka menjalankan putusan MK tersebut. Jalan pikiran seperti inilah yang sesuai dengan prinsip negara hukum, asas pemisahan kekuasaan dan asas konstitusional sebagai sokoguru sistem ketatanegaraan Indonesia dan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. b. Konsekuensi Yuridis Keputusan MPR yang Menganulir Keputusan Mahkamah Konstitusi dalam Konteks Impeachment Presiden oleh Dewan Perwakilan Rakyat Terhadap Asas Negara Hukum Demokratis, Asas Konstitusional dan Asas Pemisahan Kekuasaan Apa makna dan konsekuensi yuridis keputusan MPR yang menganulir keputusan MK terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia yang berpedoman pada asas negara hukum demokratis, asas konstitusional dan asas pemisahan kekuasaan? Masalah ini akan penulis bahasa dengan bertitik tolak dari asas negara hukum, asas konstitusional dan asas pemisahan kekuasaan secara serentak. Salah satu tiang penopang Negara Hukum adalah asas pemisahan kekuasaan. Asas pemisahan kekuasaan juga mengandung arti bahwa suatu lembaga negara tidak diperkenankan untuk mencampuri kewenangan lembaga negara yang lain. Dari perspektif asas ini, jika MPR mengabaikan atau menganulir keputusan MK yang memutus bahwa Presiden/Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden, tindakan pengabaian oleh MPR tersebut mengandung arti mencampuri atau mengintervensi kewenangan MK sebagai lembaga peradilan yang memiliki kewenangan absolut untuk menyelesaikan secara hukum kasus a quo. UUD 1945 memang tidak mengatur bahwa MPR harus memberhentikan Presiden/Wakil Presiden yang terbukti melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden. Namun, menurut logika asas pemisahan kekuasaan, putusan MK harus disikapi oleh MPR secara asas yaitu dengan memberhentikan Presiden/Wakil Presiden. Bukankah MK yang memiliki kompetensi absolut sebagai lembaga peradilan untuk mengadili kasus hukum tersebut? Jika dikemukakan argumentasi bahwa tidak ada ketentuan UUD 1945 yang mengharuskan demikian, menurut penulis, argumentasi seperti itu adalah argumentasi yang tidak taat asas. Jika MPR taat asas berarti bahwa MPR harus menghormati kewenangan MK untuk mengadili kasus a quo sehingga tidak ada pilihan bagi MPr selain daripada melaksanakan Sidang MPR untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden. Di samping itu, jika ditinjau dari segi kedudukannya, MPR dan MK adalah sederajat sehingga MPR bukan instansi politik yang berwenang untuk mengambil keputusan politik yang dapat mengabaikan keputusan hukum yang bersifat fdinal dan mengikat yang ditetapkan oleh lembaga hukum yang berwenang yaitu MK. MPR menurut UUD 1945 yang sudah diamandemen bukan sebagai lembaga tertinggi yang merupakan penjelmaan segenap bangsa Indonesia. Jika MPR mengabaikan atau tidak melaksanakan putusan MK dalam arti tidak memberhentikan Presiden/Wakil Presiden yang sudah dinyatakan bersalah atau terbukti tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden/Wakil Presiden, Presiden/Wakil Presiden tersebut akan tetap menjabat dalam keadaan sebagai Presiden/Wakil Presiden yang bermasalah secara hukum menurut dan berdasarkan putusan MK maupun berdasarkan moral. Konsekuensi yuridis yang demikian sudah barang tentu tidak kita kehendaki karena kondisi seperti itu akan menimbulkan permasalah hukum ketataneganegaraan maupun permasalahan moral. Keadaan demikian timbul sebagai konsekuensi dari tindakan MPR yang mengabaikan putusan MK. Dengan perkataan lain, jika terjadi kondisi yang demikian berarti bahwa yang membuat kondisi demikian itu adalah MPR itu sendiri. MPR harus bertanggung secara hukum dan secara moral terhadap kondisi yang tercipta sebagai konsekuensi keputusan MPR yang menolak atau mengabaikan atau menganulir keputusan MK yang memutus Presiden/Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum atau tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden/Wakil Presiden. Dalam hal MPR menganulir atau mengesampingkan atau mengabaikan putusan MK, perbuatan atau tindakan MPR tersebut harus ditafsirkan dan dimaknai sebagai tindakan atau perbuatan yang mengabaikan atau melanggar norma-norma konstitusi. Dalam perspektif asas konstitusonal, putusan MK harus ditempatkan sederajat dengan ketentuan-ketentuan konstitusional. Dalam hal ini, keputusan MK sebagai ketentuan-ketentuan konstitusional memiliki kekuatan mengikat yang sama dengan kekuatan mengikat ketentuan konstitusi. Maka, dalam hal MPR mengabaikan atau menganulir keputusan MK dalam kasus a quo, tindakan MPR tersebut selain sebagai pelanggaran terhadap ketentuan konstitusi sekaligus dapat dipandang sebagai tindakan yang tidak menghormati lembaga peradilan yang dalam dal ini yang dimaksud adalah MK. Dalam hal MPR dianggap melakukan tindakan yang mengabaikan atau melanggar keputusan MK yang memiliki kekuatan mengikat yang sederajat dengan ketentuan konstitusi sebagaimana dikemukakan di atas, hal itu dengan sendirinya harus dipandang sebagai melanggar prinsip-prinsip dasar dalam asas negara hukum. Pelanggaran terhadap asas Negara hukum, asas konstitusional dan asas pemisahan kekuasaan sudah barang tentu mengandung konsekuensi yang berdampak luas terhadap tatanan hukum dan tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semoga hal ini menjadi perhatian dan sekaligus bahan renungan bagi MPR untuk menghindari hal-hal yang tidak kita kehendaki bersama. D. Penutup 1.Simpulan-simpulan Sesuai dengan uraian yang dikemukakan di atas, penulis dalam menarik beberapa simpulan. Simpulan yang dapat ditetapkan adalah sebagai berikut: 1.Keputusan MK adalah mengikat MPR sehingga jika MK memutuskan Presiden/Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden, MPR harus melakukan Sidang MPR untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden tersebut. 2.Jika MPR tidak melaksanakan putusan MK atau mengabaikan putusan MK tersebut, sikap yang demikian merupakan perbuatan yang melanggara asasasas hukum yang menopang kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu asas negara hukum, asas konstitusional dan asas pemisahan. Pelanggaran terhadap asas-asas tersebut di atas akan merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. 2.Saran-saran Sesuai dengan kedua simpulan yang dikemukakan di atas, penulis dapat mengemukakan saran-saran sebagai berikut. Ada 2 (dua) macam saran yang dapat dikemukakan yaitu: 1.Untuk menghindari kekosongan undang-undang (wet vacuum) sebagaimana dikemukakan di atas, penulis menyarankan supaya dilakukan amandemen UUD 1945 untuk menyempurnakan ketentuan yang mengatur pemberhentian Presiden/Wakil Presiden supaya bangsa Indonesia terhindar dari masalah ketatanegaraan yang sebenarnya dapat diantisipasi, 2.Jika UUD 1945 diamandemen, penulis menyarankan supaya ditetapkan satu pasal dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Jika MK memutuskan Presiden/Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden, MPR harus segera mengadakan Sidang MPR untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden.” DAFTAR KEPUSTAKAAN Meuwissen, Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum (terj. B.Arief Sidharta), Bandung, 2007. Moh. Koesnoe, Hukum dan Perubahan Perhubungan Kemasyarakatan, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1967. Jan Gijssel dan Mark van Hocke, Apakah Teori Hukum itu? Terjemahan B. Arief Sidharta, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, 2009, Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York, 1961. Bagir Manan, Pembaharuan UUD 1945, Makalah yang disajikan pada Seminar Hukum Nasional VII, Jakarta, 1999. Kunthi Dyah Wardani, Yogjakarta, 2007. Impeachment dalam Ketatanegaraan Indonesia, Hendra Nurtjahyo, Filsafat Demokrasi, Jakarta, 2005. Jimly Asshidiqqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Yogjakarta, 2004. Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, Jakarta, 2010. J. H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Agustinus, Machiavelli, Jakarta, 2001. Azhary, Negara Hukum Indonesia, Jakarta, 1995. Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, 1983. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, 2006. Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Indonesia, Dasar-dasarnya, Jakarta, 1982. E. F. Strong, Modern Political Constitution, London, 1966. Eric Baret, Introduction to Constitutional Law, London, 1998. Merdeka : Pancasila Mampu Hapus Produk Hukum Kolonial7 Abstract The Proclamation of the Independence of Indonesia as a governmental act bears a highly fundamental function in terms of the establishment of its identity and sovereignty. This article explores the practical and juridical consequences of the proclamation both as a legal and political act. As a political statement, the proclamation effectively changed the fate of the Indonesian people embodying their rejection of colonialism, a practice viewed as inconsistent with humanity and fairness. As a legal event, the proclamation accorded the country a new legal status as an independent state with a sovereign government, legal order and legal certainty under an autonomous and free governance regime. Keywords: Proclamation, legal consequence A. Pendahuluan Kemerdekaan Bangsa Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 kepada segenap bangsa di seluruh dunia. Sebagai suatu peristiwa, Proklamasi Kemerdekaan adalah suatu peristiwa politik dan peristiwa hukum sekaligus dengan konsekuensi logis yang tentu saja akan berbeda. Artinya, makna proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia sebagai suatu peristiwa politik adalah berbeda dari makna (konsekuensi yuridis) proklamasi kemerdekaan sebagai suatu peristiwa hukum. Sebagai suatu peristiwa, dari sudut pandang politik, proklamasi kemerdekaan dapat dipandang sebagai hasil dari suatu tindakan politik. Sebagai suatu tindakan politik, proklamasi kemerdekaan mengandung konsekuensi politik tertentu yang luar biasa terhadap nasib bangsa Indonesia. Proklamasi kemerdekaan mengubah nasib bangsa Indonesia dari bangsa terjajah menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat sehingga bangsa Indonesia tidak tunduk kepada (terhadap) kekuasaan bangsa dan negara lain. Perubahan nasib bangsa Indonesia yang berlangsung secara cepat dan bersifat mendasar tersebut mengandung makna 7 Judul asli artikel ini adalah Konsekuensi Yuridis Proklamasi Kemerdekaan Bagi Bangsa Indonesia Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara. Dipublikasikan pada Jurnal Law Review FH UPH Vol.XII No.3, Maret 2013 Judul diubah semata-mata guna kepentingan pembuatan buku ini tanpa mengurangi isi kandungan yang ada. bahwa proklamasi kemerdekaan merupakan tindakan politik yang mengakibatkan peristiwa politik revolusioner yang luar biasa. Sudah barang tentu, sebagai peristiwa politik luar biasa, proklamasi kemerdekaan sangat penting maknanya bagi kehidupan bangsa Indonesia dalam segala aspeknya. Namun, dalam tulisan ini, tidak semua aspek tersebut dibicarakan karena tulisan ini hanya difokuskan pada aspek yuridis semata-mata dan dalam ruang lingkup yang terbatas. Sebagaimana dikemukakan di atas, dari sudut pandang (perspektif) politis, proklamasi sebagai suatu pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia sesungguhnya adalah suatu tindakan (peristiwa) politik 8 Proklamasi Kemerdekaan merupakan titik kulminasi pernyataan aspirasi politik tertinggi bangsa Indonesia. 2 Secara formal, Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia dituangkan dalam suatu teks singkat yang hanya terdiri atas beberapa kalimat. Akan tetapi, mengandung makna dan konsekuensi yang luar biasa terhadap kehidupan bangsa Indonesia dalam berbagai aspeknya. Teks Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia menyebutkan sebagai berikut “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkatsingkatnya.” Sebagai suatu tindakan (peristiwa) politik, proklamasi kemerdekaan mencerminkan sikap politik bangsa Indonesia terhadap penjajahan (kolonialisme). Pada dasarnya, sikap politik bangsa Indonesia seperti tercantum Alinea Pertama Pembukaan UUD 1945 mengecam dan menentang kolonialisme sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Alinea Pertama Pembukaan UUD 1945 menyatakan sebagai berikut “Bahwa sesungguhnya 8 Jazim Hamidi, Revolusi Hukum Indonesia, Makna, Kedudukan dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 Jakarta Dalam Sistem Ketatanegaraan, (Jakarta-Yogjakarta: Konstitusi Press dan Citra Media, 2006), hal. 94 2 Joeniarto, Ilmu Hukum Tata Negara dan Sumber-sumber Hukum Tata Negara, (Yogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1968), hal. 69 kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Sikap anti penjajahan yang terkandung dalam jiwa proklamasi kemerdekaan sebagaimana secara eksplisit tertuang dalam Alinea Pertama Pembukaan UUD 1945 dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang luhur yakni perikemanusiaan dan perikeadilan sebagai prinsip-prinsip moral yang bersifat universal. Pengakuan terhadap nilai-nilai perikemanusiaan dan perikeadilan menunjukkan bahwa proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia berlandaskan pada asas-asas hukum moral yang bersifat universal yakni hukum moral yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang sangat luhur. Dalam pandangan prinsip-prinsip moral yang diyakini bangsa Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas, penjajahan adalah perbuatan yang tidak berperikemanusiaan dan berkeadilan sehingga tidak dapat ditolelir dan harus ditolak serta dihapuskan dari seluruh permukaan bumi. Keyakinan pada nilai-nilai kemanusiaan yang luhur seperti dikemukakan di atas menjadi sumber motivasi yang mendorong bangsa Indonesia melakukan tindakan politik yang bertujuan untuk menentang penjajahan. Sikap anti penjajahan itu diwujudkan dalam bentuk tindakan politik dengan menyatakan bangsa Indonesia bebas dari penjajahan dan menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat. Sebagai konsekuensi pernyataan sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat yang terlepas dari penjajahan melalui proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia tidak berada di bawah kendali kekuasaan atau terlepas dari cengkeraman kekuasaan bangsa atau negara lain. Selain sebagai suatu peristiwa politik, Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia juga merupakan suatu peristiwa hukum. Sebagai suatu peristiwa hukum, proklamasi kemerdekaan merupakan hasil dari suatu tindakan hukum. Jika proklamasi kemerdekaan dipandang sebagai suatu peristiwa hukum yang dihasilkan oleh suatu tindakan hukum sudah barang tentu konsekuensi logis yang timbul akan berbeda dari konsekuensi logis proklamasi kemerdekaan jika dipandang sebagai suatu tindakan politik. Konsekuensi logis (konsekuensi yuridis) proklamasi kemerdekaan sebagai suatu peristiwa hukum yang dihasilkan oleh suatu tindakan hukum akan melahirkan berbagai aspek hukum baru yang berkenaan dengan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti status hukum baru bangsa Indonesia, tatanan negara dan tatanan hukum yang baru dan sebagainya. Hal-hal itu akan merupakan fokus pembahasan dalam tulisan ini. Dari perspektif hukum, Proklamasi Kemerdekaan adalah suatu pernyataan resmi bangsa Indonesia mengenai keberadaan dan nasib bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa. Pada dasarnya, Isi teks proklamasi kemerdekaan sebagai sutau pernyataan formal adalah pernyataan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang telah merdeka dan berdaulat serta bebas dari penjajahan. Jika teks proklamasi kemerdekaan Bangsa Indonesia dibaca akan timbul kesulitan untuk mengetahui dan memahami makna atau konsekuensi-konsekuensi yuridis proklamasi kemerdekaan sebagai suatu tindakan hukum atau peristiwa hukum bagi bangsa Indonesia dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, isi teks proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia seperti dipaparkan di atas sangat singkat. Secara tersurat tidak banyak hal yang dapat diketahui mengenai konsekuensi-konsekuensi yuridis proklamasi kemerdekaan sebagai suatu tindakan hukum dengan hanya membaca teks proklamasi kemerdekaan yang singkat tersebut. Prinsip (pokok-pokok pendirian) tentang kehidupan berbangsa dan bernegara yang terkandung dalam teks proklamasi kemerdekaan tidak dapat diungkap jika hanya berpedoman pada teks proklamasi. Oleh karena itu, makna proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia bagi kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dapat dipahami jika hanya berpedoman kepada teks proklamasi kemerdekaan. Untuk dapat memahami konsekuensi yuridis proklamasi kemerdekaan, Teks Proklamasi Kemerdekaan harus dibicarakan dalam kaitan dengan (konteks) Pembukaan UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 merupakan wujud nyata konkritisasi (normativisasi) jiwa dan semangat Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia dalam uraian yang lebih jelas. Dalam Alineaalinea Pembukaan UUD 1945 terkandung berbagai hal yang berkenaan dengan prinsip (pokok-pokok pendirian) mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara seperti dasar pembenar adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia.9 Selain itu, juga terdapat landasan falsafah sebagai latar belakang motivasi proklamasi kemerdekaan ataupun tujuan yang hendak dicapai melalui kemerdekaan bangsa Indonesia dan sebagainya. Padmo Wahyono, ‘Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Kehidupan Ketatanegaraan’ dalam Oetojo Oesman dan Alfian, Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, (Jakarta: BP-7 Pusat, 1992), hal. 97 9 B. Permasalahan Sesuai dengan uraian yang dikemukakan di atas pertanyaan pokok yang dapat diajukan sebagai permasalahan adalah sebagai berikut. Apa makna atau konsekuensi yuridis proklamasi kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara? Pertanyaan pokok tersebut dapat dikemukakan dengan cara lain dengan makna yang tetap sama yakni sebagai berikut. Apa konsekuensi yuridis proklamasi kemerdekaan sebagai suatu tindakan hukum terhadap berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara? C. Metode Penelitian Dalam tulisan ini, proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia dipahami sekaligus sebagai tindakan politik dan tindakan hukum sebagaimana dikemukakan di atas. Oleh karena itu, proklamasi kemerdekaan tersebut akan dibahas dari berbagai sudut pandang yakni sosiologis, yuridis maupun filosofis. Namun, metode penelitian utama tetap berada pada jalur metode penelitian Ilmu Hukum yaitu metode penelitian yuridis-normatif karena yang diteliti adalah makna atau konsekuensi yuridis proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia terhadap berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Metode penelitian sosiologis dipakai berkaitan dengan pemahaman bahwa proklamasi kemerdekaan adalah suatu tindakan politik dalam wujud suatu revolusi sosial. Metode penelitian filosofis dipergunakan berkaitan dengan pemahaman bahwa proklamasi kemerdekaan sebagai tindakan politik dalam wujud revolusi sosial dilandasi oleh nilai-nilai moral yang luhur. Metode penelitian yuridisnormatif dipergunakan berkaitan dengan pemahaman bahwa proklamasi kemerdekaan adalah suatu tindakan yuridis yang mengandung konsekuensikonsekuensi yuridis terhadap berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, sesuai dengan berbagai macam metode pendekatan yang disebut di atas, topik yang diuraikan dalam tulisan ini dibahas dari berbagai sudut pandang disiplin ilmu pengetahuan sekaligus yakni Ilmu Negara Khusus Indonesia, Ilmu Hukum Tata Negara maupun Filsafat Hukum. D. Pembahasan Sebagaimana dikemukakan, alinea-alinea Pembukaan UUD 1945 mengandungfalsafah,prinsipataupokok-pokokpendirianmengenaikehidupan berbangsa dan bernegara yang bersifat mendasar yang berkaitan dengan nasib bangsa dan negara Republik Indonesia. Falsafah dan pokok-pokok pendirian atau prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut bersumber dari atau dijiwai oleh Proklamasi Kemerdekaan. Dalam hubungan ini, secara terbatas Jazim Hamidi mengemukakan komentar sebagai berikut “Namun, secara implisit, nilai-nilai, asas-asas dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Naskah Proklamasi dapat ditemukan dalam alinea I, II, III Pembukaan UUD 1945.”4 Falsafah ataupun pokok-pokok pendirian mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara yang bersifat dasar tersebut berfungsi konstitutif dan bersifat normatif terhadap berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip atau pokokpokok pendirian tersebut kemudian dituangkan secara konkrit dalam norma-norma hukum UUD 1945. Dengan demikian, nilai-nilai luhur dan pokok-pokok pendirian mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara yang terkandung dalam Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia kemudian dituangkan secara lebih jelas (eksplisit) dalam Pembukaan UUD 1945 dalam bentuk-wujud yang lebih konkrit. Selanjutnya, prinsip atau pokok-pokok pendirian yang terkandung dalam Alineaalinea Pembukaan UUD 1945 dikonkritkan dalam norma- norma hukum konstitusi seperti tertuang dalam UUD 1945. Konkritisasi pokok-pokok pendirian kehidupan berbangsa dan bernegara dalam alinea-alinea Pembukaan UUD 1945 dalam bentuk-wujud norma-norma konstitusi menghasilkan struktur ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Struktur ketatanegraan tersebut menjadi pedoman bangsa Indonesia dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Penjabaran lebih lanjut uraian yang dipaparkan di atas harus dimulai dari pertanyaan sebagai berikut. Apakah Proklamasi Kemerdekaan dapat dipandang sebagai suatu tindakan hukum? Jika ditinjau dari sudut pandang Ilmu Hukum, Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia adalah suatu bentuk tindakan hukum. Proklamasi Kemerdekaan adalah suatu tindakan hukum bersama (gesam-akt).5 Penjabaran lebih lanjut uraian yang dipaparkan di atas harus dimulai dari pertanyaan sebagai berikut. Apakah Proklamasi Kemerdekaan dapat dipandang sebagai suatu tindakan hukum? Jika ditinjau dari sudut pandang Ilmu Hukum, Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia adalah suatu bentuk tindakan hukum. Proklamasi Kemerdekaan adalah suatu tindakan hukum bersama (gesam-akt).5 Sebagai suatu tindakan hukum bersama, Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia bukan merupakan tindakan hukum yang bersifat kontraktual yang dilakukan dua atau lebih pihak yang terikat dengan hak dan kewajiban masingmasing yang berbeda. Akan tetapi, tindakan hukum bersama yang bersifat sepihak dalam rangka mencapai tujuan yang sama. Dengan cara pemahaman sebagaimana dikemukakan di atas, proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia bukan hasil dari suatu perjanjian sosial seperti konstruksi teori perjanjian sosial (teori kontak sosial) Hobbes, Locke ataupun Rosseau. Dengan perkataan lain, hendak dikemukakan, proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia tidak mengikuti konstruksi teori-teori perjanjian sosial (teori kontrak sosial) yang dikemukakan ahli-ahli filsafat hukum alam (hukum kodrat) yang telah disebut di atas yang dilandasi nilai-nilai individual-liberal. Landasan falsafah proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia adalah Pancasila yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang berbeda dari landasan falsafah teori kontrak sosial atau teori perjanjian sosial yang diajarkan Hobbes, Locke ataupun Rosseau. Perbedaan landasan falsafah proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia dengan teori kontrak sosial sebagaimana disebut di atas sudah barang tentu akan menghasilkan konsekuensi-konsekuensi logis-yuridis terhadap berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara seperti terhadap dasar pembenar adanya negara, tujuan negara, kedaulatan dan sebagainya. Sebagai suatu bentuk tindakan hukum, proklamasi kemerdekaan sudah barang tentu mengandung konsekuensi hukum (yuridis). Apa konsekuensi yuridis atau makna proklamasi kemerdekaan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara dari sudut pandang Ilmu Hukum Tata Negara? Menurut penulis, dari sudut pandang Ilmu Hukum Tata Negara, ada 3 (tiga) macam konsekuensi yuridis proklamasi kemerdekaan terhadap sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yakni sebagai (a) pernyataan formal pembentukan bangsa Indonesia, (b) pernyataan formal pembentukan Negara Republik Indonesia, (c) pernyataan formal pembentukan tata hukum bangsa Indonesia10. Konsekuensi yuridis proklamasi kemerdekaan yang pertama adalah terbentuknya bangsa (Natie) Indonesia. Dalam konteks ini, dari sudut pandang hukum, Proklamasi Kemerdekaan harus dipandang sebagai suatu bentuk formalitas pernyataan semata-mata yaitu formalitas tentang pembentukan bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat lepas dari penjajahan.11 Hal ini mengandung arti bahwa bangsa Indonesia secara formal telah mengumumkan kepada bangsa-bangsa lain bahwa sejak saat Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan telah terbentuk bangsa Indonesia pada detik yang sama dengan proklamasi kemerdekaan tersebut. Dalam konteks ini, Joeniarto mengemukakan pendapat sebagai berikut “Dengan diproklamirkan Kemerdekaan Bangsa Indonesia berarti bahwa Bangsa Indonesia telah menyatakan dengan secara formal, baik kepada dunia luar maupun kepada Bangsa Indonesia Padmo Wahyono, ‘Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Kehidupan Ketatanegaraan’ dalam Oetojo Oesman dan Alfian, Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, (Jakarta: BP-7 Pusat, 1992), hal. 97 11 Jazim Hamidi, op. Cit., hal. 7 10 sendiri bahwa mulai saat itu Bangsa Indonesia telah merdeka.”12 Dengan perkataan lain, proklamasi kemerdekaan telah memberikan status hukum baru kepada bangsa Indonesia. Dari sudut pandang hukum, sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, bangsa Indonesia dianggap cakap melakukan suatu perbuatan hukum. Kecakapan melakukan perbuatan hukum tersebut tentu saja tidak akan dimiliki oleh bangsa Indonesia dalam status sebagai bangsa yang dijajah. Selain yang mengakui proses pembentukan bangsa melalui proklamasi kemerdekaan, ada juga yang meragukan proses pembentukan bangsa Indonesia melalui proklamasi kemerdekaan tersebut.13 Menurut Bothlink, bangsa Indonesia tidak mungkin terbentuk hanya dalam satu malam. Oleh karena itu, negara Republik Indonesia dianggap belum terbentuk (belum dianggap lahir) pada saat Proklamasi Kemerdekaan karena ada unsur konstitutif yang belum terpenuhi yakni unsur bangsa Indonesia. Pandangan demikian tentu saja keliru. Pandangan tersebut hanya memahami proses pembentukan bangsa Indonesia melalui proklamasi kemerdekaan dari sudut formalitas semata-mata tanpa memahami proses pembentukan kesadaran sebagai bangsa Indonesia sudah berlangsung dalam waktu yang cukup panjang. Proses pembentukan bangsa Indonesia sudah barang tentu tidak terjadi hanya dalam satu malam seperti secara keliru dikemukakan sarjana Barat di atas. Bukti-bukti sejarah perjuangan bangsa Indonesia dapat memperkuat proses pembentukan bangsa Indonesia tersebut. Bukti-bukti sejarah perjuangan bangsa Indonesia menunjukkan bahwa proses pembentukan kesadaran politik sebagai bangsa Indonesia telah melalui proses panjang sejak tahun 1928 (Sumpah Pemuda) dan bukan terjadi secara tiba-tiba (spontan). Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 hanya merupakan titik kulminasi pernyataan pembentukan bangsa Indonesia secara formal sedangkan secara material pembentukan kesadaran politik sebagai bangsa Indonesia telah berlangsung jauh sebelum proklamasi kemerdekaan sebagaimana dikemukakan di atas. Jika ditinjau dari sudut pandang Ilmu Negara Khusus Indonesia, proses 12 Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni,2000) hal 89 13 Bandingkan dengan pendapat Joeniarto yang dikemukakan dalam buku berjudul “Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Bina Akasara, 1984), hal. 4 pembentukan bangsa Indonesia dapat dibenarkan dari sudut pandang teori subjektif tentang pembentukan bangsa. Dalam pandangan teori subjektif tersebut, bangsa terbentuk bukan karena faktor persamaan warna kulit, keturunan darah (ras) dan etnis (nilai-nilai budaya), agama atau bahasa. Akan tetapi, karena faktor subjektif yakni kesadaran politik sebagai suatu bangsa. Hal yang sama dengan pandangan teori subjektif di atas juga terjadi pada bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia terbentuk bukan karena faktor persamaan ras, etnis, agama atau bahasa. Bangsa Indonesia terbentuk sebagai suatu bangsa bukan karena hal-hal objektif yang dikemukakan di atas melainkan karena faktor subjektif yakni kesadaran politik sebagai suatu bangsa (Natie). Menurut Padmo Wahyono, dengan proklamasi kemerdekaan (maksudnya: proklamasi kemerdekaan Indonesia - - - pen.) sekaligus terbentuk suatu bangsa yang sadar bernegara (Natie) sebagai suatu kelompok manusia.14 Sesuai dengan metode pendekatan atau sudut pandang teori subjektif yang dikemukakan di atas tidak perlu ada keraguan bahwa bangsa Indonesia telah terbentuk pada detik yang sama dengan proklamasi kemerdekaan. Sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, dalam perspektif hukum, bangsa Indonesia tentu saja dapat dipandang sebagai bangsa yang telah memiliki status hukum yang baru yakni sebagai bangsa berdaulat yang cakap melakukan perbuatan (tindakan) hukum. Kecakapan bertindak secara hukum tersebut dibuktikan bangsa Indonesia dengan membentuk suatu negara baru yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut merupakan wujud dari kemampuan menentukan bangsa Indonesia untuk nasib sendiri. Dengan perkataan lain, proklamasi kemerdekaan sebagai suatu pernyataan formal pembentukan bangsa Indonesia secara langsung mengandung konsekuensi yuridislogis yang kedua yakni pembentukan negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu subjek hukum internasional. Joeniarto misalnya mengemukakan pendapat sebagai berikut “Merdeka berarti bahwa mulai pada saat itu Bangsa Indonesia telah mengambil sikap untuk menentukan sendiri nasib bangsa dan nasib tanah airnya dalam segala bidang. Dalam hal kehidupan kenegaraan berarti bangsa Indonesia 14 Dalam pengertian yang sama, Padmo Wahyono mengemukakan bahwa Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia adalah suatu bentuk pernyataan formal. Lihat Padmo Wahyono, Negara Republik Indonesia, ( Jakarta: Rajawali,1995), hal. 4 akan menyusun negara sendiri.”15 Dengan perkataan lain, pembentukan Negara Republik Indonesia adalah ajang pembuktian kemampuan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan mampu menentukan nasib sendiri (self determination) serta mengorganisir diri dalam suatu organisasi negara. Sebab, setelah proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia telah memiliki kedaulatan untuk menentukan nasib dan tujuan hidupnya serta mengatur diri sendiri. Perbuatan untuk mendirikan negara Republik Indonesia tersebut merupakan bukti bahwa bangsa Indonesia mampu menentukan nasib dan tujuan hidupnya sendiri. Dalam konteks ini, Sugeng Istanto mengemukakan pendapat sebagai berikut “Proklamasi kemerdekaan adalah pernyataan sepihak dari suatu bangsa bahwa dirinya melepaskan diri dari kekuasaan negara lain dan mengambil penentuan nasibnya di tangannya sendiri.”12 Jika ditinjau dari sudut pandang lain yakni dari sudut pandang sosiologis, kemerdekaan bangsa dan eksistensi negara Republik Indonesia dapat pula dikatakan sebagai hasil dari suatu revolusi sosial.13 Sebagai hasil suatu revolusi, kemerdekaan bangsa Indonesia bukan pemberian orang lain (bangsa lain). Akan tetapi, sebagai hasil perbuatan yang diraih dengan pengorbanan. Secara tersurat, hasil revolusi sosial tersebut kemudian dituangkan dalam Alinea Kedua Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan “Atas Berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Detik-detik proklamasi kemerdekaan itu merupakan detik terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan perkataan lain, pada saat proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada saat itu pula terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.16 Jika ditinjau dari sudut pandang Ilmu Negara Khusus Indonesia, negara Republik Indonesia sudah terbentuk pada saat proklamasi kemerdekaan dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945. Alasan teoritis yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut. Secara teoretis, suatu negara dianggap ketiga unsur konstitutif pembentuk negara yaitu wilayah, bangsa dan pemerintahan yang berdaulat. Unsur-unsur konstitutif pembentuk negara Republik Indonesia telah 15 Ibid. 16 Padmo Wahyono, Negara Republik Indonesia, op. cit., hal. 4 terbentuk pada saat proklamasi kemerdekaan. Proses pembentukan Negara Republik Indonesia tersebut akan lebih jelas dapat dimengerti jika dipahami dengan bertitik tolak dari sudut pandang teori pertumbuhan negara primer dan sekunder. Setelah Negara Republik Indonesia terbentuk, bangsa Indonesia kemudian membentuk tata hukum bangsa Indonesia pascakemerdekaan. Pembentukan tata hukum bangsa Indonesia juga terjadi pada detik yang sama dengan proklamasi kemerdekaan.15 Keabsahan pembentukan tatanan hukum baru sebagaimana dikemukakan di atas berkaitan erat dengan status hukum bangsa Indonesia sebagai bangsa yang memiliki kemampuan bertindak secara hukum yang disinggung di atas. Oleh karena itu, secara logis dapat diterima bahwa setelah merdeka bangsa Indonesia memiliki kedaulatan untuk menentukan nasibnya sendiri sehingga dengan kedaulatan yang dimiliki tersebut, bangsa Indonesia mempunyai kekuasaan penuh untuk melakukan suatu perbuatan hukum yakni membentuk tata hukum sendiri. Dalam kaitan ini, B. Arief Sidharta mengemukakan pendapat sebagai berikut “Dengan proklamasi tersebut, maka dengan suatu tindakan tunggal, tatanan kolonial ditiadakan dan diatasnya terbentuk satu tatanan hukum baru.”17 Pembentukan tatanan hukum yang baru oleh pemerintah (penguasa) negara Indonesia yang baru merdeka dapat dibenarkan jika ditinjau dari sudut pandang salah satu mazhab dalam lingkungan filsafat hukum. Dalam konteks ini, tatanan hukum baru yang dibentuk berdasarkan proklamasi kemerdekaan itu dapat dikategorikan sebagai tatanan hukum yang ditetapkan oleh penguasa. Dari sudut pandang tertentu, pada hakikatnya, hukum adalah perintah yang berkuasa. Pandangan demikian selaras dengan pandangan salah satu aliran atau mazhab filsafat hukum yakni mazhab positivisme hukum.18 Landasan tatanan hukum baru bangsa Indonesia yang disebut di atas adalah proklamasi kemerdekaan yang secara lebih lanjut dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 yang mengandung Pancasila sebagai landasan falsafah negara. Dari sudut pandang tertentu, proklamasi kemerdekaan merupakan norma dasar yang menjadi titik tolak awal pembentukan segenap tatanan hukum baru bangsa Indonesia. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah tatatanan hukum bangsa 17 Daud Busroh, Kapita Selekta Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 14 18 B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Penelitian tentang Fondasi Kefilsafatan dan SIfat Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1999), hal. 1 Indonesia yang dilandasi oleh jiwa dan semangat filosofi proklamasi kemerdekaan yang berbeda dari filosofi tatanan hukum kolonial yang bersifat individualiasliberalis. Di atas landasan filosofi yang baru itu kemudian didirikan bangunan tatanan hukum baru bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.18 Seorang penulis yakni Sunarjati Hartono mengemukakan komentar sebagai berikut “. . . tanpa Proklamasi Kemerdekaan, maka UUD 1945 tidak mungkin ada sehingga Proklamasi Kemerdekaan merupakan Asas Hukum Tertinggi (Grundnorm) Hukum Nasional Indonesia yang bahkan mengilhami UUD dankarena itu Hukum Nasional Indonesia.”19 Cita-cita yang hendak dicapai tatanan hukum baru bangsa Indonesia adalah masyarakat yang adil dan makmur atau dengan sebutan lain yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Akan tetapi, sudah barang tentu, cita-cita itu tidak mungkin dicapai jika bangsa Indonesia tetap tunduk atau berpedoman pada produk hukum kolonial. Namun, sampai sekarang, secara de facto bangsa Indonesia belum memiliki kemampuan untuk mengganti dengan segera segenap tatanan hukum produk kolonial. Oleh sebab itu, untuk sementara dan sampai sekarang, bangsa Indonesia belum dapat mewujudkan cita-citanya di bidang hukum yakni membentuk suatu sistem hukum nasional. Dengan perkataan lain, situasi dan kondisi membuat bangsa Indonesia tidak mungkin dapat menindaklanjuti konsekuensi yuridis proklamasi kemerdekaan dalam bidang hukum yakni membentuk tatanan hukum nasional yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, produk hukum kolonial Belanda untuk sementara masih tetap berlaku melalui suatu kebijakan hukum yang bersifat sementara dalam rangka masa peralihan seperti tertuang dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum amandemen. Fakta yang dikemukakan di atas menjadi suatu masalah dan sekaligus merupakan pekerjaan besar serta menjadi tantangan yang harus dihadapi bangsa Indonesia dalam rangka melaksanakan segenap konsekuensi yuridis proklamasi kemerdekaan sebagaimana dipaparkan di atas. E. Kesimpulan Jika bertitik tolak dari uraian di atas dapat dikemukakan dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut. Jika ditinjau dari sudut pandang hukum, proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia berkedudukan sebagai pondasi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini, proklamasi kemerdekaan berkedudukan sebagai asas hukum tertinggi. Oleh sebab itu, proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia adalah batu penjuru atau batu penopang bangunan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia. Sebagai batu penjuru kehidupan berbangsa dan bernegara, proklamasi kemerdekaan menjadi titik tolak dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, makna atau konsekuensi yuridis proklamasi kemerdekaan seperti dikemukakan di atas sampai dengan sekarang masih belum terwujud sepenuhnya dalam kenyataan terutama dalam bidang tata hukum. Sesuai dengan kesimpulan yang dikemukakan di atas kiranya dapat dikemukakan saran sebagai berikut. Lembaga pembentuk hukum yakni DPR perlu segera melakukan pembentukan hukum (undang-undang) baru untuk mengganti segenap tatanan hukum produk kolonial Belanda yang masih merupakan bagian dari sistem hukum positif bangsa Indonesia sampai sekarang yang dipakai sebagai pedoman dan penuntun kehidupan berbangsa dan bernegara. Pembentukan hukum (undang-undang) baru tersebut harus berpedoman pada nilai-nilai dan semangat proklamasi kemederkaan bangsa Indonesia seperti dikemukakan di atas. DAFTAR PUSTAKA Busroh, Abu Daud. Kapita Selekta Hukum Tata Negara. Jakarta : Rineka Cipta, 1994 Friedmann, W. Legal Theory. London: Steven & Sons, 1960 Hamidi, Jazim. Revolusi Hukum Indonesia, Makna, Kedudukan dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 Dalam Sistem Ketatanegaraan. Jakarta-Jogjakarta: Konstitusi Press-Citra Media, 2006 Hartono, Sunarjati. Bhineka Tunggal Ika Sebagai Asas Hukum Bagi Pengembangan Hukum Nasional. Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2006 Istanto, Sugeng. Hukum Internasional.Yogjakarta: Penerbit Universitas Atmajaya, 1998 Joeniarto. Ilmu Hukum Tata Negara dan Sumber-sumber Hukum Tata Negara. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1968 Kranenburg, R. Ilmu Negara Umum. Jakarta: Pradnya Paramita, 1955 Kusumaatmadja, Mochtar dan B. Arief Sidharta. Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, 2000 Oesman Oetojo. dan Alfian. Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7 Pusat, 1995 Sidharta, B. Arief. Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Penelitian tentang Fondasi Kefilsafatan dan SIfat Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional. Bandung: Alumni, 1999 Wahyono, Padmo. Ilmu Negara. Jakarta: Indo Hill Co, 1999 ________. Negara Republik Indonesia. Jakarta: Rajawali, 1995 KARAKTER PENELITIAN HUKUM 1 19 Dalam prakteknya mahasiswa selalu kesulitan menulis skripsi. Untuk itu kiranya perlu ada penyeragaman metode penelitian ilmu hukum. Perspektif yang digunakan adalah kaidah hukum Yuridis normative. Bangunan ilmu pengetahuan yang merupakan objek kajian ilmu hukum harus selalu ditinjau dari aspek Ontologi, Epistimologi dan aksiologi. Bahan hukum yang digunakan pula adalah bahan hukum primer dimana kaedah ontologinya adalah norma, asas dan doktrin. Data adalah bukti awal adanya masalah yang pada gilirannya akan dituangkan dalam rumusan masalah skripsi itu. Kebenaran dalam ilmu hukum harus diperkuat dengan argumen. Karakteristik ilmu hukum adalah kebenaran yang diargumentasikan, bukan koresponden. Doktrin pula digunakan sebagai penguat tulisan atau pemaknaan. Ilmu harus dimulai dari keyakinan bukan dari rasionalitas. Karakteristik bahasa hukum adalah deskrisptif dalam tataran menjelaskan bersifat normative. Bermula ketika penulisan karya Ilmiah yang melibatkan dosen tetap baru fakultas hukum, Dr Hotma memandang bahwa kebanyakan penulisan lebih menekankan pada paparan pasal yang merupakan pengetahuan umum. Ilmu hukum adalah cabang ilmu yang mengkaji hukum dan hukum adalah objek kajiannya. Ilmu hukum pula seharusnya berfungsi menyelesaikan masalah hukum yang ada. Hal ini bisa dilakukan dengan kajian norma, asas dan doktrin. 1 Makalah “Metodologi Penelitian Hukum” disampaikan pada Acara Prajabatan dan Diskusi Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus Jakarta pada tanggal 3 dan 10 Agustus 2015. Naskah yang tersaji guna keperluan penyusunan buku ini sudah diedit seperlunya oleh editor. Karakteristik masalah hukum pada dasarnya terbagi atas 2 : 1. Masalah Hukum Makro Permasalahan hukum yang disebut makro manakala melibatkan kepentingan masyarakat. Sederhananya bisa dilihat apakah hukum itu bertentangan dengan peraturan (UU) yang lebih tinggi. Dalam kaidah ini, Ilmu hukum menawarkan gagasan baru berupa norma, asas, dan doktrin yang bertujuan merubah hukum positif yang ada (rechtsforming) Penyelesaian masalah hukum inilah yang menjadi karakteristik penulisan tesis dan disertasi, jadi harus ada temuan-temuan baru. Jadi yang mau dihasilkan, contohnya pada jurusan tata Negara, DPD sekarang ini tidak berfungsi seperti yang diteorikan, kita mengubahnya dengan memberikan suatu konsep idealnya hubungan DPR dengan DPD. Jadi harus melahirkan suatu gagasan baru yang berbeda dengan Undang-undang yang ada sekarang ini, rechtsvorming kita tawarkan, hal ini yang disebut ius constituendum skala makro. Titik tolaknya ada pada positivisme hukum, yaitu hukum adalah suatu perintah penguasa, kemudian hukum positif adalah hukum yang ditetapkan penguasa berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu. Kalau hukum itu tumbuh dari masyarakat, apakah itu termasuk hukum positif, jawabannya adalah tidak, ia adalah ius constituendum tatapi bisa menjadi ius constitutum jika diakui, Pasal 11 AB berisi hukum kebiasaan berlaku sepanjang itu dirujuk oleh UU. 2. Masalah Hukum Mikro Masalah hukum mikro berkaitan erat dengan kepentingan individu. Setidaknya ciri khasnya dapat dibedakan atas : 1. Ada suatu norma tapi norma itu dilanggar. 2. Ada kasus/perkara tapi tidak terdapat norma. 3. Ada norma hukum, namun masih tidak jelas/kabur. Masalah hukum harus tertuang dalam konsep. Kemudian disederhanakan dengan norma yg ada. Fokusnya adalah studi dokumen. Penelitian hukum bukan berkaitan dgn fakta sosial, tapi mengarahkan pada aspek norma hukum. Dalam membimbing skripsi harus mengenali karakteristik ilmu hukumnya. Kemanakah diarahkan masalah hukumnya, apakah makro atau mikro. Ketika dosen membimbing mahasiswa, Ia hendaknya mengarahkan kepada karakteristik kasusnya, kemudian ketika merumuskan masalah hukum bubuhkan teorinya. Begitu selesai merumuskan masalah hukumnya kemudian tidak langsung masuk pada Bab 2 melainkan langsung masuk ke Bab 5, jadi head-to-head masalah dan kesimpulan saling mengunci. Bab 1 adalah context of discovery, terakhir pada bagian kesimpulan adalah context of justification. Jika model tertentu pada latar belakang maka ada kesimpulan tertentu. Jadi Bab 1 dan Bab 5 saling mengunci. Dalam bahasa ilmu hal tersebut tidak bersifat siklus tapi hal tersebut bersifat spiral, jadi makin lama derajat kualitas penulisan makin tinggi. Jadi meskipun proses keilmuan berulang namun kualitasnya makin tinggi.” Kebenaran ilmu hukum adalah kebenaran yang diargumentasikan, sementara ilmu sosial, kebenaranya adalah karena fakta. Jadi jika ingin membangun argumentasi, mahasiswa harus tahu dahulu Bab 2, karena Bab 2 itulah yang menjadi dasarnya. Soerjono Soekanto dalam bukunya mengatakan “bahan hukum primer dijelaskan oleh bahan hukum sekunder”, jadi harus menguasai betul doktrinnya. Sebenarnya tidak ada pengandaian teori, ketika mahasiswa merumuskan masalah dikepalanya sudah ada teori, kalau tidak mahasiswa tidak bisa merumuskan masalah. Misalkan muncul rumusan masalah, Bagaimana penerapan pidana terhadap tindak pidana pencurian? Kemudian mahasiswa tidak tahu teori apa yang mau digunakan. Dalam filsafat merumuskan pertanyaan, dari kata ‘apa;bagaimana;mengapa’ punya karakteristik tertentu, pertanyaan ‘bagaimana’ selalu sifatnya deskriptif, sementara tujuan kita adalah penyelesaian masalah, kalau dalam penyelesaian masalah tidak boleh menggunakan pertanyaan ‘bagaimana’, logikanya kita ingin membangun suatu persoalan, kita buat argumennya maka tidak tepat ditanya ‘bagaimana’. Jika ada orang ditanya, ‘bagaimana kabar?’ Dijawab, ‘oh baik-baik saja’ yaitu deskripsi keadaan. Sementara penelitian tidak boleh bertanya bagaimana, kecuali dalam penelitian empiris, oleh karena itu pertanyaan semacam ini harus dicegah. Kesimpulan dari ilmu hukum bukan diperoleh karena datanya benar tapi dari kemampuan berargumentasi, jadi tidak perlu uji validitas data, karena semua data dari hukum sudah dianggap benar karena pertama data tersebut berupa data yang sudah ditetapkan Negara, maka tidak perlu diragukan lagi. Maka disini kita sebagai dosen pembimbing mengarahkan, sehingga menulis dalam ilmu hukum itu mengandalkan ilmu argumentasi, meskipun datanya adalah Undang-undang. Sebagai contoh ada seorang tersangka, Ia dikenakan pasal adalah 362 KUHP, disini fakta hukumnya sama, tapi pendapatnya beda-beda dalam argumentasinya. Satu hakim mengatakan hukuman 1 (satu) tahun yang lain mengatakan 6 (enam) bulan dan 3 (tiga) bulan, maka ketiga kesimpulan hakim tersebut adalah benar semua, mengapa? Karena disitulah subjektifitas manusia. Hakim yang menyimpulkan hukuman 6 (enam) bulan bukan karena fakta hukumnya bicara harus 6 (enam) bulan tapi logika dikombinasikan dengan rasa keadilan yang mengatakan demikian, maka kesimpulan hakim selalu bermuatan unsur subjektifitas, tidak ada kesimpulan hakim yang objektif. Kasusnya harus selalu bermuatan fakta (objektif) namun putusannya selalu bermuatan subjektif. Kalau dalam putusan tidak ada discenting opinion maka hal tersebut adalah salah. Jadi kalau ada perkara yang naik sampai mahkamah agung, yang menyimpulkan 1 (satu) tahun tetap saja kesimpulan tersebut dapat dibenarkan selama ada argumentasinya. Jadi dalam membimbing mahasiswa jangan disuruh untuk mencari kelemahan dalam suatu putusan, apalagi putusan yang sudah incraht van gewijde. Jadi mahasiswa seharusnya diminta untuk berpikir dengan cara yang berbeda dari cara berpikir dari putusan, metode ilmiahnya tetap 1 (satu). Jadi disitu pentingnya mahasiswa mencari teori yang mendukung argumentasinya. Bahasa ilmiah terdiri dari 4 (empat), pertama statistik, kedua matematik, ketiga bahasa, dan keempat logika. Jika kita ingin bicara penelitian dalam konteks ilmu yang didalamnya tidak terdapat satupun bahasa ilmiah tersebut, maka hal tersebut tidak diperbolehkan. Misalkan ada hasil penelitian yang menampilakan gambar-gambar, hal tersebut harus dilarang karena gambar belum menjadi bahasa ilmiah. Jadi kedepan dalam presentasi mahasiswa tidak boleh menampilkan gambar dalam slide-nya. Dalam ilmu hukum menggunakan 2 (dua) bahasa ilmiah yaitu logika dan bahasa. Maka tulisan yang tidak mengikuti kaidah bahasa harus diperbaiki. Dalam penulisan ilmiah, usahakan menggunakan ‘bahasa kuat’ hindari penggunaan kalimat negatif atau kalimat pasif. Seperti penggunaan kata ‘dalam’, karena kata ini umumnya akan diikuti dengan kalimat pasif. Usahakan kalimat pendek, maksimum penggunaan kata dalam kalimat adalah 21 kata. Berikutnya ketika menempatkan anak kalimat didepan harus diikuti ‘koma’, contohnya “sebagaimana yang telah dikemukakan dikeluarkanlah peraturan pemerintah no xx” kalimat tersebut tidak boleh karena rumusnya anak kalimat-frasa-koma, baru diikuti induk kalimat lengkap. Kalau anak kalimat didepan kemudian masuk kata kerja setelah koma maka itu bukan kalimat. Karena polanya adalah anak kalimatinduk kalimat. Jika induk kalimat didepan, anak kalimat tidak usah. Contoh: “Kemarin sore,” (diikuti kalimat lengkap) “Kemarin sore, ibu pergi kepasar” (benar) jika dibalik “ibu pergi kepasar kemarin sore” Kemarin sore pergilah ibu kepasar (salah) Jadi setelah ada koma(,) tidak boleh ada kata kerja tapi harus diikuti oleh subjek. Kemudian pemakaian kata ‘maka’ harus kita seragamkan. Contoh “jika X maka Y” ini merupakan pemakaian kata yang salah. Jadi harus selalu merujuk pada pedoman pemakaian bahasa yang benar. Kata ‘maka’ merupakan kata sambung yang sama posisinya dengan ‘oleh sebab itu’, ‘oleh karena itu’,’ namun’ dalam pedoman bahasa Indonesia hal tersebut tidak ada. Inilah tantangan menjadi dosen pembimbing. Ada akademisi yang kolot, yaitu akademisi yang tidak mau mengakui karakteristik ilmu yang lain, dianggapnya ilmu adalah ilmu hanya seperti yang dia miliki, orang tersebut lupa bahwa konsep ilmu itu ada 4 (empat). 1. Positivisme Logis; 2. Rasionalisme Kritis; 3. Paradigma Thomas; 4. Hermeunetika; Teori hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan hukum yang otonom yang setara dengan cabang filsafat hukum dan ilmu hukum. Hal ini tidak sama dengan ilmu lain yang menganggap teori hanya sekedar teori. Doktrin tentang demokrasi dan kedaulatan rakyat. Apa beda kedaulatan rakyat dan demokrasi? Demokrasi adalah sistim penyelenggaraan Negara. Kedaulatan rakyat adalah kekuasaan tertinggi ada ditangan rakyat, konsekuensinya rakyat harus dilibatkan dalam segala aspek penyelenggaraan Negara. Penyelenggaraan Negara ada 2 (dua) model, ‘langsung’ atau ‘tidak langsung’. Mahasiswa diarahkan untuk mencari putusan di pengadilan, karena fakta dalam putusan tersebut sudah diuji menjadi fakta hukum. Studi kasus dalam ilmu hukum harus dibedakan dari studi kasus dalam ilmu sosial. Dalam ilmu sosial masih perlu uji validitas data sementara dalam Ilmu hukum tidak diperlukan. Dalam ilmu hukum lebih tepat disebut studi putusan disbanding disebut sebagai studi kasus, untuk membedakan itu maka dibedakan data dalam ilmu hukum adalah data sekunder bukan data primer” Soerjono Soekanto menyebutkan 9 (Sembilan) makna hukum, hal itu merupakan paradigma dasarnya, ‘hukum adalah ilmu pengetahuan, hukum adalah petugas, hukum adalah keputusan, hukum adalah norma, dan seterusnya’ ini lah menjadi batu loncatan atau starting point. Yang kedua jika ini kita maknai sebagai hukum adalah keputusan, maka pertanyaannya adalah apakah hal tersebut masuk dalam kajian disiplin ilmu hukum atau disiplin ilmu sosial, karena menurut buku purwacaraka, ada 2 (dua) disiplin umum, disiplin hukum menurutnya masih mengikuti pemikiran abad 19, disiplin hukum adalah: 1. Ilmu Hukum; 2. Politik Hukum; dan 3. Filsafat Hukum; Dalam Disertasi Arief Sidharta, politik hukum bukan termasuk disiplin hukum, termasuk tulisan dari Sidharta (kecil) yang berjudul ‘karakteristik ilmu hukum’. Arief Sidharta menempatkan disiplin hukum menjadi 3 (tiga): 1. Ilmu Hukum; 2. Teori Hukum; dan 3. Filsafat Hukum;” Persoalanya adalah, apakah hukum sebagai keputusan penguasa itu menjadi objek kajian disiplin hukum atau disiplin sosial? Salah satu paradigm/cara berpikir seperti inilah yang dapat diuji. Dalam buku politik hukum karangan Miriam Budiarjo mengatakan ‘salah satu kajian ilmu politik adalah hukum sebagai keputusan penguasa, maka persoalan selanjutnya adalah hukum sebagai keputusan penguasa itu ada yang mengandung norma hukum, ada yang mengandung kebijakan hukum dan ada yang mempergunakan norma hukum tersebut sebagai instrumen kebijakan hukum. Nah inilah yang sedang Dr. Hotma kembangkan menjadi objek kajian ilmu politik hukum, jadi hukum sebagai keputusan penguasa sebenarnya bukan objek kajian disiplin hukum, tapi menjadi disiplin politik tapi sepanjang hukum sebagai keputusan penguasa yang mengandung kebijakan hukum Dr. Hotma kembangkan menjadi objek kajian ilmu politik hukum. Kemudian kembali pada Satjipto, dia tidak bergerak dari disiplin hukum, itu sebabnya dia katakan hukum itu bukan sesuatu yang sudah ‘jadi’. Jadi kalau dirunut akar filsafatnya dia tidak tidak mungkin berasal dari positivisme hukum. Satjipto melihat hukum secara holistik bahwa hukum adalah satu aspek dari kehidupan bermasyarakat, jadi disini dituntut untuk mengembangkan ilmu hukum yang tidak bersifat dogmatik, karena kalau ilmu hukum bersifat dogmatik tidak akan bisa menjawab pertanyaan tersebut. Atau dapat dikembangkan ilmu hukum yang nonsistematik, maka kita akan menggunakan ilmu hukum yang bersifat postmodernisme. Jadi kita harus kembali kepada kurikulum, jika kita memasukan ilmu hukum yang non-sistematik maka tidak akan diakui. Sebelum melangkah lebih jauh terlebih dahulu kita mempelajari ilmu hukum yang sistematik yaitu ilmu hukum dalam kondisi normal. Jadi teman-teman, khususnya dari jurusan tatanegara, harus kuat dalam dogmatik tentang filasafat hukum. Karena menurut teori Hamitatamini dan Hans Kelsen, sesudah cita-hukum, kemudian grundnorm, kemudian UUD’45. Baca lebih lanjut tulisan Dr.Hotma mengenai ‘makna proklamasi’ dijurnal UPH. Ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan Praktis Normologis yang otoritatif. Objek kajian ilmu hukum sebagai Ilmu Praktis Normologis adalah kaedah-kaedah hukum. Kaedah hukum itu sendiri dapat disebut sebagai teks otoritatif (teks yang berwibawa) karena ditetapkan oleh lembaga yang berwenang. Sebagai teks, kaedah hukum bermuatan aturan-aturan hukum yang terdiri atas produk perundang-undangan, putusan-putusan hakim, hukum tidak tertulis dan karya ilmuwan hukum yang berwibawa dalam bidangnya (doktrin). Oleh karena itu, sasaran penelitian Ilmu Hukum sebagai Ilmu Pengetahuan Praktis Normologis yang bersifat otoritatif pada dasarnya adalah hukum atau kaedah hukum. Pengertian kaedah hukum di sini meliputi asas hukum, kaedah hukum dalam arti norma, peraturan hukum konkrit dan sistem hukum. Oleh karena itu penelitian hukum dalam arti meneliti kaedah atau norma disebut penelitian hukum normative. Metode penelitian yuridis normatif yang terdiri atas: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Perumusan masalah hukum Pengumpulan bahan-bahan hukum Penentuan dan penetapan makna bahan hukum tersebut Merumuskan argumentasi gagasan hukum Menguji gagasan tersebut Menuangkan gagasan tersebut kebentuk tertulis Suatu metode penelitian ilmiah yaitu penelitian hukum yuridis- normatif merupakan suatu tahapan-tahapan yang dilakukan peneliti dalam meneliti norma-norma hukum, asas-asas hukum dalam menyelesaikan masalah hukum yaitu dengan mempelajari bahan-bahan hukum dari berbagai pustaka hukum; tulisan hukum, jurnal hukum, berbagai literatur dan buku-buku hukum, perundangundangan dan media elektronik yang berkaitan dengan judul penelitian dan yang berkaitan dengan masalah hukum yang telah ditetapkan peneliti. SEKILAS TENTANG PROF. USEP RANAWIJAYA, SH Usep Ranawijaya adalah tokoh senior nasional dan seorang nasionalis tulen. Ia memiliki karir panjang dan seorang intelelektual di bidang hukum. Lelaki bersahaja dan selalu berkacamata ini, merupakan guru besar Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Beliau adalah bekas Sekretaris Jenderal Konstituante, yang ikut menyusun konstitusi baru sebagai pengganti UUD 1945. Dewan konstituante di bentuk pada tahun 1955 yang merupakan hasil pemilu yang ditengarai oleh sejumlah pihak sebagai pemilu yang paling demokratis dalam sejarah pemilu di Indonesia. Anggota Dewan konstituante yang terpilih bekerja untuk menyusun konstitusi baru. Namun hingga tahun 1959, konstitusi baru tersebut tidak kunjung selesai, karena perdebatan ideologis yang alot dalam menentukan dasar negara pada saat itu. Maka sidang sulit mengambil keputusan. Dengan alasan kondisi Negara dalam keadaan darurat, Soekarno membubarkan Dewan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945. Usep terlibat dan menjadi salah satu bagian dari sejarah yang dicatat itu. Secara jelas, Usep bukan saja menjadi bagian dari anak bangsa yang memberi alunan sejarah di masa lalu, tetapi dia meletakkan konsep hukum yang memastikan dirinya sebagai aktor intelektual dalam mengurai hukum tata negara. Meskipun seorang intelektual dan akademisi, Usep Ranawijaya menjadi calon legislatif untuk DPR RI pada tahun 2004. Dalam sejarah karirnya, Usep juga pernah menjadi Duta Besar Indonesia di Vietnam. Beliau menguasai banyak bahasa, diantaranya bahasa Inggris, Belanda, Perancis, Jerman dan Vietnam. Penguasaan terhadap banyak bahasa dan pengalamannya yang diperoleh dari dunia praktis membuat kematangan pengetahuannya sangat baik. Sang guru besar ini menulis buku Hukum Tata Negara Indonesia: Dasar-dasarnya. Buku hukum tata negara yang ditulisnya dikutip oleh banyak peneliti, akademisi, dan juga praktisi dalam berbagai kesempatan. Usep Ranawijaya Research Centre adalah suatu lembaga yang mengambil spirit dari Usep Ranawijaya dalam melakukan aktivitasnya. Dalam konteks ini, sebuah lembaga harus memiliki ciri khas dan kekhususan tertentu. Oleh karena itu, Usep Ranawijaya Research Centre bukanlah lembaga yang mengkaji personalitas sang tokoh. Namun spirit dan kerja keras Usep Ranawijaya menjadi salah satu pemacu semangat dalam aktivitas kelembagaan. Usep Ranawijaya Research Centre adalah lembaga independen, non profit dan professional yang berkomitmen mendorong kajian-kajian hukum secara sistematis, berkeadilan dan menjunjung tinggi keterbukaan serta akuntabilitas. Usep Ranawidjaja Research Center (URRC) merupakan lembaga kajian di lingkungan Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus (UTA) 1945 Jakarta. Tujuannya untuk mempertajam respon terhadap tema dan isu-isu hukum aktual yang berkaitan dengan aplikasi teoritis maupun praktis yang dibutuhkan masyarakat. URRC berstatus sebagai lembaga studi independen di bawah koordinasi Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta dan secara teknis operasional dikoordinasikan oleh Fakultas Hukum UTA’45 Jakarta. URRC menjadi muara kajian-kajian keilmuan hukum yang tersebar di tiap rumpun dan jurnal ilmiah yang dimiliki Fakultas Hukum. URRC diharapkan mampu berkontribusi menyediakan sumberdaya akademik untuk mengkaji persoalan-persoalan hukum yang dihadapi masyarakat, sekaligus memberikan alternatif solusi yang cerdas dan mencerahkan.