1 PENGELOLAAN AGROEKOSISTEM LAHAN KERING (MK. MANAJEMEN AGROEKOSISTEM.smno.jursntnh.fpub.2013) Erosi, kekurangan air dan kahat unsur hara adalah masalah yg paling serius di daerah pertanian lahan kering. Paket teknologi untuk mananggulangi masalah tersebut juga sudah banyak, akan tetapi kurang optimal dimanfaatkan karena tidak begitu signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan petani daerah lahan kering. Memang perlu kesabaran dalam pengelolaan daerah lahan kering, karena meningkatkan produktivitas lahan di daerah lahan kering yang kondisi lahannya sebagian besar kritis dan potensial kritis tidaklah mudah. Konservasi tanah dan air merupakan cara konvensional yang cukup mampu menanggulangi masalah diatas. Dengan menerapkan sistem konservasi tanah dan air diharapkan bisa menanggulangi erosi, menyediakan air dan meningkatkan kandungan hara dalam tanah serta menjadikan lahan tidak kritis lagi. Ada 3 metode dalam dalam melakukan konservasi tanah dan air yaitu metode fisik dengan pegolahan tanahnya, metode vegetatif dengan memanfaatkan vegetasi dan tanaman untuk mengurangi erosi dan penyediaan air serta metode kimia yaitu memanfaatkan bahan kimia untuk konservasi tanah. Sebenarnya defenisi tentang pertanian lahan kering masih belum disepakati benar. Kita hanya bisa mengacu kepada usulan-usulan dan kebiasaan - kebiasaan yang dianut. Perhatikan beberapa referensi berikut ini: Dryland farming is an agricultural technique for cultivating land which receives little rainfall. Dryland farming is used in the Great Plains, the Palouse plateau of Eastern Washington regions of North America, the Middle East and in other grain growing regions such as the steppes of Eurasia and Argentina. Dryland farming was introduced to the southern Russian Empire by Russian Mennonites under the influence of Johann Cornies, making the region the breadbasket of Russia. Winter wheat is the typical crop although skilled dryland farmers sometimes grow corn, beans or even watermelons. Successful dryland farming is possible with as little as 15 inches (380 mm) of precipitation a year, but much more successful with 20 inches (510 mm) or more. It is also known that Native American tribes in the arid SouthWest subsisted for hundreds of years on dryland farming in areas with less than 10 inches (250 mm) of rain. Berdasarkan uraian di atas, pengertian pertanian lahan kering tampaknya dibangun berdasarkan sejarah atau kebiasaan, yaitu sistem pertanian yang ada di daerah dengan curah hujan tahunan berkisar antara 250 mm (di USA) sampai 510 mm di Russia. Akan tetapi coba perhatikan defensi berikut ini: Lahan kering umumnya terdapat didataran tinggi (daerah pegunungan) yang ditandai dengan topografinya yang bergelombang dan merupakan daerah penerima dan peresap air hujan yang kemudian dialirkan kedataran rendah, baik melalui permukaan tanah (sungai) maupun melalui jaringan bumi air tanah. Jadi lahan kering didefinisikan sebagai dataran tinggi yang lahan 2 pertaniannya lebih banyak menggantungkan diri pada curah hujan. Lahan kering diterjemahkan dari kata “upland” yang menunjukkan kepada gambaran “daerah atas”. Hingga saat ini takrif pengertian lahan kering di Indonesia belum disepakati benar. Di dalam bahasa Inggris banyak istilah-istilah yng dipadankan dengan lahan kering seperti upland, dryland dan unirrigated land, yang menyiratkan penggunan pertanian tadah hujan. Istilah upland farming, dryland farming dan rainfed farming dua istilah terakhir yang digunakan untuk pertanian di daerah bercurah hujan terbatas. Penertian upland mengandung arti lahan atasan yang merupakan lawan kata bawahan (lowland) yang terkait dengan kondisi drainase. Sedangkan istilah unirrigated land biasanya digunakan untuk teknik pertanian yang tidak memiliki fasilitas irigasi. Namun pengertian lahan tidak beririgasi tidak memisahkan pengusahaan lahan dengan system sawah tadah hujan. Untuk menghilangkan kerancuan pengertian lahan kering dengan istilah pertanian lahan kering, Tejoyuwono (1989, dalam Suwardji (2003) menyarankan beberapa pengertian sebagai berikut: untuk kawasan atau daerah yang memiliki jumlah evaporasi potensial melebihi jumlah curah hujan actual atau daerah yang jumlah curah hujannya tidak mencukupi untuk usaha pertanian tanpa irigasi disebut dengan “Daerah Kering”. untuk lahan dengan draenase alamiah lancar dan bukan merupakan daerah dataran banjir, rawa, lahan dengan air tanah dangkal, atau lahan basah alamiah lain istilahnya lahan atasan atau Upland. untuk lahan pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan, istilahnya lahan kering. Kesepakatan pengertian lahan kering dalam seminar nasional pengembangan wilayah lahan kering ke 3 di Lampung : (upland dan rainfed) adalah hamparan lahan yang didayagunakan tanpa penggenangan air, baik secara permanen maupun musiman dengan sumber air berupa hujan atau air irigasi. Definisi yang diberikan oleh soil Survey Staffs (1998), lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air selama periode sebagian besar waktu dalam setahun. Tipologi lahan ini dapat dijumpai dari dataran rendah (0-700 m dpl) hingga dataran tinggi (> 700m dpl). Dari pengertian diatas, maka jenis penggunaan lahan yang termasuk dalam kelompok lahan kering mencakup: lahan tadah hujan, tegalan, lading, kebun campuran, perkebunan, hutan, semak, padang rumput, dan padang alang-alang. Lahan kering mempunyai potensi yang cukup luas untuk dikembangkan, dengan luas yang mencapai 52,5 juta ha (Haryati, 2002) untuk seluruh indonesia maka pengembangan sangat perlu dilakukan. Menurut Simposium Nasional tentang Lahan Kering di Malang (1991) penggunaan lahan untuk lahan kering berturut adalah sebagai berikut: hutan rakyat, perkebunan, tegalan, tanah yang sedang tidak diusahakan, ladang dan padang rumput. Sumberdaya Lahan Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena diperlukan dalam setiap kegiatan manusia, seperti untuk pertanian, daerah industri, daerah pemukiman, jalan untuk transportasi, daerah rekreasi atau daerah-daerah yang dipelihara kondisi alamnya untuk tujuan ilmiah. Sitorus (2001) mendefinsikan sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Oleh karena itu sumberdaya lahan dapat dikatakan sebagai ekosistem karena adanya hubungan yang dinamis antara organisme yang ada di atas lahan tersebut dengan lingkungannya. Dalam rangka memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia yang terus berkembang dan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi, pengelolaan sumberdaya lahan seringkali kurang bijaksana dan tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutannya (untuk jangka pendek) sehingga kelestariannya semakin terancam. Akibatnya, sumberdaya lahan yang berkualitas tinggi menjadi berkurang dan manusia semakin bergantung pada sumberdaya lahan yang bersifat marginal 3 (kualitas lahan yang rendah). Hal ini berimplikasi pada semakin berkurangnya ketahanan pangan, tingkat dan intensitas pencemaran yang berat dan kerusakan lingkungan lainnya. Dengan demikian, secara keseluruhan aktifitas kehidupan cenderung menuju sistem pemanfaatan sumberdaya alam dengan kapasitas daya dukung yang menurun. Di lain pihak, permintaan akan sumberdaya lahan terus meningkat akibat tekanan pertambahan penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita (Rustiadi, 2001). Sumber: kelembagaandas.wordpress.com/.../ Penggunaan Lahan Penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk campur tangan (intervensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Vink, 1975). Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yaitu (1) pengunaan lahan pertanian dan (2) penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan secara umum tergantung pada kemampuan lahan dan pada lokasi lahan. Untuk aktivitas pertanian, penggunaan lahan tergantung pada kelas kemampuan lahan yang dicirikan oleh adanya perbedaan pada sifat-sifat yang menjadi penghambat bagi penggunaannya seperti tekstur tanah, lereng permukaan tanah, kemampuan menahan air dan tingkat erosi yang telah terjadi. 4 Pengolahan tanah pada pertanian lahan kering (Sumber: hort.purdue.edu) Penggunaan lahan juga tergantung pada lokasi, khususnya untuk daerah-daerah pemukiman, lokasi industri, maupun untuk daerah-daerah rekreasi. Menurut Barlowe (1986) faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah faktor fisik dan biologis, faktor pertimbangan ekonomi dan faktor institusi (kelembagaan). Faktor fisik dan biologis mencakup kesesuaian dari sifat fisik seperti keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan dan kependudukan. Faktor pertimbangan ekonomi dicirikan oleh keuntungan, keadaan pasar dan transportasi. Faktor institusi dicirikan oleh hukum pertanahan, keadaan politik, keadaan sosial dan secara administrasi dapat dilaksanakan. Perubahan Penggunaan Lahan Perubahan penggunaan lahan adalah berubahnya suatu penggunaan lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda (Wahyunto et al., 2001). Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari, perubahan ini terjadi karena dua hal, yaitu adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin meningkat jumlahnya dan ke dua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan kualitas kehidupan yang semakin lebih baik. 5 Konversi lahan hutan menjadi lahan budidaya dan permukiman Para ahli berpendapat bahwa perubahan penggunaan lahan lebih disebabkan oleh adanya kebutuhan dan keinginan manusia. Faktor-faktor yang mendorong perubahan penggunaan lahan adalah politik, ekonomi, demografi dan budaya. Aspek politik adalah adanya kebijakan yang dilakukan oleh pengambil keputusan yang mempengaruhi terhadap pola perubahan penggunaan lahan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1 yang menjelaskan skenario perubahan penggunaan lahan. Selanjutnya pertumbuhan ekonomi, perubahan pendapatan dan konsumsi juga merupakan faktor penyebab perubahan penggunaan lahan. Sebagai contoh, meningkatnya kebutuhan akan ruang tempat hidup, transportasi dan tempat rekreasi akan mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan. Teknologi juga berperan dalam menggeser fungsi lahan. Ada tiga hal yang mempengaruhi bagaimana teknologi mempengaruhi pola penggunaan lahan. Pertama, perubahan teknologi telah membawa perubahan dalam bidang pertanian melalui peningkatan produktivitas lahan pertanian dan produktivitas tenaga kerja. Ke dua, perubahan teknologi transportasi meningkatkan efisiensi tenaga kerja, memberikan peluang dalam meningkatkan urbanisasi daerah perkotaan. Ke tiga, teknologi transportasi dapat meningkatkan aksesibilitas pada suatu daerah. 6 Gambar 1. Skenario Perubahan Penggunaan Lahan (dimodifikasi dari Bito dan Doi, 1999) Menurut Adjest (2000) di negara Afrika Timur, sebanyak 70% populasi penduduk menempati 10% wilayah yang mengalami perubahan penggunaan lahan selama 30 tahun. Pola perubahan penggunaan lahan ini disebabkan karena pertumbuhan penduduk, kebijakan pemerintah pada sektor pertanian dan transmigrasi serta faktor sosial ekonomi lainnya. Akibatnya, lahan basah yang sangat penting dalam fungsi hidrologis dan ekologis semakin berkurang yang pada akhirnya meningkatkan peningkatan erosi tanah dan kerusakan lingkungan lainnya. Konsekwensi lainnya adalah berpengaruh terhadap ketahanan pangan yang berimplikasi semakin banyaknya penduduk yang miskin. Perubahan penggunan lahan di suatu wilayah merupakan pencerminan upaya manusia memanfaatkan dan mengelola sumberdaya lahan. Perubahan penggunaan lahan tersebut akan berdampak terhadap manusia dan kondisi lingkungannya. Menurut Suratmo (1982) dampak suatu kegiatan pembangunan dibagi menjadi dampak fisik-kimia seperti dampak terhadap tanah, iklim mikro, pencemaran, dampak terhadap vegetasi (flora dan fauna), dampak terhadap kesehatan lingkungan dan dampak terhadap sosial ekonomi yang meliputi ciri pemukiman, penduduk, pola lapangan kerja dan pola pemanfaatan sumberdaya alam yang ada. 7 Sumber: globalenvironmentalprotection.blogspot.com/ Penelitian yang membahas tentang perubahan penggunaan lahan dan dampaknya terhadap biofisik dan sosial ekonomi telah banyak dilakukan. Penelitian terhadap struktur ekonomi, yang dilakukan Somaji (1994) menyatakan bahwa pada tahun 1984 wilayah industri berperan sebanyak 13,05% dan meningkat menjadi 14,65% pada tahun 1990. Nilai ini dicapai akibat dari kecepatan alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian selama kurun waktu 1981-1990 sebanyak 0,46%. Penelitian Janudianto (2003) menjelaskan perubahan penggunaan lahan di Sub DAS Hulu didominasi oleh kecenderungan perubahan lahan pertanian (sawah) menjadi lahan pemukiman dan perubahan hutan menjadi lahan perkebunan (kebun teh). Hasil penelitian Heikal (2004) menunjukkan penggunaan lahan di DAS Hulu berpengaruh nyata terhadap peningkatan selisih debit maksimumminimum sungai. Penurunan luas hutan dan luas sawah meningkatkan selisih debit maksimumminimum, sedangkan peningkatan luas pemukiman dan kebun campuran meningkatkanselisih debit. 8 Sumberdaya Lahan dan Lanskap Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena sumberdaya lahan diperlukan di setiap kegiatan manusia. Pengelolaan sumberdaya lahan adalah segala tindakan atau perlakuan yang diberikan pada sebidang lahan untuk menjaga dan mempertinggi produktivitas lahan tersebut (Sitorus, 2004). Terjadinya kerancuan penggunaan istilah lahan (land) dengan tanah (soil), karena sering penggunaan istilah ini dianggap memiliki arti yang sama. Tanah menurut Sitorus (2000) adalah suatu benda alami, bagian dari permukaan bumi yang ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan dan sebagai hasil kerja faktor iklim dan jasad hidup (organisme) terhadap bahan induk yang dipengaruhi oleh keadan topografi dalam jangka waktu tertentu. Menurut Arsyad (2000) tanah adalah suatu benda alami heterogen yang terdiri atas komponen-komponen padat, cair dan gas dan mempunyai sifat serta perilaku yang dinamik. Benda alami ini terbentuk oleh hasil kerja interaksi anatara iklim (i) dan jasad hidup (o) terhadap suatu benda induk (b) yang dipengaruhi oleh relif tempatnya terbentuk (r) ditambah waktu (w) yang dapat digambarkan dalam hubungan fungsi sebagai berikut : T = ƒ (i,o,b,r,w) Dinyatakan pula bahwa ilmu tanah memandang tanah dari dua konsep utama, yaitu : 1. Sebagai hasil hancuran bio- fisik-kimia. 2. Sebagai habitat tumbuh-tumbuhan. Sebagai sumberdaya alam untuk pertanian, tanah mempunyai dua fungsi utama yaitu : 1. Sebagai sumber unsur hara. 2. Sebagai matrik tempat akar tumbuhan berjangkar dan air tanah tersimpan dan tempat unsur-unsur hara dan air ditambahkan. 9 Requir (1977) dalam Arsyad (2000), menyatakan sumberdaya alam utama, tanah dan air mudah mengalami kerusakan dan degradasi. Kerusakan tanah dapat terjadi oleh : 1. Kehilangan unsur hara dan bahan organik dari daerah perakaran. 2. Terkumpulnya garam didaerah perakaran (salinisasi), terkumpulnya atau terungkapnya unsur atau senyawa yang merupakan racun bagi tanaman. 3. Penjenuhan tanah oleh air (waterfogging). 4. Erosi. Kerusakan tanah oleh satu atau lebih proses tersebut menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman/ tumbuhan atau menghasilkan barang dan jasa. Menurut Jayadinata (1999) dalam Badri (2004), lahan (land) adalah sumberdaya alam yang sangat penting bagi kehidupan manusia, dimana sumberdaya alam ini terdiri dari : 1. Sumberdaya yang abstrak, yaitu hal-hal yang tidak tampak tetapi dapat diukur seperti lokasi, tapak, situasi, bentuk wilayah, jarak, waktu dan sebagainya. 2. Sumberdaya nyata yang terdiri atas : a. Bentuk daratan (landform), yang merupakan pembicaraan dalam geomorfologi, yaitu ilmu yang mempelajari mengenai permukaan bumi. b. Air yang terdiri atas air laut, air permukaan dan air tanah atau air dasar. c. Iklim yang terdiri dari unsur-unsur temperatur, hujan, tekanan, angin, sinar matahari, kelembaban, penguapan, awan dan sebagainya. d. Tubuh tanah (soil) yaitu, batuan yang telah melapuk, yang merupakan lapisan terluar dari kulit bumi. e. Vegetasi yaitu, tumbuh-tumbuhan yang asli dari suatu wilayah. f. Hewan yang berguna bagi kehidupan manusia. g. Mineral atau pelikan yaitu, barang tambang yang diperlukan dalam kegiatan sosial ekonomi dan sering disebut sebagai kemakmuran. Sumber: mukidi.wordpress.com/page/3/ 10 Lahan (land) atau sumberdaya lahan (land resources) menurut Sitorus (2000) adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan tanah. Dalam hal ini tanah juga mengandung pengertian ruang atau tempat. Sumberdaya tanah merupakan sumberdaya alam yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia karena sumberdaya alam diperlukan dalam setiap kehidupan. Menurut Mintzberg (1997), lahan adalah hamparan di muka bumi berupa suatu tembereng, (segment) sistem terestik yang merupakan suatu perpaduan sejumlah sumberdaya alam dan binaan. Lahan juga merupakan wahana sejumlah ekosistem. Lahan merupakan suatu wilayah (regional), yaitu suautu satuan ruangan berupa suatu lingkungan hunian masyarakat manusia dan masyarakat hayati yang lain. Menurut pengertian ekologi, lahan adalah habitat. Penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk campur tangan (interfensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, baik material maupun spiritual (Sitorus, 2000). Dalam hal ini dapat berupa penggunaan lahan utama atau penggunaan pertama dan kedua (apabila merupakan penggunaan ganda) dari sebidang tanah, seperti tanah pertanian, tanah hutan, padang rumput dan sebagainya. Jadi lebih merupakan tingkat pemanfaatan oleh masyarakat. Sumber: bpdas-jeneberang.net/htmlfolder/penang%20laha... Pengelolaan sumberdaya lahan adalah segala tindakan atau perlakuan yang diberikan pada sebidang tanah untuk menjaga dan mempertinggi produksi lahan tersebut. Lanskap adalah gabungan fitur-fitur buatan dan alamiah yang membentuk karakteristik permukaan tanah, yang meliputi aspek spasial, tekstural, komposisional dan dinamika tanah (Marsh, 1983). Irwan (1992), menyatakan lanskap merupakan wajah dan karakter lahan atau panorama dengan segala kehidupan apa saja yang ada didalamnya, baik yang bersifat alami, non alami atau gabungan keduanya yang merupakan bagian total lingkungan hidup manusia beserta makhluk hidup lainnya. Motloch (1993), menyatakan lanskap dalam definisi kontemporernya meliputi daerah yang masih liar dan daerah yang terhuni. Daerah yang masih liar adalah lanskap alami dan daerah yang berpenghuni adalah lanskap buatan. Lanskap juga berarti suatu keadaan pada suatu masa yang merupakan bagian ekspresi dan pengaruh dari unsur-unsur ekologi, teknologi dan budaya. Pada lahan pasca tambang terjadi perubahan kemampuan dari muka bumi, sehingga secara estetika tanah pasca tambang tidak baik, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Untuk itu perlu 11 dilakukan sesuatu upaya reklamasi lahan agar dapat meningkatkan kualitas lingkungan secara keseluruhan dan tanah dapat bermanfaatkan kembali. PENGELOLAAN LAHAN DI DAERAH HULU DAS Daerah aliran sungai (DAS) merupakan daerah yang menangkap dan menyalurkan air hujan melalui alur-alur sungai; dan seringkali dihantui oleh adanya ancaman banjir pada setiap tahunnya, khususnya di musim penghujan. Sementara itu pada musim kemarau debit sungai seringkali menjadi sangat kecil. Dengan demikian terjadi fluktuasi debit sungai yang sangat besar antara musim kemarau dan musim penghujan. Adanya fluktuasi debit sungai yang besar tersebut merupakan salah satu indikator yang menunjukkan bahwa Daerah Aliran Sungai (DAS), telah mengalami kerusakan. Daerah aliran sungai (DAS) ini pada dasarnya adalah suatu wilayah daratan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima dan menyimpan air hujan, dan kemudian mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada satu titik (outlet) melalui sungai utama. Usahatani tanaman semusim pada lahan miring (sumber: lingkunganhidup-tulungagung.co.cc) Terjadinya limpasan air yang besar pada saat musim penghujan menunjukkan bahwa DAS tersebut tidak lagi mampu menyerap curah hujan yang ada sehingga air yang diterima sebagian besar langsung dialirkan melalui aliran permukaan (run off) ke sungai. Terbatasnya jumlah air yang masuk ke dalam tanah juga berdampak pada sedikitnya jumlah air yang memasok air tanah (groundwater), sehingga pada musim kemarau debit air sungai menjadi kecil. Disamping itu besarnya limpasan permukaan dapat menimbulkan erosi, yang dicirikan oleh warna air sungai yang keruh (tidak jernih). 12 Pada kondisi DAS yang baik, fluktuasi antara debit sungai di musim penghujan dan kemarau adalah kecil, karena sebagian besar curah hujan dapat diserap ke dalam tanah, sehingga aliran permukaan sangat kecil. Oleh karena itu aliran airnya tampak jernih sebagai indikator bahwa lingkungan di DAS tersebut dalam kondisi baik. Sumber: luk.staff.ugm.ac.id/.../slide0098.htm DAS sebagai sebuah ekosistem umumnya dibagi ke dalam 3 (tiga) daerah, yaitu daerah hulu, daerah tengah dan daerah hilir. Ekosistem DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan fungsi tata air terhadap seluruh bagian DAS. Keterkaitan daerah hulu dan hilir adalah melalui keterkaitan biofisik, yaitu melalui siklus hidrologi. Hulu DAS merupakan tempat yang sangat strategis, karena pada akhirnya penduduk di sekitar DAS pada hakikatnya sangat tergantung pada berfungsinya secara optimal sungai tersebut. Oleh karena itu dalam kajian pengelolaan DAS ini lebih difokuskan pada penelaahan pengelolaan lahan di bagian hulu. Lahan kritis di hulu DAS (sumber: lingkunganhidup-tulungagung.co.cc) 13 Sumber: temp1o0whnjao4qhs.blogspot.com/2009/12/daur-h... Ekosistem Lahan di DAS Hulu Ekosistem lahan di DAS Hulu pada umumnya dipandang sebagai suatu ekositem pedesaan yang terdiri dari empat komponen utama, yaitu desa, sawah/ladang, sungai dan hutan. Interaksi dari keempat komponen tersebut akan berdampak pada output yang akan dihasilkan, yaitu air, dalam hal ini sungai, dalam bentuk debit dan kualitas air. Desa merupakan komponen sentral dalam pengelolaan DAS, antara lain dikarenakan faktor manusia di dalamnya. Pertumbuhan jumlah manusia mengakibatkan ketidak seimbangan perbandingan antara lahan pertanian dan kepemilikan lahan pertanian. Dengan kondisi dimana lapangan kerja semakin terbatas serta ketrampilan terbatas berdampak pada kecilnya pendapatan petani. Hal tersebut sering menyebabkan terjadinya perambahan hutan dan lahan marjinal yang berakibat pada menurunnya kualitas lingkungan. Kondisi inilah yang kemudian mengakibatkan terjadinya peningkatan aliran permukaan, erosi dan muatan sedimen yang berdampak pada penurunan kualitas air dan terjadinya fluktuasi debit sungai pada musim kemarau dan musim penghujan. Peningkatan aliran permukan ini dipicu pula perubahan tata guna lahan, dimana daerah yang semula berfungsi sebagai daerah penampung dan penyerap air hujan telah berubah fungsi sebagai daerah hunian, industri dan lainnya. Perubahan tersebut dipicu oleh pengembang atau individu yang melihat peluang ekonomi kawasan yang dapat dikembangkan sebagai kawasan pemukiman. Penyebab utama terjadinya perambahan hutan dan kerusakan lingkungan biasanya dikaitkan dengan alasan “ekonomi”. Alasan ekonomi ini tidak hanya terkait dengan kelaparan dan kemiskinan, tetapi juga menyangkut masalah “kerakusan” untuk memperoleh daerah yang strategis. Jika dikaitkan dengan kerusakan lingkungan di DAS Hulu sangatlah relevan, di satu sisi adanya tekanan eknomi bagi masyarakat di pedesaan, di sisi lain terjadinya perubahan tataruang akibat alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi pemukiman dan bangunan lainnya. Permasalahan inilah yang akan menjadi fokus bahasan dalam rangka pengelolaan DAS di bagian hulu. Dengan mengacu pada indikator kerusakan suatu DAS, yang dicirikan oleh Rasio debit sungai maksimum dan minimum, koefisien limpasan, erosi dan sedimentasi, muka air tanah dan debit mata 14 air; beberapa indikator telah menunjukkan bahwa DAS Hulu telah mengalami kerusakan, yaitu antara lain : a. Nilai koefisien limpasan DAS telah mencapai 60-70%, dengan mengacu pada debit sungai yang mencapai 2.500 mm/tahun dan curah hujan rata-rata 3.500 mm/tahun. Data dari hidrograf menunjukkan bahwa koefisien aliran permukaan berkisar antara 60-75%. b. Rasio debit air sungai maksimum dan minimum Rasio debit air sungai maksimu dan minimum mencapai 145 : 1 yang menunjukkan ancaman kekeringan dan turunnya muka air tanah yang tajam pada musim kemarau. Angka tersebut telah sangat jauh melebihi batas wajar yang aman. c. Debit maksimum Terjadinya perubahan tataguna lahan di DAS telah meningkatkan debit puncak (maksimum). d. Erosi dan sedimentasi Secara kumulatif laju erosi yang terjadi di DAS Hulu dapat mencapai 20 ton/ha/tahun, dengan indeks erosi sebesar 1,30 (lebih besar dari 1), dengan kehilangan lapisan tanah akibat erosi sebesar 1,5 mm/tahun. e. Debit mata air Telah terjadi penurunan debit mata air, khususnya pemanfaatan oleh PDAM sebesar 5-15% Kondisi di atas mencerminkan bahwa DAS Hulu perlu mendapat perhatian dan penanganan serius. Dengan mengacu pada konsep pendekatan ekosistem DAS yang berbasis desa, kondisi lapangan yang ada dan data yang tersedia, kerusakan yang terjadi di DAS Hulu disebabkan antara lain oleh : a. Luasan hutan yang semakin kecil akibat terjadinya perambahan hutan dan perubahan hutan menjadi lahan pertanian, yang berdampak pada meningkatnya aliran permukaan dan berkurangnya kapasitas tanah untuk menyimpan air b. Beralihfungsinya lahan-lahan pertanian menjadi areal pemukiman & hotel, yang juga berdampak pada meningkatnya aliran permukaan c. Budidaya pertanian yang tidak mengacu pada kaidah konservasi, yang berdampak pada meningkatnya erosi Analisis Permasalahan. Dalam menganalisis DAS, output yang diharapkan adalah tersedianya air dalam jumlah yang memadai dengan fluktuasi yang kecil antara musim penghjan dan musim kemarau serta kualitas air yang baik. Dalam pengelolaan DAS, perlu mempertimbangkan aspekaspek sosial, ekonomi, budaya dan kelembagaan yang beroperasi di dalam dan di luar DAS. Artinya, pendekatan teknis saja melalui berbagai kegiatan yang terkait dengan konservasi tanah, hutan dan air saja tidak cukup, diperlukan pendekatan lainnya dalam mendukung aspek pendekatan teknis. Keterpaduan dalam pemulihan, penyelamatan, pelestarian dan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan DAS secara optimal yang akan memberikan keuntungan ekologis, ekonomis maupun sosial dikenal dengan pendekatan bioregional. Hal ini mengacu pada keharmonisan hubungan manusia dengan alam dan lingkungannya. Dalam pendekatan ini berkembangnya sosioteknosistem cenderung akan mendesak keberadaan ekosistem suatu DAS. Sosio sistem ditelusuri melalui pola hidup masyarakat, tingkat pengetahuan dan pendidikan, kesehatan, pendapatan perkapita dan tingkat kepedulian terhadap potensi sumberdaya alam dan lingkungannya. Sedangkan teknosistem ditelusuri berdasarkan aspek penggunaan tanah 15 baik untuk penerapan teknologi budidaya, industri, maupun pemanfaatan lainnya yang erat kaitannya dengan konservasi tanah. Pola dasar sistem penyelesaian baik secara fisik maupun ekonomi yang dilakukan selama ini menunjukkan hanya sebatas penyelesaian sementara antara lain dengan pengerukan dan normalisasi sungai, penghijauan sporadis, pemberian ijin perubahan fungsi lahan untuk kawasan permukiman yang tidak didasarkan pertimbangan kepentingan sektor lain dan keseimbangan lingkungan. Sehubungan dengan hal itu pendekatan dalam menjawab permasalahan DAS Hulu dikelompokkan kedalam 4 (empat) pendekatan, yaitu pendekatan (a) teknis biofisik, (b) teknis fisik, (c) sosial ekonomi, dan (d) kebijakan. a. Pendekatan teknis biofisik. Merupakan pendekatan pada aspek biofisik, dengan penekanan pada pengembangan kultur teknis, pola tanam, pilihan komoditas yang akan dikembangkan yang terkait dengan sistim usahatani yang berkelanjutan. 1. Pertanian hutan (agroforestry) Merupakan suatu sistim usaha tani yang telah lama dipraktekan di Negara-negara berkembang dan sangat relevant dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat di negara-negara berkembang. Sistim pertanian-hutan pada prinsipnya merupakan suatu sistim usaha tani atau penggunaan tanah yang mengintegrasikan tanaman tahunan berkayu di atas lahan yang sama dengan tanaman rendah (semusim) secara spatial dan atau temporal. Dengan demikian sistim ini merupakan penggunaan tanah terpadu dengan mengakomodasikan aspek ekologi dan ekonomi, dan sesuai untuk tanah-tanah marjinal dan sistim masukan rendah. Pertanian hutan dapat memadukan bermacam-macam tanaman yang masing-masing 16 memiliki fungsi konservasi tanah dan air, maupun fungsi pendukung ekonomi masyarakat. Sistem usaha tani pertanian-hutan ini dapat dikelompokkan ke dalam : Kebun Pekarangan Merupakan kebun campuran yang tidak teratur antara tanaman tahunan (buah-buahan) dan tanaman semusim di sekitar pekarangan dengan fungsi penyediaan karbohidrat, vitamin dan mineral, serta obat-obatan sepanjang tahun Sumber: www.agnet.org/library/bc/48005/ Talun-kebun Merupakan pertanian-hutan tradisional dimana berbagai macam tanaman ditanam secara spatial dan urutan temporal. Lokasinya jauh dari pekarangan, dengan fungsi (1) penyediaan subsisten karbohidrat, protein, vitamin dan mineral, (2) produksi komoditas komersial, (3) konservasi tanah dan genetic, (4) sosial (penyediaan kayu baker bagi desa, (5) peningkatan ekonomi masyarakat dari hasil komoditas komersial. Pertanian talon-kebun ini telah berhasil dikembangkan di daerah Jawa Barat. 17 Sumber: www.leeds.ac.uk/.../Vanga,%20web%20English.htm Tumpang sari Tumpang sari bertujuan untuk mengintensifkan kegiatan Pertanian, pemanfaatan sumber daya secara optimal, serta menyelamatkan sumber daya lahan dan air, serta mengurangi resiko kegagalan panen (Direktorat Pengembangan Usaha, 2003). Prinsip tumpang sari adalah keanekaragaman vegetasi, dengan penanaman bermacam-macam tanaman, berupa tanaman keras/ kayu-kayuan dan buah-buahan, dengan intercrop tanaman semusim seperti tanaman pangan, tanaman obat-obatan, tanaman penutup dll. Rumput-hutan Merupakan usahatani campuran antara kehutanan dan peternakan (sylvopasture), dimana rumput ditanam di bawah pohon damar, pinus dan Albisia sp. Pengembangan system ini dapat berhasil di daerah yang petaninya mempunyai ternak, tapi tidak ada ladang untuk penggembalaan. Selain sebagai pakan ternak, rumput berfungsi sebagai pencegah erosi yang ditanam sebagai penutup tanah, penguat teras dan guludan serta penguat tebing-tebing pada tanah yang miring. Dalam usaha Pertanian, rumput dapat dimanfaatkan sebagai mulsa dan pupuk kompos. Pertanaman lorong Merupakan penanaman tanaman semusim atau tanaman pangan di lorong antara barisan pagar tanaman pohon. Tanaman pagar dijaga agar tetap rendah agar tanaman semusim tidak ternaungi, kecuali jika tidak ada tanaman semusim maka tanaman pagar dibiarkan tumbuh bebas. Pada tanah yang berlereng, tanaman pagar dan tanaman semusim ditanam mengikuti kontur agar erosi dapat tercegah dengan baik. Sistem usahatani pertanian-hutan ini merupakan system usahatani tradisional yang telah dikenal oleh masyarakat namun telah dilupakan, tetapi ternyata efektif untuk mengatasi berbagai masalah kerusakan lingkungan di negara-negara berkembang akibat adanya pertambahan penduduk. Disamping itu, hasil usaha pertanian tersebut sekaligus dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Sistem pertanaman lorong terpadu System ini merupakan bentuk tumpangsari antara tanaman sayuran di antara barisan pohon atau perdu yang tumbuhnya cepat. Sistem ini cocok untuk daerah-daerah yang tidak tersedia pupuk 18 kandang atau kompos. Tujuan utamanya adalah untuk menyediakan sumber bahan organic yang cukup banyak bagi tanaman budidaya sayuran. Karena tanaman pagarnya adalah legume yang mampu memfiksasi nitrogen, mereka akan menambahkan nitrogen ke tanah, baik melalui bintil akarnya maupun melalui bahan organic seresahnya. Sistem alley-cropping terpadu (Sumber: nzdl.org) Pertimbangan penting: 1. Memilih jenis pohon atau perdu legume yang mampu memfiksasi nitrogen dan pertumbuhannya cepat sehingga tahan terhadap pemangkasan. 2. Beberapa jenis pohon yang tahan untuk system pertanaman lorong: Gliricidia septum, Calliandra calothyrsus, Flemingia macrophylla dan Cassia siamea . 3. arah barisan tanaman adalah timur-barat untuk menghindari naungan tanaman budidaya oleh tanaman pagar. 4. Barisan pohon/perdu mempunyai jarak minimum 5 m sehingga tersedia lebih banyak ruangan bagi tanaman budidaya. 5. Tanah diolah dan digemburkan hingga kedalaman minimum 30 cm. 6. Plant tree/shrub seeds and vegetables crops at the same thee. 7. Pemangkasan pertama dilakukan setelah tanaman pagar merumur 9-12 bulan. Pohon dipotong 0.5 m di atas permukaan tanah. 2. Reboisasi Reboisasi merupakan upaya untuk penghutanan kembali (penanaman kembali) hutan-hutan yang telah rusak dengan tanaman hutan, atau pada daerah-daerah yang berlereng curam dimana faktor erosi dapat terjadi. Upaya reboisasi ini dapat berhasil apabila masyarakat di sekitar hutan terlebih dahulu diberdayakan. Pemilihan pohon untuk reboisasi hendaknya memperhatikan faktor ekologidan 19 faktor ekonomi serta faktor sosial penduduk di sekitarnya. Khusus untuk reboisasi tanah gundul, disamping dipilh jenis tanaman yang bernilai juga harus cepat tumbuh, sehingga mampu menahan dan mengawetkan tanah dan air. 3. Penghijauan Merupakan upaya penanaman pohon-pohonan di lahan-lahan di luar kawasan hutan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan sekaligus mengawetkan lahan (mengurangi terjadinya erosi). Penghijauan akan efektif bila diarahkan pada penanaman tanaman pohon yang bernilai ekonomis, seperti buah-buahan. Pemerintah pada saat ini tengah menggalakkan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL), dimana tanaman buah-buahan menjadi salah satu pilihan yang digunakan untuk penghijauan. Pada penerapan program ini peran dan partisipasi masyarakat perlu dilibatkan sejak awal perencanaan, sehingga dapat dikembangkan komoditas-komoditas yang sesuai dengan harapan petani, khususnya yang mempunyai nilai ekonomis tinggi serta baik untuk konservasi lahan. Penghijauan dapat dilaksanakan pada jalur penyangga, jalur hijau dan daerah aliran sungai, sebagai berikut : o Penghijauan pada daerah penyangga Penghijauan dilakukan pada daerah perbatasan antara hutan dengan pemukiman masyarakat atau areal budidaya tanamanm yang dinamakan daerah pengangga hutan (buffer zone), yang cukup rentan terhadap timbulnya permasalahan lingkungan. Derah ini merupakan pintu masuk bagi masyarakat kawasan hutan, oleh karena itu pengembangan dan pengelolaan buffer zone dengan penanaman komoditas komersial seperti buah-buahan sangat penting, sehingga dapat mencegah dan mengurangi minat masyarakat untuk merambah hutan. o Penghijauan pada jalur hijau/ koridor Penghijauan dilakukan di daerah “antara” yang menghubungakan hutan dengan pemukiman. Daerah koridor ini sebaiknya ditanam bermacam-macam tanaman yang mempunyai nilai ekonomi. Disamping untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, keaneka ragaman tersebut sebagai relung kehidupan fauna, sehingga tidak terjadi proses pemutusan flora dan fauna dari ekosistem hutan ke daerah budidaya tanaman. 4. Sistem perkebunan/ mokokultur Merupakan penanaman satu jenis komoditas tanaman dengan maksud untuk meningkatkan produksi dan produktivitas dalam usaha tani. Komoditas yang dikembangkan adalah komoditas tanaman pohon, yang mempunyai sistem perakaran yang dalam, seperti tanaman buah-buahan, disamping juga mempunyai nilai ekonomi yang tinggi Biasanya menggunakan input sarana produksi yang tinggi (intensifikasi). Dalam penanaman monokultur perlu diikuti oleh upaya konservasi antara lain : o Pada lahan yang bergelombang/ miring perlu pembuatan teras-teras dan guludan untuk menghambat aliran permukaan air dan mengurangi erosi, serta menampung dan menyalurkan aliran air dengan kekuatan yang tidak merusak. o Pengolahan tanah minimum, dilakukan secara terbatas/ seperlunya pada lobang tanam saja o Tanaman utama misalnya komoditas buah-buahan seperti jeruk, durian, mangga dll, pada teras ditanam menurut sabuk gunung atau memotong lereng o Penanaman rumput-rumputan pada guludan dan lereng-lereng/ tebing untuk mencegah erosi 5. Penanaman rumput 20 Selain sebagai tanaman penutup, rumput juga berperan sebagai tanaman penguat teras dan guludan. Jenis tanaman rumput yang dianjurkan ialah rumput gajah, rumput kolonjono dan rumput bahi (Paspalum notatum). Tempat penanaman rumput dapat di galengan/pematang, talud teras, dinding dan dasar saluran pengairan, serta di tebing-tebing sungai. Sedangkan cara penanamannya dapat dilakukan secara rapat, secara barisan menurut arah kontur, atau secara berselang-seling menurut arah lereng. Tanaman rumput harus disulam terus menerus sehingga rapat dan dipangkas secara periodik untuk mencegah supaya tidak menjadi sarang tikus. 6. Penanaman menurut kontur Penanaman menurut kontur berarti penanaman dilakukan menurut sabuk gunung atau memotong lereng. Cara ini dilakukan pada tanah-tanah yang berlereng dengan membuat guludanguludan Sumber: knol.google.com/k/soil-conservation-then-and-now 7. Sistem SURJAN: Pengolahan Tanah secasra Dalam Alasan pengolahan tanah dengan parit dalam dan bedengan tinggi (sejenis Surjan) : 1. 2. 3. 4. Lebih banyak tanaman yang dapat diakomodasi per unit luasan lahan Meningkatkan jumlah air hujan yang dapat meresap ke dalam petak lahan dan mengurangi runoff Mengurangi evaporasi yang disebabkan oleh tajuk tanaman yang rapat Air hujan dapat disimpan di bagian bawah dari petakan lahan sehingga dapat dihemat 21 5. Memperbaiki aktivitas cacing tanah dan bakteri fiksasi nitrogen, karena cara ini dapat memberbaiki lengas tanah dan bahan organic tanah 6. Petakan lahan dapat terhindarkan dari efek kelebihan air hujan dan penggenangan zone perakaran 7. Tanaman dapat mengembangakan perakaran yang lebih dalam dan dapat bertahan terhadap kekeringan 8. Jalur permanen di antara petakan lahan dapat mengurangi efek pemadatan akibat inhjakan-injakan 9. Pengolahan bedengan tanah tahap awal memerlukan waktu lebih banyak, sekitar 5 - 6 hours/9 sq m, dan pengolahan selanjutan lebih cepat 1/3 - ¼ waktunya. 10. Memperbaiki iklim mikro (suhu tanah dan udara) 11. Ekosistem yang lebih baik akan memacu kehidupan predator dan biologis lainnya. Sistem surjan: Paritnya dalam, Bedengannya setinggi 30-60 cm Mengapa sistem surjan ini penting? Pengolahan tanah secara dalam ini dapat menggemburkan tanah. Sehingga memungkinkan akar tanaman mudah menembus ke dalam tanah, sehingga mampu menyerap banyak air dan unsure hara dari tanah dan diangkut ke batang dan daunnya. Setiap jenis tanaman mempunyai kedalaman perakaran yang berbeda dnegan jenis lainnya, sehingga mereka menyerap air dan unsure hara dari lokasi yang berbeda dalam profil tanah. Penanaman berbagai tanaman pada bedengan yang sama dari musim ke musim tidak merusak tanah. 22 Kedalaman perakaran jenis sayuran Sistem akar tunggang tanaman bayam-bayaman. Tanaman sayuran lainnya seperti selederi, chicory, Chinese cabbage, collard, endive, kale, lettuce, mustard, parsley, sunflower dan Swiss chard mempunyai perakaran yang polanya serupa. Sistem perakaran tanaman kubis yang berasal dari bibit. Brocolli, Brussels sprouts, cauliflower dan kohlrabi mempunyai perakaran yang hamper sama. Perakaran kubis yang berasal dari bibit. 23 Tanaman cabe mempunyai Taproot yang pendek Tanaman Cucumber mempunyai taproot yang pendek, demikian juga Cantaloupe, pumpkin, squash dan watermelon. Tanaman Cucumber mempunyai taproot yang pendek Akar serabut pada tanaman bawang-bawangan, leek dan jagung. 24 Akar serabut tanaman bawang-bawangan Perkembangan perakaran tanaman Distribusi pertumbuhan akar tanaman tergantung pada: (1). Kedalaman lapisan olah tanah. 25 (2). Kedalaman solum tanah. (3). Pergerakan air hujan dalam profil tanah ke arah bawah. 26 (4). Jumlah lengas tanah yang tersedia bagi tanaman. (5). Kedalaman penempatan pupuk dalam tanah. Teknologi pengolahan tanah dengan bedengan tinggi 1. Menetapkan luas bedengan dnegan ukuran 1 m x 6 m. (panjangnya bedengan dapat beragam tergantung panjangnya lahan). Membagi bedengan menjadi beberapa bagian selebar 75 cm dengan menggunakan tongkat kayu. 2. Menaburkan kompos di permukaan bedengan secara merata dengan kedebalan sekitar 8 cm. 3. Menggali parit sedalam 30 cm dan lebarnya 75 cm pada salah satu ujung bedengan. Menempatkan material tanah galian ini pada salah satu ujung bedengan. 4. Menggali parit ke dua di dekat parit pertama, menimbuni parit pertama dengan taanah galian dari parit ke dua. 5. Proses gali-timbun ini diulangi hingga mencapai ujung lain dari bedengan. 27 6. Menggunakan pupuk dan rabuk atau kompos ke bedengan: 2.5 cm kompos atau pupuk kandang, 1 kg abu dapur, 1 kg tepung tulang, 0.5 - 1.5 kg tepung ikan atau daun legume dan 1 kg bahanbahan pupuk lainnya. 7. Mencampur bahan pupuk ini dengan tanah di permukaan bedengan setebal 15 cm. Meratakan bedengan hingga siap ditanami. Teknologi surjan Untuk kawasan lahan bebratu dan tergenang, tanah dapat diambil dari daerah lain dan dibentuk menjadi bedengan-bedengan artificial dengan menggunakan batang pisang atau kayu-kayuan sbagai tanggulnya. 28 Untuk lahan berbatu dan tergenang Untuk tanah-tanah yang sangat keras, dapat dilakukan penggalian awal sedalam 15 cm. Kemudian bedengan dapat ditimbuni lebih lanjut dengan menggunakan tanah galian dari sisi-sisi bedengan. Sistem surjan untuk tanah-tanah yang sangat keras. Penggalian ganda merupakan cara untuk memperbaiki struktur tanah pada bedengan, dengan jalan memperbaiki aerasi tanah, dan kapasitas simpanan air, terutama pada tanah lapisan bawah. Dengan demikian tanah harus digali sedalam 60 cm, dan bukan hanya 30 cm. Penggalian ganda (dua kali) merupakan cara untuk membuat system surjan 29 Sistem surjan yang dimodifikasi untuk kebun jeruk. Sistem surjan dimodifikasi dan diintegrasikan dengan system kolam penanmpung air hujan untuk budidaya ikan Pendekatan teknis fisik Merupakan pendekatan yang mengacu pada pembangunan sarana dan prasarana bangunan dalam rangka pengendalian banjir (limpasan air sungai) 1. Channel reservoir Merupakan upaya untuk menampung, menyimpan dan mendistribusikan air di alam, dengan membendung aliran air di sungai, sehingga air tersebut dapat mengalir ke samping dan mengisi reservoir. Pola ini mengacu pada pengembangan sistim sawah teras bertingkat. Terdapat 3 (tiga) 30 manfaat yang dapat diperoleh, yaitu : (a) menampung sebagian besar volume air hujan dan aliran permukaan, (b) menurunkan kecepatan aliran permukaan, (c) peningkatan cadangan air tanah. 2. Pemanenan Air (Water harvesting) Merupakan upaya penampungan air aliran permukaan melalui pembangunan waduk-waduk kecil. Teknologi ini telah dikembangkan di Gunung kidul dengan ukuran waduk yang mampu menampung air sejumlah 300 m3 (20 m x 5 m x 3 m). dan dapat mengurangi volume dan kecepatan aliran air permukaan, menyimpan air untuk musim kemarau. Pembuatan waduk-waduk kecil dalam jumlah yang banyak, jika diterapkan di DAS Hulu akan mampu meretensi air dan mengurangi volume air yang dialirkan melalui aliran permukaan. Sumber: edaa.in/Members/edea/rain-water-harvesting/ 3. Pembangunan sumur resapan Salah satu penyebab terjadinya peningkatan aliran air permukaan di DAS Hulu adalah akibat terjadinya alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi areal pemukiman. Dengan demikian air hujan yang jatuh tidak dapat diserap oleh tanah tetapi air mengalir dari permukaan beton atau aspal menuju saluran (parit), dan selanjutnya menuju sungai. Untuk itu agar mengurangi air yang melimpas tersebut diperlukan pembuatan sumur-sumur resapan di setiap bangunan, yang mampu menyimpan/menahan air yang jatuh dari talang-talang bangunan agar tidak melimpas, tetapi dapat mengisi air di dalam tanah. 31 Lubang infiltrasi Biopori (sumber: nowpublic.com) Sumber: www.southeastexcellence.co.uk/.../?/789/Water/ Teknologi resapan air dapat dikembangkan dengan beragam model, misalnya dengan “sistem drainase air hujan berwawasan lingkungan”. Akhir akhir ini dikeluhkan adanya intrusi air laut jauh ke wilayah daratan yang akan mengakibatkan defisit air di beberapa wilayah khususnya kota kota di pulau Jawa. Dengan system tersebut dan di padukan dengan upaya reboisasi di daerah hulu dan penataan pola konsumsi air yang benar maka kekhawatiran kekurangan sumber air bersih akan dapat dihindarkan. 32 Embung Lestari membuat penguapan menjadi rendah sehingga umur tampungan panjang. Embung yang alami memenuhi kondisi ekologi-hidrolik dan dilingkari oleh pohon dan vegetasi yang secara umum dibedakan menjadi tiga ring. Ring pertama pada umumnya ditumbuhi pohon-pohon besar yang biasa ada di daerah yang bersangkutan. Ring kedua dipenuhi dengan pepohonan yang lebih kecil yang relative kurang rapat disbanding ring pertama. Ring ketiga atau ring luar berbatasan dengan daerah luar embung, dengan tingkat kerapatan tanaman yang lebih jarang. Sistem drainase air hujan berwawasan lingkungan pada prinsipnya adalah sistem sumur resapan yang telah dikemukakan diatas yakni dimulai dari masing masing rumah/ tempat bermukim dengan cara menampung air hujan yang jatuh di atap atau diperkerasan untuk tidak dialirkan langsung ke system drainase perkotaan/ sungai melainkan dialirkan kedalam sumuran yang di buat di setiap halaman rumah atau hamparan terbuka baik secara individual maupun secara kolektif. Cara tersebut dimaksudkan untuk menampung air yang berkualitas dapat meresap kembali ke dalam tanah. Sketsa Embung Air (sumber: bebasbanjir2025.wordpress.com) 33 Embung Kolam Penampung Air Salah satu cara untuk menanggulangi kekurangan air di lahan sawah tadah hujan adalah dengan membangun kolam penampung air atau embung. Embung adalah kolam penampung kelebihan air hujan pada musim hujan dan digunakan pada saat musim kemarau. TUJUAN PEMBUATAN EMBUNG: 1. Menyediakan air untuk pengairan tanaman di musim kemarau. 2. Meningkatkan produktivitas lahan, masa pola tanam dan pendapatan petani di lahan tadah hujan. 3. Mengaktifkan tenaga kerja petani pada musim kemarau sehingga mengurangi urbanisasi dari desa ke kota. 4. Mencegah/mengurangi luapan air di musim hujan dan menekan resiko banjir. 5. Memperbesar peresapan air ke dalam tanah. PERSYARATAN LOKASI Beberapa syarat yang harus diperhatikan sebelum melaksanakan pembuatan embung yaitu: Tekstur tanah: Agar fungsinya sebagai penampung air dapat terpenuhi, embung sebaiknya dibuat pada lahan dengan tanah liat berlempung. Pada tanah berpasir yang porous (mudah meresapkan air) tidak dianjurkan pembuatan embung karena air cepat hilang. Kalau terpaksa, dianjurkan memakai alas plastik atau ditembok sekeliling embung. KEMIRINGAN LAHAN Embung sebaiknya dibuat pada areal pertanaman yang bergelombang dengan kemiringan antara 8 – 30%. Agar limpahan air permukaan dapat dengan mudah mengalir kedalam embung dan air embung mudah disalurkan ke petak-petak tanaman, maka harus ada perbedaan ketinggian antara embung dan petak tanaman. Pada lahan yang datar akan sulit untuk mengisi air limpasan ke dalam embung. Pada lahan yang terlalu miring (> 30%), embung akan cepat penuh dengan endapan tanah karena erosi. LOKASI Penempatan embung sebaiknya dekat dengan saluran air yang ada disekitarnya, supaya pada saat hujan, air di permukaan tanah mudah dialirkan kedalam embung. Lebih baik lagi kalau dibuat di dekat areal tanaman yang akan diairi. Lokasinya memiliki daerah tangkapan hujan. UKURAN EMBUNG Embung bisa dibangun secara individu atau berkelompok, tergantung keperluan dan luas areal tanaman yang akan diairi. Untuk keperluan individu dengan luas tanaman (palawija) 0,5 hektar, misalnya, embung yang diperlukan adalah panjang 10 m, lebar 5 m dan kedalaman 2,5 m – 3 m. Sumur Resapan Bangunan sumur resapan merupakan rekayasa teknik konservasi air berupa bangunan yang dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk sumur gali dengan kedalaman tertentu yang berfungsi sebagai tempat menampung air hujan yang jatuh di atas atap rumah atau daerah kedap air dan meresapkannya ke dalam tanah. Sumur resapan berfungsi memberikan imbuhan air secara buatan dengan cara menginjeksikan air hujan ke dalam tanah. Sasaran lokasi adalah daerah peresapan air di kawasan budidaya, permukiman, perkantoran, pertokoan, industri, sarana dan prasarana olah raga serta fasilitas umum lainnya. Manfaat sumur resapan adalah: 1. Mengurangi aliran permukaan sehingga dapat mencegah / mengurangi terjadinya banjir dan genangan air. 2. Mempertahankan dan meningkatkan tinggi permukaan air tanah. 3. Mengurangi erosi dan sedimentasi 34 4. Mengurangi / menahan intrusi air laut bagi daerah yang berdekatan dengan kawasan pantai 5. Mencegah penurunan tanah (land subsidance) 6. Mengurangi konsentrasi pencemaran air tanah. Bentuk dan jenis bangunan sumur resapan dapat berupa bangunan sumur resapan air yang dibuat segiempat atau silinderdengan kedalaman tertentu dan dasar sumur terletak di atas permukaan air tanah. Berbagai jenis konstruksi sumur resapan adalah: 1. Sumur tanpa pasangan di dinding sumur, dasar sumur tanpa diisi batu belah maupun ijuk (kosong) 2. Sumur tanpa pasangan di dinding sumur, dasar sumur diisi dengan batu belah dan ijuk. 3. Sumur dengan susunan batu bata, batu kali atau bataki di dinding sumur, dasar sumur diisi dengan batu belah dan ijuk atau kosong. 4. Sumur menggunakan buis beton di dinding sumur 5. Sumur menggunakan blawong (batu cadas yang dibentuk khusus untuk dinding sumur). Konstruksi-konstruksi tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing, pemilihannya tergantung pada keadaaan batuan / tanah (formasi batuan dan struktur tanah). Pada tanah / batuan yang relatif stabil, konstruksi tanpa diperkuat dinding sumur dengan dasar sumur diisi dengan batu belah dan ijuk tidak akan membahayakan bahkan akan memperlancar meresapnya air melalui celah-celah bahan isian tersebut. Pada tanah / batuan yang relatif labil, konstruksi dengan susunan batu bata / batu kali / batako untuk memperkuat dinding sumur dengan dasar sumur diisi batu belah dan ijuk akan lebih baik dan dapat direkomendasikan. Pada tanah dengan / batuan yang sangat labil, konstruksi dengan menggunakan buis beton atau blawong dianjurkan meskipun resapan air hanya berlangsung pada dasar sumur saja. Bangunan pelengkap lainnya yang diperlukan adalah bak kontrol, tutup sumur resapan dan tutup bak kontrol, saluran masuklan dan keluaran / pembuangan (terbuka atau tertutup) dan talang air (untuk rumah yang bertalang air). Pembuatan Sumur Resapan Air (SRA) a. Persiapan Penyiapan kelembagaan: a) Pertemuan dengan masyarakat/kelompok dalam rangka sosialisasi b) Pembentukan organisasi dan penyusunan program kerja Pembuatan sarana dan prasarana: Pengadaan peralataan/sapras diutamakan untuk jenis peralatan dan bahan yang habis pakai. Penataan areal kerja: c) Pembersihan lokasi sumur d) Penentuan letak sumur e) Pemasangan patok f) Pembuatan bangunan sumur resapan air di tanah milik masyarakat, tidak ada ganti rugi. b. Pembuatan 1. Penggalian tanah 2. Pemasangan dinding sumur 3. Pembuatan saluran air 35 4. Pembuatan bak control 5. Pemasangan talang air 6. Pembuatan saluran pelimpasan. c. Pemeliharaan. Pemeliharaan bangunan sumur resapan air meliputi : Pembersihan pipa saluran air/talang air bak control dan sal pelimpas Pengerukan lumpur Sumur resapan air (sumber: bebasbanjir2025.wordpress.com) Konstruksi sumur resapan seperti halnya sumur gali yakni dengan dinding perkuatan di bagian atas dan ruang sumur dibagian bawah di rencanakan kosong untuk menampung air sebanyak mungkin. Manfaat yang diperoleh dari system ini antara lain : Mencegah intrusi air laut untuk perkotaan daerah pantai Mereduksi dimensi jaringan drainase perkotaan Menghindari kemungkinan terjadinya banjir di daerah hilir Menurunkan konsentrasi pencemaran air tanah Mempertahankan tinggi muka air tanah Melestarikan teknologi tradisional Meningkatkan peran serta masyarakat Membudayakan pola pikir pelestarian lingkungan 36 Disain sumur resapan tersebut disesuaikan dengan : debit air yang mungkin dapat di tampung di sumur resapan, faktor geometrik, durasi aliran, radius sumur. Sumur resapan air (sumber: bebasbanjir2025.wordpress.com) 4. Transfer air antar DAS (water transfer from basin to basin) Merupakan upaya untuk menurunkan debit maksimum (peak discharge) dan waktu puncak (time to peak discharge), dengan mengalirkan air dari sungai ke sungai Cisadane melalui pembangunan saluran (sodetan), yang kini telah menjadi salah satu bahan pertimbangan pemerintah dalam mengatasi banjir di DKI Jakarta akibat melimpahnya volume air sungai . 5. Konservasi mekanik lahan Konservasi cara mekanik menggunakan sarana fisik seperti batu, tanah dll, yang bertujuan untuk memperlambat aliran permukaan dan mengurangi erosi, serta menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak merusak. Menurut Direktorat Tanaman Buah (2001) dikenal beberapa teknik konservasi mekanik lahan untuk usaha pertanian sebagai berikut : o Pengolahan tanah menurut kontur/ memotong lereng Pengolahan tanah yang dilakukan menurut kontur atau sabuk gunung, baik dengan pembajakan, pencangkulan atau perataan, sehingga terbentuk alur-alur dan jalur-jalur tumpukan tanah yang searah dengan kontur. Alur tanah tersebut akan merupakan penghambat erosi. Pengolahan tanah menurut kontur ini sebainya diikuti dengan penanaman dalam baris-baris memotong lereng. 37 bensoninstitute.org/.../LandPreparation.asp o Pembuatan guludan, teras, dan saluran/ pembuangan air. Beberapa cara dikenal guludan biasa, teras (teras guludan, teras kredit/sederhana dan teras bangku). Sedangkan saluran air berupa saluranpembuangan dan got buntu/rorak. o Guludan biasa Guludan biasa dibuat pada lahan dengan kemiringan lereng dibawah 6%, dimaksudkan untuk aliran permukaan yang mengalir menurut arah lereng. Dibuat menurut kontur, sedikit miring yang menuju saluran pembuangan. Pada guludan sebaiknya ditanami rumput penguat guludan dan tanaman tahuan penguat teras seperti lamtoro. o Teras guludan dan teras kredit Teras guludan dibuat pada lahan dengan kemiringan lereng 6-15%, arah memanjang sejajar kontur dan menuju ke saluran. Teras kredit merupakan penyempurnaan dari teras guludan yang memungkinkan daya tampung lumpur lebih besar lagi. o Teras bangku Teras bangku dibuat pada lahan dengan kemiringan lereng 8-30%. Teras bangku memiliki bentuk khas, antar bidang olah teras dibatasi oleh terjunan. Teras bangku terdiri dari beberapa bagian utama yaitu bidang olah, talut, guludan atau galengan dan saluran pembuangan air. 38 Sumber: nzdl.sadl.uleth.ca/cgi-bin/library.cgi?e=d-00... o Saluran/pembuangan air Untuk mengatasi genangan air dan mengatur jalannya air perlu dibuat saluran air. Pembuatan saluran pembuangan air dilakukan untuk mengendalikan air sehingga tidak merusak teras, guludan dan untuk meningkatkan presapan air ke dalam tanah. Saluran air dibuat pada tempat-tempat yang terjadi akumulasi air hujan dan air tsb dialirkan menuju saluran pembuangan air alami. Pada permukaan saluran perlu ditanami rumput. Pada tempat yang memiliki ketinggian yang berbeda, perlu dibuat bangunan terjunan air yang diberi penguat dengan batu, bambu atau kayu. Dengan demikian air yang mengalir turun tidak akan mengikis tanah yang menimbulkan longsor. Dikenal saluran air yang buntu, yang disebut rorak. Rorak dibuat untuk menampung air hujan yang jatuh dan air aliran permukaan dari bagian atas, sehingga tanah-tanah yang tererosi dari bagian atasnya diendapkan pada rorak dan tidak hanyut/hilang terbawa air. Setelah rorak penuh endapan tanah erosi, digali lagi dan tanah diratakan pada bidang olah teras. b. Pendekatan Sosial & Ekonomi Pendekatan ini dari sisi pemberdayaan masyarakat di dalam DAS dalam menjaga dan memelihara lahan, yang sekaligus sebagai sarana dalam mengembangkan usaha ekonomi 1. Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat merupakan inti dan sekaligus tujuan setiap proses pengembangan masyarakat (community development), maka kerangka berpikir pemberdayaan masyarakat akan sepenuhnya terkait dengan pengembangan masyarakat. Dalam hal pemberdayaan masyarakat dalam konsep pembangunan ini, istilah pengembangan atau pembangunan masyarakat tetap menekankan 39 pada pendekatan swadaya. Karena itu pengembagan masyarakat perlu dibangun di atas realitas masyarakat. Pada dasarnya pengembangan masyarakat yang dibangun di atas realitas diyakini akan lebih mampu menjamin pemberdayaan masyarakat, yakni proses untuk membina kemampuan masyarakat untuk mewujudkan daya kerjanya dalam memperbaiki martabat dan kedudukan sendiri. Ada 4 (empat) strategi yang dapat digunakan dalam melakukan pemberdayaan yaitu: o Strategi fasilitas, strategi ini dipergunakan ketika kelompok atau sistem yang dijadikan target mengetahui ada suatu masalah dan membutuhkan perubahan, kemudian ada keterbukaan terhadap bantuan dari luar dan keinginan pribadi untuk terlibat. o Strategi reeduktif, strategi ini membetuhkan waktu, khususnya dalam membentuk pengetahuan dan keahlian. o Strategi persuasif, strategi ini berupaya membawa perubahan melalui kebiasaan. o Strategi kekuasaan, membutuhkan agen perubahan yang mempunyai sumber-sumber untuk memberi bonus atau sanksi pada target serta mempunyai kemampuan untuk memonopoli akses. Berdasarkan pemikiran di atas, maka kegagalan dan keberhasilan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat akan ditentukan oleh kemampuan semua pihak yang terlibat pada proses pengembangan masyarakat dalam memahami realitas masyarakat dan lingkungannnya, sistem keprcayaan dan sistem nilai masyarakat tentang arti perubahan dan arti masa depan, mindscape masyarakat dalam bersikap dan berperilaku, serta faktor-faktor yang menentukan terbentuknya suatu mindscape tertentu. Dengan kata lain, pemahaman akan budaya dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan budaya masyarakat akan menentukan keberhasilan suatu program atau proyek pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. 2. Pengembangan kelembagaan Pengembangan kelembagaan diarahkan untuk dapat lebih melibatkan masyarakat dan memberdayakan masyarakat, dengan basis agar aktivitas ekonomi dapat berjalan tanpa mengganggu kelangsungan ekosistem atau mampu menjaga kelestarian alam., antara lain: - Pengembangan Koperasi Koperasi dikembangkan untuk memenuhi dan menampung kebutuhan warga Pemberdayaan Pondok Pesantren Pesantren mempunyai peran strategis sebagai institusi yang bergerak di bidang spiritual, ekonomi dan penjaga kelestarian alam. Oleh karena itu pemberdayaan pesantren diharapkan akan mampu menjadi acuan dan panutan dalam pengembangan model-model percontohan usaha pertanian yang terkait dengan pelestarian alam 3. Penyuluhan Penyuluhan ditekankan pada pengembangan usaha ekonomi produktif yang tidak merusak lingkungan, khususnya di bidang usaha pertanian, penguatan dan pemberdayaan kelembagaan, serta pelestarian lingkungan. Penyuluhan dapat dilaksanakan dalam bentuk pameran pendidikan, penyuluhan ke sekolah-sekolah, kelompok-kelompok tani, pesantren, PKK, karang taruna, dan lainlainnya. 4. Pengembangan Produk Ekowisata Pariwisata telah menjadi salah satu kegiatan ekonomi global yang terbesar, dan melalui pengembangan produk ekowisata diharapkan dapat menjadi salah satu cara untuk membiayai konservasi alam dan meningkatkan nilai lahan yang dibiarkan alami (The Ecotourism Society, 1999). Karena itu, pengembangan sebuah produk yang mampu memberikan kontribusi positif bagi 40 lingkungan harus menjadi prioritas. Ekowisata merupakan gabungan dari berbagai kepentingan yang muncul dari kepedulian terhadap masalah sosial, ekonomi dan lingkungan. Dengan kata lain, ekowisata adalah wisata bertanggung jawab ke daerah alami yang melestarikan lingkungan. Pengembangan ekowisata yang benar harus dilakukan berdasarkan system pandang yang mencakup di dalamnya prinsip berkelanjutan dan partisipasi keterlibatan penduduk setempat di dalam area DAS yang potensial untuk pengembangan ekowisata. Jadi, di sini ekowisata harus berupa kerangka sebuah usaha bersama antara penduduk setempat dan pengunjung yang peduli dan berpengetahuan untuk melindungi lahan-lahan liar dan asset biologi, serta kebudayaan melalui dukungan dari pengembangan masyarakat. Pengembangan masyarakat di sini kita definisikan sebagai pemberdayaan kelompok setempat yang sudah ada untuk mengontrol dan mengelola sumber daya yang berharga dengan cara yang tidak hanya menjaga kelangsungan sumber daya tersebut tetapi juga memenuhi kebutuhan sosial, budaya dan ekonomi dari kelompok tersebut (Nasution, 2004) Definisi Ecotourism diberikan oleh 'The International Ecotourism Society' (TIES), tahun 1990, paling banyak digunakan, yaitu: "responsible travel to natural areas, which conserves the environment and improves the welfare of local people". Dengan demikian tujuan ekowisata adalah: 1). Konservasi sumberdaya alam dan budaya 2). Perbaikan kesejahteraan masyarakat local (ekonomi dan budaya) 3). Pemberdayaan dan pengkayaan pengalaman wisata 4). Profitabilitas ekonomis dan bisnis. Obyek wisata alam dan kegiatannya (sumber: ecotourism.org.il) Istilah “ekowisata” dapat diartikan sebagai perjalanan oleh seorang turis ke daerah terpencil dengan tujuan menikmati dan mempelajari mengenai alam, sejarah dan budaya di suatu daerah, di mana pola wisatanya membantu ekonomi masyarakat local dan mendukung pelestarian alam. Para pelaku dan pakar di bidang ekowisata sepakat untuk menekankan bahwa pola ekowisata sebaiknya meminimalkan dampak yang negatif terhadap linkungan dan budaya setempat dan mampu meningkatkan pendapatan ekonomi bagi masyarakat setempat dan nilai konservasi. Beberapa aspek kunci dalam ekowisata adalah: 1. Jumlah pengunjung terbatas atau diatur supaya sesuai dengan daya dukung lingkungan dan sosial-budaya masyarakat (vs mass tourism) 2. Pola wisata ramah lingkungan (nilai konservasi) 41 3. Pola wisata ramah budaya dan adat setempat (nilai edukasi dan wisata) 4. Membantu secara langsung perekonomian masyarakat lokal (nilai ekonomi) 5. Modal awal yang diperlukan untuk infrastruktur tidak besar (nilai partisipasi masyarakat dan ekonomi). Ekowisata berbasis masyarakat (community-based ecotourism) Pola ekowisata berbasis masyarakat adalah pola pengembangan ekowisata yang mendukung dan memungkinkan keterlibatan penuh oleh masyarakat setempat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan usaha ekowisata dan segala keuntungan yang diperoleh. Ekowisata berbasis masyarakat merupakan usaha ekowisata yang menitikberatkan peran aktif komunitas. Hal tersebut didasarkan kepada kenyataan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang alam serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata, sehingga pelibatan masyarakat menjadi mutlak. Pola ekowisata berbasis masyarakat mengakui hak masyarakat lokal dalam mengelola kegiatan wisata di kawasan yang mereka miliki secara adat ataupun sebagai pengelola. Ekowisata berbasis masyarakat dapat menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat, dan mengurangi kemiskinan, di mana penghasilan ekowisata adalah dari jasa-jasa wisata untuk turis: fee pemandu; ongkos transportasi; homestay; menjual kerajinan, dll. Ekowisata membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga antar penduduk setempat yang tumbuh akibat peningkatan kegiatan ekowisata. Dengan adanya pola ekowisata berbasis masyarakat bukan berarti bahwa masyarakat akan menjalankan usaha ekowisata sendiri. Tataran implementasi ekowisata perlu dipandang sebagai bagian dari perencanaan pembangunan terpadu yang dilakukan di suatu daerah. Untuk itu, pelibatan para pihak terkait mulai dari level komunitas, masyarakat, pemerintah, dunia usaha dan organisasi non pemerintah diharapkan membangun suatu jaringan dan menjalankan suatu kemitraan yang baik sesuai peran dan keahlian masing-masing. Beberapa aspek kunci dalam ekowisata berbasis masyarakat adalah: 1. Masyarakat membentuk panitia atau lembaga untuk pengelolaan kegiatan ekowisata di daerahnya, dengan dukungan dari pemerintah dan organisasi masyarakat (nilai partisipasi masyarakat dan edukasi) 2. Prinsip local ownership (=pengelolaan dan kepemilikan oleh masyarakat setempat) diterapkan sedapat mungkin terhadap sarana dan pra-sarana ekowisata, kawasan ekowisata, dll (nilai partisipasi masyarakat) 3. Homestay menjadi pilihan utama untuk sarana akomodasi di lokasi wisata (nilai ekonomi dan edukasi) 4. Pemandu adalah orang setempat (nilai partisipasi masyarakat) 5. Perintisan, pengelolaan dan pemeliharaan obyek wisata menjadi tanggungjawab masyarakat setempat, termasuk penentuan biaya (=fee) untuk wisatawan (nilai ekonomi dan wisata). Ekowisata dan konservasi Sejak 1970an, organisasi konservasi mulai melihat ekowisata sebagai alternatif ekonomi yang berbasis konservasi karena tidak merusak alam ataupun tidak “ekstraktif” dengan berdampak negatif terhadap lingkungan seperti penebangan dan pertambangan. Ekowisata juga dianggap sejenis usaha yang berkelanjutan secara ekonomi dan lingkungan bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan konservasi. Namun agar ekowisata tetap berkelanjutan, perlu tercipta kondisi yang memungkinkan di mana masyarakat diberi wewenang untuk mengambil keputusan dalam pengelolaan usaha ekowisata, mengatur arus dan jumlah wisatawan, dan mengembangkan ekowisata sesuai visi dan harapan masyarakat untuk masa depan. Ekowisata dihargai dan dkembangkan sebagai salah satu 42 program usaha yang sekaligus bisa menjadi strategi konservasi dan dapat membuka alternatif ekonomi bagi masyarakat. Dengan pola ekowisata, masyarakat dapat memanfaatkan keindahan alam yang masih utuh, budaya, dan sejarah setempat tanpa merusak atau menjual isinya. Sarana pendukung ekowisata yang bernilai konservasi dan ekonomi tinggi Industri parawisata adalah industri yang diperkirakan akan terus berkembang, dan nuansa alam dalam industri ini akan semakin jauh meningkat. Ekowisata dapat menciptakan nilai ekonomis bagi kawasan-kawasan konservasi. Agar bisnis ekowisata dapat menguntungkan sebagai mana yang diharapkan, beberapa kondisi harus diciptakan, yaitu antara lain: • Meningkatkan dan menambah sarana prasarana pendukung serta mendorong terbuka dan terhubungnya akses ke/dari dan antar daerah tujuan ekowisata tanpa merusak aset utama ekowisata yaitu alam yang asli melalui peningkatan dan optimalisasi jalur transportasi udara. • Mendorong kebijakan pemerintah Indonesia di bidang keimigrasian di daerah tujuan ekowisata yang terletak di perbatasan, khususnya di daerah Heart of Borneo. Pemasaran produk ekowisata Ada dua aspek yang sangat terkait dan perlu dibahas secara bersamaan jika ingin mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat sebagai satu usaha yang berhasil. Usaha harus layak secara ekonomi, menghasilkan pendapatan yang signifikan untuk masyarakat setempat, dan dikelola secara profesional. Kemudian, usaha tersebut perlu adil, bermanfaat buat masyarakat lokal sebagai mitra utama, dan mendukung konservasi secara nyata. Dalam mengembangkan pemasaran, strategi pencitraan (branding) dan promosi untuk produk ekowisata sangat penting, melalui: • Mengikuti kegiatan promosi dan pemasaran berskala internasional • Melakukan survei pasar secara berkala untuk mengetahui dinamika pasar • Mengidentifikasi target pasar untuk produk ekowisata yang dikembangkan • Menyelenggarakan promosi secara khusus (fam trip, media trip, dll.) • Membuka dan menjalin hubungan terbuka dengan pihak swasta dan mendorong adanya kesepakatan antara organisasi masyarakat dengan tour operator. Prinsip-prinsip ekowisata berbasis masyarakat dan konservasi 1. Keberlanjutan Ekowisata dari Aspek Ekonomi, Sosial dan Lingkungan (prinsip konservasi dan partisipasi masyarakat) Ekowisata yang dikembangkan di kawasan konservasi adalah ekowisata yang “HIJAU dan ADIL” (Green& Fair) untuk kepentingan pembangunan berkelanjutan dan konservasi, yaitu sebuah kegiatan usaha yang bertujuan untuk menyediakan alternative ekonomi secara berkelanjutan bagi masyarakat di kawasan yang dilindungi, berbagi manfaat dari upaya konservasi secara layak (terutama bagi masyarakat yang lahan dan sumberdaya alamnya berada di kawasan yang dilindungi), dan berkontribusi pada konservasi dengan meningkatkan kepedulian dan dukungan terhadap perlindungan bentang lahan yang memiliki nilai biologis, ekologis dan nilai sejarah yang tinggi. 43 Kriteria: • Prinsip daya dukung lingkungan diperhatikan dimana tingkat kunjungan dan kegiatan wisatawan pada sebuah daerah tujuan ekowisata dikelola sesuai dengan batas-batas yang dapat diterima baik dari segi alam maupun sosial-budaya • Sedapat mungkin menggunakan teknologi ramah lingkungan (listrik tenaga surya, mikrohidro, biogas, dll.) • Mendorong terbentuknya ”ecotourism conservancies” atau kawasan ekowisata sebagai kawasan dengan peruntukan khusus yang pengelolaannya diberikan kepada organisasi masyarakat yang berkompeten Pengembangan institusi masyarakat lokal dan kemitraan Aspek organisasi dan kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan ekowisata juga menjadi isu kunci: pentingnya dukungan yang profesional dalam menguatkan organisasi lokal secara kontinyu, mendorong usaha yang mandiri dan menciptakan kemitraan yang adil dalam pengembangan ekowisata. Beberapa contoh di lapangan menunjukan bahwa ekowisata di tingkat lokal dapat dikembangkan melalui kesepakatan dan kerjasama yang baik antara Tour Operator dan organisasi masyarakat (contohnya: KOMPAKH, LSM Tana Tam). Peran organisasi masyarakat sangat penting oleh karena masyarakat adalah stakeholder utama dan akan mendapatkan manfaat secara langsung dari pengembangan dan pengelolaan ekowisata. Koordinasi antar stakeholders juga perlu mendapatkan perhatian. Salah satu model percontohan organisasi pengelolaan ekowisata yang melibatkan semua stakeholders termasuk, masyarakat, pemerintah daerah, UPT, dan sektor swasta, adalah ”Rinjani Trek Management Board.” Terbentuknya Forum atau dewan pembina akan banyak membantu pola pengelolaan yang adil dan efektif terutama di daerah di mana ekowisata merupakan sumber pendapatan utama bagi masyarakat setempat. Kriteria: • Dibangun kemitraan antara masyarakat dengan Tour Operator untuk memasarkan dan mempromosikan produk ekowisata; dan antara lembaga masyarakat dan Dinas Pariwisata dan UPT • Adanya pembagian adil dalam pendapatan dari jasa ekowisata di masyarakat • Organisasi masyarakat membuat panduan untuk turis. Selama turis berada di wilayah masyarakat, turis/tamu mengacu pada etika yang tertulis di dalam panduan tersebut. • Ekowisata memperjuangkan prinsip perlunya usaha melindungi pengetahuan serta hak atas karya intelektual masyarakat lokal, termasuk: foto, kesenian, pengetahuan tradisional, musik, dll. Ekonomi berbasis masyarakat (Prinsip partisipasi masyarakat) Homestay adalah sistem akomodasi yang sering dipakai dalam ekowisata. Homestay bisa mencakup berbagai jenis akomodasi dari penginapan sederhana yang dikelola secara langsung oleh keluarga sampai dengan menginap di rumah keluarga setempat. Homestay bukan hanya sebuah pilihan akomodasi yang tidak memerlukan modal yang tinggi, dengan sistem homestay pemilik rumah dapat merasakan secara langsung manfaat ekonomi dari kunjungan turis, dan distribusi manfaat di masyarakat lebih terjamin. Sistem homestay mempunyai nilai tinggi sebagai produk ekowisata di mana soerang turis mendapatkan kesempatan untuk belajar mengenai alam, budaya masyarakat dan kehidupan sehari-hari di lokasi tersebut. Pihak turis dan pihak tuan rumah bisa saling mengenal dan 44 belajar satu sama lain, dan dengan itu dapat menumbuhkan toleransi dan pemahaman yang lebih baik. Homestay sesuai dengan tradisi keramahan orang Indonesia. Dalam ekowisata, pemandu adalah orang lokal yang pengetahuan dan pengalamannya tentang lingkungan dan alam setempat merupakan aset terpenting dalam jasa yang diberikan kepada turis. Demikian juga seorang pemandu lokal akan merasakan langsung manfaat ekonomi dari ekowisata, dan sebagai pengelola juga akan menjaga kelestarian alam dan obyek wisata. Kriteria: • Ekowisata mendorong adanya regulasi yang mengatur standar kelayakan homestay sesuai dengan kondisi lokasi wisata • Ekowisata mendorong adanya prosedur sertifikasi pemandu sesuai dengan kondisi lokasi wisata • Ekowisata mendorong ketersediaan homestay • Ekowisata dan tour operator turut mendorong peningkatan pengetahuan dan keterampilan serta perilaku bagi para pelaku ekowisata terutama masyarakat Prinsip Edukasi: Ekowisata memberikan banyak peluang untuk memperkenalkan kepada wisatawan tentang pentingnya perlindungan alam dan penghargaan terhadap kebudayaan lokal. Dalam pendekatan ekowisata, Pusat Informasi menjadi hal yang penting dan dapat juga dijadikan pusat kegiatan dengan tujuan meningkatkan nilai dari pengalaman seorang turis yang bisa memperoleh informasi yang lengkap tentang lokasi atau kawasan dari segi budaya, sejarah, alam, dan menyaksikan acara seni, kerajinan dan produk budaya lainnya. Kriteria: • Kegiatan ekowisata mendorong masyarakat mendukung dan mengembangkan upaya konservasi • Kegiatan ekowisata selalu beriringan dengan aktivitas meningkatkan kesadaran masyarakat dan mengubah perilaku masyarakat tentang perlunya upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya • Edukasi tentang budaya setempat dan konservasi untuk para turis/tamu menjadi bagian dari paket ekowisata • Mengembangkan skema di mana tamu secara sukarela terlibat dalam kegiatan konservasi dan pengelolaan kawasan ekowisata selama kunjungannya (stay & volunteer). Pengembangan dan penerapan rencana tapak dan kerangka kerja pengelolaan lokasi ekowisata (prinsip konservasi dan wisata). Dalam perencanaan kawasan ekowisata, soal daya dukung (=carrying capacity) perlu diperhatikan sebelum perkembanganya ekowisata berdampak negative terhadap alam (dan budaya) setempat. Aspek dari daya dukung yang perlu dipertimbangkan adalah: jumlah turis/tahun; lamanya kunjungan turis; berapa sering lokasi yang “rentan” secara ekologis dapat dikunjungi; dll. Zonasi dan pengaturannya adalah salah satu pendekatan yang akan membantu menjaga nilai konservasi dan keberlanjutan kawasan ekowisata. Kriteria: • Kegiatan ekowisata telah memperhitungkan tingkat pemanfaatan ruang dan kualitas daya dukung lingkungan kawasan tujuan melalui pelaksanaan sistem zonasi dan pengaturan waktu kunjungan 45 • Fasilitas pendukung yang dibangun tidak merusak atau didirikan pada ekosistem yang sangat unik dan rentan • Rancangan fasilitas umum sedapat mungkin sesuai tradisi lokal, dan masyarakat lokal terlibat dalam proses perencanaan dan pembangunan • Ada sistem pengolahan sampah di sekitar fasilitas umum. • Kegiatan ekowisata medukung program reboisasi untuk menyimbangi penggunaan kayu bakar untuk dapur dan rumah • Mengembangkan paket-paket wisata yang mengedepankan budaya, seni dan tradisi lokal. • Kegiatan sehari-hari termasuk panen, menanam, mencari ikan/melauk, berburu dapat dimasukkan ke dalam atraksi lokal untuk memperkenalkan wisatawan pada cara hidup masyarakat dan mengajak mereka menghargai pengetahuan dan kearifan lokal. Pengembangan Pemasaran Produk Dalam pengelolaan lahan agar dapat lestaris perlu ditangani melalui penanganan teknis dan sosial ekonomi, untuk memasarkan produk produk hasil pertanian tidak sulit, selain DAS hulu merupakan daerah wisata, juga dekat dengan daerah pemasaran potensial yaitu kota-kota besar di daerah bawahnya. Dengan melalui kelompok kelompok masyarakat yang dibentuk yang diikat melalui paguyuban usaha Koperasi, sehingga produk produk tersebut mudah cara pemasarannya, baik melalui pasar tradisional, supermaket dan mall. Yang lebih penting justru menjaga kualitas dan kontinuitasnya, shg dengan demikian pemasran dapat diusahakan secara effisien. Untuk itu perlu diciptakan jaringan yang mantap antara produsen (petani) dengan tempat pemasaran (pasar tradisional, Super maket dan mall). Pendekatan Kebijakan Pengelolan DAS Kawasan DAS dapat dibagi atas zona Budibaya (B) dan zona Non budidaya (N). Zona Budidaya dan zona Non budidaya adalah zona-zona yang ditetapkan karakteristik pemanfatan ruangnya, berdasarkan dominasi fungsi kegiatan masing-masing zona pada kawasan budidaya dan kawasan lindung. Untuk DAS hulu masalah yang penting menyangkut kedua jenis zona tersebut adalah : - Keseimbangan lingkungan secara terpadu - Penyediaan dan pengelolaan air baku - Sistem pengendalian banjir, sbb: a. Reboisasi hutan dan penghijauan tangkapan air b. Pentaan kawasan sungai dan anak-anak sungainya c. Normalisasi sungai dan anak-anak sungainya d. Pengembangan waduk-waduk pengendali banjir dan pelestarian situ-situ e. Pembangunan prasarana dan pengendali banjir - Sistem pengelolaan persampahan Dari hulu ke hilir DAS akan mempengaruhi dan melalui kawasan-kawasan (zona N) yang diarahkan untuk konservasi air dan tanah : - Kawasan hutan lindung - Kawasan resapan air - Kawasan dengan kemiringan tertentu 46 - Sempadan sungai Sempadan pantai Kawasan sekitar danau/ waduk/ situ Kawasan sekitar mata air Kawasan pantai berhutan bakau Taman hutan raya Taman wisata alam Sedangkan untuk kawasan budidaya lainnya maka akan dipengaruhi oleh permukiman sepanjang DAS dan peruntukan lain seperti industri. Penataan bangunan dan lingkungan di perkotaan dan di perdesaan yang sesuai dengan pola pemanfaatan ruangnya. Pengendalian pemanfaatan ruang sangat penting antara lain dengan pemberian izin membangun bangunan gedung, prasaranan dan sarana lingkungan. Dalam penataan ruang dan penataan bangunan di DAS dan sekitarnya hendaknya berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dengan mengacu pada pendekatan bioregional yang memiliki 4(empat) hal pokok : - Wilayah-wiayah yang didefinisikan secara biologis menawarkan skala spasial paling menguntungkan dimana sejumlah bentuk human governance dan pembangunan bisa dipraktekkan. - Human governance (tatanan yang berkemanusiaan) dalam sebuah bioregional hendaknya bersifat demokratis dan bertanggung jawab pada pengendalian lokal, serta harus mengembangkan kualitas hidup yang tinggi dan berkeadilan social - Pembangunan ekonomi dalam sebuah bioregional hendaknya dikelola secara lokal menggunakan teknologi yang layak dan mengembangkan ekploitasi ekosistem. - Interdependensi politik dan ekonomi bioregional hendaknya dilembagakan ditingkattingkat pemerintahan Bioregionalism merupakan sistem tatanan politik, budaya dan lingkungan yang didasarkan atas kawasan alamiah yang disebut bioregions, atau ecoregions. Bioregion didefinisikan berdasarkan karakteristik fisik dan lingkungan, termasuk batas-batas DAS dan cirri-ciri tanah dan bentang lahannya. Bioregionalism menekankan bahwa penetapan suatu bioregion juga merupakan fenomena budaya dan menekankan kearifan local, masyarakat local, dan permasalahan lokal serta solusinya. Perspektif bioregionalisme adalah: Batas-batas politis sesuai dengan batas-batas ekologis Megutamakan keunikan ecology dari suatu bioregion. Mendorong konsumsi pangan lokal. Mndorong penggunaan material local. Mendorong budidaya jenis-jenis tanaman lokal. Mendorong kelestarian bioregion. Bioregion didefinisikan dalam konteks keunikan karakteristik alamiah yang dijumpai di suatu lokasi tertentu. Keunikan ini meliputi unsure-unsur bentang lahan, kondisi iklim, musim, tanah dan flora-fauna alamianya. Manusia juga dipandang sebagai bagian integral dari tempat hidupnya, sebagaimana tercermin dari pola interaksi dan adaptasi terhadap kondisi lingkungan hidupnya. Bioregionalism menggunakan semua informasi untuk mencapai tiga tujuan utamanya, yaitu: (1) memulihkan dan memelihara system alami lokal; (2) mempraktekkan cara-cara yang lestari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti pangan, air, energi, perumahan, dan material; dan (3) mendukung penataan ruang yang lestari. 47 Sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) DAS merupakan area bentang lahan melalui mana air mengalir menuju titik terendah, yaitu sungai, danau, atau laut. DAS menangkap air hujan dan menyalurkan air itu melalui saluran-saluran air menuruni bentang lahan. Bentuk dan ukuran DAS beragam sekali, demikian juga bentuk muka lahannya bias berbukit, bergunung, dataran; dan dapat melingkuki beragam tipe penggunaan lahan seperti hutan, pertanian dan perkotaan. Pengelolaan DAS biasanya meliputi pendugaan, pendanaan, asistensi teknis; serta kreasi, implementasi, dan koordinasi rencana kerja dan strategi untuk memulihkan dan melindungi groundwater dan air permukaan. Program pengelolaan DAS biasanya mencakup: - Watershed Planning - Watershed Restoration - Watershed Protection and Stewardship - Watershed Education and Outreach. Upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan kering dengan mempertimbangkan kendala fisik biotik tanah, antara lain dapat dilakukan melalui: (1) pengendalian erosi, (2) perbaikan sifat fisik tanah, (3) perbaikan sifat kimia tanah, dan (4) perbaikan sifat biologi tanah. 1. Pengendalian Erosi. Pengendalian erosi berarti mengurangi peranan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap erosi sehingga proses erosi terhambat atau berkurang. Pengendalian erosi dapat dilakukan dengan cara: mekanik (teras bangku, teras gulud, dan teras kridit); vegetatif (strip rumput, mulsa, tanaman penutup tanah, olah tanah konservasi, dan tanaman lorong); dan usahatani konservasi (pengaturan pola tanam). Aplikasi di lapang biasanya merupakan kombinasi dari cara-cara tersebut di atas. 2. Perbaikan sifat fisik tanah. Sifat fisik tanah seperti bobot isi, aerasi, kemantapan agregat, kapasitas infiltrasi dan kemampuan tanah menahan air, kepadatan dan ketahanan penetrasi tanah perlu diperbaiki agar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Upaya tersebut antara lain dapat dilakukan dengan cara: (1) penggunaan mulsa sisa tanaman, (2) penggunaan bahan organik, dan (3) olah tanah konservasi. 3. Perbaikan sifat kimia tanah. Upaya untuk meningkatkan produktivitas tanah dapat dilakukan melalui perbaikan sifat kimia tanah dengan memperhatikan kendala kimia tanah. Upaya tersebut antara lain dapat dilakukan melalui: (1) pengapuran, (2) pengelolaan bahan organik, dan (3) pemupukan. 48 4. Perbaikan sifat biologi tanah. Peningkatan produktivitas lahan kering juga dapat dilakukan melalui perbaikan sifat biologi tanah. Upaya perbaikan dapat dilakukan dengan cara pemberian beberapa macam bahan organik seperti sisa tanaman dari calopogonium, tanaman pangan, dan mucuna. DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, A. dan Sutono. 2002. Teknologi pengendalian erosi lahan berlereng. Hal. 103-146 dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Abdurachman, A., A. Barus, U. Kurnia, dan Sudirman. 1985. Peranan pola tanam dalam usaha pencegahan erosi pada lahan pertanian semusim. Pemb. Pen. Tanah dan Pupuk 4: 41-46. Adiwilaga, A. (1985), Ilmu Usaha Tani, Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran, Bandung. Adriani, R.D. (2004), Terminal Agribisnis, Perlukah Di Kawasan Transmigrasi ?, www.nakertrans.go.id. Diakses tanggal 7 Juni 2005. Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press, Bogor. Baharsjah, J.S., dkk. 1997. Sumberdaya Air dan Iklim dalam Mewujudkan Pertanian Efisien. Departemen Pertanian dan Perhimpi. Jakarta. BRLKT. 1986. Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. Ciujung-Ciliwung. Bogor. DeMaria, I.C., Nnabude, P.C., de Castro, O.M. 1999. Long-term tillage and crop rotation effects on soil chemical properties of a Rhodic Ferralsol in Southern Brazil. Soil & Tillage Research 51 (1999) 71-79. Dillon, H.S. (1999), Pertanian Membangun Bangsa, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Ditjen RLPS. 2000. Pengembangan Sistem Insentif Dalam rangka Rehabilitasi Lahan/Penghijauan di 3 (tiga) DAS. Kerjasama Ditjen RLPS dengan Fak. Kehutanan IPB. Bogor. Djaenuddin D., et al. (1997), Buku Penyusunan Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Djaenuddin D., et al. (2003), Petunjuk Teknis Evaluasi lahan Untuk Komoditas Pertanian, Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian dan pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. Erfandi, D. 2001. Sistem pengelolaan lahan kering dalam upaya penanggulangan lahan terdegradasi. Hal 613-618 dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam untuk Mencapai Produktivitas Optimum Berkelanjutan. Universitas Lampung, Bandar Lampung. Fakhrudin, M. 2003. Kajian Respon Hidrologi Akibat Perubahan Penggunaan Lahn di DAS Ciliwung. Bahan Seminar Program Pascasarjana IPB. Bogor. Lembaga Penelitian Unila. 1999. Evaluasi dan Studi Pengembangan DAS Way FAO. (1976), A framework for Land Evaluation. Soil Resources Management and Conservation Service Land and Water Development Division, FAO Soil Buletin No. 32, FAO-UNO, Rome. Ferreras, L.A., J.L. Costa, F.O. Garcia, and C. Fecorari. 2000. Effect of no-tillage on some soil physical properties of a structural degraded Petrocalcic Paleudoll of the Southern “Pampa” of Argentina. Soil & Tillage Research 54 (2000) 31-39. Hafif, B., D,. Santoso, Mulud S., dan Putu Wigena. 1992. Beberapa cara pengelolaan tanah untuk pengendalian erosi. Pemb. Pen. Tanah dan Pupuk 10:54-60. Haryati, U., Haryono, dan A. Abdurachman. 1995. Pengendalian erosi dan aliran permukaan serta produksi tanaman pangan dengan berbagai teknik konservasi pada tanah Typic Eutropepts di Ungaran, Jawa Tengah. Pemb. Pen. Tanah dan Pupuk 13:40-50. 49 Hidayat, A. dan A. Mulyani. 2002. Lahan kering untuk pertanian. Hal. 1-34 dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Irianto G. A. Abdurachman dan I. Juarsah. 1993. Rehabilitasi tanah Tropudults tererosi dengan sistem pertanaman lorong menggunakan tanaman pagar Flemingia congesta. Pemb. Pen. Tanah dan Pupuk 11:13-18. Kurnia U. 1996. Kajian Metode Rehabilitasi Lahan untuk Meningkatkan dan Melestarikan Produktivitas Tanah. Disertasi Doktor. Program Pasca Sarjana IPB Bogor. Kurnia, U., N. Sinukaban, F.G. Suratmo, H. Pawitan, dan H. Suwardjo. 1997. Pengaruh teknik rehabilitasi lahan terhadap produktivitas tanah dan kehilangan hara. Pemb. Pen. Tanah dan Pupuk 15:10-18. Kurnia, U., Sudirman, dan H. Kusnadi. 2002. Teknologi rehabilitasi dan reklamasi lahan kering. Hal. 147-182 dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Mahi, A K. 2001. Tata Ruang dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Makalah Kursus Amdal Angkatan XIV 9-16 Juli 2001. PSL Unila. Bandar Lampung Manik, KES. 1999. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Mather, A.S. (1986), Land Use. Longman. London and New York. Munaf, Muslim. 1992. Kajian Sifat Aliran Sungai Ciliwung. Thesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nugroho, I. dan Dahuri, R. (2004), Pembangunan Wilayah, Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan, LP3ES, Jakarta. Nursyamsi, D. 2003. Penelitian kesuburan tanah Oxisol untuk jagung. J. Tanah Trop. 17:53-65. Puslittanak. 2000. Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia skala 1 : 1.000.000. Puslittanak, Badan Litbang Pertanian, Bogor. Pawitan, H. 1989. Laporan Akhir Penelitian : Karakterisasi Hidrologi dan Daur Limpasan Permukaan DAS Ciliwung. Jur. Geofisika dan Meteoreologi, FMIPA-IPB. Bogor. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. (1993), Laporan Hasil Penelitian Tahun Anggaran 1992/1993, Penelitian Optimalisasi Penggunaan Lahan Daerah Aliran Sungai (DAS), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Rachmaniah, M. et al. (2002), Menjadikan Pertanian Sebagai Primadona di Negeri Sendiri, www.rudyct.tripod.go.id . Diakses tanggal 7 Juni 2005. Rarem dan Way Abung Kabupaten Lampung Utara. Kerjasama Pemda Kabupaten Lampung Utara dengan UNILA. Bandar Lampung. Riyadi, D.S. (2002), Pengembangan Wilayah, Teori dan Konsep Dasar, Prosiding Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah, Jakarta, Ambardi, U.M dan Prihawantoro, S., Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah, Deputi Pengkajian Kebijakan Teknologi, Badan Pengkajian da Penerapan Teknologi, 48-65. Sim, Low Kwai. 1990. Manual on Watershed Research. Asean-US Watershed Project. College, Laguna Philipines. Sinukaban, N. (1989), Manual Inti tentang Konservasi Tanah dan Air di Daerah Transmigrasi, PT. Indeco Duta Utama, Jakarta. Siregar, R. (2005), Arahkan Agroindustri dalam Otonomi Daerah di Kabupaten Simalungun, Sinar Indonesia Baru, 29 April. Diakses tanggal 7 Juni 2005. Sitorus, S.H.P. (1995), Evaluasi Sumberdaya Lahan, Tarsito, Bandung. Sudartho, T., H. Suwardjo, D. Erfandy, dan T. Budhyastoro. 1992. Permasalahan dan penanggulangan lahan alang-alang. Hal. 51-70 dalam Pemanfaatan Lahan Alang-alang untuk Usahatani Berkelanjutan. Prosiding Seminar Lahan Alang-alang. Bogor, 1 Desember 1992. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. 50 Suganda, H., M. S. Djunaedi, D. Santoso, dan Soleh Sukmana. 1997. Pengaruh cara pengendalian erosi terhadap aliran permukaan, tanah tererosi, dan produksi sayuran pada Andisols. Pemb. Pen. Tanah dan Pupuk 15:38-50. Sugandhy, A. (1999), Penataan Ruang Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Gramedia, Jakarta Sugiharto, B. (2001), Arahan Pemanfaatan Lahan Untuk Kegiatan Permukiman Berdasarkan Analisis Kesesuaian Lahan dan Penilaian Kualitas SUB DAS. Tesis Program Magister, Institut Teknologi Bandung. Sukristionubowo, Pulyadi, Putu Wigena, dan A. Kasno. 1993. Pengaruh penambahan bahan organic, kapur dan pupuk NPK terhadap sifat kimia tanah dan hasil kacang tanah. Pemb. Pen. Tanah dan Pupuk 11:1-6. Suwardjo A. Abdurachman dan S. Abujamin 1989. The use of crop residue mulch to minimize tillage frequency. Pemb. Pen. Tanah dan Pupuk 8:31-37. Suwardjo, H. dan Ai Dariah. 1995. Teknik olah tanah konservasi untuk menunjang pengembangan pertanian lahan kering yang berkelanjutan. Hal 8-13 dalam Prosiding Seminar Nasional V. Budidaya Pertanian Olah Tanah Konservasi. Bandar Lampung, 8-9 Mei 1995. Kerjasama UNILA, HIGI, HITI, dan Jurusan BDP, Faperta, IPB. Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. (1993), Petunjuk Teknik Evaluasi Lahan, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat bekerjasama dengan Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Yuli Arsana, I.N. 2003. Implementasi Pengelolaan DAS dalam Mendukung Konservasi Sumberdaya Air untuk Pembangunan Berkelanjutan. Prosiding Seminar Hari Air Sedunia. Jakarta. Yuwono, Slamet Budi. 2000. Studi Karakteristik Fisik DAS Way Rarem Bagian Hulu, Lampung Utara. Jurnal Manajemen dan Kualitas Lingjungan. Vol 1. No.3. Pusat Studi Lingkungan UNILA. Bandar Lampung.