kesimpulan seminar

advertisement
KESIMPULAN SEMINAR
TENTANG
ASPEK HUKUM PEMBENTUKAN KAWASAN PELABUHAN
DAN PERDAGANGAN BEBAS
MEDAN, 9 – 10 AGUSTUS 2006
Seminar tentang Aspek Hukum Pembentukan Kawasan Pelabuhan dan
Perdagangan bebas dilaksanakan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia bekerjasama
dengan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), dan Kantor
Wilayah Departemen Hukum Dan HAM RI Provinsi Sumatera Utara, yang
berlangsung selama 2 (dua) hari dan diikuti Peserta seminar berjumlah 150
orang yang berasal dari pusat maupun daerah, yang terdiri dari: Angota DPRD,
Departemen Keuangan, Departemen Luar Negeri, Kejaksaan, Kepolisian,
Departemen Hukum dan HAM, Hakim (Pengadilan Negeri/Tinggi), Pemerintah
Daerah, Dosen Perguruan Tinggi Negeri/ Swasta, Mahasiswa pascasarjana,
dan lainnya
Maksud dan tujuan seminar adalah untuk menghimpun pendapat umum
baik para teorisi dan praktisi serta para ahli hukum mengenai prinsipprinsip/asas-asas, teori
hukum
untuk memberikan masukan pemikiran bagi
pembangunan hukum, khususnya penyempurnaan dan pembentukan peraturan
perundangan mengenai kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas.
41
Dengan memperhatikan sambutan/pengarahan
yang disampaikan oleh
Staf Ahli Menteri Hukum Dan HAM RI dan mengikuti dengan cermat penyajian
materi yang disampaikan oleh para pembicara, yaitu
1.
Sambutan
Pembukaan
:
Staf
Ahli
Menteri
Bidang
Pengembangan Budaya Hukum.
2.
Penerapan Kawasan Pelabuhan dan Perdagangan Bebas
dalam Perspektif Hukum Internasional.
Pembicara:
Ir. Subagio, MM (Staff Ahli Menteri
Perdagangan
Bidang
Iklim
Usaha
Perdagangan).
3.
Penerapan Kawasan Pelabuhan dan Perdagangan Bebas
dalam Prespektif Otonomi Daerah.
Pembicara: Drs. T. Azwar Aziz (Kadis Perdagangan dan
Perindustrian
Pemerintah
Propinsi
Sumatera Utara).
4.
Masalah Hukum Penerapan Pajak Dalam Kawasan
Pelabuhan dan Perdagangan Bebas.
Pembicara: Drs. Ichwan Fachruddin, MA (Direktur
PPn Ditjen Pajak).
4.
Masalah Hukum Lingkungan dalam Penerapan Kawasan
Pelabuhan dan Perdagangan Bebas.
Pembicara: Prof. Dr. Alfi Syahrin MS (FH. USU).
42
6.
Masalah Hukum Kelembagaan dan Pengelolaan Kawasan
Pelabuhan dan Perdagangan Bebas.
Pembicara: Dr. Ja’far Albram, SH, SE, MM, M. Hum
(Kepala Kantor Bea dan Cukai Teluk
Nibung Tg. Balai)
7.
Masalah Hukum Penerapan Kebijakan Penanaman Modal
Asing Dalam Kawasan Pelabuhan dan Perdagangan
Bebas.
Pembicara: Pratomo Waluyo (Ka. Biro Hukum BKPM)
dan diskusi yang berkembang dalam seminar dapat diperoleh kesimpulan dan
rekomendasi, yaitu:
A. KESIMPULAN
1. Penerapan Kawasan Pelabuhan dan Perdagangan Bebas diyakini dapat
memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembangunan ekonomi
nasional, khususnya terkait upaya-upaya peningkatan investasi, peningkatan
kegiatan
ekspor,
pengembangan
percepatan
sumber
daya
pembangunan
manusia,
infrastruktur,
penyerapan
percepatan
tenaga
kerja,
meningkatkan inovasi dalam produk dan proses produksi, yang pada
gilirannya dapat memperbaiki daya saing Indonesia dalam perdagangan
internasional ;
43
2. Masih ada perbedaan pemahaman tentang berbagai pengertian terkait
kawasan perdagangan, antara lain Kawasan Industri, Kawasan Berikat
(Bonded Zone), Kawasan Pelabuhan dan Perdagangan Bebas (free trade
zone, FTZ) dan Kawasan Ekonomi Khusus (special economic zone).
Perbedaan pengertian berbagai istilah tersebut harus dirumuskan secara
tegas, karena akan berpengaruh terhadap penerapan hukumnya termasuk
persyaratan atau kriteria kawasan yang dapat ditundukkan pada ketentuan
tentang FTZ, Bonded Zone, Kawasan Industri atau special economic zone
sesuai ketentuan-ketentuan internasional, seperti GATT/WTO dan Kyoto
Convention.
3. UU No. 36 Tahun 2000 tentang Kawasan Pelabuhan dan Perdagangan
Bebas telah sesuai dengan Kyoto Convention, meskipun Indonesia belum
meratifikasinya, namun dalam penerapannya masih terdapat perbedaan
penafsiran sehingga dalam pelaksanaannya terjadi disharmonisasi peraturan
perundang-undangan, misalnya ketentuan tentang bea masuk, pajak
pertambahan nilai, dan pajak penjualan barang mewah.
4. Dalam pelaksanaan Kawasan Pelabuhan dan Perdagangan Bebas masih
terdapat benturan kepentingan antara Pemerintah Pusat dan Daerah terkait
dengan kewenangan pengelolaan, dan perijinan.
5. Dasar hukum pemberian fasilitas pajak untuk Kawasan Pelabuhan dan
Perdagangan Bebas dan Kawasan Berikat, diatur secara khusus dalam UU
No. 37 Tahun 2000 untuk Kawasan Pelabuhan dan Perdagangan Bebas, dan
PP No. 63 Tahun 2003 untuk Kawasan Berikat. Namun tidak ada jaminan
44
pemberian fasilitas tersebut secara signifikan membawa pengaruh terhadap
peningkatan investasi, peningkatan eksport, penyerapan tenaga kerja.
6. Seharusnya pemberian fasilitas perpajakan secara signifikan berpengaruh
untuk menarik investor, dan deterant effect yang dihasilkan berupa
penciptaan
lapangan
kerja,
dan
akhirnya
peningkatan
kemakmuran
masyarakat umum. Namun dalam kenyataannya dalam pembuatan suatu
peraturan perundang-undangan perpajakan, sering kali diabaikan untuk
mengukur sejauhmana dampak dari suatu kebijakan yang dibuat serta
seberapa besar manfaat yang akan diterima.
7. Ketentuan perdagangan bebas internasional lebih memperhatikan aspek
kebebasan arus barang dan jasa dari pada aspek perlindungan lingkungan
hidup. Perlakuan sama (national treatment dan most favoured nations) yang
menjadi
pilar
dalam
mempertimbangkan
perdagangan
biaya-biaya
bebas
pengamanan
internasional
lingkungan
hidup
kurang
yang
dikeluarkan untuk memproduksi barang. Produk yang proses produksinya
dibebani biaya-biaya untuk kelestarian lingkungan hidup diperlakukan sama
dengan produk yang proses produksinya tanpa memperhatikan aspek
lingkungan
hidup.
Meskipun
demikian,
degradasi
lingkungan
hidup
sebenarnya bukan disebabkan oleh perdagangan internasional, tetapi lebih
karena adanya distorsi dalam kebijakan publik atau peraturan lingkungan
hidup ;
8. Masalah political will Pemerintah terhadap penegakan hukum lingkungan
dapat dilihat dari dua aspek, pertama aspek substansi hukum dan struktur
45
hukum. Secara substansi sebenarnya peraturan perundangan lingkungan
hidup di Indonesia sudah cukup memadai kelengkapannya. Namun, dari segi
penegakan hukum masih lemah. Hal ini terkait dengan persoalan-persoalan
eksternal hukum, misalnya budaya hukum aparat pelaksana dan budaya
hukum masyarakat yang secara umum kurang mendukung.
9. Masalah hukum yang sangat mendasar dalam pengembangan Kawasan
Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Sabang adalah (1). belum siapnya
perangkat peraturan untuk melaksanakan UU No. 37 Tahun 2000 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun
2002 tentang Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Sabang. Sampai
saat ini belum ada Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan lebih lanjut
dari UU No. 37 Tahun 2000. Hal ini sangat berpengaruh bagi pengembangan
Kawasan Sabang karena belum adanya pelimpahan kewenangan perijinan
dari berbagai instansi terkait kepada Dewan Kawasan Sabang. (2). Tidak
jelas dan tidak tegasnya perangkat peraturan yang ada dalam mengatur
berbagai hal penting, antara lain menyangkut tidak jelasnya pengaturan
tentang tata laksana pengawasan Dirjen Bea dan Cukai dalam Kawasan
Pelabuhan
dan
Perdagangan
Bebas
mengenai
pelayanan
manifest,
pemeriksaan sarana pengangkut dan kewenangan pencegahan, penyegelan
dan penyidikan; tidak tegasnya pengaturan tentang tata cara penyelesaian
kewajiban pabean atas barang eks Kawasan Pelabuhan dan Perdagangan
Bebas Sabang yang akan di bawa ke daerah pabean Indonesia lainnya ; dan
tidak jelasnya pengaturan tata laksana ekspor ;
46
10. Penegasan Kawasan Pelabuhan dan Perdagangan Bebas sebagai daerah
yang terpisah dari daerah pabean menimbulkan kerancuan terkait peran Bea
dan Cukai dalam pengawasan dan tata laksana ekspor. Dipisahkannya
Kawasan
Pelabuhan dan Perdagangan Bebas dari daerah
pabean
menimbulkan penafsiran bahwa UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
termasuk ketentuan tentang kewenangan-kewenangan bea dan cukai dalam
melakukan pengawasan sekalipun tidak berlaku di Kawasan Pelabuhan dan
Perdagangan Bebas. Demikian pula terhadap kewenangan bea dan cukai
dalam pelayanan dokumen ekspor berupa Pemberitahuan Ekspor Barang
(PEB) menjadi tidak jelas, sementara sampai saat ini dokumen ekspor yang
diakui oleh dunia internasional guna pencairan L/C dan keperluan lainnya
adalah dokumen PEB yang dikeluarkan Dirjen Bea dan Cukai ;
11. Secara kelembagaan pelaksanaan Kawasan Pelabuhan dan Perdagangan
Bebas di Sabang dilaksanakan oleh Dewan Kawasan Pelabuhan dan
Perdagangan Bebas yang dibentuk oleh Presiden Republik Indonesia, yang
struktur kepengurusannya terdiri dari Gubernur sebagai Ketua dan sebagai
wakil Pemerintah Pusat dan Bupati/ Walikota setempat (dalam hal ini Bupati
Aceh Besar dan Walikota Sabang). Untuk melaksanakan fungsi-fungsi
Kawasan Pelabuhan dan Perdagangan Bebas, selanjutnya Dewan Kawasan
membentuk Badan Pengusahaan Pelabuhan dan Perdagangan Bebas.
Struktur kelembagaan yang demikian menunjukkan adanya pola hubungan
kerjasama antara Pusat dan Daerah dalam pengurusan dan pengelolaan
Kawasan Pelabuhan dan Perdagangan Bebas di Sabang ;
47
B. REKOMENDASI
1. Kesiapan pembentukan kawasan pelabuhan dan perdagangan bebas,
perlu didukung oleh berbagai faktor, yaitu :
a. Aturan-aturan mengenai investasi yang menjamin kepastian dalam
berusaha;
b. Sarana dan prasarana yang mendukung kelancaran kegiatan industri
dan perdagangan;
c. Legal culture aparat pemerintah, pengusaha, dan masyarakat, guna
terealisasinya kawasan pelabuhan dan perdagangan bebas.
d. Keseriusan
pemerintah
dalam
merealisasikan
pembentukan
kawasan pelabuhan dan perdagangan bebas.
2. Perlu landasan hukum yang kuat bagi Penerapan Kawasan Pelabuhan
dan Perdagangan Bebas dengan menentukan secara tegas kriteriakriteria yang objektif tentang kelayakan kawasan yang dapat dijadikan
sebagai Kawasan Pelabuhan dan Perdagangan Bebas ;
3. Harus ada ketegasan dan kejelasan pengaturan tentang kewenangan
pengelolaan Kawasan Pelabuhan dan Perdagangan Bebas antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, agar tidak terjadi perbedaan penafsiran
tentang kewenangan pengelolaan Kawasan Pelabuhan dan Perdagangan
Bebas.
4. Pelaksanaan/ penerapan Kawasan Pelabuhan dan Perdagangan Bebas
harus sesuai dengan semangat otonomi daerah.
48
5. Harus ada political will pemerintah untuk segera merealisasikan rencana
pembentukan kawasan pelabuhan dan perdagangan bebas, sehingga
dapat memacu pertumbuhan perekonomian di daerah. Di samping itu,
harus disertai dengan ketersediaan aturan hukum yang memadai agar
pelaksanaan pembentukan kawasan pelabuhan dan perdagangan bebas
tersebut tidak mengalami kendala.
6. Agar tidak terjadi kekosongan hukum dalam pelaksanaan UU No. UU No.
37 Tahun 2000 sehingga UU tersebut dapat dijalankan secara efektif,
maka Pemerintah perlu secepatnya mengundang peraturan pemerintah
yang dibutuhkan dan peraturan pemerintah ini harus dapat menjawab
berbagai ketidak jelasan atau ketidak tegasan kaidah-kaidah hukum
dalam UU No. 37 Tahun 2000 tersebut ;
Medan, 10 Agustus 2006
Tim Perumus
Ketua
: Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH.
Sekretaris
: Tongam Renikson Silaban, SH.,MH.
Anggota
: 1. Dr. Mahmul Siregar,SH.,MHum.
2. Dedi Hariyanto,SH.,M.Hum
3. Ahyar Ari Gayo,SH.,MH.
49
Download