INFRASTRUKTUR PERHUBUNGAN LAUT Nursini Abstrak

advertisement
INFRASTRUKTUR PERHUBUNGAN LAUT
Nursini
Abstrak
Studi ini bertujuan untuk: (i) menganalisis perkembangan transportasi laut di Pulau
Sulawesi, (ii) Masalah dan Tantangan Pembangunan Transportasi Perhubungan Laut, (iii)
menyusun rencana pengembangan perhubungan transportasi laut di Pulau Sulawesi.
Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan metode penelitian survey. Data yang
digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil FGD
dan wawancara kepada SKPD terkait yaitu Bappeda, Pelabuhan, Dinas Perhubungan.
Lokasi penelitian adalah 6 provinsi di Pulau Sulawesi. Setiap provinsi ditetapkan 1-2
kabupaten sebagai sampel. Pemilihan kabupaten dilakukan secara purporsive.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (i) Arus kunjungan kapal di Pulau Sulawesi
berfluktuasi dan proporsinya terhadap nasional cukup rendah. Demikian halnya selama
periode 2007-2010, terjadi ketidakseimbangan antar arus barang yang masuk dan arus
barang yang keluar di Pulau Sulawesi. Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Gorontalo
menunjukkan arus barang yang masuk (impor) lebih banyak daripada arus barang yang
keluar, sementara Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat mengalami arus barang
keluar lebih besar daripada arus barang masuk. (ii) masalah dan tantangan yang
dihadapi adalah Sarana dan Prasarana Perhubungan Laut belum memadai, Dukungan
Kebijakan Pemerintah dan Daerah termasuk keterbatasan penganggaran, Imbalance
Cargo, dan Pembebasan Lahan dan Keterbatasan lahan. (iii) rencana pengembangan
perhubungan transportasi laut adalah perlu pengembangan infrastruktur pelabuhan di
masing-masing Pulau dengan tetap memperhatikan konektivitas antar satu wilayah
dengan wilayah lainnya.
1.
Latar Belakang
Pembangunan infrastruktur merupakan penentu utama dalam mendorong peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Pembangunan infrastruktur tidak hanya penting untuk
menggerakkan aktivitas ekonomi, tetapi juga penting dalam mendukung kehidupan sosialbudaya dan menghubungkan antar negara, pulau, dan daerah. Pentingnya infrastruktur
tidak hanya disebutkan oleh teori namun telah diperkuat oleh studi empirik. Meskipun
ditemukan perdebatan hasil studi pengaruh pembangunan infrastruktur terhadap
pertumbuhan ekonomi, namun secara umum, hasil studi empirik menemukan bahwa
pembangunan infrastruktur berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi suatu negara. Hasil penelitian Bank Dunia mengatakan bahwa peningkatan
pembangunan infrastruktur 1 persen dapat meningkatkan nilai tambah PDB sebesar 1
persen dan beberapa studi empirik lainnya yang mendukung hasil temuan Bank Dunia
(Demurger, 2000; Folster, dan Henrekon, 2001; Nursini, 2006;Friawan, 2008; Fasoranti,
2012).
Pembangunan infrastruktur di Indonesia masih menjadi topik diskusi. Hal ini tercermin dari
adanya ketimpangan yang cukup besar antara Kawasan Barat dan Kawasan Timur Indonesia.
Ketersediaan infrastruktur di Kawasan Barat (Pulau Jawa) jauh lebih baik dibandingkan
dengan Kawasan Timur Indonesia. Rendahnya pembangunan infrastruktur merupakan salah
satu faktor penyebab lemahnya daya saing daerah-daerah yang berada pada Kawasan
Timur, padahal potensi sumber daya yang dimiliki cukup melimpah. Kelimpahan sumber
daya telah membuktikan beberapa daerah mampu mendorong aktivitas perekonomian
diwilayahnya. Pulau Sulawesi yang terbagi atas 6 (enam) provinsi telah memperlihatkan
kinerja pembangunan ekonomi yang cukup impressif. Pertumbuhan ekonomi masingmasing provinsi di Pulau Sulawesi telah melampaui rata-rata pertumbuhan ekonomi
nasional.
Di Pulau Sulawesi, salah satu infrastruktur yang memegang peran penting dan mampu
menciptakan mobilitas sosial dan ekonomi masyarakat, dan menghubungkan sumber daya
dan hasil produksi dengan pasar adalah transportasi perhubungan laut. Pertanyaannya
adalah sejauhmana keberadaan transportasi perhubungan laut di Pulau Sulawesi telah
mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif? Apa sasja tantangan dan
permasalahan yang dihadapi? Bagaimana rencana pengembangan pelabuhan laut ke
depan?
2. Kondisi Perkembangan Transportasi Perhubungan Laut di Pulau Sulawesi
2.1.
Kunjungan Kapal, Arus Barang, dan Penumpang
Arus kunjungan kapal di Pulau Sulawesi berfluktuasi dan proporsinya terhadap nasional
cukup rendah. Selama periode 2007-2010, rata-rata kunjungan kapal melalui pelabuhan
yang ada di Pulau Sulawesi mencapai 59.747 unit dengan rata-rata proporsi terhadap total
kunjungan kapal di Indonesia sebesar 9,43 persen. Jumlah kunjungan kapal terbesar
terdapat di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara dengan rata-rata per
tahun 17.406 unit, 15.418 unit,
dan 12.093 unit. Besar kecilnya kunjungan kapal di
beberapa pelabuhan di Pulau Sulawesi erat kaitannya dengan perkembangan aktivitas
ekonomi dan perkembangan infrastruktur di daerah tersebut.
Gambar 1 Perkembangan Kunjungan Kapal di Pulau Sulawesi (unit)
160000
140000
14.00
11.53
10.94
12.00
120000
unit
100000
68150
59665
80000
10.00
8.21
65937
7.04
8.00
45236
6.00
60000
16685
40000
25519
14496
9443
20000
9450
12955
9599
14963
9764
8505
14185
7129
7997
11949
2007
2008
2009
2010
0
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi
24259
19581
4.00
2.00
-
Gorontalo
Sulawesi Barat
Sulawesi Tenggara
% Sulawesi terhadap Indonesia
Sumber: BPS, Statistik Indonesia berbagai edisi
Volume kapal yang berkunjung ke Pulau Sulawesi melalui pelabuhan yang dikelola oleh PT
Pelindo IV cenderung meningkat, namun dengan tingkat pertumbuhan yang relative rendah.
Selama periode 2007-2011, rata-rata peningkatan volume kapal sebesar 4,7 persen per
tahun. Volume kapal terbesar masih didominasi oleh pelabuhan utama di Sulawesi Selatan
dan Sulawesi Utara dengan rata-rata per tahun
25.062.808 Grt dan 10.441.566,80 Grt.
Sementara volume kapal di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo masih
terhitung rendah masing-masing 5.359.545 GRT, 6.352.890 Grt dan
832,051.80 (GRT).
Gambar 2 Volume kapal di Pulau Sulawesi didominasi oleh
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara*
80,000.00
7.80
8.00
ribu rupiah
6.10
5.94
5.72
5.82
17,179.93
50,000.00
40,000.00
8,065.57
7,952.93
7,862.46
6.00
5.00
11,146.95
4.00
30,000.00
3.00
20,000.00
10,000.00
7.00
(%)
70,000.00
60,000.00
9.00
23,654.90
28,253.57
25,038.54
1.00
25,373.28
22,993.75
2.00
-
2007
2008
2009
2010
2011
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Utara
Gorontalo
Proporsi Pulau Sulawesi
Sumber: PT Pelindo IV; BPS-Statistik Perhubungan 2010
*Kunjungan kapal wilayah Sulawesi yang dikelola oleh Pelindo IV
Jumlah kapal yang berkunjung di Pulau Sulawesi turut mempengaruhi jumlah arus barang.
Arus barang yang masuk melalui pelabuhan laut di Pulau Sulawesi mengalami peningkatan
kecuali tahun 2010. Selama periode 2007-2010, arus barang masuk baik antar pulau
maupun impor meningkat dengan rata-rata 14,60 persen per tahun. Dari keenam provinsi
di Pulau Sulawesi, arus barang masuk melalui pelabuhan di Sulawesi Selatan menduduki
peringkat tertinggi dengan rata-rata 6.926 ribu ton per tahun. Urutan kedua terbesar
ditempati oleh Provinsi Sulawesi Tenggara dengan rata-rata mencapai 1.805 ribu ton.
Urutan ketiga ditempati oleh Sulawesi Tengah dengan rata-rata 1.337 ribu ton. Meskipun
terjadi perningkatan arus barang masuk melalui pelabuhan di Pulau Sulawesi, namun secara
rata-rata kontribusinya terhadap arus barang masuk secara nasional sangat kecil, yakni 3,64
persen.
Pada periode yang sama, arus barang yang keluar berfluktuasi dengan rata-rata 10.855 ribu
ton per tahun. Selama 4 tahun pengamatan, arus barang yang keluar tertinggi terjadi pada
tahun 2009 sebanyak 15.867 ribu ton yang berasal dari arus barang keluar antar pulau di
Indonesia sebanyak 10.949 ribu ton dan keluar negeri (ekspor) sebesar 4.918 ribu ton. Arus
barang keluar yang terendah terjadi pada tahun 2008. Dari keenam provinsi di Sulawesi,
hanya pelabuhan yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara mengalami peningkatan arus
barang keluar setiap tahun, sementara provinsi lainnya berfluktuasi. Proporsi arus barang
keluar dengan menggunakan angkutan laut di Pulau Sulawesi terhadap nasional 2,68 persen
per tahun, selebihnya 97,32 persen disumbang oleh pelabuhan di luar Sulawesi. Hal ini
menunjukkan kontribusi pelabuhan di Sulawesi terhadap nasional sangat kecil.
Gambar 3 Perkembangan bongkar muat barang melalui pelabuhan di Pulau Sulawesi,
2007-2010
40,000
Bongkar DN dan LN 5.24
Muat DN dan LN
6.00
40,000
4.00
3.37
2.59
20,000
8,994
-
10,415
15,508
2.98
4.00
12,271
1,643
1,231
5,168
1,220
2,810
4,402
1,334
10,275
1,518
1,537
7,859
1,277
2007
2008
2009
2010
2.65
2.37
2.33
%
ribu ton
3.74
2.00
15,867
20,000
2.00
9,528
630
4,583
-
Total Sulawesi
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Sulawesi Utara
Persentase Sulawesi terhadap Indonesia
-
8,367
2,731
1,542
3,030
2,706
2007
2008
2,992
9,656
7,035
3,894
3,182
2,307
2,717
2009
2010
-
Total Sulawesi
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Sulawesi Utara
% Sulawesi terhadap Indonesia
Sumber: BPS, Statistik Indonesia berbagai edisi
Selama periode 2007-2010, terjadi ketidakseimbangan antar arus barang yang masuk dan
arus barang yang keluar di Pulau Sulawesi. Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Gorontalo
menunjukkan arus barang yang masuk (impor) lebih banyak daripada arus barang yang
keluar, sementara Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat mengalami arus barang
keluar lebih besar daripada arus barang masuk. Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara, dua
tahun pertama jumlah barang masuk lebih besar daripada barang keluar dan dua tahun
berikutnya, arus barang keluar lebih banyak daripada arus barang masuk. Volume barang
yang keluar sebagian besar dikontribusi oleh hasil tambang nikel. Mulai tahun 2010, terjadi
peningkatan permintaan barang tambang nikel dari Negara luar sehingga perusahaanperusahaan Nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara juga berkembang pesat. Namun secara
umum, Imbalance cargo yang terjadi melalui pelabuhan yang ada di Pulau Sulawesi
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang antara lain: (i) hasil industri lokal sangat terbatas, (ii)
pertimbangan efisiensi bagi perusahaan ekspor (eksporter) sehingga beberapa eksporter
lebih memilih pelabuhan Tanjung Priok, dan Tanjung Perak dibandingkan dengan pelabuhan
utama Makassar maupun Bitung. (iii) Pelabuhan di Pulau Jawa memiliki jaminan kepastian
dan kecepatan angkut barang ke luar negeri.
Gambar 4 Imbalance Cargo per provinsi di Pulau Sulawesi, 2007-2011
imbalance cargo per provinsi Pulau Sulawesi
6,000,000
5,000,000
4,000,000
3,000,000
2,000,000
1,000,000
(1,000,000)
Sulawesi Gorontalo Sulawesi
Utara
Tengah
Sulawesi
Barat
Sulawesi Sulawesi
Total
Selatan Tenggara Sulawesi
(2,000,000)
(3,000,000)
2007
2008
2009
2010
Sumber: BPS- Statistik Indonesia berbagai edisi
Dari empat pelabuhan utama di Indonesia, Pelabuhan Makassar menempati urutan
terendah dalam arus bongkar muat barang selama periode 2007-2011. Pelabuhan Tanjung
Priok menempati urutan tertinggi dengan kontribusi berkisar antara 65,77 persen hingga
72,76 persen pada periode 2007-2011. Pada periode yang sama, Pelabuhan Makassar hanya
berkontribusi pada kisaran 0,24 persen hingga 9,24 persen (2010) atau rata-rata per tahun
2,15 persen. Rendahnya arus barang (bongkar muat) di Pelabuhan Makassar dipengaruhi
oleh banyak faktor antara lain; permintaan barang-barang baik antar pulau maupun luar
negeri, efisiensi, sarana dan prasarana, jaminan kepastian pengangkutan barang, barang
yang akan diangkut, dsb. Arus barang cukup bervariasi antara barang yang diangkut dan
barang yang dibongkar.
Arus barang yang masuk melalui keempat pelabuhan utama lebih dominan daripada arus
barang yang keluar baik antar pulau maupun arus barang dari dan ke luar negeri . Hal ini
ditandai oleh rata-rata rasio bongkar barang dari total barang yang masuk melalui
pelabuhan empat pelabuhan utama sebesar 0,63 persen, sementara rasio muat barang
sebesar 0,37 persen. Posisi rasio bongkar barang yang melalui pelabuhan Makassar sebesar
0,04 persen dari total barang yang masuk dan rasio impor sebesar 0,02 persen.
Gambar 5 Arus bongkar muat barang melalui Pelabuhan Makassar
terrendah dari tiga pelabuhan utama di Indonesia
Arus barang pada 4 pelabuhan utama di
Indonesia
120.00
100.00
80.00
0.60
9.40
9.24
8.99
0.24
8.77
65.77
69.16
69.10
69.41
72.76
0.60
0.26
0.40
0.30
0.43
0.20
20.00
-
0.70
0.50
60.00
40.00
0.32
9.99
0.35
10.48
rata-rata rasio muat dan bongkar 4
pelabuhan utama 2007-2011
0.80
15.95
15.58
16.10
13.58
14.01
0.10
2007
2008
2009
2010
2011
-
0.07
0.09
BELAWAN
BELAWAN
TANJUNG PRIOK
TANJUNG PERAK
MAKASSAR
0.03
0.07
TANJUNG
PRIOK
rata-rata rasio bongkar
TANJUNG
PERAK
0.02
0.04
MAKASSAR
rata-rata rasio muat
Sumber: BPS, Statistik Perhubungan, 2011
Mobilitas penduduk melalui pelabuhan di Pulau Sulawesi mengalami peningkatan setiap
tahun. Pada tahun 2007, jumlah penumpang baik yang berangkat maupun yang datang
sebesar 5,7 juta orang meningkat menjadi 7,3 juta orang pada tahun 2010. Selama 4 tahun,
tingkat pertumbuhan jumlah penumpang di Pulau Sulawesi rata-rata 6 persen per tahun.
Jumlah penumpang yang berangkat dan datang melalui pelabuhan laut terbanyak di
Sulawesi Tenggara meskipun pada tahun 2010 menurun 5,33 persen dari tahun 2009.
Kemudian disusul oleh pelabuhan yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan dengan tingkat
pertumbuhan rata-rata 7,63 persen per tahun. Tingginya jumlah penumpang melalui
pelabuhan laut di Sulawesi Tenggara terutama disebabkan oleh daerah kepulauan sehingga
mobilitas penumpang lebih banyak menggunakan transportasi laut.
Gambar 6 Jumlah Penumpang melalui pelabuhan laut terbanyak di Sulawesi Tenggara
8,000,000
7,000,000
6,000,000
2007
5,000,000
2008
4,000,000
2009
3,000,000
2010
2,000,000
2011
1,000,000
Sulawesi Sulawesi Sulawesi Sulawesi Sulawesi Gorontalo Sulawesi
Selatan Tenggara Utara
Tengah
Barat
Sumber: BPS-Daerah Dalam Angka Berbagai Edisi
Proporsi arus petikemas melalui angkutan laut di Pulau Sulawesi terhadap wilayah
pelabuhan PT.Pelindo IV sebesar 69,32 persen rata-rata setiap tahun. Lima dari enam
provinsi di Pulau Sulawesi merupakan wilayah pengelolaan PT.Pelindo IV yaitu Sulawesi
Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Sulawesi Tenggara. Dari kelima
provinsi tersebut, Sulawesi Selatan menempati urutan tertinggi. Tingginya arus petikemas
di Sulawesi Selatan sebagian besar berasal dari pelabuhan TPK Makassar. Meskipun arus
petikemas lebih banyak melalui pelabuhan Makassar, TPK Makassar dan Parepare, namun
kontribusinya terhadap wilayah PT.Pelindo IV cenderung menurun dibandingkan dengan
tahun 2007 dan 2008. Demikian halnya Sulawesi Utara, meskipun menempati urutan
tertinggi kedua, namun kontribusinya terhadap wilayah Pelindo IV pada tahun 2011
mengalami penurunan. Sementara provinsi lainnya seperti Sulawesi Tenggara dan
Gorontalo justru cenderung meningkat. Hal ini mengindikasikan ada peningkatan aktivitas
ekonomi di Sulawesi Tenggara. Tingginya proporsi arus petikemas di Provinsi Sulawesi Utara
dan Sulawesi Selatan disebabkan oleh kehadiran terminal petikemas Makassar dan TPK
Bitung.
Gambar 7 Proporsi arus petikemas yang dikelola oleh PT.Pelindo dan
Proporsi Pulau Sulawesi terhadap Total Arus Petikemas PT.Pelindo IV
Proporsi Petikemas yang dikelola oleh
PT.Pelindo
100.00
8.53 12.49 12.94 12.16 12.16 11.65
80.00
25.26 21.78 20.51 25.32 25.32 23.64
60.00
40.00
51.91 48.77 48.77 53.14
61.45 54.82
20.00
-
200.00
180.00
160.00
140.00
120.00
100.00
80.00
60.00
40.00
20.00
-
Pelindo III
52.87
62.02
65.19
5.77
20.83
5.60
19.72
6.09
19.93
34.34
31.82
34.54
2008
2009
2010
55.93
6.00
13.07
31.80
2011
% Sulawesi terhadap Wilayah Pelindo IV
Gorontalo
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Utara
Sulawesi Selatan
2007 2008 2009 2010 2011
Pelinda II
65.68
8.48
30.33
2007
14.64 13.75 13.75 11.56
4.77 10.91
Pelindo I
97.76
Pelindo IV
Sumber: PT.Pelindo IV; Statistik Perhubungan, 2010
2.2. Sarana dan Prasarana Pelabuhan
Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh pelabuhan utama dan pengumpul di Pulau Sulawesi
bervariasi dan masih terbatas. Dari 7 jenis fasilitas kepelabuhanan, pelabuhan Makassar dan
Parepare di Sulawesi Selatan lebih mendominasi dibandingkan dengan pelabuhan utama
lainnya di Pulau Sulawesi kecuali untuk Darmaga. Luas darmaga yang paling luas adalah
pelabuhan Manado dan Bitung di Provinsi Sulawesi Utara dengan luas 5270 M2. Kemudian
disusul oleh Pelabuhan Makassar dan Parepare sebesar 3130 M2. Sarana dan prasarana
yang paling sedikit dimiliki adalah Pelabuhan Kendari Sulawesi Tenggara. Kesemua jenis
fasilitas tersebut sangat mempengarui aktivitas angkutan laut baik dari aktivitas kunjungan
kapal, aktivitas arus barang maupun mobilitas penduduk dan arus petikemas.
Tabel 1 Sarana dan prasarana beberapa pelabuhan di Pulau Sulawesi, 2011
Darmaga
(M2)
Sulawesi Selatan
(Makassar,
3130
Gudang
(M2)
24265
Lapangan
(M2)
189000
Kapal
Tunda
(Unit)
Kapal
Pandu
(Unit)
4
3
Pandu
(org)
8
CC/L
C
(Unit)
TT/RS/S
L (Unit)
Terminal
Penumpang
(M2)
5620
Parepare)
Sulawesi Utara
(Bitung dan
Manado)
Sulawesi Tengah
(Pantoloan dan
Tolitoli)
Sulawesi Tenggara
(Kendari)
7
14/4/1
5270
20772
98300
2
1
5
3
6/3/1
2650
2540
4756
23214
1
2
2
1
0/1/0
3000
270
1000
1915
1560
13125 52353
Total
Sumber: PT.Pelindo IV Makassar
11350
600
322464
3
4
9
19
Gorontalo
7
800
500
12570
Beberapa fasilitas dan peralatan lainnya yang dapat menunjang aktivitas pelabuhan adalah
kedalaman kolam, container yard, container freiht station, refffer plug, container crane,
rubber typed grantries, reach stacker, chassis ukuran 20’ dan 40’, head treak dan forklift.
Beberapa pelabuhan yang telah memiliki fasilitas dan peralatan tersebut dengan jumlah
yang cukup bervariasi. Untuk peralatan bongkar muat berupa CC/LC dan TT/RS/SL hanya
dimiliki oleh pelabuhan utama di wilayah Sulawesi (Makassar, Bitung, dan Pantoloan).
2.3.
Anggaran
Realisasi anggaran untuk pengembangan infrastruktur perhubungan laut di Pulau Sulawesi
sangat kecil. Realisasi anggaran infrastruktur perhubungan laut di Pulau Sulawesi rata-rata
1,6 triliun per tahun selama periode 2007-2011 termasuk didalamnya anggaran untuk
transportasi laut. Dari jumlah tersebut sebesar 34,82 persen teralokasi di Provinsi Sulawesi
Selatan, 24,28 persen teralokasi di Provinsi Sulawesi Utara, dan selebihnya terdistribusi
pada keempat provinsi lainnya di Pulau Sulawesi. Pada periode yang sama, proporsi alokasi
anggaran Pulau Sulawesi terhadap nasional juga sangat rendah hanya rata-rata 11,15
persen per tahun. Dari keenam provinsi, proporsi alokasi anggaran terbesar terdapat di
Sulawesi Selatan dengan rata-rata 3,93 persen dan Sulawesi Utara sebesar 2,74 persen.
Kecilnya alokasi anggaran ke Pulau Sulawesi untuk pengembangan Infrastruktur pelabuhan
laut sangat mempengaruhi capaian kinerja perhubungan.
Gambar 8 Realisasi dan proporsi anggaran perhubungan Pulau Sulawesi terhadap nasional
perkembangan realisasi anggaran (ribuan
rupiah)
3,000,000,000
proporsi terhadap Indonesia
30.00
20.00
2,000,000,000
10.00
1,000,000,000
-
2007
2008
2009
2010
2011
9.18
3.35
2.52
2007
11.65
13.51
9.58
4.42
3.27
4.97
2.92
2008
2009
3.21
2.32
2010
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Gorontalo
Sulawesi Barat
Sulawesi
Sumber: Kementerian Perhubungan, 2011
11.83
3.72
2.69
2011
3. Masalah dan Tantangan Pembangunan Transportasi Perhubungan Laut
Kinerja angkutan laut di Pulau Sulawesi cukup baik, namun beberapa pelabuhan di Pulau
Sulawesi baik yang diusahakan maupun yang tidak diusahakan mengalami permasalahan
dan tantangan yang cukup berat. Berikut ini dijelaskan sejumlah permasalahan dan
tantangan yang dimaksud yaitu:
3.1.
Sarana dan Prasarana Perhubungan Laut belum memadai
Semua pelabuhan mengalami permasalahan seperti panjang darmaga, luas lapangan
penumpukan, peralatan bongkar muat, dan luas terminal penumpang. Fasilitas yang kurang
memadai dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di daerah melalui pergerakan
penduduk, arus bongkar muat, distribusi barang, dan aktivitas ekonomi secara keseluruhan.
Seperti kasus Di Sulawesi Utara, ada tiga kabupaten kepulauan dimana mobilitas penduduk
dan kebutuhan bahan pokoknya tidak berjalan lancar/tidak berkesinambungan. Pelabuhan
Bitung dengan keterbatasan panjang dermaga dan luas lapangan penampungan
menyebabkan kapal antrian untuk tambat dan waktu tunggu menjadi lebih lama yang
berimplikasi terhadap biaya. Kasus yang sama terjadai pada pelabuhan Makassar.
Demikian halnya dengan kasus Pelabuhan Manado, 40% fasilitas kepelabuhan tidak
memadai, diperburuk dengan pendeknya dermaga dan dangkalnya kolam pelabuhan.
Pelayanan penumpang tidak maksimal, dan rencana pengembangan/master plan tidak ada
karena posisinya sebagai pelabuhan bernilai kesejarahan sehingga tidak didesain sebagai
pelabuhan penumpang, jadi cenderung hanya memaksimalkan fasilitas yang ada, tanpa ada
upaya pengembangan. Bahkan pelabuhan Manado sekaligus juga dimanfaatkan sebagai
tempat pendaratan ikan (TPI), sehingga sering terjadi konflik antara pengelola pelabuhan
dengan pemerintah daerah, terkait dengan jasa kepelabuhanan tersebut.
Akibat keterbatasan sarana dan prasarana di Sulawesi Utara, maka intensitas kunjungan
kapal dengan kapasitas besar, seperti Kapal PELNI ke tiga kabupaten kepulauan di Sulawesi
Utara tergolong rendah, karena hanya berlabuh sekali dalam dua minggu sehingga terjadi
penumpukan penumpang akibat luasan terminal penumpang kurang memadai. Kondisi yang
sama dengan keberadaan pelabuhan di Sulawesi Barat. Beberapa pelabuhan non-komersial
di Sulawesi Barat belum memiliki fasilitas dermaga, alat bongkar muat, gudang, dsb.
Sebanyak 15 pelabuhan dengan status non-komersial, hanya 8 yang memiliki dermaga
(diantaranya Pelabuhan Polewali, Majene, Mamuju, Belang-belang, Pasang Kayu, dsb).
Akibat dari keterbatasan fasilitas, beberapa pelabuhan tidak berfungsi secara maksimal
seperti pelabuhan Mamuju dan bahkan ada beberapa pelabuhan yang kemungkinannya
ditutup. Di Sulawesi Tenggara terutama pelabuhan Kota Kendari, fasilitas pelabuhan
terrendah diantara sekian banyak pelabuhan utama di Pulau Sulawesi. Beberapa pelabuhan
kecil antar pulau juga memiliki fasilitas yang kurang memadai.
3.2.
Dukungan Kebijakan
penganggaran
Pemerintah
dan
Daerah
termasuk
keterbatasan
Peran infrastruktur pelabuhan laut belum optimal dalam mendorong perekonomian di Pulau
Sulawesi. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan dukungan kebijakan baik dari pemerintah
pusat maupun daerah, salah satu diantaranya adalah keterbatasan anggaran. Selain itu,
kendalan birokrasi, proses perijinan, serta biaya pembangunan infrastruktur kepelabuhanan
di KTI yang cukup besar. Kebijakan nasional tentang kepelabuhanan, yang menetapkan
pelabuhan ekspor harus melalui Tanjung Perak Surabaya dan Tanjung Priok Jakarta,
menyebabkan biaya angkutan ekspor berlibat-ganda. Hal ini diperburuk dengan
kecenderungan tidak bekerjanya mekanisme pasar secara baik dalam aktivitas angkutan
barang dari dan ke kedua pelabuhan ekspor nasional tersebut.
3.3.
Imbalance Cargo
Secara umum, arus bongkar muat barang di Pulau Sulawesi semakin tinggi seiring dengan
perkembangan aktivitas ekonomi di masing-masing daerah, namun semua pelabuhan
termasuk pelabuhan utama mengalami imbalance cargo yang cukup besar. Pada umumnya,
volume barang yang dibongkar baik dalam bentuk kargo maupun container lebih besar
dibandingkan dengan volume yang dimuat dari pelabuhan tersebut. Kondisi ini terjadi
terutama pada perdagangan barang antar pulau di Indonesia. Namun beberapa daerah
sebagai penghasil tambang seperti Sulawesi Utara, sebagian pelabuhannya mencatat arus
barang keluar (ekspor) lebih banyak daripada barang bongkar.
Ada beberapa faktor penyebab imbalance cargo antara lain: (i) Pada umumnya aktivitas
ekonomi belum berkembang di daerah, infrastruktur jalan dan fasilitas pelabuhan lainnya
yang belum memadai. Permasalahan ini hampir semua terjadi pada pelabuhan di Pulau
Sulawesi termasuk pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul, dan pelabuhan pengumpan.
Kasus di Sulawesi Tengah, volume barang yang dimuat keluar daerah hanya sekitar 30-40%
dari volume bongkar. Kasus yang sama terjadi pada pelabuhan Belang-Belang di Sulawesi
Barat. (ii) Di Kota Makassar dan beberapa pelabuhan utama lainnya, volume barang dan
jasa yang diangkut masih berskala kecil sehingga membutuhkan waktu tunggu kapal di
pelabuhan relative lama, pada saat yang sama biaya yang harus dikeluarkan oleh kapal
relative besar kurang lebih Rp 100 juta per hari. Akibatnya, banyak perusahaan yang tidak
memilih pelabuhan Makassar sebagai jalur langsung ke luar negeri. Alternatifnya
perusahaan mengirim langsung ke Surabaya dan Jakarta karena pertimbangan waktu tunggu
yang sangat singkat (efisiensi) dan sudah ada jaminan kepastian kapal berangkat. Contoh
pengusaha yang mengangkut barangnya dari pelabuhan Ambon, Pelabuhan Sorong,
Merauke, dll tidak singgah ke Makassar tapi langsung ke Surabaya dan Jakarta.
Untuk memaksimalkan fungsi Pelabuhan Makassar sebagai jalur perdagangan barangbarang ekspor, alternatifnya adalah pengembangan industri ekspor di Sulawesi diperbanyak
melalui jalur pemindahan industri dari Pulau Jawa ke Makassar. Dengan demikian, industri
tidak lagi berfokus atau terkonsentrasi di Pulau Jawa saja.
3.4.
Pembebasan Lahan dan Keterbatasan lahan
Beberapa daerah yang melakukan perluasan pelabuhan laut, namun seringkali
diperhadapkan pada permasalahan pembebasan lahan. Misalnya kasus Perluasan Pelabuhan
Belang-Belang di Mamuju sampai saat ini masih terkendala oleh pembebasan lahan.
Menurut taksiran pemerintah, harga tanah/lahan di area pembangunan pelabuhan hanya
sekitar Rp 50.000 per M2, namun masyarakat sekitar meminta ganti rugi lahan sebesar Rp
300.000 per M2. Jika kata sepakat sulit dicapai, pemerintah akan mengarahkan kebijakannya
pada reklamasi pantai. Kasus lain seperti Pengembangan pelabuhan Sukarno di Makassar,
pengembangan pelabuhan Gorontalo, Pengembangan Pelabuhan Anggrek di Kabupaten
Gorontalo Utara terkendala karena keberadaan hutan Mangrove. Keterbatasan lahan dan
sulitnya pembebasan lahan maka kebijakan yang umumnya ditempuh oleh pemerintah
daerah adalah reklamasi pantai.
4. Analisis Kebutuhan dan Rencana Pengembangan
Berdasarkan kondisi infrastruktur perhubungan laut yang ada saat ini, masih dibutuhkan
sejumlah kebijakan dan program pengembangan dalam rangka mendorong pertumbuhan
ekonomi yang inklusif. Rencana pengembangan infrastruktur di Pulau Sulawesi bervariasi
antar provinsi sesuai dengan kebutuhan wilayah masing-masing. Adapun rencana
pengembangan infrastruktur perhubungan laut untuk masing-masing provinsi sebagai
berikut:
i)
Rencana Pengembangan Infrastruktur Pelabuhan Laut di Sulawesi Selatan
Seiring dengan semakin berkembangnya aktivitas ekonomi disekitar kawasan Makassar,
maka kebutuhan pengembangan infrastruktur laut menjadi semakin penting. Kondisi
Infrastruktur pelabuhan laut Makassar yang ada saat ini telah menghadapi sejumlah
permasalahan terutama terkait dengan panjang dermaga, perubahan bentuk pantai akibat
pembangunan reklamasi pantai, dan sebagainya. Untuk itu, maka rencana pengembangan
pelabuhan MNP diprediksikan mampu mengatasi permasalahan tersebut dan sekaligus
dapat lebih meningkatkan aktivitas ekonomi tidak hanya di sekitar wilayah Makassar tetapi
juga antar pulau baik di Sulawesi maupun di luar Sulawesi yang selanjutnya akan mendorong
pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif.
Secara detail, terdapat beberapa rencana pengembangan Infrastruktur pelabuhan laut di
Sulawesi Selatan yaitu (i) rencana jangka menengah adalah Pembangunan Makassar New
Port (MNP) dengan luas mencapai 157 Ha yang berlokasi di sekitar Pautere. Rencana
pengembangannya terdiri atas zona petikemas internasional dengan luas 53,Ha dan
kapasitas per tahun sebesar 3.672.000 Teus; Zona Petikemas Nasional seluas 34,1 Ha
dengan kapasitas per tahun 1.468.800 Teus; Zona Lini II seluas 17 Ha dengan kapasitas per
tahun 1.814.400 teus; Zona lini III seluas 17.2 Ha dengan kapasitas 1.036.800 per tahun;
Zona Pergudangan seluas 9,4 Ha; dan Zona Perkantoran seluas 4,3 Ha. Rencana
pemindahan terminal penumpang di Kabupaten Takalar merupakan salah satu program
MNP. (ii) rencana jangka pendek adalah penambahan panjang dermaga Sukarno di bagian
selatan sepanjang 150 meter lebar 30 meter. (iii) rencana pengembangan pelabuhan
Parepare. (iv) rencana pengembangan pelabuhan dibawah pengelolaan pemerintah provinsi
dan instansi vertikal.
Kendala yang dihadapi oleh rencana pembangunan MNP terutama terkait dengan
anggaran. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari focus Group Discussion (FGD), biaya
pembangunan MNP membutuhkan anggaran sekitar Rp 6 triliun. Kendala lainnya adalah
proses perizinan yang terlalu panjang dan pembebasan lahan. Dengan demikian, agar
rencana MNP dapat terwujud maka dibutuhkan proses perizinan yang sederhana, dukungan
anggaran baik yang bersumber dari APBN maupun dari investor dan dukungan pemerintah
daerah setempat dalam hal pembebasan lahan.
ii) Rencana Pengembangan Infrastruktur Pelabuhan Laut di Sulawesi Barat
Berdasarkan capaian kinerja aktivitas pelabuhan di Sulawesi Barat dan permasalahan yang
dihadapi, kebutuhan untuk pengembangan pelabuhan Belang-Belang sangat dibutuhkan
dengan alasan bahwa pelabuhan Belang-Belang disamping merupakan pelabuhan utama di
Sulawesi Barat juga pelabuhan ini dapat menghubungkan antar pulau di Luar Sulawesi
seperti menghubungkan antar Sulawesi Barat dengan Surabaya, Kalimantan dan Makassar.
Dengan demikian, pembangunan pelabuhan utama Belang-Belang diharapkan dapat
mendorong aktivitas ekonomi terutama di Sulawesi barat. Akan tetapi dalam rencana
pengembangannya belum dicantumkan perkiraan biaya yang dibutuhkan termasuk biaya
pengelolaan dan pemeliharaan ( O & M). Dengan mencermati besaran alokasi anggaran
pengembangan perhubungan ke masing-masing provinsi di Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat
memperoleh alokasi anggaran yang paling kecil sedikit lebih tinggi dari Gorontalo. Oleh
karena itu, mengingat pentingnya kehadiran pelabuhan Belang-Belang, diperlukan
dukungan anggaran yang lebih besar kepada pemerintah Provinsi Sulawesi Barat dan
dukungan dari masyarakat terkait dengan pembebasan lahan serta pembangunan industry
kelapa sawit di Mamuju Utara untuk mendukung kegiatan arus barang baik antar pulau
maupun antar Negara.
iii) Rencana Pengembangan Infrastruktur Pelabuhan Laut Sulawesi Utara
Berdasarkan kondisi geografis Sulawesi Utara yang terdiri atas kurang lebih 100 pulau-pulau
kecil, maka rencana pengembangan pelabuhan utama Bitung dan Manado dan beberapa
pengembangan Infrastruktur pelabuhan pulau-pulau kecil sangat dibutuhkan. Ada beberapa
alasan antara lain: (i) Pelabuhan Bitung merupakan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) III,
terhubung langsung dengan wilayah Asia Timur dan Asia Pasifik. Kondisi geografis tersebut
menyebabkan Pelabuhan Bitung diangkat sebagai pelabuhan internasional sebagai pintu
gerbang laut di Kawasan Timur Indonesia yang melayani kegiatan perdagangan luar negeri.
Hal yang sama untuk pengembangan pelabuhan Kelas IV Manado, lebih difokuskan pada
pelayanan transportasi untuk melayani mobilitas penduduk beserta barang-barang
kebutuhan pokok antara pulau-pulau kecil di wilayah Sulawesi Utara dan Maluku Utara
dengan Sulawesi Utara daratan, khususnya di Manado. (ii) pengembangan pelabuhan pulaupulau kecil untuk melayani lalu lintas barang dan manusia ke pulau-pulau yang tersebar di
wilayah Sulawesi Utara dan Maluku Utara. (iii) kemudahan akses dan mobilitas komoditas
perikanan, perkebunan dan hortikultura sebagai sumber utama pertumbuhan ekonomi
Sulawesi Utara, terutama untuk mendukung 58 buah indutsri perikanan di Kota Bitung.
Selain itu mendukung industri kopra/kelapa, empat diantaranya merupakan industri
berskala besar, dimana 50% bahan bakunya berasal dari luar Sulawesi Utara, sehingga
transportasi laut bukan hanya terkait dengan angkutan barang/output barang jadi, juga
terkait dengan angkutan bahan baku industri perikanan dan perkebunan di Sulawesi Utara.
Dengan demikian, secara garis besar, terdapat tiga rencana pembangunan infrastruktur
pelabuhan laut di Sulawesi Utara terdiri atas dua hal yaitu, (i) rencana pengembangan
infrastruktur pelabuhan laut yang dikelola oleh Pelindo IV, dan (ii) rencana pengembangan
infrastruktur perhubungan laut oleh pemerintah daerah setempat. Untuk wilayah Pelindo
IV, pengembangan infrastruktur pelabuhan laut utama Bitung dan pelabuhan pengumpul
Manado. Pengembangan pelabuhan Bitung sebagai pelabuhan internasional yang diarahkan
untuk melayani kegiatan ekspor impor di Kawasan Timur Indonesia. Rencana
pengembangan pelabuhan Bitung meliputi pengembangan petikemas, dermaga 3.679 M2,
daya tampung sebesar 4.463.400 (teus/tahun); luas CY 503.342,47 M2; capacity Container
Yard 14.878; container crane (CC) sebanyak 24; dan RTG sebanyak 84 (Masterplan
Pengembangan Pelabuhan Bitung), pengembangan sarana dan prasarana pendukung,
seperti pembebasan lahan, kelistrikan, dan kapal parker. Pengembangan Pelabuhan
Manado meliputi penambahan terminal dan dermaga sepanjang 200 meter. Pada dermaga
dan terminal yang lama dipersiapkan master-plan untuk pengembangan sebagai kawasan
marine, dengan memanfaatkannya sebagai dermaga wisata, hotel, convention hall, dan
segala fasilitas untuk mendukung tourism activity.
iv) Rencana Pengembangan Infrastruktur pelabuhan laut Laut di Provinsi Gorontalo
Mencermati perkembangan arus kunjungan kapal, arus barang, arus petikemas dan arus
penumpang yang cenderung meningkat setiap tahun menandakan bahwa perputaran roda
perekonomian di Provinsi Gorontalo cukup berkembang. Hal itu berarti disamping kegiatan
ekonomi bergerak di Gorontalo yang mengundang kunjungan kapal dan arus barang masuk
lebih banyak, juga permintaan barang (komoditas) dari luar Gorontalo yang cenderung
meningkat misalnya jagung. Oleh karena itu, untuk lebih meningkatkan kegiatan ekonomi,
maka perlu ada pengembangan infrastruktur pelabuhan laut di Provinsi Gorontalo dengan
tetap memperhatikan potensi sumber daya yang dimiliki.
Terkait dengan hal itu, maka rencana pengembangan pelabuhan laut di Provinsi Gorontalo
terdiri atas tiga yaitu: (i) Rencana Pengembangan Pelabuhan Anggrek sebagai pelabuhan
internasional di Kabupaten Gorontalo Utara, (ii) Pengembangan Pelabuhan Kwandang, dan
(iii)
Pengembangan Pelabuhan Gorontalo dan Pelabuhan Bumbulan Marisa. Rencana
pengembangan pelabuhan Anggrek diarahkan untuk melayani kegiatan ekspor
komoditi/angkutan komoditi dalam rangka pengembangan kawasan industri di daerah
tersebut. Hal ini didukung oleh letak strategis pelabuhan ini yang berada pada ALKI-II, dan
didukung oleh fasilitas dan kedalaman pelabuhan yang memadai. Pengembangan Pelabuhan
Kwandang sebagai angkutan penumpang yang bernilai sejarah, hubungan kekerabatan
masyarakat Gorontalo dengan Tarakan di Kaltim, Buol dan Tolitoli di Sulawesi Tengah, serta
Amuran di Sulawesi Utara.
Pengembangan Pelabuhan Gorontalo dan Pelabuhan Bumbulan Marisa diarahkan untuk
melayani mobilitas penduduk yang memiliki hubungan kekerabatan/sejarah dengan daerahdaerah di Teluk Tomini, baik Sulawesi Tengah maupun dengan Sulawesi Utara. Khusus untuk
Pelabuhan Gorontalo, meskipun dengan permasalahan posisi yang tidak mendukung untuk
pengembangannya, tetapi faktanya demand-nya sangat tinggi. Pengembangan Pelabuhan
Gorontalo dalam jangka pendek dan menengah adalah peningkatan status pelabuhan kelas
empat menjadi pelabuhan kelas tiga, antara lain dengan peningkatan fasilitas/alat bongkarmuat, peningkatan kapasitas SDM, penambahan panjang dermaga, penambahan lapangan
penumpukan. Untuk mewujudkan rencana tersebut, perlu dukungan dari berbagai pihak
termasuk dukungan kebijakan penganggaran dari pemerintah, pemerintah daerah, dan
dukungan masyarakat.
v) Rencana Pengembangan Infrastruktur Pelabuhan Laut Sulawesi Tenggara
Pengembangan infrastruktur pelabuhan laut di Sulawesi Tenggara terutama pelabuhan
Kendari yang saat ini memiliki dermaga yang cukup pendek dan fasilitas dan peralatan
bongkar muat barang yang masih terbatas. Pelabuhan Kendari merupakan pelabuhan yang
menghubungkan Konawe, Unaha, Kolaka Utara, Surabaya, Jakarta dan Cina. Itu berarti
pelabuhan Kendari tidak hanya menghubungkan antar pulau di Sulawesi Utara tetapi juga
antar pulau di Indonesia bahkan antar Negara seperti Cina. Oleh karena itu, di Sulawesi
Tenggara pengembangan pelabuhan Kota Kendari menjadi skala prioritas. Meskipun
beberapa pelabuhan lainnya perlu penambahan peralatan bongkar muat terutama
pelabuhan seperti pelabuhan Konawe Utara, pelabuhan Kolaka, dan Pelabuhan Kota BauBau yang selama ini memperlihatkan kinerja arus bongkar muat barang yang cukup besar
terutama hasil tambang seperti nikel. Ketersediaan dukungan anggaran dan dukungan
masyarakat sangat didambakan untuk mewujudkan rencana pengembangan infrastruktur
pelabuhan laut di Sulawesi Tenggara.
vi) Rencana Pengembangan Infrastruktur Pelabuhan Laut Sulawesi Tengah
Sulawesi Tengah memiliki pelabuhan sebanyak 14 unit yang terdiri dari 1 unit pelabuhan
utama dan 13 unit pelabuhan pengumpul. Berdasarkan jenis kunjungan kapal, kapal yang
tambat melalui pelabuhan Pantoloan adalah kapal penumpang, kapal petikemas, dan kapal
barang. Hal ini mengindikasikan pengembangan sarana dan prasarana pelabuhan seperti
terminal penumpang, alat bongkar muat barang, pergudangan, dermaga
sangat
dibutuhkan. Kondisi sarana dan prasarana saat ini masih sangat terbatas. Barang yang
dibongkar melalui pelabuhan Pantoloan dan Toli-Toli pada umumnya dalam bentuk kargo
berupa beras dan semen, sementara dalam bentuk kontainer berupa bahan bangunan,
plastik, kebutuhan bahan pokok, dan kebutuhan rumahtangga lainnya. Sementara barang
yang dimuat berupa biji kakao dan batang kelapa. Semua kapal kontainer yang datang dan
pergi hanya dari dan ke pelabuhan Surabaya. Rencana pengembangan pelabuhan
Pantoloan meliputi perpanjangan dermaga sebesar 170 x 35 M menurut APBN, rencana
perpanjangan dermaga dan trestle (60x25M), dan rencana pembebasan lahan 70.000 M2.
5. Kesimpulan dan Rekomendasi
1.
Pelabuhan laut memegang peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi
suatu daerah melalui berbagai aktivitas kepelabuhanan seperti arus kunjungan kapal,
arus barang, petikemas, dan arus penumpang. Di Pulau Sulawesi, aktivitas pelabuhan
seperti arus kunjungan kapal, arus barang, arus penumpang, dan arus petikemas cukup
berkembang dan bervariasi antar provinsi. Namun demikian, posisi pulau Sulawesi
masih lebih rendah dari tiga pulau besar di Indonesia yaitu pulau Jawa, Sumatera dan
Kalimantan. Dilihat dari aktivitas bongkar muat, pada umumnya pelabuhan di pulau
Sulawesi mencatat arus bongkar barang lebih rendah daripada arus muat (imbalance
cargo). Arus bongkar muat barang melalui pelabuhan laut di Sulawesi masih didominasi
oleh perdagangan antar pulau di Indonesia dibandingkan dengan perdagangan luar
negeri. Untuk lebih meningkatkan aktivitas kepelabuhanan di pulau Sulawesi, beberapa
rekomendasi kebijakan antara lain: (i) perlu konsolidasi cargo untuk meningkatkan
efisiensi, (ii) pengembangan industri ekspor sesuai dengan potensi sumber daya daerah
seperti pembangunan industri kelapa sawit di Sulawesi Barat (Mamuju Utara).
2.
Provinsi Sulawesi Selatan memperlihatkan kinerja aktivitas kepelabuhanan yang terbaik
diantara provinsi lain di Pulau Sulawesi. Hal ini didukung oleh sarana dan prasarana
pelabuhan yang lebih lengkap terutama pelabuhan Makassar dan pelabuhan Petikemas
Makassar. Urutan terbaik kedua adalah pelabuhan utama Bitung di Sulawesi Utara.
Pelabuhan Bitung telah dipersiapkan sebagai pelabuhan internasional dan menjadi
pintu gerbang laut di Kawasan Timur Indonesia. Namun secara umum, sarana dan
prasarana pelabuhan laut di Sulawesi Selatan masih sangat terbatas terutama
pelabuhan laut dibawa pengelolaan pemerintah daerah. Hal ini diperburuk oleh
ketersediaan anggaran yang sangat terbatas pula. Alokasi anggaran untuk
pengembangan pelabuhan termasuk pelabuhan laut di pulau Sulawesi sangat kecil.
Alokasi anggaran terbesar terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan, sementara provinsi
lainnya relatif kecil. Beberapa catatan rekomendasi antara lain; (i) alokasi anggaran
untuk peningkatan pelabuhan laut pulau Sulawesi harus ditingkatkan; (ii) dukungan
kebijakan pemerintah daerah ditingkatkan terutama terkait dengan pembangunan fisik
pelabuhan, (iii) dukungan masyarakat terutama terkait dengan pembebasan lahan
untuk pengembangan infrastruktur fisik pelabuhan.
Download