Merawat Cita-Hukum Pancasila

advertisement
MERAWAT CITA-HUKUM PANCASILA
Kompilasi Buah Pikir & Gagasan Hotma P. Sibuea
Diterbitkan Dalam Rangka Satu Tahun Dedikasi
Usep Ranawijaya Research Center (URRC)
Usep Ranawijaya Research Center
Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945
2015
SEKAPUR SIRIH
Puji syukur disampaikan kepada Allah SWT atas nikmat hidup yang ditandai
dengan keinginan besar untuk terus memberikan karya yang berguna bagi
masyarakat hukum. Atas izin Allah SWT pulalah meski dengan keterbatasan waktu
dan keadaan, Tim Editor dapat merampungkan kompilasi tulisan dari Dr. Hotma
Sibuea sebagai Dosen Senior di lingkungan Fakultas Hukum UTA ’45 Jakarta.
Beliau merupakan seorang pemikir yang pernah menjadi murid sekaligus asisten
kesayangan Prof. Usep Ranawijaya.
Jika tahun pertama berdirinya URRC pada tahun 2014 lalu, dedikasi diberikan
kepada Prof Usep dengan menerbitkan kumpulan pemikiran Usep Ranawijaya,
Maka tahun kedua berdirinya URRC diterbitkan pikiran-pikiran dari Dr. Hotma
Sibuea, Sang Usep Kecil. Pertanyaannya, mengapa beberapa tulisan Hotma?
Hotma Sibuea telah secara serius mendalami hukum tata negara dengan cara
pandang yang khas ilmu hukum. Selama 30 tahun lebih Beliau telah
mendedikasikan ilmunya melalui pola pemikiran yang terkadang sedikit narsis.
Tidak dapat dipungkiri kharisma yang sangat kental dalam tiap pemilihan kata
guna menelurkan pikiran-pikirannya sangat dalam dan tanjam. Motonya pula yang
selalu dipegang ‘bukan keluasan tetapi kedalaman’.
Buku ini hanya beberapa dari karya beliau yang tercecer (yang sedikit dipaksa
untuk itu oleh Dekan FH UTA ’45) kepada URRC untuk dikompilasi. Sebagai
‘pemikir’ yang produktif, ia dipaksa juga untuk membagi ilmunya kepada dosendosen yunior dalam diskusi-diskusi terbatas di FH UTA ’45 Jakarta. Materi yang
disajikan dalam buku kecil ini merupakan ide-ide orsinal beliau yang dituangkan
(tidak dalam tataran kelisanan) namun terdokumentasi dalam bentuk tulisan. Untuk
itulah kiranya buku kecil ini menjadi alat pengepul tambang emas pemikiran yang
berserakaan dari Beliau. Kiranya pikiran-pikirannya yang tersaji dalam buku ini
bermanfaat bagi kontribusi berkembangnya ilmu hukum di Indonesia.
Buku ini memuat lima karya. Diantaranya makalah Dr Hotma dan tim yang
berjudul “Pembaharuan Hukum Acara Pidana dan Jabatan Hakim Pemeriksa
Pendahuluan Dalam Perspektif Pancasila, Asas-Asas Hukum Dan Politik Hukum
Nasional”
disampaikan
dalam
Seminar
Komisi
Hukum
Nasional
yang
diselenggarakan di Jakarta tanggal 26-27 November 2013 di Hotel Bidakara.
Artikel berjudul “Pemberhentian Presiden/Wakil Presiden Pada Masa Jabatan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistim Ketatanegaraan Indonesia”
dipublikasikan pada Jurnal Staatrechts FH UTA ’45 Jakarta, Vol. 1 No. 1 Tahun
2014.
Kemudian artikel berjudul “Konsekuensi Yuridis Proklamasi Kemerdekaan Bagi
Bangsa Indonesia Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara” dipublikasikan
pada Jurnal Law Review FH UPH Vol.XII No.3, Maret 2013. Makalah berjudul
“Landasan/Dasar dan Arah Pengembangan Pengajaran Hukum dan Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta Dalam Perspektif Cita
Hukum (Rechtsidee) Pancasila.
Pokok-pokok pikiran yang disampaikan dalam diskusi dosen Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta pada tanggal 12 Februari 2015 dalam rangka
persiapan menyambut Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016. Makalah
“Metodologi Penelitian Hukum” disampaikan pada Acara Prajabatan dan Diskusi
Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus Jakarta pada tanggal 3 dan 10
Agustus 2015.
Gagasan yang diberikan Dr Hotma selalu memiliki akar filsafat ilmu yang kuat dan
dalam. Tak ayal jika nantinya mungkin saja akan mendapatkan pengikut untuk
mengembangkan
pemikiran-pemikirannya,
semacam
‘Hotmanian’
atau
‘Hotmaxisme’, seperti halnya ‘Kaum Tjipian’ yang sangat terkenal di di FH Undip
Semarang.
Ucapan terimakasih Tim Editor sampaikan kepada teman-teman yang terlibat dan
ikut membantu dalam penyusunan buku kecil ini. Kepada Dr. Hotma Sibuea, Tim
meminta maaf karena tidak memberitahukan terlebih dahulu mengenai rencana
penerbitan buku ini. Hal ini merupakan dedikasi sekaligus kado kecil bagi Beliau
agar kiranya api semangat membagi pikiran-pikirannya, khususnya pada dosendosen muda tetap menyala. Harapan terakhir, kiranya buku ini bermanfaat bagi
seluruh pembaca. Semoga !
Tim
Editor
DAFTAR ISI
Sekapur Sirih
1.
Cita Hukum Pancasila Menjadi Ciri Khas
Fakultas Hukum UTA’ 45
2.
5.
23
Pemberhentian Presiden Dan Wakilnya
Merujuk Pancasila dan UUD
4.
6
Cita Hukum Pancasila Sebagai Rujukan Ekslusif
Pembaharuan Hukum Nasional
3.
i
37
Merdeka : Pancasila Mampu Hapus
Produk Hukum Kolonial
73
Karakter Penelitian Hukum
85
CITA HUKUM PANCASILA MENJADI CIRI KHAS
FAKULTAS HUKUM UTA’ 451
1.Sesuai dengan anak judul di atas, ide atau gagasan dalam tulisan ini semata-mata
adalah langkah awal untuk mengembangkan Pengajaran Hukum Dan Ilmu
Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
Perspektif Cita
Dalam
Hukum (Rechtsidee) Pancasila. Oleh karena itu, ide yang
dikemukakan dalam pokok-pokok pikiran berikut masih memiliki banyak
kekurangan pada berbagai hal atau aspek. Ide atau gagasan yang dikemukakan
dalam pokok-pokok pikiran dalam makalah ini adalah tindak lanjut dari diskusi
yang dilakukan beberapa kali dengan dekan dan rekan-rekan dosen Fakultas
Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Diskusi dilakukan pada waktu
senggang dan dalam suasana santai atau informal.
2.Sebagai kesimpulan diskusi yang sudah dilakukan, Fakultas Hukum Universitas
17 Agustus 1945 dipandang perlu memiliki ciri khas yang berbeda dari ciri khas
fakultas hukum yang lain. Sepanjang yang dapat diketahui, ada beberapa
fakultas hukum yang mencanangkan memiliki ciri khas dengan cara seperti
pengajaran hukum yang berfokus pada hukum bisnis, hukum agraria, hukum
ketatanegaraan, hukum pidana dan lain-lain. Ada pula fakultas hukum yang
memiliki ciri khas dari perspektif metode pendekatan dalam pengajaran hukum
yakni berfokus pada metode pendekatan empiris. Menurut penulis, cara untuk
membangun ciri khas tidak perlu meniru cara yang dilakukan oleh fakultas
hukum seperti disebut di atas. Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945
1
Judul asli makalah ini adalah Landasan/Dasar Dan Arah Pengembangan
Pengajaran Hukum Dan Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus
1945 Jakarta Dalam Perspektif Cita Hukum (Rechtsidee) Pancasila (Suatu Langkah
Awal). Ditulis dan dipresentasikan oleh Dr. Hotma P. Sibuea dalam Prajabatan Dosen
tetap UTA’45 pada tanggal 3 dan 10 Agustus 2015. Judul diubah semata-mata guna
kepentingan pembuatan buku ini tanpa mengurangi isi kandungan yang ada.
perlu menempuh cara lain untuk membangun ciri khas yang berbeda dari
fakultas hukum yang lain.
3.Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta mengumandangkan pernyataan sebagai
kampus kaum nasionalis. Sebagai bagian dari kampus nasionalis, Fakultas
Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta harus memiliki ciri khas yang
mencerminkan
nilai-nilai
kebangsaan
(nasionalisme).
Dalam
konteks
implementasi nilai-nilai kebangsaan dalam khasanah akademik dan ilmu
pengetahuan hukum, ciri khas nasionalis seyogianya tercermin dalam dasar
(landasan) dan arah pengajaran hukum dan Ilmu Hukum di Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Secara lebih konkrit, ciri khas nasionalis
tersebut seyogianya tercermin dalam kurikulum pengajaran hukum dan ilmu
hukum pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta.
4.Dalam rangka implementasi nilai-nilai kebangsaan (nasionalisme) sebagai ciri
khas pengajaran hukum dan Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas 17
Agustus 1945 Jakarta, dasar dan pengembangan pengajaran hukum dan ilmu
hukum pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 harus bertitik tolak
dari sesuatu yang fundamental dalam kehidupan hukum bangsa Indonesia.
Sesuatu hal yang fundamental tersebut adalah pandangan hidup bangsa
Indonesia. Pandangan hidup bangsa Indonesia harus menjadi dasar (landasan)
dan arah pengembangan pengajaran hukum dan ilmu hukum pada Fakultas
Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Jalan pikiran demikian bertitik
tolak dari atau berpedoman pada gagasan Soediman Kartohadiprojo yang
mengemukakan komentar sebagai berikut “. . . pemikiran hukum dan
pengembanan Ilmu Hukum di Indonesia seyogianya berpangkal pada titik tolak
pandangan hidup bangsa Indonesia tersebut.”3
1
Judul asli makalah ini adalah Landasan/Dasar Dan Arah Pengembangan
Pengajaran Hukum Dan Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus
1945 Jakarta Dalam Perspektif Cita Hukum (Rechtsidee) Pancasila (Suatu Langkah
Awal). Ditulis dan dipresentasikan oleh Dr. Hotma P. Sibuea dalam Prajabatan Dosen
tetap UTA’45 pada tanggal 3 dan 10 Agustus 2015. Judul diubah semata-mata guna
kepentingan pembuatan buku ini tanpa mengurangi isi kandungan yang ada.
5.Ide atau gagasan untuk membangun dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan
Hukum berkarakter Indonesia seperti dikemukakan Soediman Kartohadiprojo
juga dilakukan pada cabang ilmu pengetahuan Teori Hukum. Gagasan atau ide
untuk membangun dan mengembangkan Teori Hukum berkarakter Indonesia
juga mulai dirintis oleh sarjana hukum atau penulis-penulis lain. Ada penulis
yang sudah mulai merintis untuk membangun dan
mengembangkan Teori
Hukum sebagai cabang ilmu pengetahuan hukum yang memiliki ciri khas
Indonesia yakni Saudara Oloan Sitorus dan Darwinsyah Minin.2
6.Dalam konteks hukum atau kehidupan hukum bangsa Indonesia, pandangan
hidup yang dimaksud Soediman Kartohadiprojo adalah Pancasila3. Pancasila
disebut sebagai cita hukum (rechtsidee) bangsa Indonesia dalam konteks hukum
dan kehidupan hukum.4 Oleh karena itu, titik tolak, landasan atau dasar untuk
membangun ciri khas pengajaran hukum dan Ilmu Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta adalah cita hukum Pancasila.
Dengan perkataan lain, sebagai implementasi nilai-nilai kebangsaan dalam
konteks akademik atau ilmu pengetahuan hukum, cita hukum Pacasila harus
ditempatkan sebagai landasan dan arah pengembangan pengajaran hukum dan
Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
2
Soediman Kartohadiprojo, Pantja Sila, Suatu Usaha Percobaan Mendekati
Problema Sekitarnya dalam Bernard Arief Sidharta, Refleksi Refleksi tentang Struktur
Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu
Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia (Bandung,
1999), hlm. 174.
2
Oloan Sitorus dan Darwinsyah Minin, Membangun Teori Hukum Indonesia
(Yogjakarta, 2005), 40 halaman.
3
Soediman Kartohadiprojo, Pantja Sila, Suatu Usaha Percobaan Mendekati
Problema Sekitarnya dalam Bernard Arief Sidharta, Refleksi Refleksi tentang Struktur
Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu
Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia (Bandung,
1999), hlm. 174.
4
Abdul Hamid S Attamimi, Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum
Bangsa Indonesia dalam Oetojo Oesman dan Alfian (ed.), Pancasila Sebagai Ideologi
Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara (Jakarta,
1992), hlm. 62.
7.Dalam hubungan dengan upaya perintisan landasan dan arah pengembangan
pengajaran hukum dan Ilmu Hukum berdasarkan cita hukum (rechtsidee)
Pancasila, pokok-pokok pendirian atau prinsip yang menjadi titik tolak pokokpokok pikiran (ide atau gagasan) yang dikemukakan dalam makalah singkat ini
adalah hal-hal berikut ini.
8.Pertama, gagasan (ide) untuk membangun dan mengembangkan pengajaran
hukum dan Ilmu Hukum yang berkarakter nasional (Indonesia) berdasarkan cita
hukum Pancasila bertitik tolak dari sejarah perkembangan Ilmu Hukum (faktor
internal). Sejak Revolusi Perancis berakhir, Ilmu Hukum berkarakter universal
berganti menjadi Ilmu Hukum berkarakter nasional. Ilmu Hukum memiliki
karakter nasional karena objek kajiannya adalah hukum positif dari suatu negara
tertentu. Sesuai dengan objek kajiannya yakni hukum positif suatu negara, Ilmu
Hukum yang berkembang pada tiap negara memiliki ciri-ciri dan karakter
nasional yang berbeda dari Ilmu Hukum negara lain. Pandangan demikian
dikemukakan oleh seorang guru besar Ilmu Hukum berkebangsaan Belanda
yakni Paul Scholten. Paul Scholten mengemukakan pandangan sebagai berikut:
“Ilmu tentang hukum positif selalu merupakan ilmu dari suatu hukum
positif tertentu dalam sebuah negara tertentu. Ilmu Hukum itu sendiri
ditentukan secara historis dan nasional. Ilmu (de wetenschap) tentang
hukum positif (het positief recht) itu tidak ada, yang ada adalah ilmu
tentang hukum positif Belanda atau Perancis. . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . Hanya orang yang berpartisipasi pada hukum ini yang
dapat mengerjakannya, hanya orang Belanda yang dapat mengolah
hukum positif Belanda. Ini tidak berarti bahwa orang asing tidak dapat
melakukan pemaparan yang demikian (memaparkan hukum kita - - maksudnya hukum orang Belanda --- pen.), tetapi ini akan menjadi
perbandingan hukum.5
5
Paul Scholten, De structuur der Rechtswetenschap atau Struktur Ilmu Hukum
(terj. Bernard Arief Sidharta), (Bandung, 2003), hlm. 15-16.
9.Kedua, faktor eksternal yakni faktor kondisi faktual bangsa Indonesia yang
sampai sekarang masih “dijajah” oleh ilmu hukum peninggalan Belanda
meskipun bangsa Indonesia sudah merdeka sejak 65 (enam puluh lima) tahun
lalu. Bernard Arief Sidharta mengemukakan sebagai berikut “Ilmu Hukum yang
diajarkan di dalam lingkungan pendidikan tinggi hukum di Indonesia
pada
permulaannya berasal dari ilmu hukum yang dikembangkan oleh Belanda yang
tatanan hukumnya termasuk dalam lingkungan Romano-Germanic Law
(Kontinental).”6
10.Oloan Sitorus dan Darwinsyah Minin mengemukakan pandangan yang senada
dengan Bernard Arief Sidharta di atas sebagai alasan untuk mengembangkan
pengajaran hukum dan ilmu hukum berkarakter nasional. Oloan Sitorus dan
Darwinsyah Minin mengemukakan pendapat sebagai berikut:
“Meskipun sejak tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia telah berdiri
sebagai negara yang berdaulat yang berarti sejak saat itu dilakukan
penjebolan hukum kolonial dan pembangunan hukum nasional,
namun sampai saat ini masih dirasakan adanya penetrasi nilai-nilai
hukum dan postulat-postulat hukum yang bersumber pada falsafah
liberal-individualistik negara Barat.”7
11.Satjipto Rahardjo mulai mengembangkan Ilmu Hukum Indonesia dengan
berlandaskan pada hukum progresif. Ilmu Hukum progresif versi Satjipto
Rahardjo memiliki ciri tertentu sebagai Ilmu Hukum yang membebaskan.
Dalam
hubungan
dengan
Ilmu
Hukum
Progresif
yang
berkarakter
membebaskan itu, Satjipto Rahardjo mengemukakan sebagai berikut:
“Ilmu Hukum progresif memperhatikan semua kendala tersebut. Demi
mengejar garis depan ilmu yang selalu berubah di atas, maka ia (Ilmu
Hukum Progresif - - - pen.) memilih untuk membiarkan dirinya
6
Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah
Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai
Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia (Bandung, 1999), hlm. 12.
7
Oloan Sitorus dan Darwinsyah Minin, Op. cit., halaman 1.
terbuka dan cair sehingga selalu bisa menangkap dan mencerna
perubahan yang terjadi. Dalam kualitas yang demikian itu maka Ilmu
Hukum Progresif adalah tipe ilmu yang selalu gelisah melakukan
pencarian dan pembebasan.”8
12.Bernard Arief Sidharta memulai upaya pembangunan dan pengembangan Ilmu
Hukum berkarakter Indonesia dengan menulis sebuah disertasi tentang
Struktur Ilmu Hukum yang bertitik tolak dari perspektif Filsafat Ilmu. Upaya
tersebut bertitik tolak dari kedua faktor di atas. Bernard Arief Sidharta merintis
pengembangan Ilmu Hukum Indonesia yang berkarakter nasional dengan
fondasi Pancasila sebagai cita hukum.9 Dalam karya yang lain, Bernard Arief
Sidharta mengemukakan komentar sebagai berikut:
Tulisan berbentuk buku kecil yang sekarang ini diberi judul “Ilmu
Hukum Indonesia,” karena memang dimaksudkan sebagai bahan bacaan
untuk mempelajari tatanan hukum positif yang berlaku di Indonesia,
khususnya bagi para mahasiswa yang sedang mempelajari hukum di
perguruan tinggi di Indonesia. Berkenaan dengan hal itu, Paul Scholten
dalam suatu makalah berjudul “De structuur der Rechtswetenschap”
mengemukakan bahwa “Ilmu dari Hukum positif pada akhirnya adalah
ilmu tentang hukum positif tertentu yang berlaku di suatu negara
tertentu. Hukum positif demikian sangat dipengaruhi sejarah dan berada
pada lingkup nasional . . . . . . . (dan seterusnya seperti dikutip di atas).”
Jika pendapat Scholten ini benar, maka pernyataan tadi berlaku bagi
semua ilmu hukum, yang pada dasarnya adalah selalu ilmu hukum
positif suatu negara tertentu, termasuk bagi Ilmu Hukum Indonesia.”10
8
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum
Indonesia dalam Ahmad Gunawan dan Mu’ammar Ramadhan (penyunting), Menggagas
Hukum Progresif Indonesia (Semarang, 2006), hlm. 1-18.
9
Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Op. cit., hlm. 180.
10
Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia, Upaya Pengembangan Ilmu
Hukum Sistematik Yang Resposif Terhadap Perubahan Masyarakat (Yogjakarta, 2013),
halaman V-VI pada kata pengantar.
13.Jika bertitik tolak dari jalan pikiran Bernard Arief Sidharta yang dikemukakan
di atas, Ilmu Hukum Indonesia seharusnya berbeda dari Ilmu Hukum negara
lain. Masing-masing Ilmu Hukum yang berkembang dalam suatu negara
memiliki karakter nasional sesuai dengan sejarah bangsa yang bersangkutan.
Jika demikian halnya, Ilmu Hukum yang harus dikembangkan di Indonesia
adalah Ilmu Hukum Indonesia yang memiliki karakter nasional sesuai dengan
sejarah bangsa Indonesia.
14.Dalam kenyataannya, Ilmu Hukum yang diajarkan di fakultas-fakultas hukum
di Indonesia bukan Ilmu Hukum Indonesia yang pondasi kefilsafatannya adalah
Pancasila sebagai cita hukum bangsa Indonesia. Akan tetapi, Ilmu Hukum
warisan Belanda yang termasuk dalam lingkungan Romano-Germanic Law
(Kontinental) seperti dikemukakan di atas. Kondisi ideal belum terwujud dalam
kenyataan sampai dengan sekarang. Konsep-konsep hukum atau pengertianpengertian hukum ataupun postulat-postulat hukum yang diajarkan di fakultasfakultas hukum termasuk di Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945
Jakarta sampai dengan sekarang berasal dari atau merupakan warisan zaman
kolonial Belanda.
15.Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia dan (tatanan) hukum dalam konteks
keindonesiaan berpedoman pada cita hukum (rechtsidee) Pancasila. Cita hukum
Pancasila memiliki fungsi yang bersifat fundamental dalam pembangunan dan
pengembangan hukum dan Ilmu Hukum Indonesia. Sebagai cita hukum
(rechtsidee), Pancasila bukan hanya berfungsi dalam pengembangan Ilmu
Hukum Indonesia tetapi juga pengembangan tata hukum positif Indonesia.
Sesuai dengan cita hukum Pancasila, tatanan hukum positif yang berlaku di
Indonesia harus bersumber dari cita hukum. Akan tetapi, untuk menumbuhkan
tatanan hukum nasional yang bersumber dari cita hukum Pancasila diperlukan
suatu sarana pengolah ilmiah yakni Ilmu Hukum nasional.11
11
Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Op. cit., hlm. 12.
16.Jika berpedoman pada uraian di atas, sebagai cita hukum (rechtsidee), di satu
pihak, Pancasila menentukan dan mempengaruhi (a) pengembangan Ilmu
Hukum Indonesia sebagai sarana pengolah ilmiah untuk menumbuhkan dan
mengembangkan tatanan hukum Indonesia (nasional) dan di lain pihak
menentukan dan mempengaruhi (b) pengembangan tatanan hukum Indonesia.
Jadi, sebagai cita hukum bangsa Indonesia. Pancasila berfungsi ganda dalam
kehidupan hukum bangsa Indonesia.
17.Setiap cita hukum (rechtsidee) selalu memiliki 2 (dua) jenis kandungan unsur
atau substansi. Pertama, unsur-unsur yang emosional-idiil yang batasannya
rasionalnya tidak begitu pasti.12 Unsur emosional-idiil dalam suatu cita hukum
(rechtsidee) bersumber dari filsafat hidup yang dianut oleh seseorang atau suatu
masyarakat yang menuntun yang bersangkutan meyakini tatanan nilai tertentu
dan bukan tatanan nilai yang lain. Kedua, cita hukum juga mengandung unsurunsur rasional yang memungkinkan disusun suatu pengertian hukum umum
(allgemein
Rechtsbegriff)
sesuai
dengan
kandungan
rechtsidee
yang
bersangkutan.13 Unsur rasional dalam cita hukum (rechtsidee) bersumber dari
akal-budi yang membuat seseorang atau sekelompok anggota masyarakat
membuat keputusan untuk memilih dan meyakini nilai-nilai tertentu dan bukan
nilai-nilai yang lain sesuai dengan masyarakatnya dan lingkungan alam fisik
yang mengelilinginya.
18.Kedua unsur emosional-idiil dan unsur rasional cita hukum (rechtsidee) yang
disebut di atas juga terdapat dalam Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee)
bangsa Indonesia. Unsur emosional-idiil dan unsur rasional dalam cita hukum
Pancasila adalah titik tolak atau dasar pembangunan dan pengembangan tata
hukum dan Ilmu Hukum Indonesia. Dalam konteks kedua unsur cita hukum
12
Moh. Koesnoe, “Perumusan dan Pembinaan Cita Hukum dan asas-asas Hukum
Nasional, Ditinjau dari Hukum Adat,” Varia Peradilan, Nomor 120, Jakarta, September
1995, hlm. 95.
13
Ibid., hlm. 97.
(rechtsidee) Pancasila tersebut, A.M.W. Pranarka mengemukakan bahwa
Pancasila berkedudukan sebagai (a) belief system dan (b) knowledge system.14
19.Unsur rasional cita hukum (rechtsidee) Pancasila menjadi titik tolak
pengembangan Pancasila sebagai knowledge system seperti dikemukakan
A.M.W. Pranarka di atas. Dalam konteks Pancasila sebagai knowledge system,
Ilmu Hukum Indonesia dapat dikembangkan dengan bertitik tolak dari Pancasila
sebagai cita hukum bangsa Indonesia.
20.Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia yang bertitik tolak dari Pancasila
sebagai cita hukum bangsa Indonesia dimulai dari premis filosofis tentang
hakikat manusia Indonesia, hubungan manusia dengan alam semesta dan
hubungan manusia dengan Tuhan dari perspektif Pancasila. Bernard Arief
Sidharta mengemukakan pandangan filosofis tentang ketiga hal di atas sebagai
berikut ”Pandangan hidup Pancasila bertitik tolak dari keyakinan bahwa alam
semesta dengan segenap isinya termasuk manusia yang sebagai suatu
keseluruhan terjalin secara harmonis diciptakan Tuhan.”15 Dari pernyataan di
atas tergambar perspektif Pancasila dalam memandang hakikat manusia
Indonesia, hubungan manusia Indonesia dengan alam semesta dan hubungan
manusia Indonesia dengan Tuhan.
21.Pandangan filosofis tentang hakikat manusia Indonesia sebagai suatu kesatuan
yang harmonis dengan alam semesta diciptakan oleh Tuhan dapat dipandang
sebagai premis pertama yang diderivasi dari cita hukum (rechtsidee) Pancasila.
Dari premis tersebut dapat dikembangkan pandangan filosofis tentang hakikat
manusia.Dalam konteks ini, Notonagoro mengemukakan bahwa hakikat
manusia Indonesia adalah mahluk “mono-dualis.” Notonagoro mengemukakana
sebagai berikut “. . .hakikat manusia adalah machluk yang bersusun dalam
14
A.M.W. Pranarka, Suatu Konstruksi Filsafat Hukum Dengan Latar Belakang
Evolusi Pengetahuan Dewasa Ini, Jurnal Pro Justitia, Fakultas Hukum Universitas
Parahyangan, (Bandung, 1992), hlm. 467
15
Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Op. cit., hlm.
183.
sifatnya ialah individu dan machluk social kedua-duanya.”
16
Pandangan
filosofis tentang hakikat manusia seperti ini berbeda dari pandangan filosofis
yang lain yang memandang manusia sebagai mahluk individu semata-mata atau
mahluk sosial semata-mata. Pandangan Notonagoro tersebut kemudian
dikembangkan oleh Soediman Kartohadiprojo yang mengemukakan bahwa
manusia Indonesia adalah manusia yang memiliki unsur “4 R yaitu (1) rasio, (2)
rasa, (3) raga dan (4) rukun.”
22.Pandangan tentang manusia seperti dikemukakan di atas merupakan titik tolak
untuk merumuskan suatu konsep/pengertian umum hukum berdasarkan cita
hukum Pancasila. Pengertian/konsep umum hukum tersebut memiliki ciri-ciri
(a) kategoris, (b) a priori, (c) metaphysis dan mendahului ilmu pengetahuan
hukum.
Jika
berdasarkan
Alinea
Pertama
Pembukaan
UUD
1945,
pengertian/konsep umum hukum berdasarkan cita hukum Pancasila adalah
pengertian/konsep umum hukum yang bersifat idealis.17 Hukum adalah bukan
semata-mata perintah tetapi hukum adalah keadilan sosial.
23.Pengertian/konsep hukum umum bangsa Indonesia yang bersifat idealis tersebut
dari segi substansi mengandung nilai-nilai kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.18 Ketiga nilai dalam konsep/pengertian hukum umum tersebut
bersumber dari nilai-nilai cita hukum (rechtsidee) Pancasila. Ketiga nilai cita
hukum di atas sesungguhnya harus dijabarkan lebih lanjut untuk membangun
dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan Hukum Indonesia Penggarapan
konsep/pengertian umum hukum yang bersifat kategoris tersebut merupakan
bagian dari aktivitas Filsafat Hukum. Namun, bidang ini adalah lahan kering,
miskin kegiatan sampai sekarang. Moh. Koesno mengemukakan sebagai
berikut:
16
Univesitas Gadjah Mada, Pembahasan Ilmiah Mengenai Susunan Pemerintahan
Negara Republik Indonesia, (Yogjakarta, Tanpa Tahun), hlm 38.
17
Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Op. cit., hlm.
102.
18
Ibid., hlm. 105.
“Sampai kini dalam kalangan hukum kita belum ada suatu upaya
menjabarkan bagaimana isi dari ketiga nilai tersebut di atas sehingga
pengetahuan yang mendalam dan mantap tentang nilai-nilai itu sampai
kini belum dapat dijumpai. Sebagai konsekuensi isi substansi dari
Rechtsidee kita tersebut juga tidak banyak diketahui dengan baik. Apa
yang ada ialah hanya perkiraan-perkiraan atas sesuatu yang terdapat
dalam simbolik saja.”19
24.Konsep/pengertian
umum
hukum
berdasarkan
cita
Pancasila
seperti
dikemukakan di atas tentu saja berbeda dari konsep hukum yang dikembangkan
John Austin, Hans Kelsen atau Hart sebagai tokoh-tokoh positivisme hukum
yang sangat terkenal yang sampai dengan sekarang sangat kuat pengaruhnya
dalam pengajaran hukum pidana di Indonesia.
25.Konsep/pengertian umum hukum berdasarkan cita hukum Pancasila yang
bersifat idealis di atas adalah patokan untuk membatasi unsur-unsur yang harus
dan dapat disebut sebagai hukum dalam perspektif cita hukum (rechtsidee)
Pancasila. Dengan perkataan lain, tanpa kehadiran itu, sesuatu tidak dapat
disebut sebagai hukum dalam perspektif cita hukum Pancasila. Dalam konteks
ini, Moh. Koesnoe mengemukakan sebagai berikut “Unsur-unsur tersebut
adalah unsur yang menunjukkan tersimpannya di dalamnya suatu isi yang
menentukan (konstitutip) bagi apa yang dapat dikatakan hukum itu.”20 Dengan
perkataan lain, konsep/pengertian umum hukum itu menjadi tolok ukur (batu
penguji) bagi apa yang disebut hukum dalam perspektif cita hukum Pancasila.
26.Dalam pengertian umum hukum terdapat unsur-unsur yang besifat idil. Unsur
idiil pengertian umum hukum tersebut disebut asas-asas hukum. Asas-asas
hukum mempunyai fungsi konstitutip dan regulatip terhadap pembentukan
norma-norma hukum positif.21 Asas-asas hukum umum kemudian mengalami
19
20
Moh. Koenoe, Op. cit., hlm. 105.
Ibid., hlm. 96.
proses positivisasi menjadi norma-norma hukum positif dalam arti yang luas.
Menurut Sudikno Mertokusumo, dalam arti luas, hukum positif meliputi hukum
tertulis, hukum tidak tertulis dan yuriprudensi.22
27.Pengolahan nilai-nilai cita hukum menjadi seperangkat asas-asas hukum adalah
aktivitas Filsafat Hukum. Asas-asas hukum menjadi titik tolak pembentukan
hukum (sebagai proses politik dan karya yuridis), penerapan hukum dan
penegakan hukum serta penemuan hukum dan interpretasi hukum sebagai
karya-karya yuridis berbudaya. Aktivitas pengolahan asas-asas hukum menjadi
norma-norma hukum positif baik dalam bentuk norma hukum abstrak-umum
(rechtsvorming) atau norma-norma hukum individual-konkrit (rechtsvinding)
dilakukan oleh lembaga-lembaga pembentuk hukum. Jika bertitik tolak dari
penjelasan di atas, cita hukum tidak secara langsung dapat membentuk normanorma hukum positif. Dalam pembentukan norma-norma hukum positif, cita
hukum Pancasila memiliki fungsi tertentu.
28.Uraian yang dikemukakan di atas menggambarkan hubungan cita hukum, asas
hukum dan pembentukan norma-norma hukum positif. Dengan cara yang lain,
Bernard Arief Sidharta mengemukakan komentar sebagai berikut “Tatanan
hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan
pengejawantahan cita-hukum yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan
ke dalam perangkat berbagai aturan hukum positif, lembaga hukum dan proses
(perilaku birokrasi pemerintahan dan warga masyarakat).”23
29.Pancasila sebagai cita hukum mengandung nilai-nilai ideal yang hendak
diselenggarakan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Nilai-nilai ideal itu
menjadi titik tolak dalam membangun dan mengembangkan tata hukum
Indonesia. Akan tetapi, nilai-nilai ideal tersebut tidak serta merta dapat
21
Dardji Darmodihardjo dan Shidarta, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila Dalam
Sistem Hukum Indonesia (Jakarta, 1996), hlm. 101.
22
Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum (Yogjakarta, 2011). hlm. 45.
23
180.
Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Op. cit., hlm.
dioperasionalkan sebagai penuntun bertingkah-laku. Untuk membentuk normanorma hukum positif yang dalam kebersistemannya disebut tata hukum, nilainilai cita hukum Pancasila harus mengalami proses normativisasi supaya
memiliki bentuk yang lebih konkrit daripada nilai-nilai hukum sebagai asas-asas
hukum seperti dikemukakan di atas.
30.Dalam konteks pembentukan norma-norma hukum positif, cita hukum adalah
landasan (dasar) dan sekaligus sebagai tolok ukur (norma kritik) terhadap
keberadaan norma-norma hukum tersebut. Dalam konteks penjelasan yang
diuraikan di atas, Bernard Arief Sidharta mengemukakan sebagai berikut
“Dalam
dinamika
kehidupan
kemasyarakatan,
cita
hukum
itu
akan
mempengaruhi dan berfungsi sebagai asas-asas hukum yang memedomani,
norma
kritik (kaidah evaluasi)
dan faktor
yang memotivasi
dalam
penyelenggaraan hukum (pembentukan, penemuan dan penerapan hukum) dan
perilaku hukum.”24
31.Unsur rasional dalam cita hukum Pancasila sebagaimana dikemukakan di atas
merupakan titik tolak pengembangan Ilmu Hukum Indonesia. Dalam konteks
pengembangan Ilmu Hukum Indonesia berdasarkan cita hukum (rechtsidee)
Pancasila, Bernard Arief Sidharta mengemukakan komentar sebagai berikut
“Sejalan dengan itu, Ilmu Hukum yang mempelajari tatanan hukum sebagai
sarana intelektual untuk memahami dan menyelenggarakan tatanan hukum
tersebut, dalam pengembangannya seyogianya pula bertumpu dan mengacu
pada cita hukum itu (maksudnya: cita hukum Pancasila - - - pen.).”25
32.Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia berdasarkan cita hukum Pancasila harus
bertitik tolak premis-premis filosofis yang dikembangkan oleh Filsafat Hukum
Indonesia seperti dikemukakan di atas.
manusia
Indonesia
seperti
Premis filosofis tentang hakikat
dikemukakan
Notonagoro
dan
Soediman
Kartohadiprojo di atas menjadi titik tolak pengembangaan konsep-konsep
24
25
Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia, Op. cit., hlm. 96.
Ibid., hlm. 97.
hukum bangsa Indonesia. Pandangan filosofis manusia Indonesia dari
perspektif Pancasila seperti dikemukakan di atas dapat menjadi titik tolak
dalam pembentukan konsep Hak Asasi Manusia versi bangsa Indonesia atau
pembentukan konsep hukum hak milik dan hak-hak yang lain. Cara kerja yang
sama juga dapat dilakukan untuk pengembangan konsep-konsep hukum yang
lain seperti konsep HAKI. Konsep hukum pidana dan perdata menurut versi
bangsa Indonesia.
33.Konsep-konsep hukum tersebut kemudian akan dipergunakan sebagai titik tolak
oleh para pengemban kewenangan dalam pembentukan norma-norma-norma
hukum positif seperti DPR, Presiden, Pengadilan (Hakim) dan sebagainya.
Norma-norma hukum positif tersebut adalah objek kajian atau apsek ontologis
dari Ilmu Hukum Indonesia. Tatanan norma-norma hukum positif Indonesia
adalah objek kajian (ontologi) Ilmu Hukum Indonesia.26 Dengan demikian,
hubungan cita hukum Pancasila dengan aspek ontologi dan epistemologis
(pembentukan konsep hukum adalah salah satu aspek epistemologi) Ilmu
Hukum Indonesia sudah dapat dijelaskan.
34.Akhirnya, Pancasila sebagai cita hukum juga berfungsi pada pembentukan
aksiologi Ilmu Hukum Indonesia. Hal itu jelas disebut Bernard Arief Sidharta
bahwa “Ilmu Hukum seyogianya mengacu pada cita hukum.” Pernyataan
tersebut mengandung arti bahwa Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee)
adalah pondasi aksiologis Ilmu Hukum Indonesia. Sebagai landasan aksiologis,
nilai kegunaan/manfaat Ilmu Hukum Indonesia adalah untuk mencapai
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan sila kelima
Pancasila.
26
Sudikno Mertokusumo, op. cit., hlm. 41.
35.Demikian pokok-pokok pikiran yang dapat disampaikan pada kesempatan yang
baik ini. Harapan yang tersimpan dalam hati adalah semoga pokok-pokok
pikiran ini dapat dikembangkan pada bidang masing-masing oleh rekan-rekan
sejawat dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta menjadi
gagasan yang lebih maju dan lebih lengkap.
Jakarta, 17 Februari 2015
Daftar Pustaka
Abdul Hamid S Attamimi, Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum
Bangsa Indonesia dalam Oetojo Oesman dan Alfian (ed.), Pancasila
Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat,
Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: 1992.
Bernard Arief Sidharta. Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum,Sebuah Penelitian
tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai
Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Bandung:
1999.
----------------------------. Ilmu Hukum Indonesia, Upaya Pengembangan Ilmu
Hukum Sistematis Yang Responsif Terhadap Perubahan Masyarakat,
Yogjakarta: 2013.
Dardji Darmodihardjo dan Shidarta. Penjabaran Nilai-nilai Pancasila Dalam
Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: 1996.
Oetojo Oesman dan Alfian. Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: 1992.
Moh. Koesnoe. “Perumusan dan Pembinaan Cita Hukum dan asas-asas Hukum
Nasional, Ditinjau dari Hukum Adat.” Varia Peradilan, Nomor 120,
Jakarta: September 1995.
Satjipto Rahardjo. Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum
Indonesia dalam Ahmad Gunawan dan Mu’ammar Ramadhan
(penyunting), Menggagas Hukum Progresif Indonesia. Semarang: 2006.
Scholten, Paul. De structuur der Rechtswetenschap atau Struktur Ilmu Hukum
(terj. Bernard Arief Sidharta), Bandung: 2003).
Sitorus, Oloan dan Darwinsyah Minin. Membangun Teori Hukum Indonesia.
Yogjakarta: 2005.
Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Yogjakarta: 2013.
CITA HUKUM PANCASILA SEBAGAI RUJUKAN EKSLUSIF
PEMBAHARUAN HUKUM NASIONAL1
A.
Pendahuluan
Pembaharuan hukum nasional sesungguhnya sudah harus dilaksanakan sejak
proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia dikumandangkan tanggal 17 Agustus
1945 di Jakarta. Hal itu merupakan konsekuensi logis dari Proklamasi
Kemerdekaan karena Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia menuntut
segenap tatanan hukum positif yang berlaku di Indonesia harus berlandaskan
Pancasila sebagai falsafah negara dan cita hukum bangsa Indonesia.2 Akan tetapi,
cita-cita ideal pembaharuan hukum tersebut tidak dapat direalisir karena situasi dan
kondisi pada masa itu. Oleh karena itu, untuk mencegah kemungkinan kekacauan
hukum perlu ditetapkan suatu politik hukum (kebijakan hukum) yang bersifat
sementara dalam masa peralihan pasca Proklamasi Kemerdekaan.
Politik hukum (kebijakan hukum) yang bersifat sementara dan yang
bertujuan untuk menyikapi masa peralihan tersebut ditetapkan Pemerintah dan
kemudian dituangkan dalam Peraturan Peralihan UUD 1945. Politik hukum
(kebijakan hukum) masa peralihan yang dituangkan dalam Peraturan Peralihan
UUD 1945 tersebut membawa konsekuensi logis terhadap keberadaan segenap
tatanan hukum positif produk hukum kolonial. Berdasarkan politik hukum
(kebijakan) hukum dalam Peraturan Peralihan UUD 1945 tersebut, tatanan hukum
produk kolonial Belanda kemudian ditetapkan untuk tetap berlaku dalam wilayah
Negara Republik Indonesia. Pemberlakuan tatanan hukum produk kolonial
1
Judul asli makalah ini adalah Pembaharuan Hukum Acara Pidana Dan
Jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan Dalam Perspektif Pancasila, Asas-Asas Hukum
Dan Politik Hukum Nasional. disampaikan dalam Seminar Komisi Hukum Nasional yang
diselenggarakan di Jakarta tanggal 26-27 November 2013 di Hotel Bidakara. Judul diubah
semata-mata guna kepentingan pencetakan buku ini tanpa mengurangi isi kandungan yang
ada.
2
Hotma P. Sibuea, Konsekuensi Yuridis Proklamasi Kemerdekaan Bagi Bangsa
Indonesia Dalam Kehidupan Berbangasa dan Bernegara, Jurnal Ilmiah, Law Review, Vol.
XII No.3. Maret 2013, hlm. 322.
Belanda di zaman kemerdekaan adalah suatu politik hukum (kebijakan hukum)
peralihan yang bertujuan untuk mencegah kevakuman hukum. Dengan berdasarkan
kebijakan hukum yang dikemukakan di atas, tatanan hukum produk kolonial masih
tetap diberlakukan pascaproklamasi kemerdekaan dan sampai dengan sekarang
meskipun dengan melakukan berbagai penyesuaian.
Sisi positif dari politik hukum (kebijakan hukum) masa peralihan tersebut
adalah bahwa untuk sementara persoalan kemungkinan kevakuman hukum dapat
ditanggulangi. Namun, di sisi lain, ada segi kekurangannya yaitu bahwa
pembaharuan hukum secara menyeluruh yang bersifat nasional tidak pernah dapat
dilaksanakan sampai dengan sekarang meskipun pembaharuan hukum nasional itu
sesungguhnya merupakan tuntutan dan konsekuensi logis dari Proklamasi
Kemerdekaan bangsa Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas. Oleh karena
itu, sampai dengan sekarang, tatanan hukum positif produk kolonial Belanda masih
tetap diberlakukan meskipun hanya berkenaan dengan beberapa undang-undang
tertentu saja. Keberadaan berbagai produk hukum kolonial tersebut sudah barang
tentu harus segera diperbaharui supaya dapat menyesuaikan diri dengan dan
memenuhi perkembangan masyarakat.
Politik hukum yang bersifat sementara dan yang bertujuan untuk menyikapi
masa peralihan sebagaimana dikemukakan di atas juga berdampak terhadap
keberadaan tatanan hukum pidana positif. Situasi dan kondisi yang sama dengan
yang dikemukakan di atas juga terjadi dalam bidang hukum pidana. Sampai dengan
sekarang masih terdapat undang-undang di bidang hukum pidana produk kolonial
yang masih berlaku. Meski demikian, niat untuk melakukan pembaharuan hukum
pidana yang bersifat menyeluruh sebenarnya sudah sejak lama diwacanakan para
akademisi dan praktisi hukum di Indonesia. Untuk hukum pidana materil, alasan
filosofis menjadi alasan utama (alasan mendasar) mengingat hukum pidana materil
yang berlaku sekarang sebagian masih merupakan produk hukum zaman kolonial
yang tentu saja berlatar belakang filosofis/ideologis yang sesuai dengan
kepentingan kolonial.
Dalam konteks hukum pidana formil (hukum acara pidana), sebenarnya
pembaharuan hukum sudah pernah dan berhasil dilakukan pada tahun 1981 dengan
ditetapkannya KUHAP. KUHAP (UU Nomor 8 Tahun 1981) digadang-gadang
sebagai karya agung bangsa Indonesia. Akan tetapi, tanpa bermaksud untuk
menyampingkan hasil pembaharuan hukum acara pidana tersebut ternyata selang
beberapa waktu, kelemahan-kelemahan KUHAP semakin nyata. Oleh karena itu,
gagasan untuk melakukan pembaharuan hukum acara pidana juga mulai disuarakan
oleh berbagai pihak. Untuk konteks hukum acara pidana (hukum pidana formal),
alasan penyalahgunaan kewenangan dan dan pelanggaran/pengabaian hak-hak
asasi oleh penegak hukum seringkali menjadi alasan yang mendorong perlu
dilakukan pembaharuan hukum acara pidana. Dengan perkataan lain, seperti
dikemukakan oleh Adnan Buyung Nasution, hukum acara pidana yang berlaku
sekarang masih memiliki beberapa kekurangan dalam praktik sehingga perlu
dilakukan pembaharuan untuk mengikuti dan mengantisipasi perkembangan
masyarakat.3
Kelemahan KUHAP sebagaimana dikemukakan di atas akhirnya melahirkan
gagasan untuk melakukan pembaharuan hukum acara pidana secara menyeluruh.
Dalam konteks pembaharuan hukum acara pidana yang sedang dilaksanakan
sekarang, salah satu jabatan baru yang tidak terdapat dalam KUHAP diintrodusir
dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana masa depan yaitu
Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Hakim
Pemeriksa Pendahuluan adalah suatu
jabatan baru dalam sistem KUHAP masa depan tersebut. Sebagai jabatan yang
baru, jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan merupakan adopsi dari sistem hukum
negara lain. Sudah barang tentu, jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan tersebut
tidak dapat secara serta merta diadopsi begitu saja dari sistem hukum acara pidana
negara lain tanpa pengkajian yang mendalam. Kajian yang mendalam terhadap
keberadaan jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai jabatan baru dalam
RUU-KUHAP yang baru perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih
baik.
3
Buyung Nasution, Praperadilan Versus Hakim Komisaris, Newsletter KHN,
April 2002, hlm. 1.
Pengkajian terhadap eksistensi Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai
suatu jabatan baru dalam sistem hukum acara pidana dapat dilakukan secara
komprehensif dengan bertitik tolak dari berbagai cabang disiplin hukum seperti
Filsafat Hukum, Teori Hukum, Ilmu Hukum (Dogmatika Hukum) maupun Politik
Hukum. Di samping itu, berbagai metode pendekatan juga dapat dilakukan untuk
melakukan kajian seperti metode pendekatan filosofis, komparatif, kesisteman dan
lain-lain untuk melengkapi metode pendekatan normatif.
Pada kesempatan ini, kehadiran makalah yang disusun oleh Tim Penulis
Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta adalah dalam konteks dan
latar belakang serta perspektif sebagaimana dikemukakan di atas. Secara konkrit
dapat dikemukakan bahwa kehadiran makalah Tim Penulis Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta ini adalah dalam rangka menambah kajian
mengenai jabatan Hakim
Pemeriksa Pendahuluan yang sudah dilakukan oleh
berbagai pihak. Makalah ini diharapkan dapat menawarkan kerangka berfikir yang
bersifat sistematis untuk menguji keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan
sebagai suatu jabatan dalam RUU-KUHAP.
B.Pancasila Sebagai Cita Hukum Bangsa Indonesia Dan Asas-Asas Hukum
Nasional
Titik tolak untuk melakukan pembahasan terhadap jabatan baru Hakim
Pemeriksa Pendahuluan dalam KUHAP masa depan tersebut harus dimulai dari
perspektif filosofis. Pembahasan secara demikian bertjuan untuk menguji landasan
filosofis jabatan baru Hakim Pemeriksa Pendahuluan tersebut secara mendalam.
Dalam konteks ini, pertanyaan pokok yang dapat dikemukakan adalah sebagai
berikut. Apakah Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai jabatan baru dalam RUUKUHAP mempunyai landasan falsafah atau memiliki akar filosofis yang kuat
dalam kehidupan hukum bangsa Indonesia? Dalam rangka menjawab pertanyaan
yang dikemukakan di atas, pembahasan tentang eksistensi jabatan Hakim
Pemeriksa Pendahuluan tersebut akan bertitik tolak dari landasan falsafah bangsa
Indonesia yaitu Pancasila. Apa sebab demikian? Hal itu karena landasan filosofis
kehidupan hukum bangsa Indonesia adalah Pancasila. Namun, sudah barang tentu
nilai-nilai Pancasila sebagai cita hukum yang bersifat abstrak-umum tersebut tidak
dapat dipakai secara langsung untuk menguji kebasahan keberadaan Hakim
Pemeriksa Pendahuluan. Ada proses berfikir yang harus dilakukan untuk dapat
menderivasi nilai-nilai cita hukum Pancasila supaya menghasilkan seperangkat
pokok-pokok pendirian atau asas-asas hukum yang lebih konkrit.
Dalam perspektif doktrin, Pancasila ditempatkan sebagai cita hukum (Rechtsidee)
bangsa Indonesia.4 Hal itu mengandung arti bahwa para ahli dan atau akademisi
umunya bersepakat bahwa Pancasila adalah cita hukum bangsa Indonesia.
Kedudukan Pancasila sebagai cita hukum bangsa Indonesia juga sudah dilegitimasi
secara politis dan yuridis. Kedudukan Pancasila
sebagai sumber dari segala
sumber hukum (cita hukum) sudah ditetapkan dalam undang-undang yang
mengatur tentang tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia. Hal itu mengandung arti bahwa keberadaan dan fungsi Pancasila dalam
konteks kehidupan hukum di Indonesia yakni sebagai cita hukum bangsa Indonesia
sudah memiliki dasar pijakan yang kuat baik secara akademis maupun secara
sosiologis, politis dan yuridis,
Sebagai cita hukum, Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum yang
berlaku di Indonesia. Dalam kedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum,
Pancasila menjadi sumber hukum yang terakhir dan tertinggi.5
Sebagai cita
hukum, kedudukan Pancasila adalah di atas segenap tatanan hukum positif yang
berlaku dalam Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, segenap tatanan hukum
positif yang terdapat dalam kehidupan hukum di Indonesia mengalir dari sumber
yang satu dan yang tertinggi yakni cita hukum Pancasila. Sebagai konsekuensinya,
norma-norma hukum positif tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam cita hukum Pancasila. Jika sekiranya terdapat tatanan hukum
4
Abdul Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia
Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai
Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu PelitaI-IV,
Disertasi, Depok, 1990, hlm. 307 dan seterusnya.
5
Dardji Darmodihardjo dan Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Jakarta,
1995, hlm. 191.
positif yang bertentangan dengan nilai-nilai dalam cita hukum Pancasila dengan
sendirinya tatanan hukum positif yang demikian tidak memiliki landasan (pijakan)
filosofis sehingga harus disingkirkan dari tatanan hukum positif. Dalam konteks
pembaharuan hukum acara pidana, prinsip yang dikemukakan di atas sudah barang
tentu juga berlaku. Artinya, norma-norma hukum acara pidana yang akan dibentuk
oleh badan pembentuk undang-undang harus bersumber dari dan selaras dengan
cita hukum Pancasila.
Dalam kedudukan sebagai cita hukum (sumber dari segala sumber hukum),
Pancasila melakukan peranan sebagai pemberi tuntunan terhadap keberadaan
tatanan hukum positif. Dalam istilah Abdul Hamid S. Attamimi, fungsi Pancasila
sebagai cita hukum adalah sebagai bintang pemandu terhadap segenap tatanan
hukum yang terdapat di Indonesia.6 Bintang pemandu dalam istilah Hamid S.
Attamimi di atas mengandung arti
bahwa arah perkembangan hukum dan
pembaharuan hukum nasional termasuk pembaharuan hukum acara pidana juga
harus dipandu oleh cita hukum Pancasila. Fungsi pemandu dan penunjuk arah
perkembangan segenap tatanan hukum positif dilakukan oleh setiap cita hukum
dengan maksud untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Fungsi seperti itu juga
dilakukan oleh cita hukum Pancasila terhadap segenap tatanan hukum positif yang
berlaku di Indonesia termasuk tatanan norma hukum acara pidana. Sebagai cita
hukum, Pancasila berfungsi untuk membimbing dan memandu arah perkembangan
tatanan hukum positif yang berlaku di Indonesia supaya segenap tatanan hukum
positif itu mengarah kepada suatu tujuan ideal segenap bangsa Indonesia yaitu citacita “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.”
Arah perkembangan dan tuntunan terhadap tata hukum positif dilakukan
oleh cita hukum Pancasila dalam 2 (dua) sisi sekaligus. Sebagai cita hukum,
Pancasila adalah batu penguji tatanan hukum positif. Sekaligus dengan fungsi
sebagai batu penguji, cita hukum Pancasila juga memberikan tuntunan terhadap
arah perkembangan tatanan hukum positif. Dalam hubungan dengan kedua fungsi
cita hukum tersebut, Abdul Hamid S. Attamimi mengemukan bahwa fungsi yang
6
Abdul Hamid S. Attamimi, op. cit., hlm. 319.
dijalankan oleh cita hukum termasuk cita hukum Pancasila dilakukan dari 2 (dua)
sisi sekaligus yaitu (a) menguji hukum positif yang berlaku dan (b) mengarahkan
hukum positif yang berlaku supaya hukum positif tersebut mengarah kepada
sesuatu tujuan.7
Cita hukum Pancasila melakukan kedua macam fungsi yang disebut di atas
dengan bertitik tolak dari atau berdasarkan nilai-nilai yang dikandungnya. Nilainilai cita hukum berfungsi sebagai kiblat (penunjuk arah) dan sekaligus sebagai
kriteria penilai (batu penguji) bagi tatanan hukum positif yang berlaku di
Indonesia termasuk hukum acara pindana yang menjadi pokok pembicaraan pada
saat sekarang. Akan tetapi, nilai-nilai yang terkandung dalam cita hukum Pancasila
masih bersifat abstrak-umum. Nilai-nilai cita hukum Pancasila tersebut tentu saja
tidak dapat secara langsung memberikan pengarahan terhadap tatanan hukum acara
pidana positif yang berlaku maupun yang hendak dibentuk oleh pembentuk
undang-undang (hukum acara pidana yang dicita-citakan atau ius constituendum).
Hukum positif berkenaan dengan atau menyentuh alam konkrit-individual yang
berbeda dari alam nilai-nilai dalam cita hukum yang bersifat metafisis. Untuk dapat
memberikan arahan terhadap perkembangan dan pembaharuan hukum positif
termasuk pemabahruan hukum acara pidana, nilai-nilai ideal dalam cita hukum
Pancasila yang bersifat abstrak-umum terlebih dahulu harus diolah. Dari proses
pengolahan tersebut kemudian dapat diderivasi (diturunkan atau dihasilkan)
seperangkat prinsip-prinsip hukum (pokok-pokok pendirian hukum) atau asas-asas
hukum yang sifatnya lebih konkrit.
Asas-asas hukum atau prinsip-prinsip hukum apa saja yang dapat
diderivasi (diturunkan) dari cita hukum Pancasila? Cita hukum Pancasila
mengandung seperangkat nilai-nilai ideal yang menjadi tujuan yang hendak dicapai
oleh bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari perangkat
nilai-nilai ideal yang terdapat dalam cita hukum Pancasila dapat diderivasi
berbagai macam prinsip-prinsip hukum atau pokok-pokok pendirian hukum atau
asas-asas hukum. Prinsip-prinsip hukum atau asas-asas hukum yang diderivasi dari
7
Ibid.
cita hukum Pancasila itu kemudian menjadi pedoman atau pegangan dalam
menetapkan suatu garis kebijakan hukum nasional (politik hukum nasional).8
Dalam konteks perbincangan tentang Pembaharuan Hukum Acara Pidana
dan keberadaan jabatan baru yang disebut Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam
sistem Hukum Acara Pidana masa depan tidak perlu semua asas-asas hukum yang
diderivasi dari cita hukum Pancasila harus dibicarakan. Menurut pandangan Tim
Penulis, ada 3 (tiga) prinsip-prinsip hukum atau asas-asas hukum yang relevan
untuk dibicarakan lebih lanjut dalam hubungan dengan keberadaan jabatan Hakim
Pemeriksa Pendahuluan tersebut. Ketiga macam prinsip-prinsip hukum, pokokpokok pendirian hukum atau asas-asas hukum yang dimaksud adalah (a) asas
negara hukum, (b) asas demokrasi dan (c) asas pembatasan kekuasaan (pembatasan
kewenangan).
C. Asas-Asas Hukum Dan Kebijakan Hukum Nasional
Apa sebab ketiga prinsip hukum atau pokok-pokok pendirian hukum atau
asas hukum yang dikemukakan di atas harus menjadi perspektif dalam
memperbincangkan keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai suatu
jabatan dalam sistem hukum acara pidana masa depan? Dari perspektif Hukum
Tata Negara, Hakim Pemeriksa Pendahuluan adalah suatu jabatan ketatanegaraan
dan merupakan bagian dari organisasi jabatan dalam Negara Republik Indonesia.
Setiap jabatan dalam organisasi negara Republik Indonesia harus diuji sesuai atau
tidak dengan asas-asas hukum kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika
keberadaan jabatan tersebut dapat lolos dari pengujian terhadap asas-asas hukum
kehidupan berbangsa dan bernegara dengan sendirinya kehadiran jabatan tersebut
dapat diterima dalam tatanan organisasi jabatan. Namun, pengujian secara
langsung terhadap asas-asas hukum yang dikemukakan di atas tidak dapat
dilalukan karena asas-asas hukum tersebut masih bersifat abstrak-umum meskipun
sudah lebih konrkit dari nilai-nilai dalam cita hukum Pancasila.
8
Hotma P. Sibuea, Politik Hukum, Krakataw Book, Jakarta, 2010, hlm.194.
Asas-asas hukum negara hukum, asas demokrasi dan asas pembatasan
kekuasaan (pembatasan kewenangan) sebagai asas-asas hukum dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara belum dapat secara langsung dipakai sebagai patokan
untuk menguji keberadaan jabatan baru Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Asas-asas
hukum tersebut harus diproses atau diolah lebih dahulu untuk dapat memahami
makna hakiki dari asas-asas hukum tersebut supaya kemudian dapat dihasilkan
gambaran pemahaman dan atau pengertian yang lebih jelas tentang asas-asas
hukum tersebut. Pemahaman terhadap asas-asas hukum secara baik akan dapat
menghasilkan
seperangkat prinsip atau pokok pendirian yang lebih konkrit.
Prinsip atau pokok pendirian itu kemudian dapat dipakai sebagai pedoman dalam
merumuskan kebijakan pembaharuan hukum acara pidana secara menyeluruh dan
dalam melakukan pengaturan terhadap jabatan-jabatan ketatanegaraan yang
dibentuk dalam sistem hukum acara pidana tersebut seperti halnya keberadaan
jabatan baru Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai suatu jabatan dalam
lingkungan organisasi jabatan dalam Negara Republik Indonesia.
Makna ketiga asas hukum yang dikemukakan di atas harus dielaborasi
lebih dahulu supaya dapat diungkap prinsip-prinsip hukum yang lebih konkrit yang
terkandung dalam ketiga asas hukum tersebut. Prinsip-prinsip hukum yang
diturunkan (diderivasi) dari ketiga asas hukum yang disebut di atas akan
menghasilkan seperangkat pokok pendirian yang lebih konkrit yang dapat
dijadikan sebagai pedoman (pegangan) dalam merumuskan kebijakan hukum
berkenaan dengan pembaharuan hukum acara pidana dan menguji keberadaan
jabatan baru dalam KUHAP masa depan yakni Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
Jika ketiga asas hukum yang dikemukakan di atas dielaborasi akan dapat diungkap
makna-makna sebagai berikut.
Asas negara hukum yang diderivasi dari cita hukum Pancasila
mengandung makna bahwa dalam organisasi Negara Republik Indonesia
kekuasaan tunduk kepada hukum. Segenap kewenangan yang melekat pada para
penyelenggara negara harus dibatasi oleh hukum atau tunduk kepada hukum.9
Dengan perkataan lain, sekecil apapun kekuasaan yang melekat pada suatu jabatan
termasuk jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan, kekuasaan itu harus tunduk
kepada hukum. Inilah makna supremasi hukum sebagai salah satu prinsip hukum
atau pokok pendirian atau asas hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
yang harus selalu diingat dan ditegakkan. Dalam konteks pembaharuan hukum
acara pidana dan keberadaan jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan, prinsip ini
juga berlaku. Penegasan bahwa kekuasaan para penyelenggara negara harus tunduk
kepada hukum sangat penting diingat dan ditegakkan dengan maksud untuk
mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh para penyelenggara negara khususnya
jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam hal ini.
Asas demokrasi yang diderivasi dari cita hukum Pancasila mengandung
makna bahwa dalam organisasi Negara Republik Indonesia, kekuasaan yang
tertinggi berada di tangan rakyat. Rakyat adalah pemegang kedaulatan (kekuasaan
tertinggi) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, sumber dari
segenap kewenangan yang melekat kepada jabatan adalah berasal dari rakyat. Asas
kedaulatan rakyat ini lebih jauh mengandung konsekuensi bahwa tujuan pemberian
kewenangan kepada suatu jabatan seperti halnya Hakim Pemeriksa Pendahluan
adalah untuk dan dalam rangka melayani kepentingan rakyat. Jabatan-jabatan
dalam organisasi negara Republik Indonesia dibentuk semata-mata untuk melayani
dan mengabdi kepada kepentingan rakyat sebagai pemegang kekuasaan yang
tertinggi (kedaulatan).
Asas pembatasan kekuasaan (pembatasan kewenangan) yang diderivasi
dari cita hukum Pancasila mengandung makna bahwa dalam organisasi Negara
Republik Indonesia, kekuasaan yang melekat kepada suatu jabatan tertentu
bukanlah kekuasaan yang bersifat absolut (mutlak). Dalam perspektis asas
pembatasan kekuasaan atau kewenangan tidak dikenal kekuasaan yang bersifat
mutlak. Segenap kekuasaan harus dibatasi supaya tidak membuka peluang terhadap
kekuasaan yang sewenang-wenang karena kekuasaan yang sewenang-wenang pada
9
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-asas
Umum Pemerintahan Yang Baik, Erlangga, Jakarta, 2010, hlm. 48 –dan seterusnya.
akhirnya akan melanggar atau mengabaikan hak-hak rakyat. Padahal, rakyat itu
sendiri adalah pemegang kekuasaan yang tertinggi dalam negara Republik
Indonesia.
D.Pokok-Pokok Dalam Pendirian Politik Hukum Nasional Berkenaan Dengan
Hakim Pemeriksa Pendahuluan Sebagai Suatu Jabatan Ketatanegaraan
Makna dari asas-asas hukum yang dikemukakan di atas merupakan pokokpokok pendirian (prinsip) yang berfungsi sebagai pedoman dalam merumuskan
suatu kebijakan hukum nasional dalam rangka pembaharuan hukum acara pidana
pada umumnya dan pembentukan dan pengaturan jabatan Hakim Pemeriksa
Pendahuluan dalam KUHAP masa depan. Dengan perkataan lain, pokok-pokok
pendirian yang terkandung dalam makna asas-asas hukum yang dikemukakan di
atas seharusnya menjadi pedoman atau penuntun dalam menetapkan suatu garis
kebijakan hukum nasional (politik hukum nasional) dalam rangka pembaharuan
hukum acara pidana nasional termasuk dalam hal melakukan pengaturan terhadap
berbagai hal yang berkenaan dengan jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
Dengan demikian, pokok-pokok pendirian yang terkandung dalam asas-asas
hukum yang dikemukakan di atas menjadi dasar untuk menetapkan suatu kebijakan
pembaharuan hukum acara pidana nasional. Dengan berdasarkan dan atau
berpedoman pada garis kebijakan hukum nasional (politik hukum nasional) yang
ditetapkan berdasarkan asas-asas hukum yang dikemukakan di atas dilakukanlah
pengaturan terhadap jabatan baru yang disebut sebagai Hakim Pemeriksa
Pendahuluan. Oleh karena itu, berarti bahwa keberadaan jabatan baru Hakim
Pemeriksa Pendahuluan dalam KUHAP masa depan harus diuji terhadap prinsipprinsip yang melandasasi garis kebijakan hukum nasional (politik hukum nasional)
dalam rangka pembaharuan hukum acara pidana termasuk pengaturan jabatan baru
seperti Hakim Pemeriksa Pendahuluan tersebut.
Sesuai dengan atau bertitik tolak dari pokok-pokok pendirian yang
dikemukakan di atas dapat dikemukakan pandangan dan sikap mengenai kehadiran
Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam rangka Pembaharuan Hukum Acara Pidana
sebagaimana dimaksud di atas. Pada prinsipnya, Tim Penulis dapat menerima
keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam KUHAP masa depan dengan
catatan-catatan sebagai berikut.
Pertama, keberadan Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai suatu jabatan
dalam sistem Hukum Acara Pidana masa depan dapat diterima sepanjang
keberadaan jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan tersebut dapat ditempatkan
dalam perspektif Asas Negara Hukum yang intinya adalah supremasi hukum. Dari
perspektif asas negara hukum, kewenangan yang dimiliki oleh Hakim Pemeriksa
Pendahuluan sebagai jabatan baru dalam KUHAP masa depan harus ditundukkan
kepada hukum. Dengan demikian, pengaturan kewenangan jabatan baru Hakim
Pemeriksa Pendahuluam tersebut harus secara sedemikian rupa dan dilakukan
secara ketat sehingga dapat memperkecil peluang penyalahgunaan kekuasaan atau
kesewenang-wenangan. Jangan sampai jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan
malah disalahgunakan untuk mencapai kepentingan-kepentingan tertentu.
Kedua, keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam sistem Hukum
Acara Pidana masa depan dapat diterima sepanjang keberadaan jabatan Hakim
Pemeriksa Pendahuluan tersebut dapat ditempatkan dalam perspektif Asas
Demokrasi. Dari perspektif asas demokrasi tersebut, Hakim Pemeriksa
Pendahuluan harus menjadi pengayom hak-hak rakyat. Hakim Pemeriksa
Pendahuluan harus melindungi hak hak rakyat dan berupaya mencegah jangan
sampai hak-hak rakyat diabaikan atau dilanggar oleh penegak hukum yang lain.
Dengan perkataan lain, pemberian kewenangan kepada jabatan baru yang disebut
sebagai Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam sistem hukum acara pidana masa
depan harus berpihak kepada kepentingan rakyat sebagai pemegang kedaulatan
rakyat. Dengan demikian, kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan harus diatur
secara detail untuk mencegah potensi penyalahgunaan kewenangan yang
berpotensi melanggar atau mengabaikan hak-hak rakyat sebagai pemegang
kedaulatan politis. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa keberadaan Hakim
Pemeriksa Pendahuluan adalah dalam rangka mengawal hak-hak rakyat sebagai
pemegang kedaulatan politis.
Ketiga, keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam sistem Hukum
Acara Pidana masa depan dapat diterima sepanjang diposisikan dalam perspektif
asas pembatasan kekuasaan atau pembatasan kewenangan. Kewenangan jabatan
Hakim Pemeriksa Pendahuluan harus diatur dan dibatasi secara baik. Pengaturan
kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan harus secara detail dan rinci supaya
tidak membuka peluang menjadi jabatan yang sewenang-wenang. Pemberian
kiewenangan diskresi yang bersifat subjektif kepada Hakim Pemeriksa
Pendahuluan harus sedapat mungkin dihindari karena pengalaman menunjukkan
bahwa para penegak hukum yang memegang kewenangan diskresi subjektif sering
menyalahgunakan kewenangannya dengan akibat pelanggaran terhadap hak-hak
rakyart. Dengan perkataan lain, pemberian kewenangan diskresi yang bersifat
objektif kepada jabatan-jabatan termasuk Hakim Pemeriksa Pendahuluan lebih
tepat
daripada
diskresi
subjektif
untuk menutup
peluang
kemungkinan
penyalahgunaan kewenangan.
E.Penutup
Demikian pandangan Tim Penulis dari Fakultas Hukum Universitas 17
Agustus 1945 Jakarta yang dapat disampaikan sebagai sumbasih pemikiran dalam
rangka Pembaharuan Hukum Acara Pidana dalam konteks jabatan baru yang
disebut sebagai Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Atas segala kekurangan dan
kelemahannya mohon dimaafkan. Terima kasih.
PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN WAKILNYA
MERUJUK PANCASILA DAN UUD 1
Abstract
Normativisasi process (positivisasi) values into legal norms called
legal establishment. Establishment of law made ruler (state) with
reference to the ideal values in the destination country mixed with
real factors such as the development of society, technology,
international development, and so on. Therefore, the process of
establishing the rule of law is a real concrete cultural processes
because the law is man’s work that reflects your taste, reason and
human initiative.
Keywords: Positivism, impeachment, constitution
Abstrak
Proses normativisasi (positivisasi) nilai ke dalam norma-norma
hukum yang disebut pembentukan hukum. Pembentukan hukum
dibuat oleh penguasa (negara) dengan mengacu pada nilai-nilai ideal
yang menjadi tujuan suatu negara, dan dipengaruhi oleh faktor-faktor
riil seperti perkembangan masyarakat, teknologi, pembangunan
internasional, dan sebagainya. Oleh karena itu, proses pembentukan
aturan hukum adalah proses budaya nyata karena hukum adalah karya
manusia yang mencerminkan rasa manusia, alasan dan inisiatif
manusia.
Kata Kunci : Positvisme, impeachment, konstitusi
A. Pendahuluan
Kehadiran norma hukum dalam kenyataan sesungguhnya menampilkan
aneka ragam wajah (multi dimensi) sehingga dapat didekati dari berbagai
perspektif. Dari perspektif filosofis, hukum hadir sebagai tatanan norma yang
mengandung nilai-nilai keadilan yang didambakan umat manusia. Dari perspektif
yuridis, hukum hadir sebagai tatanan norma
yang ditetapkan oleh penguasa
(negara) yang jika dilanggar dikenai hukuman oleh negara. Dari perspektif
sosiologis, hukum hadir sebagai tatanan norma yang berfungsi sebagai instrumen
sosial untuk mengatur tingkah laku tiap individu sesuai dengan hak dan kewajiban
masing-masing dalam kehidupan bersama manusia.2
Dalam dimensi filosofis (das sollen), hukum mengandung nilai-nilai
keadilan yang hendak direalisasikan dalam kehidupan manusia. Keadilan sebagai
nilai-nilai ideal yang bersifat abstrak dan umum tidak serta merta dapat menuntun
perilaku manusia. Akan tetapi, harus melalui proses normativisasi (positivisasi)
menjadi peraturan hukum konkrit dalam bentuk UUD, UU, putusan hakim dan
sebagainya. Setelah itu, norma-norma hukum baru dapat menyentuh dunia realitas
untuk mengatur perilaku manusia dengan cara menetapkan hak dan kewajiban
setiap individu dalam hal tertentu supaya tujuan hidup berbangsa dan bernegara
sebagai cita-cita bersama dapat diraih.
Proses normativisasi (positivisasi) nilai-nilai menjadi norma-norma hukum
disebut pembentukan hukum. Pembentukan hukum dilakukan penguasa (negara)
dengan mengacu pada nilai-nilai ideal dalam tujuan negara yang diramu dengan
faktor-faktor nyata seperti perkembangan masyarakat, teknologi, perkembangan
dunia internasional dan sebagainya. Oleh karena itu, proses pembentukan peraturan
hukum konkrit sesungguhnya merupakan proses budaya (kultur) karena hukum
adalah karya manusia yang mencerminkan cipta rasa, akal budi dan karsa manusia.
Peraturan hukum konkrit sebagai produk budaya (kultuur) menjadi
jembatan yang menghubungkan dunia cita-cita (das sollen) dengan dunia realitas
(das sein). Oleh karena itu, keberadaan hukum dalam dunia realitas sekaligus
menghadirkan momen das sollen (nilai-nilai keadilan), das kultuur (nilai-nilai
kepastian hukum) dan das sein (nilai-nilai kemanfaatan hukum) secara serentak.
1
Judul asli artikel ini adalah Pemberhentian Presiden/Wakil Presiden Pada Masa
Jabatan Oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaaan Indonesia.
Namun judul diubah semata-mata guna kepentingan pembuatan buku ini tanpa
mengurangi isi kandungan yang ada. Dipublikasikan pada Jurnal Staatrechts FH UTA
’45 Jakarta, Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
2
Bandingkan dengan Meuwissen, Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori
Hukum dan Filsafat Hukum (terjemahan B. Arief Sidharta), Bandung, 2007, hlm. 35-37.
Akan tetapi, penampilan dimensi-dimensi hukum dalam realitas tidak selalu ideal
yakni mengedepankan nilai-nilai keadilan. Dalam praktik, momen kemanfaatan
atau kepastian hukum dapat lebih menonjol karena pengaruh berbagai faktor ekstra
yudisial seperti kepentingan atau kekuasaan dalam kehadiran norma-norma hukum
dalam kenyataan.
Sebagai jembatan penghubung dunia cita-cita (das sollen) dengan dunia
realitas (das sein), dinamika kehidupan masyarakat berpengaruh secara langsung
terhadap keberadaan tatanan norma-norma hukum. Moh. Koesno mengemukakan
sebagai berikut “Hukum memperhatikan segala perubahan-perubahan di dalam
sesuatu masyarakat yang diaturnya. Dari itu, perubahan suatu keseimbangan di
dalam sesuatu masyarakat dapat membawa kepada adanya perubahan di dalam
dunia hukum.”3 Dengan cara yang berbeda meskipun dengan pengertian yang
sama, Jan Gijssels dan Mark van Hoecke mengemukakan pengaruh dinamika
masyarakat terhadap tatanan norma-norma hukum sebagai berikut “. . . hukum . . .
memperoleh dorongan pertumbuhannya (groei stimulus) dari luar hukum. Faktorfaktor ekstra-yuridikal memelihara proses pertumbuhan dinamikal berlangsung
terus.”4
Akibat perubahan masyarakat terhadap tatanan norma-norma hukum
terjadi dalam berbagai tingkatan yang berbeda. Menurut Moh. Koesno, dinamika
perubahan masyarakat menimbulkan
akibat
yang berbeda-beda
terhadap
keberadaan tatanan hukum.5 Dinamika masyarakat dapat mengubah seperangkat
kaidah hukum positif atau lembaga hukum tertentu; mengubah asas-asas hukum
dalam suatu rezim hukum atau mengubah kehidupan hukum secara keseluruhan
jika menyentuh cita-cita hukum sebagai bagian terdalam dari hukum. Perubahan
yang menyentuh alam cita hukum mengandung arti sebagai perubahan dalam
3
Moh. Koesnoe, Hukum dan Perubahan Perhubungan Kemasyarakatan, Pidato
Pengukuhan Guru Besar, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1967, hlm.
7.
4
Jan Gijssel dan Mark van Hocke, Apakah Teori Hukum itu? (Terjemahan B.
Arief Sidharta), Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Parahyangan,
Bandung, 2009, hlm. 13.
5
Moh. Koesnoe, op. cit., hlm. 9.
penilaian terhadap kejadian-kejadian nyata dalam masyarakat yang harus
ditertibkan oleh hukum.6
Dalam konteks kehidupan bernegara, dinamika masyarakat dapat
mengubah tatanan norma-norma hukum dasar yang disebut konstitusi. Menurut
Hans Kelsen konstitusi adalah “. . . the highest level within national law.”7 Sebagai
demikian, konstitusi mengatur berbagai hal penting mengenai struktur organisasi
negara, hak-hak warga negara ataupun hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu,
perubahan konstitusi selalu mengandung arti sebagai perubahan cara pandang
yang bersifat mendasar tentang berbagai aspek kehidupan bernegara dan dalam
skala yang luas baik pada masa kini maupun pada masa datang. Hal itu membuat
perubahan konstitusi harus dilakukan dengan hati-hati, cermat,
teliti dengan
pertimbangan matang. Perubahan konstitusi juga harus dapat mengantisipasi
perkembangan zaman sehingga harus bersifat visioner dan bukan demi tujuan
sesaat karena kepentingan sekelompok anggota masyarakat.
Dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara (dinamika masyarakat) yang
mengakibatkan perubahan Undang-undang dasar 1945 sebagai
landasan
konstitusional Negara Republik Indonesia terjadi sejak masa proklamasi
kemerdekaan. Perubahan konstitusi pada masa lalu dilakukan berdasarkan
konvensi (praktik ketatanegaraan) semata-mata. Perubahan formal UUD 1945 yang
pertama terjadi tahun 1999-2002 sebagai akibat dinamika masyarakat yang disebut
gerakan reformasi tahun 1998.
Amandemen
UUD
1945
tahun
1999-2002
mengubah
sistem
ketatanegaraan Indonesia yang mendasar. Perubahan UUD 1945 tahun 1999-2002
berkenaan dengan 2 (dua) aspek kehidupan bernegara. Pertama, berkaitan dengan
hak-hak warga negara dan hak-hak asasi manusia. Kedua, berkaitan dengan
berbagai aspek organisasi negara seperti sistem distribusi kekuasaan, sistem
pemerintahan, tugas dan wewenang lembaga negara, hubungan lembaga negara,
sistem pengisian lembaga-lembaga negara, pembatasan masa jabatan dan sistem
pemberhentian pejabat negara dan sebagainya.
6
7
Ibid.
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York, 1961, hlm. 124.
Penelitian ini tidak dimaksudkan unbtuk meneliti berbagai aspek yang
disebut di atas. Fokus penelitian ini tertuju pada aspek tugas dan wewenang
lembaga negara serta hubungan lembaga-lembaga negara. Secara lebih khusus,
penelitian ini berkaitan dengan tugas dan wewenang serta hubungan fungsional
antara DPR, MK, MPR
dalam konteks sistem pemberhentian Presiden/Wakil
Presiden pada masa jabatan.
Perubahan UUD 1945 tahun 1999-2002 menghasilkan beberapa aspek
keorganisasian negara yang lebih baik seperti pembatasan masa jabatan Presiden
dan pembentukan lembaga negara baru DPD dan MK. Akan tetapi, perubahan
UUD 1945 ternyata memiliki beberapa kelemahan baik secara konseptual, sistem
maupun teknis. Hal itu terjadi karena perubahan UUD 1945 dilakukan dengan
tergesa-gesa dan tidak direncanakan dengan baik.8
Proses amandemen yang
tergesa-gesa mengakibatkan UUD 1945 pascaamandemen mengandung berbagai
permasalahan ketatanegaraan.
Salah satu permasalahan UUD 1945 pascaamandemen tahun 1999-2002
berkenaan dengan pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pada masa jabatan.
Problematika yang terkait dengan masalah pemberhentian Presiden/Wakil Presiden
pada masa jabatan tersebut dapat diketahui dari uraian di bawah ini.
Dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan disebutkan
“Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat.” Konstruksi kedaulatan rakyat yang demikian
menempatkan MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Sebagai
konsekuensinya, MPR diposisikan sebagai lembaga-tertinggi negara sedangkan
DPR, Presiden, DPA, BPK dan MA lembaga-tinggi negara yang tidak sederajat
dengan MPR. Dalam sistem keorganisasian negara seperti disebut di atas,
kekuasaan negara dalam sistem UUD 1945 sebelum amandemen adalah sistem
pembagian kekuasaan.
Dalam kedudukan sebagai lembaga-tertinggi negara, relasi MPR dengan
Presiden berbeda derajat. MPR lebih tinggi daripada Presiden. Presiden tunduk dan
8
Bagir Manan, Pembaharuan UUD 1945, Makalah yang disajikan pada Seminar
Hukum Nasional VII, Jakarta, 1999, hlm. 10.
bertanggungjawab kepada MPR. Hubungan fungsional demikian memiliki
konsekuensi logis terhadap mekanisme pemberhentian Presiden/Wakil Presiden
pada masa jabatan. MPR adalah lembaga tunggal yang menentukan nasib Presiden.
Dengan perkataan lain, “nasib” Presiden ditentukan semata-mata oleh MPR.
Secara konkrit, kedudukan Presiden semata-mata bergantung pada dinamika
kekuatan politik dominan di MPR. Sebagai akibatnya, Presiden dapat
diberhentikan sewaktu-waktu pada masa jabatannya karena konstelasi dinamika
politik di MPR. Sebagai contoh, Presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan pada
masa jabatan karena dinamika kekuatan politik dominan di MPR menghendaki
demikian.9 Demikian pula Soekarno diberhentikan pada masa jabatan karena
dinamika kekuatan politik dominan di internal MPR yang disebut Orde Baru.
Mekanisme pemberhentian Presiden
sebelum amandemen UUD 1945
seperti diuraikan di atas adalah bersifat sederhana. Namun, justru kesederhanaan
itu yang menjadi kelemahan UUD 1945. Presiden/Wakil Presiden dapat
diberhentikan MPR sewaktu-waktu karena konstelasi dan dinamika politik di
internal MPR. Mekanisme pemberhentian Presiden/Wakil Presiden seperti itu
dapat menimbulkan ketidakstabilan pemerintahan yang berdampak terhadap
kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis dan konstitusional. Sebagai
contoh, kasus Soekarno dan Abdurrahman Wahid yang diberhentikan pada masa
jabatan hanya karena alasan-alasan politis yang tidak jelas dan tidak diatur dalam
UUD 1945.
Pada saat amandemen UUD 1945 tahun 1999-2002, salah satu tujuan yang
hendak dicapai adalah untuk membentuk pemerintahan yang stabil. Untuk itu,
dibentuk sistem pemerintahan Presidensil yang kuat yang dapat menghasilkan
sistem pemerintahan yang stabil sesuai dengan prinsip fixed executive system.
Dalam rangka mewujudkan sistem pemerintahan Presidensil yang kuat, konstruksi
kedaulatan rakyat berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen
diubah. Perubahan konstruksi kedaulatan rakyat dilakukan pada Amandemen
Ketiga UUD 1945. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Amandemen Ketiga menyebutkan
9
Kunthi Dyah Wardani, Impeachment dalam Ketatanegaraan Indonesia,
Yogjakarta, 2007, hlm. 10.
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang
Dasar.”
Pascaamandemen ketiga UUD 1945, konstruksi kedaulatan rakyat berubah
secara prinsipil. Menurut Hendra Nurtjahyo, ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
perubahan ketiga mengandung arti kekuasaan negara diselenggarakan menurut
ketentuan konstitusi.10 Dalam perspektif kedaulatan rakyat menurut ketentuan
konstitusi, semua lembaga negara berkedudukan sama sebagai pelaksana
kedaulatan rakyat. Dalam konstruksi kedaulatan rakyat di atas, rakyat
berkedudukan sebagai pemegang kedaulatan politik. MPR, DPR, DPD dan
Presiden merupakan pemegang kedaulatan hukum dalam konteks kewenangan
masing-masing. MPR pemegang kedaulatan hukum dalam pembentukan dan
perubahan UUD 1945. Presiden, DPR dan DPD pemegang kedaulatan hukum
dalam pembentukan undang-undang. Konstruksi kedaulatan rakyat seperti disebut
di atas jelas berbeda dari konstruksi kedaulatan rakyat menurut UUD 1945
sebelum perubahan. Sebagai konsekuensi perubahan yang dikemukakan di atas,
relasi lembaga negara MPR dengan Presiden, DPR, MA, MK, BPK dengan
demikian juga ikut berubah.
Perubahan
konstruksi
kedaulatan
rakyat
juga
mengubah
sistem
pendistribusian kekuasaan negara. Sistem pembagian kekuasaan UUD 1945
sebelum amandemen ditinggalkan dan beralih kepada sistem pemisahan
kekuasaan. Jimly Asshidiqqie mengemukakan bahwa pascaamandemen UUD
1945, negara Republik Indonesia menganut sistem pemisahan kekuasaan dan
bukan pembagian kekuasaan.10 Perubahan sistem distribusi kekuasaan seperti itu
mengandung konsekuensi terhadap kedudukan, kewenangan dan hubungan
fungsional lembaga-lembaga negara. Hubungan fungsional DPR, MK, MPR dan
Presiden
berubah.
Perubahan
tersebut
berakibat
terhadap
mekanisme
pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pada masa jabatan. Pascaamandemen
UUD 1945, mekanisme pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pada masa jabatan
melibatkan beberapa lembaga negara yakni DPR, MK dan MPR.
10
Hendra Nurtjahyo, Filsafat Demokrasi, Jakarta, 2005, hlm. 19.
Jimly Asshidiqqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan
dalam UUD 1945, Yogjakarta, 2004, hlm. 11.
11
Mekanisme pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pascaamandemen
UUD 1945 dibuat lebih sulit untuk memberikan jaminan masa jabatan yang lebih
pasti supaya dapat dihasilkan sistem pemerintahan Presidensil yang kuat dan stabil.
Seandainya pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pada masa jabatan dapat
dilakukan sewaktu-waktu seperti pada zaman Soekarno dan Abdurrachman Wahid
dapat terjadi gangguan terhadap kestabilan pemerintahan sehingga dapat
menimbulkan hal-hal negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemerintah
yang tidak stabil mustahil dapat menyelenggarakan tugas-tugasnya dengan baik
untuk mewujudkan negara hukum yang sejahtera dan demokratis yang dicitacitakan oleh bangsa Indonesia.
Kemungkinan seperti dikemukakan di atas harus dicegah sehingga
pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pada masa jabatan sedapat mungkin harus
dihindarkan. Pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pada masa jabatan harus
dipandang sebagai proses yang dilakukan hanya dalam keadaan luar biasa. Dengan
perkataan lain, pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pada masa jabatan harus
berdasarkan alasan-alasan yang diatur dalam UUD 1945.
Mekanisme pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pada masa jabatan
dimulai dari dakwaan DPR bahwa Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela atau karena tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Hal itu diatur dalam Pasal 7A UUD 1945 perubahan
ketiga yang menyebutkan:
“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan
Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diajukan DPR
kepada MPR. Akan tetapi, DPR terlebih dahulu harus mengajukan permintaan
kepada Mahkamah Konstitusi untuk “memeriksa, mengadili dan memutus” usulan
pemberhentian tersebut. Hal itu diatur dalam Pasal 7B ayat (1) UUD 1945
perubahan ketiga yang menyebutkan:
“Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat
hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah
Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela,
dan/atau pendapat bahwa Presiden/Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
Pendapat DPR mengenai Presiden/Wakil Presiden yang diduga melakukan
pelanggaran hukum, perbuatan tercela atau berada dalam keadaan seperti diatur
Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 terkait dengan fungsi pengawasan DPR. Pasal 7B
ayat (2) UUD 1945 menyebutkan “Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa
Presiden/Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun
telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden adalah
dalam rangka fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Pengajuan permintaan DPR kepada MK untuk memeriksa, mengadili dan
memutus pendapat DPR mengenai pelanggaran hukum, perbuatan tercela atau
keadaan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden seperti diatur
dalam Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 perubahan ketiga dapat dilakukan dalam
Sidang Paripurna DPR. Sidang Paripurna DPR harus dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 (dua per tiga) jumlah anggota DPR. Dengan perkataan lain, Sidang
paripurna DPR dinggap memenuhi korum jika dihadiri oleh sekurang-kurangnya
2/3 (dua per tiga) jumlah anggota DPR. Pengajuan permintaan DPR kepada MK
harus disetujui oleh 2/3 (dua per tiga) anggota DPR yang hadir. Pasal 7B ayat (3)
UUD 1945 perubahan ketiga menyebutkan “Pengajuan permintaan Dewan
Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan
dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat
yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari
jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.” Dengan perkataan lain, permintaan
DPR kepada MK untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR
mengenai pelanggaran hukum, perbuatan tercela atau keadaan tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden harus didukung oleh 4/9 (empat per
sembilan) dari 560 (lima ratus enam puluh) orang jumlah anggota DPR.
Mahkamah
Konstitusi
Presiden/Wakil Presiden
yang
menerima
usulan
pemberhentian
wajib memeriksa, mengadili dan memutus pendapat
(tuduhan) tersebut dalam tempo paling lambat 90 (sembilan puluh) hari. Hal itu
diatur dalam Pasal 7B ayat (4) UUD 1945 perubahan ketiga yang menyebutkan
“Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili dan memutus dengan seadiladilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama
sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima
oleh Mahkamah Konstitusi.”
Setelah MK menerima dari DPR dakwaan terhadap Presiden/Wakil
Presiden berkaitan dengan hal-hal yang diatur dalam Pasal 7A UUD 1945)
perubahan ketiga, MK akan mengadakan persidangan.12 Ada 2 (dua) macam
kemungkinan keputusan MK mengenai tuduhan DPR terhadap Presiden/Wakil
Presiden.
Pertama,
MK
memutuskan
bahwa
tuduhan
DPR
terhadap
Presiden/Wakil Presiden tidak terbukti. Dalam hal demikian, tuduhan harus
dianggap gugur sehingga kasus dianggap sudah selesai. Kedua, MK memutuskan
bahwa tuduhan DPR terhadap Presiden/Wakil Presiden terbukti sehingga kasus
harus dilanjutkan ke MPR. Dalam hal tuduhan yang dinyatakan terbukti itu
berkaitan dengan konteks pidana berarti aspek pidana yang terkait dapat diproses
lebih lanjut.
Dalam hal kasus sampai ke tangan MPR berarti nasib Presiden/Wakil
Presiden ditentukan oleh MPR. Pasal 7B ayat (5) UUD 1945 perubahan ketiga
menyebutkan:
“Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau
Wakil
12
Presiden
terbukti
melakukan
pelanggaran
hukum
berupa
Sidang MK dapat dibandingkan dengan forum previlegiatum dalam Konstitusi
RIS 1949.
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau pendapat bahwa Presiden/Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna
untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
Setelah menerima usul pemberhentian Presiden/Wakil Presiden dari DPR,
MPR harus melaksanakan sidang untuk menentukan nasib usul DPR mengenai
pemberhentian Presiden paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak usul diterima.
Pasal 7B ayat (6) UUD 1945 perubahan ketiga menyebutkan “Majelis
Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul
Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis
Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.” Sidang MPR untuk mengambil
keputusan menerima atau menolak usulan DPR harus memenuhi syarat keabsahan
persidangan dan pengambilan keputusan. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 7B
ayat (7) UUD 1945 perubahan ketiga yang menyebutkan:
“Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya
¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari
jumlah anggota yang hadir setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi
kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat.”
Menurut penulis, pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pada masa
jabatan
masih
mengandung
potensi
yang
dapat
melahirkan
problema
ketatanegaraan yang berdampak luas terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Gambaran problematika ketatanegaraan yang terkait dengan pemberhentian
Presiden/Wakil Presiden pada masa jabatan tersebut dapat diketahui dari uraian
berikut ini.
Ada 2 (dua) kemungkinan yang akan dilakukan MPR berkenaan dengan
usulan DPR untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden. Pertama, MPR dapat
memberhentikan Presiden/Wakil Presiden sesuai dengan keputusan MK. Jika MPR
memberhentikan Presiden/Wakil Presiden sesuai dengan keputusan MK,
Presiden/Wakil Presiden akan berhenti pada masa jabatan sesuai dengan keputusan
tersebut. Pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pada masa jabatan tersebut tidak
menimbulkan
problematik
hukum
ketatanegaraan.
Jika
pemberhentian
Presiden/Wakil Presiden karena dakwaan atas pelanggaran hukum, aspek pidana
kasus pelanggaran hukum yang didakwakan DPR terhadap Presiden/Wakil
Presiden harus diproses secara hukum.
Kedua, MPR menolak memberhentikan Presiden/Wakil Presiden meskipun
MK memutuskan bahwa Presiden/Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran
hukum, perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil
Presiden. Jika MPR tidak memberhentikan Presiden/Wakil Presiden yang sudah
dinyatakan MK melakukan pelanggaraan hukum, perbuatan tercela atau tidak lagi
memenuhi syarat berarti MPR menganulir (mengabaikan) keputusan MK.
Keputusan MPR tersebut jelas menimbulkan masalah bagi kehidupan berbangsa
dan bernegara. Presiden/Wakil Presiden yang bermasalah tersebut dapat tetap
menjalankan tugas dan wewenangnya tetapi bermasalah secara hukum dan moral.
Suatu saat, keadaan seperti itu mungkin saja terjadi Namun, kemungkinan itu sama
sekali tidak diantisipasi MPR pada waktu mengamandemen UUD 1945 sehingga
terjadi kekosongan norma (normvacuum) berkenaan dengan hal tersebut.
Kekosongan
norma
tersebut
tentu
saja
akan
menimbulkan
problema
ketatanegaraan.
Jika bertitik tolak dari uraian di atas, mekanisme pemberhentian
Presiden/Wakil Presiden pada masa jabatan seperti diatur dalam Pasal 7A UUD
1945 Perubahan Ketiga masih mengandung masalah yang perlu diteliti. Untuk
meneliti hal tersebut, penulis bertitik tolak dari perspektif asas-asas negara hukum
demokratis, asas (sistem) konstitusional dan asas (sistem) pemisahan kekuasaan.
Sesuai dengan uraian yang dikemukakan di atas, ada beberapa masalah
hukum (issu hukum) yang perlu diteliti dan dicari jawabannya. Masalah-masalah
hukum (issu hukum) tersebut ditetapkan sebagai masalah penelitian seperti
dipaparkan pada bagian identifikasi masalah. Oleh karena itu, bertitik tolak dari
uraikan yang dipaparkan di atas, penulis tertarik untuk melakukan suatu penelitian
hukum dengan judul “Pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden pada Masa
Jabatan dalam Perspektif Sistem Ketatanegaraan Indonesia.”
Sesuai dengan uraian di atas, penulis dapat merumuskan 2 (dua) masalah
penelitian yang perlu dijawab. Kedua masalah penelitian tersebut adalah sebagai
berikut: 1. Apakah putusan MK yang memvonis Presiden/Wakil Presiden telah
terbukti melakukan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden/ Wakil Presiden memiliki kekuatan mengikat
terhadap MPR? 2. Apa makna dan konsekuensi yuridis keputusan MPR yang
menganulir keputusan MK terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia yang
berpedoman pada asas negara hukum demokratis, asas konstitusional dan asas
pemisahan kekuasaan?
B. Metode Penelitian
Sebagai suatu karya ilmiah, penelitian ini bertujuan untuk mencapai suatu
tujuan tertentu. Sudah barang tentu, tujuan tersebut berkaitan dengan pokok
permasalahan yang perlu dicari jawabannya. Oleh sebab itu, tujuan penelitian ini,
sesuai dengan pokok permasalahan yang dikemukakan di atas adalah untuk
meneliti dan mengkaji:
1. Putusan MK yang memvonis Presiden/Wakil
Presiden terbukti melakukan
pelanggaran hukum atau perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden/ Wakil Presiden dalam kerangka sistem ketatanegaraan
Indonesia yang berpedoman pada asas negara hukum demokratis, asas (sistem)
konstitusional dan asas (sistem) pemisahan kekuasaan mengikat MPR.
2. Makna dan konsekuensi yuridis keputusan MPR yang menganulir keputusan
MK yang memvonis Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum atau
perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/ Wakil
Presiden dalam kerangka sistem ketatanegaraan Indonesia yang berpedoman
pada asas negara hukum demokratis, sistem konstitusional dan sistem
pemisahan kekuasaan.
Sebagai karya ilmiah, penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan suatu
kegunaan atau manfaat tertentu. Kegunaan hasil penelitian ini dapat dipandang dari
2 (dua) macam perspektif yang satu sama lain berbeda tetapi saling berkaitan.
Kedua macam perspektif tersebut adalah sudut pandang teoretis dan praktis. Jika
ditinjau dari sudut pandang teoretis, penelitian ini memiliki manfaat atau kegunaan
teoretis yang bersifat umum maupun bersifat khusus. Secara umum, hasil
penelitian bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan bahan kepustakaan
Hukum Tata Negara. Secara khusus, hasil penelitian bermanfaat menambah
pengetahuan
dan
kepustakaan
mengenai
impeachment
sebagai
lembaga
ketatanegaraan dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia yang berpedoman
pada asas negara hukum demokratis, asas (sistem) konstitusional dan asas (system)
pemisahan kekuasaan.
Jika ditinjau dari perspektif praktik ketatanegaraan, hasil penelitian ini
dapat
bermanfaat
untuk
mengantisipasi
kemungkinan
terjadi
problema
ketatanegaraan yang berdampak luas terhadap sendi-sendi kehidupan berbangsa
dan bernegara. Kemungkinan terjadi problema ketatanegaraan tersebut terbuka
lebar jika MPR menganulir keputusan MK untuk memberhentikan Presiden/Wakil
Presiden yang sudah divonis oleh MK terbukti melakukan pelanggaran hukum,
perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden/Wakil
Presiden seperti diatur dalam Pasal 7A UUD 1945.
Sebelum masalah ketatanegaraan yang dikemukakan di atas terjadi pada
masa yang akan datang, bangsa Indonesia perlu melakukan langkah-langkah
antisipasi penanggulangannya. Penelitian ilmiah ini bertujuan untuk mencari
alternatif pencegahan dampak yang mungkin terjadi dan yang tidak dikehendaki
bersama. Dalam konteks sebagaimana dkemukakan di atas, hasil penelitian ini
dapat dipakai MPR sebagai bahan pertimbangan untuk mengamandemen kembali
UUD 1945 dalam rangka melengkapi ketentuan mengenai mekanisme dan proses
pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pada masa jabatan supaya tidak terjadi
konsekuensi-konsekuensi yang menimbulkan masalah ketatanegaraan seperti
dikemukakan di atas.
Permasalahan yang dikemukakan di atas harus dijawab dan untuk
menjawab pertanyaan tersebut diperlukan data. Untuk memperoleh data yang
relevan harus dipergunakan suatu metode penelitian tertentu. Oleh karena itu,
dalam penelitian ini dipergunakan suatu metode penelitian yang disebut metode
penelitian yuridis-normatif.
Metode penelitian yuridis-normatif adalah metode penelitian yang
mengkaji data sekunder (data yang sudah didokumentasikan). Data penelitian
disebut bahan-bahan hukum. Bahan-bahan hukum terdiri atas (a) bahan hukum
primer, (b) bahan hukum sekunder dan (c) bahan hukum tersier. Bahan hukum
primer meliputi segenap norma-norma hukum yang dituangkan dalam peraturan
hukum konkrit seperti UUD 1945, undang-undang dan keputusan Mahkamah
Konstitusi. Bahan hukum sekunder meliputi buku-buku, jurnal hukum, hasil
penelitian hukum, tesis, disertasi dan sebagainya. Kedua bahan hukum tersebut
dapat dilengkapi dengan bahan hukum tersier seperti kamus hukum maupun
ensiklopedia hukum.
Bahan-bahan hukum tersebut di atas dapat dikumpulkan atau dihimpun
dengan melakukan studi pustaka (library research). Studi kepustakaan dilakukan
dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum yang tersedia atau terdapat di berbagai
sumber bahan-bahan hukum seperti perpustakaan. Studi kepustakaan juga
dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan hukum dengan cara penelusuran
bahan-bahan hukum melalui internet. Bahan-bahan hukum tersebut dihimpun,
diklasifikasi, ditafsirkan dan kemudian disistematisasi. Untuk keperluan tersebut
berbagai metode penafsiran dipergunakan seperti metode penafsiran gramatika,
metode penafsiran historis, teleologis, sistematis, futuristik dan hermeneutik.
C. Hasil Penelitian Dan Pembahasan
1. Teori (Asas) Negara Hukum
Asas negara hukum sudah dikenal sejak zaman Yunani Kuno sehingga
usianya sudah sangat tua dan telah menempuh perjalanan sejarah yang sangat
panjang. Gagasan, ide, konsep atau asas negara hukum dikatakan sudah sangat tua
karena Plato dan Aristoteles
ahli filsafat berkebangsaan Yunani sudah
membicarakan asas negara hukum dalam karyanya.13
Dalam pandangan Plato, kekuasaan harus dibatasi supaya tidak
disalahgunakan penguasa. Ide Plato tentang pembatasan kekuasaan bersendikan
pada moralitas penguasa yang baik dan terpuji serta penguasaan ilmu pengetahuan
terutama ilmu pengetahuan pemerintahan.14 Plato berpandangan, kekuasaan dapat
dikendalikan jika penguasa memiliki moralitas yang baik, arif dan bijaksana. Ide,
konsep atau asas negara hukum Plato dapat dikatakan sebagai ide negara hukum
yang berdimensi moralitas.
Aristoteles juga berpandangan bahwa kekuasaan harus dibatasi supaya
tidak disalahgunakan penguasa. Namun, ide Aristoteles mengenai instrumen
pembatasan kekuasaan berbeda dari Plato. Aristoteles tidak berpedoman kepada
moralitas seperti dikemukakan Plato. Ide, konsep atau asas negara hukum
Aristoteles bersendikan pada konsepsi politea atau negara berdasarkan konstitusi.15
Ide pembatasan kekuasaan Aristoteles adalah ide, konsep atau asas negara hukum
yang berdimensi yuridis.16
Ide negara hukum (cita negara hukum) untuk beberapa lama dilupakan
orang dan baru pada Abad XVII timbul kembali di Barat.17 Kelahiran kembali ide
atau cita negara hukum di Barat merupakan reaksi terhadap kekuasaan absolut
penguasa (raja) yang sewenang-wenang. Kondisi seperti itu sama seperti keadaan
atau situasi kelahiran ide atau cita negara hukum pada masa Plato dan Aristoteles
zaman Yunani Kuno.18
Di Eropa Barat, ide atau citra negara hukum mengejawantah dalam 2 (dua)
macam konsepsi. Pertama, citra negara hukum berdasarkan konsepsi Rule of Law
di negara-negara dengan sistem hukum Common Law seperti Inggris. Kedua, citra
negara hukum berdasarkan konsepsi Rechtsstaat di negara-negara dengan sistem
hukum Civil Law seperti Belanda, Perancis dan Indonesia. Citra negara hukum
13
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-asas
Umum Pemerintahan yang Baik, Jakarta, 2010, hlm. 10-19.
14
Ibid., hlm. 13.
15
Ibid.
16
J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Agustinus, Machiavelli (Jakarta,
2001), hlm. 185.
17
Azhary, Negara Hukum Indonesia, Jakarta, 1995, hlm.21.
18
Ibid.
konsepsi Rule of Law dan Civil Law memiliki perbedaan semangat yang mendasar.
Namun, ide negara hukum Eropa Barat memiliki tujuan yang sama dengan ide
negara hukum berdasarkan konsepsi Rule of Law yakni bertujuan membatasi
kekuasaan untuk mencegah kesewenang-wenangan. Namun, ide atau citra negara
hukum yang dibicarakan dalam penelitian ini adalah negara hukum berdasatkan
konsepsi Rechtsstaat dengan alasan karena konsepsi tersebut memiliki persamaan
dengan konsepsi negara hukum yang berkembang di Indonesia.
Formula yang ditawarkan negara hukum berdasarkan konsepsi Rechtsstaat
yang berkembang di negara-negara Eropa Barat untuk membatasi kekuasaan
adalah berlandaskan pada prinsip-prinsip ideal yang seyogyanya dijalankan suatu
negara seperti perlindungan hak asasi manusia, pemisahan kekuasaan dan
sebagainya. Hakikat negara hukum berdasarkan prinsip-prinsip ideal yang
dikemukakan di atas adalah pembatasan kekuasaan negara (penguasa) dengan
bersaranakan hukum. Jika ditinjau dari perspektif perkembangan ide pembatasan
kekuasaan, ide negara hukum berdasarkan konsepsi Rechtsstaat Eropa dapat dibagi
dalam 4 (empat) fase yaitu (a) Negara Hukum Liberal atau Klasik (menurut
Immanuel Kant), (b) Negara Hukum Formal (menurut Julius Stahl) dan (c) Negara
Hukum Abad XX atau negara hukum kesejahteraan yang demokratis. Perbedaan
ide pembatasan kekuasaan dalam perspektif ketiga konsepsi negara hukum di atas
bersifat gradual semata-mata.
Negara hukum Immanuel Kant juga disebut dengan istilah yakni Negara
Hukum Liberal/Klasik. Konsepsi Negara Hukum Liberal/Klasik lahir sebagai
reaksi
terhadap
praktik
negara
polisi
(Polizei
Staat).19
Negara
Polisi
menyelenggarakan ketertiban dan keamanan serta menyelenggarakan semua
kebutuhan hidup warga tanpa melibatkan rakyat. Dalam pandangan Hans
Nawiasky, polizei terdiri atas 2 (dua) macam hal yaitu (a) Sicherheit Polizei yang
berfungsi sebagai penjaga tata tertib dan keamanan dan (b) Verwaltung Polizei atau
Wohlfart Polizei yang berfungsi sebagai penyelenggara perekonomian atau
penyelenggara semua kebutuhan hidup warganya.20
19
20
Azhary, op. cit., hlm. 44.
Ibid.
Secara konseptual, ide negara polisi adalah ide yang baik. Namun, ide
dengan praktik jauh panggang dari api. Dalam praktik yang terjadi adalah
kesewenang-wenangan penguasa. Sebagai contoh, pemerintahan Louis XIV dari
Perancis yang sewenang-wenang sehingga menyebabkan Revolusi Perancis tahun
1789.21 Secara akademik atau teoretis, kesewenang-wenangan terjadi karena
konsepsi Negara Polisi memiliki kelemahan yaitu tidak memiliki mekanisme untuk
membatasi kekuasaan penguasa.
Golongan rakyat yang menentang kesewenang-wenangan penguasa adalah
golongan borjuis-liberal. Golongan ini menentang penguasa bukan untuk berkuasa
tetapi memperjuangkan kemerdekaan individu. Golongan borjuis-liberal menuntut
kebebasan individu supaya secara bebas dapat berusaha dalam bidang ekonomi.
Golongan ini menghendaki supaya Sicherheit Polizei sebagai penjaga tata tertib
dan keamanan tetap dipertahankan sedangkan Wohlfart Polizei dilepaskan dari
fungsi negara.
Dalam memperjuangkan cita-cita tersebut, golongan borjuis-liberal
mengajukan formula pembatasan kekuasaan negara (penguasa) berdasarkan (a)
perlindungan hak asasi manusia dan (b) pemisahan kekuasaan.22 Perlindungan hak
asasi manusia perlu supaya penguasa menghormati hak-hak individu sehingga
tidak bertindak sewenang-wenang. Namun, pemisahan kekuasaan juga perlu untuk
mencegah kekuasaan absolut. Dengan kedua instrumen pembatasan kekuasaan
tersebut, penguasa diharapkan tidak bertindak sewenang-wenang sehingga
kemerdekaan atau hak-hak individu terjamin.
Praktik Negara Hukum Liberal/Klasik ternyata hanya menguntungkan
golongan borjuis-liberal. Negara hukum Liberal/Klasik berpihak hanya kepada
kepentingan orang-orang kaya. Dengan demikian, negara hukum Liberal/Klasik
semata-mata merupakan justifikasi dominasi
memperhatikan
golongan
rakyat
golongan borjuis-liberal tanpa
kebanyakan
sehingga
Liberal/Klasik bukan untuk kesejahteraan dan kepentingan rakyat.
21
Ibid.
22
Hotma P. Sibuea, op. cit., hlm 28.
negara
hukum
Kegagalan Negara Hukum Liberal menyelenggarakan kesejahteraan bagi
semua golongan rakyat menjadi faktor pendorong kelahiran Negara Hukum Formal
yang dipelopori oleh Julius Stahl. Ada 4 (empat) pilar (unsur) negara hukum
formal yaitu
(a) perlindungan terhadap hak asasi manusia, (b) pemisahan
kekuasaan (c) tindakan pemerintah harus berdasar atas peraturan perundangundangan dan (d) adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri.23
Penambahan jumlah pilar negara hukum formal harus dipandang sebagai
peningkatan niat untuk mempertegas pembatasan kekuasaan. Muara keempat pilar
negara hukum formal adalah untuk memberikan jaminan terhadap kemerdekaan
individu dengan membatasi kekuasaan penguasa supaya tidak sewenang-wenang.
Negara hukum formal memiliki kelemahan prinsipil yakni bersifat kaku.
Pemerintah terlalu ketat diikat dengan undang-undang sehingga menjadi lamban
dalam bertindak untuk mengantisipasi perkembangan-perkembangan baru yang
terjadi dalam masyarakat. Asas legalitas mengikat pemerintah terlalu ketat
sehingga pemerintah sering mengalami kesulitan untuk mengambil tindakan secara
cepat dalam menyikapi perkembangan-perkembangan baru yang belum diatur
undang-undang karena masyarakat yang lebih cepat berkembang daripada
pembentukan
undang-undang.
Sebagai
akibatnya,
upaya
penyelenggaraan
kesejahteraan masyarakat menjadi terganggu. Oleh karena itu, pada abad XIX,
negara hukum formal ditinggalkan dan orang kemudian beralih pada asas negara
hukum yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman yakni negara hukum
kesejahteraan (wohlfart staat, social service state).24
Negara Hukum Kesejahteraan atau negara hukum demokratis mengandung
konsepsi yang lebih rumit atau kompleks daripada negara hukum liberal dan
negara hukum formal. Miriam Budiardjo menggambarkan kompleksitas negara
hukum kesejahteraan yang demokratis sebagai berikut:
“Pada dewasa ini, dianggap bahwa demokrasi harus meluas mencakup
dimensi ekonomi dengan suatu sistem yang menguasai kekuatan-kekuatan
23
Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, 1983,
hlm. 156.
24
Ibid., hlm. 160.
ekonomi dan yang berusaha memperkecil perbedaan sosial dan ekonomi
terutama perbedaan-perbedaan yang timbul dari distribusi kekayaan yang
tidak merata. Negara semacam ini dinamakan welfare state (negara
kesejahteraan) atau social service state (negara yang memberikan
pelayanan kepada masyarakat).”25
Negara hukum kesejahteraan demokratis (wohlfart staat, social service
state) yang sangat kompleks seperti dikemukakan di atas membawa konsekuensi
yang sangat luas terhadap berbagai aspek kehidupan bernegara. Dalam negara
hukum kesejahteraan, negara tidak hanya berfungsi untuk menyelenggarakan
keamanan dan ketertiban tetapi juga memberikan pelayanan jasa-jasa kepada
masyarakat. Oleh karena itu, fungsi penguasa (pemerintah) juga bukan sematamata memerintah tetapi juga melayani masyarakat. Aspek pelayanan masyarakat
(public servant) sebagai tugas pejabat negara berpengaruh terhadap struktur
ketatanegaraan, sistem distribusi kekuasaan, kedudukan, fungsi, tugas dan
wewenang lembaga negara, hubungan lembaga negara, mekanisme pembatasan
kekuasaan negara termasuk terhadap mekanisme pemberhentian pejabat-pejabat
negara pada masa jabatan dan sebagainya.
Kesejahteraan bangsa (kesejahteraan umum) sebagai tujuan negara dapat
diselenggarakan jika ditopang oleh sistem ketatanegaraan dan mekanisme
penyelenggaraan negara yang sesuai dengan tujuan negara. Penataan struktur
ketatanegaraan dan mekanisme penyelenggaraan negara yang dapat mewujudkan
tujuan negara hukum kesejahteraan yang demokratis harus berpedoman pada
prinsip-prinsip pembatasan kekuasaan dan pendistribusian kekuasaan kepada
organ-organ negara. Dari perspektif Ilmu Hukum Ketatanegaraan, prinsip (pokokpokok pendirian) yang dimaksud lazim disebut asas-asas hukum ketatanegaraan.
Asas-asas hukum ketatanegaraan yang dikemukakan di atas berfungsi
konstitutif
dan
regulatif
terhadap
pembentukan
norma-norma
hukum
ketatanegaraan yang dituangkan dalam konstitusi (undang-undang dasar).
Konstitusi (undang-undang dasar) mengatur hal-hal yang bersifat dasar dalam
25
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, 2006, hlm. 59.
kehidupan berbangsa dan bernegara seperti hak-hak warga negara dan hak asasi
manusia, wewenang dan tugas organ-organ negara, hubungan organ-organ negara,
masa jabatan pejabat-pejabat negara dan sudah barang tentu termasuk tata cara
pemberhentian pejabat-pejabat negara pada masa jabatan yang menjadi fokus
pembahasan penelitian ini.
2. Teori Konstitusi
Cita-cita negara hukum kesejahteraan seperti dikemukakan di atas tidak
akan pernah tercapai jika para penyelenggara negara tidak dapat bekerja dengan
baik. Untuk dapat bekerja dengan baik, masing-masing organ negara harus
memiliki batas-batas tugas dan wewenang dan didukung oleh mekanisme kerja
yang sudah ditetapkan sebagai pedoman pelaksanaan tugas dan wewenang.
Pembagian tugas dan wewenang serta hubungan kerja di antara organ-organ negara
ditetapkan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip tertentu yang berkenaan
dengan cara pengorganisasian negara dan penyelenggaraan negara.
Prinsip (pokok-pokok pendirian) tentang cara pengorganisasian negara dan
penyelenggaraan negara hukum kesejahteraan yang demokratis untuk pertama kali
dituangkan dalam konstitusi (undang-undang dasar). Konstitusi (undang-undang
dasar) berfungsi untuk mengatur struktur ketatanegaraan, tugas dan wewenang
organ-organ negara, mekanisme penyelenggaraan negara, hak-hak warga negara
dan hak asasi manusia dan lain-lain. Pada hakikatnya, ada 2 (dua) macam prinsip
(pokok-pokok pendirian) yang lazim terdapat dalam negara hukum demokratis
yaitu (a) penyelenggaraan negara dilaksanakan dengan melibatkan rakyat dalam
segala urusan secara langsung maupun perwakilan dan (b) kewenangan dan tugas
para penyelenggara negara ditetapkan dengan dan dibatasi oleh hukum atau
kontitusi dalam arti yang luas.
Sesuai dengan kedua prinsip tersebut, struktur organisasi negara hukum
kesejahteraan yang demokratis tentu saja harus bercorak demokratik.26 Struktur
organisasi negara yang bercorak demokratis membuka saluran kepada rakyat untuk
26
Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Indonesia, Dasar-dasarnya, Jakarta,
1982, hlm. 201.
ikut terlibat dalam penyelenggaraan negara dalam segala aspeknya. Dalam konteks
struktur organisasi negara yang bercorak demoklratis tersebut, Usep Ranawijaya
mengemukakan komentar sebagai berikut “Dalam sistem demokrasi pada dasarnya
. . . . tidak ada satu urusan pun dalam negara yang boleh dijauhkan dari jangkauan
kedaulatan rakyat.”
27
Pengaruh kedaulatan rakyat dalam sistem negara hukum
demokratis tampak antara lain dalam hal:
1. Jaminan mengenai hak asasi dan kebebasan dasar manusia sebagai
syarat dapat berfungsinya kedaulatan rakyat,
2. Penentuan dan pembatasan wewenang pejabat negara,
3. Sistem pembagian tugas antara jabatan-jabatan penting yang bersifat
saling membatasi dan mengimbangi (checks and balances system).28
Dalam suatu negara hukum demokratis, struktur ketatanegaraan diatur
dalam suatu konstitusi dalam arti sempit yakni suatu dokumen pokok yang berisi
aturan mengenai susunan organisasi negara beserta cara kerjanya negara itu.29
Materi-muatan yang diatur dalam konstitusi berbeda-beda menurut pandangan para
pakar. Namun, secara garis besar pendapat para pakar mengenai materi-muatan
konstitusi adalah sama. C.F. Strong misalnya mengemukakan pendapat tentang
materi-muatan konstitusi sebagai berikut “But whatever its form, a true
constitution will have the following facts about it very clearly marked: first, how
the various agencies are organized, secondly, what power is entrusted to those
agencies, and thirdly, in what manner such power is to be exercised.”30 Hal itu
berarti bahwa konstitusi berkaitan dengan (a) cara pengorganisasian oragn-organ
negara, (b) wewenang yang dipercayakan kepada organ-organ negara dan (c) caracara melaksanakan kewenangan organ-organ negara.
Materi-muatan yang diatur dalam konstitusi seperti dikemukakan di atas
dalam garis besarnya sesuai dengan pengertian konstitusi yang dikemukakan oleh
27
28
29
Ibid., hlm. 205.
Ibid.
Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Indonesia, Dasar-dasarnya, op. cit.
hlm. 183.
30
C. F. Strong, Modern Political Constitution, London, 1966, hlm. 12.
pakar yang lain. C. F. Strong mengemukakan definisi konstitusi yang sekaligus
mencerminkan materi-muatan konstitusi sebagai berikut “Again, a constitution
may be said to be collection of principles according to which the powers of the
government, the rights of the governed, and the relations between the two are
adjusted.”31
Materi-muatan konstitusi seperti dikemukakan oleh para pakar di atas
sesungguhnya sudah mencerminkan fungsi utama (fungsi pokok) konstitusi dalam
konteks kehidupan berbangsa dan bernegara yakni membatasi (a) kekuasaan
penguasa dengan cara menetapkan batas-batas tugas dan wewenang organ negara
dan (b) melindungi rakyat (warga negara) dengan cara menetapkan hak-hak warga
negara (rakyat). Pembatasan kekuasaan dan perlindungan hak-hak warga negara
sebagai hakikat fungsi konstitusi juga dapat diketahui dari definisi konstitusi
berikut ini. Eric Barent mengemukakan pandangan mengenai fungsi konstitusi
yang kurang lebih sama dengan pendapat di atas yakni sebagai berikut:
“Constitutionalism is a belief in the impositions of restrains on government
by means of a constitution. It advocates the adoption of a constitution
which is more than a ‘power map’; its function is to organize political
authority, so it cannot be used oppressively or arbitrarily. This is also the
value underlying
the classic principle of the separation of powers
formulated by the French jurist, Montesquieu, in L’Esprit des Lois.”32
Pembatasan kewenangan organ-organ negara sebagai fungsi utama
konstitusi pada dasarnya berkaitan dengan 2 (dua) macam aspek kekuasaan yakni
(a) ruang lingkup kekuasaan (scope of power) dan (b) jangka waktu kekuasaan.
Pembatasan ruang lingkup kekuasaan dapat dilakukan dengan cara (a) sistem
pemisahan kekuasaan secara fungsional maupun dengan (b) sistem pembagian
kekuasaan. Pembatasan kekuasaan yang berkaitan dengan jangka waktu kekuasaan
dapat dilakukan dengan cara menetapkan kurun waktu (jangka waktu) masa
jabatan pejabat negara. Sebagai contoh masa jabatan Presiden Indonesia 5 (lima)
31
Ibid., hlm. 11.
32
Eric Baret, Introduction to Constitutional Law, London, 1998, hlm. 14.
tahun, Presiden Amerika Serikat 4 (empat) tahun sedangkan Presiden Perancis 7
(tujuh tahun).
Pemberhentian pejabat pada masa jabatan juga dapat dipandang sebagai
pembatasan kekuasaan dari sudut pandang tertentu. Pembatasan kekuasaan dalam
pengertian yang luas termasuk pemberhentian pejabat pada masa jabatan
sebagaimana dikemukakan di atas harus diatur secara tegas dan komprehensif serta
dirumuskan dengan baik dalam konstitusi. Jika pembatasan kekuasaan termasuk
pemberhentian pejabat pada masa jabatan dilakukan dengan cara
seperti
dikemukakan di atas, ada berbagai macam manfaat yang dapat diperoleh. Manfaat
yang dimaksud adalah (a) untuk menghindari kemungkinan tumpang tindih
kekuasaan di antara organ-organ negara dan (b) untuk menghindari kemungkinan
terjadi problema ketatanegaraan yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap
kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai akibat penormaan pembatasan
kekuasaan yang tidak baik (penormaan yang kabur).
3. Teori Pemisahan Kekuasaan dan Teori Check and Balances System
Sebagaimana dikemukakan, pembatasan kekuasaan organ-organ negara
diatur dalam konstitusi. Sistem pembatasan kekuasaan yang lazim dilakukan dalam
pengorganisasian kekuasaan negara dalam negara hukum demokratis adalah sistem
pemisahan kekuasaan. Doktrin klasik pemisahan kekuasaan negara yang terkenal
adalah Doktrin Trias Politika Montesquieu. Menurut doktrin ini, kekuasaan negara
dipisahkan berdasarkan 3 (tiga) macam fungsi negara yang tertentu yaitu (a) fungsi
legislatif, (b) ekskutif dan (c) judisial. Masing-masing fungsi dijalankan oleh suatu
organ negara yang terpisah dari organ negara yang lain sehingga baik fungsi
maupun organ pelaksananya juga terpisah.
Doktrin Trias Politika atau Teori Pemisahan Kekuasaan yang dikemukakan
di atas memiliki kelemahan fundamental jika dipandang dari perspektif
penyelenggaraan negara hukum kesejahteraan yang demokratis. Kelemahan
Doktrin Trias Politika yang mencolok adalah karena pemisahan fungsi dan organ
dilakukan sehingga hal itu menutup peluang kerja sama di antara organ-organ
negara. Padahal, kerja sama di antara organ-organ negara adalah conditio sine
quanon penyelenggaraan negara hukum kesejahteraan yang demokratis.
Kelemahan Doktrin Trias Politika
diperbaiki oleh sistem Check and
Balances System. Sistem ini diciptakan oleh bangsa Amerika. Teori Check and
Balances System membuka peluang bagi organ-organ negara untuk bekerja sama
melalui
mekanisme
saling
mengawasi
dan
mengimbangi.
Motif
yang
melatarbelakangi kelahiran Check and Balances System adalah untuk mencegah
penyalahgunaan kekuasaan. Metode Check and Balances System secara efektif
dapat menciptakan keseimbangan kekuasaan dan pengawasan di antara organorgan negara.
Dalam konteks Check and Balances System, lembaga peradilan (sebagai
organ negara pemegang kekuasaan judisial) memegang peranan yang sangat
penting. Lembaga peradilan diberi kewenangan konstitusional untuk mengawasi
kekuasaan legislatif dalam membentuk undang-undang karena lembaga peradilan
diberi wewenang untuk menguji keabsahan (konstitusionalitas) undang-undang.
Mekanisme pengujian undang-undang oleh lembaga peradilan disebut uji material
(judicial review). Sebaliknya, badan legislatif tidak berwenang menguji dan
menganulir putusan badan peradilan. Dengan demikian, dalam perspektif Check
and Balances System terdapat dominasi dan supremasi kekuasaan judisial atas
kekuasaan legislatif dan eksekutif (judicial heavy).
Kekuasaan badan judisial yang sangat dominan diterima sebagai kewajaran
dalam penyelenggaraan negara hukum kesejahteraan yang demokratis pada zaman
sekarang. Hal itu menunjukkan bahwa prinsip pembagian fungsi kenegaraan
seperti dicanangkan Montesquieu dalam doktrin Trias Politika pada beberapa abad
yang lalu sudah bergeser sedemikian jauh. Bahkan, pada zaman sekarang,
kewenangan badan judisial yang demikian besar dianggap sebagai salah satu
prinsip konstitusional penyelenggaraan negara modern. Namun, perlu juga
dicermati supaya jangan sampai terjadi kesewenang-wenangan badan judisial.
Untuk itulah, prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang berpedoman pada
konstitusi mutlak harus ada dalam penyelenggaraan negara moderen.
Salah satu aspek pembatasan kekuasaan yang harus dirumuskan dengan
tegas dan baik dalam konstitusi adalah sistem pembatasan kekuasaan atau
kewenangan lembaga-lembaga negara. Jika ditinjau dari sudut pandang tertentu,
pembatasan kekuasaan meliputi 2 (dua) hal penting yakni (a) ruang lingkup
kekuasaan (scope of power) dan (b) masa berlaku kekuasaan.33 Pembatasan
kekuasaan yang berkenaan dengan ruang lingkup kekuasaan (scope of power)
membicarakan lingkup kewenangan suatu lembaga negara. Pembatasan kekuasaan
berdasarkan ruang lingkup kekuasaan dilakukan secara fungsional. Konstitusi
menentukan fungsi tertentu yang dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga negara
sesuai dengan kewenangannya. Dalam hal ini, doktrin klasik yang berkenaan
dengan pembatasan ruang lingkup kekuasaan organ-organ negara yang dapat
dikemukakan sebagai contoh adalah doktrin Trias Politika Montesquieu.
Pembatasan kekuasaan yang berkenaan dengan masa berlaku kekuasaan
berkaitan dengan jangka waktu kekuasaan pejabat negara. Sebagai contoh, masa
jabatan Presiden Indonesia adalah 5 (lima) tahun. Masa jabatan Presiden Perancis
adalah 7 (tujuh) tahun sedangkan Presiden Amerika Serikat adalah 4 (empat)
tahun. Namun, meskipun masa jabatan Presiden bersifat pasti (fixed executive
system), mekanisme ketatanegaraan seperti diatur dalam konstitusi dapat
mengakhiri masa jabatan Presiden sebelum masa jabatan berakhir. Mekanisme
pemberhentian pejabat-pejabat negara termasuk pejabat Presiden/Wakil Presiden
seperti dikemukakan di atas disebut impeachment.
Lembaga impeachment adalah lembaga ketatanegaraan yang hakikatnya
bersifat membatasi kekuasaan pejabat negara dari segi waktu. Lembaga
impeachment bekerja jika penjabat lembaga negara dituduh melakukan suatu
pelanggaran hukum atau perbuatan tercela atau suatu sebab lain. Jika yang dituduh
melakukan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi
syarat adalah Presiden/Wakil Presiden, tuduhan itu tentu saja menjadi masalah
nasional karena berkenaan dengan pemimpin nasional. Tuduhan bahwa
Presiden/Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela
atau tidak lagi memenuhi syarat tentu saja merupakan masalah yang sangat serius
karena dapat menimbulkan masalah nasional yakni mangganggu stabilitas
pemerintahan. Kemungkinan itu perlu mendapat perhatian supaya pengaturan
masalah impeachment dan pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pada masa
33
Bandingkan dengan pendapat Jack J.H. Nagel seperti dikutip Jimly
Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di
Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 9.
jabatan perlu diatur dalam konstitusi dengan cara yang baik sehingga tidak
menimbulkan masalah ketatanegaraan jika pada akhirnya Presiden/Wakil Presiden
harus berhenti sebelum masa jabatan berakhir.
4. Pemberhentian Presiden/Wakil Presiden pada Masa Jabatan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat Dari Perspektif Asas Negara Hukum, Asas
Konstitusional dan Asas Pemisahan Kekuasaan
a. Kekuatan Mengikat Keputusan Mahkamah Konstitusi Terhadap MPR
dalam Konteks Impeachment oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Apakah putusan MK yang memvonis Presiden/Wakil
Presiden telah
terbukti melakukan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden/ Wakil Presiden memiliki kekuatan mengikat
terhadap MPR? Pertanyaan itulah yang akan dijawab pada bagian ini.
Sebagaimana
dikemukakan
pada
bagian
sebelumnya,
jika
MK
memutuskan bahwa Presiden/Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran
hukum sebagaimana didakwakan oleh DPR berdasarkan Pasal 7A UUD 1945,
DPR harus melaporkan hal itu kepada MPR. MPR akan melakukan Sidang
Paripurna untuk mengambil sikap (keputusan) berkenaan dengan putusan (vonis)
MK tersebut. Pertama, MPR mungkin akan memberhentikan Presiden/Wakil
Presiden sesuai dengan diktum vonis MK. Jika hal itu yang terjadi, permasalahan
impeachment DPR terhadap Presiden/Wakil Presiden akan selesai sesuai dengan
ketentuan konstitusi yang mengatur masalah tersebut. Dengan demikian,
pemberhentian Presiden/Wakil Presiden tersebut sudah dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan konstitusional (UUD 1945). Keadaan demikian tidak akan
menimbulkan permasalahan hukum dan diperkirakan juga tidak akan menimbulkan
masalah sosial dan politis karena tidak ada pemicunya.
Kedua, MPR mungkin akan mengabaikan diktum vonis MK. Jika terjadi
keadaan bahwa MPR tidak memberhentikan Presiden/Wakil Presiden pada masa
jabatannya berarti bahwa putusan (vonis) MK tersebut diabaikan
atau
dikesampingkan oleh MPR. Dalam hal terjadi keadaan yang demikian, akan timbul
problematika hukum. Apakah keputusan MK sebagai lembaga peradilan dapat
diabaikan oleh MPR sebagai lembaga politik? Dengan pertanyaan lain, apakah
keputusan MK memiliki kekuatan mengikat terhadap MPR sebagai lembaga
politik? Permasalahan tersebut dibahas dalam perspektif, asas negara hukum yang
demokratis, asas konstitusional dan asas pemisahan kekuasaan.
Dalam perspektif negara hukum, organisasi negara ditata sedemikian rupa
sehingga fungsi-fungsi negara dapat didistribusikan kepada lembaga-lembaga
negara. Tujuannya adalah agar tidak terjadi sentralisasi kekuasaan di tangan
lembaga tertentu yang mengundang kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan (de
tournemnet de pouvoir). Dalam konteks inilah kehadiran doktrin pemisahan
kekuasaan menemukan relevansi dan urgensinya. Pendistribusian kekuasaan
tersebut menghasilkan domain (ruang lingkup) kekuasaan atau kompetensi absolut
tiap lembaga negara. Dalam konteks doktrin Trias Politica Montesquieu, kita dapat
merumuskan domain kekuasaan atas (a) kekuasaan legislative sebagai kekuasaan
pembentuk
undang-undang,
(b)
kekuasaan
eksekutif
sebagai
kekuasaan
menjalankan perintah undang-undang dan (c) kekuasaan judisial sebagai kekuasaan
yang berfungsi untuk menindak setiap perbuatan yang melanggar perinrah undangundang.
Kekuasaan judisial tersebut dijalankan oleh lembaga peradilan sehingga
secara klasik funsi dan wewenang lembaga peradilan adalah menyelesaikan kasus
dengan cara menerapkan undang-undang terhadap peristiwa konkrit. Metode yang
lazim dipergunakan dalam konteks penyelesaian masalah hukum tersebut adalah
(a) metode penafsiran dan (b) metode penemuan hukum atau komposisi hukum.
Keputusan (vonis) yang ditetapkan oleh lembaga peradilan (hakim) merupakan
keputusan pada instansi terakhir untuk konteks permasalahan a quo. Dengan
perkataan lain, keputusan yang dibuat pengadilan atau hakim merupakan keputusan
terakhir dalam konteks penyelesaian suatu masalah hukum.
Ruang lingkup kewenangan lembaga peradilan atau hakim semakin
berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Kompetensi peradilan
berkembang karena pengadilan atau hakim tidak hanya mengadili sengketa
perbuatran yang melanggar undang-undang saja. Lembaga peradilan atau hakim
juga dapat mengadili undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang
yang lebih tinggi. Putusan pengadilan atau hakim dalam konteks kasus pengadilan
undang-undang terhadap undang-undang yang lebih tinggi secara material (judicial
review) juga bersifat final dan mengikat (final and binding). Hal ini berarti bahwa
jika suatu undang-undang dinyatakan oleh hakim atau lembaga peradilan
bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi dengan demikian tidak ada
lagi lembaga negara yang lain yang dapat membatalkan keputusan pengadilan atau
hakim tersebut. Putusan (vonis) pengadilan atau hakim itu adalah putusan akhir
yang tidak dapat dikesampingkan atau dianulir oleh lembaga negara yang lain.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
sebagai negara hukum demokratis tidak terlepas dari bingkai prinsip konstitusional
dan asas pemisahan kekuasaan. Dari perspektif doktrin pemisahan kekuasaan,
Mahkamah Konstitusi memilili ruang lingkup kewenangan yang secara atributif
berbeda dari ruang lingkungan kekuasaan badan legislatif (DPR, DPD dan MPR)
ataupun dengan badan eksekutif (Presiden). Bahkan, MK memiliki kompetesni
absolut yang secara atributif berbeda dari kewenangan MA yang merupakan
puncak peradilan untuk kasus-kasus di luar kompetensi MK.
Jika berpedoman pada asas pemisahan kekuasaan, ruang lingkup
kekuasaan MK tidak boleh dicampuri oleh lingkungan kekuasaan yang lain baik
legislatif maupun eksekutif. Dengan perkataan lain, MK merupakan instansi
terakhir yang berwenang memberikan keputusan (vonis) atas setiap permasalahan
hukum yang termasuk dalam ruang lingkup kewenangan atau kekuasaannya. Jika
MK sudah menetapkan putusan (vonis) atas suatu kasus hukum berarti bahwa
putusan MK itu merupakan keputusan akhir dan dengan sendirinya harus mengikat
semua pihak termasuk lembaga-lembaga negara. Penghormatan semua pihak dan
semua lembaga negara terhadap setiap putusan yang ditetapkan MK mencerminkan
prinsip konstitusional. Penghormatan ini menunjukkan bahwa para pihak menaati
pendistribusian kewenangan atau kekuasaan lembaga-lembaga negara yang diatur
dalam konstitusi yang dalam hal ini mencakup ketentuan UUD 1945 dan undangundang.
Jika bertitik tolak dari uraian tentang prinsip negara hukum, asas
konstitusional dan asas pemisahan kekuasaan yang dikemukakan di atas jelas
bahwa keputusan MK yang menetapkan bahwa Presiden/Wakil Presiden terbukti
melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden/Wakil Presiden harus dipatuhi oleh MPR. MPR harus tunduk terhadap
keputusan tersebut karena MK merupakan instansi terakhir yang berwenang
menetapkan penyelesaian akhir secara hukum terhadap kasus tersebut. Jika hendak
dikatakan dengan cara lain berarti bahwa keputusan MK dalam kasus a quo adalah
mengikat MPR. Sesuai dengan keputusan MK tersebut, fungsi Sidang MPR adalah
dalam rangka menjalankan putusan MK tersebut. Jalan pikiran seperti inilah yang
sesuai dengan prinsip negara hukum, asas pemisahan kekuasaan dan asas
konstitusional sebagai sokoguru sistem ketatanegaraan Indonesia dan sistem
kehidupan berbangsa dan bernegara.
b. Konsekuensi Yuridis Keputusan MPR yang Menganulir Keputusan
Mahkamah Konstitusi dalam Konteks Impeachment Presiden oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Terhadap Asas Negara Hukum Demokratis, Asas
Konstitusional dan Asas Pemisahan Kekuasaan
Apa makna dan konsekuensi yuridis keputusan MPR yang menganulir
keputusan MK terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia yang berpedoman pada
asas negara hukum demokratis, asas konstitusional dan asas pemisahan kekuasaan?
Masalah ini akan penulis bahasa dengan bertitik tolak dari asas negara hukum, asas
konstitusional dan asas pemisahan kekuasaan secara serentak.
Salah satu tiang penopang Negara Hukum adalah asas pemisahan
kekuasaan. Asas pemisahan kekuasaan juga mengandung arti bahwa suatu lembaga
negara tidak diperkenankan untuk mencampuri kewenangan lembaga negara yang
lain. Dari perspektif asas ini, jika MPR mengabaikan atau menganulir keputusan
MK yang memutus bahwa Presiden/Wakil Presiden melakukan pelanggaran
hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden, tindakan
pengabaian oleh MPR tersebut mengandung arti mencampuri atau mengintervensi
kewenangan MK sebagai lembaga peradilan yang memiliki kewenangan absolut
untuk menyelesaikan secara hukum kasus a quo.
UUD 1945 memang tidak
mengatur bahwa MPR harus memberhentikan Presiden/Wakil Presiden yang
terbukti melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden/Wakil Presiden. Namun, menurut logika asas pemisahan kekuasaan,
putusan MK harus disikapi oleh MPR secara asas yaitu dengan memberhentikan
Presiden/Wakil Presiden. Bukankah MK yang memiliki kompetensi absolut
sebagai lembaga peradilan untuk mengadili kasus hukum tersebut? Jika
dikemukakan argumentasi bahwa tidak ada ketentuan UUD 1945 yang
mengharuskan demikian, menurut penulis, argumentasi seperti itu adalah
argumentasi yang tidak taat asas. Jika MPR taat asas berarti bahwa MPR harus
menghormati kewenangan MK untuk mengadili kasus a quo sehingga tidak ada
pilihan
bagi
MPr
selain
daripada
melaksanakan
Sidang
MPR
untuk
memberhentikan Presiden/Wakil Presiden. Di samping itu, jika ditinjau dari segi
kedudukannya, MPR dan MK adalah sederajat sehingga MPR bukan instansi
politik yang berwenang untuk mengambil keputusan politik yang dapat
mengabaikan keputusan hukum yang bersifat fdinal dan mengikat yang ditetapkan
oleh lembaga hukum yang berwenang yaitu MK. MPR menurut UUD 1945 yang
sudah diamandemen bukan sebagai lembaga tertinggi yang merupakan penjelmaan
segenap bangsa Indonesia.
Jika MPR mengabaikan atau tidak melaksanakan putusan MK dalam arti
tidak memberhentikan Presiden/Wakil Presiden yang sudah dinyatakan bersalah
atau terbukti tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden/Wakil Presiden,
Presiden/Wakil Presiden tersebut akan tetap menjabat dalam keadaan sebagai
Presiden/Wakil Presiden yang bermasalah secara hukum menurut dan berdasarkan
putusan MK maupun berdasarkan moral. Konsekuensi yuridis yang demikian
sudah barang tentu tidak kita kehendaki karena kondisi seperti itu akan
menimbulkan permasalah hukum ketataneganegaraan maupun permasalahan
moral. Keadaan demikian timbul sebagai konsekuensi dari tindakan MPR yang
mengabaikan putusan MK. Dengan perkataan lain, jika terjadi kondisi yang
demikian berarti bahwa yang membuat kondisi demikian itu adalah MPR itu
sendiri. MPR harus bertanggung secara hukum dan secara moral terhadap kondisi
yang tercipta sebagai konsekuensi keputusan MPR yang menolak atau
mengabaikan atau menganulir keputusan MK yang memutus Presiden/Wakil
Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum atau tidak memenuhi syarat lagi
sebagai Presiden/Wakil Presiden.
Dalam hal MPR menganulir atau mengesampingkan atau mengabaikan
putusan MK, perbuatan atau tindakan MPR tersebut harus ditafsirkan dan dimaknai
sebagai tindakan atau perbuatan yang mengabaikan atau melanggar norma-norma
konstitusi. Dalam perspektif asas konstitusonal, putusan MK harus ditempatkan
sederajat dengan ketentuan-ketentuan konstitusional. Dalam hal ini, keputusan MK
sebagai ketentuan-ketentuan konstitusional memiliki kekuatan mengikat yang sama
dengan kekuatan mengikat ketentuan konstitusi. Maka, dalam hal MPR
mengabaikan atau menganulir keputusan MK dalam kasus a quo, tindakan MPR
tersebut selain sebagai pelanggaran terhadap ketentuan konstitusi sekaligus dapat
dipandang sebagai tindakan yang tidak menghormati lembaga peradilan yang
dalam dal ini yang dimaksud adalah MK.
Dalam hal MPR dianggap melakukan tindakan yang mengabaikan atau
melanggar keputusan MK yang memiliki kekuatan mengikat yang sederajat dengan
ketentuan konstitusi sebagaimana dikemukakan di atas, hal itu dengan sendirinya
harus dipandang sebagai melanggar prinsip-prinsip dasar dalam asas negara
hukum. Pelanggaran terhadap asas Negara hukum, asas konstitusional dan asas
pemisahan kekuasaan sudah barang tentu mengandung konsekuensi yang
berdampak luas terhadap tatanan hukum dan tatanan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Semoga hal ini menjadi perhatian dan sekaligus bahan
renungan bagi MPR untuk menghindari hal-hal yang tidak kita kehendaki bersama.
D. Penutup
1.Simpulan-simpulan
Sesuai dengan uraian yang dikemukakan di atas, penulis dalam menarik
beberapa simpulan. Simpulan yang dapat ditetapkan adalah sebagai berikut:
1.Keputusan MK adalah mengikat MPR sehingga jika MK memutuskan
Presiden/Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden, MPR harus melakukan Sidang
MPR untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden tersebut.
2.Jika MPR tidak melaksanakan putusan MK atau mengabaikan putusan
MK tersebut, sikap yang demikian merupakan perbuatan yang melanggara asasasas hukum yang menopang kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu asas negara
hukum, asas konstitusional dan asas pemisahan. Pelanggaran terhadap asas-asas
tersebut di atas akan merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
2.Saran-saran
Sesuai dengan kedua simpulan yang dikemukakan di atas, penulis dapat
mengemukakan saran-saran sebagai berikut. Ada 2 (dua) macam saran yang dapat
dikemukakan yaitu:
1.Untuk
menghindari
kekosongan
undang-undang
(wet
vacuum)
sebagaimana dikemukakan di atas, penulis menyarankan supaya dilakukan
amandemen UUD 1945 untuk menyempurnakan ketentuan yang mengatur
pemberhentian Presiden/Wakil Presiden supaya bangsa Indonesia terhindar dari
masalah ketatanegaraan yang sebenarnya dapat diantisipasi,
2.Jika UUD 1945 diamandemen, penulis menyarankan supaya ditetapkan
satu pasal dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Jika MK memutuskan
Presiden/Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden, MPR harus segera mengadakan
Sidang MPR untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden.”
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Meuwissen, Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum
(terj. B.Arief Sidharta), Bandung, 2007.
Moh. Koesnoe, Hukum dan Perubahan Perhubungan Kemasyarakatan, Pidato
Pengukuhan Guru Besar, Fakultas Hukum Universitas Airlangga,
Surabaya, 1967.
Jan Gijssel dan Mark van Hocke, Apakah Teori Hukum itu? Terjemahan B. Arief
Sidharta, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Parahyangan,
Bandung, 2009,
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York, 1961.
Bagir Manan, Pembaharuan UUD 1945, Makalah yang disajikan pada Seminar
Hukum Nasional VII, Jakarta, 1999.
Kunthi
Dyah Wardani,
Yogjakarta, 2007.
Impeachment
dalam
Ketatanegaraan
Indonesia,
Hendra Nurtjahyo, Filsafat Demokrasi, Jakarta, 2005.
Jimly Asshidiqqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan
dalam UUD 1945, Yogjakarta, 2004.
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Baik, Jakarta, 2010.
J. H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Agustinus, Machiavelli, Jakarta,
2001.
Azhary, Negara Hukum Indonesia, Jakarta, 1995.
Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, 1983.
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, 2006.
Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Indonesia, Dasar-dasarnya, Jakarta, 1982.
E. F. Strong, Modern Political Constitution, London, 1966.
Eric Baret, Introduction to Constitutional Law, London, 1998.
Merdeka : Pancasila Mampu Hapus
Produk Hukum Kolonial7
Abstract
The Proclamation of the Independence of Indonesia as a governmental act bears a
highly fundamental function in terms of the establishment of its identity and
sovereignty. This article explores the practical and juridical consequences of the
proclamation both as a legal and political act. As a political statement, the
proclamation effectively changed the fate of the Indonesian people embodying their
rejection of colonialism, a practice viewed as inconsistent with humanity and
fairness. As a legal event, the proclamation accorded the country a new legal
status as an independent state with a sovereign government, legal order and legal
certainty under an autonomous and free governance regime.
Keywords: Proclamation, legal consequence
A. Pendahuluan
Kemerdekaan Bangsa Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus
1945 kepada segenap bangsa di seluruh dunia. Sebagai suatu peristiwa, Proklamasi
Kemerdekaan adalah suatu peristiwa politik dan peristiwa hukum sekaligus dengan
konsekuensi logis yang tentu saja akan berbeda. Artinya, makna proklamasi
kemerdekaan bangsa Indonesia sebagai suatu peristiwa politik adalah berbeda dari
makna (konsekuensi yuridis) proklamasi kemerdekaan sebagai suatu peristiwa
hukum.
Sebagai suatu peristiwa, dari sudut pandang politik, proklamasi
kemerdekaan dapat dipandang sebagai hasil dari suatu tindakan politik. Sebagai
suatu tindakan politik, proklamasi kemerdekaan mengandung konsekuensi politik
tertentu yang luar biasa terhadap nasib bangsa Indonesia. Proklamasi kemerdekaan
mengubah nasib bangsa Indonesia dari bangsa terjajah menjadi bangsa yang
merdeka dan berdaulat sehingga bangsa Indonesia tidak tunduk kepada (terhadap)
kekuasaan bangsa dan negara lain. Perubahan nasib bangsa Indonesia yang
berlangsung secara cepat dan bersifat mendasar tersebut mengandung makna
7
Judul asli artikel ini adalah Konsekuensi Yuridis Proklamasi Kemerdekaan Bagi
Bangsa Indonesia Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara. Dipublikasikan pada
Jurnal Law Review FH UPH Vol.XII No.3, Maret 2013 Judul diubah semata-mata guna
kepentingan pembuatan buku ini tanpa mengurangi isi kandungan yang ada.
bahwa proklamasi kemerdekaan merupakan tindakan politik yang mengakibatkan
peristiwa politik revolusioner yang luar biasa. Sudah barang tentu, sebagai
peristiwa politik luar biasa, proklamasi kemerdekaan sangat penting maknanya
bagi kehidupan bangsa Indonesia dalam segala aspeknya. Namun, dalam tulisan
ini, tidak semua aspek tersebut dibicarakan karena tulisan ini hanya difokuskan
pada aspek yuridis semata-mata dan dalam ruang lingkup yang terbatas.
Sebagaimana dikemukakan di atas, dari sudut pandang (perspektif) politis,
proklamasi sebagai suatu pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia sesungguhnya
adalah suatu tindakan (peristiwa) politik
8
Proklamasi Kemerdekaan merupakan
titik kulminasi pernyataan aspirasi politik tertinggi bangsa Indonesia. 2 Secara
formal, Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia dituangkan dalam suatu teks
singkat yang hanya terdiri atas beberapa kalimat. Akan tetapi, mengandung makna
dan konsekuensi yang luar biasa terhadap kehidupan bangsa Indonesia dalam
berbagai aspeknya. Teks Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia menyebutkan
sebagai berikut “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan
Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain
diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkatsingkatnya.”
Sebagai suatu tindakan (peristiwa) politik, proklamasi kemerdekaan
mencerminkan sikap politik bangsa Indonesia terhadap penjajahan (kolonialisme).
Pada dasarnya, sikap politik bangsa Indonesia seperti tercantum Alinea Pertama
Pembukaan UUD 1945 mengecam dan menentang kolonialisme sebagai perbuatan
yang tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Alinea Pertama
Pembukaan UUD 1945 menyatakan sebagai berikut “Bahwa sesungguhnya
8
Jazim Hamidi, Revolusi Hukum Indonesia, Makna, Kedudukan dan
Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 Jakarta Dalam Sistem
Ketatanegaraan, (Jakarta-Yogjakarta: Konstitusi Press dan Citra Media,
2006), hal. 94
2
Joeniarto, Ilmu Hukum Tata Negara dan Sumber-sumber Hukum Tata
Negara,
(Yogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1968), hal. 69
kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di
atas bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan.”
Sikap anti penjajahan yang terkandung dalam jiwa proklamasi
kemerdekaan sebagaimana secara eksplisit tertuang dalam Alinea Pertama
Pembukaan UUD 1945 dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang luhur yakni
perikemanusiaan dan perikeadilan sebagai prinsip-prinsip moral yang bersifat
universal. Pengakuan terhadap nilai-nilai perikemanusiaan dan perikeadilan
menunjukkan bahwa proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia berlandaskan pada
asas-asas hukum moral yang bersifat universal yakni hukum moral yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang sangat luhur.
Dalam pandangan prinsip-prinsip moral yang diyakini bangsa Indonesia
sebagaimana dikemukakan di atas, penjajahan adalah perbuatan yang tidak
berperikemanusiaan dan berkeadilan sehingga tidak dapat ditolelir dan harus
ditolak serta dihapuskan dari seluruh permukaan bumi. Keyakinan pada nilai-nilai
kemanusiaan yang luhur seperti dikemukakan di atas menjadi sumber motivasi
yang mendorong bangsa Indonesia melakukan tindakan politik yang bertujuan
untuk menentang penjajahan. Sikap anti penjajahan itu diwujudkan dalam bentuk
tindakan politik dengan menyatakan bangsa Indonesia bebas dari penjajahan dan
menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat. Sebagai konsekuensi pernyataan
sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat yang terlepas dari penjajahan melalui
proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia tidak berada di bawah kendali
kekuasaan atau terlepas dari cengkeraman kekuasaan bangsa atau negara lain.
Selain sebagai suatu peristiwa politik, Proklamasi Kemerdekaan Bangsa
Indonesia juga merupakan suatu peristiwa hukum. Sebagai suatu peristiwa hukum,
proklamasi kemerdekaan merupakan hasil dari suatu tindakan hukum. Jika
proklamasi kemerdekaan dipandang sebagai suatu peristiwa hukum yang
dihasilkan oleh suatu tindakan hukum sudah barang tentu konsekuensi logis yang
timbul akan berbeda dari konsekuensi logis proklamasi kemerdekaan jika
dipandang sebagai suatu tindakan politik.
Konsekuensi logis (konsekuensi yuridis) proklamasi kemerdekaan sebagai suatu
peristiwa hukum yang dihasilkan oleh suatu tindakan hukum akan melahirkan
berbagai aspek hukum baru yang berkenaan dengan bangsa dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia seperti status hukum baru bangsa Indonesia, tatanan negara
dan tatanan hukum yang baru dan sebagainya. Hal-hal itu akan merupakan fokus
pembahasan dalam tulisan ini.
Dari perspektif hukum, Proklamasi Kemerdekaan adalah suatu pernyataan
resmi bangsa Indonesia mengenai keberadaan dan nasib bangsa Indonesia sebagai
suatu bangsa. Pada dasarnya, Isi teks proklamasi kemerdekaan sebagai sutau
pernyataan formal adalah pernyataan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang telah
merdeka dan berdaulat serta bebas dari penjajahan. Jika teks proklamasi
kemerdekaan Bangsa Indonesia dibaca akan timbul kesulitan untuk mengetahui
dan memahami makna atau konsekuensi-konsekuensi yuridis proklamasi
kemerdekaan sebagai suatu tindakan hukum atau peristiwa hukum bagi bangsa
Indonesia dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, isi teks
proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia seperti dipaparkan di atas sangat
singkat. Secara tersurat tidak banyak hal yang dapat diketahui mengenai
konsekuensi-konsekuensi yuridis proklamasi kemerdekaan sebagai suatu tindakan
hukum dengan hanya membaca teks proklamasi kemerdekaan yang singkat
tersebut.
Prinsip (pokok-pokok pendirian) tentang kehidupan berbangsa dan
bernegara yang terkandung dalam teks proklamasi kemerdekaan tidak dapat
diungkap jika hanya berpedoman pada teks proklamasi. Oleh karena itu, makna
proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara tidak dapat dipahami jika hanya berpedoman kepada teks proklamasi
kemerdekaan.
Untuk
dapat
memahami
konsekuensi
yuridis
proklamasi
kemerdekaan, Teks Proklamasi Kemerdekaan harus dibicarakan dalam kaitan
dengan (konteks) Pembukaan UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 merupakan
wujud nyata konkritisasi (normativisasi) jiwa dan semangat Proklamasi
Kemerdekaan bangsa Indonesia dalam uraian yang lebih jelas. Dalam Alineaalinea Pembukaan UUD 1945 terkandung berbagai hal yang berkenaan dengan
prinsip (pokok-pokok pendirian) mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara
seperti dasar pembenar adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia.9
Selain itu, juga terdapat landasan falsafah sebagai latar belakang motivasi
proklamasi kemerdekaan ataupun tujuan yang hendak dicapai melalui
kemerdekaan bangsa Indonesia dan sebagainya.
Padmo Wahyono, ‘Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Kehidupan
Ketatanegaraan’ dalam Oetojo Oesman dan Alfian, Pancasila Sebagai Ideologi Dalam
Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, (Jakarta: BP-7
Pusat, 1992), hal. 97
9
B. Permasalahan
Sesuai dengan uraian yang dikemukakan di atas pertanyaan pokok yang
dapat diajukan sebagai permasalahan adalah sebagai berikut. Apa makna atau
konsekuensi yuridis proklamasi kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dalam
konteks kehidupan berbangsa dan bernegara? Pertanyaan pokok tersebut dapat
dikemukakan dengan cara lain dengan makna yang tetap sama yakni sebagai
berikut. Apa konsekuensi yuridis proklamasi kemerdekaan sebagai suatu tindakan
hukum terhadap berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara?
C. Metode Penelitian
Dalam tulisan ini, proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia dipahami
sekaligus sebagai tindakan politik dan tindakan hukum sebagaimana dikemukakan
di atas. Oleh karena itu, proklamasi kemerdekaan tersebut akan dibahas dari
berbagai sudut pandang yakni sosiologis, yuridis maupun filosofis. Namun, metode
penelitian utama tetap berada pada jalur metode penelitian Ilmu Hukum yaitu
metode penelitian yuridis-normatif karena yang diteliti adalah makna atau
konsekuensi yuridis proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia terhadap berbagai
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Metode penelitian sosiologis dipakai berkaitan dengan pemahaman bahwa
proklamasi kemerdekaan adalah suatu tindakan politik dalam wujud suatu revolusi
sosial. Metode penelitian filosofis dipergunakan berkaitan dengan pemahaman
bahwa proklamasi kemerdekaan sebagai tindakan politik dalam wujud revolusi
sosial dilandasi oleh nilai-nilai moral yang luhur. Metode penelitian yuridisnormatif dipergunakan berkaitan dengan pemahaman bahwa proklamasi
kemerdekaan adalah suatu tindakan yuridis yang mengandung konsekuensikonsekuensi yuridis terhadap berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu, sesuai dengan berbagai macam metode pendekatan yang
disebut di atas, topik yang diuraikan dalam tulisan ini dibahas dari berbagai sudut
pandang disiplin ilmu pengetahuan sekaligus yakni Ilmu Negara Khusus Indonesia,
Ilmu Hukum Tata Negara maupun Filsafat Hukum.
D. Pembahasan
Sebagaimana dikemukakan, alinea-alinea Pembukaan UUD 1945
mengandungfalsafah,prinsipataupokok-pokokpendirianmengenaikehidupan
berbangsa dan bernegara yang bersifat mendasar yang berkaitan dengan nasib
bangsa dan negara Republik Indonesia. Falsafah dan pokok-pokok pendirian atau
prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut
bersumber dari atau dijiwai oleh Proklamasi Kemerdekaan. Dalam hubungan ini,
secara terbatas Jazim Hamidi mengemukakan komentar sebagai berikut “Namun,
secara implisit, nilai-nilai, asas-asas dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam
Naskah Proklamasi dapat ditemukan dalam alinea I, II, III Pembukaan UUD
1945.”4
Falsafah ataupun pokok-pokok pendirian mengenai kehidupan berbangsa dan
bernegara yang bersifat dasar tersebut berfungsi konstitutif dan bersifat normatif
terhadap berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip atau pokokpokok pendirian tersebut kemudian dituangkan secara konkrit dalam norma-norma
hukum UUD 1945. Dengan demikian, nilai-nilai luhur dan pokok-pokok pendirian
mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara yang terkandung dalam Proklamasi
Kemerdekaan Bangsa Indonesia kemudian dituangkan secara lebih jelas (eksplisit)
dalam Pembukaan UUD 1945 dalam bentuk-wujud yang lebih konkrit.
Selanjutnya, prinsip atau pokok-pokok pendirian yang terkandung dalam Alineaalinea Pembukaan UUD 1945 dikonkritkan dalam norma- norma hukum konstitusi
seperti tertuang dalam UUD 1945. Konkritisasi pokok-pokok pendirian kehidupan
berbangsa dan bernegara dalam alinea-alinea Pembukaan UUD 1945 dalam
bentuk-wujud norma-norma konstitusi menghasilkan struktur ketatanegaraan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Struktur ketatanegraan tersebut menjadi
pedoman bangsa Indonesia dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penjabaran lebih lanjut uraian yang dipaparkan di atas harus dimulai dari
pertanyaan sebagai berikut. Apakah Proklamasi Kemerdekaan dapat dipandang
sebagai suatu tindakan hukum? Jika ditinjau dari sudut pandang Ilmu Hukum,
Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia adalah suatu bentuk tindakan hukum.
Proklamasi Kemerdekaan adalah suatu tindakan hukum bersama (gesam-akt).5
Penjabaran lebih lanjut uraian yang dipaparkan di atas harus dimulai dari
pertanyaan sebagai berikut. Apakah Proklamasi Kemerdekaan dapat dipandang
sebagai suatu tindakan hukum? Jika ditinjau dari sudut pandang Ilmu Hukum,
Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia adalah suatu bentuk tindakan hukum.
Proklamasi Kemerdekaan adalah suatu tindakan hukum bersama (gesam-akt).5
Sebagai suatu tindakan hukum bersama, Proklamasi Kemerdekaan bangsa
Indonesia bukan merupakan tindakan hukum yang bersifat kontraktual yang
dilakukan dua atau lebih pihak yang terikat dengan hak dan kewajiban masingmasing yang berbeda. Akan tetapi, tindakan hukum bersama yang bersifat sepihak
dalam rangka mencapai tujuan yang sama. Dengan cara pemahaman sebagaimana
dikemukakan di atas, proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia bukan hasil dari
suatu perjanjian sosial seperti konstruksi teori perjanjian sosial (teori kontak sosial)
Hobbes, Locke ataupun Rosseau. Dengan perkataan lain, hendak dikemukakan,
proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia tidak mengikuti konstruksi teori-teori
perjanjian sosial (teori kontrak sosial) yang dikemukakan ahli-ahli filsafat hukum
alam (hukum kodrat) yang telah disebut di atas yang dilandasi nilai-nilai
individual-liberal. Landasan falsafah proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia
adalah Pancasila yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang berbeda dari
landasan falsafah teori kontrak sosial atau teori perjanjian sosial yang diajarkan
Hobbes, Locke ataupun Rosseau. Perbedaan landasan falsafah proklamasi
kemerdekaan bangsa Indonesia dengan teori kontrak sosial sebagaimana disebut di
atas sudah barang tentu akan menghasilkan konsekuensi-konsekuensi logis-yuridis
terhadap berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara seperti terhadap dasar
pembenar adanya negara, tujuan negara, kedaulatan dan sebagainya.
Sebagai suatu bentuk tindakan hukum, proklamasi kemerdekaan sudah
barang tentu mengandung konsekuensi hukum (yuridis). Apa konsekuensi yuridis
atau makna proklamasi kemerdekaan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara dari
sudut pandang Ilmu Hukum Tata Negara? Menurut penulis, dari sudut pandang
Ilmu Hukum Tata Negara, ada 3 (tiga) macam konsekuensi yuridis proklamasi
kemerdekaan terhadap sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yakni
sebagai (a) pernyataan formal pembentukan bangsa Indonesia, (b) pernyataan
formal pembentukan Negara Republik Indonesia, (c) pernyataan formal
pembentukan tata hukum bangsa Indonesia10. Konsekuensi yuridis proklamasi
kemerdekaan yang pertama adalah terbentuknya bangsa (Natie) Indonesia. Dalam
konteks ini, dari sudut pandang hukum, Proklamasi Kemerdekaan harus dipandang
sebagai suatu bentuk formalitas pernyataan semata-mata yaitu formalitas tentang
pembentukan bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat
lepas dari penjajahan.11 Hal ini mengandung arti bahwa bangsa Indonesia secara
formal telah mengumumkan kepada bangsa-bangsa lain bahwa sejak saat
Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan telah terbentuk bangsa Indonesia pada
detik yang sama dengan proklamasi kemerdekaan tersebut. Dalam konteks ini,
Joeniarto mengemukakan pendapat sebagai berikut “Dengan diproklamirkan
Kemerdekaan Bangsa Indonesia berarti bahwa Bangsa Indonesia telah menyatakan
dengan secara formal, baik kepada dunia luar maupun kepada Bangsa Indonesia
Padmo Wahyono, ‘Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Kehidupan
Ketatanegaraan’ dalam Oetojo Oesman dan Alfian, Pancasila Sebagai Ideologi Dalam
Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, (Jakarta: BP-7
Pusat, 1992), hal. 97
11
Jazim Hamidi, op. Cit., hal. 7
10
sendiri bahwa mulai saat itu Bangsa Indonesia telah merdeka.”12 Dengan perkataan
lain, proklamasi kemerdekaan telah memberikan status hukum baru kepada bangsa
Indonesia. Dari sudut pandang hukum, sebagai bangsa yang merdeka dan
berdaulat, bangsa Indonesia dianggap cakap melakukan suatu perbuatan hukum.
Kecakapan melakukan perbuatan hukum tersebut tentu saja tidak akan dimiliki
oleh bangsa Indonesia dalam status sebagai bangsa yang dijajah.
Selain yang mengakui proses pembentukan bangsa melalui proklamasi
kemerdekaan, ada juga yang meragukan proses pembentukan bangsa Indonesia
melalui proklamasi kemerdekaan tersebut.13 Menurut Bothlink, bangsa Indonesia
tidak mungkin terbentuk hanya dalam satu malam. Oleh karena itu, negara
Republik Indonesia dianggap belum terbentuk (belum dianggap lahir) pada saat
Proklamasi Kemerdekaan karena ada unsur konstitutif yang belum terpenuhi yakni
unsur bangsa Indonesia. Pandangan demikian tentu saja keliru. Pandangan tersebut
hanya memahami proses pembentukan bangsa Indonesia melalui proklamasi
kemerdekaan dari sudut formalitas semata-mata tanpa memahami proses
pembentukan kesadaran sebagai bangsa Indonesia sudah berlangsung dalam waktu
yang cukup panjang.
Proses pembentukan bangsa Indonesia sudah barang tentu tidak terjadi
hanya dalam satu malam seperti secara keliru dikemukakan sarjana Barat di atas.
Bukti-bukti sejarah perjuangan bangsa Indonesia dapat memperkuat proses
pembentukan bangsa Indonesia tersebut. Bukti-bukti sejarah perjuangan bangsa
Indonesia menunjukkan bahwa proses pembentukan kesadaran politik sebagai
bangsa Indonesia telah melalui proses panjang sejak tahun 1928 (Sumpah Pemuda)
dan bukan terjadi secara tiba-tiba (spontan). Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17
Agustus 1945 hanya merupakan titik kulminasi pernyataan pembentukan bangsa
Indonesia secara formal sedangkan secara material pembentukan kesadaran politik
sebagai bangsa Indonesia telah berlangsung jauh sebelum proklamasi kemerdekaan
sebagaimana dikemukakan di atas.
Jika ditinjau dari sudut pandang Ilmu Negara Khusus Indonesia, proses
12
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu
Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, (Bandung:
Alumni,2000) hal 89
13
Bandingkan dengan pendapat Joeniarto yang dikemukakan dalam buku
berjudul “Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Bina Akasara, 1984), hal. 4
pembentukan bangsa Indonesia dapat dibenarkan dari sudut pandang teori subjektif
tentang pembentukan bangsa. Dalam pandangan teori subjektif tersebut, bangsa
terbentuk bukan karena faktor persamaan warna kulit, keturunan darah (ras) dan
etnis (nilai-nilai budaya), agama atau bahasa. Akan tetapi, karena faktor subjektif
yakni kesadaran politik sebagai suatu bangsa. Hal yang sama dengan pandangan
teori subjektif di atas juga terjadi pada bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia
terbentuk bukan karena faktor persamaan ras, etnis, agama atau bahasa. Bangsa
Indonesia terbentuk sebagai suatu bangsa bukan karena hal-hal objektif yang
dikemukakan di atas melainkan karena faktor subjektif yakni kesadaran politik
sebagai suatu bangsa (Natie). Menurut Padmo Wahyono, dengan proklamasi
kemerdekaan (maksudnya: proklamasi kemerdekaan Indonesia - - - pen.) sekaligus
terbentuk suatu bangsa yang sadar bernegara (Natie) sebagai suatu kelompok
manusia.14 Sesuai dengan metode pendekatan atau sudut pandang teori subjektif
yang dikemukakan di atas tidak perlu ada keraguan bahwa bangsa Indonesia telah
terbentuk pada detik yang sama dengan proklamasi kemerdekaan.
Sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, dalam perspektif hukum,
bangsa Indonesia tentu saja dapat dipandang sebagai bangsa yang telah memiliki
status hukum yang baru yakni sebagai bangsa berdaulat yang cakap melakukan
perbuatan (tindakan) hukum. Kecakapan bertindak secara hukum tersebut
dibuktikan bangsa Indonesia dengan membentuk suatu negara baru yakni Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut merupakan
wujud dari kemampuan menentukan bangsa Indonesia untuk nasib sendiri. Dengan
perkataan lain, proklamasi kemerdekaan sebagai suatu pernyataan formal
pembentukan bangsa Indonesia secara langsung mengandung konsekuensi yuridislogis yang kedua yakni pembentukan negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai
suatu subjek hukum internasional. Joeniarto misalnya mengemukakan pendapat
sebagai berikut “Merdeka berarti bahwa mulai pada saat itu Bangsa Indonesia telah
mengambil sikap untuk menentukan sendiri nasib bangsa dan nasib tanah airnya
dalam segala bidang. Dalam hal kehidupan kenegaraan berarti bangsa Indonesia
14
Dalam pengertian yang sama, Padmo Wahyono mengemukakan bahwa
Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia adalah suatu bentuk pernyataan formal.
Lihat Padmo Wahyono, Negara Republik Indonesia, ( Jakarta: Rajawali,1995), hal. 4
akan menyusun negara sendiri.”15 Dengan perkataan lain, pembentukan Negara
Republik Indonesia adalah ajang pembuktian kemampuan bangsa Indonesia
sebagai bangsa yang merdeka dan mampu menentukan nasib sendiri (self
determination) serta mengorganisir diri dalam suatu organisasi negara. Sebab,
setelah proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia telah memiliki kedaulatan
untuk menentukan nasib dan tujuan hidupnya serta mengatur diri sendiri.
Perbuatan untuk mendirikan negara Republik Indonesia tersebut merupakan bukti
bahwa bangsa Indonesia mampu menentukan nasib dan tujuan hidupnya sendiri.
Dalam konteks ini, Sugeng Istanto mengemukakan pendapat sebagai berikut
“Proklamasi kemerdekaan adalah pernyataan sepihak dari suatu bangsa bahwa
dirinya melepaskan diri dari kekuasaan negara lain dan mengambil penentuan
nasibnya di tangannya sendiri.”12
Jika ditinjau dari sudut pandang lain yakni dari sudut pandang sosiologis,
kemerdekaan bangsa dan eksistensi negara Republik Indonesia dapat pula
dikatakan sebagai hasil dari suatu revolusi sosial.13 Sebagai hasil suatu revolusi,
kemerdekaan bangsa Indonesia bukan pemberian orang lain (bangsa lain). Akan
tetapi, sebagai hasil perbuatan yang diraih dengan pengorbanan. Secara tersurat,
hasil revolusi sosial tersebut kemudian dituangkan dalam Alinea Kedua
Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan “Atas Berkat rahmat Allah Yang Maha
Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya.” Detik-detik proklamasi kemerdekaan itu merupakan detik
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan perkataan lain, pada
saat proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada saat itu pula terbentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia.16
Jika ditinjau dari sudut pandang Ilmu Negara Khusus Indonesia, negara
Republik Indonesia sudah terbentuk pada saat proklamasi kemerdekaan
dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945. Alasan teoritis yang dapat
dikemukakan adalah sebagai berikut. Secara teoretis, suatu negara dianggap ketiga
unsur konstitutif pembentuk negara yaitu wilayah, bangsa dan pemerintahan yang
berdaulat. Unsur-unsur konstitutif pembentuk negara Republik Indonesia telah
15
Ibid.
16 Padmo Wahyono, Negara Republik Indonesia, op. cit., hal. 4
terbentuk pada saat proklamasi kemerdekaan. Proses pembentukan Negara
Republik Indonesia tersebut akan lebih jelas dapat dimengerti jika dipahami
dengan bertitik tolak dari sudut pandang teori pertumbuhan negara primer dan
sekunder.
Setelah Negara Republik Indonesia terbentuk, bangsa Indonesia kemudian
membentuk tata hukum bangsa Indonesia pascakemerdekaan. Pembentukan tata
hukum bangsa Indonesia juga terjadi pada detik yang sama dengan proklamasi
kemerdekaan.15 Keabsahan pembentukan tatanan hukum baru sebagaimana
dikemukakan di atas berkaitan erat dengan status hukum bangsa Indonesia sebagai
bangsa yang memiliki kemampuan bertindak secara hukum yang disinggung di
atas. Oleh karena itu, secara logis dapat diterima bahwa setelah merdeka bangsa
Indonesia memiliki kedaulatan untuk menentukan nasibnya sendiri sehingga
dengan kedaulatan yang dimiliki tersebut, bangsa Indonesia mempunyai kekuasaan
penuh untuk melakukan suatu perbuatan hukum yakni membentuk tata hukum
sendiri. Dalam kaitan ini, B. Arief Sidharta mengemukakan pendapat sebagai
berikut “Dengan proklamasi tersebut, maka dengan suatu tindakan tunggal, tatanan
kolonial ditiadakan dan diatasnya terbentuk satu tatanan hukum baru.”17
Pembentukan tatanan hukum yang baru oleh pemerintah (penguasa) negara
Indonesia yang baru merdeka dapat dibenarkan jika ditinjau dari sudut pandang
salah satu mazhab dalam lingkungan filsafat hukum. Dalam konteks ini, tatanan
hukum baru yang dibentuk berdasarkan proklamasi kemerdekaan itu dapat
dikategorikan sebagai tatanan hukum yang ditetapkan oleh penguasa. Dari sudut
pandang tertentu, pada hakikatnya, hukum adalah perintah yang berkuasa.
Pandangan demikian selaras dengan pandangan salah satu aliran atau mazhab
filsafat hukum yakni mazhab positivisme hukum.18
Landasan tatanan hukum baru bangsa Indonesia yang disebut di atas
adalah proklamasi kemerdekaan yang secara lebih lanjut dituangkan dalam
Pembukaan UUD 1945 yang mengandung Pancasila sebagai landasan falsafah
negara. Dari sudut pandang tertentu, proklamasi kemerdekaan merupakan norma
dasar yang menjadi titik tolak awal pembentukan segenap tatanan hukum baru
bangsa Indonesia. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah tatatanan hukum bangsa
17
Daud Busroh, Kapita Selekta Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rineka Cipta,
1994), hal. 14
18
B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Penelitian
tentang Fondasi Kefilsafatan dan SIfat Ilmu Hukum Sebagai Landasan
Pengembangan Ilmu Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1999), hal. 1
Indonesia yang dilandasi oleh jiwa dan semangat filosofi proklamasi kemerdekaan
yang berbeda dari filosofi tatanan hukum kolonial yang bersifat individualiasliberalis. Di atas landasan filosofi yang baru itu kemudian didirikan bangunan
tatanan hukum baru bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.18 Seorang
penulis yakni Sunarjati Hartono mengemukakan komentar sebagai berikut “. . .
tanpa Proklamasi Kemerdekaan, maka UUD 1945 tidak mungkin ada sehingga
Proklamasi Kemerdekaan merupakan Asas Hukum Tertinggi (Grundnorm) Hukum
Nasional Indonesia yang bahkan mengilhami UUD dankarena itu Hukum Nasional
Indonesia.”19
Cita-cita yang hendak dicapai tatanan hukum baru bangsa Indonesia adalah
masyarakat yang adil dan makmur atau dengan sebutan lain yaitu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Akan tetapi, sudah barang tentu, cita-cita itu tidak
mungkin dicapai jika bangsa Indonesia tetap tunduk atau berpedoman pada produk
hukum kolonial. Namun, sampai sekarang, secara de facto bangsa Indonesia belum
memiliki kemampuan untuk mengganti dengan segera segenap tatanan hukum
produk kolonial. Oleh sebab itu, untuk sementara dan sampai sekarang, bangsa
Indonesia belum dapat mewujudkan cita-citanya di bidang hukum yakni
membentuk suatu sistem hukum nasional.
Dengan perkataan lain, situasi dan kondisi membuat bangsa Indonesia
tidak
mungkin
dapat
menindaklanjuti
konsekuensi
yuridis
proklamasi
kemerdekaan dalam bidang hukum yakni membentuk tatanan hukum nasional yang
berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, produk hukum kolonial
Belanda untuk sementara masih tetap berlaku melalui suatu kebijakan hukum yang
bersifat sementara dalam rangka masa peralihan seperti tertuang dalam Pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum amandemen. Fakta yang dikemukakan di
atas menjadi suatu masalah dan sekaligus merupakan pekerjaan besar serta menjadi
tantangan yang harus dihadapi bangsa Indonesia dalam rangka melaksanakan
segenap konsekuensi yuridis proklamasi kemerdekaan sebagaimana dipaparkan di
atas.
E. Kesimpulan
Jika bertitik tolak dari uraian di atas dapat dikemukakan dapat
dikemukakan kesimpulan sebagai berikut. Jika ditinjau dari sudut pandang hukum,
proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia berkedudukan sebagai pondasi dalam
konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini, proklamasi
kemerdekaan berkedudukan sebagai asas hukum tertinggi. Oleh sebab itu,
proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia adalah batu penjuru atau batu penopang
bangunan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia. Sebagai batu
penjuru kehidupan berbangsa dan bernegara, proklamasi kemerdekaan menjadi
titik tolak dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun,
makna atau konsekuensi yuridis proklamasi kemerdekaan seperti dikemukakan di
atas sampai dengan sekarang masih belum terwujud sepenuhnya dalam kenyataan
terutama dalam bidang tata hukum.
Sesuai dengan kesimpulan yang dikemukakan di atas kiranya dapat
dikemukakan saran sebagai berikut. Lembaga pembentuk hukum yakni DPR perlu
segera melakukan pembentukan hukum (undang-undang) baru untuk mengganti
segenap tatanan hukum produk kolonial Belanda yang masih merupakan bagian
dari sistem hukum positif bangsa Indonesia sampai sekarang yang dipakai sebagai
pedoman dan penuntun kehidupan berbangsa dan bernegara. Pembentukan hukum
(undang-undang) baru tersebut harus berpedoman pada nilai-nilai dan semangat
proklamasi kemederkaan bangsa Indonesia seperti dikemukakan di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Busroh, Abu Daud. Kapita Selekta Hukum Tata Negara. Jakarta : Rineka Cipta,
1994
Friedmann, W. Legal Theory. London: Steven & Sons, 1960
Hamidi, Jazim. Revolusi Hukum Indonesia, Makna, Kedudukan dan Implikasi
Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 Dalam Sistem
Ketatanegaraan. Jakarta-Jogjakarta: Konstitusi Press-Citra Media, 2006
Hartono, Sunarjati. Bhineka Tunggal Ika Sebagai Asas Hukum Bagi
Pengembangan Hukum Nasional. Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2006
Istanto, Sugeng. Hukum Internasional.Yogjakarta: Penerbit Universitas Atmajaya,
1998
Joeniarto. Ilmu Hukum Tata Negara dan Sumber-sumber Hukum Tata Negara.
Jogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1968 Kranenburg, R.
Ilmu Negara Umum. Jakarta: Pradnya Paramita, 1955
Kusumaatmadja, Mochtar dan B. Arief Sidharta. Pengantar Ilmu Hukum, Suatu
Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum.
Bandung: Alumni, 2000
Oesman Oetojo. dan Alfian. Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7
Pusat, 1995
Sidharta, B. Arief. Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Penelitian tentang
Fondasi Kefilsafatan dan SIfat Ilmu Hukum Sebagai Landasan
Pengembangan Ilmu Hukum Nasional. Bandung: Alumni, 1999
Wahyono, Padmo. Ilmu Negara. Jakarta: Indo Hill Co, 1999
________. Negara Republik Indonesia. Jakarta: Rajawali, 1995
KARAKTER PENELITIAN HUKUM 1 19
Dalam prakteknya mahasiswa selalu kesulitan menulis skripsi. Untuk itu
kiranya perlu ada penyeragaman metode penelitian ilmu hukum. Perspektif yang
digunakan adalah kaidah hukum Yuridis normative. Bangunan ilmu pengetahuan
yang merupakan objek kajian ilmu hukum harus selalu ditinjau dari aspek
Ontologi, Epistimologi dan aksiologi. Bahan hukum yang digunakan pula adalah
bahan hukum primer dimana kaedah ontologinya adalah norma, asas dan doktrin.
Data adalah bukti awal adanya masalah yang pada gilirannya akan dituangkan
dalam rumusan masalah skripsi itu. Kebenaran dalam ilmu hukum harus diperkuat
dengan
argumen.
Karakteristik
ilmu
hukum
adalah
kebenaran
yang
diargumentasikan, bukan koresponden. Doktrin pula digunakan sebagai penguat
tulisan atau pemaknaan. Ilmu harus dimulai dari keyakinan bukan dari rasionalitas.
Karakteristik bahasa hukum adalah deskrisptif dalam tataran menjelaskan bersifat
normative.
Bermula ketika penulisan karya Ilmiah yang melibatkan dosen tetap baru
fakultas hukum, Dr Hotma memandang bahwa kebanyakan penulisan lebih
menekankan pada paparan pasal yang merupakan pengetahuan umum. Ilmu hukum
adalah cabang ilmu yang mengkaji hukum dan hukum adalah objek kajiannya.
Ilmu hukum pula seharusnya berfungsi menyelesaikan masalah hukum yang ada.
Hal ini bisa dilakukan dengan kajian norma, asas dan doktrin.
1
Makalah “Metodologi Penelitian Hukum” disampaikan pada Acara Prajabatan
dan Diskusi Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus Jakarta pada tanggal 3 dan
10 Agustus 2015. Naskah yang tersaji guna keperluan penyusunan buku ini sudah diedit
seperlunya oleh editor.
Karakteristik masalah hukum pada dasarnya terbagi atas 2 :
1.
Masalah Hukum Makro
Permasalahan hukum yang disebut makro manakala melibatkan
kepentingan masyarakat. Sederhananya bisa dilihat apakah hukum itu
bertentangan dengan peraturan (UU) yang lebih tinggi. Dalam kaidah ini,
Ilmu hukum menawarkan gagasan baru berupa norma, asas, dan doktrin
yang bertujuan merubah hukum positif yang ada (rechtsforming)
Penyelesaian masalah hukum inilah yang menjadi karakteristik penulisan
tesis dan disertasi, jadi harus ada temuan-temuan baru. Jadi yang mau dihasilkan,
contohnya pada jurusan tata Negara, DPD sekarang ini tidak berfungsi seperti yang
diteorikan, kita mengubahnya dengan memberikan suatu konsep idealnya
hubungan DPR dengan DPD. Jadi harus melahirkan suatu gagasan baru yang
berbeda dengan Undang-undang yang ada sekarang ini, rechtsvorming kita
tawarkan, hal ini yang disebut ius constituendum skala makro. Titik tolaknya ada
pada positivisme hukum, yaitu hukum adalah suatu perintah penguasa, kemudian
hukum positif adalah hukum yang ditetapkan penguasa berlaku pada suatu waktu
dan tempat tertentu. Kalau hukum itu tumbuh dari masyarakat, apakah itu termasuk
hukum positif, jawabannya adalah tidak, ia adalah ius constituendum tatapi bisa
menjadi ius constitutum jika diakui, Pasal 11 AB berisi hukum kebiasaan berlaku
sepanjang itu dirujuk oleh UU.
2.
Masalah Hukum Mikro
Masalah hukum mikro berkaitan erat dengan kepentingan individu.
Setidaknya ciri khasnya dapat dibedakan atas :
1. Ada suatu norma tapi norma itu dilanggar.
2. Ada kasus/perkara tapi tidak terdapat norma.
3. Ada norma hukum, namun masih tidak jelas/kabur.
Masalah hukum harus tertuang dalam konsep. Kemudian disederhanakan
dengan norma yg ada. Fokusnya adalah studi dokumen. Penelitian hukum bukan
berkaitan dgn fakta sosial, tapi mengarahkan pada aspek norma hukum. Dalam
membimbing skripsi harus mengenali karakteristik ilmu hukumnya. Kemanakah
diarahkan masalah hukumnya, apakah makro atau mikro.
Ketika dosen membimbing mahasiswa, Ia hendaknya mengarahkan kepada
karakteristik kasusnya, kemudian ketika merumuskan masalah hukum bubuhkan
teorinya. Begitu selesai merumuskan masalah hukumnya kemudian tidak langsung
masuk pada Bab 2 melainkan langsung masuk ke Bab 5, jadi head-to-head masalah
dan kesimpulan saling mengunci. Bab 1 adalah context of discovery, terakhir pada
bagian kesimpulan adalah context of justification. Jika model tertentu pada latar
belakang maka ada kesimpulan tertentu. Jadi Bab 1 dan Bab 5 saling mengunci.
Dalam bahasa ilmu hal tersebut tidak bersifat siklus tapi hal tersebut bersifat spiral,
jadi makin lama derajat kualitas penulisan makin tinggi. Jadi meskipun proses
keilmuan berulang namun kualitasnya makin tinggi.”
Kebenaran ilmu hukum adalah kebenaran yang diargumentasikan, sementara
ilmu sosial, kebenaranya adalah karena fakta. Jadi jika ingin membangun
argumentasi, mahasiswa harus tahu dahulu Bab 2, karena Bab 2 itulah yang
menjadi dasarnya. Soerjono Soekanto dalam bukunya mengatakan “bahan hukum
primer dijelaskan oleh bahan hukum sekunder”, jadi harus menguasai betul
doktrinnya. Sebenarnya tidak ada pengandaian teori, ketika mahasiswa
merumuskan masalah dikepalanya sudah ada teori, kalau tidak mahasiswa tidak
bisa merumuskan masalah. Misalkan muncul rumusan masalah, Bagaimana
penerapan pidana terhadap tindak pidana pencurian? Kemudian mahasiswa tidak
tahu teori apa yang mau digunakan. Dalam filsafat merumuskan pertanyaan, dari
kata
‘apa;bagaimana;mengapa’
punya
karakteristik
tertentu,
pertanyaan
‘bagaimana’ selalu sifatnya deskriptif, sementara tujuan kita adalah penyelesaian
masalah, kalau dalam penyelesaian masalah tidak boleh menggunakan pertanyaan
‘bagaimana’, logikanya kita ingin membangun suatu persoalan, kita buat
argumennya maka tidak tepat ditanya ‘bagaimana’. Jika ada orang ditanya,
‘bagaimana kabar?’ Dijawab, ‘oh baik-baik saja’ yaitu deskripsi keadaan.
Sementara penelitian tidak boleh bertanya bagaimana, kecuali dalam penelitian
empiris, oleh karena itu pertanyaan semacam ini harus dicegah.
Kesimpulan dari ilmu hukum bukan diperoleh karena datanya benar tapi dari
kemampuan berargumentasi, jadi tidak perlu uji validitas data, karena semua data
dari hukum sudah dianggap benar karena pertama data tersebut berupa data yang
sudah ditetapkan Negara, maka tidak perlu diragukan lagi. Maka disini kita sebagai
dosen pembimbing mengarahkan, sehingga menulis dalam ilmu hukum itu
mengandalkan ilmu argumentasi, meskipun datanya adalah Undang-undang.
Sebagai contoh ada seorang tersangka, Ia dikenakan pasal adalah 362 KUHP,
disini fakta hukumnya sama, tapi pendapatnya beda-beda dalam argumentasinya.
Satu hakim mengatakan hukuman 1 (satu) tahun yang lain mengatakan 6 (enam)
bulan dan 3 (tiga) bulan, maka ketiga kesimpulan hakim tersebut adalah benar
semua,
mengapa?
Karena
disitulah
subjektifitas
manusia.
Hakim
yang
menyimpulkan hukuman 6 (enam) bulan bukan karena fakta hukumnya bicara
harus 6 (enam) bulan tapi logika dikombinasikan dengan rasa keadilan yang
mengatakan demikian, maka kesimpulan hakim selalu bermuatan unsur
subjektifitas, tidak ada kesimpulan hakim yang objektif. Kasusnya harus selalu
bermuatan fakta (objektif) namun putusannya selalu bermuatan subjektif. Kalau
dalam putusan tidak ada discenting opinion maka hal tersebut adalah salah. Jadi
kalau ada perkara yang naik sampai mahkamah agung, yang menyimpulkan 1
(satu) tahun tetap saja kesimpulan tersebut dapat dibenarkan selama ada
argumentasinya. Jadi dalam membimbing mahasiswa jangan disuruh untuk
mencari kelemahan dalam suatu putusan, apalagi putusan yang sudah incraht van
gewijde. Jadi mahasiswa seharusnya diminta untuk berpikir dengan cara yang
berbeda dari cara berpikir dari putusan, metode ilmiahnya tetap 1 (satu). Jadi disitu
pentingnya mahasiswa mencari teori yang mendukung argumentasinya.
Bahasa ilmiah terdiri dari 4 (empat), pertama statistik, kedua matematik,
ketiga bahasa, dan keempat logika. Jika kita ingin bicara penelitian dalam konteks
ilmu yang didalamnya tidak terdapat satupun bahasa ilmiah tersebut, maka hal
tersebut tidak diperbolehkan. Misalkan ada hasil penelitian yang menampilakan
gambar-gambar, hal tersebut harus dilarang karena gambar belum menjadi bahasa
ilmiah. Jadi kedepan dalam presentasi mahasiswa tidak boleh menampilkan
gambar dalam slide-nya. Dalam ilmu hukum menggunakan 2 (dua) bahasa ilmiah
yaitu logika dan bahasa. Maka tulisan yang tidak mengikuti kaidah bahasa harus
diperbaiki. Dalam penulisan ilmiah, usahakan menggunakan ‘bahasa kuat’ hindari
penggunaan kalimat negatif atau kalimat pasif. Seperti penggunaan kata ‘dalam’,
karena kata ini umumnya akan diikuti dengan kalimat pasif. Usahakan kalimat
pendek, maksimum penggunaan kata dalam kalimat adalah 21 kata. Berikutnya
ketika menempatkan anak kalimat didepan harus diikuti ‘koma’, contohnya
“sebagaimana yang telah dikemukakan dikeluarkanlah peraturan pemerintah no
xx” kalimat tersebut tidak boleh karena rumusnya anak kalimat-frasa-koma, baru
diikuti induk kalimat lengkap. Kalau anak kalimat didepan kemudian masuk kata
kerja setelah koma maka itu bukan kalimat. Karena polanya adalah anak kalimatinduk kalimat. Jika induk kalimat didepan, anak kalimat tidak usah.
Contoh:
“Kemarin sore,” (diikuti kalimat lengkap)
“Kemarin sore, ibu pergi kepasar” (benar)
jika dibalik “ibu pergi kepasar kemarin sore”
Kemarin sore pergilah ibu kepasar (salah)
Jadi setelah ada koma(,) tidak boleh ada kata kerja tapi harus diikuti oleh subjek.
Kemudian pemakaian kata ‘maka’ harus kita seragamkan. Contoh “jika X
maka Y” ini merupakan pemakaian kata yang salah. Jadi harus selalu merujuk pada
pedoman pemakaian bahasa yang benar. Kata ‘maka’ merupakan kata sambung
yang sama posisinya dengan ‘oleh sebab itu’, ‘oleh karena itu’,’ namun’ dalam
pedoman bahasa Indonesia hal tersebut tidak ada. Inilah tantangan menjadi dosen
pembimbing.
Ada akademisi yang kolot, yaitu akademisi yang tidak mau mengakui
karakteristik ilmu yang lain, dianggapnya ilmu adalah ilmu hanya seperti yang dia
miliki, orang tersebut lupa bahwa konsep ilmu itu ada 4 (empat).
1. Positivisme Logis;
2. Rasionalisme Kritis;
3. Paradigma Thomas;
4. Hermeunetika;
Teori hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan hukum yang otonom
yang setara dengan cabang filsafat hukum dan ilmu hukum. Hal ini tidak sama
dengan ilmu lain yang menganggap teori hanya sekedar teori.
Doktrin tentang demokrasi dan kedaulatan rakyat. Apa beda kedaulatan
rakyat dan demokrasi? Demokrasi adalah sistim penyelenggaraan Negara.
Kedaulatan rakyat adalah kekuasaan tertinggi ada ditangan rakyat, konsekuensinya
rakyat
harus
dilibatkan
dalam
segala
aspek
penyelenggaraan
Negara.
Penyelenggaraan Negara ada 2 (dua) model, ‘langsung’ atau ‘tidak langsung’.
Mahasiswa diarahkan untuk mencari putusan di pengadilan, karena fakta
dalam putusan tersebut sudah diuji menjadi fakta hukum. Studi kasus dalam ilmu
hukum harus dibedakan dari studi kasus dalam ilmu sosial. Dalam ilmu sosial
masih perlu uji validitas data sementara dalam Ilmu hukum tidak diperlukan.
Dalam ilmu hukum lebih tepat disebut studi putusan disbanding disebut sebagai
studi kasus, untuk membedakan itu maka dibedakan data dalam ilmu hukum adalah
data sekunder bukan data primer”
Soerjono Soekanto menyebutkan 9 (Sembilan) makna hukum, hal itu
merupakan paradigma dasarnya, ‘hukum adalah ilmu pengetahuan, hukum adalah
petugas, hukum adalah keputusan, hukum adalah norma, dan seterusnya’ ini lah
menjadi batu loncatan atau starting point. Yang kedua jika ini kita maknai sebagai
hukum adalah keputusan, maka pertanyaannya adalah apakah hal tersebut masuk
dalam kajian disiplin ilmu hukum atau disiplin ilmu sosial, karena menurut buku
purwacaraka, ada 2 (dua) disiplin umum, disiplin hukum menurutnya masih
mengikuti pemikiran abad 19, disiplin hukum adalah:
1. Ilmu Hukum;
2. Politik Hukum; dan
3. Filsafat Hukum;
Dalam Disertasi Arief Sidharta, politik hukum bukan termasuk disiplin
hukum, termasuk tulisan dari Sidharta (kecil) yang berjudul ‘karakteristik ilmu
hukum’. Arief Sidharta menempatkan disiplin hukum menjadi 3 (tiga):
1. Ilmu Hukum;
2. Teori Hukum; dan
3. Filsafat Hukum;”
Persoalanya adalah, apakah hukum sebagai keputusan penguasa itu menjadi
objek kajian disiplin hukum atau disiplin sosial? Salah satu paradigm/cara berpikir
seperti inilah yang dapat diuji. Dalam buku politik hukum karangan Miriam
Budiarjo mengatakan ‘salah satu kajian ilmu politik adalah hukum sebagai
keputusan penguasa, maka persoalan selanjutnya adalah hukum sebagai keputusan
penguasa itu ada yang mengandung norma hukum, ada yang mengandung
kebijakan hukum dan ada yang mempergunakan norma hukum tersebut sebagai
instrumen kebijakan hukum. Nah inilah yang sedang Dr. Hotma kembangkan
menjadi objek kajian ilmu politik hukum, jadi hukum sebagai keputusan penguasa
sebenarnya bukan objek kajian disiplin hukum, tapi menjadi disiplin politik tapi
sepanjang hukum sebagai keputusan penguasa yang mengandung kebijakan hukum
Dr. Hotma kembangkan menjadi objek kajian ilmu politik hukum. Kemudian
kembali pada Satjipto, dia tidak bergerak dari disiplin hukum, itu sebabnya dia
katakan hukum itu bukan sesuatu yang sudah ‘jadi’. Jadi kalau dirunut akar
filsafatnya dia tidak tidak mungkin berasal dari positivisme hukum. Satjipto
melihat hukum secara holistik bahwa hukum adalah satu aspek dari kehidupan
bermasyarakat, jadi disini dituntut untuk mengembangkan ilmu hukum yang tidak
bersifat dogmatik, karena kalau ilmu hukum bersifat dogmatik tidak akan bisa
menjawab pertanyaan tersebut. Atau dapat dikembangkan ilmu hukum yang nonsistematik, maka kita akan menggunakan ilmu hukum yang bersifat postmodernisme. Jadi kita harus kembali kepada kurikulum, jika kita memasukan ilmu
hukum yang non-sistematik maka tidak akan diakui. Sebelum melangkah lebih
jauh terlebih dahulu kita mempelajari ilmu hukum yang sistematik yaitu ilmu
hukum dalam kondisi normal. Jadi teman-teman, khususnya dari jurusan tatanegara, harus kuat dalam dogmatik tentang filasafat hukum. Karena menurut teori
Hamitatamini dan Hans Kelsen, sesudah cita-hukum, kemudian grundnorm,
kemudian UUD’45. Baca lebih lanjut tulisan Dr.Hotma mengenai ‘makna
proklamasi’ dijurnal UPH.
Ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan Praktis Normologis yang otoritatif.
Objek kajian ilmu hukum sebagai Ilmu Praktis Normologis adalah kaedah-kaedah
hukum. Kaedah hukum itu sendiri dapat disebut sebagai teks otoritatif (teks yang
berwibawa) karena ditetapkan oleh lembaga yang berwenang. Sebagai teks,
kaedah hukum bermuatan aturan-aturan hukum yang terdiri atas produk
perundang-undangan, putusan-putusan hakim, hukum tidak tertulis dan karya
ilmuwan hukum yang berwibawa dalam bidangnya (doktrin). Oleh karena itu,
sasaran penelitian Ilmu Hukum sebagai Ilmu Pengetahuan Praktis Normologis
yang bersifat otoritatif pada dasarnya adalah hukum atau kaedah hukum.
Pengertian kaedah hukum di sini meliputi asas hukum, kaedah hukum dalam arti
norma, peraturan hukum konkrit dan sistem hukum. Oleh karena itu penelitian
hukum dalam arti meneliti kaedah atau norma disebut penelitian hukum normative.
Metode penelitian yuridis normatif yang terdiri atas:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Perumusan masalah hukum
Pengumpulan bahan-bahan hukum
Penentuan dan penetapan makna bahan hukum tersebut
Merumuskan argumentasi gagasan hukum
Menguji gagasan tersebut
Menuangkan gagasan tersebut kebentuk tertulis
Suatu metode penelitian ilmiah yaitu penelitian hukum yuridis-
normatif merupakan suatu tahapan-tahapan yang dilakukan peneliti dalam meneliti
norma-norma hukum, asas-asas hukum dalam menyelesaikan masalah hukum yaitu
dengan mempelajari bahan-bahan hukum dari berbagai pustaka hukum; tulisan
hukum, jurnal hukum, berbagai literatur dan buku-buku hukum, perundangundangan dan media elektronik yang berkaitan dengan judul penelitian dan yang
berkaitan dengan masalah hukum yang telah ditetapkan peneliti.
SEKILAS TENTANG PROF. USEP RANAWIJAYA, SH
Usep Ranawijaya adalah tokoh senior nasional dan seorang nasionalis tulen. Ia
memiliki karir panjang dan seorang intelelektual di bidang hukum. Lelaki
bersahaja dan selalu berkacamata ini, merupakan guru besar Universitas 17
Agustus 1945 Jakarta. Beliau adalah bekas Sekretaris Jenderal Konstituante, yang
ikut menyusun konstitusi baru sebagai pengganti UUD 1945. Dewan konstituante
di bentuk pada tahun 1955 yang merupakan hasil pemilu yang ditengarai oleh
sejumlah pihak sebagai pemilu yang paling demokratis dalam sejarah pemilu di
Indonesia. Anggota Dewan konstituante yang terpilih bekerja untuk menyusun
konstitusi baru. Namun hingga tahun 1959, konstitusi baru tersebut tidak kunjung
selesai, karena perdebatan ideologis yang alot dalam menentukan dasar negara
pada saat itu. Maka sidang sulit mengambil keputusan. Dengan alasan kondisi
Negara dalam keadaan darurat, Soekarno membubarkan Dewan Konstituante dan
memberlakukan kembali UUD 1945. Usep terlibat dan menjadi salah satu bagian
dari sejarah yang dicatat itu.
Secara jelas, Usep bukan saja menjadi bagian dari anak bangsa yang memberi
alunan sejarah di masa lalu, tetapi dia meletakkan konsep hukum yang memastikan
dirinya sebagai aktor intelektual dalam mengurai hukum tata negara. Meskipun
seorang intelektual dan akademisi, Usep Ranawijaya menjadi calon legislatif untuk
DPR RI pada tahun 2004. Dalam sejarah karirnya, Usep juga pernah menjadi Duta
Besar Indonesia di Vietnam. Beliau menguasai banyak bahasa, diantaranya bahasa
Inggris, Belanda, Perancis, Jerman dan Vietnam. Penguasaan terhadap banyak
bahasa dan pengalamannya yang diperoleh dari dunia praktis membuat
kematangan pengetahuannya sangat baik.
Sang guru besar ini menulis buku Hukum Tata Negara Indonesia: Dasar-dasarnya.
Buku hukum tata negara yang ditulisnya dikutip oleh banyak peneliti, akademisi,
dan juga praktisi dalam berbagai kesempatan. Usep Ranawijaya Research Centre
adalah suatu lembaga yang mengambil spirit dari Usep Ranawijaya dalam
melakukan aktivitasnya. Dalam konteks ini, sebuah lembaga harus memiliki ciri
khas dan kekhususan tertentu. Oleh karena itu, Usep Ranawijaya Research Centre
bukanlah lembaga yang mengkaji personalitas sang tokoh. Namun spirit dan kerja
keras Usep Ranawijaya menjadi salah satu pemacu semangat dalam aktivitas
kelembagaan. Usep Ranawijaya Research Centre adalah lembaga independen, non
profit dan professional yang berkomitmen mendorong kajian-kajian hukum secara
sistematis, berkeadilan dan menjunjung tinggi keterbukaan serta akuntabilitas.
Usep Ranawidjaja Research Center (URRC) merupakan lembaga kajian di
lingkungan Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus (UTA) 1945 Jakarta.
Tujuannya untuk mempertajam respon terhadap tema dan isu-isu hukum aktual
yang berkaitan dengan aplikasi teoritis maupun praktis yang dibutuhkan
masyarakat. URRC berstatus sebagai lembaga studi independen di bawah
koordinasi Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta dan secara teknis operasional
dikoordinasikan oleh Fakultas Hukum UTA’45 Jakarta. URRC menjadi muara
kajian-kajian keilmuan hukum yang tersebar di tiap rumpun dan jurnal ilmiah yang
dimiliki Fakultas Hukum. URRC diharapkan mampu berkontribusi menyediakan
sumberdaya akademik untuk mengkaji persoalan-persoalan hukum yang dihadapi
masyarakat, sekaligus memberikan alternatif solusi yang cerdas dan mencerahkan.
Download