DISKUSI KASUS EDEMA DISUSUN OLEH: Kelompok F: Oviliani Wijayanti 0906487902 Lutfie 0906487871 Riska Wahyuningtyas 0906487940 Johny Bayu Fitantra 0906508226 Enninurmita Hazrudia 0906508005 Gracia Jovita Kartiko 0906552624 Kevin CN 0906554320 Narasumber: Dr. dr. Maruhum Bonar M., SpPd Prof. Dr. dr. Armen Muchtar, SpFK MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA DESEMBER 2013 HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Kami yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa laporan ini dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah kami nyatakan dengan benar tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia. Jika di kemudian hari ternyata kami melakukan tindakan plagiarisme, kami akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada kami. Mengetahui, ( ) ( Oviliani Wijayanti ( ) Johny Bayu F. ( ) Lutfie ) Enninurmita H. ( ( ) Riska Wahyuningtyas ) Gracia Jovita K. ( ) Kevin CN. BAB I ILUSTRASI KASUS Identitas Diri • Nama : Tn. R • Usia : 55 tahun • Tgl lahir : 1 September 1968 • Jenis Kelamin : Laki-laki • Agama : Islam • Pekerjaan : Supir • Pendidikan : Tamat SD • Status perkawinan : Menikah • Alamat : Koja, Jakarta Utara • No. RM : 388-58-15 • Tanggal berkunjung : 8 November 2013 Anamnesis (Pasien sendiri dan orang lain hubungan anak kandung pasien) dilakukan tanggal 15 November 2013 Keluhan Utama Pasien mengeluh sesak napas yang memberat sejak 1 minggu SMRS Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 1 bulan SMRS yang memberat sejak 1 minggu SMRS. Sesak dirasakan memberat dengan aktivitas seperti naik tangga atau berjalan dari rumah ke langgar (>100 meter), membaik dengan istirahat dan posisi duduk atau berdiri. Pasien biasa tidur dengan 2 bantal dan sering terbangun malam hari karena batuk. Sejak 1 minggu SMRS pasien juga mengeluh kedua kaki membengkak, awalnya kecil lalu makin lama makin membesar. Pasien menyadari ini karena merasa sepatunya menjadi sempit dan ada bekas kaus kaki. Bengkak dirasakan semakin besar pada sore hari dan mengecil pada pagi hari. Tidak ada keluhan demam, pasien tidak pernah batuk-batuk lama sebelumnya. Keluhan nyeri dada disangkal. Mual dan muntah disangkal. Nafsu makan pasien menurun semenjak sakit. Pasien merasa berat badannya sedikit turun, namun tidak tahu berapa. Keringat malam tidak ada. Dalam sehari, pasien buang air besar 2-3 kali per hari, lancar. Buang air kecil lancar, namun jumlahnya sedikit sejak 2 hari SMRS. Sebelumnya pasien berobat ke Puskesmas, diberi obat tapi tidak tahu namanya. Saat ini, pasien perawatan hari ke-7 di bangsal. Keluhan sesak sudah tidak ada. Keluhan batuk disangkal. Nafsu makan pasien membaik selama dirawat, sehari makan 3 kali, habis satu porsi. Minum kira-kira 3 gelas aqua per hari (750 ml). Demam dan sakit kepala disangkal. Mual dan muntah di sangkal. Pasien tidak mengalami kesulitan tidur selama dirawat. Bengkak di kedua kaki masih ada, namun sudah berkurang. Riwayat tekanan darah tinggi saat di IGD 200/110 mmHg. Sebelumnya pasien tidak tahu kalau mempunyai hipertensi. Saat di Puskesmas mendapat obat nifedipine. Selama dirawat sudah menjalani HD 2 kali. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat DM, kolesterol tinggi, stroke, sakit paru, sakit maag, serangan jantung sebelumnya disangkal Riwayat minum OAT sebelumnya disangkal Riwayat alergi disangkal Riwayat Penyakit dalam Keluarga Tekanan darah tinggi, DM, kolesterol tinggi, stroke, sakit paru, sakit ginjal, serangan jantung disangkal Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan, dan Kebiasaan Pekerjaan pasien adalah supir. Berobat menggunakan KJS. Pasien memiliki 2 orang anak yang sudah berkeluarga. Istri pasien sudah meninggal. Pasien tinggal sendiri di rumahnya. Selama dirawat, pasien ditemani oleh anak bungsu pasien. Riwayat merokok selama 35 tahun, kira-kira 1 bungkus/hari, riwayat minum alkohol saat masih muda. Pemeriksaan Umum (dilakukan tanggal 15 November 2013) Status generalis Kesadaran : kompos mentis Keadaan umum : tampak sakit sedang Tekanan darah : 130/80 mmHg Nadi : 84 x/menit, regular, kuat, isi cukup Suhu : 36,50 C Pernapasan : 20 x/menit, abdominotorakal Tinggi badan : 160 cm Berat badan : 60 kg IMT : 23,4 kg/m2 Status gizi : overweight Status lokalis Kulit : warna sawo matang, tidak tampak kelainan Kepala : normosefal, tidak ada deformitas Rambut : warna hitam keputihan, tidak mudah dicabut Mata : konjungtiva pucat, sklera ikterik tidak ada Gigi dan mulut : oral hygiene baik, gigi berlubang 1 buah di geraham kanan atas (M2), gigi palsu tidak ada, gigi tambal tidak ada, lidah pecah-pecah, papil tersebar merata Leher Jantung : JVP 5-2 cmH2O, tidak ada pembesaran KGB maupun tiroid o Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat o Palpasi : Iktus kordis teraba pada sela iga 5 linea midklavikularis kiri o Perkusi : Batas jantung kanan di linea sternalis kanan Batas jantung kiri di 1 jari lateral linea midklavikularis kiri Pinggang jantung di sela iga ke-4 linea parasternalis kiri o Auskultasi : bunyi jantung I-II normal, murmur dan gallop tidak ada Paru o Inspeksi : gerakan dada simetris saat statis dinamis, penggunaan otot bantuan nafas tidak ada o Palpasi : ekspansi dada simetris saat statis dan dinamis, fremitus kiri sama dengan kanan o Perkusi : kedua paru sonor o Auskultasi : bunyi napas paru kanan dan kiri vesikular, ronki basah halus di basal paru bilateral, mengi tidak ada Abdomen o Inspeksi : datar o Palpasi : supel, lemas, hati limpa tidak teraba, nyeri tekan tidak ada, ballottement test negatif, nyeri ketok CVA tidak ada o Perkusi : timpani, shifting dullness positif o Auskultasi : bising usus positif dalam batas normal Ekstremitas : akral hangat, terdapat edema pitting pretibia di kedua tungkai, CRT <2 detik Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium darah Saat di No 1 Jenis IGD 11/11/13 9/11/13 13/11/13 14/11/13 17/11/13 10/11/13 Darah rutin Hemoglobin 8,31 g/dL 8,52 7,3 8,4 7,2 Hematokrit 23,9% (L) 24,5% 20,5 23,9 27,1 Jumlah 9.600 /uL 10.210 9.870 8.160 7.180 leukosit (H) 287.000 295.000 285.000 250.000 Jumlah trombosit 253.000/uL Eritrosit 1,21 juta/ul 2 RDW 12,9% MCV 94,1 93 88 88,5 90 MCH 32,7 32 32 31 30 MCHC 34,7 34 35 35 32 125 128 LED 110 135 Diff count 0/3/0/70/21/6 1/2/67/28/2 0/2/67/23/8 0/4/65/18/11 APTT 34,3 (34,0) PT 10,7 (10,8) D-Dimer 1,1 Fibrinogen 585 Elektrolit Na 137 137 K 5,3 3,36 Cl 102 94,9 3 GDS 103 mg/dl 96 4 Albumin 2,89 3,38 5 SGPT 14 12 6 SGOT 10 20 Ureum 7 darah 113 16,5 11,4 179 Kreatinin 8 202 darah 15,08 Analisa Gas 9 Darah pH 7,421 7,26 7,33 pCO2 19,3 29,1 34,5 pO2 60,7 43,2 107 Sat O2 92,2% 72,9% 97,6% HCO3 10 12,7 13,3 15,6 Laktat 1,8 Protein +3 Keton () 11 Darah Urinalisis +2 Leukosit esterase ( Bakteri (-) Pemeriksaan radiografi toraks proyeksi AP (8 November 2013) Kesan: - Kardiomegali dengan edema paru Pemeriksaan radiografi toraks proyeksi AP (9 November 2013) Kesan: - Vaskularisasi di kedua paru berkurang - Tidak terdapat tanda emfisema subkutis Pemeriksaan radiografi toraks proyeksi AP (14 November 2013) Kesan: - Kardiomegali dengan aorta kalsifikasi Pemeriksaan ekokardiografi (15 November 2013) - LVH konsentrik hipokinetik segmental - Fungsi LV dan RV sistolik baik, EF 56% Pemeriksaan elektrokardiografi (15 November 2013) SR; QRS rate 80 x/menit; aksis deviasi ke kiri, P wave normal; QRS kompleks <0,12 s; T inverted (-); ST elevasi (-); LVH (+); RVH (-); BBB (-). Daftar Masalah 1. Acute on CKD 2. CHF Fc II 3. Hipertensi saat ini TD terkontrol, riwayat HT emergency dengan TOD jantung dan ginjal 4. Hipoalbuminemia Rencana diagnosis: - Cek ureum, kreatinin, elektrolit, analisa gas darah, USG abdomen (ginjal) - Cek albumin post-koreksi - Cek profil lipid - Funduskopi Rencana tata laksana: - Oksigen 3 lpm NK - Positioning setengah duduk - Hemodialisis - Diet rendah garam (NaCl <5600 g/hari) - Membatasi jumlah konsumsi air 400-600 ml/hari - Asam folat 1 x 1, vitamin B12 3 x 1, Bicnat 3 x 1, CaCO3 3 x 1 - Furosemid 1 x 40 mg IV - Valsartan 1 x 80 mg PO - Bisoprolol 1 x 2,5 mg PO - Diet protein 1,0 – 1,2 g/kgBB hari (on HD) - Diet putih telur BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Distribusi Cairan Tubuh Cairan menyusun 50-60% dari berat badan orang dewasa. Cairan tubuh terbagi dalam dua kompartemen utama, yaitu intraselular (60% cairan tubuh total, 36% berat badan) dan ekstraselular (40% cairan tubuh total, 24% berat badan). Cairan ekstraselular dibagi lagi menjadi subkompartemen intravaskuler (10% cairan tubuh total, 6% berat badan) dan interstisial (30% cairan tubuh total, 18% berat badan).1 Untuk menjaga keseimbangan cairan dan fungsi sel, terdapat sejumlah kation dan anion dengan komposisi berbeda di tiap kompartemen. Dua kation yang paling utama adalah natrium dan kalium. Natrium merupakan kation utama cairan ekstravakuler, bersama dengan kalium, kalsium, dan magnesium, sedangkan anionnya adalah klorida, bikarbonat, dan albumin. Kation utama dalam cairan intrasel adalah kalium dengan anionnya berupa fosfat.1 Gangguan keseimbangan cairan dapat terjadi antara cairan masuk dan keluar, cairan intraseluler dan ekstraseluler, atau intravaskuler dan interstisial. Imbang cairan dipengaruhi oleh osmolalitas, perbandingan jumlah solut (natrium, kalium, glukosa, urea) dan air. Semakin tinggi osmolalitas, semakin tinggi tekanan onkotik. Cairan akan berpindah dari tekanan onkotik rendah ke tinggi. Urea tidak memengaruhi perpindahan cairan dari intrasel ke ekstrasel dan sebaliknya. Albumin adalah solut yang paling memengaruhi perpindahan cairan dari intravaskuler ke interstisial dan sebaliknya.1 2.2. Edema Definisi Edema adalah peningkatan volume cairan interstisial yang tampak secara klinis. Penumpukan cairan interstisial dapat mencapai beberapa liter sebelum terlihat abnormalitas. Pasien umumnya mengalami kenaikan berat badan yang disusul dengan penurunan dalam jumlah yang sama pascadiuresis.2 Dari penyebab dan mekanismenya, terdapat dua jenis edema, yaitu edema generalisata dan edema lokal. Edema generalisata yang tampak sangat jelas disebut edema anasarka, biasanya terlihat dari pembengkakan wajah, khususnya daerah periorbita. Pada kondisi yang tidak begitu berat, edema dapat jadi baru terdeteksi karena ada keluhan seperti sepatu atau cincin menyempit. Edema lokal dapat terjadi pada peningkatan tekanan vena setempat, misalnya tromboplebitis unilateral.2 Patogenesis Secara garis besar, faktor yang memengaruhi edema adalah hemodinamik kapiler dan retensi natrium di ginjal.1 Hemodinamik kapiler dipengaruhi oleh gaya-gaya Starling dan permeabilitas kapiler. Gaya-gaya Starling meliputi tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik. Pada keadaan normal, gaya-gaya ini memicu perpindahan cairan dari intravaskuler ke interstisial pada arteriol lalu dari interstisial ke intravaskuler pada venula serta ke pembuluh limfe. Aliran ini umumnya berada dalam kondisi seimbang sehingga jumlah cairan di masing-masing kompartemen konstan, walaupun terjadi perpindahan setiap saat. Jika terjadi perubahan tekanan hidrostatik atau tekanan onkotik, keseimbangan ini akan terganggu. Salah satu akibat yang dapat terjadi adalah perpindahan cairan dari intravaskuler ke interstisial atau rongga tubuh, yaitu edema, asites, atau hidrotoraks.2 Peningkatan permeabilitas kapiler menjadi faktor berikutnya yang memengaruhi hemodinamik kapiler. Peningkatan ini dapat terjadi akibat obat, infeksi virus atau jamur, trauma mekanis atau kimiawi, atau reaksi hipersensitivitas. Edema yang berkaitan dengan inflamasi biasanya bersifat nonpitting, lokal, dan diiringi tanda inflamasi lain seperti eritema, nyeri, dan panas.2 Retensi natrium di ginjal diperantarai sejumlah mekanisme, di antaranya aktivitas reninangiotensin-aldosteron system (RAAS), aktivitas natriuretic peptides (NP), aktivitas saraf simpatis, serta osmoreseptor di hipotalamus.1 Dalam banyak kasus, mekanisme tersebut diawali oleh penurunan volume arterial efektif yang dikompensasi dengan retensi garam oleh ginjal. Pertama, penurunan volume ini direspons oleh sel jukstaglomerular (mioepitel khusus di sekitar arteriol aferen) dengan pelepasan renin yang mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I lalu angiotensin II yang memiliki efek vasokonstriksi, terutama pada arteriol eferen renal. Mekanisme ini meningkatkan tekanan hidrostatik dan menurunkan tekanan onkotik melalui peningkatan fraksi filtrasi. Efeknya, terjadi peningkatan absorpsi air dan garam pada tubulus proksimal dan bagian asendens dari lengkung Henle.2 Gambar 1. Mekanisme penurunan volume arterial efektif oleh A) penurunan cardiac output dan B) vasodilatasi sistemik Selain berperan secara sistemik, RAAS juga berperan lokal dalam vasokonstriksi arteriol aferen renal yang merangsang tubulus untuk reabsorpsi garam dan air. Mekanisme ini dikenal sebagai umpan balik tubuloglomerular.2 Selanjutnya, pengaktifan aldosteron di zona glomerulosa korteks adrenal juga meningkatkan reabsorpsi natrium dan ekskresi kalium di duktus koligentes. Pada beberapa kondisi, seperti gagal jantung kongestif, selain peningkatan sekresi aldosteron terdapat pula hambatan pada katabolismenya di hati. Akibatnya, waktu paruh aldosteron juga meningkat.2 Selain RAAS, faktor lain yang memengaruhi reabsorpsi air dan garam di ginjal adalah NP. Terdapat 3 jenis NP, yaitu atrial natriuretic peptide (ANP) yang disimpan dalam miosit atrium, brain natriuretic peptide (BNP) yang disimpan dalam miosit ventrikel, dan C-type natriuretic peptide (CNP) yang dilepaskan oleh endotel dan ginjal. ANP dan BNP bekerja pada reseptor-A NP di miokardium, sedangkan CNP bekerja pada reseptor-B NP di vena. Sekresi NP memiliki efek meningkatkan ekskresi air dan garam dengan menaikkan laju filtrasi glomerular, menghambat reabsorpsi natrium di tubulus proksimal, menghambat sekresi renin dan aldosteron. Selain itu, NP juga memiliki efek antagonis terhadap kerja renin, angiotensin II, dan arginin vasopressin (AVP) sehingga menyebabkan vasodilatasi. Pada gagal jantung kongestif dan sirosis dengan asites, terjadi peningkatan ANP dan BNP, tetapi agaknya tidak cukup untuk mencegah edema. Pada kondisi edema juga terjadi peningkatan resistansi terhadap kerja NP.2 AVP merupakan substansi yang dilepaskan ketika terjadi peningkatan konsentrasi osmolar intrasel. AVP meningkatkan reabsorpsi air bebas di tubulus distal dan duktus koligentes sehingga meningkatkan total air dalam tubuh. Substansi ini banyak ditemukan meningkat pada pasien gagal jantung oleh penyebab nonosmotik.2 Di tingkat pembuluh darah, sel endotel juga melepaskan zat vasokonstriktor, yaitu endotelin. Pada gagal jantung, konsentrasi endotelin meningkat dan berperan serta dalam vasokonstriksi renal, retensi natrium, dan edema.2 Etiologi Edema dapat timbul dari bermacam-macam etiologi, seperti gagal jantung kongestif, hipoalbuminemia oleh sindrom nefrotik maupun sebab lain, sirosis hati, gagal ginjal, penggunaan obat, maupun obstruksi drainase vena atau limfatik. Sebab-sebab edema generalisata tersering dirangkum dalam Tabel 1. Tabel 1. Penyebab-Penyebab Tersering Edema Generalisata 2.3 Penyakit Ginjal Kronik Definisi3,4 Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal, di mana telah terjadi penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, baik dialisis, maupun transplantasi ginjal. Etiologi3 Etiologi penyakit ginjal kronik bervariasi di tiap Negara. Data dari Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000, penyebab gagal ginjal di Indonesia adalah: Tabel 2. Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia Penyebab Insiden Glomerulonefritis 46,39% Diabetes Melitus 18,65% Obstruksi dan infeksi 12,85% Hipertensi 8,46% Sebab lain 13,65% Patofisiologi3,4 Ada dua mekanisme yang berperan dalam PGK, (1) mekanisme spesifik terkait etiologi yang mendasari (contoh: kelainan ginjal genetic, deposisi kompleks imun, glomerulonefritis), (2) mekanisme progresif terkait hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron yang masih tersisa, sebagai kompensasi dari pengurangan masa ginjal. Respon terhadap reduksi nefron ini dimediasi oleh hormone vasoaktif, sitokin, dan growth factors, sehingga menyebabkan terjadinya hiperfiltrasi, diikuti tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus yang meningkat. Proses adaptasi ini akan diikuti oleh maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Pada akhirnya menyebabkan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif. Selain itu, juga terjadi peningkatan aktivitas rennin-angiotensin-aldosteron intrarenal diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β (TGF-β). Kondisi albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia juga berperan dalam progesifitas penyakit ginjal kronik. Gambar 2. Glomerulus normal dan yang mengalami hiperfiltrasi Stadium dini penyakit ginjal kronik adalah terjadinya kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih normal atau meningkat. Kemudian akan diiikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif yang ditandai dengan kadar kreatinin serum dan urea yang meningkat. LFG yang menurun sampai 60% atau pada stadium 1 dan 2, pasien masih asimptomatik, tetapi ureum dan kreatinin sudah meningkat. Sampai pada LFG kurang dari 30%, mulai muncul gejala dan tanda uremia seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolism fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah, dan lain sebagainya. Risiko terkena infeksi saluran kemih, saluran napas, dan saluran cerna juga meningkat. Selain itu, akan terjadi gangguan keseimbangan elektrolit seperti natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan sudah memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis atau transplantasi ginjal. Pada kondisi ini disebut sebagai tahap gagal ginjal. Sindrom uremia merupakaan kondisi dimana toksin di dalam tubuh terakumulasi di ginjal, berupa senyawa hidrofobik, water-soluble, protein-bound, dan ikatan lainnya. Terdapat juga produk nitrogen seperti ikatan guanidine, asam urat, produk metabolisme asam nukleat, poliamin, mioinositol, fenol, benzoate, dan indol. Banyak hormone seperti PTH, FGF-23, insulin, glucagon, dan steroid yang mengalami perubahan sejalan dengan gagal ginjal akibat retensi urin, penurunan degradasi, serta regulasi yang abnormal. Patofisiologi sindrom uremia dapat dibagi menjadi (1) sebagai kompensasi dari akumulasi toksin yang normalnya diekskresi oleh ginjal, (2) kompensasi dari hilangnya fungsi ginjal seperti regulasi hormone dan homeostasis elektrolit, dan (3) inflamasi sistemik yang progresif dan kompensasi vaskuler. Diagnosis3,4 Tabel 3. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik 1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan structural atau fungsional, dengan atau tanp penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi: - Kelainan patologis - Terdapat kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests) 2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 seama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal Identifikasi Faktor Risiko dan Klasifikasi4 Faktor risiko mencakup hipertensi, diabetes mellitus, penyakit autoimun, usia tua, riwayat keluarga sakit ginjal, episode gagal ginjal akut, proteinuria, sedimen urin abnormal, struktur abnormal dari traktur urinarius. Sebuah studi menunjukkan bahwa gen APOLI berkaitan dengan frekuensi yang tinggi dari etiologi penyakit ginjal kronik. Untuk menentukan stadium penyakit ini, perlu untuk menghitung laju filtrasi glomerulus (LFG) pada pasien. Rumus untuk menentukan nilai GFR: Gambar 3. Cara menentukan nilai GFR Berdasarkan guideline dari National Kidney Foundation (Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative KDOQI), klasifikasi penyakit ginjal kronik dibagi berdasarkan nilai LFG nya. Tabel 4. Klasifikasi Penyakit Ginjal kronik Stage LFG, ml/min per 1,73 m2 0 >90a 1 ≥90b 2 60-89 3 30-59 4 15-29 5 <15 a : dengan faktor risiko penyakit ginjal kronik b : dengan tanda kerusakan ginjal (proteinuria persisten, sedimen urin abnormal, nilai abnormal pada darah dan urin, gambaran radiologi abnormal Edema pada Penyakit Ginjal Kronik Pada penyakit ginjal kronik, terjadi edema akibat retensi primer dari NaCl dan air. Berbeda dengan penyakit jantung kongestif, cardiac output dan perbedaan kandungan oksigen dalam arteri dan vena campur normal. Dapat terjadi hipertensi arterial dan edema paru tanpa disertai kardiomegali. Tata laksana3,4 Tabel 5. Stadium penyakit ginjal kronik berdasarkan nilai GFR Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya Sebelum terjadi penurunan LFG, sebaiknya dilakukan terapi terhadap penyakit yang mendasari. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara USG, biopsi, dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi tepat terhadap terapi spesifik. Terapi ini tidak banyak bermanfaat pada LFG yang menurun 20-30% dari normal. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid Perlu dilakukan pemantauan kecepatan penurunan LFG untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor komorbid antara lain hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya. Menghambat perburukan fungsi ginjal Faktor utama yang menyebabkan perburukan fungsi ginjal adalah hiperfiltrasi glomerulus. Cara menguranginya dengan membatasi asupan protein. Pembatasan ini mulai dilakukan pada LFG ≤ 60 ml/menit. Protein diberikan 0,6-0,8 g/kg BB/hari. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Pembatasan asupan protein akan mengurangi sindrom uremia, berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat karena protein dan fosfat berasal dari sumber yang sama. Terapi farmakologis Pemberian obat antihipertensi, terbukti dapat memperlambat perburukan fungsi ginjal. Obat yang dapat diberikan ialah golongan ACE-inhibitor dan ARB. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler penting, dengan pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi Beberapa komplikasi yang dapat terjadi: Anemia Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin ≤ 10% atau hematokrit ≤30%. Perlu dilakukan juga evaluasi terhadap status besi (kadar besi, TIBC, feritin), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis.Tatalaksana sesuai dengan penyebab utamanya. Pemberian eritropoitin merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian transfusi dilakukan dengan indikasi yang tepat agar tidak menyebabkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl. Mengatasi hiperfosfatemia Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pemberian pengikat fosfat juga dapat diberikan, seperti pemberian garam kalsium, alumunium hidroksida, dan garam magnesium. Yang sering dipakai adalah CaCO3 dan kalsium asetat. Pembatasan cairan dan elektrolit Air yang masuk harus seimbang dengan yang keluar tubuh. Karena insensible water loss senilai 500-800 ml/hari, maka air yang dianjurkan masuk sekitar jumlah urin ditambah 500-800 ml. Pembatasan kalium juga dilakukan untuk mencegah aritmia jantung sehingga pemberian obat-obat tinggi kalium dan makanan harus dibatasi. Kadar yang dianjurkan 3,5-5,5mEq/lt. Pembatasan natrium diperlukan untuk mengendalikan hipertensi dan edem. Terapi pengganti ginjal Dilakukan pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis, atau transplantasi ginjal. 2.4 Congestive Heart Failure Definisi Gagal jantung didefinisikan sebagai abnormalitas struktur atau fungsi jantung yang menyebabkan tidak sampainya oksigen ke jaringan pada laju yang memenuhi kebutuhan metabolisme sel, meskipun tekanan pengisian normal (atau oksigen hanya dapat sampai dengan peningkatan tekanan pengisian).5 Dalam pembahasan kerja jantung dikenal istilah fraksi ejeksi (EF), yaitu stroke volume dibagi end-systolic volume. EF dianggap normal jika bernilai di atas 50%. Nilai EF menggambarkan prognosis CHF sekaligus menjadi dasar penggolongan subjek dalam berbagai penelitian. Dalam CHF dikenal istilah reduced EF (REF, HF sistolik, EF <35%) dan preserved EF (PEF, HF diastolik, EF 35-50%).5 Patofisiologi Pada HF sistolik, terjadi maladaptasi pada miosit dan matriks ekstraseluler yang menyebabkan perubahan struktur ventrikel, diawali dengan hipertrofi dan dapat berlanjut menjadi dilatasi. Perubahan struktur ini dimaksudkan untuk meningkatkan EF melalui peningkatan kontraktilitas, tetapi seiring dengan remodeling yang terus berjalan, kontraktilitas justru menurun dan memperburuk penurunan EF.5 Terdapat 2 mekanisme yang berperan, yaitu kematian miosit lebih lanjut (misalnya infark miokardium rekurens) dan respons sistemik terhadap penurunan EF, terutama aktivasi sistem neurohumoral RAAS dan persarafan simpatis. Respons sistemik tersebut tidak hanya berefek buruk pada miokardium, tetapi juga pada pembuluh darah, ginjal, hepar, paru, sumsum tulang, dan otot, menciptakan vicious cycle yang mendasari berbagai gejala dan tanda pada CHF.5 Edema pada CHF Pada gagal jantung kongestif, terjadi peningkatan sekresi aldosteron dan hambatan pada katabolismenya di hati. Terjadi pula peningkatan ANP dan BNP, tetapi agaknya tidak cukup untuk mencegah edema. Substansi ini banyak ditemukan meningkat pada pasien gagal jantung oleh penyebab nonosmotik. Konsentrasi endotelin juga meningkat dan berperan serta dalam vasokonstriksi renal, retensi natrium, dan edema.2 Diagnosis Secara ringkas, menurut European Society of Cardiology pada 2012, diagnosis CHF dimulai dari adanya gejala tipikal (kelelahan, sesak, pembengkakan tungkai) dan tanda tipikal (peningkatan tekanan vena jugularis/JVP, pergeseran apeks, ronki). Meski banyak tanda dan gejala yang mengarahkan pada kecurigaan CHF, tidak banyak yang bersifat spesifik. Gejala spesifik seperti ortopnea dan paroxysmal nocturnal dyspneu (PND) justru tidak begitu umum dijumpai. Begitupun tanda khas seperti peningkatan JVP dan pergeseran apeks sulit dideteksi. Riwayat penyakit yang mendasari gangguan jantung, seperti riwayat infark miokardium sebelumnya, juga perlu diperhatikan.5 Tabel 6 . Tanda dan Gejala CHF Jika didapati tanda dan gejala yang mengarahkan pada kecurigaan CHF, dapat diikuti langkah diagnostik yang digagas dalam ESC 2012 berikut ini. Setelah diagnosis ditegakkan, penting untuk mencari tahu etiologi, khususnya etiologi yang bisa dikendalikan. Selain itu, dilakukan penggolongan berdasarkan derajat beratnya penyakit, dinyatakan dalam kelas fungsional New York Heart Association (NYHA) sebagai berikut.5 Tabel 7. Kelas Fungsional NYHA Terapi Terapi yang dianjurkan untuk HF sistolik meliputi ACEI atau ARB, beta-bloker, dan MRA, di samping diuretik untuk mengurangi gejala. Tujuan terapi adalah menurunkan mortalitas, mencegah progresivitas penyakit, memperlambat perubahan struktur LV, dan meredakan gejala.5 2.5 Hipertensi6 Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah yang dapat menimbulkan komplikasi jangka panjang. Berikut merupakan pembagian kategori hipertensi menurut JNC 7. Tabel 8. Klasifikasi hipertensi Pada stadium prehipertensi, direkomendasikan dilakukan modifikasi gaya hidup. Pada hipertensi stadium 1, modifikasi gaya hidup dikombinasikan dengan terapi (umumnya diuretik tiazid). Pada hipertensi stadium 2, modifikasi gaya hidup disertai terapi inisial yang lebih agresif, seperti kombinasi diuretik tiazid dengan ACE inhibitor, ARB, CCB, ataupun b-bloker. Tatalaksana Modifikasi gaya hidup - Pengurangan berat badan. Tekanan darah sistolik dapat diturunkan 5-10 mmHg setiap pengurangan 10 kg berat badan. - Diet. Menekankan pada buah, sayur, dan produk susu rendah lemak, serta mengurangi konsumsi lemak jenuh. Diet ini dihubungkan dengan pengurangan 8-14 mmHg tekanan darah sistolik. - Pengaturan asupan garam. Asupan garam dibatasi menjadi 2000 mg perhari, yang dapat menurunkan tekanan darah sistolik sebesar 5-10 mmHg. Medikasi, seperti ACE inhibitor dan ARB tidak akan efektif bila asupan gram masih tinggi. - Aktivitas fisik. Aktivitas aerobik yang regular, minimal 30 menit per hari, selama beberapa kali seminggu, dapat menurunkan tekanan darah sistolik hingga 9 mmHg. - Konsumsi alkohol. Pembatasan alkohol di bawah 2 porsi per hari untuk laki-laki dan di bawah 1 porsi untuk perempuan. Terapi farmakologi Tabel 9. Rekomendasi obat antihipertensi berdasarkan indikasi Ketika modifikasi gaya hidup gagal mencegah atau mengurangi hipertensi, dibutuhkan obat tunggal ataupun kombinasi. Sebanyak dua per tiga pasien tidak mencapai tekanan darah optimal dnegan monoterapi diuretik, dimana sebagian besar pasien membutuhkan dua hingga empat jenis obat. - Diuretik tiazid. Efek samping berupa hipokalemia, hiperurisemia, hiperkalsemia, IGT, dan disfungsi ereksi. - Loop diuretik. Dapat digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR < 3050 ml/menit/m2), gagal jantung kongestif, dan hipertensi resisten. - Diuretik hemat kalium/aldosteron reseptor bloker. Sprinolakton dan eplerenone memblok aktivitas aldosteron di jantung, ginjal, dan pembuluh darah. Efek samping berupa hiperkalemia dan ginekomastia pada spironolakton. - ACE inhibitor/ARB. Efek samping yang ditimbulkan ACE inhibitor berupa angioedema, batuk (15%), gagal ginjal akut, hiperkalemia, anemia, kolestasis, neutropenia. Efek samping ARB berupa angioedema (1/100 dari efek ACE inhibitor), hiperkalemia, dan gagal ginjal akut. Kedua obat ini kontraindikasi pada kehamilan. - Beta bloker. Obat ini dapat dijadikan terapi tambahan pada pemberikan diuretik tiazid atau terapi pada pasien dengan kontraindikasi obat lain. - Penghambat kanal kalsium. Terdapat dua tipe, yaitu dihidropiridin (amlodipin, nifedipin) dan nondihidropiridin (verapamil, diltiazem). Golongan dihidropiridin bekerja melalui relaksasi otot polos pada arteri. Efek samping yang sering adalah edema perifer oleh karena dilatasi arteri. Untuk mengimbangi efek ini, pasien memerlukan venodilator berupa ACE inhibitor/ARB atau nitrat dengan masa kerja panjang (isosorbid dinitrat). Golongan nondihidropiridin menurunkan tekanan darah melalui vasodilatasi dan penurunan kontraktilitas miokard, dimana obat ini berguna pada pasien dengan aritmia, seperti takikardia supraventrikular dan fibrilasi atrial. Efek samping golongan ini berupa bradikardia (terutama bila diberikan bersamaan dengan beta bloker), konstipasi, dan edema. Indikasi lain untuk CCB adalah risiko kardiovaskular dan usia lanjut. - Alfa bloker. Menurunkan tekanan darah melalui hambatan reseptor alfa pada otot polos arteri. Penyakit Jantung Hipertensi7 Penyebab penyakit jantung hipertensi adalah peningkatan tekanan darah kronik.Tekanan darah yang tidak terkontrol dan berlangsung lama dapat menyebabkan perubahan pada struktur miokardium, vaskulatur koroner, dan sistem konduksi jantung.Perubahan ini menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri (LVH), penyakit arteri koroner (CAD), gangguan konduksi, disfungsi sistolik dan diastolik dari miokardium, komplikasi yang bermanifestasi sebagai angina atau infark miokard, aritmia (khususnya fibrilasi atrial), dan gagal jantung kongestif. Kondisi yang perlu dipertimbangkan saat evaluasi, antara lain aterosklerosis arteri koroner, kardiomiopati hipertrofi, athlete’s heart dengan hipertrofi ventrikel kiri, gagal jantung kongestif karena sebab lain, fibrilasi atrial karena sebab lain, disfungsi diastolik karena sebab lain, dan sleep apnea. BAB III PEMBAHASAN 3.1. Pendekatan pada Pasien Edema Laki-laki berusia 55 tahun tahun datang dengan keluhan sesak sejak sebulan yang memberat dalam seminggu terakhir disertai kedua kaki bengkak. Ketika menemukan kasus dengan edema tungkai bilateral, pikirkan terlebih dahulu penyebab sistemik tersering, yakni kardiak, hepatik, dan renal. Selanjutnya, dari anamnesis, didapati dyspneu on effort, ortopneu, dan paroxysmal nocturnal dyspneu sejak 1 bulan. Jumlah urine berkurang sejak 2 hari. Terdapat riwayat merokok. Tidak ada keluhan demam, nyeri dada, mual dan muntah. Dari pemeriksaan fisik, didapati tekanan darah 130/80 mmHg dengan riwayat tekanan darah tertinggi 200/110 mmHg, status gizi overweight, konjungtiva anemis, JVP 5-2 cmH2O, pergeseran apeks ke lateral, ronki basah halus pada basal kedua paru, shifting dullness positif, dan pitting edema pada pretibia kanan dan kiri. Tidak ada ikterus, spider nevi, palmar eritema, ginekomastia, caput medusa, maupun hepatomegali atau splenomegali. Dari hasil laboratorium, didapati anemia, leukositosis dengan netrofilia, peningkatan ureum dan kreatinin, hipoalbuminemia, riwayat asidosis metabolik. Dari urinalisis, tampak proteinuria 3+ dan darah 2+. EKG menunjukkan deviasi aksis ke kiri. Dari foto toraks, terlihat kardiomegali dengan peningkatan vaskularisasi paru. Pemeriksaan ekokardiografi menunjukkan LVH konsentrik hipokinetik segmental dan EF 56%. Dari data tersebut, penyebab edema pada pasien yang paling mungkin adalah CHF dengan kemungkinan berikutnya dari insufisiensi renal. CHF lebih dipikirkan karena onset gejala khas CHF muncul mendahului manifestasi edema. Untuk insufisiensi renal, terlihat bahwa penurunan volume urine baru terjadi 2 hari, sedangkan gejala seperti mual dan muntah tidak ada. 3.2. Acute on CKD Atas dasar: Riwayat HT emergency saat di IGD dengan TD 200/110 mmHg. BAK sedikit sejak 2 hari SMRS, nafsu makan menurun. Pada pemeriksaan laboratorium saat di IGD (8/11/13) didapatkan nilai Ur 179, Cr 15,08, (13/11/13) Ur 202, Cr 16,5. Nilai eGFR pasien < 15 ml/menit/1,73 m2. Indikasi HD pada pasien ini ialah kondisi asidosis metabolik berdasarkan hasil pemeriksaan lab AGD (9/11/13) dengan pH 7,26, pCO2 29,1, pO2 43,2, Sat O2 72,9%, dan HCO3 13,3, pada urin terdapat protein +3. Selain itu juga, nilai ureum > 200, serta tanda-tanda overload dari shifting dullness positif dan edema pretibia. Temuan kardiomegali dan konjungtiva pucat pada pasien menguatkan adanya tanda-tanda penyakit ginjal kronik pada pasien. Dari foto toraks, ditemukan kardiomegali. Dipikirkan acute on CKD dengan diagnosis banding AKI yang dicetuskan oleh hipertensi saat masuk di rumah sakit. Rencana diagnosis : - Cek ureum, kreatinin, elektrolit, analisa gas darah, USG abdomen (ginjal) Rencana tatalaksana: Non farmakologis: - Hemodialisis - Diet protein 1,0 g/kgBB/hari Farmakologis: - Asam folat 1x1, vitamin B12 3x1, Bicnat 3x1, CaCO3 3x1 - Furosemide 1x40 mg IV Rencana edukasi: - Membatasi jumlah konsumsi air 400-600 ml/hari 3.3. CHF-PEF fc. II dengan riwayat edema paru Atas dasar: gejala tipikal (sesak, kaki bengkak, mudah lelah), tanda tipikal (ronki basah halus, pergeseran apeks), Sesak timbul saat naik tangga atau berjalan >100 meter. Terdapat faktor risiko kardiovaskular lain yaitu hipertensi, overweight, dan riwayat merokok. Foto toraks menunjukkan kardiomegali dengan peningkatan vaskularisasi paru. EKG menunjukkan LAD, sedangkan hasil ekokardiografi memperlihatkan remodeling jantung dengan EF 56%. Dipikirkan CHF-PEF fc. II dengan riwayat edema paru yang dicetuskan oleh hipertensi saat masuk rumah sakit. Rencana diagnostik: tidak ada Rencana terapi: - Positioning setengah duduk - Diet rendah garam (NaCl <5600 g/hari) - Oksigen 3 lpm NK - Furosemid 1 x 40 mg IV - Valsartan 1 x 80 mg PO - Bisoprolol 1 x 2,5 mg PO Rencana edukasi: - Diet, aktivitas fisik, dan penurunan berat badan - Kendali tekanan darah - Berhenti merokok 3.4 Hipertensi saat ini TD terkontrol dengan riwayat HT emergency dengan TOD jantung dan ginjal Atas dasar: Pasien dikatakan memiliki HT saat di IGD, dengan TD 200/110 mmHg. Saat pemeriksaan TD 130/80 mmHg. Pemeriksaan fisik jantung didapatkan adanya pelebaran batas jantung kiri di 1 jari lateral linea midklavikularis kiri. Foto toraks menunjukkan adanya kardiomegali. EKG menunjukkan LVH dan LAD. Dipikirkan hipertensi pada pasien merupakan hipertensi esensial yang disertai dengan hypertensive heart disease. Rencana diagnostik: funduskopi, profil lipid Rencana terapi: - Diet rendah garam (NaCl <5600 g/hari) - Furosemid 1 x 40 mg IV - Valsartan 1 x 80 mg PO Rencana edukasi: - Diet, aktivitas fisik, dan penurunan berat badan - Kendali tekanan darah - Berhenti merokok 3.5 Hipoalbuminemia Atas dasar: Kadar albumin serum 2,89 g/dl. Dari pemeriksaan fisik, didapatkan edema pretibia dan shifting dullness positif. SGOT SGPT dalam batas normal, menunjukkan tidak ada masalah dalam produksi albumin. Dipikirkan hipoalbumin pada pasien terjadi akibat protein loss melalui ginjal dan intake yang kurang. Rencana diagnosis: - cek albumin post koreksi Rencana terapi: Nonfarmakologis: - diet protein 1,0 g/kgBB/hari (on HD) - diet putih telur Farmakologis: Rencana edukasi: - edukasi kondisi saat ini dan kepatuhan diet KESIMPULAN Laki-laki 55 tahun datang dengan keluhan sesak sejak 1 bulan yang memberat sejak 1 minggu disertai bengkak pada kedua kaki. Pada pemeriksaan fisik ditemukan didapati tekanan darah 130/80 mmHg dengan riwayat tekanan darah tertinggi 200/110 mmHg, status gizi overweight, konjungtiva anemis, JVP 5-2 cmH2O, pergeseran apeks ke lateral, ronki basah halus pada basal kedua paru, shifting dullness positif, dan pitting edema pada pretibia kanan dan kiri. Pada pemeriksaan laboratorium didapati Ur 202, Cr 16,5 (Nilai eGFR pasien < 15 ml/menit/1,73 m 2), pH 7,26, pCO2 29,1, pO2 43,2, Sat O2 72,9%, dan HCO3 13,3, pada urine terdapat protein +3. Pada foto toraks didapati gambaran kardiomegali dan edema paru. Pada EKG ditemukan LAD dan gambaran LVH. Pada ekokardiografi didapati LVH konsentrik hipokinetik segmental dan EF 56%. Dipikirkan daftar masalah pada pasien meliputi acute on CKD on HD, CHF-PEF fc. II dengan riwayat edema paru, hipertensi dengan TD saat ini terkontrol dengan riwayat HT emergensi TOD jantung dan ginjal, hipoalbuminemia. Direncanakan pemeriksaan USG ginjal, cek ureum, kreatinin, elektrolit, analisa gas darah, USG abdomen (ginjal), cek albumin postkoreksi, cek profil lipid, funduskopi. Diberikan terapi berupa oksigen 3 lpm NK, positioning setengah duduk, hemodialisis, diet rendah garam (NaCl <5600 g/hari), diet protein 1,0 – 1,2 g/kgBB hari (on HD) dan diet putih telur, membatasi jumlah konsumsi air 400-600 ml/hari, asam folat 1 x 1, vitamin B12 3 x 1, Bicnat 3 x 1, CaCO3 3 x 1, furosemid 1 x 40 mg IV, valsartan 1 x 80 mg PO, bisoprolol 1 x 2,5 mg PO. Prognosis Ad vitam : bonam Ad functionam : dubia ad malam Ad sanactionam: dubia ad bonam DAFTAR PUSTAKA 1. Siregar P. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Dalam: Sudoyo AW, Alwi I, Setiyohadi B, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi 4. Jakarta: InternaPublishing; 2010. h.134-42. 2. Braunwald E, Loscalzo J. Edema. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors. Harrison’s Manual of Medicine. 17th ed. NY: McGrawHill; 2008. p.290-5. 3. Suwitra K. Gagal Ginjal Kronik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi IV. Jakarta: Interna Publishing; 2006. p. 581-4. 4. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Chronic Renal Disease. Harrison’s Manual of Medicine. 17th ed. NY: McGrawHill; 2008. p.2308-26. 5. European Society of Cardiology. ESC guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012. European Heart Journal. 2012;33:1787-847. 6. Martin J. Hypertension Guidelines: Revisiting the JNC 7 Recommendations. PA: The Journal of Lancaster General Hospital; 2008. 7. Riaz K, et al. Hypertensive Heart Disease. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/162449-overview, 14 November 2013, pukul 19.46.