A - WordPress.com

advertisement
FILSAFAT PENDIDIKAN PRAGMATISME
A. Pengantar Pragmatisme (dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan,
yang dilakukan, perbuatan, tindakan) merupakan sebutan
bagi
filsafat
yang
dikembangkan oleh William James (1842 - 1910) di Amerika Serikat. Menurut filsafat
ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung pada manusia
dalam bertindak. Istilah pragmaticisme ini diangkat pada tahun 1865 oleh Charles S.
Pierce (1839-1914) sebagai doktrin pragmatisme. Doktrin dimaksud selanjutnya
diumumkan pada tahun 1978. Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat
berpengaruh dalam pola pikir bangsa Amerika Serikat.
Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali di
dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang sangat berjasa dalam pengembangan
pragmatisme pendidikan adalah John Dewey (1859 - 1952). Pragmatisme Dewey
merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James. Dewey
mencapai popularitasnya di bidang logika, etika epistemologi, filsafat politik, dan
pendidikan. Makalah ini sendiri selanjutnya akan mendeskripsikan pemikiran John
Dewey tentang pragmatisme pendidikan.
B. Kehidupan John Dewey John Dewey merupakan filosof, psikolog, pendidik
dan kritikus sosial Amerika. Ia dilahirkan di Burlington, Vermont, tepatnya tanggal 20
Oktober 1859. Pada tahun 1875, Dewey masuk kuliah di University of Vermont dengan
spesifikasi bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Setelah tamat, ia mengajar sastra klasik,
sains, dan aljabar di sebuah sekolah menengah atas di Oil City, Pensylvania tahun 18791881. Bersama gurunya, H.A.P. Torrey, Dewey juga menjadi tutor pribadi di bidang
filsafat. Selain itu, Dewey juga belajar logika kepada Charles S. Pierce dan C.S. Hall,
salah seorang psikolog eksperimental Amerika. Selanjutnya, Dewey melanjutkan
studinya dan meraih gelar doktor dari John Hopkins University tahun 1884 dengan
disertasi tentang filsafat Kant. Dewey kemudian mengajar di University of Michigan
(1884-1894), menjadi kepala jurusan filsafat, psikologi dan pendidikan di University of
Chicago tahun 1894. Pada tahun 1899, Dewey menulis buku The School and Society,
yang memformulasikan metode dan kurikulum sekolah yang membahas tentang
1
pertumbuhan anak. Dewey banyak menulis masalah-masalah sosial dan mengkritik
konfrontasi demokrasi Amerika, ikut serta dalam aktifitas organisasi sosial dan
membantu mendirikan sekolah baru bagi Social Reseach tahun 1919 di New York.
Sebagian besar kehidupan Dewey dihabiskan dalam dunia pendidikan. Lembaga-lembaga
pendidikan yang disinggahi Dewey adalah University of Michigan, University of
Colombia dan University of Chicago. Tahun 1894 Dewey memperoleh gelar Professor of
Philosophy dari Chicago University. Dewey akhirnya meninggal dunia tanggal 1 Juni
1952 di New York dengan meninggalkan tidak kurang dari 700 artikel dan 42 buku dalam
bidang filsafat, pendidikan, seni, sains, politik dan pembaharuan sosial.
Diantara karya-karya Dewey yang dianggap penting adalah Freedom and Cultural,
Art and Experience, The Quest of Certainty Human Nature and Conduct (1922),
Experience and Nature (1925), dan yang paling fenomenal Democracy and Education
(1916). Gagasan filosofis Dewey yang terutama adalah problem pendidikan yang
kongkrit, baik yang bersifat teoritis maupun praktis. Reputasinya terletak pada
sumbangan pemikirannya dalam filsafat pendidikan progresif di Amerika. Pengaruh
Dewey di kalangan ahli filsafat pendidikan dan filsafat umumnya tentu sangat besar.
Namun demikian, Dewey juga memiliki sumbangan di bidang ekonomi, hukum,
antropologi, politik serta ilmu jiwa.
C. Sekilas Tentang Pragmatisme Pragmatisme pada dasarnya merupakan gerakan
filsafat Amerika yang begitu dominan selama satu abad terakhir dan mencerminkan sifatsifat kehidupan Amerika. Demikian dekatnya pragmatisme dangan Amerika sehingga
Popkin dan Stroll menyatakan bahwa pragmatisme merupakan gerakan yang berasal dari
Amerika yang memiliki pengaruh mendalam dalam kehidupan intelektual di Amerika.
Bagi kebanyakan rakyat Amerika, pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran, asal dan
tujuan, hakekat serta hal-hal metafisis yang menjadi pokok pembahasan dalam filsafat
Barat dirasakan amat teoritis. Rakyat Amerika umumya menginginkan hasil yang
kongkrit. Sesuatu yang penting harus pula kelihatan dalam kegunaannya. Oleh karena itu,
pertanyan what is harus dieliminir dengan what for dalam filsafat praktis. Membicarakan
pragmatisme sebagai sebuah paham dalam filsafat, tentu tidak dapat dilepaskan dari
nama-nama seperti Charles S. Pierce, William Jamess dan John Dewey. Meskipun ketiga
2
tokoh tersebut dimasukkan dalam kelompok aliran pragmatisme, namun diantara
ketiganya memiliki fokus pembahasan yang berbeda. Charles S. Pierce lebih dekat
disebut filosof ilmu, sedangkan William James disebut filosof agama dan John Dewey
dikelompokkan pada filosof sosial.
Pragmatisme sebagai suatu interpretasi baru terhadap teori kebenaran oleh Pierce
digagas sebagai teori arti. Dalam kaitan dengan ini, dinyatakan: According to the
pragmatic theory of truth, a proposition is true in so far as it works or satisfies, working
or satisfying being described variously by different exponent on the view (Menurut teori
pragmatis tentang kebenaran, suatu proposisi dapat disebut benar sepanjang proposisi itu
berlaku [works] atau memuaskan [satisfies], berlaku dan memuaskannya itu diuraikan
dengan berbagai ragam oleh para pengamat teori tersebut). Sementara itu, James
menominalisasikan pragmatisme sebagai teori cash value. James kemudian menyatakan:
"True ideas are those that we can assimilate, validate, corrobrate, and verify. False ideas
are those that we can not" (Ide-ide yang benar menurut James adalah ide-ide yang dapat
kita serasikan, kita umumkan berlakunya, kita kuatkan dan kita periksa. Sebaliknya ide
yang salah adalah ide yang tidak demikian). Untuk membedakan dengan dua
pendahulunya tersebut, Dewey menamakan pragmatisme sebagai instrumentalisme.
Instrumentalisme
sebenarnya
sebutan
lain
dari
filsafat
pragmatisme,
selain
eksperimentalisme. Pierce memaksudkan pragmatisme untuk membuat pikiran biasa
menjadi ilmiah, tetapi James memandangnya sebagai sebuah filsafat yang dapat
memecahkan masalah-masalah metafisik dan agama. Bahkan lebih jauh, James
menganggapnya sebagai theory of meaning dan theory of truth. Dewey merumuskan
esensi instrumentalisme pragmatis sebagai to conceive of both knowledge and practice as
means of making good excellencies of all kind secure in experienced existence.
Demikianlah, Dewey memberikan istilah pragmatisme dengan instrumentalism,
operationalism, functionalism, dan experimentalism. Disebut demikian karena menurut
aliran ini bahwa ide, gagasan, pikiran, dan inteligent merupakan alat atau instrumen untuk
mengatasi kesulitan atau persoalan yang dihadapi manusia.
D. Pemikiran John Dewey Tentang Pendidikan
3
1. Pengalaman dan Pertumbuhan Pemikiran John Dewey banyak dipengaruhi oleh
teori evolusi Charles Darwin (1809-1882) yang mengajarkan bahwa hidup di dunia ini
merupakan suatu proses, dimulai dari tingkatan terendah dan berkembang maju dan
meningkat. Hidup tidak statis, melainkan bersifat dinamis. All is in the making, semuanya
dalam
perkembangan.
Pandangan
Dewey
mencerminkan
teori
evolusi
dan
kepercayaannya pada kapasitas manusia dalam kemajuan moral dan lingkungan
masyarakat, khusunya malalui pendidikan. Menurut Dewey, dunia ini penciptaannya
belum selesai. Segala sesuatu berubah, tumbuh, berkembang, tidak ada batas, tidak statis,
dan tidak ada finalnya. Bahkan, hukum moral pun berubah, berkembang menjadi
sempurna. Tidak ada batasan hukum moral dan tidak ada prinsip-prinsip abadi, baik
tingkah laku maupun pengetahuan.
Pengalaman (experience) adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme.
Pengalaman merupakan keseluruhan aktivitas manusia yang mencakup segala proses
yang saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan
fisik. Filsafat instrumentalisme Dewey dibangun berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan
berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman.
Untuk menyusun kembali pengalaman-pengalaman tersebut diperlukan pendidikan yang
merupakan transformasi yang terawasi dari keadaan tidak menentu ke arah keadaan
tertentu. Pandangan Dewey mengenai pendidikan tumbuh bersamaan dengan kerjanya di
laboratorium sekolah untuk anak-anak di University of Chicago. Di lembaga ini, Dewey
mencoba untuk mengupayakan sekolah sebagai miniatur komunitas yang menggunakan
pengalaman-pengalaman sebagai pijakan. Dengan model tersebut, siswa dapat melakukan
sesuatu secara bersama-sama dan belajar untuk memantapkan kemampuannya dan
keahliannya. Sebagai tokoh pragmatisme, Dewey memberikan kebenaran berdasarkan
manfaatnya dalam kehidupan praktis, baik secara individual maupun kolektif. Oleh
karenanya, ia berpendapat bahwa tugas filsafat memberikan garis-garis arahan bagi
perbuatan. Filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran metafisik yang sama sekali
tidak berfaedah. Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah
pengalaman tersebut secara aktif dan kritis. Dengan cara demikian, filsafat menurut
Dewey dapat menyusun norma-norma dan nilai-nilai.
4
2. Tujuan Pendidikan Dalam menghadapi industrialisasi Eropa dan Amerika,
Dewey berpendirian bahwa sistem pendidikan sekolah harus diubah. Sains, menurutnya,
tidak mesti diperoleh dari buku-buku, melainkan harus diberikan kepada siswa melalui
praktek dan tugas-tugas yang berguna. Belajar harus lebih banyak difokuskan melalui
tindakan dari pada melalui buku. Dewey percaya terhadap adanya pembagian yang tepat
antara teori dan praktek. Hal ini membuat Dewey demikian lekat dengan atribut learning
by doing. Yang dimaksud di sini bukan berarti ia menyeru anti intelektual, tetapi untuk
mengambil kelebihan fakta bahwa manusia harus aktif, penuh minat dan siap
mengadakan eksplorasi. Dalam masyarakat industri, sekolah harus merupakan miniatur
lokakarya dan miniatur komunitas. Belajar haruslah dititiktekankan pada praktek dan trial
and error. Akhirnya, pendidikan harus disusun kembali bukan hanya sebagai persiapan
menuju kedewasaan, tetapi pendidikan sebagai kelanjutan pertumbuhan pikiran dan
kelanjutan penerang hidup.
Sekolah hanya dapat memberikan kita alat pertumbuhan mental, sedangkan
pendidikan yang sebenarnya adalah saat kita telah meninggalkan bangku sekolah, dan
tidak ada alasan mengapa pendidikan harus berhenti sebelum kematian menjemput.
Tujuan pendidikan adalah efisiensi sosial dengan cara memberikan kemampuan untuk
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan
bersama secara bebas dan maksimal. Tata susunan masyarakat yang dapat menampung
individu yang memiliki efisiensi di atas adalah sistem demokrasi yang didasarkan atas
kebebasan, asas saling menghormati kepentingan bersama, dan asas ini merupakan sarana
kontrol sosial. Mengenai konsep demokrasi dalam pendidikan, Dewey berpendapat
bahwa dalam proses belajar siswa harus diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat.
Siswa harus aktif dan tidak hanya menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru.
Begitu pula, guru harus menciptakan suasana agar siswa senantiasa merasa haus akan
pengetahuan. Karena pendidikan merupakan proses masyarakat dan banyak terdapat
macam masyarakat, maka suatu kriteria untuk kritik dan pembangunan pendidikan
mengandung cita-cita utama dan istimewa. Masyarakat yang demikian harus memiliki
semacam pendidikan yang memberikan interes perorangan kepada individu dalam
hubungan kemasyarakatan dan mempunyai pemikiran yang menjamin perubahanperubahan sosial. Dasar demokrasi adalah kepercayaan dalam kapasitasnya sebagai
5
manusia. Yakni, kepercayaan dalam kecerdasan manusia dan dalam kekuatan kelompok
serta pengalaman bekerja sama. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa semua dapat
menumbuhkan dan membangkitkan kemajuan pengetahuan dan kebijaksanaan yang
dibutuhkan dalam kegiatan bersama.
Ide kebebasan dalam demokrasi bukan berarti hak bagi individu untuk berbuat
sekehendak hatinya. Dasar demokrasi adalah kebebasan pilihan dalam perbuatan (serta
pengalaman) yang sangat penting untuk menghasilkan kemerdekaan inteligent. Bentukbentuk kebebasan adalah kebebasan dalam berkepercayaan, mengekspresikan pendapat,
dan lain-lain. Kebebasan tersebut harus dijamin, sebab tanpa kebebasan setiap individu
tidak dapat berkembang. Filsafat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, karena filsafat
pendidikan merupakan rumusan secara jelas dan tegas membahas problema kehidupan
mental dan moral dalam kaitannya dengan menghadapi tantangan dan kesulitan yang
timbul dalam realitas sosial dewasa ini. Problema tersebut jelas memerlukan pemecahan
sebagai solusinya. Pikiran dapat dipandang sebagai instrumen yang dapat menyelesaikan
problema dan kesulitan tersebut. Di dalam filsafat John Dewey disebutkan adanya
experimental continum atau rangkaian kesatuan pengalaman, yaitu proses pendidikan
yang semula dari pengalaman menuju ide tentang kebiasaan (habit) dan diri (self) kepada
hubungan antara pengetahuan dan kesadaran, dan kembali lagi ke pendidikan sebagai
proses sosial. Kesatuan rangkaian pengalaman tersebut memiliki dua aspek penting untuk
pendidikan, yaitu hubungan kelanjutan individu dan masyarakat serta hubungan
kelanjutan pikiran dan benda.
A. Tinjauan Kritis Satu hal yang harus digarisbawahi adalah bahwa pragmatisme
merupakan filsafat bertindak. Dalam menghadapi berbagai persoalan, baik bersifat
psikologis, epistemologis, metafisik, religius dan sebagainya, pragmatisme selalu
mempertanyakan bagaimana konsekuensi praktisnya. Setiap solusi terhadap masalah apa
pun selalu dilihat dalam rangka konsekuansi praktisnya, yang dikaitkan dengan
kegunaannya dalam hidup manusia. Dan konsekuensi praktis yang berguna dan
memuaskan manusia itulah yang membenarkan tindakan tadi. Dalam rangka itulah, kaum
pragmatis tidak mau berdiskusi bertele-tele, bahkan sama sekali tidak menghendaki
6
adanya diskusi, malainkan langsung mencari tindakan yang tepat untuk dijalankan dalam
situasi yang tepat pula.
Kaum pragmatis adalah manusia-manusia empiris yang sanggup bertindak, tidak
terjerumus dalam pertengkaran ideologis yang mandul tanpa isi, melainkan secara nyata
berusaha memecahkan masalah yang dihadapi dengan tindakan yang konkrit. Karenanya,
teori bagi kaum pragmatis hanya merupakan alat untuk bertindak, bukan untuk membuat
manusia terbelenggu dan mandeg dalam teori itu sendiri. Teori yang tepat adalah teori
yang berguna, yang siap pakai, dan yang dalam kenyataannya berlaku, yaitu yang mampu
memungkinkan manusia bertindak secara praktis.
Kebenaran suatu teori, ide atau keyakinan bukan didasarkan pada pembuktian
abstrak yang muluk-muluk, melainkan didasarkan pada pengalaman, pada konsekuansi
praktisnya, dan pada kegunaan serta kepuasan yang dibawanya. Pendeknya, ia mampu
mengarahkan manusia kepada fakta atau realitas yang dinyatakan dalam teori tersebut.
Pragmatisme mempunyai dua sifat, yaitu merupakan kritik terhadap pendekatan ideologis
dan prinsip pemecahan masalah. Sebagi kritik terhadap pendekatan ideologis,
pragmatisme mempertahankan relevansi sebuah ideologi bagi pemecahan, misalnya
fungsi pendidikan. Pragmatisme mengkritik segala macam teori tentang cita-cita, filsafat,
rumusan-rumusan abstrak yang sama sekali tidak memiliki konsekuansi praktis. Bagi
kaum pragmatis, yang penting bukan keindahan suatu konsepsi melainkan hubungan
nyata pada pendekatan masalah yang dihadapi masyarakat.
Sebagai prinsip pemecahan masalah, pragmatisme mengatakan bahwa suatu
gagasan atau strategi terbukti benar apabila berhasil memecahkan masalah yang ada,
mengubah situasi yang penuh keraguan dan keresahan sedemikian rupa, sehingga
keraguan dan keresahan tersebut hilang. Dalam kedua sifat tersebut terkandung segi
negatif pragmatisme dan segi-segi positifnya. Pragmatisme, misalnya, mengabaikan
peranan diskusi. Justru di sini muncul masalah, karena pragmatisme membuang diskusi
tentang dasar pertanggungjawaban yang diambil sebagai pemecahan atas masalah
tertentu. Sedangkan segi positifnya tampak pada penolakan kaum pragmatis terhadap
perselisihan teoritis, pertarungaan ideologis serta pembahasan nilai-nilai yang
7
berkepanjangan, demi sesegera mungkin mengambil tindakan langsung. Dalam kaitan
dengan dunia pendidikan, kaum pragmatisme menghendaki pembagian yang tetap
terhadap persoalan yang bersifat teoritis dan praktis. Pengembangan terhadap yang
teoritis akan memberikan bekal yang bersifat etik dan normatif, sedangkan yang praktis
dapat mempersiapkan tenaga profesional sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Proporsionalisasi yang teoritis dan praktis itu penting agar pendidikan tidak
melahirkan materialisme terselubung ketika terlalu menekankan yang praktis. Pendidikan
juga tidak dapat mengabaikan kebutuhan praktis masyarakat, sebab kalau demikian yang
terjadi berarti pendidikan tersebut dapat dikatakan disfungsi, tidak memiliki konsekuansi
praktis.
8
Download