diskusi kasus edema

advertisement
DISKUSI KASUS
EDEMA
DISUSUN OLEH:
Kelompok F:
Oviliani Wijayanti
0906487902
Lutfie
0906487871
Riska Wahyuningtyas
0906487940
Johny Bayu Fitantra
0906508226
Enninurmita Hazrudia
0906508005
Gracia Jovita Kartiko
0906552624
Kevin CN
0906554320
Narasumber:
Dr. dr. Maruhum Bonar M., SpPd
Prof. Dr. dr. Armen Muchtar, SpFK
MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
DESEMBER 2013
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Kami yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa laporan ini dan
semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah kami nyatakan dengan benar tanpa
tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata kami melakukan tindakan plagiarisme, kami akan bertanggung
jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada
kami.
Mengetahui,
(
)
(
Oviliani Wijayanti
(
)
Johny Bayu F.
(
)
Lutfie
)
Enninurmita H.
(
(
)
Riska Wahyuningtyas
)
Gracia Jovita K.
(
)
Kevin CN.
BAB I
ILUSTRASI KASUS
Identitas Diri
•
Nama
: Tn. R
•
Usia
: 55 tahun
•
Tgl lahir
: 1 September 1968
•
Jenis Kelamin
: Laki-laki
•
Agama
: Islam
•
Pekerjaan
: Supir
•
Pendidikan
: Tamat SD
•
Status perkawinan
: Menikah
•
Alamat
: Koja, Jakarta Utara
•
No. RM
: 388-58-15
•
Tanggal berkunjung : 8 November 2013
Anamnesis (Pasien sendiri dan orang lain hubungan anak kandung pasien) dilakukan tanggal 15
November 2013
Keluhan Utama
Pasien mengeluh sesak napas yang memberat sejak 1 minggu SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 1 bulan SMRS yang memberat sejak 1
minggu SMRS. Sesak dirasakan memberat dengan aktivitas seperti naik tangga atau berjalan dari
rumah ke langgar (>100 meter), membaik dengan istirahat dan posisi duduk atau berdiri. Pasien
biasa tidur dengan 2 bantal dan sering terbangun malam hari karena batuk.
Sejak 1 minggu SMRS pasien juga mengeluh kedua kaki membengkak, awalnya kecil
lalu makin lama makin membesar. Pasien menyadari ini karena merasa sepatunya menjadi
sempit dan ada bekas kaus kaki. Bengkak dirasakan semakin besar pada sore hari dan mengecil
pada pagi hari.
Tidak ada keluhan demam, pasien tidak pernah batuk-batuk lama sebelumnya. Keluhan
nyeri dada disangkal. Mual dan muntah disangkal. Nafsu makan pasien menurun semenjak sakit.
Pasien merasa berat badannya sedikit turun, namun tidak tahu berapa. Keringat malam tidak ada.
Dalam sehari, pasien buang air besar 2-3 kali per hari, lancar. Buang air kecil lancar, namun
jumlahnya sedikit sejak 2 hari SMRS. Sebelumnya pasien berobat ke Puskesmas, diberi obat tapi
tidak tahu namanya.
Saat ini, pasien perawatan hari ke-7 di bangsal. Keluhan sesak sudah tidak ada. Keluhan
batuk disangkal. Nafsu makan pasien membaik selama dirawat, sehari makan 3 kali, habis satu
porsi. Minum kira-kira 3 gelas aqua per hari (750 ml). Demam dan sakit kepala disangkal. Mual
dan muntah di sangkal. Pasien tidak mengalami kesulitan tidur selama dirawat. Bengkak di
kedua kaki masih ada, namun sudah berkurang.
Riwayat tekanan darah tinggi saat di IGD 200/110 mmHg. Sebelumnya pasien tidak tahu
kalau mempunyai hipertensi. Saat di Puskesmas mendapat obat nifedipine. Selama dirawat sudah
menjalani HD 2 kali.
Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat DM, kolesterol tinggi, stroke, sakit paru, sakit maag, serangan jantung
sebelumnya disangkal

Riwayat minum OAT sebelumnya disangkal

Riwayat alergi disangkal
Riwayat Penyakit dalam Keluarga

Tekanan darah tinggi, DM, kolesterol tinggi, stroke, sakit paru, sakit ginjal, serangan
jantung disangkal
Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan, dan Kebiasaan

Pekerjaan pasien adalah supir. Berobat menggunakan KJS.

Pasien memiliki 2 orang anak yang sudah berkeluarga. Istri pasien sudah meninggal.
Pasien tinggal sendiri di rumahnya. Selama dirawat, pasien ditemani oleh anak bungsu
pasien.

Riwayat merokok selama 35 tahun, kira-kira 1 bungkus/hari, riwayat minum alkohol saat
masih muda.
Pemeriksaan Umum (dilakukan tanggal 15 November 2013)
Status generalis

Kesadaran
: kompos mentis

Keadaan umum
: tampak sakit sedang

Tekanan darah
: 130/80 mmHg

Nadi
: 84 x/menit, regular, kuat, isi cukup

Suhu
: 36,50 C

Pernapasan
: 20 x/menit, abdominotorakal

Tinggi badan
: 160 cm

Berat badan
: 60 kg

IMT
: 23,4 kg/m2

Status gizi
: overweight
Status lokalis

Kulit
: warna sawo matang, tidak tampak kelainan

Kepala
: normosefal, tidak ada deformitas

Rambut
: warna hitam keputihan, tidak mudah dicabut

Mata
: konjungtiva pucat, sklera ikterik tidak ada

Gigi dan mulut
: oral hygiene baik, gigi berlubang 1 buah di geraham kanan atas
(M2), gigi palsu tidak ada, gigi tambal tidak ada, lidah pecah-pecah, papil tersebar merata

Leher

Jantung
: JVP 5-2 cmH2O, tidak ada pembesaran KGB maupun tiroid
o Inspeksi
: Iktus kordis tidak terlihat
o Palpasi
: Iktus kordis teraba pada sela iga 5 linea midklavikularis kiri
o Perkusi
:

Batas jantung kanan di linea sternalis kanan

Batas jantung kiri di 1 jari lateral linea midklavikularis kiri

Pinggang jantung di sela iga ke-4 linea parasternalis kiri
o Auskultasi

: bunyi jantung I-II normal, murmur dan gallop tidak ada
Paru
o Inspeksi
: gerakan dada simetris saat statis dinamis, penggunaan otot
bantuan nafas tidak ada
o Palpasi
: ekspansi dada simetris saat statis dan dinamis, fremitus kiri sama
dengan kanan
o Perkusi
: kedua paru sonor
o Auskultasi
: bunyi napas paru kanan dan kiri vesikular, ronki basah halus di
basal paru bilateral, mengi tidak ada

Abdomen
o Inspeksi
: datar
o Palpasi
: supel, lemas, hati limpa tidak teraba, nyeri tekan tidak ada,
ballottement test negatif, nyeri ketok CVA tidak ada

o Perkusi
: timpani, shifting dullness positif
o Auskultasi
: bising usus positif dalam batas normal
Ekstremitas
: akral hangat, terdapat edema pitting pretibia di kedua tungkai,
CRT <2 detik
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium darah
Saat di
No
1
Jenis
IGD
11/11/13
9/11/13
13/11/13
14/11/13
17/11/13
10/11/13
Darah rutin
Hemoglobin 8,31 g/dL
8,52
7,3
8,4
7,2
Hematokrit
23,9% (L)
24,5%
20,5
23,9
27,1
Jumlah
9.600 /uL
10.210
9.870
8.160
7.180
leukosit
(H)
287.000
295.000
285.000
250.000
Jumlah
trombosit
253.000/uL
Eritrosit
1,21 juta/ul
2
RDW
12,9%
MCV
94,1
93
88
88,5
90
MCH
32,7
32
32
31
30
MCHC
34,7
34
35
35
32
125
128
LED
110
135
Diff count
0/3/0/70/21/6
1/2/67/28/2 0/2/67/23/8 0/4/65/18/11
APTT
34,3 (34,0)
PT
10,7 (10,8)
D-Dimer
1,1
Fibrinogen
585
Elektrolit
Na
137
137
K
5,3
3,36
Cl
102
94,9
3
GDS
103 mg/dl
96
4
Albumin
2,89
3,38
5
SGPT
14
12
6
SGOT
10
20
Ureum
7
darah
113
16,5
11,4
179
Kreatinin
8
202
darah
15,08
Analisa Gas
9
Darah
pH
7,421
7,26
7,33
pCO2
19,3
29,1
34,5
pO2
60,7
43,2
107
Sat O2
92,2%
72,9%
97,6%
HCO3
10
12,7
13,3
15,6
Laktat
1,8
Protein
+3
Keton ()
11
Darah
Urinalisis
+2
Leukosit
esterase
( Bakteri
(-)

Pemeriksaan radiografi toraks proyeksi AP (8 November 2013)
Kesan:
-

Kardiomegali dengan edema paru
Pemeriksaan radiografi toraks proyeksi AP (9 November 2013)
Kesan:

-
Vaskularisasi di kedua paru berkurang
-
Tidak terdapat tanda emfisema subkutis
Pemeriksaan radiografi toraks proyeksi AP (14 November 2013)
Kesan:
-


Kardiomegali dengan aorta kalsifikasi
Pemeriksaan ekokardiografi (15 November 2013)
-
LVH konsentrik hipokinetik segmental
-
Fungsi LV dan RV sistolik baik, EF 56%
Pemeriksaan elektrokardiografi (15 November 2013)
SR; QRS rate 80 x/menit; aksis deviasi ke kiri, P wave normal; QRS kompleks <0,12 s; T
inverted (-); ST elevasi (-); LVH (+); RVH (-); BBB (-).
Daftar Masalah
1. Acute on CKD
2. CHF Fc II
3. Hipertensi saat ini TD terkontrol, riwayat HT emergency dengan TOD jantung dan ginjal
4. Hipoalbuminemia
Rencana diagnosis:
-
Cek ureum, kreatinin, elektrolit, analisa gas darah, USG abdomen (ginjal)
-
Cek albumin post-koreksi
-
Cek profil lipid
-
Funduskopi
Rencana tata laksana:
-
Oksigen 3 lpm NK
-
Positioning setengah duduk
-
Hemodialisis
-
Diet rendah garam (NaCl <5600 g/hari)
-
Membatasi jumlah konsumsi air 400-600 ml/hari
-
Asam folat 1 x 1, vitamin B12 3 x 1, Bicnat 3 x 1, CaCO3 3 x 1
-
Furosemid 1 x 40 mg IV
-
Valsartan 1 x 80 mg PO
-
Bisoprolol 1 x 2,5 mg PO
-
Diet protein 1,0 – 1,2 g/kgBB hari (on HD)
-
Diet putih telur
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Distribusi Cairan Tubuh
Cairan menyusun 50-60% dari berat badan orang dewasa. Cairan tubuh terbagi dalam dua
kompartemen utama, yaitu intraselular (60% cairan tubuh total, 36% berat badan) dan
ekstraselular (40% cairan tubuh total, 24% berat badan). Cairan ekstraselular dibagi lagi menjadi
subkompartemen intravaskuler (10% cairan tubuh total, 6% berat badan) dan interstisial (30%
cairan tubuh total, 18% berat badan).1
Untuk menjaga keseimbangan cairan dan fungsi sel, terdapat sejumlah kation dan anion
dengan komposisi berbeda di tiap kompartemen. Dua kation yang paling utama adalah natrium
dan kalium. Natrium merupakan kation utama cairan ekstravakuler, bersama dengan kalium,
kalsium, dan magnesium, sedangkan anionnya adalah klorida, bikarbonat, dan albumin. Kation
utama dalam cairan intrasel adalah kalium dengan anionnya berupa fosfat.1
Gangguan keseimbangan cairan dapat terjadi antara cairan masuk dan keluar, cairan
intraseluler dan ekstraseluler, atau intravaskuler dan interstisial. Imbang cairan dipengaruhi oleh
osmolalitas, perbandingan jumlah solut (natrium, kalium, glukosa, urea) dan air. Semakin tinggi
osmolalitas, semakin tinggi tekanan onkotik. Cairan akan berpindah dari tekanan onkotik rendah
ke tinggi. Urea tidak memengaruhi perpindahan cairan dari intrasel ke ekstrasel dan sebaliknya.
Albumin adalah solut yang paling memengaruhi perpindahan cairan dari intravaskuler ke
interstisial dan sebaliknya.1
2.2. Edema
Definisi
Edema adalah peningkatan volume cairan interstisial yang tampak secara klinis.
Penumpukan cairan interstisial dapat mencapai beberapa liter sebelum terlihat abnormalitas.
Pasien umumnya mengalami kenaikan berat badan yang disusul dengan penurunan dalam jumlah
yang sama pascadiuresis.2
Dari penyebab dan mekanismenya, terdapat dua jenis edema, yaitu edema generalisata
dan edema lokal. Edema generalisata yang tampak sangat jelas disebut edema anasarka, biasanya
terlihat dari pembengkakan wajah, khususnya daerah periorbita. Pada kondisi yang tidak begitu
berat, edema dapat jadi baru terdeteksi karena ada keluhan seperti sepatu atau cincin menyempit.
Edema lokal dapat terjadi pada peningkatan tekanan vena setempat, misalnya tromboplebitis
unilateral.2
Patogenesis
Secara garis besar, faktor yang memengaruhi edema adalah hemodinamik kapiler dan
retensi natrium di ginjal.1 Hemodinamik kapiler dipengaruhi oleh gaya-gaya Starling dan
permeabilitas kapiler. Gaya-gaya Starling meliputi tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik. Pada
keadaan normal, gaya-gaya ini memicu perpindahan cairan dari intravaskuler ke interstisial pada
arteriol lalu dari interstisial ke intravaskuler pada venula serta ke pembuluh limfe. Aliran ini
umumnya berada dalam kondisi seimbang sehingga jumlah cairan di masing-masing
kompartemen konstan, walaupun terjadi perpindahan setiap saat. Jika terjadi perubahan tekanan
hidrostatik atau tekanan onkotik, keseimbangan ini akan terganggu. Salah satu akibat yang dapat
terjadi adalah perpindahan cairan dari intravaskuler ke interstisial atau rongga tubuh, yaitu
edema, asites, atau hidrotoraks.2
Peningkatan permeabilitas kapiler menjadi faktor berikutnya yang memengaruhi
hemodinamik kapiler. Peningkatan ini dapat terjadi akibat obat, infeksi virus atau jamur, trauma
mekanis atau kimiawi, atau reaksi hipersensitivitas. Edema yang berkaitan dengan inflamasi
biasanya bersifat nonpitting, lokal, dan diiringi tanda inflamasi lain seperti eritema, nyeri, dan
panas.2
Retensi natrium di ginjal diperantarai sejumlah mekanisme, di antaranya aktivitas reninangiotensin-aldosteron system (RAAS), aktivitas natriuretic peptides (NP), aktivitas saraf
simpatis, serta osmoreseptor di hipotalamus.1 Dalam banyak kasus, mekanisme tersebut diawali
oleh penurunan volume arterial efektif yang dikompensasi dengan retensi garam oleh ginjal.
Pertama, penurunan volume ini direspons oleh sel jukstaglomerular (mioepitel khusus di sekitar
arteriol aferen) dengan pelepasan renin yang mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I
lalu angiotensin II yang memiliki efek vasokonstriksi, terutama pada arteriol eferen renal.
Mekanisme ini meningkatkan tekanan hidrostatik dan menurunkan tekanan onkotik melalui
peningkatan fraksi filtrasi. Efeknya, terjadi peningkatan absorpsi air dan garam pada tubulus
proksimal dan bagian asendens dari lengkung Henle.2
Gambar 1. Mekanisme penurunan volume arterial efektif oleh A) penurunan cardiac output dan
B) vasodilatasi sistemik
Selain berperan secara sistemik, RAAS juga berperan lokal dalam vasokonstriksi arteriol
aferen renal yang merangsang tubulus untuk reabsorpsi garam dan air. Mekanisme ini dikenal
sebagai umpan balik tubuloglomerular.2
Selanjutnya, pengaktifan aldosteron di zona glomerulosa korteks adrenal juga
meningkatkan reabsorpsi natrium dan ekskresi kalium di duktus koligentes. Pada beberapa
kondisi, seperti gagal jantung kongestif, selain peningkatan sekresi aldosteron terdapat pula
hambatan pada katabolismenya di hati. Akibatnya, waktu paruh aldosteron juga meningkat.2
Selain RAAS, faktor lain yang memengaruhi reabsorpsi air dan garam di ginjal adalah
NP. Terdapat 3 jenis NP, yaitu atrial natriuretic peptide (ANP) yang disimpan dalam miosit
atrium, brain natriuretic peptide (BNP) yang disimpan dalam miosit ventrikel, dan C-type
natriuretic peptide (CNP) yang dilepaskan oleh endotel dan ginjal. ANP dan BNP bekerja pada
reseptor-A NP di miokardium, sedangkan CNP bekerja pada reseptor-B NP di vena. Sekresi NP
memiliki efek meningkatkan ekskresi air dan garam dengan menaikkan laju filtrasi glomerular,
menghambat reabsorpsi natrium di tubulus proksimal, menghambat sekresi renin dan aldosteron.
Selain itu, NP juga memiliki efek antagonis terhadap kerja renin, angiotensin II, dan arginin
vasopressin (AVP) sehingga menyebabkan vasodilatasi. Pada gagal jantung kongestif dan sirosis
dengan asites, terjadi peningkatan ANP dan BNP, tetapi agaknya tidak cukup untuk mencegah
edema. Pada kondisi edema juga terjadi peningkatan resistansi terhadap kerja NP.2
AVP merupakan substansi yang dilepaskan ketika terjadi peningkatan konsentrasi
osmolar intrasel. AVP meningkatkan reabsorpsi air bebas di tubulus distal dan duktus koligentes
sehingga meningkatkan total air dalam tubuh. Substansi ini banyak ditemukan meningkat pada
pasien gagal jantung oleh penyebab nonosmotik.2
Di tingkat pembuluh darah, sel endotel juga melepaskan zat vasokonstriktor, yaitu
endotelin. Pada gagal jantung, konsentrasi endotelin meningkat dan berperan serta dalam
vasokonstriksi renal, retensi natrium, dan edema.2
Etiologi
Edema dapat timbul dari bermacam-macam etiologi, seperti gagal jantung kongestif,
hipoalbuminemia oleh sindrom nefrotik maupun sebab lain, sirosis hati, gagal ginjal, penggunaan
obat, maupun obstruksi drainase vena atau limfatik. Sebab-sebab edema generalisata tersering
dirangkum dalam Tabel 1.
Tabel 1. Penyebab-Penyebab Tersering Edema Generalisata
2.3 Penyakit Ginjal Kronik
Definisi3,4
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, pada umumnya berakhir dengan gagal
ginjal, di mana telah terjadi penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, baik dialisis, maupun transplantasi ginjal.
Etiologi3
Etiologi penyakit ginjal kronik bervariasi di tiap Negara. Data dari Perhimpunan
Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000, penyebab gagal ginjal di Indonesia adalah:
Tabel 2. Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia
Penyebab
Insiden
Glomerulonefritis
46,39%
Diabetes Melitus
18,65%
Obstruksi dan infeksi
12,85%
Hipertensi
8,46%
Sebab lain
13,65%
Patofisiologi3,4
Ada dua mekanisme yang berperan dalam PGK, (1) mekanisme spesifik terkait etiologi
yang mendasari (contoh: kelainan ginjal genetic, deposisi kompleks imun, glomerulonefritis), (2)
mekanisme progresif terkait hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron yang masih tersisa, sebagai
kompensasi dari pengurangan masa ginjal. Respon terhadap reduksi nefron ini dimediasi oleh
hormone vasoaktif, sitokin, dan growth factors, sehingga menyebabkan terjadinya hiperfiltrasi,
diikuti tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus yang meningkat. Proses adaptasi ini akan
diikuti oleh maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Pada akhirnya menyebabkan
penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif. Selain
itu, juga terjadi peningkatan aktivitas rennin-angiotensin-aldosteron intrarenal diperantarai oleh
growth factor seperti transforming growth factor β (TGF-β). Kondisi albuminuria, hipertensi,
hiperglikemia, dislipidemia juga berperan dalam progesifitas penyakit ginjal kronik.
Gambar 2. Glomerulus normal dan yang mengalami hiperfiltrasi
Stadium dini penyakit ginjal kronik adalah terjadinya kehilangan daya cadang ginjal,
pada keadaan mana basal LFG masih normal atau meningkat. Kemudian akan diiikuti oleh
penurunan fungsi nefron yang progresif yang ditandai dengan kadar kreatinin serum dan urea
yang meningkat. LFG yang menurun sampai 60% atau pada stadium 1 dan 2, pasien masih
asimptomatik, tetapi ureum dan kreatinin sudah meningkat. Sampai pada LFG kurang dari 30%,
mulai muncul gejala dan tanda uremia seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan
metabolism fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah, dan lain sebagainya. Risiko terkena
infeksi saluran kemih, saluran napas, dan saluran cerna juga meningkat. Selain itu, akan terjadi
gangguan keseimbangan elektrolit seperti natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan
terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan sudah memerlukan terapi pengganti ginjal
seperti dialisis atau transplantasi ginjal. Pada kondisi ini disebut sebagai tahap gagal ginjal.
Sindrom uremia merupakaan kondisi dimana toksin di dalam tubuh terakumulasi di
ginjal, berupa senyawa hidrofobik, water-soluble, protein-bound, dan ikatan lainnya. Terdapat
juga produk nitrogen seperti ikatan guanidine, asam urat, produk metabolisme asam nukleat,
poliamin, mioinositol, fenol, benzoate, dan indol. Banyak hormone seperti PTH, FGF-23,
insulin, glucagon, dan steroid yang mengalami perubahan sejalan dengan gagal ginjal akibat
retensi urin, penurunan degradasi, serta regulasi yang abnormal. Patofisiologi sindrom uremia
dapat dibagi menjadi (1) sebagai kompensasi dari akumulasi toksin yang normalnya diekskresi
oleh ginjal, (2) kompensasi dari hilangnya fungsi ginjal seperti regulasi hormone dan
homeostasis elektrolit, dan (3) inflamasi sistemik yang progresif dan kompensasi vaskuler.
Diagnosis3,4
Tabel 3. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan structural atau
fungsional, dengan atau tanp penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan
manifestasi:
-
Kelainan patologis
-
Terdapat kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin,
atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 seama 3 bulan,
dengan atau tanpa kerusakan ginjal
Identifikasi Faktor Risiko dan Klasifikasi4
Faktor risiko mencakup hipertensi, diabetes mellitus, penyakit autoimun, usia tua, riwayat
keluarga sakit ginjal, episode gagal ginjal akut, proteinuria, sedimen urin abnormal, struktur
abnormal dari traktur urinarius. Sebuah studi menunjukkan bahwa gen APOLI berkaitan dengan
frekuensi yang tinggi dari etiologi penyakit ginjal kronik.
Untuk menentukan stadium penyakit ini, perlu untuk menghitung laju filtrasi glomerulus
(LFG) pada pasien. Rumus untuk menentukan nilai GFR:
Gambar 3. Cara menentukan nilai GFR
Berdasarkan guideline dari National Kidney Foundation (Kidney Dialysis Outcomes
Quality Initiative KDOQI), klasifikasi penyakit ginjal kronik dibagi berdasarkan nilai LFG nya.
Tabel 4. Klasifikasi Penyakit Ginjal kronik
Stage
LFG, ml/min per 1,73 m2
0
>90a
1
≥90b
2
60-89
3
30-59
4
15-29
5
<15
a : dengan faktor risiko penyakit ginjal kronik
b : dengan tanda kerusakan ginjal (proteinuria persisten, sedimen urin abnormal, nilai abnormal
pada darah dan urin, gambaran radiologi abnormal
Edema pada Penyakit Ginjal Kronik
Pada penyakit ginjal kronik, terjadi edema akibat retensi primer dari NaCl dan air.
Berbeda dengan penyakit jantung kongestif, cardiac output dan perbedaan kandungan oksigen
dalam arteri dan vena campur normal. Dapat terjadi hipertensi arterial dan edema paru tanpa
disertai kardiomegali.
Tata laksana3,4
Tabel 5. Stadium penyakit ginjal kronik berdasarkan nilai GFR
Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Sebelum terjadi penurunan LFG, sebaiknya dilakukan terapi terhadap penyakit yang mendasari.
Pada ukuran ginjal yang masih normal secara USG, biopsi, dan pemeriksaan histopatologi ginjal
dapat menentukan indikasi tepat terhadap terapi spesifik. Terapi ini tidak banyak bermanfaat
pada LFG yang menurun 20-30% dari normal.
Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Perlu dilakukan pemantauan kecepatan penurunan LFG untuk mengetahui kondisi komorbid
yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor komorbid antara lain hipertensi yang tidak
terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik bahan
radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
Menghambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama yang menyebabkan perburukan fungsi ginjal adalah hiperfiltrasi glomerulus. Cara
menguranginya dengan membatasi asupan protein. Pembatasan ini mulai dilakukan pada LFG ≤
60 ml/menit. Protein diberikan 0,6-0,8 g/kg BB/hari. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35
kkal/kgBB/hari. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan.
Pembatasan asupan protein akan mengurangi sindrom uremia, berkaitan dengan pembatasan
asupan fosfat karena protein dan fosfat berasal dari sumber yang sama.
Terapi farmakologis
Pemberian obat antihipertensi, terbukti dapat memperlambat perburukan fungsi ginjal. Obat yang
dapat diberikan ialah golongan ACE-inhibitor dan ARB.
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler penting, dengan pengendalian diabetes,
pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian
hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.
Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi:

Anemia
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin ≤ 10% atau hematokrit
≤30%. Perlu dilakukan juga evaluasi terhadap status besi (kadar besi, TIBC, feritin),
mencari
sumber
perdarahan,
morfologi
eritrosit,
kemungkinan
adanya
hemolisis.Tatalaksana sesuai dengan penyebab utamanya. Pemberian eritropoitin
merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian transfusi dilakukan dengan indikasi yang
tepat agar tidak menyebabkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan pemburukan
fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl.

Mengatasi hiperfosfatemia
Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pemberian pengikat fosfat juga dapat
diberikan, seperti pemberian garam kalsium, alumunium hidroksida, dan garam
magnesium. Yang sering dipakai adalah CaCO3 dan kalsium asetat.

Pembatasan cairan dan elektrolit
Air yang masuk harus seimbang dengan yang keluar tubuh. Karena insensible water
loss senilai 500-800 ml/hari, maka air yang dianjurkan masuk sekitar jumlah urin
ditambah 500-800 ml. Pembatasan kalium juga dilakukan untuk mencegah aritmia
jantung sehingga pemberian obat-obat tinggi kalium dan makanan harus dibatasi.
Kadar yang dianjurkan 3,5-5,5mEq/lt. Pembatasan natrium diperlukan untuk
mengendalikan hipertensi dan edem.

Terapi pengganti ginjal
Dilakukan pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Dapat berupa hemodialisis, peritoneal
dialisis, atau transplantasi ginjal.
2.4 Congestive Heart Failure
Definisi
Gagal jantung didefinisikan sebagai abnormalitas struktur atau fungsi jantung yang
menyebabkan tidak sampainya oksigen ke jaringan pada laju yang memenuhi kebutuhan
metabolisme sel, meskipun tekanan pengisian normal (atau oksigen hanya dapat sampai dengan
peningkatan tekanan pengisian).5
Dalam pembahasan kerja jantung dikenal istilah fraksi ejeksi (EF), yaitu stroke volume
dibagi end-systolic volume. EF dianggap normal jika bernilai di atas 50%. Nilai EF
menggambarkan prognosis CHF sekaligus menjadi dasar penggolongan subjek dalam berbagai
penelitian. Dalam CHF dikenal istilah reduced EF (REF, HF sistolik, EF <35%) dan preserved
EF (PEF, HF diastolik, EF 35-50%).5
Patofisiologi
Pada HF sistolik, terjadi maladaptasi pada miosit dan matriks ekstraseluler yang
menyebabkan perubahan struktur ventrikel, diawali dengan hipertrofi dan dapat berlanjut
menjadi dilatasi. Perubahan struktur ini dimaksudkan untuk meningkatkan EF melalui
peningkatan kontraktilitas, tetapi seiring dengan remodeling yang terus berjalan, kontraktilitas
justru menurun dan memperburuk penurunan EF.5
Terdapat 2 mekanisme yang berperan, yaitu kematian miosit lebih lanjut (misalnya infark
miokardium rekurens) dan respons sistemik terhadap penurunan EF, terutama aktivasi sistem
neurohumoral RAAS dan persarafan simpatis. Respons sistemik tersebut tidak hanya berefek
buruk pada miokardium, tetapi juga pada pembuluh darah, ginjal, hepar, paru, sumsum tulang,
dan otot, menciptakan vicious cycle yang mendasari berbagai gejala dan tanda pada CHF.5
Edema pada CHF
Pada gagal jantung kongestif, terjadi peningkatan sekresi aldosteron dan hambatan pada
katabolismenya di hati. Terjadi pula peningkatan ANP dan BNP, tetapi agaknya tidak cukup
untuk mencegah edema. Substansi ini banyak ditemukan meningkat pada pasien gagal jantung
oleh penyebab nonosmotik. Konsentrasi endotelin juga meningkat dan berperan serta dalam
vasokonstriksi renal, retensi natrium, dan edema.2
Diagnosis
Secara ringkas, menurut European Society of Cardiology pada 2012, diagnosis CHF
dimulai dari adanya gejala tipikal (kelelahan, sesak, pembengkakan tungkai) dan tanda tipikal
(peningkatan tekanan vena jugularis/JVP, pergeseran apeks, ronki). Meski banyak tanda dan
gejala yang mengarahkan pada kecurigaan CHF, tidak banyak yang bersifat spesifik. Gejala
spesifik seperti ortopnea dan paroxysmal nocturnal dyspneu (PND) justru tidak begitu umum
dijumpai. Begitupun tanda khas seperti peningkatan JVP dan pergeseran apeks sulit dideteksi.
Riwayat penyakit yang mendasari gangguan jantung, seperti riwayat infark miokardium
sebelumnya, juga perlu diperhatikan.5
Tabel 6 . Tanda dan Gejala CHF
Jika didapati tanda dan gejala yang mengarahkan pada kecurigaan CHF, dapat diikuti
langkah diagnostik yang digagas dalam ESC 2012 berikut ini.
Setelah diagnosis ditegakkan, penting untuk mencari tahu etiologi, khususnya etiologi
yang bisa dikendalikan. Selain itu, dilakukan penggolongan berdasarkan derajat beratnya
penyakit, dinyatakan dalam kelas fungsional New York Heart Association (NYHA) sebagai
berikut.5
Tabel 7. Kelas Fungsional NYHA
Terapi
Terapi yang dianjurkan untuk HF sistolik meliputi ACEI atau ARB, beta-bloker, dan
MRA, di samping diuretik untuk mengurangi gejala. Tujuan terapi adalah menurunkan
mortalitas, mencegah progresivitas penyakit, memperlambat perubahan struktur LV, dan
meredakan gejala.5
2.5 Hipertensi6
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah yang dapat menimbulkan komplikasi jangka
panjang. Berikut merupakan pembagian kategori hipertensi menurut JNC 7.
Tabel 8. Klasifikasi hipertensi
Pada stadium prehipertensi, direkomendasikan dilakukan modifikasi gaya hidup. Pada
hipertensi stadium 1, modifikasi gaya hidup dikombinasikan dengan terapi (umumnya diuretik
tiazid). Pada hipertensi stadium 2, modifikasi gaya hidup disertai terapi inisial yang lebih agresif,
seperti kombinasi diuretik tiazid dengan ACE inhibitor, ARB, CCB, ataupun b-bloker.
Tatalaksana
Modifikasi gaya hidup
-
Pengurangan berat badan. Tekanan darah sistolik dapat diturunkan 5-10 mmHg setiap
pengurangan 10 kg berat badan.
-
Diet. Menekankan pada buah, sayur, dan produk susu rendah lemak, serta mengurangi
konsumsi lemak jenuh. Diet ini dihubungkan dengan pengurangan 8-14 mmHg tekanan
darah sistolik.
-
Pengaturan asupan garam. Asupan garam dibatasi menjadi 2000 mg perhari, yang dapat
menurunkan tekanan darah sistolik sebesar 5-10 mmHg. Medikasi, seperti ACE inhibitor
dan ARB tidak akan efektif bila asupan gram masih tinggi.
-
Aktivitas fisik. Aktivitas aerobik yang regular, minimal 30 menit per hari, selama
beberapa kali seminggu, dapat menurunkan tekanan darah sistolik hingga 9 mmHg.
-
Konsumsi alkohol. Pembatasan alkohol di bawah 2 porsi per hari untuk laki-laki dan di
bawah 1 porsi untuk perempuan.
Terapi farmakologi
Tabel 9. Rekomendasi obat antihipertensi berdasarkan indikasi
Ketika modifikasi gaya hidup gagal mencegah atau mengurangi hipertensi, dibutuhkan
obat tunggal ataupun kombinasi. Sebanyak dua per tiga pasien tidak mencapai tekanan darah
optimal dnegan monoterapi diuretik, dimana sebagian besar pasien membutuhkan dua hingga
empat jenis obat.
-
Diuretik tiazid. Efek samping berupa hipokalemia, hiperurisemia, hiperkalsemia, IGT,
dan disfungsi ereksi.
-
Loop diuretik. Dapat digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR < 3050 ml/menit/m2), gagal jantung kongestif, dan hipertensi resisten.
-
Diuretik hemat kalium/aldosteron reseptor bloker. Sprinolakton dan eplerenone memblok
aktivitas aldosteron di jantung, ginjal, dan pembuluh darah. Efek samping berupa
hiperkalemia dan ginekomastia pada spironolakton.
-
ACE inhibitor/ARB. Efek samping yang ditimbulkan ACE inhibitor berupa angioedema,
batuk (15%), gagal ginjal akut, hiperkalemia, anemia, kolestasis, neutropenia. Efek
samping ARB berupa angioedema (1/100 dari efek ACE inhibitor), hiperkalemia, dan
gagal ginjal akut. Kedua obat ini kontraindikasi pada kehamilan.
-
Beta bloker. Obat ini dapat dijadikan terapi tambahan pada pemberikan diuretik tiazid
atau terapi pada pasien dengan kontraindikasi obat lain.
-
Penghambat kanal kalsium. Terdapat dua tipe, yaitu dihidropiridin (amlodipin, nifedipin)
dan nondihidropiridin (verapamil, diltiazem). Golongan dihidropiridin bekerja melalui
relaksasi otot polos pada arteri. Efek samping yang sering adalah edema perifer oleh
karena dilatasi arteri. Untuk mengimbangi efek ini, pasien memerlukan venodilator
berupa ACE inhibitor/ARB atau nitrat dengan masa kerja panjang (isosorbid dinitrat).
Golongan nondihidropiridin menurunkan tekanan darah melalui vasodilatasi dan
penurunan kontraktilitas miokard, dimana obat ini berguna pada pasien dengan aritmia,
seperti takikardia supraventrikular dan fibrilasi atrial. Efek samping golongan ini berupa
bradikardia (terutama bila diberikan bersamaan dengan beta bloker), konstipasi, dan
edema. Indikasi lain untuk CCB adalah risiko kardiovaskular dan usia lanjut.
-
Alfa bloker. Menurunkan tekanan darah melalui hambatan reseptor alfa pada otot polos
arteri.
Penyakit Jantung Hipertensi7
Penyebab penyakit jantung hipertensi adalah peningkatan tekanan darah kronik.Tekanan
darah yang tidak terkontrol dan berlangsung lama dapat menyebabkan perubahan pada struktur
miokardium, vaskulatur koroner, dan sistem konduksi jantung.Perubahan ini menyebabkan
hipertrofi ventrikel kiri (LVH), penyakit arteri koroner (CAD), gangguan konduksi, disfungsi
sistolik dan diastolik dari miokardium, komplikasi yang bermanifestasi sebagai angina atau
infark miokard, aritmia (khususnya fibrilasi atrial), dan gagal jantung kongestif.
Kondisi yang perlu dipertimbangkan saat evaluasi, antara lain aterosklerosis arteri
koroner, kardiomiopati hipertrofi, athlete’s heart dengan hipertrofi ventrikel kiri, gagal jantung
kongestif karena sebab lain, fibrilasi atrial karena sebab lain, disfungsi diastolik karena sebab
lain, dan sleep apnea.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Pendekatan pada Pasien Edema
Laki-laki berusia 55 tahun tahun datang dengan keluhan sesak sejak sebulan yang
memberat dalam seminggu terakhir disertai kedua kaki bengkak. Ketika menemukan kasus
dengan edema tungkai bilateral, pikirkan terlebih dahulu penyebab sistemik tersering, yakni
kardiak, hepatik, dan renal.
Selanjutnya, dari anamnesis, didapati dyspneu on effort, ortopneu, dan paroxysmal
nocturnal dyspneu sejak 1 bulan. Jumlah urine berkurang sejak 2 hari. Terdapat riwayat
merokok. Tidak ada keluhan demam, nyeri dada, mual dan muntah.
Dari pemeriksaan fisik, didapati tekanan darah 130/80 mmHg dengan riwayat tekanan
darah tertinggi 200/110 mmHg, status gizi overweight, konjungtiva anemis, JVP 5-2 cmH2O,
pergeseran apeks ke lateral, ronki basah halus pada basal kedua paru, shifting dullness positif,
dan pitting edema pada pretibia kanan dan kiri. Tidak ada ikterus, spider nevi, palmar eritema,
ginekomastia, caput medusa, maupun hepatomegali atau splenomegali.
Dari hasil laboratorium, didapati anemia, leukositosis dengan netrofilia, peningkatan
ureum dan kreatinin, hipoalbuminemia, riwayat asidosis metabolik. Dari urinalisis, tampak
proteinuria 3+ dan darah 2+. EKG menunjukkan deviasi aksis ke kiri. Dari foto toraks, terlihat
kardiomegali dengan peningkatan vaskularisasi paru. Pemeriksaan ekokardiografi menunjukkan
LVH konsentrik hipokinetik segmental dan EF 56%.
Dari data tersebut, penyebab edema pada pasien yang paling mungkin adalah CHF
dengan kemungkinan berikutnya dari insufisiensi renal. CHF lebih dipikirkan karena onset gejala
khas CHF muncul mendahului manifestasi edema. Untuk insufisiensi renal, terlihat bahwa
penurunan volume urine baru terjadi 2 hari, sedangkan gejala seperti mual dan muntah tidak ada.
3.2. Acute on CKD
Atas dasar: Riwayat HT emergency saat di IGD dengan TD 200/110 mmHg. BAK sedikit sejak 2
hari SMRS, nafsu makan menurun. Pada pemeriksaan laboratorium saat di IGD (8/11/13)
didapatkan nilai Ur 179, Cr 15,08, (13/11/13) Ur 202, Cr 16,5. Nilai eGFR pasien < 15
ml/menit/1,73 m2. Indikasi HD pada pasien ini ialah kondisi asidosis metabolik berdasarkan hasil
pemeriksaan lab AGD (9/11/13) dengan pH 7,26, pCO2 29,1, pO2 43,2, Sat O2 72,9%, dan
HCO3 13,3, pada urin terdapat protein +3. Selain itu juga, nilai ureum > 200, serta tanda-tanda
overload dari shifting dullness positif dan edema pretibia. Temuan kardiomegali dan konjungtiva
pucat pada pasien menguatkan adanya tanda-tanda penyakit ginjal kronik pada pasien. Dari foto
toraks, ditemukan kardiomegali.
Dipikirkan acute on CKD dengan diagnosis banding AKI yang dicetuskan oleh hipertensi
saat masuk di rumah sakit.
Rencana diagnosis :
-
Cek ureum, kreatinin, elektrolit, analisa gas darah, USG abdomen (ginjal)
Rencana tatalaksana:
Non farmakologis:
-
Hemodialisis
-
Diet protein 1,0 g/kgBB/hari
Farmakologis:
-
Asam folat 1x1, vitamin B12 3x1, Bicnat 3x1, CaCO3 3x1
-
Furosemide 1x40 mg IV
Rencana edukasi:
-
Membatasi jumlah konsumsi air 400-600 ml/hari
3.3. CHF-PEF fc. II dengan riwayat edema paru
Atas dasar: gejala tipikal (sesak, kaki bengkak, mudah lelah), tanda tipikal (ronki basah halus,
pergeseran apeks), Sesak timbul saat naik tangga atau berjalan >100 meter. Terdapat faktor
risiko kardiovaskular lain yaitu hipertensi, overweight, dan riwayat merokok. Foto toraks
menunjukkan kardiomegali dengan peningkatan vaskularisasi paru. EKG menunjukkan LAD,
sedangkan hasil ekokardiografi memperlihatkan remodeling jantung dengan EF 56%.
Dipikirkan CHF-PEF fc. II dengan riwayat edema paru yang dicetuskan oleh hipertensi
saat masuk rumah sakit.
Rencana diagnostik: tidak ada
Rencana terapi:
-
Positioning setengah duduk
-
Diet rendah garam (NaCl <5600 g/hari)
-
Oksigen 3 lpm NK
-
Furosemid 1 x 40 mg IV
-
Valsartan 1 x 80 mg PO
-
Bisoprolol 1 x 2,5 mg PO
Rencana edukasi:
-
Diet, aktivitas fisik, dan penurunan berat badan
-
Kendali tekanan darah
-
Berhenti merokok
3.4 Hipertensi saat ini TD terkontrol dengan riwayat HT emergency dengan TOD jantung
dan ginjal
Atas dasar: Pasien dikatakan memiliki HT saat di IGD, dengan TD 200/110 mmHg. Saat
pemeriksaan TD 130/80 mmHg. Pemeriksaan fisik jantung didapatkan adanya pelebaran batas
jantung kiri di 1 jari lateral linea midklavikularis kiri. Foto toraks menunjukkan adanya
kardiomegali. EKG menunjukkan LVH dan LAD.
Dipikirkan hipertensi pada pasien merupakan hipertensi esensial yang disertai dengan
hypertensive heart disease.
Rencana diagnostik: funduskopi, profil lipid
Rencana terapi:
-
Diet rendah garam (NaCl <5600 g/hari)
-
Furosemid 1 x 40 mg IV
-
Valsartan 1 x 80 mg PO
Rencana edukasi:
-
Diet, aktivitas fisik, dan penurunan berat badan
-
Kendali tekanan darah
-
Berhenti merokok
3.5 Hipoalbuminemia
Atas dasar: Kadar albumin serum 2,89 g/dl. Dari pemeriksaan fisik, didapatkan edema pretibia
dan shifting dullness positif. SGOT SGPT dalam batas normal, menunjukkan tidak ada masalah
dalam produksi albumin.
Dipikirkan hipoalbumin pada pasien terjadi akibat protein loss melalui ginjal dan intake yang
kurang.
Rencana diagnosis: - cek albumin post koreksi
Rencana terapi:
Nonfarmakologis:
-
diet protein 1,0 g/kgBB/hari (on HD)
-
diet putih telur
Farmakologis: Rencana edukasi: - edukasi kondisi saat ini dan kepatuhan diet
KESIMPULAN
Laki-laki 55 tahun datang dengan keluhan sesak sejak 1 bulan yang memberat sejak 1 minggu
disertai bengkak pada kedua kaki. Pada pemeriksaan fisik ditemukan didapati tekanan darah
130/80 mmHg dengan riwayat tekanan darah tertinggi 200/110 mmHg, status gizi overweight,
konjungtiva anemis, JVP 5-2 cmH2O, pergeseran apeks ke lateral, ronki basah halus pada basal
kedua paru, shifting dullness positif, dan pitting edema pada pretibia kanan dan kiri. Pada
pemeriksaan laboratorium didapati Ur 202, Cr 16,5 (Nilai eGFR pasien < 15 ml/menit/1,73 m 2),
pH 7,26, pCO2 29,1, pO2 43,2, Sat O2 72,9%, dan HCO3 13,3, pada urine terdapat protein +3.
Pada foto toraks didapati gambaran kardiomegali dan edema paru. Pada EKG ditemukan LAD
dan gambaran LVH. Pada ekokardiografi didapati LVH konsentrik hipokinetik segmental dan EF
56%. Dipikirkan daftar masalah pada pasien meliputi acute on CKD on HD, CHF-PEF fc. II
dengan riwayat edema paru, hipertensi dengan TD saat ini terkontrol dengan riwayat HT
emergensi TOD jantung dan ginjal, hipoalbuminemia. Direncanakan pemeriksaan USG ginjal,
cek ureum, kreatinin, elektrolit, analisa gas darah, USG abdomen (ginjal), cek albumin postkoreksi, cek profil lipid, funduskopi. Diberikan terapi berupa oksigen 3 lpm NK, positioning
setengah duduk, hemodialisis, diet rendah garam (NaCl <5600 g/hari), diet protein 1,0 – 1,2
g/kgBB hari (on HD) dan diet putih telur, membatasi jumlah konsumsi air 400-600 ml/hari, asam
folat 1 x 1, vitamin B12 3 x 1, Bicnat 3 x 1, CaCO3 3 x 1, furosemid 1 x 40 mg IV, valsartan 1 x
80 mg PO, bisoprolol 1 x 2,5 mg PO.
Prognosis
Ad vitam
: bonam
Ad functionam : dubia ad malam
Ad sanactionam: dubia ad bonam
DAFTAR PUSTAKA
1. Siregar P. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Dalam: Sudoyo AW, Alwi I,
Setiyohadi B, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi 4.
Jakarta: InternaPublishing; 2010. h.134-42.
2. Braunwald E, Loscalzo J. Edema. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS,
Hauser SL, Loscalzo J, editors. Harrison’s Manual of Medicine. 17th ed. NY:
McGrawHill; 2008. p.290-5.
3. Suwitra K. Gagal Ginjal Kronik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi
IV. Jakarta: Interna Publishing; 2006. p. 581-4.
4. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Chronic Renal
Disease. Harrison’s Manual of Medicine. 17th ed. NY: McGrawHill; 2008. p.2308-26.
5. European Society of Cardiology. ESC guidelines for the diagnosis and treatment of acute
and chronic heart failure 2012. European Heart Journal. 2012;33:1787-847.
6. Martin J. Hypertension Guidelines: Revisiting the JNC 7 Recommendations. PA: The
Journal of Lancaster General Hospital; 2008.
7. Riaz
K,
et
al.
Hypertensive
Heart
Disease.
Diunduh
dari
http://emedicine.medscape.com/article/162449-overview, 14 November 2013, pukul
19.46.
Download