Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis PERANAN VEKTOR SEBAGAI PENULAR PENYAKIT ZOONOSIS BERIAJAYA Balai Penelitian Veteriner Jl. R.E. Martadinata No. 30, P.O. Box 151, Bogor 16114 ABSTRAK Penyakit zoonosis adalah penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Salah satu cara penularan penyakit ini dapat terjadi melalui vektor. Selain menyebabkan gangguan pada hospesnya, vektor juga bertindak sebagai penular penyakit. Dalam tubuh vektor, agen penyakit secara biologis dapat berkembang menjadi stadium yang lebih lanjut atau secara mekanis tidak berkembang dan kemudian menularkan melalui gigitan ke manusia atau hewan. Berbagai macam vektor dapat kita temui, mulai dari vektor arthropoda seperti nyamuk, lalat tsetse, phlebotominae sand fly, black fly, caplak, tungau, pinjal dan tritominae bug serta induk semang antara seperti siput air. Penyakit parasit yang ditimbulkan karena vektor diantaranya malaria, schistomiasis, lymphatic filariasis, African trypanosomiasis (sleeping sickness), leishmaniasis, onchocerciasis (river blindness), American trypanosomiasis (Chagas disease), sedangkan penyakit yang disebabkan oleh virus diantaranya dengue haemorhagic fever, yellow fever, Japanese encephalitis, tick borne encephalitis. Selain itu vektor juga menularkan penyakit oleh bakteri diantaranya karena Rickettsia dan Pasteurela pestis (Plaque). Perubahan lingkungan dan iklim banyak mempengaruhi dinamika populasi vektor sehingga hal ini harus menjadi faktor utama yang harus diperhatikan. Penanggulangan penyakit yang ditularkan vektor tidak hanya melalui pengobatan pada manusianya tetapi juga pemberantasan vektornya yang mana harus dilakukan secara terpadu antara pemerintah dan masyarakat dengan memperhatikan data epidemiologi baik penyakit tersebut maupun vektornya. Banyak kasus penyakit yang ditularkan melalui vektor mewabah kembali saat ini dan kadang-kadang menjadi kejadian luar biasa karena program ini tidak dijalankan secara terus menerus. Masyarakat perlu dibina agar hidup dalam lingkungan yang bersih sehingga kemungkinan vektornya tidak berkembang. Kata kunci: Vektor, zoonosis, arthropoda, siput air PENDAHULUAN Penyakit zoonosis adalah penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Salah satu cara penularan penyakit ini dapat terjadi melalui vektor. Saat ini banyak penyakit zoonosis pada manusia yang merupakan Kejadian Luar Biasa (KLB) muncul karenan peranan vektor yang tak terkendali. Penyakit ini sebenarnya sudah lama diketahui keberadaannya dan dianggap umum, tetapi karena kegagalan pengendalian vektor maka penyakit ini selalu terjadi berulang kali. Pengendalian vektor tidak saja menyangkut hidup bersih, tetapi yang utama adalah kesehatan lingkungan. Kesehatan lingkungan akan mengurangi populasi vektor dan mungkin juga memutus siklus hidup vektor sehingga vektor tersebut tidak dapat berkembang. Setiap vektor mempunyai habitat dan siklus hidup yang berbeda. Agen penyakit ditularkan dari individu yang terinfeksi kepada individu lain oleh vektor arthropoda dan siput sebagai induk semang antara. Penularan dapat terjadi bila ada agen penyakit seperti virus, bakteri, protozoa atau cacing; vektor seperti caplak atau nyamuk; dan manusia. Sebagai tambahan, induk semang antara seperti siput air juga dimasukkan sebagai vektor karena agen penyakit harus mengalami perkembangan dalam siklus hidupnya. Selain itu karena hewan sering bertindak sebagai reservoir agen penyakit maka penyebaran penyakit ini kadang-kadang sulit ditanggulangi. Hampir setengah populasi manusia didunia terinfeksi dengan penyakit yang ditularkan oleh vektor dan menimbulkan angka kesakitan dan mortalitas yang tinggi. Penyebaran kejadian penyakit-penyakit tersebut sangat tidak proporsional, dengan dampak yang saling 275 Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis terkait di negara berkembang baik di daerah tropis maupun subtropis. Kepentingannya terhadap kesehatan masyarakat, bila prevalensi penyakit ini cukup tinggi maka hal ini akan mempengaruhi perkembangan perekonomian negara tersebut (GUBLER, 2002). Tantangan yang dihadapi dalam rangka pengendalian penyakit yang ditularkan oleh vektor saat ini adalah 1) Masih berjangkitnya penyakit lama yang belum dapat dikendalikan sepert malaria dan penyakit kaki gajah, Japanese encephalitis yang endemik di banyak wilayah. 2) Masih seringnya terjadi KLB atau wabah penyakit seperti malaria, demam berdarah dengeu dan beberapa penyakit zoonosis lainnya. 3) Timbulnya resistensi vektor malaria terhadap insektisida dan makin meluasnya wilayah dengan resistensi obat malaria terhadap parasitnya. 4) Adanya kemungkinan masuknya penyakit dari luar wilayah Indonesia seperti Yellow fever dan West Nile fever, maupun munculnya new emerging disease seperti avian influenza (SUROSO, 2005). Dalam membuat program penanggulangan penyakit yang ditularkan melalui vektor, beberapa strategi sudah pernah diajukan seperti penggunaan obat, vaksin dan penanggulangan terhadap vektor, tetapi hasilnya masih belum sempurna, dilihat dari seringnya terjadi wabah penyakit tersebut. Untuk mengembangkan strategi yang efektif maka diperlukan pengetahuan tentang epidemiologi yang menyeluruh tentang infeksi tersebut, hubungan vektor, agen penyakit dan host untuk memberi gambaran resiko transmisi penyakit tersebut (VALINTE MORO et al., 2005). Iklim berpengaruh terhadap dinamika populasi vektor dan penularan penyakitnya, yang mana suhu dan kelembaban merupakan faktor yang menentukan. Sekarang para ilmuwan dapat memprediksi bagaimana perubahan iklim akan mempunyai efek terhadap penyebaran penyakit-penyakit tersebut. Model yang komprehensip harus menyangkut dampak langsung (perubahan suhu dan curah hujan) dan tidak langsung (perubahan hidrologi dan pertanian) dari pemanasan global terhadap agen penyakit, vektor, induk semang antara dan manusia. Respon setiap faktor dari proses penyakit terhadap perubahan iklim merupakan konsekuensi satu terhadap yang lainnya. 276 Penyebaran penyakit yang ditularkan melalui vektor tergantung dari banyak faktor, diantaranya tidak terbatas daerahnya, tetapi penyebaran vektor dan reservoar selalu sangat terbatas tergantung habitatnya. Pada kebanyakan penyakit zoonosis, manusia merupakan akhir dari agen penyakit (dead-end hosts), tetapi adanya hewan reservoar yang menjadi agen penerus penyakit tersebut, kadang-kadang sulit diberantas. Hewan reservoar merupakan permanen induk semang dan manusia hanya kebetulan terinfeksi, seperti pada monkey pox, tetapi kadang-kadang virus tersebut menulari ke manusia melalui hewan lain. Pada kasus SARS di Guandong, Cina, kucing yang tertular menulari pelayan restoran, dan kemudian menyebar ke orang lain. Hal ini berbeda dengan vector borne disease seperti malaria, dimana penyebaran dari orang ke orang melalui artropoda nyamuk. PERANAN VEKTOR Secara definisi vektor adalah parasit arthropoda dan siput air yang berfungsi sebagai penular penyakit baik pada manusia maupun hewan. Ada beberapa jenis vektor dilihat dari cara kerjanya sebagai penular penyakit. Keberadaan vektor ini sangat penting karena kalau tidak ada vektor maka penyakit tersebut juga tidak akan menyebar. Vektor potensial adalah vektor yang secara aktif berperan dalam penyebaran penyakit. Vektor ini baik secara biologis maupun mekananis selalu mencari hospesnya untuk kelangsungan hidupnya. Selain itu ada vektor pasif, artinya secara ilmiah dapat dibuktikan bahwa dalam tubuh vektor ada agen patogen dan dapat menularkan agen tersebut kepada hospes lain, tetapi vektor ini tidak aktif mencari mangsanya. Dengan adanya perubahan lingkungan, kemungkinan vektor tersebut dapat berubah menjadi aktif. Vektor biologis, dimana agen penyakit harus mengalami perkembangan ke stadium lebih lanjut. Bila tidak ada vektor maka agen penyakit kemungkinan akan mati. Contoh yang paling mudah adalah schistosomiasis, penyakit akibat cacing Schistosoma japonicum. Larva (miracidium) masuk ke dalam tubuh siput, berkembang menjadi sporocyst dan selanjutnya menjadi redia, kemudian menjadi cercaria yang Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis akan keluar dari tubuh siput, aktif mencari definif host, melalui kulit dimana akan terjadi dermatitis (SOULSBY, 1982). Vektor mekanis, dimana agen penyakit tidak mengalami perkembangan, tetapi hanya sebagai pembawa agen penyakit. Tidak seperti penyakit malaria atau arbovirus dimana terjadinya infeksi cukup satu kali gigitan vektor yang sudah terinfeksi, pada infeksi filaria, vektor harus sering menggigit hospesny agar terjadi infeksi. Diperkirakan lebih dari 100 gigitan agar cacing dapat bereproduksi dan menghasilkan mikrofilaria. Vektor insidentil, vektor ini secara kebetulan hinggap pada manusia, kemudian mengeluarkan faeces yang sudah terkontaminasi agen penyakit dekat mulut. Secara tidak sengaja masuk ke dalam mulut, contohnya pada penyakit Chagas yang disebabkan oleh Trypanosoma cruzi dan vektor yang berperan adalah Triatoma bugs. Vektornya sebenarnya masuk dalam siklus silvatik, hanya diantara hewan rodensia. Manusia terkontaminasi bila vektornya masuk dalam lingkungan manusia. Penyakit yang sering mewabah di Indonesia dan dianggap penting serta kemungkinan masuknya penyakit enzootic akan dibahas di bawah ini. MALARIA Sejak abad pertama sampai sekarang, penyebaran penyakit malaria sudah meluas ke seluruh dunia, terutama daerah temperate, sebagai akibat dari perkembangan sosial ekonomi dan melalui program kontrol lokal dikembangkan menjadi kampanye secara global eradikasi, tetapi penyakit ini masih tetap endemik tinggi (BNUCE-CHWATT, 1985). Metoda kontrol untuk malaria meliputi penggunaan obat anti malaria untuk kemoterapi dan kemosupresi dan terhadap vektor nyamuk anopheles digunakan residual insektisida pada bagian-bagian rumah. Sebagai tambahan metoda larvisida termasuk kontrol biologi dan managemen lingkungan untuk mengurangi tempat-tempat berkembang biak. Penggunaan antimalaria vaksin untuk proteksi sewaktu-waktu bila petugas akan ke lapangan. Gangguan transmisi malaria tergantung pada kepekaan vektor Anopheles pada setiap daerah endemik. Lebih banyak endopilik (indoorresting) vektor akan memudahkan kontrolnya karena daya hibupnya tidak cukup untuk mempertahan transmisinya di daerah dengan insektisida coverage yang cukup dengan residual insektisida. 277 Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis Tabel 1. Jenis vektor, penyakit yang ditularkan, agen penyakit dan reservoar dari beberapa penyakit yang ditularkan melalui vektor No I 1 Vektor Nyamuk Anopheles Penyakit Penyebaran Patogen Reservoar Malaria Daerah tropis dan subtropis Manusia, primata 2 Anopheles, Aedes,Culex, Mansonia Filariasis 3 Aedes aegypti Yellow fever Yellow fever virus Primata 4 Aedes aegypti, A. albopictus, A. scutellaris, A. polynesiensis Culex tritaeniorhynchus, C.gelidus, C. vishnui Dengue Haemorrhagi c Fever Tropis dan subtropis (Afrika, Amerika, Asia, Pasifik) Afrika, Amerika Tengah dan Selatan Tropis (Asia, Pasifik, Caribia) Plasmodium falciparum, P. malariae,P.ovale, P. vivax Brugia malayi, B. timori, Wuchereria bancrofti Arbovirus Manusia, primata Japanese encephalitis Jepang, Korea, SEA, India, Srilangka Japanese encephalitis virus Burung, babi 6 Aedes (Ochlerotatus) Eastern Equine Encephalitis Amerika, Kanada, Amerika Selatan Eastern Equine Encephalitis virus Manusia, kuda II 1 Caplak Dermacentor andersoni Ixodes ricinus Canada, USA (Dakota) UK, Irlandia Colorado Tick fever virus Louping ill virus Squirrel 2 Tick Borne Diseases Louping ill 3 Ixodes ricinus, I. persulcatus Tick-borne encephalitis Rusia Tick-borne encephalitis virus 4 Haemaphysalis spinigera, H. turturis India Kyasanur Forest disease (KFD) virus 5 Ornithodoros ticks Kyasanur Forest disease (KFD) Tick-borne relapsing fever Borrelia spp Rodensia 6 Ixodes spp., I. ricinus (Europe), I. dammini, I. pacificus (USA), I. holocyclus (Australia). Amblyomma americanum (USA) Afrika, Mediteran, Asia Tengah, Amerika, Amerika Tengah dan Selatan Swedia, UK, Australia, Eropa Borrelia burgdorferi Rodensia, deer. 7 Dermacentor andersoni, D. variabilis, Amblyomma cajennense Kanada, Amerika Selatan Rickettsia rickettsi Rodensia 5 278 Erythema borreliosis, erythema chronicum migrans, Lyme disease Rocky Mountain spotted fever Kucing, Carnivora, Kera Domba, sapi, red deer (Cervus elaphus), red grouse Larvae and nymph in small forest mammals and birds, and as adults with larger wild and domestic mammals. Kera, rodensia Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis Lanjutan Tabel 1 No I 8 Vektor Nyamuk Amblyomma hebraeum (South African), Rhipicephalus sanguineus III 1 Tungau Trombiculidae Leptotrombidium IV 1 Kutu Pediculus humanus humanus, P. humanus capitis, Pthirus pubis V 1 Lalat Tsetse flies (Diptera: Glossinidae: Glossina). Penyakit Penyebaran Patogen Reservoar Boutonneuse fever (South African tick typhus, Kenya tick typhus, Marseilles fever, Crimean tick typhus, Indian tick typhus); Siberian tick typhus (North Asian tick typhus); Queensland tick typhus Afrika, Eropa, Mediteran Rickettsia conori (Boutonneuse fever), R. sibirica (Siberian tick typhus), R. australis (Queensland tick typhus). Caplak, rodensia. Chiggerborne rickettsiosis (Tsutsugamu shi disease, Japanese river fever, scrub typhus, mite-borne typhus) SEA, India, Pakistan Rickettsia tsutsugamushi (R. orientalis). Mite, rodensia, Rattus Louse-Borne Diseases Afrika, Amerika Selatan Rickettsia prowazeki, (classical typhus) Rochalimaea quintana (trench fever, quintana fever) Borrelia recurrentis (louseborne relapsing fever) African (Sleeping Sickness) Afrika Trypanosoma (Trypanozoon) brucei gambiense (West Africa); T. (T.) brucei rhodesiense (East, Central, Southern Africa) Ruminansia 279 Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis Lanjutan Tabel 1 No I 2 Vektor Nyamuk Phlebotomus spp. (Old World), Lutzomyia spp. (New World). Penyakit Penyebaran Patogen Reservoar Leishmaniasi s Amerika Selatan, Mediteran, Afrika Leishmania (Leishmania) donovani and L. (L.) infantum L. (L.) chagasi . Leishmania (L.) aethiopica, L. (L.) major , L. (L.) tropica L. (L.) mexicana, L.(L.) amazonensis, L. (L.) mexicana, L. (L.) Venezuelensis, L. (L.) mexicana complex [L. (L.) gamhami, L. (L.) pifanoi] Onchocerca volvulus - river blindness, onchocerciasis, Robles' disease (Guatemala), sowda (Yemen) Loa loa VL - man, dogs, wild carnivores CL - man (L.(L.) tropica); rodents (L.(L.) major); hyrax (L.(L.) aethiopica); sloths, opossums, etc. (L.(V.) braziliensis complex); rodents (L.(L.) mexicana complex). 3 Blackflies of the genus Simulium (Order Diptera, Family Simuliidae) Onchocercia sis Trapocal Amerika, Mexico Selatan, Saudi Arabia 4 Chrysops spp. Loiasis, a filarial disease Afrika Tengah VI 1 Bugs Triatomine bugs (Triatoma). Chagas disease Afrika, Asia, Australia Trypanosoma cruzi Rodensia, marsupials and manusia VII 1 Pinjal (fleas) Fleas Plaque Afrika Rodensia Murine typhus, also called fleaborne typhus Cosmopolitan Yersinia (Pasteurella) pestis Rickettsia mooseri Schistosomia sis SEA, China, Philipina Schistosomia japonicum 2 Fleas VII I 1 Manusia, kera Rattus spp. Siput air (snails) Snails Sayangnya, setelah bertahun-tahun tekanan seleksi akibat penggunan pestisida untuk kesehatan masyarakat dan pertanian maka banyak populasi vektor yang menjadi resisten terhadap insektisida. Saat ini diperkirakan lebih dari 50 spesies vektor sudah resisten terhadap satu atau beberapa insektisida organofosfor, organochlorine, carbamat dan pyrethroid yang digunakan. Beberapa vektor mempunyai sifat eksofilik, sehingga lebih sulit diberantas 280 man, gorilla (Gorilla), chimpanzee (Pan) Manusia dengan pengasapan rumah. Oleh karena itu tampaknya tergantung kondisi lingkungan dan latar belakang secara genetik populasi vektor tersebut. Program pengendalian terpadu yang menyangkut partisipasi masyarakat dan pengobatan terhadap pasien malaria perlu dilakukan. Selain itu adanya resisten Plasmodium falcifarum terhadap chloroquine sudah dilaporkan mulai tahun 1960, dan setiap tahun Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis resisten tersebut meningkat di SEA dan Amerika Selatan. Saat ini resisten tersebut menjadi masalah utama dalam penanggulangan infeksi. Oleh karena itu mencegah transmisi melalui kontrol vektor menjadi sangat penting dengan memberi perlindungan secara individu. Dengue haemorrhagic fever Dengue merupakan penyakit yang endemik di daerah tropik,terutama Asia, Pasifik dan Karibia tetapi cenderung terjadi secara periodik epidemis. Bentuk yang klasik adalah penyakit yang jinak ditandai dengan biphasic fever, myalgia, arthralgia dan rash. Dengue haemorrhagic fever sangat parah, kadangkadang fatal yang ditandai dengan fever, shock, acute haemorrhage dan mortalitas yang tinggi, biasanya menyerang anak-anak. Pertama kali ditemukan di Philippines tahun 1953 (meskipun gejala yang sama terdapat di Australia dan China pada tahun–tahun sebelumnya), sekarang sudah menyebar ke Southeast Asia, merupakan penyebab utama mengapa mereka harus dirawat di rumah sakit dan menimbulkan kematian di daerah tropis Asia. Di Karibia, dengue haemorrhagic fever pertama kali dilaporkan dalam bentuk epidemik di Kuba, tahun 1981, kasus yang sporadik selalu meningkat di daerah tersebut. Beberapa pakar percaya bahwa bentuk ini adalah fenomena immunopatologi karena infeksi yang berturut-turut dengan beberapa serotipe. Ini kemungkinan bahwa dengue dibawa ke Mediteran (dimana penyakit ini sudah menghilang setelah eradikasi A. aegypti) dari East Africa pada akhir abad ke 19, melalui perdagangan perbudakan dari Zanzibar dan melalui pelabuhan Laut Merah. Ada anggapan bahwa dengue berasal dari tropical Asia dan dari sana menyebar ke Afrika. Serotypes dengue 1 and 2 berasal dari West Africa, 2 dari East Africa, Seychelles dan La Reunion, 3 dari Mozambique dan 4 in Pasifik. Adanys transportasi udara dipercaya telah mengintroduksi dengue 1 dari Afrika ke Karibia dan dengue 4 dari Pasifik ke Karibia dimana wabah kedua serotypes terjadi. Peridomestic dan highly anthropophilic Aedes aegypti adalah vector utama dari semua serotype. Adanya A. aegypti merupakan potential untuk daerah dengue yang beresiko. Aedes albopictus kemungkinan vector tunggal di beberapa daerah di Southeast Asia, Dengue haemorrhagic fever selalu dihubungkan dengan urban center dan A. aegypti. Sekarang manusia dipercaya menjadi hospes dengue viruses, tetapi KNUDSEN et al. (1977) dan RUDNICK (1983) di Malaysia, menemukan bahwa jungle cycle dari dengue melibatkan canopy feeding monkey dan nyamuk hutan, Aedes niveus yang menghisap manusia and kera. Transovarial transmission dari virus dalam tubuh A. aegypti dan A. albopictus dapat dibuktikan dan virusnya dapat ditemukan kembali dari koleksi lapangan larvae of A. aegypti di Burma. Lymphatic filariasis Vektor penyakit ini adalah beberapa spesies nyamuk Anopheles, Aedes, Culex dan Mansonia. Di daerah tropis vektornya Culex quiquefasciatus dan di daerah temperate C. pipiens. Brugia dan Wuchereria selalu menunjukkan sifat nocturnal periodicity dari microfilaria di dalam darah perifer, merupakan adaptasi untuk uptake dan transmisi oleh vector yang menggigit hanya pada malam hari, tetapi ada beberapa spesies seperti Mansonia dan Aedes mempunyai sifat diurnal. Periodik Brugia spp. dan Wuchereria bancrofti terdapat pada manusia sedangkan Brugia malayi subperiodik strain terdapat pada kucing, karnivora liar dan khusus pada kera Macaca and Presbytis, dimana transmission ke manusia tidak biasanya terjadi melalui aktifitas diurnal nyamuk Mansonia spp. Human lymphatic filariasis terjadi di daerah tropis dengan kelembaban tinggi di Africa, Amerika, Asia, dan beberapa pulau di Lautan Pasifik. Lokal epidemiologi dari penyakit ini sangat dipengaruhi tingkah laku dan ekologi beberapa spesies nyamuk vector sehingga ada tujuh zona epidemiologi dari Bancroftian filariasis berdasarkan regional variasi dari vector, sedangkan Brugian filariasis terbatas pada bagian dari Southeast Asia dan Australasia. Bancroftian filariasis terdapat di darah urban dan prevalensi W. bancrofti meningkat di negara tropis karena vector Culex quinquefasciatus dan C. pipiens, yang mana mudah berkembang biak di air yang kotor. 283 Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis Oleh karena banyak nyamuk sudah resisten terhadap insektisida (WHO, 1986) maka penanggulangannya harus dilakukan dengan managemen lingkungan dan mengurangi sumbernya (WHO, 1982). Pada daerah pedesaan, W. bancrofti ditularkan oleh vektor Anopheles spp. yang berperan juga sebagai vektor utama malaria. Kontrol Bancroftian filariasis juga merupakan efek samping dari antimalarial house-spraying. Beberapa strain parasit ini adalah nocturnally periodic, tetapi di beberapa daerah (West Africa, Malaysia) tidak dapat ditransmisi oleh Culex quinquefasciatus sebab nyamuk ini tampaknya refractory terhadap anopheline-adapted strains of W. bancrofti. Sebaliknya berlaku pada daerah (India, Malaysia) dimana Culex-adapted strains of W. bancrofti tidak dapar ditransmisi oleh anophelines. Di Polynesia (Zona 7), dimana tidak ada anophelines, bentuk W. bancrofti adalah subperiodic, merupakan adaptasi untuk mengisap dan menularkan oleh Aedes (Stegomyia) scutellaris yang menggigit pada siang dan malam hari (MACDONALD, 1976). Di beberapa daerah hutan Southeast Asia (Zone 6), disana juga ada subperiodic strain W. bancrofti yang ditularkan Aedes (Finlaya) niveus, yang mengindikasikan kemungkinan berasal dari Polynesia subperiodik strain. Brugian filariasis. Brugia malayi terjadi hanya di South Asia dimana penyebaran dan prevalensinya sudah menurun karena kontrol vektor Mansonia spp. dengan cara metoda menghilangkan host-plants dari tempat berkembang biaknya. Subperiodik strain terjadi di habitat hutan berawa, dan terutama ditularkan oleh M. bonneaedives sebagai siklus zoonosis. Periodik strain B. malayi ditularkan juga oleh Anopheles spp. dan biasanya bukan zoonosis (WHARTON, 1962). Bentuk subperiodik ditularkan oleh Mansonia spp. dan Coquillettidia crassipes. Brugia timori terbatas di pulau Flores dan Timor, Indonesia. Ini tampaknya bukan zoonosis dan hanya vektor Anopheles barbirostris yang diketahui. Hal ini cukup menarik B. timori tidak dapat dipindahkan oleh beberapa nyamuk seperti A. subpictus yang mana merupakan vektor malaria dan W. bancrofti diantara orang di daerah tersebut. 284 Visceral leishmaniasis Visceral leishmaniasis (VL) adalah penyakit menular pada anjing dan manusia ditularkan oleh sandflies. VL di daerah Mediterran dan Timur Tengah disebabkan oleh protozoa Leishmania infantum dan di Amerika Selatan diusebabkan oleh Leishmania chagasi. Kedua parasit ini menimbulkan penyakit pada orang dan anjing, biasanya menjadi fatal bila tidak diobati. Anjing domestik dianggap sebagai reservoar utama penyakit pada manusia dan kelompok yang mempunyai resiko tinggi pada manusia adalah anak-anak dan pasien HIV. Gejala klinis yang utama dihubungkan dengan canine VL adalah exfoliative dermatitis, lymphadenomegaly, splenomegaly dan kehilangan berat badan. Periode inkubasi sebelum timbul gejala klinis kemungkinan berlangsung beberapa tahun. Selama periode ini anjing mengandung parasit dan bertindak sebagai sumber yang pontential terhadap anjing-anjing lain dan manusia. Beberapa anjing tetap terinfeksi dengan asymptomatic carrier atau kemungkinan menjadi sembuh sendiri. Usaha untuk mengobati penyakit ini pada populasi anjing kurang berhasil karena beberapa faktor. Pertama, pengobatan pada anjing yang terinfeksi dengan obat anti-leishmania yang digunakan untuk manusia tidak efektif untuk mengeliminasi infeksi. Kedua, euthanasia dari anjing yang sakit selain tidak dikehendaki oleh pemiliknya, juga tidak efektif, sebab anjing tanpa gejala bertindak sebagai sumber penularan penyakit. Ketiga, spraying terhadap vektor sandfly sangat terbatas efektivitasnya untuk mencegah penyebaran penyakit, dan saat ini vaksin terhadap leishmaniasis masih dijajaki. Schistosomiasis Schistosomiasis (bilharziasis) adalah penyakit pada manusia yang disebabkan oleh infeksi cacing dari Schistosoma. Penyakit ini merupakan penyebab utama angka kesakitan dan mortalitas yang tinggi untuk Negaranegara berkembang di Afrika, Amerika Selatan, Karibia, Timur Tengah dan Asia. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis Wisatawan ke dan immigrasi dari daerah endemik dapat tertular schistosomiasis. Kebanyakan schistosomiasis pada manusia disebabkan oleh Schistosoma haematobium, S. mansoni, atau S. japonicum. Spesies yang prevalensinya rendah seperti S. mekongi dan S. intercalatum kemungkinan penyebab penyakit yang sistemik. Spesies yang kurang penting dari Schistosoma pada unggas atau mamalia sebagai hospes utama dapat menyebabkan dermatitis yang parah pada manusia (perenang menderita gatal-gatal karena infeksi oleh Trichobilharzia ocellata). Penyebaran dan patofisiologi dari dari schistosomiasis dapat menggambarkan siklus hidup yang unik dari parasit ini. Schistosoma menginfeksi spesies tertentu dari siput air tawar yang peka di daerah endemik. Siput yang sudah terinfeksi akan mengeluarkan serkaria, (1mm). Serkaria hidup dalam air tawar selama 48 jam, kemudian serkaria harus menempel pada kulit manusia atau mamalia yang peka atau mati. Serkaria menempel pada manusia menggunakan oral dan ventral sucker. Serkaria ini selanjutnya migrasi melalui kulit yang masih utuh ke vena di bagian dermal dan setelah beberapa hari ke pembuluh darah di paru-paru. Selama migrasi, serkaria melakukan metamorfose, melepas ekornya dan outer glycocalyces dimana berkembangnya doublelipid-bilayer tegument yang sangat resisten terhadap imun respon hospes. Organisme ini sekarang disebut schistosomula, bersama dengan protein dari hospes, termasuk major histocompatibility complexes (MHCs) dan antigen darah, dalam integumen. Cacing ini kemudian migrasi melalui pembuluh kapiler paru-paru ke sistim peredaran darah, yang mana akan membawa cacing ini ke vena portal dimana cacing ini menjadi dewasa. Dalam portal vasculature, cacing jantan dan betina yang dewasa berpisah dari pasangannya, cacing betina kemudian masuk dan tinggal dalam kanal gynecophoric cacing jantan. Bersama-sama kemudian mereka migrasi sepanjang endothelium dalam aliran darah portal ke mesenteric (S. mansoni, S. japonicum) atau vesicular (S. haematobium) vena dimana mereka mulai memproduksi telur. Telur yang sangat antigenik dapat menginduksi respon granuloma, migrasi melalui dinding kandung kemih untuk melepaskan diri melalui feses atau urin. Selama waktu ini (10 hari) mereka mulai berkembang menjadi mirasidia. Telur yang tidak keluar akan tinggal dalam jaringan atau berpindah kembali ke sirkulasi portal (dari vena mesenterik) atau ke sirkulasi di paru-paru (dari pembuluh vesicular via inferior vena cava). Mirasidia akan dilepaskan ke air tawar dan akan hidup selama 2-3 minggu yang mana mereka harus menginfeksi siput yang peka untuk melengkapi siklus hidupnya. Dalam siput, 2 generasi sporocyst memperbanyak diri, tumbuh menjadi serkaria yang dapat berenang bebas, dan keluar dari siput untuk mencari manusia dan mulai siklus baru. Yellow fever Yellow fever endemik di daerah Africa antara 15º Lintang Utara dan 15º Lintang Selatan, bagian utara dan timur Amerika Selatan dan epidemik di sebagian Amerika Tengah. Vector utamanya adalah A. aegypti, penyakit ini berasal dari Afrika dan dibawa bersama dengan vektor ke Amerika pada abad ke 16 perdagangan budak. Budak Afrika tidak menderita dari yellow fever tetapi mortality diantara bangsa Europa sangat tinggi. Epidemik yang parah terjadi di kota-kota pantai Amerika Selatan dan USA. Di Ethiopia tahun 1960-1962 terjadi wabah dengan perkiraan kematian 15.000, dan tahun 1986/87 wabah yang parah juga terjadi di Afrika Barat. Semua urban epidemic di dunia Baru ditularkan oleh A. aegypti. Jungle yellow fever kemungkinan dipertahankan di forest-canopy tempat kera dan nyamuk berkembang biak. Urban yellow fever sekarang ditanggulangi dengan immunisasi, tetapi hanya sedikit kemajuan dalam mengurangi resiko rural yellow fever di daerah enzootic Afrika dan Amerika, dimana kasus pada manusia terjadi setiap tahun. Urban vektor, A. aegypti muncul kembali di Amerika Selatan setelah di eradikasi. Di Afrika Timur, A. africanus, A. simpsoni, rain forest canopy spesies, berkembang biak di sekitar rumah penduduk. A. simpsoni kemungkinan vector penghubung dari siklus forest dengan siklus rural/urban dimana melibatkan A. aegypti, tetapi A. simpsoni dipercaya bertanggung jawab penularan dari 285 Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis manusian ke manusia pada wabah di Ethiopia tahun 1960-1962. A. luteocephalus menyebar dari hutan ke savana dan dari savana kemungkinan masuk ke desa untuk menggigit manusia. Di New World infeksi pada manusia kemungkinan terjadi kontak langsung dengan nyamuk yang terinfeksi dari forest canopy. Semua Haemagogus spp., menularkan jungle yellow fever, berkembang biak di lubanglubang pohon atau bambu di hutan. Transovarial transmisi buatan dari yellow fever virus dalam nyamuk dapat didemontrasikan dan virus dapat ditemukan dalam telur dan larvae dari caplak Amblyomma variegatum di Afrika Tengah. Penyakit ini belum pernah dilaporkan di Asia walaupun vektor A. aegypti dan kera yang peka ada. PEMBERANTASAN VEKTOR Memutus daur hidup Setiap vektor mempunyai siklus hidup yang berbeda-beda, mulai dari telur, larva atau nimfe dan dewasa. Semuanya ini mempunyai karakteristik sendiri yang spesifik dan sangat dipengaruhi keadaan lingkungan. Oleh karena itu pengetahuan tentang epidemiologi dari vektor tersebut sangat penting dan diperlukan untuk membuat program penanggulangannya. Keakuratan data dari sistim di alam yang menyangkut sistim vektor borne disease dan agen penyakit-vektor-hospes akan mempengaruhi model program penanggulangan yang akan diajukan (RANDOLPH dan NUTTALL, 1994). Pengetahuan tentang siklus hidup vektor sangat bervariasi antara spesies, lokasi dan lingkungan menjadikan faktor yang harus diperhitungkan. Beberapa aspek yang harus dilihat adalah 1) feeding habit biasanya digeneralisasi. 2) agen penyakit dibutuhkan oleh vektor dari hospes. 3) kemampuan reservoar bervariasi. 4) kebanyakan reservoar yang kompeten cenderung menjadi dominan (OSTFELD dan KEESING, 2000a). Oleh karena itu keaneka ragaman reservoar sangat penting diketahui baik yang kompeten maupun yang tidak kompeten. Reservoar yang kompeten kemungkinan besar akan meneruskan agen penyakit ke vektornya dan vektornya akan menginfeksi manusia, sedangkan reservoar yang tidak kompeten akan mempunyai efek 286 dilusi, sehingga vektornya akan bebas dari agen penyakit (OSTFELD dan KEESING, 2000b). Di dalam memantau keberadaan vektor seperti nyamuk, ada 6 komponen penting yang harus diperhatikan. 1) Pola umum dari penularan di suatu daerah menyangkut intensitas dan musim. 2) Mengukur kepadatan vektor, parity rate, human blood indeces dan sporozoit rate dari vektor utamanya. 3) Mengestimasi proteksi individu. 4) Bio-assay. 5) Susceptibility testing. 6) Aspek lain seperti mengukur dampak insecticide treated nets dan behaviour dari manusia (waktu tidur), dampak penggunaan kelambu yang sudah insektisida serta adanya penyakit lain seperti filariasis (GITHEKO et al., 1996). Salah satu pendekatan yang telah dipelajari oleh beberapa laboratorium adalah kompromi fekunditas dan daya hidup vektor melalui imunisasi hospes vetebrata dengan organ dalam dari vektor (concealed antigen). Hal ini memungkinkan pada tick borne disease, tetapi masih tanda tanya pada insect borne disease (JACOBS-LORENA dan LEMOS, 1995). Penggunaan insektisida Insektisida digunakan untuk membunuh serangga. Beberapa jenis insektisida yang sering digunakan mulai dari organochlorine, organofosfat, carbamate, pyrethrin dan jenisjenis yang lain baik derivatnya maupun campurannya akan berfungsi untuk membunuh serangga. Metoda pemberian insektisida adalah dengan sistim pengasapan (fogging), tetapi perlu diperhatikan juga berapa lama insektisida tersebut masih aktif, karena fogging kebanyakkan di perumahan. Residual insektida mungkin lebih baik digunakan karena mempunyai efek jangka panjang. Selain fogging, perlu juga digunakan repellent untuk mencegah vektor tidak menggigit manusia. Untuk mengurangi kontak dengan nyamuk, orang sering menggunakan kelambu yang sudah ada insektisida (impregnated net). PENANGGULANGAN TERPADU Transmisi dari penyakit sangat menular sangat dipengaruhi faktor iklim. Agen penyakit dan vektornya sangat sensitif terhadap suhu, kelembaban, angin, kelembaban tanah, permukaan air dan perubahan dalam hutan. Ini Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis cocok untuk vector borne disease seperti malaria. Perubahan iklim dan cuaca akan mempengaruhi the range, intensity dan musim terhadap vektor. Secara umum, peningkatan panas dan kelembaban akan meningkatkan transmisi dari penyakit yang ditularkan vektor. Di negara-negara tropis, Vector Borne Disease merupakan penyebab kesakitan dan kematian. Vaksinasi akan mencegah penyakit dan penggunaan pestisida terhadap vector sering menimbulkan vector resistan strain dan membunuh predator. Surveillance, pengobatan dan penanggulangan dari vector borne disease harus merupakan bagian dari kebijakan tentang kesehatan masyarakat yang komprehensif dimana akan meningkatkan kerjasama antara peneliti, medical clinicians, pemerintah daerah baik tingkat kecamatan, kabupaten/kota, propinsi, nasional maupun internasional. Meskipun program lokal menggunakan informasi yang lebih akurat dan tehnologi untuk mengurangi atau menghilangkan outbreak, tetapi total eradikasi di daerah dimana vector borne disease mewabah, tidak dapat sebagai jaminan tidak akan terjadi lagi. Perubahan iklim karena pemanasan secara global akan memfalitasi penyebaran penyakit keluar perbatasan negara. Perpindahan penduduk secara besar-besaran karena perubahan iklim, barangkali juga memindahkan agen patogen, vector, iduk semang antara ke daerah baru, kemungkinan merubah ekosistemnya dan menyediakan komponen yang penting untuk reproduksi dan transmisi penyakit menjadi lebih besar kepada populasi yang belum tertular. Surveillance sangat penting untuk memprediksi kejadian yang potensial dari penyakit-penyakit yang ditularkan oleh vektor. Empat tipe surveillance untuk menulusuri penyakit tersebut adalah 1) pencatatan kasus pada manusia; 2) determinasi penyebaran dan kemampuan menginfeksi dari vektor; 3) monitoring semua jenis resevoar, 4) data iklim untuk memprediksi distribusi vector. Selain itu pemantauan parameter iklim akan menyediakan informasi untuk memprediksi populasi. Pengamatan yang lebih dalam perlu dilakukan baik di lapangan maupun di laboratorium terhadap kemampuan agen penyakit untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim sehingga memungkinkan untuk memprediksi patogen yang yang bermigrasi dan potential destination. Penggunaan penginderaan jarak jauh untuk mendeteksi perubahan mikroekosistim, habitat induk semang dan vektor merupakan pemantauan dilapangan yang lebih praktis. Pengobatan dapat mengurangi keganasan penyakit dan mengurangi gejala sakit. Pengobatan terhadap hewan reservoar yang terinfeksi dan populasi manusia akan membantu mengontrol penyebaran penyakit dengan cara mengurangi banyaknya agen patogen dalam daerah itu. Pemeriksaan peranan yang pasti dari hewan reservoar untuk menentukan target pengobatan yang paling efektif. Selanjutnya pengobatan populasi hewan kemungkinan lebih berhasil untuk mengurangi infeksi pada manusia daripada pengobatan individu pada manusia. Metoda kontrol dapat menjadi target pada bebarapa aspek yang berbeda dari siklus hidup vektor. Vaksinasi terhadap populasi hewan dan manusia ditujukan untuk pencegahan perbanyakan agen patogen, dan pestisida akan mengurangi atau menghilangkan vector. Selain itu, regulasi yang ketat akan menghambat perkembangan habitat dari vektor, kebijakan migrasi dan immigrasi inspeksi mencoba untuk menghambat patogen dan masuknya vector; dan pengobatan dengan obat akan membantu mengurangi transmisi yang akan datang. Meskipun program kontrol vektor dan improved hygiene dapat membuat penyakit ini berkurang atau menjadi jarang ditemukan, timbulnya kembali mungkin terjadi karena pembatasan penggunaan pestisida, adanya beberapa vektor yang potensial, kedatangan visitor dan migran dari daerah endemik, kurangnya vaksinasi yang efektif untuk semua penyakit dan timbulnya habitat vektor yang menguntungkan akibat terjadinya pemanasan global. Hal ini tidak mengherankan karena perubahan lingkungan dapat mencakup perubahan iklim, pengundulan hutan dan datangnya populasi manusia yang masih sensitif dalam suatu daerah sehingga sering mengundang terjadinya infeksi baru. Selain itu orang cenderung hidup berdampingan dengan hewan, karena pertambahan penduduk mengakibatkan pertambahan populasi hewan sebagai sumber protein hewani. Saat ini juga ada kecenderungan hewan liar dipelihara sebagai hewan kesayangan, sehingga terjadinya 287 Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis penularan dari hewan ke manusia melalui kontak langsung sangat besar kemungkinannya. KESIMPULAN Penyakit zoonosis adalah penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Salah satu cara penularan penyakit ini terjadi melalui vektor. Saat ini banyak penyakit zoonosis pada manusia yang merupakan Kejadian Luar Biasa (KLB) muncul karenan peranan vektor yang tak terkendali. Agen penyakit ditularkan dari individu yang terinfeksi kepada individu lain oleh vektor arthropoda dan siput sebagai induk semang antara. Pengendalian vektor menyangkut hidup bersih dan kesehatan lingkungan. Kesehatan lingkungan akan mengurangi populasi vektor dan memutus siklus hidup vektor sehingga vektor tersebut tidak dapat berkembang. Setiap vektor mempunyai habitat dan siklus hidup yang berbeda. Penularan dapat terjadi bila ada agen penyakit (bakteri, virus, prozoa, cacing), vektor (nyamuk, caplak, tungau, pinjal, kutu, bug dan siput air) dan manusia. Sebagai tambahan, induk semang antara seperti siput air juga dimasukkan sebagai vektor karena agen penyakit harus mengalami perkembangan dalam siklus hidupnya. Selain itu karena hewan sering bertindak sebagai reservoar agen penyakit, sehingga penyebaran hewan reservoar perlu diperhitungan. PUSTAKA BNUCE-CHWATT, L. J. 1985. Essential malariology (2nd ed.). London, Heinemann. 452 pp. BUNIKIS, J., J. TSAO, C.J. LUKE, M.G. LUNA, D. FISH and A.G. BARBOUR. 2004. Borrelia burgdorferi infection in a natural population of Peromyscus leucopus mice: A longitudinal study in an area where Lyme borreliosis is highly endemic. J. Infectious Diseases 189: 1515-1523. GUBLER, D.J. 2002. Epidemic dengue/dengue haemorrhagic fever as a public headline, social and economic problem in the 21st century. Trends Microbiology 10: 100-103. GITHEKO, A.K., C.N.M. MBOGO, C.F. CURTIS, J. LINES and C. LENGELER. 1996. Entomological monitoring of large-scale vector-control 288 interventions. Parasitol. Today 12(4): 127128. JACOBS-LORENA and F.J.A. LEMOS. 1995. Immunological strategies for control of insect disease vectors: A critical assessment. Parasitol. Today 11(4):144-147. MACDONALD, W.W. 1976. Mosquito genetics in relation to filarial infections. pp.1-24 In: TAYLOR, A.E.R. and MULLER, R. (ed.) Genetic aspects of host-parasite relationships (Symposia of the British Society for Parasitology, Vol.14). Oxford, Blackwell. OSTFELD, R.S. and F. KEESING. 2000a. The function of biodiversity in the ecology of vector borne zoonotic diseases. Can. J. Zool. 78: 20612078. OSTFELD, R.S. and F. KEESING. 2000b. Biodiversity and disease risk: the case of Lyme diisease. Conserv. Biol. 14: 722-729. RANDOLPH, S.E. and P.A. NUTTALL. 1994. Nearly right or precisely wrong? Natural versus laboratory studies of vector-borne diseases. Parasitol. Today 10(12): 458-462. SOULSBY, E.J.L. 1982. Helminths, arthropods and protozoa of domesticated animals. 7thed. Bailliere, Tindall, London SUROSO, T. 2005. Sambutan Ketua Umum P4I Pusat. Seminar Nasional Parasitologi dan Entomologi Medik. 19-20 Agustus, Bandung. VALINE MORO, C., C. CHAUVE and L. ZENNER. 2005. Vectorial role of some dermanyssoidea mites (acari, mesostigmata, dermanyssoidea). Parasite 12: 99-109. WHARTON, R.H. 1962. The biology of mansonia mosquitoes in relation to the transmission of filariasis in Malaya. Bulletin of the Institute of Medical Research of the Federation of Malaysia, 11: 1 -114. WHO. 1982. Manual on environmental management for mosquito control. Geneva, World Health Organization, Offset Publication No. 66, 283 pp. WHO. 1984. Technical Report Series, No. 702. (Lymphatic filariasis: fourth report of the WHO Expert Committee on Filariasis). Geneva, World Health Organization, 112 pp. WHO 1986. Technical Report Series, No. 737. (Resistance of vectors and reservoirs of disease to pesticides: tenth report of the WHO Expert Committee on Vector Biology and Control). Geneva, World Health Organization, 87 pp.