PERANAN VEKTOR SEBAGAI PENULAR PENYAKIT ZOONOSIS

advertisement
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
PERANAN VEKTOR SEBAGAI PENULAR PENYAKIT
ZOONOSIS
BERIAJAYA
Balai Penelitian Veteriner
Jl. R.E. Martadinata No. 30, P.O. Box 151, Bogor 16114
ABSTRAK
Penyakit zoonosis adalah penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Salah satu
cara penularan penyakit ini dapat terjadi melalui vektor. Selain menyebabkan gangguan pada hospesnya,
vektor juga bertindak sebagai penular penyakit. Dalam tubuh vektor, agen penyakit secara biologis dapat
berkembang menjadi stadium yang lebih lanjut atau secara mekanis tidak berkembang dan kemudian
menularkan melalui gigitan ke manusia atau hewan. Berbagai macam vektor dapat kita temui, mulai dari
vektor arthropoda seperti nyamuk, lalat tsetse, phlebotominae sand fly, black fly, caplak, tungau, pinjal dan
tritominae bug serta induk semang antara seperti siput air. Penyakit parasit yang ditimbulkan karena vektor
diantaranya malaria, schistomiasis, lymphatic filariasis, African trypanosomiasis (sleeping sickness),
leishmaniasis, onchocerciasis (river blindness), American trypanosomiasis (Chagas disease), sedangkan
penyakit yang disebabkan oleh virus diantaranya dengue haemorhagic fever, yellow fever, Japanese
encephalitis, tick borne encephalitis. Selain itu vektor juga menularkan penyakit oleh bakteri diantaranya
karena Rickettsia dan Pasteurela pestis (Plaque). Perubahan lingkungan dan iklim banyak mempengaruhi
dinamika populasi vektor sehingga hal ini harus menjadi faktor utama yang harus diperhatikan.
Penanggulangan penyakit yang ditularkan vektor tidak hanya melalui pengobatan pada manusianya tetapi
juga pemberantasan vektornya yang mana harus dilakukan secara terpadu antara pemerintah dan masyarakat
dengan memperhatikan data epidemiologi baik penyakit tersebut maupun vektornya. Banyak kasus penyakit
yang ditularkan melalui vektor mewabah kembali saat ini dan kadang-kadang menjadi kejadian luar biasa
karena program ini tidak dijalankan secara terus menerus. Masyarakat perlu dibina agar hidup dalam
lingkungan yang bersih sehingga kemungkinan vektornya tidak berkembang.
Kata kunci: Vektor, zoonosis, arthropoda, siput air
PENDAHULUAN
Penyakit zoonosis adalah penyakit yang
ditularkan dari hewan ke manusia atau
sebaliknya. Salah satu cara penularan penyakit
ini dapat terjadi melalui vektor. Saat ini banyak
penyakit zoonosis pada manusia yang
merupakan Kejadian Luar Biasa (KLB)
muncul karenan peranan vektor yang tak
terkendali. Penyakit ini sebenarnya sudah lama
diketahui keberadaannya dan dianggap umum,
tetapi karena kegagalan pengendalian vektor
maka penyakit ini selalu terjadi berulang kali.
Pengendalian vektor tidak saja menyangkut
hidup bersih, tetapi yang utama adalah
kesehatan lingkungan. Kesehatan lingkungan
akan mengurangi populasi vektor dan mungkin
juga memutus siklus hidup vektor sehingga
vektor tersebut tidak dapat berkembang. Setiap
vektor mempunyai habitat dan siklus hidup
yang berbeda. Agen penyakit ditularkan dari
individu yang terinfeksi kepada individu lain
oleh vektor arthropoda dan siput sebagai induk
semang antara. Penularan dapat terjadi bila ada
agen penyakit seperti virus, bakteri, protozoa
atau cacing; vektor seperti caplak atau nyamuk;
dan manusia. Sebagai tambahan, induk semang
antara seperti siput air juga dimasukkan
sebagai vektor karena agen penyakit harus
mengalami perkembangan dalam siklus
hidupnya. Selain itu karena hewan sering
bertindak sebagai reservoir agen penyakit
maka penyebaran penyakit ini kadang-kadang
sulit ditanggulangi.
Hampir setengah populasi manusia didunia
terinfeksi dengan penyakit yang ditularkan
oleh vektor dan menimbulkan angka kesakitan
dan mortalitas yang tinggi. Penyebaran
kejadian penyakit-penyakit tersebut sangat
tidak proporsional, dengan dampak yang saling
275
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
terkait di negara berkembang baik di daerah
tropis maupun subtropis. Kepentingannya
terhadap kesehatan masyarakat, bila prevalensi
penyakit ini cukup tinggi maka hal ini akan
mempengaruhi perkembangan perekonomian
negara tersebut (GUBLER, 2002).
Tantangan yang dihadapi dalam rangka
pengendalian penyakit yang ditularkan oleh
vektor saat ini adalah 1) Masih berjangkitnya
penyakit lama yang belum dapat dikendalikan
sepert malaria dan penyakit kaki gajah,
Japanese encephalitis yang endemik di banyak
wilayah. 2) Masih seringnya terjadi KLB atau
wabah penyakit seperti malaria, demam
berdarah dengeu dan beberapa penyakit
zoonosis lainnya. 3) Timbulnya resistensi
vektor malaria terhadap insektisida dan makin
meluasnya wilayah dengan resistensi obat
malaria terhadap parasitnya. 4) Adanya
kemungkinan masuknya penyakit dari luar
wilayah Indonesia seperti Yellow fever dan
West Nile fever, maupun munculnya new
emerging disease seperti avian influenza
(SUROSO, 2005).
Dalam membuat program penanggulangan
penyakit yang ditularkan melalui vektor,
beberapa strategi sudah pernah diajukan seperti
penggunaan obat, vaksin dan penanggulangan
terhadap vektor, tetapi hasilnya masih belum
sempurna, dilihat dari seringnya terjadi wabah
penyakit tersebut. Untuk mengembangkan
strategi yang efektif maka diperlukan
pengetahuan tentang epidemiologi yang
menyeluruh tentang infeksi tersebut, hubungan
vektor, agen penyakit dan host untuk memberi
gambaran resiko transmisi penyakit tersebut
(VALINTE MORO et al., 2005).
Iklim berpengaruh terhadap dinamika
populasi vektor dan penularan penyakitnya,
yang mana suhu dan kelembaban merupakan
faktor yang menentukan. Sekarang para
ilmuwan dapat memprediksi bagaimana
perubahan iklim akan mempunyai efek
terhadap
penyebaran
penyakit-penyakit
tersebut. Model yang komprehensip harus
menyangkut dampak langsung (perubahan
suhu dan curah hujan) dan tidak langsung
(perubahan hidrologi dan pertanian) dari
pemanasan global terhadap agen penyakit,
vektor, induk semang antara dan manusia.
Respon setiap faktor dari proses penyakit
terhadap
perubahan
iklim
merupakan
konsekuensi satu terhadap yang lainnya.
276
Penyebaran penyakit yang ditularkan melalui
vektor tergantung dari banyak faktor,
diantaranya tidak terbatas daerahnya, tetapi
penyebaran vektor dan reservoar selalu sangat
terbatas
tergantung
habitatnya.
Pada
kebanyakan penyakit zoonosis, manusia
merupakan akhir dari agen penyakit (dead-end
hosts), tetapi adanya hewan reservoar yang
menjadi agen penerus penyakit tersebut,
kadang-kadang sulit diberantas. Hewan
reservoar merupakan permanen induk semang
dan manusia hanya kebetulan terinfeksi, seperti
pada monkey pox, tetapi kadang-kadang virus
tersebut menulari ke manusia melalui hewan
lain. Pada kasus SARS di Guandong, Cina,
kucing yang tertular menulari pelayan restoran,
dan kemudian menyebar ke orang lain. Hal ini
berbeda dengan vector borne disease seperti
malaria, dimana penyebaran dari orang ke
orang melalui artropoda nyamuk.
PERANAN VEKTOR
Secara definisi vektor adalah parasit
arthropoda dan siput air yang berfungsi sebagai
penular penyakit baik pada manusia maupun
hewan. Ada beberapa jenis vektor dilihat dari
cara kerjanya sebagai penular penyakit.
Keberadaan vektor ini sangat penting karena
kalau tidak ada vektor maka penyakit tersebut
juga tidak akan menyebar.
Vektor potensial adalah vektor yang secara
aktif berperan dalam penyebaran penyakit.
Vektor ini baik secara biologis maupun
mekananis selalu mencari hospesnya untuk
kelangsungan hidupnya. Selain itu ada vektor
pasif, artinya secara ilmiah dapat dibuktikan
bahwa dalam tubuh vektor ada agen patogen
dan dapat menularkan agen tersebut kepada
hospes lain, tetapi vektor ini tidak aktif
mencari
mangsanya.
Dengan
adanya
perubahan lingkungan, kemungkinan vektor
tersebut dapat berubah menjadi aktif.
Vektor biologis, dimana agen penyakit
harus mengalami perkembangan ke stadium
lebih lanjut. Bila tidak ada vektor maka agen
penyakit kemungkinan akan mati. Contoh yang
paling mudah adalah schistosomiasis, penyakit
akibat cacing Schistosoma japonicum. Larva
(miracidium) masuk ke dalam tubuh siput,
berkembang menjadi sporocyst dan selanjutnya
menjadi redia, kemudian menjadi cercaria yang
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
akan keluar dari tubuh siput, aktif mencari
definif host, melalui kulit dimana akan terjadi
dermatitis (SOULSBY, 1982).
Vektor mekanis, dimana agen penyakit
tidak mengalami perkembangan, tetapi hanya
sebagai pembawa agen penyakit. Tidak seperti
penyakit malaria atau arbovirus dimana
terjadinya infeksi cukup satu kali gigitan
vektor yang sudah terinfeksi, pada infeksi
filaria, vektor harus sering menggigit hospesny
agar terjadi infeksi. Diperkirakan lebih dari
100 gigitan agar cacing dapat bereproduksi dan
menghasilkan mikrofilaria.
Vektor insidentil, vektor ini secara
kebetulan hinggap pada manusia, kemudian
mengeluarkan
faeces
yang
sudah
terkontaminasi agen penyakit dekat mulut.
Secara tidak sengaja masuk ke dalam mulut,
contohnya pada penyakit Chagas yang
disebabkan oleh Trypanosoma cruzi dan vektor
yang berperan adalah Triatoma bugs.
Vektornya sebenarnya masuk dalam siklus
silvatik, hanya diantara hewan rodensia.
Manusia terkontaminasi bila vektornya masuk
dalam lingkungan manusia.
Penyakit yang sering mewabah di
Indonesia dan dianggap penting serta
kemungkinan masuknya penyakit enzootic
akan dibahas di bawah ini.
MALARIA
Sejak abad pertama sampai sekarang,
penyebaran penyakit malaria sudah meluas ke
seluruh dunia, terutama daerah temperate,
sebagai akibat dari perkembangan sosial
ekonomi dan melalui program kontrol lokal
dikembangkan menjadi kampanye secara
global eradikasi, tetapi penyakit ini masih tetap
endemik tinggi (BNUCE-CHWATT, 1985).
Metoda kontrol untuk malaria meliputi
penggunaan obat anti malaria untuk
kemoterapi dan kemosupresi dan terhadap
vektor nyamuk anopheles digunakan residual
insektisida pada bagian-bagian rumah. Sebagai
tambahan metoda larvisida termasuk kontrol
biologi dan managemen lingkungan untuk
mengurangi tempat-tempat berkembang biak.
Penggunaan antimalaria vaksin untuk proteksi
sewaktu-waktu bila petugas akan ke lapangan.
Gangguan transmisi malaria tergantung pada
kepekaan vektor Anopheles pada setiap daerah
endemik. Lebih banyak endopilik (indoorresting) vektor akan memudahkan kontrolnya
karena daya hibupnya tidak cukup untuk
mempertahan transmisinya di daerah dengan
insektisida coverage yang cukup dengan
residual insektisida.
277
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Tabel 1. Jenis vektor, penyakit yang ditularkan, agen penyakit dan reservoar dari beberapa penyakit yang
ditularkan melalui vektor
No
I
1
Vektor
Nyamuk
Anopheles
Penyakit
Penyebaran
Patogen
Reservoar
Malaria
Daerah tropis dan
subtropis
Manusia, primata
2
Anopheles, Aedes,Culex,
Mansonia
Filariasis
3
Aedes aegypti
Yellow fever
Yellow fever virus
Primata
4
Aedes aegypti,
A. albopictus,
A. scutellaris,
A. polynesiensis
Culex tritaeniorhynchus,
C.gelidus,
C. vishnui
Dengue
Haemorrhagi
c Fever
Tropis dan
subtropis (Afrika,
Amerika, Asia,
Pasifik)
Afrika, Amerika
Tengah dan Selatan
Tropis (Asia,
Pasifik, Caribia)
Plasmodium
falciparum, P.
malariae,P.ovale,
P. vivax
Brugia malayi, B.
timori, Wuchereria
bancrofti
Arbovirus
Manusia, primata
Japanese
encephalitis
Jepang, Korea,
SEA, India,
Srilangka
Japanese
encephalitis virus
Burung, babi
6
Aedes (Ochlerotatus)
Eastern
Equine
Encephalitis
Amerika, Kanada,
Amerika Selatan
Eastern Equine
Encephalitis virus
Manusia, kuda
II
1
Caplak
Dermacentor andersoni
Ixodes ricinus
Canada, USA
(Dakota)
UK, Irlandia
Colorado Tick
fever virus
Louping ill virus
Squirrel
2
Tick Borne
Diseases
Louping ill
3
Ixodes ricinus, I.
persulcatus
Tick-borne
encephalitis
Rusia
Tick-borne
encephalitis virus
4
Haemaphysalis
spinigera,
H. turturis
India
Kyasanur Forest
disease (KFD)
virus
5
Ornithodoros ticks
Kyasanur
Forest
disease
(KFD)
Tick-borne
relapsing
fever
Borrelia spp
Rodensia
6
Ixodes spp., I. ricinus
(Europe), I. dammini, I.
pacificus (USA), I.
holocyclus (Australia).
Amblyomma americanum
(USA)
Afrika, Mediteran,
Asia Tengah,
Amerika, Amerika
Tengah dan Selatan
Swedia, UK,
Australia, Eropa
Borrelia
burgdorferi
Rodensia, deer.
7
Dermacentor andersoni,
D. variabilis, Amblyomma
cajennense
Kanada, Amerika
Selatan
Rickettsia rickettsi
Rodensia
5
278
Erythema
borreliosis,
erythema
chronicum
migrans,
Lyme
disease
Rocky
Mountain
spotted fever
Kucing,
Carnivora, Kera
Domba, sapi, red
deer (Cervus
elaphus), red
grouse
Larvae and
nymph in small
forest mammals
and birds, and as
adults with larger
wild and
domestic
mammals.
Kera, rodensia
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Lanjutan Tabel 1
No
I
8
Vektor
Nyamuk
Amblyomma hebraeum
(South African),
Rhipicephalus sanguineus
III
1
Tungau
Trombiculidae
Leptotrombidium
IV
1
Kutu
Pediculus humanus
humanus, P. humanus
capitis, Pthirus pubis
V
1
Lalat
Tsetse flies (Diptera:
Glossinidae: Glossina).
Penyakit
Penyebaran
Patogen
Reservoar
Boutonneuse
fever (South
African tick
typhus,
Kenya tick
typhus,
Marseilles
fever,
Crimean tick
typhus,
Indian tick
typhus);
Siberian tick
typhus
(North Asian
tick typhus);
Queensland
tick typhus
Afrika, Eropa,
Mediteran
Rickettsia conori
(Boutonneuse
fever), R. sibirica
(Siberian tick
typhus), R.
australis
(Queensland tick
typhus).
Caplak, rodensia.
Chiggerborne
rickettsiosis
(Tsutsugamu
shi disease,
Japanese
river fever,
scrub typhus,
mite-borne
typhus)
SEA, India,
Pakistan
Rickettsia
tsutsugamushi (R.
orientalis).
Mite, rodensia,
Rattus
Louse-Borne
Diseases
Afrika, Amerika
Selatan
Rickettsia
prowazeki,
(classical typhus)
Rochalimaea
quintana (trench
fever, quintana
fever)
Borrelia
recurrentis (louseborne relapsing
fever)
African
(Sleeping
Sickness)
Afrika
Trypanosoma
(Trypanozoon)
brucei gambiense
(West Africa); T.
(T.) brucei
rhodesiense (East,
Central, Southern
Africa)
Ruminansia
279
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Lanjutan Tabel 1
No
I
2
Vektor
Nyamuk
Phlebotomus spp. (Old
World), Lutzomyia spp.
(New World).
Penyakit
Penyebaran
Patogen
Reservoar
Leishmaniasi
s
Amerika Selatan,
Mediteran, Afrika
Leishmania
(Leishmania)
donovani and L.
(L.) infantum L.
(L.) chagasi .
Leishmania (L.)
aethiopica, L. (L.)
major , L. (L.)
tropica L. (L.)
mexicana,
L.(L.) amazonensis,
L. (L.) mexicana,
L. (L.)
Venezuelensis, L.
(L.) mexicana
complex [L. (L.)
gamhami, L. (L.)
pifanoi]
Onchocerca
volvulus - river
blindness,
onchocerciasis,
Robles' disease
(Guatemala),
sowda (Yemen)
Loa loa
VL - man, dogs,
wild carnivores
CL - man (L.(L.)
tropica); rodents
(L.(L.) major);
hyrax (L.(L.)
aethiopica);
sloths,
opossums, etc.
(L.(V.)
braziliensis
complex);
rodents (L.(L.)
mexicana
complex).
3
Blackflies of the genus
Simulium (Order Diptera,
Family Simuliidae)
Onchocercia
sis
Trapocal Amerika,
Mexico Selatan,
Saudi Arabia
4
Chrysops spp.
Loiasis, a
filarial
disease
Afrika Tengah
VI
1
Bugs
Triatomine bugs
(Triatoma).
Chagas
disease
Afrika, Asia,
Australia
Trypanosoma cruzi
Rodensia,
marsupials and
manusia
VII
1
Pinjal (fleas)
Fleas
Plaque
Afrika
Rodensia
Murine
typhus, also
called fleaborne typhus
Cosmopolitan
Yersinia
(Pasteurella) pestis
Rickettsia mooseri
Schistosomia
sis
SEA, China,
Philipina
Schistosomia
japonicum
2
Fleas
VII
I
1
Manusia, kera
Rattus spp.
Siput air (snails)
Snails
Sayangnya, setelah bertahun-tahun tekanan
seleksi akibat penggunan pestisida untuk
kesehatan masyarakat dan pertanian maka
banyak populasi vektor yang menjadi resisten
terhadap insektisida. Saat ini diperkirakan lebih
dari 50 spesies vektor sudah resisten terhadap
satu atau beberapa insektisida organofosfor,
organochlorine, carbamat dan pyrethroid yang
digunakan. Beberapa vektor mempunyai sifat
eksofilik, sehingga lebih sulit diberantas
280
man, gorilla
(Gorilla),
chimpanzee
(Pan)
Manusia
dengan pengasapan rumah. Oleh karena itu
tampaknya tergantung kondisi lingkungan dan
latar belakang secara genetik populasi vektor
tersebut. Program pengendalian terpadu yang
menyangkut partisipasi masyarakat dan
pengobatan terhadap pasien malaria perlu
dilakukan.
Selain itu adanya resisten Plasmodium
falcifarum terhadap chloroquine sudah
dilaporkan mulai tahun 1960, dan setiap tahun
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
resisten tersebut meningkat di SEA dan
Amerika Selatan. Saat ini resisten tersebut
menjadi masalah utama dalam penanggulangan
infeksi. Oleh karena itu mencegah transmisi
melalui kontrol vektor menjadi sangat penting
dengan memberi perlindungan secara individu.
Dengue haemorrhagic fever
Dengue merupakan penyakit yang endemik
di daerah tropik,terutama Asia, Pasifik dan
Karibia tetapi cenderung terjadi secara periodik
epidemis. Bentuk yang klasik adalah penyakit
yang jinak ditandai dengan biphasic fever,
myalgia, arthralgia dan rash. Dengue
haemorrhagic fever sangat parah, kadangkadang fatal yang ditandai dengan fever,
shock, acute haemorrhage dan mortalitas yang
tinggi, biasanya menyerang anak-anak.
Pertama kali ditemukan di Philippines tahun
1953 (meskipun gejala yang sama terdapat di
Australia dan China pada tahun–tahun
sebelumnya), sekarang sudah menyebar ke
Southeast Asia, merupakan penyebab utama
mengapa mereka harus dirawat di rumah sakit
dan menimbulkan kematian di daerah tropis
Asia. Di Karibia, dengue haemorrhagic fever
pertama kali dilaporkan dalam bentuk
epidemik di Kuba, tahun 1981, kasus yang
sporadik selalu meningkat di daerah tersebut.
Beberapa pakar percaya bahwa bentuk ini
adalah fenomena immunopatologi karena
infeksi yang berturut-turut dengan beberapa
serotipe.
Ini kemungkinan bahwa dengue dibawa ke
Mediteran (dimana penyakit ini sudah
menghilang setelah eradikasi A. aegypti) dari
East Africa pada akhir abad ke 19, melalui
perdagangan perbudakan dari Zanzibar dan
melalui pelabuhan Laut Merah. Ada anggapan
bahwa dengue berasal dari tropical Asia dan
dari sana menyebar ke Afrika. Serotypes
dengue 1 and 2 berasal dari West Africa, 2 dari
East Africa, Seychelles dan La Reunion, 3 dari
Mozambique dan 4 in Pasifik. Adanys
transportasi
udara
dipercaya
telah
mengintroduksi dengue 1 dari Afrika ke
Karibia dan dengue 4 dari Pasifik ke Karibia
dimana wabah kedua serotypes terjadi. Peridomestic dan highly anthropophilic Aedes
aegypti adalah vector utama dari semua
serotype. Adanya A. aegypti merupakan
potential untuk daerah dengue yang beresiko.
Aedes albopictus kemungkinan vector tunggal
di beberapa daerah di Southeast Asia, Dengue
haemorrhagic fever selalu dihubungkan dengan
urban center dan A. aegypti. Sekarang manusia
dipercaya menjadi hospes dengue viruses,
tetapi KNUDSEN et al. (1977) dan RUDNICK
(1983) di Malaysia, menemukan bahwa jungle
cycle dari dengue melibatkan canopy feeding
monkey dan nyamuk hutan, Aedes niveus yang
menghisap manusia and kera. Transovarial
transmission dari virus dalam tubuh A. aegypti
dan A. albopictus dapat dibuktikan dan
virusnya dapat ditemukan kembali dari koleksi
lapangan larvae of A. aegypti di Burma.
Lymphatic filariasis
Vektor penyakit ini adalah beberapa spesies
nyamuk Anopheles, Aedes, Culex dan
Mansonia. Di daerah tropis vektornya Culex
quiquefasciatus dan di daerah temperate C.
pipiens. Brugia dan Wuchereria selalu
menunjukkan sifat nocturnal periodicity dari
microfilaria di dalam darah perifer, merupakan
adaptasi untuk uptake dan transmisi oleh vector
yang menggigit hanya pada malam hari, tetapi
ada beberapa spesies seperti Mansonia dan
Aedes mempunyai sifat diurnal.
Periodik Brugia spp. dan Wuchereria
bancrofti terdapat pada manusia sedangkan
Brugia malayi subperiodik strain terdapat pada
kucing, karnivora liar dan khusus pada kera
Macaca and Presbytis, dimana transmission ke
manusia tidak biasanya terjadi melalui aktifitas
diurnal nyamuk Mansonia spp.
Human lymphatic filariasis terjadi di
daerah tropis dengan kelembaban tinggi di
Africa, Amerika, Asia, dan beberapa pulau di
Lautan Pasifik. Lokal epidemiologi dari
penyakit ini sangat dipengaruhi tingkah laku
dan ekologi beberapa spesies nyamuk vector
sehingga ada tujuh zona epidemiologi dari
Bancroftian filariasis berdasarkan regional
variasi dari vector, sedangkan Brugian
filariasis terbatas pada bagian dari Southeast
Asia dan Australasia.
Bancroftian filariasis terdapat di darah
urban dan prevalensi W. bancrofti meningkat
di negara tropis karena vector Culex
quinquefasciatus dan C. pipiens, yang mana
mudah berkembang biak di air yang kotor.
283
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Oleh karena banyak nyamuk sudah resisten
terhadap insektisida (WHO, 1986) maka
penanggulangannya harus dilakukan dengan
managemen lingkungan dan mengurangi
sumbernya (WHO, 1982). Pada daerah
pedesaan, W. bancrofti ditularkan oleh vektor
Anopheles spp. yang berperan juga sebagai
vektor utama malaria. Kontrol Bancroftian
filariasis juga merupakan efek samping dari
antimalarial house-spraying. Beberapa strain
parasit ini adalah nocturnally periodic, tetapi di
beberapa daerah (West Africa, Malaysia) tidak
dapat ditransmisi oleh Culex quinquefasciatus
sebab nyamuk ini tampaknya refractory
terhadap anopheline-adapted strains of W.
bancrofti. Sebaliknya berlaku pada daerah
(India, Malaysia) dimana Culex-adapted strains
of W. bancrofti tidak dapar ditransmisi oleh
anophelines. Di Polynesia (Zona 7), dimana
tidak ada anophelines, bentuk W. bancrofti
adalah subperiodic, merupakan adaptasi untuk
mengisap dan menularkan oleh Aedes
(Stegomyia) scutellaris yang menggigit pada
siang dan malam hari (MACDONALD, 1976). Di
beberapa daerah hutan Southeast Asia (Zone
6), disana juga ada subperiodic strain W.
bancrofti yang ditularkan Aedes (Finlaya)
niveus, yang mengindikasikan kemungkinan
berasal dari Polynesia subperiodik strain.
Brugian filariasis. Brugia malayi terjadi
hanya di South Asia dimana penyebaran dan
prevalensinya sudah menurun karena kontrol
vektor Mansonia spp. dengan cara metoda
menghilangkan host-plants dari tempat
berkembang biaknya. Subperiodik strain terjadi
di habitat hutan berawa, dan terutama
ditularkan oleh M. bonneaedives sebagai siklus
zoonosis. Periodik strain B. malayi ditularkan
juga oleh Anopheles spp. dan biasanya bukan
zoonosis
(WHARTON,
1962).
Bentuk
subperiodik ditularkan oleh Mansonia spp. dan
Coquillettidia crassipes.
Brugia timori terbatas di pulau Flores dan
Timor, Indonesia. Ini tampaknya bukan
zoonosis dan hanya vektor Anopheles
barbirostris yang diketahui. Hal ini cukup
menarik B. timori tidak dapat dipindahkan oleh
beberapa nyamuk seperti A. subpictus yang
mana merupakan vektor malaria dan W.
bancrofti diantara orang di daerah tersebut.
284
Visceral leishmaniasis
Visceral leishmaniasis (VL) adalah
penyakit menular pada anjing dan manusia
ditularkan oleh
sandflies. VL di daerah
Mediterran dan Timur Tengah disebabkan oleh
protozoa Leishmania infantum dan di Amerika
Selatan diusebabkan oleh Leishmania chagasi.
Kedua parasit ini menimbulkan penyakit pada
orang dan anjing, biasanya menjadi fatal bila
tidak diobati. Anjing domestik dianggap
sebagai reservoar utama penyakit pada
manusia dan kelompok yang mempunyai
resiko tinggi pada manusia adalah anak-anak
dan pasien HIV. Gejala klinis yang utama
dihubungkan dengan canine VL adalah
exfoliative dermatitis, lymphadenomegaly,
splenomegaly dan kehilangan berat badan.
Periode inkubasi sebelum timbul gejala klinis
kemungkinan berlangsung beberapa tahun.
Selama periode ini anjing mengandung parasit
dan bertindak sebagai sumber yang pontential
terhadap anjing-anjing lain dan manusia.
Beberapa anjing tetap terinfeksi dengan
asymptomatic carrier atau kemungkinan
menjadi sembuh sendiri. Usaha untuk
mengobati penyakit ini pada populasi anjing
kurang berhasil karena beberapa faktor.
Pertama, pengobatan pada anjing yang
terinfeksi dengan obat anti-leishmania yang
digunakan untuk manusia tidak efektif untuk
mengeliminasi infeksi. Kedua, euthanasia dari
anjing yang sakit selain tidak dikehendaki oleh
pemiliknya, juga tidak efektif, sebab anjing
tanpa gejala
bertindak sebagai sumber
penularan penyakit. Ketiga, spraying terhadap
vektor sandfly sangat terbatas efektivitasnya
untuk mencegah penyebaran penyakit, dan saat
ini vaksin terhadap leishmaniasis masih
dijajaki.
Schistosomiasis
Schistosomiasis
(bilharziasis)
adalah
penyakit pada manusia yang disebabkan oleh
infeksi cacing dari Schistosoma. Penyakit ini
merupakan penyebab utama angka kesakitan
dan mortalitas yang tinggi untuk Negaranegara berkembang di Afrika, Amerika
Selatan, Karibia, Timur Tengah dan Asia.
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Wisatawan ke dan immigrasi dari daerah
endemik dapat tertular schistosomiasis.
Kebanyakan schistosomiasis pada manusia
disebabkan oleh Schistosoma haematobium, S.
mansoni, atau S. japonicum. Spesies yang
prevalensinya rendah seperti S. mekongi dan S.
intercalatum kemungkinan penyebab penyakit
yang sistemik. Spesies yang kurang penting
dari Schistosoma pada unggas atau mamalia
sebagai hospes utama dapat menyebabkan
dermatitis yang parah pada manusia (perenang
menderita gatal-gatal karena infeksi oleh
Trichobilharzia ocellata).
Penyebaran dan patofisiologi dari dari
schistosomiasis dapat menggambarkan siklus
hidup yang unik dari parasit ini. Schistosoma
menginfeksi spesies tertentu dari siput air
tawar yang peka di daerah endemik. Siput yang
sudah terinfeksi akan mengeluarkan serkaria,
(1mm). Serkaria hidup dalam air tawar selama
48 jam, kemudian serkaria harus menempel
pada kulit manusia atau mamalia yang peka
atau mati.
Serkaria
menempel
pada
manusia
menggunakan oral dan ventral sucker. Serkaria
ini selanjutnya migrasi melalui kulit yang
masih utuh ke vena di bagian dermal dan
setelah beberapa hari ke pembuluh darah di
paru-paru. Selama migrasi, serkaria melakukan
metamorfose, melepas ekornya dan outer
glycocalyces dimana berkembangnya doublelipid-bilayer tegument yang sangat resisten
terhadap imun respon hospes.
Organisme
ini
sekarang
disebut
schistosomula, bersama dengan protein dari
hospes, termasuk major histocompatibility
complexes (MHCs) dan antigen darah, dalam
integumen. Cacing ini kemudian migrasi
melalui pembuluh kapiler paru-paru ke sistim
peredaran darah, yang mana akan membawa
cacing ini ke vena portal dimana cacing ini
menjadi dewasa. Dalam portal vasculature,
cacing jantan dan betina yang dewasa berpisah
dari pasangannya, cacing betina kemudian
masuk dan tinggal dalam kanal gynecophoric
cacing jantan. Bersama-sama kemudian
mereka migrasi sepanjang endothelium dalam
aliran darah portal ke mesenteric (S. mansoni,
S. japonicum) atau vesicular (S. haematobium)
vena dimana mereka mulai memproduksi telur.
Telur yang sangat antigenik dapat
menginduksi respon granuloma, migrasi
melalui dinding kandung kemih untuk
melepaskan diri melalui feses atau urin.
Selama waktu ini (10 hari) mereka mulai
berkembang menjadi mirasidia. Telur yang
tidak keluar akan tinggal dalam jaringan atau
berpindah kembali ke sirkulasi portal (dari
vena mesenterik) atau ke sirkulasi di paru-paru
(dari pembuluh vesicular via inferior vena
cava). Mirasidia akan dilepaskan ke air tawar
dan akan hidup selama 2-3 minggu yang mana
mereka harus menginfeksi siput yang peka
untuk melengkapi siklus hidupnya. Dalam
siput, 2 generasi sporocyst memperbanyak diri,
tumbuh menjadi serkaria yang dapat berenang
bebas, dan keluar dari siput untuk mencari
manusia dan mulai siklus baru.
Yellow fever
Yellow fever endemik di daerah Africa
antara 15º Lintang Utara dan 15º Lintang
Selatan, bagian utara dan timur Amerika
Selatan dan epidemik di sebagian Amerika
Tengah. Vector utamanya adalah A. aegypti,
penyakit ini berasal dari Afrika dan dibawa
bersama dengan vektor ke Amerika pada abad
ke 16 perdagangan budak. Budak Afrika tidak
menderita dari yellow fever tetapi mortality
diantara bangsa Europa sangat tinggi.
Epidemik yang parah terjadi di kota-kota
pantai Amerika Selatan dan USA. Di Ethiopia
tahun 1960-1962 terjadi wabah dengan
perkiraan kematian 15.000, dan tahun 1986/87
wabah yang parah juga terjadi di Afrika Barat.
Semua urban epidemic di dunia Baru
ditularkan oleh A. aegypti. Jungle yellow fever
kemungkinan dipertahankan di forest-canopy
tempat kera dan nyamuk berkembang biak.
Urban yellow fever sekarang ditanggulangi
dengan immunisasi, tetapi hanya sedikit
kemajuan dalam mengurangi resiko rural
yellow fever di daerah enzootic Afrika dan
Amerika, dimana kasus pada manusia terjadi
setiap tahun. Urban vektor, A. aegypti muncul
kembali di Amerika Selatan setelah di
eradikasi.
Di Afrika Timur, A. africanus, A. simpsoni,
rain forest canopy spesies, berkembang biak di
sekitar rumah penduduk. A. simpsoni
kemungkinan vector penghubung dari siklus
forest dengan siklus rural/urban dimana
melibatkan A. aegypti, tetapi A. simpsoni
dipercaya bertanggung jawab penularan dari
285
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
manusian ke manusia pada wabah di Ethiopia
tahun 1960-1962. A. luteocephalus menyebar
dari hutan ke savana dan dari savana
kemungkinan masuk ke desa untuk menggigit
manusia. Di New World infeksi pada manusia
kemungkinan terjadi kontak langsung dengan
nyamuk yang terinfeksi dari forest canopy.
Semua Haemagogus spp., menularkan jungle
yellow fever, berkembang biak di lubanglubang pohon atau bambu di hutan.
Transovarial transmisi buatan dari yellow
fever
virus
dalam
nyamuk
dapat
didemontrasikan dan virus dapat ditemukan
dalam telur dan larvae dari caplak Amblyomma
variegatum di Afrika Tengah. Penyakit ini
belum pernah dilaporkan di Asia walaupun
vektor A. aegypti dan kera yang peka ada.
PEMBERANTASAN VEKTOR
Memutus daur hidup
Setiap vektor mempunyai siklus hidup yang
berbeda-beda, mulai dari telur, larva atau nimfe
dan dewasa. Semuanya ini mempunyai
karakteristik sendiri yang spesifik dan sangat
dipengaruhi keadaan lingkungan. Oleh karena
itu pengetahuan tentang epidemiologi dari
vektor tersebut sangat penting dan diperlukan
untuk membuat program penanggulangannya.
Keakuratan data dari sistim di alam yang
menyangkut sistim vektor borne disease dan
agen
penyakit-vektor-hospes
akan
mempengaruhi
model
program
penanggulangan
yang
akan
diajukan
(RANDOLPH dan NUTTALL, 1994).
Pengetahuan tentang siklus hidup vektor
sangat bervariasi antara spesies, lokasi dan
lingkungan menjadikan faktor yang harus
diperhitungkan. Beberapa aspek yang harus
dilihat adalah 1) feeding habit biasanya
digeneralisasi. 2) agen penyakit dibutuhkan
oleh vektor dari hospes. 3) kemampuan
reservoar bervariasi. 4) kebanyakan reservoar
yang kompeten cenderung menjadi dominan
(OSTFELD dan KEESING, 2000a). Oleh karena
itu keaneka ragaman reservoar sangat penting
diketahui baik yang kompeten maupun yang
tidak kompeten. Reservoar yang kompeten
kemungkinan besar akan meneruskan agen
penyakit ke vektornya dan vektornya akan
menginfeksi manusia, sedangkan reservoar
yang tidak kompeten akan mempunyai efek
286
dilusi, sehingga vektornya akan bebas dari
agen penyakit (OSTFELD dan KEESING, 2000b).
Di dalam memantau keberadaan vektor
seperti nyamuk, ada 6 komponen penting yang
harus diperhatikan. 1) Pola umum dari
penularan di suatu daerah menyangkut
intensitas dan musim. 2) Mengukur kepadatan
vektor, parity rate, human blood indeces dan
sporozoit rate dari vektor utamanya. 3)
Mengestimasi proteksi individu. 4) Bio-assay.
5) Susceptibility testing. 6) Aspek lain seperti
mengukur dampak insecticide treated nets dan
behaviour dari manusia (waktu tidur), dampak
penggunaan kelambu yang sudah insektisida
serta adanya penyakit lain seperti filariasis
(GITHEKO et al., 1996).
Salah satu pendekatan yang telah dipelajari
oleh beberapa laboratorium adalah kompromi
fekunditas dan daya hidup vektor melalui
imunisasi hospes vetebrata dengan organ
dalam dari vektor (concealed antigen). Hal ini
memungkinkan pada tick borne disease, tetapi
masih tanda tanya pada insect borne disease
(JACOBS-LORENA dan LEMOS, 1995).
Penggunaan insektisida
Insektisida digunakan untuk membunuh
serangga. Beberapa jenis insektisida yang
sering digunakan mulai dari organochlorine,
organofosfat, carbamate, pyrethrin dan jenisjenis yang lain baik derivatnya maupun
campurannya akan berfungsi untuk membunuh
serangga. Metoda pemberian insektisida adalah
dengan sistim pengasapan (fogging), tetapi
perlu diperhatikan juga berapa lama insektisida
tersebut masih aktif, karena fogging
kebanyakkan di perumahan. Residual insektida
mungkin lebih baik digunakan karena
mempunyai efek jangka panjang. Selain
fogging, perlu juga digunakan repellent untuk
mencegah vektor tidak menggigit manusia.
Untuk mengurangi kontak dengan nyamuk,
orang sering menggunakan kelambu yang
sudah ada insektisida (impregnated net).
PENANGGULANGAN TERPADU
Transmisi dari penyakit sangat menular
sangat dipengaruhi faktor iklim. Agen penyakit
dan vektornya sangat sensitif terhadap suhu,
kelembaban, angin, kelembaban tanah,
permukaan air dan perubahan dalam hutan. Ini
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
cocok untuk vector borne disease seperti
malaria. Perubahan iklim dan cuaca akan
mempengaruhi the range, intensity dan musim
terhadap vektor. Secara umum, peningkatan
panas dan kelembaban akan meningkatkan
transmisi dari penyakit yang ditularkan vektor.
Di negara-negara tropis, Vector Borne
Disease merupakan penyebab kesakitan dan
kematian. Vaksinasi akan mencegah penyakit
dan penggunaan pestisida terhadap vector
sering menimbulkan vector resistan strain dan
membunuh predator. Surveillance, pengobatan
dan penanggulangan dari vector borne disease
harus merupakan bagian dari kebijakan tentang
kesehatan masyarakat yang komprehensif
dimana akan meningkatkan kerjasama antara
peneliti, medical clinicians, pemerintah daerah
baik tingkat kecamatan, kabupaten/kota,
propinsi, nasional maupun internasional.
Meskipun program lokal menggunakan
informasi yang lebih akurat dan tehnologi
untuk mengurangi atau menghilangkan
outbreak, tetapi total eradikasi di daerah
dimana vector borne disease mewabah, tidak
dapat sebagai jaminan tidak akan terjadi lagi.
Perubahan iklim karena pemanasan secara
global akan memfalitasi penyebaran penyakit
keluar perbatasan negara. Perpindahan
penduduk secara besar-besaran karena
perubahan
iklim,
barangkali
juga
memindahkan agen patogen, vector, iduk
semang antara ke daerah baru, kemungkinan
merubah ekosistemnya dan menyediakan
komponen yang penting untuk reproduksi dan
transmisi penyakit menjadi lebih besar kepada
populasi yang belum tertular.
Surveillance
sangat
penting
untuk
memprediksi kejadian yang potensial dari
penyakit-penyakit yang ditularkan oleh vektor.
Empat tipe surveillance untuk menulusuri
penyakit tersebut adalah 1) pencatatan kasus
pada manusia; 2) determinasi penyebaran dan
kemampuan menginfeksi dari vektor; 3)
monitoring semua jenis resevoar, 4) data iklim
untuk memprediksi distribusi vector. Selain itu
pemantauan
parameter
iklim
akan
menyediakan informasi untuk memprediksi
populasi. Pengamatan yang lebih dalam perlu
dilakukan baik di lapangan maupun di
laboratorium terhadap kemampuan agen
penyakit untuk beradaptasi terhadap perubahan
iklim
sehingga
memungkinkan
untuk
memprediksi patogen yang yang bermigrasi
dan
potential
destination.
Penggunaan
penginderaan jarak jauh untuk mendeteksi
perubahan mikroekosistim, habitat induk
semang dan vektor merupakan pemantauan
dilapangan yang lebih praktis.
Pengobatan dapat mengurangi keganasan
penyakit dan mengurangi gejala sakit.
Pengobatan terhadap hewan reservoar yang
terinfeksi dan populasi manusia akan
membantu mengontrol penyebaran penyakit
dengan cara mengurangi banyaknya agen
patogen dalam daerah itu. Pemeriksaan
peranan yang pasti dari hewan reservoar untuk
menentukan target pengobatan yang paling
efektif. Selanjutnya pengobatan populasi
hewan kemungkinan lebih berhasil untuk
mengurangi infeksi pada manusia daripada
pengobatan individu pada manusia.
Metoda kontrol dapat menjadi target pada
bebarapa aspek yang berbeda dari siklus hidup
vektor. Vaksinasi terhadap populasi hewan dan
manusia
ditujukan
untuk
pencegahan
perbanyakan agen patogen, dan pestisida akan
mengurangi atau menghilangkan vector. Selain
itu, regulasi yang ketat akan menghambat
perkembangan habitat dari vektor, kebijakan
migrasi dan immigrasi inspeksi mencoba untuk
menghambat patogen dan masuknya vector;
dan pengobatan dengan obat akan membantu
mengurangi transmisi yang akan datang.
Meskipun program kontrol vektor dan
improved hygiene dapat membuat penyakit ini
berkurang atau menjadi jarang ditemukan,
timbulnya kembali mungkin terjadi karena
pembatasan penggunaan pestisida, adanya
beberapa vektor yang potensial, kedatangan
visitor dan migran dari daerah endemik,
kurangnya vaksinasi yang efektif untuk semua
penyakit dan timbulnya habitat vektor yang
menguntungkan akibat terjadinya pemanasan
global. Hal ini tidak mengherankan karena
perubahan lingkungan dapat mencakup
perubahan iklim, pengundulan hutan dan
datangnya populasi manusia yang masih
sensitif dalam suatu daerah sehingga sering
mengundang terjadinya infeksi baru.
Selain itu orang cenderung hidup
berdampingan
dengan
hewan,
karena
pertambahan
penduduk
mengakibatkan
pertambahan populasi hewan sebagai sumber
protein hewani. Saat ini juga ada
kecenderungan hewan liar dipelihara sebagai
hewan kesayangan, sehingga terjadinya
287
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
penularan dari hewan ke manusia melalui
kontak
langsung
sangat
besar
kemungkinannya.
KESIMPULAN
Penyakit zoonosis adalah penyakit yang
ditularkan dari hewan ke manusia atau
sebaliknya. Salah satu cara penularan penyakit
ini terjadi melalui vektor. Saat ini banyak
penyakit zoonosis pada manusia yang
merupakan Kejadian Luar Biasa (KLB)
muncul karenan peranan vektor yang tak
terkendali. Agen penyakit ditularkan dari
individu yang terinfeksi kepada individu lain
oleh vektor arthropoda dan siput sebagai induk
semang antara.
Pengendalian vektor menyangkut hidup
bersih dan kesehatan lingkungan. Kesehatan
lingkungan akan mengurangi populasi vektor
dan memutus siklus hidup vektor sehingga
vektor tersebut tidak dapat berkembang. Setiap
vektor mempunyai habitat dan siklus hidup
yang berbeda. Penularan dapat terjadi bila ada
agen penyakit (bakteri, virus, prozoa, cacing),
vektor (nyamuk, caplak, tungau, pinjal, kutu,
bug dan siput air) dan manusia. Sebagai
tambahan, induk semang antara seperti siput
air juga dimasukkan sebagai vektor karena
agen penyakit harus mengalami perkembangan
dalam siklus hidupnya. Selain itu karena
hewan sering bertindak sebagai reservoar agen
penyakit,
sehingga
penyebaran
hewan
reservoar perlu diperhitungan.
PUSTAKA
BNUCE-CHWATT, L. J. 1985. Essential malariology
(2nd ed.). London, Heinemann. 452 pp.
BUNIKIS, J., J. TSAO, C.J. LUKE, M.G. LUNA, D. FISH
and A.G. BARBOUR. 2004. Borrelia
burgdorferi infection in a natural population
of Peromyscus leucopus mice: A longitudinal
study in an area where Lyme borreliosis is
highly endemic. J. Infectious Diseases 189:
1515-1523.
GUBLER, D.J. 2002. Epidemic dengue/dengue
haemorrhagic fever as a public headline,
social and economic problem in the 21st
century. Trends Microbiology 10: 100-103.
GITHEKO, A.K., C.N.M. MBOGO, C.F. CURTIS, J.
LINES and C. LENGELER. 1996. Entomological
monitoring of large-scale vector-control
288
interventions. Parasitol. Today 12(4): 127128.
JACOBS-LORENA and F.J.A. LEMOS. 1995.
Immunological strategies for control of insect
disease vectors: A critical assessment.
Parasitol. Today 11(4):144-147.
MACDONALD, W.W. 1976. Mosquito genetics in
relation to filarial infections. pp.1-24 In:
TAYLOR, A.E.R. and MULLER, R. (ed.) Genetic
aspects
of
host-parasite
relationships
(Symposia of the British Society for
Parasitology, Vol.14). Oxford, Blackwell.
OSTFELD, R.S. and F. KEESING. 2000a. The function
of biodiversity in the ecology of vector borne
zoonotic diseases. Can. J. Zool. 78: 20612078.
OSTFELD, R.S. and F. KEESING. 2000b. Biodiversity
and disease risk: the case of Lyme diisease.
Conserv. Biol. 14: 722-729.
RANDOLPH, S.E. and P.A. NUTTALL. 1994. Nearly
right or precisely wrong? Natural versus
laboratory studies of vector-borne diseases.
Parasitol. Today 10(12): 458-462.
SOULSBY, E.J.L. 1982. Helminths, arthropods and
protozoa of domesticated animals. 7thed.
Bailliere, Tindall, London
SUROSO, T. 2005. Sambutan Ketua Umum P4I Pusat.
Seminar
Nasional
Parasitologi
dan
Entomologi Medik. 19-20 Agustus, Bandung.
VALINE MORO, C., C. CHAUVE and L. ZENNER. 2005.
Vectorial role of some dermanyssoidea mites
(acari,
mesostigmata,
dermanyssoidea).
Parasite 12: 99-109.
WHARTON, R.H. 1962. The biology of mansonia
mosquitoes in relation to the transmission of
filariasis in Malaya. Bulletin of the Institute of
Medical Research of the Federation of
Malaysia, 11: 1 -114.
WHO. 1982. Manual on environmental management
for mosquito control. Geneva, World Health
Organization, Offset Publication No. 66, 283
pp.
WHO. 1984. Technical Report Series, No. 702.
(Lymphatic filariasis: fourth report of the
WHO Expert Committee on Filariasis).
Geneva, World Health Organization, 112 pp.
WHO 1986. Technical Report Series, No. 737.
(Resistance of vectors and reservoirs of
disease to pesticides: tenth report of the WHO
Expert Committee on Vector Biology and
Control). Geneva, World Health Organization,
87 pp.
Download