Bagaimana dengan para pemegang saham publik (investor)?

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Judul :
Business Ethics and
Corporate Governance
Shareholder : Ownership
Fakultas
Program Studi
Ekonomi dan Bisnis
Magister
Manajemen
Tatap
Muka/Maya
11
Kode MK
Disusun Oleh
35040
Dr. Tri Mardjoko, SE, MA
Abstract
Kompetensi
Pada hakekatnya, tanggung jawab pemegang saham sebatas pada jumlah nilai
saham yang disetornya. Dia akan bertanggung jawab secara pribadi bila memenuhi
salah satu kondisi: melakukan satu atau lebih hal yang mengakibatkan terjadinya
pengungkapan tabir perusahaan tentang Perseroan Terbatas atau menjadi
penanggung pribadi berdasarkan perjanjian penanggungan pribadi sehubungan
dengan transaksi pemberian fasilitas kredit oleh bank kepada perusahaan yang
bersangkutan berdasarkan perjanjian kredit atau pinjaman tertentu. Bila dia
diwajibkan untuk membayar, maka pemegang saham yang bersangkutan wajib
membayar lunas seluruh dan setiap hutang yang harus dibayar oleh perusahaan.
Setelah mempelajari topik ini
diharapkan mahasiswa dapat
memahami bagaimana
penjelasan tentang pemegang
saham perusahaan dengan hak
dan kewajibannya terhadap para
stakeholdernya.
Pembahasan:
PEMEGANG SAHAM DAN KEPEMILIKAN PERUSAHAAN
Pemegang saham (bahasa Inggris: shareholder atau stockholder), adalah seseorang atau badan
hukum yang secara sah memiliki satu atau lebih saham pada perusahaan. Para pemegang saham
adalah pemilik dari perusahaan tersebut. Perusahaan yang terdaftar dalam bursa efek berusaha
untuk meningkatkan harga sahamnya. Konsep pemegang saham adalah sebuah teori bahwa
perusahaan hanya memiliki tanggung jawab kepada para pemegang sahamnya dan pemiliknya,
dan seharusnya bekerja demi keuntungan mereka
Pemegang saham diberikan hak khusus tergantung dari jenis saham, termasuk hak untuk
memberikan suara (biasanya satu suara per saham yang dimiliki) dalam hal seperti pemilihan
dewan direksi, hak untuk pembagian dari pendapatan perusahaan, hak untuk membeli saham
baru yang dikeluarkan oleh perusahaan, dan hak terhadap aset perusahaan pada saat likuidasi
perusahaan. Namun, hak pemegang saham terhadap aset perusahaan berada di bawah hak
kreditor perusahaan. Ini berarti bahwa pemegang saham biasanya tidak menerima apa pun bila
suatu perusahaan yang dilikuidasi setelah kebangkrutan (bila perusahaan tersebut memiliki lebih
untuk membayar kreditornya, maka perusahaan tersebut tidak akan bangkrut), meskipun sebuah
saham dapat memiliki harga setelah kebangkrutan bila ada kemungkinan bahwa hutang
perusahaan akan direstrukturisasi.
Pada hakekatnya, tanggung jawab pemegang saham sebatas pada jumlah nilai saham yang
disetornya. Dia akan bertanggung jawab secara pribadi (tidak terbatas) bila memenuhi salah satu
kondisi:
a.
b.
melakukan satu atau lebih hal yang mengakibatkan terjadinya pengungkapan tabir
perusahaan (piercing corporate veil; lihat Pasal 3 Undang-Undang No.1 tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas); atau
menjadi penanggung pribadi (personal guarantor) berdasarkan perjanjian penanggungan
pribadi sehubungan dengan transaksi pemberian fasilitas kredit oleh bank kepada
perusahaan yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kredit atau pinjaman tertentu.
Bila dia diwajibkan untuk membayar, maka pemegang saham yang bersangkutan wajib
membayar lunas seluruh dan setiap hutang yang harus dibayar oleh perusahaan. Bila ada
pemegang saham lain yang mempunyai kewajiban yang sama, maka pelaksanaan kewajiban
pembayaran tersebut dilakukan secara tanggung renteng di antara para pemegang saham tersebut.
Pihak kreditor sebagai pihak ketiga hanya berkepentingan dalam hal hutangnya lunas (dibayar),
sedangkan urusan internal sehubungan dengan pertanggung jawaban secara tanggung renteng itu
sewajarnya hanya menjadi urusan di antara para pemegang saham pada perusahaan yang
bersangkutan.
Kewajiban pembayaran oleh pemegang saham yang dimaksud di atas dapat timbul dari titik atau
sudut pandang yang berlainan, yaitu dari salah satu dari kondisi butir (a) dan (b) di atas, atau
bahkan keduanya. Dalam hal butir (a), pendekatan (baca: sudut pandang) yang dilakukan adalah
pertanggung jawaban dilihat dari sisi ketentuan hukum perusahaan. Sedangkan, dalam hal butir
(b), pendekatan yang kedua adalah pertanggung jawaban yang dilihat dari sisi struktur transaksi
pemberian fasilitas kredit. Yang perlu diperhatikan disini adalah bahwa setiap dari kedua
pendekatan tersebut tidak ada yang paling benar, karena hanya merupakan pendekatan dalam
melakukan analisa apakah pemegang saham dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara
pribadi. Jadi, kondisi dimana/bila pemegang saham harus atau dapat bertanggung jawab secara
pribadi tersebut lah yang harus lebih diperhatikan daripada sejauh mana kewajiban dia itu dapat
dimintakan.
Hak dan Kewajiban Pemegang Saham
Kecuali dibatasi atau ditetapkan dalam akte pendirian perseroan atau oleh ketentuan perundangundangan yang berlaku, setiap jenis saham memberikan hak-hak dasar kepada para pemiliknya
sebagai berikut:
1. Hak untuk ikut serta dalam pengelolaan perusahaan. Termasuk memilih anggota direksi dengan
hak suara yang proporsional dengan hak kepemilikan sahamnya di dalam perusahaan, dan hak
untuk memperoleh laporan keuangan perusahaan dan menentukan kebijakan-kebijakan
strategis perusahaan.
2. Hak untuk mendapatkan pembagian laba dalam bentuk dividen yang dibagikan oleh
perusahaan.
3. Hak untuk mendapatkan pembagian aktiva bersih perusahaan. Meliputi hak untuk membagi
dividen dan hak memperoleh pembayaran kembali atas penyertaan modalnya apabila
perusahaan harus dibubarkan atau dilikuidasi.
4. Hak untuk mengubah akte pendirian, anggaran dasar dan rumah tangga perusahaan. Meliputi
hak untuk memberikan persetujuan atas perubahan-perubahan akte pendirian, anggaran dasar
dan rumah tangga perusahaan, dan hak untuk mempertahankan rasio kepemilikan sahamnya
diperusahaan.
5. Hak untuk dapat mempertahankan jumlah relative saham yang dimiliki melalui pembelian
saham-saham baru yang diterbitkan oleh perusahaan yang disebut preemptive right. Yang
memungkinkan seorang pemegang saham untuk membeli sejumlah saham tambahan dalam hal
perusahaan melakukan emisi atau menerbitkan saham baru. Sebagai akibatnya, rasio
kepemilikan saham tidak bisa dikurangi sebagai akibat dari penerbitan saham-saham baru yang
dilakukan oleh perusahaan, kecuali pemegang saham tidak menggunakan haknya untuk
membeli saham baru
Tidak setiap pemegang saham memperoleh hak-hak dasar sebagaimana dikemukakan diatas.
Sebagai contoh, preemptive right seringkali sudah dieliminasi melalui perubahan akta pendirian,
anggaran dasar dan rumah tangga perusahaan. Disamping itu, memang sengaja tidak setiap
pemegang saham diberikan hak-hak yang sama. Banyak perusahaan besar menerbitkan beberapa
jenis sekuritas saham, dengan karakteristik dan hak-hak yang berbeda (hak suara dalam rapat
umum pemegang saham, hak prioritas untuk memperolah pembayaran dividen, hak atas jumlah
minimum dividen).
Sedangkan, untuk kewajiban dari pemegang saham itu sendiri adalah sebagai berikut :
Peraturan mengenai Perseroan Terbatas diatur didalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”). Di dalam UU PT mengatur mengenai tanggung jawab
pemegang saham dalam Perseroan Terbatas.
Menurut Pasal 3 ayat (1) UU PT, pemegang saham Perseroan Terbatas (“Perseroan”) tidak
bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak
bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki. Ketentuan di dalam
pasal ini mempertegas ciri dari Perseroan bahwa pemegang saham hanya bertanggung jawab
sebesar setoran atas seluruh saham dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya.
Namun, masih ada kemungkinan pemegang saham harus bertanggung jawab hingga menyangkut
kekayaan pribadinya berdasarkan Pasal 3 ayat (2) UU PT yang menyatakan bahwa ketentuan di
dalam Pasal 3 ayat (1) tidak berlaku apabila:
1. persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
2. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk
memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;
3. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh Perseroan; atau
4. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan
hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi
tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.
Selain itu berkaitan dengan masalah likuidasi, menurut Pasal 150 ayat (5) UU PT pemegang
saham wajib mengembalikan sisa kekayaan hasil likuidasi secara proporsional dengan jumlah
yang diterima terhadap jumlah tagihan. Kewajiban untuk mengembalikan sisa kekayaan hasil
likuidasi tersebut wajib dilakukan oleh pemegang saham apabila dalam hal sisa kekayaan hasil
likuidasi telah dibagikan kepada pemegang saham dan terdapat tagihan kreditor yang belum
UUPT 2007 Pertegas Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris
Tugas serta tanggung jawab direksi dan komisaris perseroan dipertegas dalam UU PT yang baru. Dalam
UU itu juga diperkenalkan adanya komisaris utusan.
Hati-hati bila Anda menjabat direktur atau komisaris di suatu perusahaan. Pasalnya, Undang-Undang No.
40/2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) mengatur lebih tegas tentang tanggung jawab keduanya.
Bahkan UU itu memungkinkan direksi maupun komisaris untuk digugat ke pengadilan oleh pemegang
saham, bila keduanya terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian yang menimbulkan kerugian bagi
perusahaan. Setidaknya, Anda bisa membaca klausulnya dalam tabel di bawah.
Sebenarnya, ketentuan tentang tanggung jawab direksi dan komisaris yang ada dalam UU No. 40/2007,
tak jauh beda dengan UU PT yang lama (UU No. 1/1995). Namun, dalam UU PT yang baru ini, tanggung
jawab itu dipertegas dan disempurnakan. Tujuannya supaya direksi dan komisaris itu tidak main-main
dalam menjalankan usahanya, cetus Ratnawati W Prasodjo, Ketua Tim Perumus UU PT Dephukham, usai
menjadi pembicara dalam Seminar UU PT bertajuk Menyongsong Berlakunya UU 40/2007 tentang
Perseroan Terbatas, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Seperti diketahui, lebih dari 13 klausul dalam UU No. 40/2007 yang mengatur tentang tanggung jawab
direksi dan komisaris. Menurut Ratna � panggilan akrab Ratnawati W Prasodjo � walaupun mengatur
tanggung jawab secara tegas, namun masih ada pasal lain yang memberi ruang gerak bagi direksi dan
komisaris untuk membela diri. Salah satunya diatur dalam Pasal 97.
UU No. 40/2007
Pasal 97
Ayat (3) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian
Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Ayat (4) Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung
jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap
anggota Direksi.
Ayat (6) Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu
persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan
gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau
kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan.
Pasal 114
Ayat (3) Setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas
kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
Ayat (6) Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu
persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat menggugat
anggota Dewan Komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan
kerugian pada Perseroan ke pengadilan negeri.
Dalam pasal itu, lanjut Ratna, direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian perusahaan,
apabila dia dapat membuktikan salah satu dari 4 hal yang dikecualikan. Pertama, kerugian yang
ditimbulkan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, kedua, direksi telah melakukan pengurusan
dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
perseroan. Ketiga, tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian, dan keempat telah mengambil tindakan untuk
mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Demikian pula dengan tanggung jawab direksi dalam hal terjadinya kepailitan di perusahaan yang dia
pimpin. Wanita yang juga berprofesi sebagai Partner di Pelita Harapan Law Firm ini memaparkan,
anggota direksi dapat dibebaskan dari tanggung jawab membayar seluruh kewajiban perusahaan yang
diputus pailit, asalkan dia bisa membuktikan tidak bersalah dan tidak lalai dalam menjalankan roda
perusahaan. Indonesia tidak seperti Anglo Saxon, dimana mereka mengenal ada direksi aktif dan pasif.
Kalau di sini (Indonesia, red) semua direksi aktif, ujarnya.
UU No. 40/2007
Pasal 104
Ayat (2) Dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena kesalahan
atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban
Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng
bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut.
Ayat (4) Anggota Direksi tidak bertanggungjawab atas kepailitan Perseroan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) apabila dapat membuktikan:
a.
kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b.
telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggungjawab
untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c.
tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan yang dilakukan; dan
d.
telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan.
Lantas, apakah semua anggota direksi bisa melakukan perbuatan yang mewakili perseroan? Prinsipnya
demikian, jawab Ratna. Hal ini berlaku juga dengan tanggung jawabnya. Semua anggota direksi,
menurutnya, bertanggung jawab dan tidak bisa saling menyalahkan bila ada kerugian perusahaan.
Lalu bagaimana dengan komisaris? Komisaris juga harus bertanggungjawab seperti halnya direksi.
Pengaturan tentang tanggung jawab komisaris ini adalah hal yang baru, yang sebelumnya tidak diatur
dalam UU No. 1/1995. Sama halnya dengan direksi, dalam UU No. 40/2007 dimungkinkan juga bagi
komisaris untuk tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian perusahaan.
UU No. 40/2007
Pasal 114
Ayat (5) Anggota Dewan Komisaris tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
a.
telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan
Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
b.
tidak mempunyai kepentingan pribadi baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan
pengurusan Direksi yang mengakibatkan kerugian; dan
c.
telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah timbul atau berlanjutnya
kerugian tersebut.
AD harus mencantumkan Komisaris Utusan
Ratna menambahkan, dalam UU No. 40/2007 bahkan diperkenalkan adanya komisaris utusan.
Sebenarnya, sambung dia, komisaris utusan ini sudah lama dikenal di negara lain. Menurutnya, tugas
dari komisaris utusan hampir mirip dengan compliance director, yang ada dalam ranah perbankan.
Nantinya, setiap perusahaan harus mengatur komisaris utusan di dalam anggaran dasar masing-masing
kata Ratna.
Ide diperkenalkannya komisaris utusan ini, sambung Ratna, melalui proses hearing dengan berbagai
pihak. Salah satunya dengan Bank Indonesia (BI). Pada dasarnya, kata dia, BI mengakui kalau komisaris
utusan tak ubahnya compliance director, asalkan UU itu mengatur tentang itu.
Senada dengan Ratna, Notaris dan PPAT senior, A Partomuan Pohan, mengemukakan, komisaris utusan
seperti halnya komisaris yang lain. Bedanya, kata dia, komisaris utusan lebih rutin di kantor, sehingga dia
bisa mengontrol lebih efektif. Tidak mungkin, kalau semua komisaris dari watu ke waktu selalu ada di
kantor. Oleh karena itu, rapat dewan komisaris menentukan, salah satu diantara mereka untuk menjadi
komisaris utusan. Tugasnya, melaksanakan fungsi dari dewan komisaris from day to day, tuturnya
panjang lebar.
Hanya saja, komisaris ini tidak bisa menindak dalam melakukan pengawasan. Sebab, menurutnya,
keputusan mengenai penindakan tetap pada dewan komisaris. Menurut Partomuan, ketentuan lebih
lanjut tentang komisaris utusan ini juga akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).
Selain komisaris utusan, dalam UU No. 40/2007 juga dimungkinkan dibentuk komite oleh dewan
komisaris dalam melakukan pengawasan. Komite ini meliputi komite audit, komite remunerasi dan
komite nominasi.
UU No. 40/2007
Pasal 121
Ayat (1) Dalam menjalankan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108,
Dewan Komisaris dapat membentuk komite, yang anggotanya seorang atau lebih adalah
anggota Dewan Komisaris.
Ayat (2) Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Dewan
Komisaris.
Penjelasan UU No. 40/2007
Pasal 121
Ayat (1) Yang dimaksud dengan komite, antara lain komite audit, komite remunerasi, dan
komite nominasi
Ginting: Kedudukan Pemegang Saham (Investor) Dalam Kepailitan Perusahaan...
KEDUDUKAN PEMEGANG SAHAM (INVESTOR)
DALAM KEPAILITAN PERUSAHAAN GO PUBLIC
Jamin Ginting
ABSTRACT
Shareholder of company that sells its shares to public and eventually has public shareholders, popularly know as
go-public company, are the last to get the benefits if theircompany is declared insolvent, that is bankrupt. This
condition certainly put the said people in a very weak position, whereas as investors they should enjoy more legal
protection and not the opposite. By law the Governtment Institution for Investment called Bapepam is required to
provide a disclosed information regulation for a go public company against which abanckruptcy is filed. This
would assist the interested whether or not to join the company. This working paper concerns with the legally
weak position of the shareholders. What legal basis are being based on this situation and how far do the laws and
regulations give legal guarantee and security to the investors of a go-public company.
Keywords : Shareholder, go-public. Investment and bankruptcy.
Pendahuluan
Satu hal yang sangat ditakutkan oleh investor untuk membeli saham perusahaan go publik atau
perusahaan terbuka (FT. Tbk.) adalah lemahnya perlindungan hokum terhadap perusahaan go
public jika mengalami pailit dan bahkan sampai pada keadaan dilikuidasi. Peran investor
lokal maupun asing pada saat ini cukup besar dalam melakukan investasi di perusahaan terbuka,
khususnya terhadap perusahaan yang memang diyakini dapat memberikan prospek keuntungan
yang besar bagi investor, di sisi lain emiten dengan segala cara berusaha untuk menarik minat
investor tersebut bahkan terkadang terkesan mengelabui pihak investor, hal ini tidak saja berupa
kesengajaan atau kesalahan manajemen yang membuat emiten bangkrut, tetapi disamping itu
juga merupakan perbuatan yang direncanakan misalnya right issue dengan rasio yang hampir
tidak masuk akal dan nilai nominal yang berbeda, serta bentuk right issue lain yang jika
dicermati merupakan suatu rekayasa (hostile take over). Kenyataan tragis yang membuat 64
bank dilikuidasi atau dibeku operasikan (BBO) pemerintah sejak akhir 1997 hinggal 1999 dan
merger beberapa bank pemerintah dewasa ini telah membuat investor di pasar modal menderita
rugi besar. Dari 64 bank itu, 11 bank diataranya adalah bank go public.1 Ada 2 faktor utama
penyebab terlikuidasinya bank go public tersebut, pertama, kebangkrutan yang memang
disebabkan oleh tekanan krisis ekonomi, kedua, kebangkrutan akibatkesalahanmanajemen.
Kedua faktor tersebut ditambah lagi oleh sikap otoritas pasar modal seperti Bapepam dan
penyelenggara bursa efek yang tidak menggalakkan transparansi informasi, misalnya ketika itu
ada saham bank yang harganya masih menguat sehari sebelum dilikuidasi. Hal ini membuktikan
bahwa kinerja bank yang sesungguhnya tidak diketahui oleh investor atau kemungkinan
penyebabnya yaitu kinerja yang dipublikasi mengandung data palsu atau memang manajemen
bank tidak mempublikasikan kinerjanya. Disinilah peran Bapepam selaku otoritas pasar modal
untuk lebih bijak dalam mendapatkan informasi dari perusahaan yang akan dilikuidasi atau
dimohonkan pailit dan menyampaikan informasi tersebut kepada investor secaracepat, akurat,
transparan, adil dan merata. Permasalahan terhadap kepailitan dalam perusahaan terbuka adalah
bagaimana kedudukan pemegang saham (investor) terhadap kepailitan perusahaan go public dan
upaya-upaya perlindungan terhadap pemegang saham perusahaan go public.
Karakteristik Perusahaan Go Public Pada prinsipnya perusahaan go public merupakan
perluasan dari perusahaan biasa (PT. Tertutup), dalam Pasal 1 butir 22 Undang-Undang Pasar
Modal No. 8 Tahun 1995 (UUPM No. 8/1995),
disebutkan sebagai berikut:
"Perusahaan Publik adalah perseroan yang sahamnya telah dimiliki sekurangkurangnya oleh 300
(tiga ratus) pemegang saham dan memiliki modal disetor sekurang-kurangnya
Rp.3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor
yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah". Dalam perusahaan publik prinsip disclosure
(keterbukaan) lebih diutama-kan, karena perusahaan publik mernUiki/menghimpun danadari
masyarakat umum yang diperoleh dari penjualan saham/obligasi di bursa efek, sehingga untuk
dapat menjadi perusahaan publik hams memperoleh ijin efektif dari Bapepam selaku pengawas
pelaksanaan pasar modal di Indonesia dengan melalui ketentuan hukum sebagaimana diatur
dalam UUPM No. 8/1995 dan keputusankeputusan Ketua Bapepam yang mengatur ketentuan
dan syarat-syarat untuk menjadi perusahaan publik, berikut ini beberapa karakteristik dari
perusahaan publik.
a) saham dijual melalui bursa saham setelah mendapat ijin efektif dari Bapepam.
b) Jumlah dan pemegang saham cukup banyak jumlahnya, sehingga kontrol dan sorotan
masyarakat terhadap kinerja perusahaan semakin tinggi terutama tuntutan terhadap^jt/rness
fan fair play.
c) Adanya kewajiban perusahaan untuk membukadiri {disclosure principle)
d) Adanya pemisahan yang tegas antara pemilik dengan manajemen perusahaan
e) Adanya kontrol dari Bapepa terhadap perusahaan untuk segala tindakan yang menyangkut
saham publik
t) Memiliki prospektus untuk kelayakan sebagai perusahaan publik dan sebagai gambaran
keadaan perusahaan.
Perusahaan publik wajib mengungkapkan informasi penting melalui laporan tahunannya serta
laporan keuangan kepada para pemegang saham maupun laporan-laporan lainnya kepada
Bapepam, bursa efek, serta kepada masyarakat dengan cara yang tepat waktu, akurat, dapat
dimengerti dan obyektif. Dalam menjalankan perusahaan, RUPS (Rapat Umum Pemegang
Saham) merupakan organ tertinggi dari perusahaan. Segala kebijakan yang diambil dalam RUPS
tersebut harus disampaikan kepada para pemegang saham, Bapepam, bursa efek dan masyarakat.
Para pemegang saham di dalam perusahaan serta"orang dalam" lainnya sebagaimana dimaksud
dalam penjelasan Pasal 95 UUPM No. 8/1995 tidak boleh memanfaatkan informasi orang dalam
berkaitan dengan penanganan sahamsaham perusahaan untuk kepentingan pribadi yang dapat
mengakibatkan kerugian bagi pemegang saham lainnya dan atau perusahaan publik tersebut.
Kegiatan perdagangan orang dalam ini sering juga disebut sebagai kejahatan insider trading.
Karakteristik Hukum Kepailitan
Tujuan utama dari hokum kepailitan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Kepailitan
No. 4 Tahun 1998 (UUK No. 4/1998), sebenarnya bukanlah untuk melikuidasi perusahaan,
tetapi memberikan kepastian kepada kreditur terhadap piutangnya untuk dibayar. Sehingga
usaha-usaha untuk mendapatkan kembali piutang tersebut dapat melalui restrukturisasi
perusahaan, penjadwalan hutang maupun dengan pembagian harta debitursetelahpailit
Adapun yang dapat penulis ketengahkan dari ciri dan karakteristik hukum kepailitan adalah
sebagai berikut:
a) Hukum kepailitan bertujuan untuk meningkatkan asset harta pailit, dan memberikan
kepastian hukum terhadap pembagian harta pailit yang adil berdasarkan proritas kreditur.
b) Menghindari tindakan-tindakan debitur mengalihkan asset/harta pailit, baik untuk
kepentingan kreditur tertentu ataupun oleh kepentingan pihak ketiga.
c) Dalam pengurusan harta pailit diangkat seorang curator bersamaan dengan putusan pailit
yang bertugas sebagai pengurus dan pemberes harta yang dalam tindakannya diawasi oleh hakim
pengawas.
d) Putusan pailit hanya dapat diajukan minimum oleh 2 orang kreditur atau lebih yang
piutangnya telah jatuh waktu (tempo) dan dapat ditagih tetapi tidak dibayar oleh debitur.
e) Pemohon pailit berdasarkan Pasal 1 UUK No. 4/1998, dapat berupa perorangan, badan
hukum, kejaksaan untuk kepentingan umum, Bank Indonesia untuk debitur yang
merupakan bank dan Bapepam untuk debitur yang merupakan perusahaan efek.
Status Perusahaan Go Public Setelah Putusan Pailit Seperti layaknya perusahaan
tertutup, setelah putusan pernyataan pailit diputuskan, perusahaan public kehilangan hak
kepengurusan dan penguasaan kekayaan sejak hari diucapkannya pernyataan pailit oleh
hakim (Pasal 22 UUK No. 4/1998), segala pengurusan dan atau pemberesan harta perusahaan
public diberikan kepada kurator (Pasal 12 ayat 1 UU Kepailitan) yang diangkat bersamaan
dengan putusan pailit berdasarkan Pasal 13 ayat 1 b UUK No. 4/1998) Direksi perusahaan publik
sebagai pelaksana kegiatan perusahaan hanya dapat bekerjajika diminta oleh curator dan tidak
mempunyai kewenangan mewakili perusahaan baik di dalam maupun di luar pengadilan,
sehingga segala gugatan hukum berkenaan dengan hak dan kewajiban harta pailit perusahaan
publik tersebut diajukan oleh atau terhadap kurator. Direksi perusahaan publik juga dapat dicekal
(terjadi karena hukum) tetapi hal ini tidak berlaku bagi komisaris dan pemegang saham publik
hanya diwajibkan pelaporan saja, kecuali ada indikasi melakukan tindakanhukum seperti yang
dimaksud dalam prinsip Piercing Corporate Veil dan Ultra Vires yang akan dibahas dalam
sub bab pertanggungan jawab pemegang saham.
a. Pengurusan oleh Kurator dan Peran Bapepam
Peran kurator dalam pengurusan sangat besar terhadap harta pailit, dapat dikatakan bahwa
curator merupakan general manager baru untuk seluruh kegiatan perusahaan mulai dari putusan
pailit sampai dengan rehabilitasi terhadap debitur bahkan kewenangan tersebut terasa sangat
berlebihan karena dalam segala tindakannya terhadap harta pailit perusahaan, kurator tidak
diharuskan memperoleh persetujuan dan atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu
kepada hakim pengawas yang diberikan kewenangan untuk mengawasi tindakan-tindakan
kurator, tetapi untuk tindakan tertentu perlu mendapat persetujuan dari hakim pengawas4 seperti:
1) tindakan untuk mengalihkan harta pailit sebelum putusan pailit; 2) menjaminkan harta pailit;
3) menghadap di muka pengadilan; dan 4) melanjutkan usaha debitur sebelum verifikasi dan lain
sebagainya.
Pengurusan dan pemberesan harta pailit terhadap perusahaan publik samadengan perusahaan
biasa, seluruhnya diberikan kepada curator sebagai pengurus dan pemberes harta pailit. Hanya
saja dalam praktek, kurator harus bekerja sama dengan pengelola perdagangan bursa efek
dan Bapepam.
Satu hal yang menurut penulis harus dibedakan dari pengurusan dan pemberesan harta palit
perusahaan publik ialah peran Bapepam terhadap kelangsungan perusahaan publik yang
pailit, peran Bapepam sebagai pelindung dari investor (pemegang saham perusahaan go public)
seharusnya tidak hanya membuat peraturan pada saat perusahaan akan melakukan go public saja
tetapi juga harus memikirkan nasib investor apabila perusahaan publik mengalami kepailitan,
selain kurator dan hakim pengawas yang mengawasi pelaksanaan pemberesan dan atau
pengurusan harta pailit, dalam perusahaan publik, Bapepam juga harus dilibatkan sebagai
lembaga pengawas terhadap tindakan kurator karena pemegang saham publik merupakan bagian
dari kreditur perusahaan publik yang mempunyai kepentingan terhadap harta pailit. Pada saat ini
peran Bapepam yang ada hanya pelaporan dari emiten jika dimohonkan pailit yang diatur dalam
Keputusan Ketua Bapepam Nomor : Kep-46/PM/ 1998, Nomor : X.K.5, tentang Keterbukaan
Informasi bagi emiten atau perusahaan publik yang dimohonkan pernyataan pailit, yang
menyebutkan sebagai berikut5 :
1) Emiten atau Perusahaan Publik yang gagal atau tidak mampu
menghindari kegagalan untuk membayar kewajibannya terhadap pemberi pinjaman yang tidak
terafdiasi, maka Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyampaikan laporan mengenai hal
tersebut kepada Bapepam dan Bursa Efek dimana Efek Emiten atau Perusahaan Publik tercatat
secepat mungkin, paling lambat akhir hari kerja ke-2 (kedua) sejak Emiten atau Perusahaan
Publik mengalami kegagalan atau mengetahui ketidakmampuan menghindari kegagalan
dimaksud.
2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 wajib memuat antara lain rincian mengenai
pinjaman termasuk jumlah pokok dan bunga, jangka waktu pinjaman, nama pemberi
pinjaman, penggunaan pinjaman dan alasan kegagalan atau ketidakmampuan menghindari
kegagalan.
3) Dalam hal Emiten atau Perusahaan Publik diajukan ke Pengadilan untuk dimohonkan
pernyataan pailit, maka Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyampaikan laporan mengenai
hal tersebut kepada Bapepam dan Bursa Efek dimana Efek Emiten atau Perusahaan Publik
tercatat secepat mungkin, paling lambat akhir hari kerja ke-2 (kedua) sejak Emiten atau
Perusahaan Publik mengetahui adanya permohonan pernyataan pailit dimaksud.
4) Laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 wajib memuat antara lain nama pemberi
pinjaman yang mengajukan pailit, ringkasan permohonan pernyataan pailit dan jumlah
pinjaman lainnya.
5) Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 UUPM No. 8/1995, tentang Pasar Modal yang
mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Pengadilan terhadap Emiten atau Perusahaan
Publik Wajib menyampaikan laporan kepada Bapepam dan Bursa Efek dimana Efek Emiten
atau Perusahaan Publik tercatat mengenai hal tersebut secepat mungkin, paling lambat akhir
hari ke-2 (kedua) pengajuan permohonan pernyataan pailit.
6) Laporan sebagaimanadimaksud dalam peraturan ini merupakan dokumen publik yang
tersedia bagi masyarakat di Pusat Referensi Pasar Modal sesuai dengan Peraturan Nomor II. A.2
tentang Prosedur Penyediaan Dokumen bagi Masyarakat di Pusat Referensi Pasar Modal.
7) Bursa Efek wajib mengumumkan informasi sebagaimana dimaksud dalam peraturan ini di
Bursa Efek pada hari yang sama dengan diterimanya informasi tersebut oleh Bursa efek.
Dari Keputusan Ketua Bapepam tersebut jelas bahwa proses kepailitan dalam perusahaan publik
cukup penting terlebih informasi yang diberikan, karena sangat berpengaruh terhadap sahamsaham publik terlebih terhadap investor yang menanamkan sahamnya di perusahaan yang
dimohon pailit tersebut. Sehingga Bapepam hams mendapat informasi secepat mungkin
terhadap per-usahaan publik yang dimohonkan pailit guna kepentingan pemegang saham publik.
b. Pembagian harta pailit
Pada prinsipnya segala kebendaan si berhutang (debitur), baik yang bergerak maupun yang tak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi
tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan dan kebendaan tersebut menjadi jaminan
bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan bendabenda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masingmasing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk
didahulukan.6 Adapun hirarki dari para kreditur berdasarkan keseimbangan pembagian harta
pailit adalah :
1)Kreditur Preference, yaitu kreditur pemegang hak tangungan dan hak gadai, yang dapat
bertindak sendiri. Kreditur golongan ini dapat menjual sendiri barang-barang yang menjadi
jaminan, seolah-olah tidak ada kepailitan;
2) Kreditur istimewa, yaitu kreditur yang karena sifat piutangnya mempunyai kedudukan
istimewa dan mendapat hak untuk memperoleh pelunasan lebih dahulu dari penjualan harta
pailit; dan
3) Kreditur Konkuren, pelunasan tagihan-tagihan yang diambil dari harta pailit setelah
dikurangi dengan pelunasan untuk kreditur preference dan kreditur istimewa, dibagi menurut
pertimbangan besarkecilnyapiutang mereka.
Bagaimana dengan para pemegang saham publik (investor)? para pemegang saham publik
merupakan kreditur yang termasuk dalam kreditur bersaing (konkuren), merupakan kreditur
yang mendapat bagian terakhir terhadap harta pailit seadainya ada deviden dari saham
tersebut yang belum dibayar kepada para pemegang saham publik maka pemegang saham hanya
bisa menunggu sisadari harta pailit yang masih ada. Inilah kelemahan dari pemegang saham
publik yang memiliki risiko besar terhadap saham yang dimilikinya, sehingga sebelum
membeli saham publik, investor harus lebih berhati-hati dalam melakukan pilihan investasi dan
peran Bapepam sebagai pengawas pasar modal.
c. Pertanggungan jawab pemegang saham
Pada dasarnya setiap pemegang saham hanya bertanggung jawab sebatas saham yang
dimilikinya atas kerugian perseroan (Pasal 3 ayat 1 UU PT No. 1/1995) tetapi ada suatu
paradigma baru dalam UU PT No. 1 Tahun 1995 yang menganut prinsip Piercing Corporate Veil
yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai menyingkap tabir atau cadar perseroan8.
Pertanggungan jawab terbatas tersebut tidaklah mutlak, dalam keadaan tertentu tanggung
jawab terbatas tersebut tidak berlaku karena ada pengecualiannya. Hal ini dapat kita lihat dalam
Pasal 3 ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut: "(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tidak berlaku apabila: a. persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak
terpenuhi. b. Pemegang saham yang bersangku tan baik langsung maupun tidak langsung dengan
itikad buruk memanfaatkan perseroan sematamata untuk kepentingan pribadi. c. pemegang
saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
perseroan; atau d. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung
secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi
utang perseroan" Dengan demikian terlihat bahwa pemegang saham dapat dimintakan
pertanggung jawabannya secara pribadi terhadap harta-harta yang dimilikinya, jika terbukti telah
memenuhi kriteriayang terdapat dalam Pasal 3 ayat 2 UUPT tersebut di atas. Bagaimana dengan
para pemegang jawaban pemegang saham tersebut saham publik, peraturan pertanggungjuga berlaku pada kegiatan perusahaan yang melakukan akti vitas di pasar modal karena
ketentuan dalam pasar modal belum mengatur mengenai ketentuan ini, hal ini berdasarkan apsal
127 UU PT No. 1 Tahun 1995.
Ada perbedaan dengan perusahaan tertutup yaitu pemegang saham dalam perusahaan publik
dapat kita bagi menjadi 2 bagian: a) pemegang saham perusahaan publik yang turut menentukan
arah kebijaksanaan perusahaan. (saham pengendali) b) pemegang saham publik yang tidak turut
serta dalam menjalankan kebijaksanaan perusahaan. (saham biasa) Pemegang saham publik yang
tidak turut serta dalam menjalankan perusahaan biasanyamembeli saham perusahaan publik ini
pada pasar perdana (primary market) dan pasar sekunder (secondary market) dimana sahamsaham tersebut hanya dijual sebagian kecil saja9, sehingga para pemegang saham publik yang
diperoleh dari kedua pasar tersebut tidak terpengaruh dalam kebijaksanaan perusahaan, sehingga
kemungkinan untuk melakukan tindakan yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat 2 UU PT. No. 1
Tahun 1995 sangat kecil dan seandainya juga ada kolaborasi di antara para pemegang saham
tersebut untuk mempengaruhi kebijaksanaan perusahaan public tersebut pemegang saham ini
tidak mempunyai hak untuk menentukan kebijakan dalam perusahaan public tersebut.
Umumnya para pendiri suatu perseroan tidak ingin perusahaannya dikendalikan oleh orang lain
dengan penjualan saham di atas dari separuh jumlah sahamnya yang dijual di pasar perdana
maupun sekunder. Pemegang saham yang menentukan kebijaksanaan perusahaan adalah
pemegang saham yang memperoleh saham dari pendirian perseroan dan pada saat akan
dilakukan go public pemegang saham ini mendapat perlakuan istimewa dari penerbitan
sahamsaham (right issue) yang disebut sebagai preemptive rights. Para pemegang saham inilah
yang menentukan arah dan kebijaksanaan perusahaan sehingga para pemegang saham ini
umumnya bertindak sebagai Direksi dan Komisaris. Dalam hal ini maka berdasarkan Pasal 3 ayat
2 UU PT. No. 1 Tahun 1995, pemegang saham ini dapat dimintakan pertanggungjawaban secara
pribadi terhadap segala tindakannya yang termasuk dalam ketentuan pasal tersebut. Bahkan
dalam Pasal 45 KUHD10 menyebutkan sebagai berikut:
"Tanggung jawab para pengurus adalah tak lebih daripada untuk menunaikan tugas yang
diberikan kepada mereka dengan sebaikbaiknya; mereka pun karena segala perikatan dari
perseroan, dengan diri sendiri tidak terikat kepada pihak ketiga. Sementara itu, apabila mereka
melanggar sesuatu ketentuan dalam akta atau tentang perubahan yang kemudian diadakannya
mengenai syarat-syarat pendirian, maka atas kerugian yang karenanya telah diderita oleh pihak
ketiga, mereka itupun masing-masing dengan diri sendiri bertanggung jawab untuk seluruhnya".
Perbuatan pengurus tersebut dapat disebut sebagai Ultra Vires" yaitu perbuatan-perbuatan
tertentu, yang apabila dilakukan manusia adalah sah, ternyata berada di luar kecakapan bertindak
PT (tidak tercakup dalam maksud dan tujuan PT) yang diatur dalam Anggaran Dasar Perseroan
Terbatas, sehingga pemegang saharn yang melakukan tindakan dalam pelaksanaan dan turut
serta dalam kebijaksanaan perusahaan dapat dimintakan pertanggungan jawab sendiri-sendiri
secara pribadi.
Upaya Perlindungan Terhadap Pemegang Saham Publik
Ada beberapa usaha yang menurut penulis dapat meringankan beban para pemegang saham
perusahaan yang pailit yaitu:
a. Permohonan pailit oleh pemegang saham publik
Dilema yang dihadapi pada saat ini adalah apakah pemegang saham publik dapat melakukan
gugatan pailit terhadap perusahaan publik dan apakah hal ini menguntungkan bagi pemegang
saham publik atau justru merugikan ? Seperti telah disebutkan pada bab sebelumnya pemegang
saham publik digolongkan ke dalam pemegang saham konkuren (bersaing), ini berarti pemegang
saham public dapat melakukan permohonan pailit terhadap perusahaan publik. Jika pemegang
saham public melakukan gugatan pailit terhadap perusahaan publik, makaalasan yang paling
tepat adalah jika perusahaan publik tersebut tidak membayar deviden dari saham pada saat jatuh
tempo dan dapat ditagih dan untuk itu dibutuhkan 2 atau lebih dari pemegang saham publik. Jika
hal ini dilakukan dan proses kepailitan benar-benar terjadi, keuntungan yang didapat dari
pemegang saham publik sebagai kreditur tentu sangat kecil, karena statusnya adalah sebagai
kreditur konkuren, kecuali jika para pemegang saham perusahaan public tersebut ingin
mengadakan spekulasi untuk menurunkan nilai saham atau merusak citra perusahaan publik
tersebut. Disinilah perlu peran Hakim Pengadilan Niaga untuk menilai kelayakan permohonan
pailit, apakah sudah benar-benar dapat memberikan keadilan bagi perusahaan publik, investor
maupun kreditur lain.
b. Restrukturisasi perusahaan
Upaya untuk menghindari terjadinya kepailitan dalam perusahaan publik sebenarnya dapat
dicegah dengan mengadakan usaha-usaha restrukturisasi dalam perusahaan dengan jalan sebagai
berikut: 1) Emiten dapat menerbitkan saham baru sebagai kompensasi hutanghutang pihak
emiten kepada kreditur, sehingga hutang-hutang tersebut dapat dikonversikan ke saham,
sehingga perusahaan dapat melanjutkan usahanya dengan modal yang likuid dan piutang kreditur
dapat dijamin dengan saham baru. 2) Merger, perusahan publik yang tidak sanggup tersebut
dapat melakukan merger dengan perusahaan lain yang sehat, hal ini baik dilakukan terhadap
perusahaan yang masih dalam satu group usaha. 3) Akuisisi melalui pasar modal, yaitu dengan
penjualan saham besar-besaran kepada investor dengan memberikan hak untuk merubah struktur
kepemilikan dan pengurusan perusahaan.
Kesimpulan
Pada prinsipnya pemegang saham publik (investor) adalah pihak yang paling lemah jika terjadi
kepailitan dalam perusahaan publik, karena merupakan kreditur konkuren yang mendapat
perlakuan terakhir dari pembagian harta pailit dan itu pun jika masih ada tersisa. Pemegang
saham publik dapat melakukan tuntutan pidana terhadap perusahaan public jika terdapat
kecurangan, penipuan serta berbagai tindakan yang langsung maupun tidak langsung telah
merugikan kepentingan pemegang saham publik di pasar modal. Upaya yang dilakukan untuk
melindungi Investor apat berupa upaya permohonan pailit oleh pemegang saham publik atau
juga dapat mengajukan usulan untuk mengadakan rekstruturisasi perusahaan publik. Sudah
saatnya Bapepam membuat aturan hukum bagi perlindungan saham publik yang diakibatkan
pailitnya perusahaan publik dan Bapepam lebih adil, cepat dan transparan dalam menyampaikan
informasi terhadap pemegang saham publik terhadap informasi-informasi kinerja dari
perusahaan publik, untuk menghindari risiko yang akan dihadapi pemegang saham publik
(investor).
-----------------------------------------------------------------------
Neoliberals claim that shareholders are the owners of companies. This is nonsense, argues
Austin Mitchell MP and Prem Sikka, Professor of Accounting, University of Essex
In its 2013 report, the Parliamentary Commission on Banking Standards concluded that
“shareholders failed to control risk-taking in banks, and indeed were criticising some for
excessive conservatism”. The Commission rightly recommended that company law should be
changed to remove shareholder primacy in respect of banks, and require directors to ensure the
financial safety and soundness of the company ahead of the interests of its shareholders.
No political party has had the good sense to follow up the above recommendations from a
Committee, which included a former Conservative Chancellor Lord Lawson. Instead, economic
elites continue to preach the futile myths about empowering shareholders to check corporate
abuses.
The Department of Business, Innovation and Skills (BIS) claims that the “role of shareholders as
owners of companies is crucial. It is they who are best placed to assess the governance of
companies and engage with their boards on key governance and other issues”. The illusion of
shareholders as owners is rarely questioned in the press. This myth of shareholder supremacy has
to go. It’s obstructing the development of a stakeholder economy.
Neoliberals equate “ownership” of shares with ownership of companies. Yet they provide neither
theory nor evidence to support this claim. We can all enjoy a legal right to own a pen, a pencil, a
car or a house, something which gives us rights, powers, liberties, duties and liabilities. We can
use and destroy a pen. If a car that we own injures someone then we can be held liable. If we
hold late-night parties at our houses which disturb others, police can be called to remind us of
our obligations to neighbours. But ownership of shares in large companies is not like that.
Characteristics of Ownership
The characteristics of ownership have long been explored by scholars and courts. Let`s list them
to see whether the possession or ownership of shares passes the tests implicit in the
characteristics. The Rights of ownership include:
(1) The right to possess: to have exclusive physical control of athing.
(2) The right of personal use and enjoyment of the thing.
(3) The right to manage: the right to decide how and by whom the thing owned shall be
used,
(4) The right to income: receive benefit from foregoing personal use of the thing and
allowing others to use it for reward.
(5) The incident of residuarity: It is a characteristic of ownership that an owner has a
residuary right in the thing owned.
The idea of ownership confers powers, liberties and immunities. These include:
(1) The right to the capital: the right to capital consists of the power to transfer ownership
to others through exchange, selling, gift and mortgage, etc.
(2) The power to transfer ownership to successors.
(3) The liberty to consume, waste or destroy the thing in question.
(4) The right to security: the owner should be able to look forward to retaining ownership
indefinitely, if s/he so chooses and remains solvent.
But ownership isn’t just about rights and powers; it also confers duty and liability towards others.
This includes:
(1) the prohibition of harmful use: the owner must not use the thing to harm others, and
s/he must also prevent others from using the think to harm citizens. Violation of this duty
would lead to penalties.
(2) The thing owned can be taken away to satisfy a debt either either by execution of a
judgment debt or on insolvency.
What do Shareholders Own?
How does the above apply to ownership of shares in a large public company? Shareholders of a
company, such as Royal Mail, cannot use any of the assets held by the corporation for their
personal use. Under corporate law, companies are legal persons and in that capacity they own the
assets and use them in accordance with the directions given by the directors. If any shareholder
were to attempt to posses the assets and use them for personal enjoyment, they’ll be accused of
theft and fraud.
Shareholders do not have a right to manage the company or its assets. Instead, they “elect”
directors for that purpose. Shareholders can vote on resolutions to constrain management, but
that`s not a right to manage the assets of the company. Most votes at annual general meetings of
UK corporations are advisory rather than binding. Directors owe a duty of care’ to the company
and not to any individual shareholder.
Shareholders invest in the hope of getting a return on their investment, but do not have the right
to demand income from the assets owned and used by the company. Shareholders can receive
dividends but only after directors agree to declare them.
Shareholders can continue to enjoy the benefits of shareholding, as long as the company remains
in existence, but cannot recover the capital represented by share certificates from the company.
They can sell their shares to another party and can transfer or bequeath shares to successors,
subject to the taxation laws of the country. The share certificates have some value, as long as the
company is solvent. But that`s it: a speculative commodity not a control.
Directors of a company can sell the assets held by the company, but shareholders do not have
rights to receive the proceeds. Shareholders do have a residual interest in the event of
bankruptcy, assuming that the assets have been sold to satisfy the prior claims of secured and
unsecured creditors. However, they might still not suffer the ultimate loss of their investment as
the state has bailed-out banks and other corporations.
Companies engage in harmful practices, from cartels, tax avoidance, bribery and corruption to
adulterated food, and company boardrooms manufacture diseases, such as those relating to
smoking and obesity. These harmful practices increase returns to shareholders and also blight the
lives of many, but shareholders are not liable for the consequences because their liability is
limited to the value of shares that they own but haven’t paid for. At AGMs, shareholders can ask
questions about harmful practices but they cannot bind directors to follow a particular business
strategy. The ultimate sanction is that shareholders can liquidate the company engaged in
harmful practices, but that is extremely rare. The state can liquidate a corporation engaged in
harmful practices, but shareholders are not required to make good the damage done to citizens.
Neoliberals claim that shareholders are the owners of companies. Nonsense. Shareholders own a
piece of paper that entitles them to receive income from a company. They do not own its assets,
cannot personally access them or use them. They have powers to appoint directors but cannot
direct them to use any particular business strategy. They cannot force directors to pay a dividend,
or demand a higher one. They cannot demand to see a company’s books, or personally audit
them. They can sit back and receive dividends, but are not responsible for the harmful use of the
resources generating those dividends.
Courts have long distinguished the special characteristics of corporations and do not support the
neoliberal propaganda. For example, in the 1935 case of Shaw & Sons (Salford) Ltd v Shaw, the
judges said that “A company is an entity distinct alike from its shareholders and its directors.
Some of its powers may, according to its Articles be exercised by directors; certain other powers
may be reserved for the shareholders in General Meeting. If powers of management are vested in
the directors, they and they alone can exercise those powers”. The 1908 case of Gramophone &
Typewriter Ltd v Stanley said that “even a resolution of a numerical majority at a general
meeting of the company cannot impose its will upon the directors when the articles have
confided to them the control of the company affairs. The directors are not servants to obey
directions given by the shareholders as individual; they are not agents appointed by and bound to
serve the shareholders as their principals”. Successive Companies Acts have codified directors’
duties, but they are not subject to control by any individual shareholder.
So the neoliberal notion that shareholders are the “owners” of companies has little economic and
legal substance. At best, share ownership results in a very weak notion of ownership, but not
sufficient to direct, control the company, its directors, assets or liabilities. Who owns the
company? The answer is that the company owns itself and is the sole andbeneficial owner of all
the property vested in it.
Challenges Ahead
Policymakers must move away from narrow concerns about shareholder welfare to building a
stakeholder economy. Corporations are created by the state and it has the legal and moral duty to
control them to ensure that they serve the entire community. Sadly too many politicians have
become subservient to the corporations which fund political parties and provide jobs for former
and potential ministers. So corporate interests get portrayed as “the public interest” and their
priorities dominate domestic and foreign policymaking. Such is the grip of corporations on
political life that swathes of publicly owned assets have been sold to economic elites at
knockdown prices. The result is wholesale destruction of savings, banking crisis, daily scandals.
The myth of shareholder power has created an unbalanced economy which lacks any sense of
direction, democracy or any concern for the welfare of society. Corporate power over society
should also be reduced by promoting alternative forms of business structures, such as
cooperatives, mutuals, not-for-profit and employees ownership.
Austin Mitchell is the Labour MP for Great Grimsby and Prem Sikka is the Professor of
Accounting, University of Essex
Daftar Pustaka
Fuady, Munir (1999). Pasar Modal Modren (Buku I) .Bandung: PT. CitraAdityaBakti.
Fuady, Munir (1999). Hukum Perusahaan: Dalam Paradigma Hukum Bisnis. Bandung:
PT. CitraAdityaBakti.
Fuady, Munir (1999). Hukum Kepalitan Modren, dalam Teori dan Praktek. Bandung:
PT. Cintra Aditya Bakti.
Chatamarrasjid (2000). Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing The Corporate Viel). Bandung:
PT.CitraAdityaBakti.
Sitompul, Asril. (2000) Pasar Modal: Penawaran Umum & Permasalahannya. Bandung:
PT. CitraAdityaBakti.
Usman, Marzuki, dkk. (1998). Pengetahuan Dasar Pasar Modal. Jakarta: Institut Bankir
Indonesia.
Subekti & Tjirosudibio.( 1983). Kitab Undang-Undang HukumDagang dan Undang-Undang
Kepailitan. Jakarta : PradnyaParamita.
Radjagukguk, Erman. (1998).Implementasi Lahirnya Perpu Kepailitan Terhadap Debitor
& Kreditor: Tinjauan Aspek Hukum. Jakarta : Makalah Seminar Kepailitan.
Muljadi, Kartini. (1998). Kompensasi Tagihan Dengan Setoran Harga Saham sebagai Salah
Satu Alternatif Penyelesaian Utang. Jakarta: Makalah Seminar Kepailitan.
Download