MODUL PERKULIAHAN Judul : Business Ethics and Corporate Governance Shareholder : Ownership Fakultas Program Studi Ekonomi dan Bisnis Magister Manajemen Tatap Muka/Maya 11 Kode MK Disusun Oleh 35040 Dr. Tri Mardjoko, SE, MA Abstract Kompetensi Pada hakekatnya, tanggung jawab pemegang saham sebatas pada jumlah nilai saham yang disetornya. Dia akan bertanggung jawab secara pribadi bila memenuhi salah satu kondisi: melakukan satu atau lebih hal yang mengakibatkan terjadinya pengungkapan tabir perusahaan tentang Perseroan Terbatas atau menjadi penanggung pribadi berdasarkan perjanjian penanggungan pribadi sehubungan dengan transaksi pemberian fasilitas kredit oleh bank kepada perusahaan yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kredit atau pinjaman tertentu. Bila dia diwajibkan untuk membayar, maka pemegang saham yang bersangkutan wajib membayar lunas seluruh dan setiap hutang yang harus dibayar oleh perusahaan. Setelah mempelajari topik ini diharapkan mahasiswa dapat memahami bagaimana penjelasan tentang pemegang saham perusahaan dengan hak dan kewajibannya terhadap para stakeholdernya. Pembahasan: PEMEGANG SAHAM DAN KEPEMILIKAN PERUSAHAAN Pemegang saham (bahasa Inggris: shareholder atau stockholder), adalah seseorang atau badan hukum yang secara sah memiliki satu atau lebih saham pada perusahaan. Para pemegang saham adalah pemilik dari perusahaan tersebut. Perusahaan yang terdaftar dalam bursa efek berusaha untuk meningkatkan harga sahamnya. Konsep pemegang saham adalah sebuah teori bahwa perusahaan hanya memiliki tanggung jawab kepada para pemegang sahamnya dan pemiliknya, dan seharusnya bekerja demi keuntungan mereka Pemegang saham diberikan hak khusus tergantung dari jenis saham, termasuk hak untuk memberikan suara (biasanya satu suara per saham yang dimiliki) dalam hal seperti pemilihan dewan direksi, hak untuk pembagian dari pendapatan perusahaan, hak untuk membeli saham baru yang dikeluarkan oleh perusahaan, dan hak terhadap aset perusahaan pada saat likuidasi perusahaan. Namun, hak pemegang saham terhadap aset perusahaan berada di bawah hak kreditor perusahaan. Ini berarti bahwa pemegang saham biasanya tidak menerima apa pun bila suatu perusahaan yang dilikuidasi setelah kebangkrutan (bila perusahaan tersebut memiliki lebih untuk membayar kreditornya, maka perusahaan tersebut tidak akan bangkrut), meskipun sebuah saham dapat memiliki harga setelah kebangkrutan bila ada kemungkinan bahwa hutang perusahaan akan direstrukturisasi. Pada hakekatnya, tanggung jawab pemegang saham sebatas pada jumlah nilai saham yang disetornya. Dia akan bertanggung jawab secara pribadi (tidak terbatas) bila memenuhi salah satu kondisi: a. b. melakukan satu atau lebih hal yang mengakibatkan terjadinya pengungkapan tabir perusahaan (piercing corporate veil; lihat Pasal 3 Undang-Undang No.1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas); atau menjadi penanggung pribadi (personal guarantor) berdasarkan perjanjian penanggungan pribadi sehubungan dengan transaksi pemberian fasilitas kredit oleh bank kepada perusahaan yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kredit atau pinjaman tertentu. Bila dia diwajibkan untuk membayar, maka pemegang saham yang bersangkutan wajib membayar lunas seluruh dan setiap hutang yang harus dibayar oleh perusahaan. Bila ada pemegang saham lain yang mempunyai kewajiban yang sama, maka pelaksanaan kewajiban pembayaran tersebut dilakukan secara tanggung renteng di antara para pemegang saham tersebut. Pihak kreditor sebagai pihak ketiga hanya berkepentingan dalam hal hutangnya lunas (dibayar), sedangkan urusan internal sehubungan dengan pertanggung jawaban secara tanggung renteng itu sewajarnya hanya menjadi urusan di antara para pemegang saham pada perusahaan yang bersangkutan. Kewajiban pembayaran oleh pemegang saham yang dimaksud di atas dapat timbul dari titik atau sudut pandang yang berlainan, yaitu dari salah satu dari kondisi butir (a) dan (b) di atas, atau bahkan keduanya. Dalam hal butir (a), pendekatan (baca: sudut pandang) yang dilakukan adalah pertanggung jawaban dilihat dari sisi ketentuan hukum perusahaan. Sedangkan, dalam hal butir (b), pendekatan yang kedua adalah pertanggung jawaban yang dilihat dari sisi struktur transaksi pemberian fasilitas kredit. Yang perlu diperhatikan disini adalah bahwa setiap dari kedua pendekatan tersebut tidak ada yang paling benar, karena hanya merupakan pendekatan dalam melakukan analisa apakah pemegang saham dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pribadi. Jadi, kondisi dimana/bila pemegang saham harus atau dapat bertanggung jawab secara pribadi tersebut lah yang harus lebih diperhatikan daripada sejauh mana kewajiban dia itu dapat dimintakan. Hak dan Kewajiban Pemegang Saham Kecuali dibatasi atau ditetapkan dalam akte pendirian perseroan atau oleh ketentuan perundangundangan yang berlaku, setiap jenis saham memberikan hak-hak dasar kepada para pemiliknya sebagai berikut: 1. Hak untuk ikut serta dalam pengelolaan perusahaan. Termasuk memilih anggota direksi dengan hak suara yang proporsional dengan hak kepemilikan sahamnya di dalam perusahaan, dan hak untuk memperoleh laporan keuangan perusahaan dan menentukan kebijakan-kebijakan strategis perusahaan. 2. Hak untuk mendapatkan pembagian laba dalam bentuk dividen yang dibagikan oleh perusahaan. 3. Hak untuk mendapatkan pembagian aktiva bersih perusahaan. Meliputi hak untuk membagi dividen dan hak memperoleh pembayaran kembali atas penyertaan modalnya apabila perusahaan harus dibubarkan atau dilikuidasi. 4. Hak untuk mengubah akte pendirian, anggaran dasar dan rumah tangga perusahaan. Meliputi hak untuk memberikan persetujuan atas perubahan-perubahan akte pendirian, anggaran dasar dan rumah tangga perusahaan, dan hak untuk mempertahankan rasio kepemilikan sahamnya diperusahaan. 5. Hak untuk dapat mempertahankan jumlah relative saham yang dimiliki melalui pembelian saham-saham baru yang diterbitkan oleh perusahaan yang disebut preemptive right. Yang memungkinkan seorang pemegang saham untuk membeli sejumlah saham tambahan dalam hal perusahaan melakukan emisi atau menerbitkan saham baru. Sebagai akibatnya, rasio kepemilikan saham tidak bisa dikurangi sebagai akibat dari penerbitan saham-saham baru yang dilakukan oleh perusahaan, kecuali pemegang saham tidak menggunakan haknya untuk membeli saham baru Tidak setiap pemegang saham memperoleh hak-hak dasar sebagaimana dikemukakan diatas. Sebagai contoh, preemptive right seringkali sudah dieliminasi melalui perubahan akta pendirian, anggaran dasar dan rumah tangga perusahaan. Disamping itu, memang sengaja tidak setiap pemegang saham diberikan hak-hak yang sama. Banyak perusahaan besar menerbitkan beberapa jenis sekuritas saham, dengan karakteristik dan hak-hak yang berbeda (hak suara dalam rapat umum pemegang saham, hak prioritas untuk memperolah pembayaran dividen, hak atas jumlah minimum dividen). Sedangkan, untuk kewajiban dari pemegang saham itu sendiri adalah sebagai berikut : Peraturan mengenai Perseroan Terbatas diatur didalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”). Di dalam UU PT mengatur mengenai tanggung jawab pemegang saham dalam Perseroan Terbatas. Menurut Pasal 3 ayat (1) UU PT, pemegang saham Perseroan Terbatas (“Perseroan”) tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki. Ketentuan di dalam pasal ini mempertegas ciri dari Perseroan bahwa pemegang saham hanya bertanggung jawab sebesar setoran atas seluruh saham dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya. Namun, masih ada kemungkinan pemegang saham harus bertanggung jawab hingga menyangkut kekayaan pribadinya berdasarkan Pasal 3 ayat (2) UU PT yang menyatakan bahwa ketentuan di dalam Pasal 3 ayat (1) tidak berlaku apabila: 1. persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; 2. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi; 3. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau 4. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan. Selain itu berkaitan dengan masalah likuidasi, menurut Pasal 150 ayat (5) UU PT pemegang saham wajib mengembalikan sisa kekayaan hasil likuidasi secara proporsional dengan jumlah yang diterima terhadap jumlah tagihan. Kewajiban untuk mengembalikan sisa kekayaan hasil likuidasi tersebut wajib dilakukan oleh pemegang saham apabila dalam hal sisa kekayaan hasil likuidasi telah dibagikan kepada pemegang saham dan terdapat tagihan kreditor yang belum UUPT 2007 Pertegas Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris Tugas serta tanggung jawab direksi dan komisaris perseroan dipertegas dalam UU PT yang baru. Dalam UU itu juga diperkenalkan adanya komisaris utusan. Hati-hati bila Anda menjabat direktur atau komisaris di suatu perusahaan. Pasalnya, Undang-Undang No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) mengatur lebih tegas tentang tanggung jawab keduanya. Bahkan UU itu memungkinkan direksi maupun komisaris untuk digugat ke pengadilan oleh pemegang saham, bila keduanya terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Setidaknya, Anda bisa membaca klausulnya dalam tabel di bawah. Sebenarnya, ketentuan tentang tanggung jawab direksi dan komisaris yang ada dalam UU No. 40/2007, tak jauh beda dengan UU PT yang lama (UU No. 1/1995). Namun, dalam UU PT yang baru ini, tanggung jawab itu dipertegas dan disempurnakan. Tujuannya supaya direksi dan komisaris itu tidak main-main dalam menjalankan usahanya, cetus Ratnawati W Prasodjo, Ketua Tim Perumus UU PT Dephukham, usai menjadi pembicara dalam Seminar UU PT bertajuk Menyongsong Berlakunya UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, di Jakarta, beberapa waktu lalu. Seperti diketahui, lebih dari 13 klausul dalam UU No. 40/2007 yang mengatur tentang tanggung jawab direksi dan komisaris. Menurut Ratna � panggilan akrab Ratnawati W Prasodjo � walaupun mengatur tanggung jawab secara tegas, namun masih ada pasal lain yang memberi ruang gerak bagi direksi dan komisaris untuk membela diri. Salah satunya diatur dalam Pasal 97. UU No. 40/2007 Pasal 97 Ayat (3) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Ayat (4) Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi. Ayat (6) Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan. Pasal 114 Ayat (3) Setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Ayat (6) Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat menggugat anggota Dewan Komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan ke pengadilan negeri. Dalam pasal itu, lanjut Ratna, direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian perusahaan, apabila dia dapat membuktikan salah satu dari 4 hal yang dikecualikan. Pertama, kerugian yang ditimbulkan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, kedua, direksi telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Ketiga, tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian, dan keempat telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. Demikian pula dengan tanggung jawab direksi dalam hal terjadinya kepailitan di perusahaan yang dia pimpin. Wanita yang juga berprofesi sebagai Partner di Pelita Harapan Law Firm ini memaparkan, anggota direksi dapat dibebaskan dari tanggung jawab membayar seluruh kewajiban perusahaan yang diputus pailit, asalkan dia bisa membuktikan tidak bersalah dan tidak lalai dalam menjalankan roda perusahaan. Indonesia tidak seperti Anglo Saxon, dimana mereka mengenal ada direksi aktif dan pasif. Kalau di sini (Indonesia, red) semua direksi aktif, ujarnya. UU No. 40/2007 Pasal 104 Ayat (2) Dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut. Ayat (4) Anggota Direksi tidak bertanggungjawab atas kepailitan Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila dapat membuktikan: a. kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggungjawab untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan; dan d. telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan. Lantas, apakah semua anggota direksi bisa melakukan perbuatan yang mewakili perseroan? Prinsipnya demikian, jawab Ratna. Hal ini berlaku juga dengan tanggung jawabnya. Semua anggota direksi, menurutnya, bertanggung jawab dan tidak bisa saling menyalahkan bila ada kerugian perusahaan. Lalu bagaimana dengan komisaris? Komisaris juga harus bertanggungjawab seperti halnya direksi. Pengaturan tentang tanggung jawab komisaris ini adalah hal yang baru, yang sebelumnya tidak diatur dalam UU No. 1/1995. Sama halnya dengan direksi, dalam UU No. 40/2007 dimungkinkan juga bagi komisaris untuk tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian perusahaan. UU No. 40/2007 Pasal 114 Ayat (5) Anggota Dewan Komisaris tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan: a. telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; b. tidak mempunyai kepentingan pribadi baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan Direksi yang mengakibatkan kerugian; dan c. telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. AD harus mencantumkan Komisaris Utusan Ratna menambahkan, dalam UU No. 40/2007 bahkan diperkenalkan adanya komisaris utusan. Sebenarnya, sambung dia, komisaris utusan ini sudah lama dikenal di negara lain. Menurutnya, tugas dari komisaris utusan hampir mirip dengan compliance director, yang ada dalam ranah perbankan. Nantinya, setiap perusahaan harus mengatur komisaris utusan di dalam anggaran dasar masing-masing kata Ratna. Ide diperkenalkannya komisaris utusan ini, sambung Ratna, melalui proses hearing dengan berbagai pihak. Salah satunya dengan Bank Indonesia (BI). Pada dasarnya, kata dia, BI mengakui kalau komisaris utusan tak ubahnya compliance director, asalkan UU itu mengatur tentang itu. Senada dengan Ratna, Notaris dan PPAT senior, A Partomuan Pohan, mengemukakan, komisaris utusan seperti halnya komisaris yang lain. Bedanya, kata dia, komisaris utusan lebih rutin di kantor, sehingga dia bisa mengontrol lebih efektif. Tidak mungkin, kalau semua komisaris dari watu ke waktu selalu ada di kantor. Oleh karena itu, rapat dewan komisaris menentukan, salah satu diantara mereka untuk menjadi komisaris utusan. Tugasnya, melaksanakan fungsi dari dewan komisaris from day to day, tuturnya panjang lebar. Hanya saja, komisaris ini tidak bisa menindak dalam melakukan pengawasan. Sebab, menurutnya, keputusan mengenai penindakan tetap pada dewan komisaris. Menurut Partomuan, ketentuan lebih lanjut tentang komisaris utusan ini juga akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Selain komisaris utusan, dalam UU No. 40/2007 juga dimungkinkan dibentuk komite oleh dewan komisaris dalam melakukan pengawasan. Komite ini meliputi komite audit, komite remunerasi dan komite nominasi. UU No. 40/2007 Pasal 121 Ayat (1) Dalam menjalankan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108, Dewan Komisaris dapat membentuk komite, yang anggotanya seorang atau lebih adalah anggota Dewan Komisaris. Ayat (2) Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Dewan Komisaris. Penjelasan UU No. 40/2007 Pasal 121 Ayat (1) Yang dimaksud dengan komite, antara lain komite audit, komite remunerasi, dan komite nominasi Ginting: Kedudukan Pemegang Saham (Investor) Dalam Kepailitan Perusahaan... KEDUDUKAN PEMEGANG SAHAM (INVESTOR) DALAM KEPAILITAN PERUSAHAAN GO PUBLIC Jamin Ginting ABSTRACT Shareholder of company that sells its shares to public and eventually has public shareholders, popularly know as go-public company, are the last to get the benefits if theircompany is declared insolvent, that is bankrupt. This condition certainly put the said people in a very weak position, whereas as investors they should enjoy more legal protection and not the opposite. By law the Governtment Institution for Investment called Bapepam is required to provide a disclosed information regulation for a go public company against which abanckruptcy is filed. This would assist the interested whether or not to join the company. This working paper concerns with the legally weak position of the shareholders. What legal basis are being based on this situation and how far do the laws and regulations give legal guarantee and security to the investors of a go-public company. Keywords : Shareholder, go-public. Investment and bankruptcy. Pendahuluan Satu hal yang sangat ditakutkan oleh investor untuk membeli saham perusahaan go publik atau perusahaan terbuka (FT. Tbk.) adalah lemahnya perlindungan hokum terhadap perusahaan go public jika mengalami pailit dan bahkan sampai pada keadaan dilikuidasi. Peran investor lokal maupun asing pada saat ini cukup besar dalam melakukan investasi di perusahaan terbuka, khususnya terhadap perusahaan yang memang diyakini dapat memberikan prospek keuntungan yang besar bagi investor, di sisi lain emiten dengan segala cara berusaha untuk menarik minat investor tersebut bahkan terkadang terkesan mengelabui pihak investor, hal ini tidak saja berupa kesengajaan atau kesalahan manajemen yang membuat emiten bangkrut, tetapi disamping itu juga merupakan perbuatan yang direncanakan misalnya right issue dengan rasio yang hampir tidak masuk akal dan nilai nominal yang berbeda, serta bentuk right issue lain yang jika dicermati merupakan suatu rekayasa (hostile take over). Kenyataan tragis yang membuat 64 bank dilikuidasi atau dibeku operasikan (BBO) pemerintah sejak akhir 1997 hinggal 1999 dan merger beberapa bank pemerintah dewasa ini telah membuat investor di pasar modal menderita rugi besar. Dari 64 bank itu, 11 bank diataranya adalah bank go public.1 Ada 2 faktor utama penyebab terlikuidasinya bank go public tersebut, pertama, kebangkrutan yang memang disebabkan oleh tekanan krisis ekonomi, kedua, kebangkrutan akibatkesalahanmanajemen. Kedua faktor tersebut ditambah lagi oleh sikap otoritas pasar modal seperti Bapepam dan penyelenggara bursa efek yang tidak menggalakkan transparansi informasi, misalnya ketika itu ada saham bank yang harganya masih menguat sehari sebelum dilikuidasi. Hal ini membuktikan bahwa kinerja bank yang sesungguhnya tidak diketahui oleh investor atau kemungkinan penyebabnya yaitu kinerja yang dipublikasi mengandung data palsu atau memang manajemen bank tidak mempublikasikan kinerjanya. Disinilah peran Bapepam selaku otoritas pasar modal untuk lebih bijak dalam mendapatkan informasi dari perusahaan yang akan dilikuidasi atau dimohonkan pailit dan menyampaikan informasi tersebut kepada investor secaracepat, akurat, transparan, adil dan merata. Permasalahan terhadap kepailitan dalam perusahaan terbuka adalah bagaimana kedudukan pemegang saham (investor) terhadap kepailitan perusahaan go public dan upaya-upaya perlindungan terhadap pemegang saham perusahaan go public. Karakteristik Perusahaan Go Public Pada prinsipnya perusahaan go public merupakan perluasan dari perusahaan biasa (PT. Tertutup), dalam Pasal 1 butir 22 Undang-Undang Pasar Modal No. 8 Tahun 1995 (UUPM No. 8/1995), disebutkan sebagai berikut: "Perusahaan Publik adalah perseroan yang sahamnya telah dimiliki sekurangkurangnya oleh 300 (tiga ratus) pemegang saham dan memiliki modal disetor sekurang-kurangnya Rp.3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah". Dalam perusahaan publik prinsip disclosure (keterbukaan) lebih diutama-kan, karena perusahaan publik mernUiki/menghimpun danadari masyarakat umum yang diperoleh dari penjualan saham/obligasi di bursa efek, sehingga untuk dapat menjadi perusahaan publik hams memperoleh ijin efektif dari Bapepam selaku pengawas pelaksanaan pasar modal di Indonesia dengan melalui ketentuan hukum sebagaimana diatur dalam UUPM No. 8/1995 dan keputusankeputusan Ketua Bapepam yang mengatur ketentuan dan syarat-syarat untuk menjadi perusahaan publik, berikut ini beberapa karakteristik dari perusahaan publik. a) saham dijual melalui bursa saham setelah mendapat ijin efektif dari Bapepam. b) Jumlah dan pemegang saham cukup banyak jumlahnya, sehingga kontrol dan sorotan masyarakat terhadap kinerja perusahaan semakin tinggi terutama tuntutan terhadap^jt/rness fan fair play. c) Adanya kewajiban perusahaan untuk membukadiri {disclosure principle) d) Adanya pemisahan yang tegas antara pemilik dengan manajemen perusahaan e) Adanya kontrol dari Bapepa terhadap perusahaan untuk segala tindakan yang menyangkut saham publik t) Memiliki prospektus untuk kelayakan sebagai perusahaan publik dan sebagai gambaran keadaan perusahaan. Perusahaan publik wajib mengungkapkan informasi penting melalui laporan tahunannya serta laporan keuangan kepada para pemegang saham maupun laporan-laporan lainnya kepada Bapepam, bursa efek, serta kepada masyarakat dengan cara yang tepat waktu, akurat, dapat dimengerti dan obyektif. Dalam menjalankan perusahaan, RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) merupakan organ tertinggi dari perusahaan. Segala kebijakan yang diambil dalam RUPS tersebut harus disampaikan kepada para pemegang saham, Bapepam, bursa efek dan masyarakat. Para pemegang saham di dalam perusahaan serta"orang dalam" lainnya sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 95 UUPM No. 8/1995 tidak boleh memanfaatkan informasi orang dalam berkaitan dengan penanganan sahamsaham perusahaan untuk kepentingan pribadi yang dapat mengakibatkan kerugian bagi pemegang saham lainnya dan atau perusahaan publik tersebut. Kegiatan perdagangan orang dalam ini sering juga disebut sebagai kejahatan insider trading. Karakteristik Hukum Kepailitan Tujuan utama dari hokum kepailitan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Kepailitan No. 4 Tahun 1998 (UUK No. 4/1998), sebenarnya bukanlah untuk melikuidasi perusahaan, tetapi memberikan kepastian kepada kreditur terhadap piutangnya untuk dibayar. Sehingga usaha-usaha untuk mendapatkan kembali piutang tersebut dapat melalui restrukturisasi perusahaan, penjadwalan hutang maupun dengan pembagian harta debitursetelahpailit Adapun yang dapat penulis ketengahkan dari ciri dan karakteristik hukum kepailitan adalah sebagai berikut: a) Hukum kepailitan bertujuan untuk meningkatkan asset harta pailit, dan memberikan kepastian hukum terhadap pembagian harta pailit yang adil berdasarkan proritas kreditur. b) Menghindari tindakan-tindakan debitur mengalihkan asset/harta pailit, baik untuk kepentingan kreditur tertentu ataupun oleh kepentingan pihak ketiga. c) Dalam pengurusan harta pailit diangkat seorang curator bersamaan dengan putusan pailit yang bertugas sebagai pengurus dan pemberes harta yang dalam tindakannya diawasi oleh hakim pengawas. d) Putusan pailit hanya dapat diajukan minimum oleh 2 orang kreditur atau lebih yang piutangnya telah jatuh waktu (tempo) dan dapat ditagih tetapi tidak dibayar oleh debitur. e) Pemohon pailit berdasarkan Pasal 1 UUK No. 4/1998, dapat berupa perorangan, badan hukum, kejaksaan untuk kepentingan umum, Bank Indonesia untuk debitur yang merupakan bank dan Bapepam untuk debitur yang merupakan perusahaan efek. Status Perusahaan Go Public Setelah Putusan Pailit Seperti layaknya perusahaan tertutup, setelah putusan pernyataan pailit diputuskan, perusahaan public kehilangan hak kepengurusan dan penguasaan kekayaan sejak hari diucapkannya pernyataan pailit oleh hakim (Pasal 22 UUK No. 4/1998), segala pengurusan dan atau pemberesan harta perusahaan public diberikan kepada kurator (Pasal 12 ayat 1 UU Kepailitan) yang diangkat bersamaan dengan putusan pailit berdasarkan Pasal 13 ayat 1 b UUK No. 4/1998) Direksi perusahaan publik sebagai pelaksana kegiatan perusahaan hanya dapat bekerjajika diminta oleh curator dan tidak mempunyai kewenangan mewakili perusahaan baik di dalam maupun di luar pengadilan, sehingga segala gugatan hukum berkenaan dengan hak dan kewajiban harta pailit perusahaan publik tersebut diajukan oleh atau terhadap kurator. Direksi perusahaan publik juga dapat dicekal (terjadi karena hukum) tetapi hal ini tidak berlaku bagi komisaris dan pemegang saham publik hanya diwajibkan pelaporan saja, kecuali ada indikasi melakukan tindakanhukum seperti yang dimaksud dalam prinsip Piercing Corporate Veil dan Ultra Vires yang akan dibahas dalam sub bab pertanggungan jawab pemegang saham. a. Pengurusan oleh Kurator dan Peran Bapepam Peran kurator dalam pengurusan sangat besar terhadap harta pailit, dapat dikatakan bahwa curator merupakan general manager baru untuk seluruh kegiatan perusahaan mulai dari putusan pailit sampai dengan rehabilitasi terhadap debitur bahkan kewenangan tersebut terasa sangat berlebihan karena dalam segala tindakannya terhadap harta pailit perusahaan, kurator tidak diharuskan memperoleh persetujuan dan atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada hakim pengawas yang diberikan kewenangan untuk mengawasi tindakan-tindakan kurator, tetapi untuk tindakan tertentu perlu mendapat persetujuan dari hakim pengawas4 seperti: 1) tindakan untuk mengalihkan harta pailit sebelum putusan pailit; 2) menjaminkan harta pailit; 3) menghadap di muka pengadilan; dan 4) melanjutkan usaha debitur sebelum verifikasi dan lain sebagainya. Pengurusan dan pemberesan harta pailit terhadap perusahaan publik samadengan perusahaan biasa, seluruhnya diberikan kepada curator sebagai pengurus dan pemberes harta pailit. Hanya saja dalam praktek, kurator harus bekerja sama dengan pengelola perdagangan bursa efek dan Bapepam. Satu hal yang menurut penulis harus dibedakan dari pengurusan dan pemberesan harta palit perusahaan publik ialah peran Bapepam terhadap kelangsungan perusahaan publik yang pailit, peran Bapepam sebagai pelindung dari investor (pemegang saham perusahaan go public) seharusnya tidak hanya membuat peraturan pada saat perusahaan akan melakukan go public saja tetapi juga harus memikirkan nasib investor apabila perusahaan publik mengalami kepailitan, selain kurator dan hakim pengawas yang mengawasi pelaksanaan pemberesan dan atau pengurusan harta pailit, dalam perusahaan publik, Bapepam juga harus dilibatkan sebagai lembaga pengawas terhadap tindakan kurator karena pemegang saham publik merupakan bagian dari kreditur perusahaan publik yang mempunyai kepentingan terhadap harta pailit. Pada saat ini peran Bapepam yang ada hanya pelaporan dari emiten jika dimohonkan pailit yang diatur dalam Keputusan Ketua Bapepam Nomor : Kep-46/PM/ 1998, Nomor : X.K.5, tentang Keterbukaan Informasi bagi emiten atau perusahaan publik yang dimohonkan pernyataan pailit, yang menyebutkan sebagai berikut5 : 1) Emiten atau Perusahaan Publik yang gagal atau tidak mampu menghindari kegagalan untuk membayar kewajibannya terhadap pemberi pinjaman yang tidak terafdiasi, maka Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyampaikan laporan mengenai hal tersebut kepada Bapepam dan Bursa Efek dimana Efek Emiten atau Perusahaan Publik tercatat secepat mungkin, paling lambat akhir hari kerja ke-2 (kedua) sejak Emiten atau Perusahaan Publik mengalami kegagalan atau mengetahui ketidakmampuan menghindari kegagalan dimaksud. 2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 wajib memuat antara lain rincian mengenai pinjaman termasuk jumlah pokok dan bunga, jangka waktu pinjaman, nama pemberi pinjaman, penggunaan pinjaman dan alasan kegagalan atau ketidakmampuan menghindari kegagalan. 3) Dalam hal Emiten atau Perusahaan Publik diajukan ke Pengadilan untuk dimohonkan pernyataan pailit, maka Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyampaikan laporan mengenai hal tersebut kepada Bapepam dan Bursa Efek dimana Efek Emiten atau Perusahaan Publik tercatat secepat mungkin, paling lambat akhir hari kerja ke-2 (kedua) sejak Emiten atau Perusahaan Publik mengetahui adanya permohonan pernyataan pailit dimaksud. 4) Laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 wajib memuat antara lain nama pemberi pinjaman yang mengajukan pailit, ringkasan permohonan pernyataan pailit dan jumlah pinjaman lainnya. 5) Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 UUPM No. 8/1995, tentang Pasar Modal yang mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Pengadilan terhadap Emiten atau Perusahaan Publik Wajib menyampaikan laporan kepada Bapepam dan Bursa Efek dimana Efek Emiten atau Perusahaan Publik tercatat mengenai hal tersebut secepat mungkin, paling lambat akhir hari ke-2 (kedua) pengajuan permohonan pernyataan pailit. 6) Laporan sebagaimanadimaksud dalam peraturan ini merupakan dokumen publik yang tersedia bagi masyarakat di Pusat Referensi Pasar Modal sesuai dengan Peraturan Nomor II. A.2 tentang Prosedur Penyediaan Dokumen bagi Masyarakat di Pusat Referensi Pasar Modal. 7) Bursa Efek wajib mengumumkan informasi sebagaimana dimaksud dalam peraturan ini di Bursa Efek pada hari yang sama dengan diterimanya informasi tersebut oleh Bursa efek. Dari Keputusan Ketua Bapepam tersebut jelas bahwa proses kepailitan dalam perusahaan publik cukup penting terlebih informasi yang diberikan, karena sangat berpengaruh terhadap sahamsaham publik terlebih terhadap investor yang menanamkan sahamnya di perusahaan yang dimohon pailit tersebut. Sehingga Bapepam hams mendapat informasi secepat mungkin terhadap per-usahaan publik yang dimohonkan pailit guna kepentingan pemegang saham publik. b. Pembagian harta pailit Pada prinsipnya segala kebendaan si berhutang (debitur), baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan dan kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan bendabenda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masingmasing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.6 Adapun hirarki dari para kreditur berdasarkan keseimbangan pembagian harta pailit adalah : 1)Kreditur Preference, yaitu kreditur pemegang hak tangungan dan hak gadai, yang dapat bertindak sendiri. Kreditur golongan ini dapat menjual sendiri barang-barang yang menjadi jaminan, seolah-olah tidak ada kepailitan; 2) Kreditur istimewa, yaitu kreditur yang karena sifat piutangnya mempunyai kedudukan istimewa dan mendapat hak untuk memperoleh pelunasan lebih dahulu dari penjualan harta pailit; dan 3) Kreditur Konkuren, pelunasan tagihan-tagihan yang diambil dari harta pailit setelah dikurangi dengan pelunasan untuk kreditur preference dan kreditur istimewa, dibagi menurut pertimbangan besarkecilnyapiutang mereka. Bagaimana dengan para pemegang saham publik (investor)? para pemegang saham publik merupakan kreditur yang termasuk dalam kreditur bersaing (konkuren), merupakan kreditur yang mendapat bagian terakhir terhadap harta pailit seadainya ada deviden dari saham tersebut yang belum dibayar kepada para pemegang saham publik maka pemegang saham hanya bisa menunggu sisadari harta pailit yang masih ada. Inilah kelemahan dari pemegang saham publik yang memiliki risiko besar terhadap saham yang dimilikinya, sehingga sebelum membeli saham publik, investor harus lebih berhati-hati dalam melakukan pilihan investasi dan peran Bapepam sebagai pengawas pasar modal. c. Pertanggungan jawab pemegang saham Pada dasarnya setiap pemegang saham hanya bertanggung jawab sebatas saham yang dimilikinya atas kerugian perseroan (Pasal 3 ayat 1 UU PT No. 1/1995) tetapi ada suatu paradigma baru dalam UU PT No. 1 Tahun 1995 yang menganut prinsip Piercing Corporate Veil yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai menyingkap tabir atau cadar perseroan8. Pertanggungan jawab terbatas tersebut tidaklah mutlak, dalam keadaan tertentu tanggung jawab terbatas tersebut tidak berlaku karena ada pengecualiannya. Hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 3 ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut: "(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila: a. persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi. b. Pemegang saham yang bersangku tan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan sematamata untuk kepentingan pribadi. c. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau d. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan" Dengan demikian terlihat bahwa pemegang saham dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara pribadi terhadap harta-harta yang dimilikinya, jika terbukti telah memenuhi kriteriayang terdapat dalam Pasal 3 ayat 2 UUPT tersebut di atas. Bagaimana dengan para pemegang jawaban pemegang saham tersebut saham publik, peraturan pertanggungjuga berlaku pada kegiatan perusahaan yang melakukan akti vitas di pasar modal karena ketentuan dalam pasar modal belum mengatur mengenai ketentuan ini, hal ini berdasarkan apsal 127 UU PT No. 1 Tahun 1995. Ada perbedaan dengan perusahaan tertutup yaitu pemegang saham dalam perusahaan publik dapat kita bagi menjadi 2 bagian: a) pemegang saham perusahaan publik yang turut menentukan arah kebijaksanaan perusahaan. (saham pengendali) b) pemegang saham publik yang tidak turut serta dalam menjalankan kebijaksanaan perusahaan. (saham biasa) Pemegang saham publik yang tidak turut serta dalam menjalankan perusahaan biasanyamembeli saham perusahaan publik ini pada pasar perdana (primary market) dan pasar sekunder (secondary market) dimana sahamsaham tersebut hanya dijual sebagian kecil saja9, sehingga para pemegang saham publik yang diperoleh dari kedua pasar tersebut tidak terpengaruh dalam kebijaksanaan perusahaan, sehingga kemungkinan untuk melakukan tindakan yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat 2 UU PT. No. 1 Tahun 1995 sangat kecil dan seandainya juga ada kolaborasi di antara para pemegang saham tersebut untuk mempengaruhi kebijaksanaan perusahaan public tersebut pemegang saham ini tidak mempunyai hak untuk menentukan kebijakan dalam perusahaan public tersebut. Umumnya para pendiri suatu perseroan tidak ingin perusahaannya dikendalikan oleh orang lain dengan penjualan saham di atas dari separuh jumlah sahamnya yang dijual di pasar perdana maupun sekunder. Pemegang saham yang menentukan kebijaksanaan perusahaan adalah pemegang saham yang memperoleh saham dari pendirian perseroan dan pada saat akan dilakukan go public pemegang saham ini mendapat perlakuan istimewa dari penerbitan sahamsaham (right issue) yang disebut sebagai preemptive rights. Para pemegang saham inilah yang menentukan arah dan kebijaksanaan perusahaan sehingga para pemegang saham ini umumnya bertindak sebagai Direksi dan Komisaris. Dalam hal ini maka berdasarkan Pasal 3 ayat 2 UU PT. No. 1 Tahun 1995, pemegang saham ini dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi terhadap segala tindakannya yang termasuk dalam ketentuan pasal tersebut. Bahkan dalam Pasal 45 KUHD10 menyebutkan sebagai berikut: "Tanggung jawab para pengurus adalah tak lebih daripada untuk menunaikan tugas yang diberikan kepada mereka dengan sebaikbaiknya; mereka pun karena segala perikatan dari perseroan, dengan diri sendiri tidak terikat kepada pihak ketiga. Sementara itu, apabila mereka melanggar sesuatu ketentuan dalam akta atau tentang perubahan yang kemudian diadakannya mengenai syarat-syarat pendirian, maka atas kerugian yang karenanya telah diderita oleh pihak ketiga, mereka itupun masing-masing dengan diri sendiri bertanggung jawab untuk seluruhnya". Perbuatan pengurus tersebut dapat disebut sebagai Ultra Vires" yaitu perbuatan-perbuatan tertentu, yang apabila dilakukan manusia adalah sah, ternyata berada di luar kecakapan bertindak PT (tidak tercakup dalam maksud dan tujuan PT) yang diatur dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas, sehingga pemegang saharn yang melakukan tindakan dalam pelaksanaan dan turut serta dalam kebijaksanaan perusahaan dapat dimintakan pertanggungan jawab sendiri-sendiri secara pribadi. Upaya Perlindungan Terhadap Pemegang Saham Publik Ada beberapa usaha yang menurut penulis dapat meringankan beban para pemegang saham perusahaan yang pailit yaitu: a. Permohonan pailit oleh pemegang saham publik Dilema yang dihadapi pada saat ini adalah apakah pemegang saham publik dapat melakukan gugatan pailit terhadap perusahaan publik dan apakah hal ini menguntungkan bagi pemegang saham publik atau justru merugikan ? Seperti telah disebutkan pada bab sebelumnya pemegang saham publik digolongkan ke dalam pemegang saham konkuren (bersaing), ini berarti pemegang saham public dapat melakukan permohonan pailit terhadap perusahaan publik. Jika pemegang saham public melakukan gugatan pailit terhadap perusahaan publik, makaalasan yang paling tepat adalah jika perusahaan publik tersebut tidak membayar deviden dari saham pada saat jatuh tempo dan dapat ditagih dan untuk itu dibutuhkan 2 atau lebih dari pemegang saham publik. Jika hal ini dilakukan dan proses kepailitan benar-benar terjadi, keuntungan yang didapat dari pemegang saham publik sebagai kreditur tentu sangat kecil, karena statusnya adalah sebagai kreditur konkuren, kecuali jika para pemegang saham perusahaan public tersebut ingin mengadakan spekulasi untuk menurunkan nilai saham atau merusak citra perusahaan publik tersebut. Disinilah perlu peran Hakim Pengadilan Niaga untuk menilai kelayakan permohonan pailit, apakah sudah benar-benar dapat memberikan keadilan bagi perusahaan publik, investor maupun kreditur lain. b. Restrukturisasi perusahaan Upaya untuk menghindari terjadinya kepailitan dalam perusahaan publik sebenarnya dapat dicegah dengan mengadakan usaha-usaha restrukturisasi dalam perusahaan dengan jalan sebagai berikut: 1) Emiten dapat menerbitkan saham baru sebagai kompensasi hutanghutang pihak emiten kepada kreditur, sehingga hutang-hutang tersebut dapat dikonversikan ke saham, sehingga perusahaan dapat melanjutkan usahanya dengan modal yang likuid dan piutang kreditur dapat dijamin dengan saham baru. 2) Merger, perusahan publik yang tidak sanggup tersebut dapat melakukan merger dengan perusahaan lain yang sehat, hal ini baik dilakukan terhadap perusahaan yang masih dalam satu group usaha. 3) Akuisisi melalui pasar modal, yaitu dengan penjualan saham besar-besaran kepada investor dengan memberikan hak untuk merubah struktur kepemilikan dan pengurusan perusahaan. Kesimpulan Pada prinsipnya pemegang saham publik (investor) adalah pihak yang paling lemah jika terjadi kepailitan dalam perusahaan publik, karena merupakan kreditur konkuren yang mendapat perlakuan terakhir dari pembagian harta pailit dan itu pun jika masih ada tersisa. Pemegang saham publik dapat melakukan tuntutan pidana terhadap perusahaan public jika terdapat kecurangan, penipuan serta berbagai tindakan yang langsung maupun tidak langsung telah merugikan kepentingan pemegang saham publik di pasar modal. Upaya yang dilakukan untuk melindungi Investor apat berupa upaya permohonan pailit oleh pemegang saham publik atau juga dapat mengajukan usulan untuk mengadakan rekstruturisasi perusahaan publik. Sudah saatnya Bapepam membuat aturan hukum bagi perlindungan saham publik yang diakibatkan pailitnya perusahaan publik dan Bapepam lebih adil, cepat dan transparan dalam menyampaikan informasi terhadap pemegang saham publik terhadap informasi-informasi kinerja dari perusahaan publik, untuk menghindari risiko yang akan dihadapi pemegang saham publik (investor). ----------------------------------------------------------------------- Neoliberals claim that shareholders are the owners of companies. This is nonsense, argues Austin Mitchell MP and Prem Sikka, Professor of Accounting, University of Essex In its 2013 report, the Parliamentary Commission on Banking Standards concluded that “shareholders failed to control risk-taking in banks, and indeed were criticising some for excessive conservatism”. The Commission rightly recommended that company law should be changed to remove shareholder primacy in respect of banks, and require directors to ensure the financial safety and soundness of the company ahead of the interests of its shareholders. No political party has had the good sense to follow up the above recommendations from a Committee, which included a former Conservative Chancellor Lord Lawson. Instead, economic elites continue to preach the futile myths about empowering shareholders to check corporate abuses. The Department of Business, Innovation and Skills (BIS) claims that the “role of shareholders as owners of companies is crucial. It is they who are best placed to assess the governance of companies and engage with their boards on key governance and other issues”. The illusion of shareholders as owners is rarely questioned in the press. This myth of shareholder supremacy has to go. It’s obstructing the development of a stakeholder economy. Neoliberals equate “ownership” of shares with ownership of companies. Yet they provide neither theory nor evidence to support this claim. We can all enjoy a legal right to own a pen, a pencil, a car or a house, something which gives us rights, powers, liberties, duties and liabilities. We can use and destroy a pen. If a car that we own injures someone then we can be held liable. If we hold late-night parties at our houses which disturb others, police can be called to remind us of our obligations to neighbours. But ownership of shares in large companies is not like that. Characteristics of Ownership The characteristics of ownership have long been explored by scholars and courts. Let`s list them to see whether the possession or ownership of shares passes the tests implicit in the characteristics. The Rights of ownership include: (1) The right to possess: to have exclusive physical control of athing. (2) The right of personal use and enjoyment of the thing. (3) The right to manage: the right to decide how and by whom the thing owned shall be used, (4) The right to income: receive benefit from foregoing personal use of the thing and allowing others to use it for reward. (5) The incident of residuarity: It is a characteristic of ownership that an owner has a residuary right in the thing owned. The idea of ownership confers powers, liberties and immunities. These include: (1) The right to the capital: the right to capital consists of the power to transfer ownership to others through exchange, selling, gift and mortgage, etc. (2) The power to transfer ownership to successors. (3) The liberty to consume, waste or destroy the thing in question. (4) The right to security: the owner should be able to look forward to retaining ownership indefinitely, if s/he so chooses and remains solvent. But ownership isn’t just about rights and powers; it also confers duty and liability towards others. This includes: (1) the prohibition of harmful use: the owner must not use the thing to harm others, and s/he must also prevent others from using the think to harm citizens. Violation of this duty would lead to penalties. (2) The thing owned can be taken away to satisfy a debt either either by execution of a judgment debt or on insolvency. What do Shareholders Own? How does the above apply to ownership of shares in a large public company? Shareholders of a company, such as Royal Mail, cannot use any of the assets held by the corporation for their personal use. Under corporate law, companies are legal persons and in that capacity they own the assets and use them in accordance with the directions given by the directors. If any shareholder were to attempt to posses the assets and use them for personal enjoyment, they’ll be accused of theft and fraud. Shareholders do not have a right to manage the company or its assets. Instead, they “elect” directors for that purpose. Shareholders can vote on resolutions to constrain management, but that`s not a right to manage the assets of the company. Most votes at annual general meetings of UK corporations are advisory rather than binding. Directors owe a duty of care’ to the company and not to any individual shareholder. Shareholders invest in the hope of getting a return on their investment, but do not have the right to demand income from the assets owned and used by the company. Shareholders can receive dividends but only after directors agree to declare them. Shareholders can continue to enjoy the benefits of shareholding, as long as the company remains in existence, but cannot recover the capital represented by share certificates from the company. They can sell their shares to another party and can transfer or bequeath shares to successors, subject to the taxation laws of the country. The share certificates have some value, as long as the company is solvent. But that`s it: a speculative commodity not a control. Directors of a company can sell the assets held by the company, but shareholders do not have rights to receive the proceeds. Shareholders do have a residual interest in the event of bankruptcy, assuming that the assets have been sold to satisfy the prior claims of secured and unsecured creditors. However, they might still not suffer the ultimate loss of their investment as the state has bailed-out banks and other corporations. Companies engage in harmful practices, from cartels, tax avoidance, bribery and corruption to adulterated food, and company boardrooms manufacture diseases, such as those relating to smoking and obesity. These harmful practices increase returns to shareholders and also blight the lives of many, but shareholders are not liable for the consequences because their liability is limited to the value of shares that they own but haven’t paid for. At AGMs, shareholders can ask questions about harmful practices but they cannot bind directors to follow a particular business strategy. The ultimate sanction is that shareholders can liquidate the company engaged in harmful practices, but that is extremely rare. The state can liquidate a corporation engaged in harmful practices, but shareholders are not required to make good the damage done to citizens. Neoliberals claim that shareholders are the owners of companies. Nonsense. Shareholders own a piece of paper that entitles them to receive income from a company. They do not own its assets, cannot personally access them or use them. They have powers to appoint directors but cannot direct them to use any particular business strategy. They cannot force directors to pay a dividend, or demand a higher one. They cannot demand to see a company’s books, or personally audit them. They can sit back and receive dividends, but are not responsible for the harmful use of the resources generating those dividends. Courts have long distinguished the special characteristics of corporations and do not support the neoliberal propaganda. For example, in the 1935 case of Shaw & Sons (Salford) Ltd v Shaw, the judges said that “A company is an entity distinct alike from its shareholders and its directors. Some of its powers may, according to its Articles be exercised by directors; certain other powers may be reserved for the shareholders in General Meeting. If powers of management are vested in the directors, they and they alone can exercise those powers”. The 1908 case of Gramophone & Typewriter Ltd v Stanley said that “even a resolution of a numerical majority at a general meeting of the company cannot impose its will upon the directors when the articles have confided to them the control of the company affairs. The directors are not servants to obey directions given by the shareholders as individual; they are not agents appointed by and bound to serve the shareholders as their principals”. Successive Companies Acts have codified directors’ duties, but they are not subject to control by any individual shareholder. So the neoliberal notion that shareholders are the “owners” of companies has little economic and legal substance. At best, share ownership results in a very weak notion of ownership, but not sufficient to direct, control the company, its directors, assets or liabilities. Who owns the company? The answer is that the company owns itself and is the sole andbeneficial owner of all the property vested in it. Challenges Ahead Policymakers must move away from narrow concerns about shareholder welfare to building a stakeholder economy. Corporations are created by the state and it has the legal and moral duty to control them to ensure that they serve the entire community. Sadly too many politicians have become subservient to the corporations which fund political parties and provide jobs for former and potential ministers. So corporate interests get portrayed as “the public interest” and their priorities dominate domestic and foreign policymaking. Such is the grip of corporations on political life that swathes of publicly owned assets have been sold to economic elites at knockdown prices. The result is wholesale destruction of savings, banking crisis, daily scandals. The myth of shareholder power has created an unbalanced economy which lacks any sense of direction, democracy or any concern for the welfare of society. Corporate power over society should also be reduced by promoting alternative forms of business structures, such as cooperatives, mutuals, not-for-profit and employees ownership. Austin Mitchell is the Labour MP for Great Grimsby and Prem Sikka is the Professor of Accounting, University of Essex Daftar Pustaka Fuady, Munir (1999). Pasar Modal Modren (Buku I) .Bandung: PT. CitraAdityaBakti. Fuady, Munir (1999). Hukum Perusahaan: Dalam Paradigma Hukum Bisnis. Bandung: PT. CitraAdityaBakti. Fuady, Munir (1999). Hukum Kepalitan Modren, dalam Teori dan Praktek. Bandung: PT. Cintra Aditya Bakti. Chatamarrasjid (2000). Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing The Corporate Viel). Bandung: PT.CitraAdityaBakti. Sitompul, Asril. (2000) Pasar Modal: Penawaran Umum & Permasalahannya. Bandung: PT. CitraAdityaBakti. Usman, Marzuki, dkk. (1998). Pengetahuan Dasar Pasar Modal. Jakarta: Institut Bankir Indonesia. Subekti & Tjirosudibio.( 1983). Kitab Undang-Undang HukumDagang dan Undang-Undang Kepailitan. Jakarta : PradnyaParamita. Radjagukguk, Erman. (1998).Implementasi Lahirnya Perpu Kepailitan Terhadap Debitor & Kreditor: Tinjauan Aspek Hukum. Jakarta : Makalah Seminar Kepailitan. Muljadi, Kartini. (1998). Kompensasi Tagihan Dengan Setoran Harga Saham sebagai Salah Satu Alternatif Penyelesaian Utang. Jakarta: Makalah Seminar Kepailitan.