Memahami Kelompok Separatis

advertisement
Memahami Kelompok Separatis
Oleh Yon Machmudi1
Beberapa minggu terakhir ini muncul berbagai peristiwa penting yang melibatkan
kelompok separatis. Pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon,
demontrasi menuntut referendum yang dilakukan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di
Yogya dan terakhir penggunaan logo Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bagi partai lokal di
Aceh. Aktifitas mereka walau masih dalam kerangka aksi-aksi damai (nonviolent action)
tetapi telah menciptakan persoalan besar bagi bangsa Indonesia. Kehadiran kaum
separatis ini dianggap telah mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Terhadap kasus pendirian partai GAM sendiri, misalnya baik pihak eksekutif
maupun legislatif memiliki suara yang sama yaitu dengan tegas menolak pemunculan
segala bentuk simbol-simbol separatisme di Indonesia (Sindo, 10/07).
Strategi yang tepat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan separatisme di Indonesia
perlu untuk dikembangkan. Mengingat mulai berkembangnya tren baru dalam gerakan
separatisme yang mengedepankan perjuangan anti kekerasan maka pola pendekatan yang
lebih bersabahat dengan mengedepankan sikap untuk lebih memahami dan tidak sekedar
mewaspadai ancaman menjadi sangat penting. Di era demokrasi saat ini pemerintah
dituntut mampu mengembangkan strategi dalam mengatasi kelompok-kelompok separatis
ini tanpa harus melanggar hak-hak azasi manusia. Walaupun model pendekatan yang
mengandalkan kekuatan sosial budaya ini dianggap kurang populer dan terkesan terlalu
kompromistis tetapi model seperti ini tetap menjadi pilihan realistis dibanding dengan
mengedepankan cara-cara represif ala militer yang sering kontra produktif itu.
Strategi Separatisme
Setelah sering mengalami kegagalan karena kuatnya represi dari aparat keamanan negara,
kaum separatis pun mulai mengalihkan strategi perjuangan mereka dari model kekerasan
menuju aksi-aksi damai. Pihak pemerintah yang menjadi lawan kaum separatis sering
kesulitan untuk memadamkan aktifitas-aktifitas mereka karena secara umum mereka
tidak melakukan konfrontasi fisik dan aksi-aksi penyerangan. Aksi-aksi seperti
demontrasi, pertunjukan seni, petisi, mimbar bebas, penggunaan simbol-simbol dan
kegiatan keagamaan menjadi pilihan yang aman bagi mereka untuk mengekspresikan
simbol-simbol perlawanan dan penentangan terhadap negara.
Pengorganisasian dan penanggung jawab aksi perlawanan pun tidak lagi dilakukan
secara rahasia. Mereka memiliki pemimpin dan agenda yang jelas sehingga menyulitkan
pihak negara untuk melakukan penetrasi dan penyusupan untuk dapat menghancurkan
gerakan mereka. Dengan model terbuka seperti ini para aktifis separatis tidak perlu
khawatir akan mengalami penculikan maupun penyiksaan sebagaimana yang sering
dilakukan oleh rezim Orde Baru terhadap organisasi-organisasi perlawan bawah tanah.
Begitu pemimpin-pemimpin kelompok separatis ditangkap atau mengalami tindakan
represif pasti dunia internasional akan berteriak membelanya.
1
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia
Model organisasi dan aksi yang terbuka bagi kaum separaris juga memungkinkan
munculnya simpati dan pembelaan dari dunia internasional. Isu-isu ketidakadilan dan
kemiskinan kemudian dijadikan senjata yang ampuh untuk menjatuhkan kredibilitas
negara. Mereka juga mempertajam fokus serangan mereka dengan menyebarkan
kelemahan-kelemahan negara di mata rakyat. Pemerintah sering digambarkan sebagai
pihak yang terus-menerus melakukan penindasan dan pelanggaran hak-hak azasi kaum
separatis. Karena kaum separatis adalah ancaman bagi negara maka mereka pun sering
mengalami penangkapan, kekerasan dan intimidasi. Tindakan-tindakan represif negara
inilah yang kemudian menjadi alat propaganda untuk menarik perhatian dunia
internasional. Tekanan dan kecaman internasional pada akhirnya mampu menaikkan citra
kaum separatis dan menjatuhkan legitimasi negara.
Diplomasi internasional untuk memastikan agar negara-negara yang berpengaruh di
dunia internasional tidak bersimpati kepada kaum separatis menjadi agenda utama.
Ketidakmampuan negara dalam menjelaskan persoalan yang sebenarnya kepada dunia
internasional dan berusaha meminta komitmen mereka dalam menghormati keutuhan
wilayah Indonesia dapat mempercepat realisasi cita-cita kaum separatis. Jaringan
internasional yang terlembaga dalam organisasi-organisasi non pemerintah juga sering
dijadikan sebagai sarana efektif untuk mendomplengkan agenda-agenda separatis. Akan
sulit dibedakan antara menyuarakan kebebasan hak-hak penentuan nasib sendiri (self
determination) dan suara-suara pro separatisme. Tentunya dengan bantuan teknologi
modern saat ini sangatlah mudah untuk melakukan kampanye internasional yang
merugikan kepentingan Indonesia.
Strategi Negara
Untuk menghadapi kaum separatis ketegasan memang perlu untuk dikedepankan. Namun
demikian strategi negara sendiri juga harus dipusatkan untuk memahami latar belakang
dan penyebab munculnya perjuangan anti negara. Sikap empati terhadap kaum separatis
akan dapat menghasilkan strategi yang efektif dan solutif. Strategi yang tidak sekedar
beroreintasi pada penghancuran tetapi lebih pada mengedepankan aspek integrasi.
Pemerintah Indonesia sendiri memang harus jujur mengakui bahwa telah terjadi
kesalahan dalam mengelolah hubungan antara pusat dan daerah. Tuntutan kemerdekaan
oleh sebagian rakyat Indonesia Aceh, Maluku maupun Papua harus dipahami sebagai
usaha untuk mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah pusat. Kesalahan masa lalu
harus ditebus dengan memberikan otonomi seluas-seluasnya kepada daerah-daerah yang
berpuluh-puluh tahun mengalami ketidakadilan ekonomi dan kekuasaan. Pengelolaan
sumber daya alam di darah harus dapat menjamin kesejahteraan masyarakat lokal karena
keserakahan para oknum dari pusat sering dilihat sebagai bentuk penjajahan Indonesia
terhadap daerah-daerah yang merasa diperlakukan tidak adil.
Kepercayaan juga harus dibangun antara kedua belah pihak, antara negara dan
pendukung separatis. Masing-masing harus memiliki komitmen untuk saling menghargai
dan secara jujur membangun komitmen baru untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
Perjanjian yang dilakukan antara pemerintah pusat dan kaum separatis hendaknya dapat
dipenuhi dan tidak boleh ada dari salah pihak keinginan untuk melanggarnya. Sekali
terjadi pelanggaran maka hancurlah kepercayaan yang sudah terbangun. Dalam kasus
partai lokal yang menggunakan simbol GAM, misalnya, hendaknya dikembalikan kepada
perjanjian dan peraturan yang berlaku. Kepercayaan rakyat di daerah yang berpotensi
berkembangnya separatis harus dapat dikembalikan dengan jalan menunjukkan
kesungguhan pemerintah dalam merespon suara-suara dari daerah.
Pada akhirnya akomodasi kepentingan kaum separatis dan pemerintah pusat hendaknya
dapat dilakukan guna mencapai kompromi. Apabila isu-isu yang berkembang adalah
persoalan ketidakadilan ekonomi dan kekuasaan maka semua itu dapat dilakukan dengan
mengefektifkan program otonomi daerah. Tentu saja elit-elit lokal sendiri juga harus
mampu membuktikan bahwa mereka memang berjuang untuk kepentingan rakyat dan
bukan malah membentuk kekuatan baru yang menindas dan mengeksploitasi rakyat.
Keinginan baik pemerintah pusat untuk memberikan keleluasaan kepada daerah untuk
mengatur dan mengelolah pemerintah daerah beserta sumber daya alamnya berdasarkan
kebutuhan dan kultur lokal setempat hendaknya juga dipahami sebagai pengorbanan
besar bangsa Indonesia untuk mempertahankan keutuhan wilayah NKRI.
Download