INFO POPULER ANOMALI IKLIM WASPADA TERHADAP PENINGKATAN KASUS DBD Lasbudi P. Ambarita* *Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Baturaja Jl. A.Yani KM. 7 Kemelak Baturaja Sumatera Selatan 32111 Hingga pertengahan Juni, curah hujan di berbagai daerah di Indonesia tetap tinggi. Disertai kilat dan guntur, hujan bisa turun dari malam hingga dini hari yang mencirikan karakter cuaca di puncak musim hujan dan biasa terjadi selama Januari. Iklim sekarang mungkin sudah berubah, dan pantas disebut kemarau basah (Aldrian, 2010). Ditengarai peningkatan rata-rata curah hujan bulanan di Indonesia diakibatkan oleh pemanasan global. Panel Antar-Pemerintah untuk Perubahan Cuaca (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) dalam laporannya menyebutkan bahwa berdasarkan data IPCC antara tahun 1970 hingga 2000, di Indonesia telah terjadi kenaikan suhu rata-rata tahunan antara 0,2 - 1 derajat Celcius dan hal itu merupakan salah satu akibat pemanasan global. Menurut IPCC, perubahan suhu rata-rata itu dapat mengakibatkan antara lain penurunan produksi pangan sehingga bisa meningkatkan risiko bencana kelaparan, peningkatan kerusakan pesisir akibat banjir dan badai, peningkatan kasus gizi buruk dan diare, dan perubahan pola distribusi hewan dan serangga sebagai vektor penyakit (Anonimus, 2010). Demam berdarah dengue dan demam dengue (DBD) sebagai penyakit tular vektor yang senantiasa menjadi momok masalah kesehatan masyarakat di Indonesia perlu mendapat kewaspadaan mengingat ada kecenderungan hubungan yang erat antara jumlah kasus DBD dan curah hujan. Tabel 1 memperlihatkan pola peningkatan kejadian DBD di Indonesia dari tahun 1992 hingga awal Januari 2001 terjadi pada musim penghujan. Tabel 1. Fluktuasi kasus demam berdarah dengue di Indonesia (1992 - Januari 2007) (sumber data: http://www.searo.who.int/LinkFiles/Dengue_dengue_ino_seas_trend_9207.pdf) Musim kemarau yang basah ini berpotensi mendukung terjadinya perubahan kondisi lingkungan yang diantaranya meningkatnya kuantitas habitat perkembangbiakan Aedes aegypti sebagai vektor DBD. Meningkatnya intensitas curah hujan akan 43 meningkatkan kelembaban, dan disertai dengan temperatur udara yang sesuai tidak hanya akan meningkatkan umur vektor namun juga mendukung aktivitas nyamuk secara keseluruhan (Christopher, 1960). Secara biologis diperkirakan perubahan iklim memainkan peran penting terjadinya penularan penyakit tular vektor. Karakteristik penularan penyakit ini terjadi melalui kontak langsung antara manusia dan vektor. Kejadian penyakit tular vektor ini bergantung kepada hubungan segitiga antara hospes, patogen dan vektor. Apabila terjadi ketidakseimbangan dalam hubungan ketiga faktor tersebut maka akan berdampak kepada timbulnya epidemi penyakit. Sebagai contoh, meningkatnya kepadatan vektor akan meningkatkan peluang menggigit (biting rate) dan mengarah kepada meningkatnya peluang terjadinya penularan. Hal yang terpenting adalah bahwa hampir semua organisme termasuk vektor, patogen dan hospes bertahan hidup dan bereproduksi pada kondisi lingkungan yang spesifik (Tsai dan Liu, 2005). Temperatur optimum bagi perkembangbiakan Ae. aegypti adalah 28ºC. Tingkat kelembaban udara yang tinggi akibat meningkatnya curah hujan dan dikombinasikan dengan temperatur tersebut tidak hanya akan memperpanjang umur nyamuk namun juga mendukung aktivitas nyamuk secara keseluruhan (Christopher, 1960). Umur nyamuk yang lebih panjang tentunya akan meningkatkan peluang bagi virus dengue untuk menyelesaikan masa inkubasi ekstrinsiknya. Kewaspadaan terhadap terjadinya perubahan iklim khususnya yang saat ini tengah terjadi patut mendapat perhatian dari tenaga kesehatan terkait karena tidak dapat disangkal ada hubungan yang erat antara kasus DBD dan iklim. Luaran dari bentuk kewaspadaan tersebut adalah langkah-langkah penting yang harus segera diambil untuk mencegah terjadinya peningkatan kasus. Himbauan secara intens dilakukan agar masyarakat senantiasa waspada terhadap penularan DBD karena keberhasilan mengendalikan penularan dan penyebaran DBD akan sangat dipengaruhi oleh perilaku masyarakat itu sendiri. Intensitas hujan yang cukup tinggi di musim kemarau ini akan menciptakan habitat perkembangbiakan vektor DBD baru terutama kontainer terbuka di luar rumah (baik tempat penampungan air/TPA maupun non TPA) akibat terisi oleh air hujan. Untuk itu masyarakat dihimbau agar secara mandiri giat melaksanakan gerakan 3M (mengubur, menutup & menguras) 1 minggu sekali terutama pada tingkat rumah tangga. Selain itu peran berbagai sektor terkait (dinas kesehatan, kelurahan, dll) juga menentukan keberhasilan pengendalian DBD. Mengenali perubahan iklim sepatutnya juga dilakukan oleh pengelola program pengendalian DBD. Dampak negatif dari perubahan iklim terhadap penyakit DBD dapat bersifat kasat mata (perubahan lingkungan, kepadatan vektor, dll.) ataupun tidak kasat mata (masa inkubasi virus, virulensi, dll.). Oleh sebab itu pantauan terhadap kondisi iklim, surveilens yang aktif serta intervensi kasus merupakan tindakan kewaspadaan dini (early warning action) untuk mencegah merebaknya penyakit DBD di negeri ini. Referensi : Aldrian, E. 2010. Kemarau Basah, Bukti Pemanasan Global. ditelusuri dari: http://www.antaranews.com/berita/1277274488/kemarau-basah-bukti-pemanasanglobal (diakses 2 Agustus 2010). Anonimus. Kenaikan Suhu Global Pengaruhi Curah Hujan di Indonesia. Ditelusuri dari: http://www.antaranews.com/view/?i=1176803186&c=WBM&s= (diakses 26 Juli 2010) Christophers, SR. 1960. Aedes Aegypti (L.) The Yellow Fever Mosquito. Its Life History, Bionomics and Structure. Cambridge University Press. Page 550-554. Tsai, HT and Liu, TM. Effects of Global Climate Change on Disease Epidemics and Social Instability Around The World. An International Workshop on Human Security and Climate Change, Oslo 21-23 June 2005. 44