JPII Volume 1, Nomor 2, April 2017 IMPLIKASI ALIRAN FILSAFAT PRAGMATISME TERHADAP PRAKSIS PENDIDIKAN Dwi Priyanto Institut Agama Islam Negeri Purwokerto [email protected] This papers aims to describe of implication ideology pragmatic philosophy toward practical in education. Conception of pragmatic education is education to purpose for children maturation be come human be autonomous, responsible and be able to problem solving your live alone. Education must directed in place where children in a place. Curriculum that used every subject does not can separated but constitute unit integrated, and experience in the school always integrated with experience outside school. That Problems appointed by teacher in classroom is actual problems attractive that interest for children or to become center of notice for children. That application of method by teacher is diciplin method but authorization. All subject matter that in display must be basic facts that in observed, understanded, along with previously discussed and subject matters talked about probabled contains ideas that can develop situation for achieve to purpose. Teacher role in pragmatic education but of as facilitator and motivator children activity. All children activity carry out self in a row with interest and necessary that chooised, but teacher permanent supply directive that enable children to growth appropriate with talent and that possessed interest. Kata Kunci: aliran filsafat, filsafat pragmatisme, praksis pendidikan ………………………….………………………………………………………………………………... Pendahuluan Pendidikan pada hakekatnya merupakan upaya sadar yang diorganisir secara sistematis untuk mengembangkan potensi dan kemampuan peserta didik agar memiliki kompetensi sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikan, baik pada lembaga pendidikan formal maupun non-formal. Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita manusia universal. Fungsi pendidikan adalah serangkaian tugas atau misi yang diemban dan harus dilaksanakan oleh pendidikan (Hadisusanto, 1995 dalam Dardiri, 2010). Lebih lanjut Dardiri (2010) menjelaskan bahwa kegiatan atau praktik pendidikan dimanapun bukanlah kegiatan tanpa makna dan tanpa tujuan yang jelas, Dalam kegiatan pendidikan tersirat suatu tugas atau misi yang harus diwujudkan. Oleh karena itu, para pendidik, pengelola pendidikan dan pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan pendidikan seharusnya selalu menyadari akan tugas atau misi dari kegiatan pendidikan yang dilaksanakan atau yang dikelola. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dari keseimbangan, yang sudah barang tentu dalam menjalankan kelanjutan 177 Dwi Priyanto – Pragmatisme terhadap Praksis Pendidikan pendidikan sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional. Dalam Undangundang No. 2o tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 2 disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Fungsi dan tujuan pendidikan sebagaimana diamanatkan oleh UU Sisdiknas tersebut di atas adalah merupakan cita-cita bangsa dalam mencerdaskan manusia Indonesia yang sungguh mulia dan hendaknya harus dapat diimplementasikan dalam lembaga pendidikan secara baik, mulai dari tahapan perencanaan pendidikan, implementasi dalam proses penyelenggaraan pendidikan, pengawasan penyelenggaraan pendidikan, dan kegiatan evaluasi penyelenggaraan pendidikan. Ini berarti bahwa setiap penyelenggara pendidikan di masyarakat baik pendidikan formal maupun non-formal harus berorientasi pada tercapainya fungsi dan tujuan pendidikan nasional tersebut. Meskipun disadari bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut tidaklah mudah, dan harus didukung oleh seperangkat kebijakan perencanaan pendidikan yang memadai, seperti misalnya kebijakan tentang terpenuhinya sarana prasarana pendidikan yang memadai, kurikulum pendidikan yang baik, sistem penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang memadai, manajemen sekolah yang memadai, kualitas pendidik yang profesional, dan dukungan dana yang memadai. Dunia pendidikan sekarang tak hanya dimaknai sebagai sarana untuk 178 memanusiakan manusia tetapi lebih dari itu yakni pendidikan berbasis pada paradigma education as human investment. Dunia pendidikan telah menjelma menjadi pabrikpabrik yang siap memproduksi manusiamanusia pesanan pasar. Konsekuensi logisnya, dengan harga tertentu akan didapat produk dengan kualitas sebatas harga yang diberikan. Dengan kata lain, dalam logika ekonomi, semakin tinggi masyarakat berani membayar atau berinvestasi pada sebuah lembaga pendidikan, semakin tinggi pula kualitas produknya. Ketika tantangan globalisasi sekarang menghendaki penguasaan soft skill dan hard skill competence bahasa Inggris, IT, keuletan, kreativitas, profesionalisme, dan lainnya, lembaga pendidikan beramai-ramai mengakomodasinya. Inovasi-inovasi pendidikan dilontarkan agar tak sekadar keunggulan kompetitif yang didapat tetapi juga keunggulan komparatif. Jika dilihat secara filosofis maka sebenarnya masalah tersebut terjadi karena dunia pendidikan tak mempunyai landasan filsafat dan ideologi pendidikan yang kuat. Visi pendidikan kita pada kurikulum 1994 dan sebelumnya hingga menjelang reformasi telah mengandaikan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia Indonesia yang sempurna lahir dan batin, mampu menguasai segalanya, bisa apa saja, intinya adalah sebentuk ubermensch (superman) yang digadang-gadang oleh Hitler ketika mengklaim rasnya sebagai yang terunggul di dunia. Intinya pendidikan di negeri ini ditujukan untuk membentuk manusia super (superman) yang serba unggul yang ternyata hal itu pun masih dalam kontroversi secara filsafati dan mengabaikan realitas sosialbudaya bangsa Indonesia. Rujukan dari filsafat pendidikan yang berwatak pragmatis; pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang berguna, dan hasil dari pendidikan adalah berfungsi bagi JPII Volume 1, Nomor 2, April 2017 kehidupannya. Karena itu, pendidikan harus didesain secara fleksibel dan terbuka. Maksudnya pendidikan tidak boleh mengurung kebebasan berkreasi anak, lebihlebih membunuh kreatifitas anak. Menurut pragmatisme, pendidikan bukan semata-mata membentuk pribadi anak tanpa memperhatikan potensi yang ada dalam diri anak, juga bukan beranggapan bahwa anak telah memiliki kekuatan laten yang memungkinkan untuk berkembang dengan sendirinya sesuai tujuan. Namun, pendidikan merupakan suatu proses reorganisasi dan rekonstruksi dari pengalaman-pengalaman individu (Sadulloh, 2003: 125). Maraknya tuntutan reformasi dalam bidang pendidikan di Indonesia didorong oleh keinginan mendudukkan pendidikan sebagai alat yang efektif untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kenyataan ini tentu sangat bertentangan dengan apa yang terjadi selama era Orde Baru. Pendidikan lebih berfungsi sebagai alat pengendali kekuasaan dan membangun dominasi ketimbang sebagai alat untuk memberdayakan masyarakat dan membangun kesadaran kolektif sebagai sebuah bangsa dan negara (H.A.R. Tilaar, 2000: 4). Sejalan dengan bergulirnya masa transisi kehidupan bermasyarakat di Indonesia, dari situasi yang represif berubah menjadi demokratis, banyak melahirkan berbagai situasi baru. Di bidang pendidikan misalnya, lahir berbagai kebijakan baru yang mendorong pemberian wewenang kepada sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan seperti; Manajemen Berbasis Sekolah, Kurikulum Berbasis Sekolah, Kurikulum 2013, Sertifikasi Guru, Standarisasi Mutu Pendidikan dan lain sebagainya. Di bidang pemerintahan, juga lahir berbagai kebijakan baru, salah satunya adalah diputuskannya otonomi daerah sebagai model pemerintahan pasca Orde Baru, yang tentu juga akan memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan di tingkat daerah. Berbagai perubahan kebijakan tersebut tentu diharapkan dapat memberikan harapan baru bagi peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia dan pencapain tujuan pendidikan nasional yakni terwujudnya manusia Indonesia yang memiliki kepribadian yang utuh, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional). Harapan itu tentu sangat ideal, karena selama ini praktek pelaksanaan pendidikan di Indonesia hampir kehilangan orientasi dan tercerabut dari akar sejarahnya. Praktek pendidikan di Indonesia hampir tidak lagi diilhami oleh Pancasila sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Penanaman nilai-nilai luhur serta pembudayaannya menjadi pandangan yang langka di sekolahsekolah di Indonesia. Proses pembelajaran di sekolah-sekolah Indonesia lebih diorientasikan pada pembentukan satu ranah potensi siswa (kognitif) saja, sementara aspek yang lain; aspek pembudayaan nilai-nilai luhur dan psikomotorik siswa menjadi prioritas yang tidak begitu diperhitungkan (Soedijarto, 1998:70). Menyadari hal tersebut, tulisan ini didedikasikan untuk kembali kepada landasan filosofis dari filsafat pragmatisme. Membicarakan pragmatisme sebagai sebuah paham dalam filsafat, tentu tidak dapat dilepaskan dari nama-nama seperti Charles S. Pierce, William Jamess dan John Dewey. Meskipun ketiga tokoh tersebut dimasukkan dalam kelompok aliran pragmatisme, namun diantara ketiganya memiliki fokus pembahasan yang berbeda. Charles S. Pierce lebih dekat disebut filosof ilmu, sedangkan William James disebut filosof agama dan John Dewey dikelompokkan pada filosof sosial. Pragmatisme sebagai suatu interpretasi baru terhadap teori kebenaran oleh Pierce digagas sebagai teori arti. Dalam 179 Dwi Priyanto – Pragmatisme terhadap Praksis Pendidikan kaitan dengan ini, dinyatakan: bahwa teori pragmatis tentang kebenaran atau suatu proposisi dapat disebut benar sepanjang proposisi itu berlaku (works) atau memuaskan (satisfies), berlaku dan memuaskannya itu diuraikan dengan berbagai ragam oleh para pengamat teori tersebut). Sementara itu, James menominalisasikan pragmatisme sebagai teori cash value. James kemudian menyatakan: "True ideas are those that we can assimilate, validate, corrobrate, and verify. False ideas are those that we can not" (Ide-ide yang benar menurut James adalah ide-ide yang dapat kita serasikan, kita umumkan berlakunya, kita kuatkan dan kita periksa. Sebaliknya ide yang salah adalah ide yang tidak demikian). Sejarah Filsafat Pragmatisme Setelah melalui Abad Pertengahan (abad V-XV M) yang gelap dengan ajaran gereja yang dominan, Barat mulai menggeliat dan bangkit dengan Renaissance, yakni suatu gerakan atau usaha yang berkisar antara tahun 1400-1600 M untuk menghidupkan kembali kebudayaan klasik Yunani dan Romawi. Berbeda dengan tradisi Abad Pertengahan yang hanya mencurahkan perhatian pada masalah metafisik yang abstrak, seperti masalah Tuhan, manusia, kosmos, dan etika, Renaissance telah membuka jalan ke arah aliran Empirisme. William Ockham (1285-1249 M) dengan filsafat Gulielmusnya yang mendasarkan pada pengenalan inderawi, telah mulai menggeser dominasi filsafat Thomisme, ajaran Thomas Aquinas yang menonjol di Abad Pertengahan, yang mendasarkan diri pada filsafat Aristoteles. Ide Ockham ini dianggap sebagai benih awal bagi lahirnya Renaissance. Semangat Renaissance ini, sesungguhnya terletak pada upaya pembebasan akal dari kekangan dan 180 belenggu gereja dan menjadikan fakta empirik sebagai sumber pengetahuan, tidak terletak pada filsafat Yunani itu sendiri. Dalam hal ini Barat hanya mengambil karakter utama pada filsafat dan seni Yunani, yakni keterlepasannya dari agama, atau dengan kata lain, adanya kebebasan kepada akal untuk berkreasi. Ini terbukti antara lain dari ide beberapa tokoh Renaissance, seperti Nicolaus Copernicus (1473-1543 M) dengan pandangan heliosentriknya, yang didukung oleh Johanes Kepler (1571-1630 M) dan Galileo Galilei (1564-1643 M). Juga Francis Bacon (1561-1626 M) dengan teknik berpikir induktifnya, yang berbeda dengan teknik deduktif Aristoteles (dengan logika silogismenya) yang diajarkan pada Abad Pertengahan. Jadi, Barat tidak mengambil filsafat Yunani apa adanya, sebab justru filsafat Yunani itulah yang menjadi dasar filsafat Kristen pada Abad Pertengahan, baik periode Patristik (400-1000 M) dengan filsafat Emanasi Neoplatonisme yang dikembangkan oleh Augustinus (354-430 M), maupun periode Scholastik (1000-1400 M) dengan filsafat Thomisme yang bersandar pada Aristoteles. Semua filsafat Yunani ini membahas metafisika, tidak membahas fakta empirik sebagaimana yang dituntut oleh Renaissance. Jadi, semangat Renaissance itu tidak bersumber pada filsafat Yunaninya itu sendiri, tetapi pada karakternya yang terlepas dari agama. Renaissance juga diperkuat adanya Reformasi, sebuah upaya pemberontakan terhadap dominasi gereja Katholik yang dirintis oleh Marthin Luther di Jerman (1517). Gerakan ini bertolak dari korupsi umum dalam gereja seperti penjualan Surat Tanda Pengampunan Dosa (Afllatbrieven), penindasannya yang merajalela, dan dominasinya terhadap negara-negara Eropa. Meskipun Reformasi tidak secara langsung ikut memperjuangkan apa yang disebut “pembebasan akal”, tetapi gerakan ini secara JPII Volume 1, Nomor 2, April 2017 tak sadar telah memperkuat Renasissance dengan mempelopori kebebasan beragama (Protestan) dan telah memperlemah posisi Gereja dengan memecah kekuatan Gereja menjadi dua aliran; Katholik dan Protestan. Kritik-kritik terhadap Injil di Jerman sekitar abad XVII juga dianggap implikasi tak langsung dari adanya Reformasi. Meskipun demikian, Gereja Katholik dan tokoh Reformasi memiliki sikap sama terhadap upaya Renaissance, yakni menentang ide-ide yang tidak sesuai dengan Injil. Calvin, seorang tokoh Reformasi di Jenewa (Swiss), mendukung pembakaran hidup-hidup terhadap Servetus dari Spanyol (1553 M), yang menentang Trinitas. Gereja Katholik dan Reformasi juga sama-sama menolak ide Copernicus (1543 M) tentang matahari sebagai pusat tata surya, seraya mempertahankan doktrin Ptolemeus yang menganggap bumi sebagai pusat tata surya. Pada abad XVII, perkembangan Renaissance telah melahirkan dua aliran pemikiran yang berbeda: aliran Rasionalisme dengan tokoh-tokohnya seperti Rene Descartes (1596-1650 M), Baruch Spinoza (1632-1677 M), dan Pascal (1623-1662 M), dan aliran Empirisme dengan tokoh-tokohnya Thomas Hobbes (1558-1679 M), John Locke (1632-1704 M). Rasionalisme memandang bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal), sedang Empirisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah empirik, atau pengalaman manusia dengan menggunakan panca inderanya. Kemudian datanglah Masa Pencerahan (Aufklarung) pada abad XVIII yang dirintis oleh Isaac Newton (1642-1727 M), sebagai perkembangan lebih jauh dari Rasionalisme dan Empirisme dari abad sebelumnya. Pada abad sebelumnya, fokus pembahasannya adalah pemberian interpretasi baru terhadap dunia, manusia, dan Tuhan. Sedang pada Masa Aufklarung, pembahasannya lebih meluas mencakup segala aspek kehidupan manusia, seperti aspek pemerintahan dan kenegaraan, agama, ekonomi, hukum, pendidikan dan sebagainya. Bertolak dari prinsip-prinsip Empirisme John Locke, George Berkeley (1685-1753 M) mengembangkan “immaterialisme”, sebuah pandangan yang lebih ekstrim daripada pandangan John Locke. Jika Locke berpandangan bahwa kita dapat mengenal esensi sebenarnya (hakikat) dari fenomena material dan spiritual, Berkeley menganggap bahwa substansisubstansi material itu tidak ada, Yang ada adalah ciri-ciri yang diamati. Pandangan Locke dan Berkeley dikembangkan lebih lanjut oleh David Hume (1711-1776 M), dengan dua ide pokoknya; yakni tentang skeptisisme (keragu-raguan) ekstrim bahwa filsuf itu mampu menemukan kebenaran tentang apa saja, dan keyakinan bahwa “pengetahuan tentang manusia” akan dapat menjelaskan hakikat pengetahuan yang dimiliki manusia. Selain George Berkeley dan David Hume, Immanuel Kant (1724-1804 M) juga dianggap salah seorang tokoh Masa Pencerahan. Filsafat Kant disebut Kritisisme, yakni aliran yang mencoba mensintesiskan secara kritis Empirisme yang dikembangkan Locke yang bermuara pada Empirisme Hume, dengan Rasionalisme dari Descartes. Kant mulai menelaah batas-batas kemampuan rasio, berbeda dengan dengan para pemikir Rasionalisme yang mempercayai kemampuan rasio bulat-bulat. Namun demikian, Kant juga mempercayai Empirisme. Walhasil dia berpandangan bahwa semua pengetahuan mulai dari pengalaman, namun tidak berarti semua dari pengalaman. Obyek luar ditangkap oleh indera, tetapi rasio mengorganisasikan bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman tersebut. Pada abad XIX, filsafat Kant tersebut dikembangkan lebih lanjut di Jerman oleh J. Fichte (1762-1814 M), F. Schelling (1775-1854 181 Dwi Priyanto – Pragmatisme terhadap Praksis Pendidikan M) dan Hegel (1770-1831M). Namun yang mereka kembangkan tidaklah filsafat Kant seutuhnya, tetapi lebih memprioritaskan ideide, yakni tidak memfokuskan pada pembahasan fakta empirik. Karenanya, aliran mereka disebut dengan Idealisme. Dari ketiganya, Hegel merupakan tokoh yang menonjol, karena banyak pemikir pada abad ke-19 dan ke-20 yang merupakan murid-muridnya, baik langsung maupun tidak. Mereka terbagi dalam dua pandangan, yaitu pengikut Hegel aliran kanan yang membela agama Kristen seperti John Dewey (1859-1952M), salah seorang peletak dasar Pragmatisme yang menjadi budaya Amerika (Kapitalisme) saat ini, dan pengikut Hegel aliran kiri yang memusuhi agama, seperti Feuerbach, Karl Marx, dan Engels dengan ide Materialisme yang merupakan dasar ideologi Komunisme di Rusia. Empirisme itu sendiri pada abad XIX dan XX berkembang lebih jauh menjadi beberapa aliran yang berbeda, yaitu Positivisme, Materialisme, dan Pragmatisme. Positivisme dirintis oleh August Comte (1798-1857M), yang dianggap sebagai Bapak ilmu Sosiologi Barat. Positivisme sebagai perkembangan Empirisme yang ekstrim, adalah pandangan yang menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah “data-data yang nyata/empirik”, atau yang mereka namakan positif. Nilai-nilai politik dan sosial menurut Positivisme dapat digeneralisasikan berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari penyelidikan terhadap kehidupan masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai politik dan sosial juga dapat dijelaskan secara ilmiah, dengan mengemukakan perubahan historis atas dasar cara berpikir induktif. Jadi, nilai-nilai tersebut tumbuh dan berkembang dalam suatu proses kehidupan dari suatu masyarakat itu sendiri. Materialisme adalah aliran yang menganggap bahwa asal atau hakikat segala sesuatu adalah materi. Di antara tokohnya ialah Feuerbach (1804-1872 182 M), Karl Marx (1818-1883 M) dan Fredericht Engels (1820-1895 M). Karl Marx menerima konsep Dialektika Hegel, tetapi tidak dalam bentuk aslinya (Dialektika Ide). Kemudian dengan mengambil Materialisme dari Feuerbach, Karl Marx lalu mengubah Dialektika Ide menjadi Dialektika Materialisme, sebuah proses kemajuan dari kontradiksi-kontradiksi tesis-antitesissintesis yang sudah diujudkan dalam dunia materi. Dialektika Materialisme lalu digunakan sebagai alat interpretasi terhadap sejarah manusia dan perkembangannya. Interpretasi inilah yang disebut sebagai Historis Materialisme, yang menjadi dasar ideologi Sosialisme-Komunisme (Marxisme). Pragmatisme dianggap juga salah satu aliran yang berpangkal pada Empirisme, kendatipun ada pula pengaruh Idealisme Jerman (Hegel) pada John Dewey, seorang tokoh Pragmatisme yang dianggap pemikir paling berpengaruh pada zamannya. Selain John Dewey, tokoh Pragmatisme lainnya adalah Charles Pierce dan William James. Konsep Filsafat Pragmatisme Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan, merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James (18421910 M) di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Istilah pragmaticisme ini diangkat pada tahun 1865 M oleh Charles S. Pierce (1839-1914 M) sebagai doktrin pragmatisme. Dalam konsep tersebut ia menyatakan bahwa, sesuatu dikatakan berpengaruh bila memang memuat hasil yang praktis. Pada kesempatan yang lain ia juga menyatakan bahwa, pragmatisme sebenarnya bukan suatu filsafat, bukan metafisika, dan bukan teori kebenaran, melainkan suatu teknik JPII Volume 1, Nomor 2, April 2017 untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah (Ismaun, 2004: 96). Dari kedua pernyataan itu tampaknya Pierce ingin menegaskan bahwa, pragmatisme tidak hanya sekedar ilmu yang bersifat teori dan dipelajari hanya untuk berfilsafat serta mencari kebenaran belaka, juga bukan metafisika karena tidak pernah memikirkan hakekat dibalik realitas, tetapi konsep pragmatisme lebih cenderung pada tataran ilmu praktis untuk membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi manusia. Diulas dalam buku Pengantar Filsafat (Kattsoff, 1992: 130) bahwa, tampaknya jalan pikiran Pierce tak lebih dari sebuah keinginan untuk mewujudkan pragmatisme sebagai ilmu yang mengorientasikan diri kepada makna praktis dari konsekuensi yang ditimbulkan oleh sebuah tindakan. Jika tidak menimbulkan konskuensi yang praktis maka tidak ada makna yang dikandungnya. Karena itu, munculah sebuah semboyan bahwa, “Apa yang tidak mengakibatkan perbedaan tidak mengandung makna”. Sebagian penganut pragmatisme yang lain mengatakan bahwa, suatu ide atau tanggapan dianggap benar, jika ide atau tanggapan tersebut menghasilkan sesuatu, yakni jalan yang dapat membawa manusia ke arah penyelesaian masalah secara tepat (berhasil). Seseorang yang ingin membuat hari depan, ia harus membuat kebenaran, karena masa depan bukanlah sesuatu yang sepenuhnya ditentukan oleh masa lalu (Kattsoff, 1992:130). Bahkan, Budi Darma mengatakan bahwa, masa depan itu tidak ada, masa lalu juga tidak ada, yang ada adalah masa sekarang maka berjuanglah untuk saat ini. Inti dari peryataan tersebut adalah, kebenaran pragmatik merupakan kebenaran yang bersifat fungsional, berguna atau praktis. Segala sesuatu dianggap benar jika ada konsekuensi yang bersifat manfaat bagi hidup manusia. Sebuah tindakan akan memiliki makna jika ada konsekuensi praktis atau hasil nyata yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Masa lalu dan masa depan adalah sesuatu yang telah dan belum terjadi. Sementara itu, masa sekarang adalah fakta, maka hadapilah kenyataan sekarang dengan penuh perjuangan. Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang sangat berjasa dalam pengembangan pragmatisme pendidikan adalah John Dewey (1859-1952 M). Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James. Dewey mencapai popularitasnya di bidang logika, etika epistemologi, filsafat politik, dan pendidikan. Filsafat Pendidikan Pragmatisme Pendidikan menurut pandangan pragmatisme bukan merupakan suatu proses pembentukan dari luar, dan juga bukan merupakan suatu pemberkahan kekuatan- kekuatan laten dengan sendirinya (unfolding), melainkan merupakan suatu proses reorganisasi dan rekonstruksi dari pengalaman-pengalaman individu, yang berarti bahwa setiap manusia selalu belajar dari pengalamannya. Menurut John Dewey (Gutek, 1974: 114), pendidikan perlu didasarkan pada tiga pokok pikiran yaitu : 1) Pendidikan merupakan kebutuhan hidup; 2) Pendidikan sebagai pertumbuhan; 3) Pendidikan sebagai fungsi sosial. Pendidikan Merupakan Kebutuhan Hidup Hidup selalu berubah menuju pembaharuan hidup, karena itu pendidikan adalah merupakan kebutuhan untuk hidup. Pendidikan berfungsi sebagai alat dan 183 Dwi Priyanto – Pragmatisme terhadap Praksis Pendidikan sebagai pembaharuan hidup. Dalam hidupnya manusia selalu berinteraksi, individu yang satu dengan individu yang lainnya, dan dengan lingkungannya. Orang yang sudah dewasa yang telah banyak memiliki pengalaman hidup berinteraksi dengan manusia muda yang masih belia dalam pengalaman hidup untuk mewariskan nilai-nilai budaya dan kebudayaan itu sendiri untuk kelangsungan hidup. Terjadilah pewarisan kebudayaan, nilai, pengetahuan, dan ketrampilan serta sikap hidup kepada generasi muda. Hal ini membawa pembaharuan hidup pada generasi muda, dan pembaharuan ini akan semakin pesat perubahannya oleh karena perubahan yang terjadi dalam hidup dan kehidupan manusia dengan pengaruh ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Untuk mengisi dan melengkapi kehidupan yang selalu berubah dan Perkembangan maka sangat di perlukan adanya pendidikan. Pendidikan Sebagai Pertumbuhan Menurut John Dewey (Sadulloh. 2003), pertumbuhan merupakan suatu perubahan tindakan yang berlangsung terus menerus untuk mencapai hasil lanjutannya. Pertumbuhan juga merupakan proses pematangan oleh karena peserta didik memiliki potensi berupa kapasitas untuk berkembang atau bertumbuh menjadi sesuatu dengan adanya pengaruh lingkungan. Hidup selalu mengalami pertumbuhan dan pertumbuhan diwarnai oleh aktivitas aktif, yang berati bahwa pertumbuhan akan dipengaruhi intensitas aktivitas individu yang menimbulkan pengalaman yang akan membawa perubahan pada dirinya. Sehigga pertumbuhan merupakan karakteristik dari hidup, sedangkan pendidikan adalah hidup itu sendiri, bukan untuk suatu persiapan. 184 Pendidikan Sebagai Fungsi Sosial Menurut John Dewey (Sadulloh. 2003) lingkungan merupakan syarat bagi pertumbuhan, dan fungsi pendidikan merupakan suatu proses membimbing dan mengembangkan. Melalui kegiatan pendidikan masyarakat membimbing peseta didik yang masih belum matang menurut susunan sosial tertentu. Dalam keadaan yang belum matang peserta didik selalu berinteraksi dengan lingkungan dan selalu berhubungan dengan individu lainnya. Dalam aktivitas pendidikan selalu ada interaksi yang dapat mempengaruhi dan membimbing peserta didik dapat mengembangkan diri sebagai pribadi yang dipengaruhi dan mempengaruhi dalam situasi dan lingkungan sosial. Sekolah sebagai suatu lingkungan pendidikan dan sekaligus sebagai alat transmisi, memiliki tiga fungsi, yakni: 1) Menyederhanakan dan mengarahkan faktor–faktor bawaan yang diharapkan untuk berkembang; 2) Membimbing dan mengarahkan kebiasaan masyarakat yang ada sesuai dengan yang diharapkan; 3) Menciptakan suatu lingkungan yang lebih luas, dan lebih baik yang diperuntukan bagi peserta didik untuk mengembangkan kemampuan mereka. Implikasi Aliran Filsafat Pragmatisme Terhadap Praksis Pendidikan Sebagaimana yang dikemukakan oleh Power (Sadulloh, 2003: 133) bahwa, implikasi dari filsafat pendidikan pragmatisme terhadap pelaksanaan pendidikan mencakup lima hal pokok. Kelima hal pokok tersebut, yaitu: 1) Tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan pragmatisme adalah memberikan pengalaman untuk penemuan hal-hal baru dalam hidup sosial dan pribadi; 2) Kedudukan siswa. Kedudukan siswa dalam JPII Volume 1, Nomor 2, April 2017 pendidikan pragmatisme merupakan suatu organisasi yang memiliki kemampuan yang luar biasa dan kompleks untuk tumbuh; 3) Kurikulum. Kurikulum pendidikan pragmatis berisi pengalaman yang teruji yang dapat diubah. Demikian pula minat dan kebutuhan siswa yang dibawa ke sekolah dapat menentukan kurikulum. Guru menyesuaikan bahan ajar sesuai dengan minat dan kebutuhan anak tersebut, dan kurikulum pendidikan pragmatisme sertamerta menghilangkan perbedaan antara pendidikan liberal dengan pendidikan praktis atau pendidikan jabatan; 4) Metode. Metode yang digunakan dalam pendidikan pragmatisme adalah metode aktif, yaitu learning by doing (belajar sambil bekerja); dan 5) Peran guru. Peran guru dalam pendidikan pragmatisme adalah mengawasi dan membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa mengganggu minat dan kebutuhannya. Dari uraian di atas, menunjukkan bahwa tujuan pendidikan pragmatisme adalah menumbuhkan jiwa yang aktif dan kreatif; membentuk jiwa yang bertanggung jawab; sosial; dan mengembangkan pola pikir eksploratif yang mandiri kepada anak. Dengan tujuan tersebut pola perkembangan anak akan berjalan sesuai dengan pilihan hidup yang telah direncanakan. Tujuan Pendidikan Pragmatisme Tujuan pendidikan pragmatisme inheren dengan pandangan realitas, teori pengetahuan dan kebenaran, serta teori nilai. Menurut pandangan realitas, manusia selalu berintraksi dengan lingkungan tempat mereka berada. Lingkungan baru memiliki arti jika manusia peduli dan memahami kegunaan dari lingkungan itu sendiri untuk kejayaan hidupnya. Selama manusia tidak melakukan sesuatu terhadap lingkungan, selama itu pula lingkungan tidak pernah memberi sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Kebenaran tidak pernah mutlak, tidak berlaku umum, tidak tetap, tidak berdiri sendiri serta tidak terlepas dari akal yang mengenal, yang ada hanyalah kebenaran yang bersifat khusus dan setiap saat dapat diubah oleh pengalaman (Sadulloh, 2003: 128). Paparan itu mengandung makna bahwa, ukuran kebenaran sangat nisbi bergantung dari masing-masing yang memandang. Baik menurut seseorang, mungkin akan sebaliknya menurut orang lain, demikian seterusnya, sehingga patokan kebenaran tidaklah dapat berlaku untuk semua orang dan keadaan. Demikian pula nilai, menurut pragmatisme bersifat relatif, karena kaidah-kaidah moral dan etika tidak pernah tetap, tetapi terus berubah seperti berubahnya kebudayaan seiring dengan berubahnya masyarakat yang membentuk kebudayaan itu. Bertolak dari paparan tersebut, tujuan pendidikan pun harus disesuaikan dengan keadaan masyarakat dimana anak itu berada. Hakekatnya pendidikan berlangsung dalam kehidupan. Karena itu, tujuan pendidikan menurut pragmatisme harus pula disesuaikan dengan lingkungan tempat dilangsungkannya pendidikan itu. Menjadi sesuatu yang ironis jika sebuah pendidikan diterapkan dengan tanpa mempertimbangkan keadaan lingkungan kehidupan anak. Menurut pragmatisme, tidak ada tujuan pendidikan yang berlaku secara umum, dan tidak ada pula tujuan pendidikan yang bersifat tetap dan pasti. Yang ada hanyalah tujuan khusus, dan bersifat nisbi serta tidak pasti. Karena itu, mustahil tujuan pendidikan dapat ditetapkan untuk semua masyarakat. Tujuan pendidikan selalu bersifat temporer, dan tujuan merupakan alat untuk bertindak. Jika suatu tujuan telah dicapai, maka hasil tujuan akan menjadi alat untuk mencapai tujuan berikutnya, demikian seterusnya, karena 185 Dwi Priyanto – Pragmatisme terhadap Praksis Pendidikan pragmatisme tidak mengenal tujuan akhir, dan yang ada adalah tujuan antara. Suryabrata (Jalaluddin, 2003: 119) mengatakan bahwa, pendidikan adalah suatu kegiatan yang sadar akan tujuan, bahkan tujuan merupakan salah satu hal yang teramat penting dalam kegiatan pendidikan, guna memberikan arah dan ketentuan yang pasti dalam memilih materi (isi), metode, alat, evaluasi terhadap kegiatan yang dilakukan. Dengan arah yang pasti, harapan untuk memperoleh hasil yang maksimal dari usaha penyelenggaraan pendidikan akan dapat dicapai. Tidak kalah penting, menurut pragmatisme materi yang akan disajikan harus berdasarkan fakta-fakta yang sudah diobservasi, dipahami, serta dibicarakan sebelumnya, serta materi tersebut dimungkinkan mengandung ide-ide yang dapat mengembangkan situasi untuk mencapai tujuan. Sebagai misal, jika materi yang akan diberikan dikaitkan dengan demokrasi, maka materi tersebut hendaknya merupakan seperangkat tidakan untuk memberi isi terhadap kehidupan sosial yang ada pada waktu itu dilingkungan tinggal anak. Intinya sekolah secara umum, dan materi ajar secara khusus tidak dipisahkan dari kehidupan, karena hakekatnya pendidikan bukan persiapan untuk suatu kehidupan, melainkan pendidikan merupakan kehidupan itu sendiri. Pendidikan yang bercorak pragmatisme selalu memandang bahwa anak bukanlah individu yang silent, melainkan individu yang memiliki pikiran yang aktif dan kreatif. Pengetahuan sebenarnya merupakan hasil dari transaksi manusia dengan lingkungannya, termasuk kebenaran menjadi bagian dari pengetahuan itu sendiri. Karena itu, seorang guru yang memiliki pandangan pragmatis akan selalu memperhatikan situasi lingkungan masyarakat anak, serta mendorong agar anak turut memecahkan persoalan yang ada disekitar tinggal mereka. 186 Kurikulum Pendidikan Menurut para filosuf paragmatisme, tradisi demokrasi adalah tradisi memperbaiki diri sendiri (a self-correcting trdition). Pendidikan berfokus pada kehidupan yang baik pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Kurikulum pendidikan pragmatisme “berisi pengalaman-pengalaman yang telah teruji, yang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa. Adapun kurikulum tersebut akan berubah”. Dalam pandangan pragmatisme model kurikulum yang digunakan setiap pelajaran tidak boleh terpisah-pisah antara satu dengan yang lain, tetapi merupakan satu kesatuan yang saling terkait, dan pengalaman di sekolah selalu dipadukan dengan pengalaman anak di luar sekolah atau di tempat lingkungan kehidupan anak. Selain itu, masalah yang dijadikan pusat kegiatan oleh guru di kelas adalah masalahmasalah aktual yang menarik minat anak atau menjadi pusat perhatian anak. Model pembelajaran pragmatisme adalah anak belajar di dalam kelas dengan cara berkelompok. Dengan berkelompok anak akan merasa bersama-sama terlibat dalam masalah dan pemecahanya. Anak akan terlatih bertanggung jawab terhadap beban dan kewajiban masing-masing. Sementara, guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Model pembelajaran ini berupaya membangkitkan hasrat anak untuk terus belajar, serta anak dilatih berpikir secara logis. Metode pendidikan Metode pembelajaran merupakan penyusunan bahan pelajaran yang memungkinkan diterima oleh para siswa dengan lebih efektif. Suatu metode tidak pernah terlepas dari bahan pelajaran, kita dapat membedakan cara berbuat, tetapi cara JPII Volume 1, Nomor 2, April 2017 ini hanya sebagai cara berhubungan dengan bahan atau materi tertentu. Metode mengajar harus fleksibel dan menimbulkan inisiatif peserta didik. Pada aliran filsafat pragmatisme lebih mengutamakan penggunaan metode pemecahan masalah (problem solving method) serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiri and discovery method). Dalam praktiknya (mengajar), metode ini membutuhkan guru yang memiliki sifat pemberi kesempatan, bersahabat, seorang pembimbing, berpandangan terbuka, antusias, kreatif, sadar bermasyarakat, siap siaga, sabar, bekerjasama, dan bersungguh-sungguh agar belajar berdasarkan pengalaman dapat diaplikasikan oleh siswa dan apa yang dicita-citakan dapat tercapai. Kalangan pragmatis berorientasi pada pemberian kebebasan besar untuk memilih kepada subjek didik dalam mencari-cari situasi pengalaman belajar yang akan menjadi hal yang paling berguna bagi mereka. Ruang kelas (yang dilihat tidak hanya sebagai sebuah setting ‘sekolah’, melainkan juga tempat dimana segala pengalaman belajar dapat diselenggarakan) dipandang dalam kaca mata sebuah laboratorium ilmiah dimana ide-gagasan siap diuji coba untuk melihat apakah terbukti sanggup diverifikasi. Karyawisata, misalnya, terbukti memberikan keuntungankeuntungan belajar seperti membaca dan pengalaman audio-visual karena subjek didik mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk berpartisipasi dalam interaksi langsung dengan lingkungan. Disamping itu, pengalaman langsung dianggap lebih memotivasi karena memiliki nilai instrinsik, dan lebih bermakna karena melibatkan subjek didik dalam pengalaman langsung. Misalnya, seseorang akan lebih banyak belajar tentang pembuatan susu dan sapi, peran dengan pergi ke perusahaan pembuatan susu dan memerah susu, membaunya, mendengar suara sapi, dan sebagainya. Jadi, metodologinya berkaitan langsung dengan metodologi eksperimental mereka. Metode unggulannya yaitu dengan metode proyek. Subjek didik harus belajar secara bertahap berangkat dari belajar atas dasar pengalaman-pengalaman langsung menuju ke metode-metode belajar atas dasar pengalaman orang lain. Demikian pula metode yang diterapkan oleh guru adalah metode disiplin bukan kekuasaan, karena metode kekuasaan cenderung memaksakan anak untuk mengikuti kehendak guru. Cara yang demikian itu tidak mungkin dapat membangkitkan perhatian dan minat anak. Sedangkan metode disiplin, semua kemauan dan minat datang dari dalam diri anak sendiri, dan anak akan belajar apabila ia memiliki minat terhadap suatu hal untuk dipelajari. Peranan Guru dan Siswa Dalam pembelajaran, peranan guru bukan “menuangkan” pengetahuanya kepada siswa. Setiap apa yang dipelajari oleh siswa haruslah sesuai dengan kebutuhan, minat dan masalah pribadinya. Pragmatisme menghendaki agar siswa dalam menghadapi suatu pemasalahan, hendaknya dapat merekonstruksi lingkungan untuk memecahkan kebutuhan yang dirasakannya. Untuk membantu siswa, guru harus berperan: (a) Menyediakan berbagai pengalaman yang akan memuculkan motivasi, misalnya dengan cara: Field trips, film-film, catatan-catatan, dan tamu ahli merupakan contoh-contoh aktivitas yang dirancang untuk memunculkan minat siswa, (b) Membimbing siswa untuk merumuskan batasan masalah secara spesifik, (c) Membimbing merencanakan tujuan-tujuan individual dan kelompok dalam kelas guna memecahkan suatu masalah, (d) Membantu para siswa dalam mengumpulkan informasi berkenaan dengan masalah, dan (e) Bersama-sama kelas mengevaluasi apa yang 187 Dwi Priyanto – Pragmatisme terhadap Praksis Pendidikan telah dipelajari, bagaimana mereka mempelajarinya, dan informasi baru yang ditemukan oleh setiap siswa. Edward J. Power (1982) menyimpulkan pandangan pragmatisme bahwa “Siswa merupakan organisme rumit yang mempunyai kemampuan luar biasa untuk tumbuh, sedangkan guru berperan untuk memimpin dan membimbing pengalaman belajar tanpa ikut campur terlalu jauh atas minat dan kebutuhan siswa”. Callahan dan Clark menyimpulkan bahwa orientasi pendidikan pragmatisme adalah progresivisme. Artinya, pendidikan pragmatisme menolak segala bentuk formalisme yang berlebihan dan membosankan dari pendidikan sekolah yang tradisional. Anti terhadap otoritarianisme dan absolutisme dalam berbagai bidang kehidupan. Kritik terhadap Pragmatisme Pragmatisme adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan kegunaan praktis yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ide ini keliru dari tiga sisi. Pertama, Pragmatisme mencampur adukkan kriteria kebenaran ide dengan kegunaan praktisnya. Kebenaran suatu ide adalah satu hal, sedang kegunaan praktis ide itu adalah hal lain. Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu dengan realitas, atau dengan standarstandar yang dibangun di atas ide dasar yang sudah diketahui kesesuaiannya dengan realitas. Sedang kegunaan praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia, tidak diukur dari keberhasilan penerapan ide itu sendiri, tetapi dari kebenaran ide yang diterapkan. Maka, kegunaan praktis ide tidak mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan manusia. Kedua, Pragmatisme menafsirkan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran 188 sebuah ide adalah aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu. Sedang penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah identifikasi instinktif. Memang identifikasi instinktif dapat menjadi ukuran kepuasan manusia dalam pemuasan hajatnya, tapi tak dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide. Maka, Pragmatisme berarti telah menafsirkan aktivitas intelektual dan menggantinya dengan identifikasi instinktif. Atau dengan kata lain, Pragmatisme telah menundukkan keputusan akal kepada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi instinktif. Ketiga. Pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai dengan perubahan subjek penilai ide baik individu, kelompok, dan masyarakat dan perubahan konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki Pragmatisme baru dapat dibuktikan, menurut Pragmatisme itu sendiri setelah melalui pengujian kepada seluruh manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Dan ini mustahil dan tak akan pernah terjadi. Maka, Pragmatisme berarti telah menjelaskan inkonsistensi internal yang dikandungnya dan menafikan dirinya sendiri. Satu hal yang harus digarisbawahi adalah bahwa pragmatisme merupakan filsafat bertindak. Dalam menghadapi berbagai persoalan, baik bersifat psikologis, epistemologis, metafisik, religius dan sebagainya, pragmatisme selalu mempertanyakan bagaimana konsekuensi praktisnya. Setiap solusi terhadap masalah apa pun selalu dilihat dalam rangka konsekuansi praktisnya, yang dikaitkan dengan kegunaannya dalam hidup manusia. Dan konsekuensi praktis yang berguna dan memuaskan manusia itulah yang membenarkan tindakan tadi. Dalam rangka itulah, kaum pragmatis tidak mau berdiskusi bertele-tele, bahkan sama sekali tidak menghendaki adanya diskusi, malainkan langsung mencari tindakan yang JPII Volume 1, Nomor 2, April 2017 tepat untuk dijalankan dalam situasi yang tepat pula. Kaum pragmatis adalah manusia-manusia empiris yang sanggup bertindak, tidak terjerumus dalam pertengkaran ideologis yang mandul tanpa isi, melainkan secara nyata berusaha memecahkan masalah yang dihadapi dengan tindakan yang konkrit. Karenanya, teori bagi kaum pragmatis hanya merupakan alat untuk bertindak, bukan untuk membuat manusia terbelenggu dan mandeg dalam teori itu sendiri. Teori yang tepat adalah teori yang berguna, yang siap pakai, dan yang dalam kenyataannya berlaku, yaitu yang mampu memungkinkan manusia bertindak secara praktis. Kebenaran suatu teori, ide atau keyakinan bukan didasarkan pada pembuktian abstrak yang muluk-muluk, melainkan didasarkan pada pengalaman, pada konsekuansi praktisnya, dan pada kegunaan serta kepuasan yang dibawanya. Pendeknya, ia mampu mengarahkan manusia kepada fakta atau realitas yang dinyatakan dalam teori tersebut. Pragmatisme mempunyai dua sifat, yaitu merupakan kritik terhadap pendekatan ideologis dan prinsip pemecahan masalah. Sebagi kritik terhadap pendekatan ideologis, pragmatisme mempertahankan relevansi sebuah ideologi bagi pemecahan, misalnya fungsi pendidikan. Pragmatisme mengkritik segala macam teori tentang cita-cita, filsafat, rumusan-rumusan abstrak yang sama sekali tidak memiliki konsekuansi praktis. Bagi kaum pragmatis, yang penting bukan keindahan suatu konsepsi melainkan hubungan nyata pada pendekatan masalah yang dihadapi masyarakat. Sebagai prinsip pemecahan masalah, pragmatisme mengatakan bahwa suatu gagasan atau strategi terbukti benar apabila berhasil memecahkan masalah yang ada, mengubah situasi yang penuh keraguan dan keresahan sedemikian rupa, sehingga keraguan dan keresahan tersebut hilang. Dalam kedua sifat tersebut terkandung segi negatif pragmatisme dan segi-segi positifnya. Pragmatisme, misalnya, mengabaikan peranan diskusi. Justru di sini muncul masalah, karena pragmatisme membuang diskusi tentang dasar pertanggungjawaban yang diambil sebagai pemecahan atas masalah tertentu. Sedangkan segi positifnya tampak pada penolakan kaum pragmatis terhadap perselisihan teoritis, pertarungaan ideologis serta pembahasan nilai-nilai yang berkepanjangan, demi sesegera mungkin mengambil tindakan langsung. Dalam kaitan dengan dunia pendidikan, kaum pragmatisme menghendaki pembagian yang tetap terhadap persoalan yang bersifat teoritis dan praktis. Pengembangan terhadap yang teoritis akan memberikan bekal yang bersifat etik dan normatif, sedangkan yang praktis dapat mempersiapkan tenaga profesional sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Proporsionalisasi yang teoritis dan praktis itu penting agar pendidikan tidak melahirkan materialisme terselubung ketika terlalu menekankan yang praktis. Pendidikan juga tidak dapat mengabaikan kebutuhan praktis masyarakat, sebab kalau demikian yang terjadi berarti pendidikan tersebut dapat dikatakan disfungsi, tidak memiliki konsekuansi praktis. Dewey mendewakan pendidikan formal berdasarkan minat anakanak dan pelajaran yang diberikan hendaknya disesuaikan dengan minat anakanak. Dengan pandangan yang demikian maka pelajaran yang berlangsung di sekolah tidak difokuskan karena minat setiap anak itu berbeda-beda. Demikian juga dengan pelajaran-pelajarn pokok yang harus diajarkan kepada anak-anak tidak dapat diterapkan dengan baik. 189 Dwi Priyanto – Pragmatisme terhadap Praksis Pendidikan Kesimpulan Menurut aliran filsafat Pragmatisme bahwa pendidikan perlu didasarkan pada tiga pokok pikiran yaitu: (1) Pendidikan merupakan kebutuhan untuk hidup. Pendidikan berfungsi sebagai alat dan sebagai pembaharuan hidup. Dimana dalam hidupnya manusia selalu berinteraksi antara inividu yang satu dengan individu yang lainnya, dan dengan lingkungannya; (2) Pendidikan sebagai pertumbuhan. Pertumbuhan juga merupakan proses pematangan oleh karena peserta didik memiliki potensi berupa kapasitas untuk berkembang atau bertumbuh menjadi sesuatu dengan adanya pengaruh lingkungan; dan (3) Pendidikan sebagai fungsi social dan lingkungan merupakan syarat bagi pertumbuhan, serta fungsi pendidikan merupakan suatu proses membingbing dan mengembangkan. Pragmatisme tidak menaruh perhatian terhadap suatu nilai yang tidak empiris. Konsep pendidikan pragmatisme adalah, pendidikan bertujuan untuk mendewasakan anak menjadi manusia yang mandiri, bertanggung-jawab, dan dapat memecahkan persoalan hidupnya sendiri. Pendidikan harus dilangsungkan di tempat dimana anak berada. Kurikulum yang digunakan setiap pelajaran tidak boleh terpisah-pisah, tetapi merupakan satu kesatuan, dan pengalaman di sekolah selalu dipadukan dengan pengalaman di luar sekolah. Masalah yang diangkat oleh guru di kelas adalah masalah-masalah aktual yang menarik minat anak atau menjadi pusat perhatian anak. Demikian pula metode yang diterapkan oleh guru adalah metode disiplin bukan kekuasaan, karena metode kekuasaan cenderung memaksakan anak untuk mengikuti kehendak guru. Dalam pendidikan pragmatisme, semua materi yang akan disajikan harus berdasarkan fakta-fakta yang sudah diobservasi, dipahami, serta dibicarakan 190 sebelumnya, serta materi tersebut dimungkinkan mengandung ide-ide yang dapat mengembangkan situasi untuk mencapai tujuan. Peran guru dalam pendidikan pragmatisme hanyalah sebagai fasilitator dan motivator kegiatan anak. Semua kegiatan anak dilakukan sendiri seiring dengan minat dan kebutuhan yang dipilih, tetapi guru tetap memberikan arahan yang memungkinkan anak berkembang sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki. Daftar Pustaka Russel, B. (2007). Sejarah filsafat barat; kaitannya dengan kondisi zaman kuno hingga sekarang (terj). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dardiri, A. (2010). Revitalisasi fungsi pendidikan untuk mewujudkan pendidikan yang humanis-religius, Pidato Pengukuhan Guru Besar, disampaikan di depan Rapat Terbuka Senat UNY tanggal 11 Desember 2010. Drost, J. I. G. M. (1997). Sekolah: mengajar atau mendidik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Knight, G. R. (2007). Filsafat pendidikan (terj). Yogyakarta: Gama Media. Gutek, G. L. (1974). Philosophical alternatives in education. Columbus, Ohio: Charles E. Merrill Publishing Company. Gutek, G. L. (1988). Philosophical and ideological perspectives on education. New Jersey: Prentice Hall Inc. Tilaar, H.A.R. (2000). Pendidikan, kebudayaan dan masyarakat madani Indonesia, Bandung: Remaja Rosdakarya. Hadiwijono, H. (1980). Sari sejarah filsafat barat 2. Yogyakarta: Kanisius. http://stishidayatullah.ac.id/index2.php? option=com_content&do_pdf=1 &id=58. JPII Volume 1, Nomor 2, April 2017 Mantra, I. B. (2004). Filsafat penelitian & metode penelitian sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Barnadib, I. (2002). Filsafat pendidikan.Yogyakarta: Adicita. Ismaun. (2004). Filsafat ilmu. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia Jalal, F., & Supriadi, D. (2001). Reformasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah. Yogyakarta: Depdiknas – Bappenas–Adicita Karya Nusa. Jalaluddin. & Idi, A. (2007). Filsafat pendidikan; manusia,filsafat dan pendidikan. Yogyakarta: Arruz Media. Ryan, J. K. (1964). Twentieth-century: Studies in the work of seventeen modern philosopher, edited by with an introduction by John K ryan. Alba House, State Island, N.Y. Kattsof, L. O. (1992). Pengantar filsafat. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana Yogyakarta. Knight, G. R. (1982). Issues and alternatives in educational philosophy. Michigan: Andrews University Press. Mudzakir. & Sadali, A. (2004). Filsafat umum. Bandung: Pustaka Setia. Power, E. J. (1982). Philosophy of education. New Jersey: Prentice-Hall. Inc. Sadulloh, U. (2003). Pengantar filsafat pendidikan. Bandung: Alfabeta. Soedijarto. (1998). Pendidikan sebagai sarana reformasi mental dalam upaya pembangunan bangsa. Jakarta: Balai Pustaka. Soedijarto. (2008). Landasan dan arah pendidikan nasional kita. Jakarta: Kompas. Sutrisno, M. (1987). Eksistensialisme, pergumulan untuk menjadi manusia dalam para filsuf penggerak jaman. Yogyakarta: Kanisius. Suyanto. & Hisjam, D. (2000). Refleksi dan reformasi pendidikan di indonesia memasuki millenium III. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. Syaripudin, T. (2006). Pengantar filsafat pendidikan. Bandung: Percikan Ilmu. Tafsir, A. (2002). Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosda Karya. Rasyidin, W. (2007). Filsafat pendidikan (dalam ilmu dan aplikasi pendidikan). Bandung: Pedagogiana Press. 191