MODUL PERKULIAHAN Etika dan Filsafat Komunikasi Ekonomi Dalam Etika Komunikasi Fakultas Program Studi Ilmu Komunikasi Penyiaran Tatap Muka 13 Kode MK Disusun Oleh 85009 Dr. AG. Eka Wenats Wuryanta Abstract Kompetensi EFilkom adalah matakuliah yang ingin menghubungkan seluruh bagian ilmu dan tindak komunikasi berikut refleksi filosofis yang mengikutinya. Paham dan tahu filsafat komunikasi Mampu merefleksikan secara filosofis pengalaman berkomunikasi Idealisme Dan Kekuasaan Bisnis Media I. Pendahuluan Pada era sekarang ini hampir seluruh belahan dunia berada dalam abad informasi yang menjadikan masyarakatnya turut dalam proses menjadi masyarakat informasi. Setiap saat, hasil-hasil teknologi komunikasi itu semakin canggih dan proses penyebarannya begitu cepat yang hampir-hampir tidak memberikan kemungkinan kepada manusia untuk menolaknya.i Gejala perubahan besar yang juga paling mencengangkan manusia ialah loncatan kecanggihan itu semakin cepat dan semakin tinggi mutunya. Jarak waktu antara satu babakan kemajuan dengan kemajuan berikutnya makin singkat. Misalnya dari teknologi radio ke televisi, dari telepon ke telepon selular, dan dari telegram ke internet dan sebagainya. Semakin maju suatu masyarakat semakin kompleks pulalah sistem kumunikasinya, seperti juga semakin rumit interaksi sosial didalamya. Salah satu kriteria masyarakat yang sudah maju ialah meningkatnya penyingkapan masyarakat terhadap media massa (media eksposure). Dalam masyarakat yang sistem komunikasinya sudah mulai kompleks (rumit), salah satu faktor yang menonjol adalah peranan media massa modern (modern mass media of communication). Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa kemajuan media massa telah menimbulkan berbagai dampak dikalangan masyarakat yang tersingkap kepada media massa itu. Dampak itu mungkin bersifat langsung, mungkin pula bersifat tidak langsung. Pengaruh yang bersifat tidak langsung biasa disebut model komunikasi berlangkah atau bertahap, misalnya dua langkah atau lebih (two-step flow model of communication/ multi-step flow model of communication). Hal ini dapat dipahami bahwa suatu berita atau informasi melalui media massa terlebih dahulu dibaca, didengar atau dilihat oleh seseorang lalu diteruskan pada orang lain dan sekaligus mempengaruhi sikap, pendapat atau prilaku orang itu untuk menolak atau menerima berita yang bersangkutan.2 Media massa, atau dalam hal ini disebut juga media jurnalistik, merupakan alat bantu utama dalam proses komunikasi massa. Komunikasi massa sendiri secara sederhana berarti kegiatan komunikasi yang menggunakan media (communication with media). Menurut Bittner, komunikasi massa dipahami sebagai 2015 2 Etika dan Filsafat Komunikasi AG. Eka Wenats Wuryanta Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id “messages communicated through a mass medium to a large number of people,”3 suatu komunikasi yang dilakukan melalui media kepada sejumlah orang yang tersebar di tempat-tempat yang tidak ditentukan. II. Idealisme Dalam Bisnis Media Massa Media sangat terkait dengat faktor ekonomi, politik dan budaya. Jadi media tidak bekerja atau beroperasi dalam suatu sistem sosial politik yang vacum. Kalau kita pahami bahwa informasi dari media massa merupakan suatu proses komunikasi, maka dalam demokratisasi media massa masyarakat harus dibawa ke suatu pencerahan cara berpikir kritis untuk mempertanyakan aspek sistem kontrol di dalam managemen media sendiri, kepemilikan, produk berupa isi serta target dari media terhadap audience. Dengan begitu pilar demokrasi yang sering diteriakkan media akan berjalan seimbang. Di negara Barat yang mengagung-agungkan kebebasan itu, ternyata tidak sepenuhnya memenuhi harapan. Meskipun di negara yang menganut sistem pers liberal seperti Amerika Serikat, standar etis untuk menilai penggunaan berita dan foto lebih longgar. Orang tidak boleh menyebarkan informasi kepada khalayak demi kepentingan pribadi atau politik yang tidak jujur4 untuk merusak reputasi atau membahayakan orang lain, mengorbankan kepentingan umum dan mengancam keamanan negara. Sebenarnya kalau pers sudah bebas berbicara maka agar demokratis, masyarakat juga harus bebas untuk mengetahui: Bagaimana tata kerja/aturan main dari media massa tersebut; Bagaimana institusi diorganisir; Bagaimana media itu beroperasi dalam berbagai strata sosial dan budaya; Bagaimana cara media menggambarkan realitas sosial yang ada; Faktor-faktor apa yang membentuk struktur, tujuan, harapan dan isi dari media; 2015 3 Bagaimana masyarakat memandang media; Bagaimana proses cara media mempengaruhi masyarakat; Bagaimana media massa berinteraksi dengan istutusi sosial yang ada; Adakah komunitas kreatif yang turut berpartisipasi dalam menentukan Etika dan Filsafat Komunikasi AG. Eka Wenats Wuryanta Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id media; Maukah dan adakah media massa memaparkan ini kepada khalayak. 5 Jika semua hal tersebut di atas dapat dijabarkan dengan baik oleh setiap perusahaan media, berarti media massa itu sudah memahami konsep demokratisasi media. Jadi sistem media yang demokratis bukan hanya sekedar bebas berbicara, tetapi media juga harus bebas diketahui segala data yang berkaitan dengan perusahaan media itu. Pada tahun 1974, Komisi Kebebasan Pers (yang anggotanya terdiri dari sekolompok ilmuan dan filosof), mengembangkan sebuah teori tangung jawab sosial sebagai revisi atau koreksi terhadap teori liberal yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakat dan pasar yang berubah. Menurut teori ini, meskipun pers mempunyai hak mengumpulkan dan menyebarkan informasi, juga mengkritik pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya, ia juga mempunyai tanggung jawab untuk memelihara demokrasi dengan secara layak memberi tahu publik dan merespon kepentingan dan kebutuhan masyarakat.6 Kebebasan tanpa batas akan menindas individu atau kelompok dan bahkan menimbulkan anarki, karena kepentingan individu selalu tumpang tindih dengan kepentingan kelompok yang merupakan implikasi dari fitrah manusia itu sendiri sebagai makluk sosial.7 Kehadiran media massa di Indonesia seperti lompatan katak. Dengan mental agraris, kita sudah mengimpor teknologi tinggi seperti siaran televisi. Sebagai akibatnya kehadiran media seperti stasiun televisi belum dapat memberdayakan masyarakat luas sebagai community social yang ikut menentukan hak izin siaran dari suatu stasuin televisi. Dengan demikian yang terjadi adalah komunikasi sistem satu arah, meskipun kita percaya bahwa penonton tidak akan pasif menerima siaran yang tidak masuk di akalnya. Perbedaan situasi latar belakang komunikator dan komunikan dengan sendirinya mudah menimbulkan situasi jurang pengertian sebagai akibat jurang komunikasi antara kedua-duanya. Situasi komunikasi demikian melalui media massa dengan sendiriya membentuk situasi hubungan buatan (artificial)8 antara komunikator dan komunikan, padahal komunikator yang selalu mengangap diri “pembawa suara rakyat.” Perbedaan menghasilkan latar situasi lebih belakang lanjut komunikator dengan komunikan akan yaitu komunikan akan bertindak sesuai keinginannya sendiri setelah memperoleh saran dari komunikator melalui media. 2015 4 Etika dan Filsafat Komunikasi AG. Eka Wenats Wuryanta Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Akan tetapi dalam situasi bahaya, komunikan akan selalu menyalahkan media dan tidak mau menanggung akibat tindakannya. Sebaliknya bila komunikan berpendidikan lebih inggi dari komunikator, isi media akan dicemoohkan. Dengan demikian maka diperlukan identifikasi publik sebab dalam kehidupan sehari-hari dan sebagai makhluk sosial manusia hidup dalam dan dari kelompoknya. Makin modern sikap individu, makin banyak kelompok referensinya (reference group) dan makin luas lingkup referensinya (frame of reference).9 Sebaliknya makin tradisional mental komunikan, makin kecil kelompok refensinya dan semakin sempit lingkup referensinya. Masyarakat di desa yang masih tradisional, kelompok referensi sedemikian menyempitnya sehingga bisa terhimpun pada seorang saja. Kelompok referensi inilah yang merupakan penunjang komunikasi melalui media dan dikenal sebagai secondary audience (sasaran sekunder) yang tidak tampak tetapi harus diperhitungkan dalam setiap perumusan komunikasi. Pada umumnya pengaruh atas komunikasi terjadi melalui situasi: Pengaruh sistem sosial terhadap individu; Pengaruh sistem sosial terhadap lembaga; Pengaruh sistem lembaga satu terhadap lembaga lain; Pengaruh sistem lembaga terhadap individu; Pengaruh sistem individu terhadap individu lain.10 Dengan begitu dapat dipahami bahwa pengaruh media ditentukan oleh saringan dan jaringan kelompok dan situasi komunikasi. Hal ini berarti, apabila komunikator media ingin mencapai komunikan, maka ia perlu menggunakan nilai dan jalan pikiran serta harapan kelompok sasaran. Tanpa menggunakan itu, pesan yang disampaikan akan mengalami banyak hambatan distorsi ketika melalui saluran dan sistem-sistem komunkasi mereka. Dengan begitu efektivitas pesannya dapat sangat berbeda dengan tujuan semula. III. Kekuasaan Ekonomi Dalam Perusahaan Media Dalam ilmu komunikasi dikenal berbagai etika komunikasi yang bisa digunakan untuk menilai publikasi informasi (berita, iklan, foto dan sebagainya). Masing-masing etika menawarkan standar yang berbeda dari etika yang bersifat pribadi yang longgar, etika situasional, etika utilitarian (untuk kebahagiaan banyak 2015 5 Etika dan Filsafat Komunikasi AG. Eka Wenats Wuryanta Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id orang), hingga etika religius yang ketat yang diwahyukan.11 Dialektika antara hak perseorangan dan kepentingan masyarakat merupakan masalah yang sampai saat ini belum terpecahkan, bahkan di negara ayng sudah sangat maju tradisi demokrasinya. Ini berarti bahwa yang mengandalkan etikanya pada rasio semata-mata, seperti dalam komunikasi liberal, terdapat kesulitan untuk menarik garis pembatas antara privacy seseorang dengan kepentingan masyarakat, karena terlalu banyak pemikiran dan masing-masing merasa pemikirannya yang paling benar. Sementara pemikiran tersebut sebenarnya dipengaruhi oleh kepentingan pribadi, ekonomi, atau politik yang bersangkutan. Jadi meskipun sistem komunikasi liberal terbebas dari kontrol pemerintah, tetapi ia menjadi tawanan sistem ekonominya dan memaksakan sistem komunikasi otoritarian dalam bentuk lain. Para pengiklan dapat dan memang mendikte isi pers dewasa ini, meskipun dengan cara yang halus, tidak sevulgar dalam sistem komunikasi otoritarian. Semua media raksasa di Barat yang sekuler berhubungan erat dengan struktur konglomerat untuk mengakumulasikan modal sebanyakbanyaknya.12 Perusahaan-perusahan besar tersebut tidak pernah berhenti mengendalikan kebebasan jurnalistik jika hal itu tidak kondusif bagi kepentingan ekonomi mereka. Persoalan lain yang dihadapi oleh negara yang menganut pers liberal adalah siapa yang menentukan bahwa suatu informasi itu layak ntuk dipublikasikan, membahayakan atau tidak bagi individu atau kelompok, dan apa kriteria atau garis pembatas bahwa suatu informasi itu bersifat pribadi atau publik. Bagaimana pula mengontrol orang-orang yang berwenang menetapkan kriteria tersebut agar mereka tidak keluar dari jalur yang sebenarnya. Teori liberal masih menghadapi kesulitan dalam menjawab persolan-persoalan itu. Karena negara dan masyarakat terus berkembang dan persoalan-persoalan mereka pun semakin rumit, sementara peralatan komunikasi semakin canggih, sehingga persoalan itu semakin banyak dan memerlukan jawaban yang memuaskan. Dalam pandangan Islam, seperti yang diungkapkan oleh Abdalati bahwa tidak ada kebebasan dalam arti mutlak. Mesti ada batasan mengenai kebebasan bila kita menginginkan masyarakat berfungsi. Islam mengajarkan kebebasan, menghargainya dan menjaminnya bagi muslim dan non muslim. 13 Konsep Islam mengenai kebebasan berlaku bagi semua kegiatan sukarela dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satu tugas Islam adalah membebaskan pikiran dan jiwa dari 2015 6 Etika dan Filsafat Komunikasi AG. Eka Wenats Wuryanta Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id segala hal yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan manusia. Dengan demikian konsep Islam megenai tanggunng jawab yakni kepada Tuhan berbeda dari konsep tanggung jawab dalam sistem komunikasi di Barat. Tanggung jawab sistem komunkasi Barat bersifat relatif, disesuaikan dengan kemauan masyarakat. Jika kemauan masyarakat berubah, maka berubah pulalah konsep tanggung jawab tersebut.14 Menurut Abdalati, konsep kebebasan Islam dibangun atas beberapa prinsip dasar. Pertama, hati nurani manusia hanya bergantung pada Tuhan semata, kepada siapa manusia harus bertanggung jawab. Kedua, setiap manusia secara pribadi harus bertanggung jawab atas perbuatannya dan ia sendiri yang menanggung akibat perbuatannya. Ketiga, Tuhan telah mendelegasikan kepada manusia tanggung jawab untuk mengambil keputusan. Keempat, manusia telah cukup diberi bimbingan spritual dan kualitas rasional yang memungkinkannya mengambil pilihan yang baik dan bertanggung jawab. 15 Jadi dalam konsep Islam, kebebasan itu adalah hak alami manusia, hak istimewa spritual dan suatu kewajiban agama. Dalam kerangka tersebut, penindasan, pencemaran nama baik, prasangka rasial tidak dibenarkan. Seperti yang disetir Johannesen, pernyataan yang melandasi sistem religius tentang komunikasi dikembangkan oleh Charles Vennstra dan Daryl Vander Kooi. Manusia diberkahi dengan kemampuan unik untuk menilai etika komunikasi, karena mereka sendiri diciptakan dalam citra Tuhan. Manusia punya kemampuan untuk menjaga hubungan baik dengan sesamanya. Lebih lanjut Vennstra dan Vander Kooi menjelaskan bahwa sebagai cerminan citra Tuhan, manusia berhak memperoleh penghargan penuh; kita harus berkomunikasi denngan mereka dengan semangat kecintaan dan penghormatan yang sama ketika kita beribadah kepada Tuhan; manusia juga harus berkomunkasi dengan jujur.16 Jujur disini bukan berarti sepenuhnya terbuka, namun juga harus menjaga perasaan orang, jangan samapai keterbukaan yang sepenuhnya itu menyakiti perasaan orang lain IV. Kesimpulan Masyarakat demokratik meyakini bahwa salah satu prinsip sentral demokrasi adalah kemerdekaan berbicara dan kemerdekaan media. Masyarakat demokratik mengagungkan keterbukaan.Tidak ada demokrasi tanpa kemerdekaan 2015 7 Etika dan Filsafat Komunikasi AG. Eka Wenats Wuryanta Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id berbicara dan kemerdekaan media dan sebaliknya, tidak mungkin ada kemerdekaan berbicara dan kemerdekaan media tanpa demokrasi. Mensyarahkan peran demokratik media, akan kehilangan kesahihan apabila tidak menyinggung landasan yang mendasarinya, yakni konstitusi. Konstitusi merupakan refleksi dari jiwa, semangat, nilai moral, nilai budaya, ideologi dan filosofi suatu bangsa. Oleh sebab itu, hukum dasar merupakan sumber hukum dan sumber keabsahan dari semua bentuk tindakan baik dari pemilik media dan penyelanggara kekuasaan maupun warga masyarakat pemakai media. Secara universal, azas-azas konstituiolaisme menganut dalil pembatasan kekuasaan negara dan pemerdekaan warga negara. Keabsahan kekuasaan para pemilik media dan penyelenggara negara ditentukan oleh suara rakayat. Sumber dari suara rakyat itu adalah hak-hak asasi yang melekat pada diri manusia. 2015 8 Etika dan Filsafat Komunikasi AG. Eka Wenats Wuryanta Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id DAFTAR PUSTAKA Mufid, Muhamad. 2009. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Kencana Haryatmoko, Dr. 2007. Etika Komunikasi : Manipulasi Media, Kekerasan Dan Pornografi. Yogyakarta: Kanisius http://hartonoikawy.blogspot.com/2014/05/etika-dan-filsafat-komunikasi.html End Note i Hal inilah yang dinamakan dalam teori pembangunan top down dengan strategi support economic development yang diperkenalkan oleh Wilbur Schram. Lihat A. Faisal Bakti, Theoretical and Social Issue, bahan kuliah Dakwah dan Jurnalistik I, 2002, h. 4. 2 A. Muis, Indonesia di Era Dunia Maya (Bandung: Rosdakarya, 2001), h. l0 3 John R. Bittner, Mass Communication: An Intoduction (New Jersey USA: Prentice Hall-Englewood Cliefs, 1986), h. 12 4 Seperti kasus Watergate yang menghancurkan karir Nixon dipentas perpolitikan Amerika Serikat. Hal serupa juga terjadi ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden RI, meskipun tidak sampai mengahncurkan karirnya dipentas perpolitikan Nasaional. 5 Lihat Sumita Tobing, Membangun Sistem Komunikasi Indonesia Baru Memasuki Otonomi Daerah (Jakarta: Badan Informasi dan Komunikasi Nasional, 2000), h. 76-77. 6 Lihat Deddy Mulyana Nuansa-Nuansa Komunikasi Meneropong Politik dan Budaya Komunikasi Masyarakat Kontemporer (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 122. 7 Sebagai contoh, dalam suatu kasus di Amerika Serikat, suatu surat kabar besar memberitakan “kejahatan” seorang pengusaha terkemuka di negeri Paman Sam itu. Berita itu ternyata bohong yang hanya dibuat oleh seseorang yang dapat mengatur media besar itu sehingga menaikkan berita yang tidak didukung dengan data-data yang akurat. Karena merasa malu dan tidak tahan menanggung fitnah tersebut, pengusaha terkenal itu melakukan bunuh diri. 8 Astrid S. Susanto, Filsafat Komunikasi (Bandung: Binacipta, 1976), h. 148. 9 Ibid, h. 149. 10 Collin Seymour Ure, The Political Impact of Mass Media (London Baverley Hills: Contable-Sage Publications, 1974), h. 44. 11 Lihat Richard L. Johannesen, Ethics in Human Communication (Prospect Heights: Waveland Press, 1990). 12Deddy Mulyana, op. cit., h. 123. 13 Hammudah Abdalati, Islam in Focus (Indianapolis IN: Crencent, 1975), h. 33. 14Sebagai contoh, dulu dalam masyarakat Barat tidak dikenal kebebasan kaum homoseks dan lesbian. Namun karena perkembangan masyarakat dan penafsiran tentang kebebasan begitu longgarnya maka kebebasan tersebut dilindungi dan bahkan dipromosikan oleh media sebagai hak individu. 15 Hammudah Abdalati, op. cit., h. 34. 16 Lihat Richard L. Johannesen, loc. cit. 2015 9 Etika dan Filsafat Komunikasi AG. Eka Wenats Wuryanta Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id DAFTAR PUSTAKA Andi Faisal Bakti, Theoretical and Social Issue, bahan kuliah Dakwah dan Jurnalistik I, 2002. A. Muis, Indonesia di Era Dunia Maya, Bandung: Rosdakarya, 2001. Astrid S. Susanto, Filsafat Komunikasi, Bandung: Binacipta, 1976. Collin Seymour Ure, The Political Impact of Mass Media, London Baverley Hills: ContableSage Publications, 1974. Deddy Mulyana Nuansa-Nuansa Komunikasi Meneropong Politik dan Budaya Komunikasi Masyarakat Kontemporer, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999. Hammudah Abdalati, Islam in Focus, Indianapolis IN: Crencent, 1975. John R. Bittner, Mass Communication: An Intoduction, New Jersey USA: Prentice HallEnglewood Cliefs, 1986. Richard L. Johannesen, Ethics in Human Communication, Prospect Heights: Waveland Press, 1990. Sumita Tobing, Membangun Sistem Komunikasi Indonesia Baru Memasuki Otonomi Daerah, Jakarta: Badan Informasi dan Komunikasi Nasional, 2000. 2015 10 Etika dan Filsafat Komunikasi AG. Eka Wenats Wuryanta Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id