Paper Title (use style: paper title)

advertisement
Interaksionisme Simbolik Komunitas Sepeda Gunung
INTERAKSIONISME SIMBOLIK ANTAR ANGGOTA KOMUNITAS SEPEDA GUNUNG
NO’ NYONO’ CYCLING CLUB (NCC) SUMENEP
Etna Paramita Dewi
Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
Sugeng Harianto
Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
ABSTRAK
Seiring berkembangnya jaman, kini paguyuban tidak lagi identik dengan karakteristik masyarakat desa. Akan
tetapi pada masyarakat kota juga ditemukan kegemaran masyarakat untuk menghimpun diri dalam bentuk
paguyuban. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai macam komunitas. Salah satunya yaitu maraknya
komunitas penggemar sepeda yang terbentuk atas persamaan hobi. Penelitian ini difokuskan pada komunitas
penggemar sepeda gunung yang menyukai aktifitas bersepeda dengan rute offroad. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan interaksionisme simbolik George Herbert Mead.
Perspektif interaksionisme simbolik berusaha mempelajari interaksi sosial individu dengan menggunakan
simbol-simbol yang dipahaminya. Hasil penelitian adalah interaksi yang dilakukan antar anggota berbedabeda, tergantung dengan siapa anggota tersebut berinteraksi. Mind dalam komunitas NCC adalah ketika
anggota berpikir mengenai respon apa yang sesuai dengan stimulus yang muncul. Seperti pemikiran anggota
pengguna sepeda gunung merek lokal menerima bahasa bullying dari anggota pengguna sepeda gunung
merek impor. Anggota akan berpikir mengenai tindakan apa yang tepat untuk menghindari adanya bahasa
bullying tersebut. Sehingga anggota mulai berpikir untuk beralih menggunakan sepeda gunung merek impor
sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap lingkungan sosialnya. Self anggota adalah ketika anggota
menempatkan diri mereka sebagai subyek (I) atau obyek (Me). Perilaku “I” ditunjukkan dengan perilaku
anggota senior yang lebih bersifat spontanitas ketika berinteraksi dengan anggota junior. Sedangkan perilaku
“Me” memuat suatu kesadaran dan tanggung jawab. Sehingga perilaku anggota akan lebih dibatasi oleh
norma-norma yang berlaku misalnya sopan santun. Seperti perilaku anggota junior yang lebih menempatkan
dirinya sebagai anggota yang selalu menghormati keberadaan anggota senior, bagaimanapun ia diperlakukan.
Kata Kunci: Interaksi Simbolik, Komunikasi, Komunitas
ABSTRACT
As time goes by, Paguyuban is not a word that is used only to identify the characteristics of the rural
community. The urbans have now started liking to gather themselves in form of Paguyuban. This
phenomenon is represented by the emerging of many kinds of community. One of which is the bikers
community that is formed based on the same hobby of the members. This study focuses on the community of
mountain bike that loves the offroad-biking activities. This study uses qualitative method with George
Herbert Mead Symbolic Interactionism approach. Symbolic Interactionism perspective tries to explain the
individual social interaction based on the symbolic meaning. The result of this study shows the different
interactions amongst the members, depends on to whom the member is interacting. Mind in NCC community
is when member thinks of a suitable act in response of a certain stimulus. Just like what a member with a
local-branded bike thinks when he is bullied by the import-branded bikers. That member will think of what to
do to avoid that specific bullying. Then, he will starts to think of using the import-branded bike as a form of
adjustment to his social environment. Self is when member position himself as Subject (I) or Object (Me).
Behaviour “I” is shown by the seniors who act more spontaneously when interacting with the juniors. In
contrast, behaviour “Me” contains some sort of awareness and responsibility, so that the members behaviours
will be constrained more by the norms, such as the local etiquette. For example, how the juniors position
themselves as the members who will always respect their seniors, no matter how they are treated.
Keywords: Symbolic Interaction, Communication, Community
permanen, dihuni oleh orang-orang yang heterogen
kedudukan sosialnya. Akibatnya hubungan sosial
menjadi longgar acuh dan tidak pribadi (impersonal
relation) (Sapari, 1993:19). Lingkungan perkotaan
menjadi pusat beragam aktifitas perekonomian, industri,
kelembagaan, pendidikan dan sebagainya, sehingga
PENDAHULUAN
Kota sebagai lingkungan hidup masyarakat modern, terus
mengalami perkembangan terutama dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Kota menurut Louis Wirth
adalah permukiman yang relatif besar, padat dan
1
Paradigma, Volume 03 Nomor 03, Tahun 2015
pembangunan di kota berkembang lebih cepat
dibandingkan pada lingkungan pedesaan. Lingkungan
perkotaan yang modern juga akan membentuk pola pikir
dan ciri kehidupan yang berbeda terhadap masyarakat
kota. Masyarakat kota disebut sebagai masyarakat yang
cenderung memiliki pola pikir yang rasional dan bersifat
dinamis. Jalan pikiran rasional yang pada umumnya
dianut masyarakat perkotaan menyebabkan interaksiinteraksi yang terjadi lebih didasarkan pada faktor
kepentingan
daripada
faktor
pribadi.(Soekanto,
2010:140). Menurut Max Weber, masyarakat perkotaan
adalah masyarakat yang sudah berkembang pemikirannya
atau masyarakat yang rasional. Masyarakat yang rasional
adalah masyarakat yang apabila bertindak, tindakan
rasionalnya berdasarkan rasional instrumental yaitu
tindakan yang dilakukan untuk mencapai tujuan dan
mempertimbangkan alat yang digunakan untuk mencapai
tujuan tersebut (Galih Prasetyo. 2015. Pengantar
Birokrasi Klasik: Hegel, Marx dan Weber.
(Online).http://www.academia.edu/5650988/Pengantar_B
irokrasi_Klasik_Hegel_Marx_dan_Weber.
Diakses
tanggal 20 Januari 2015). Hal tersebut dapat dikatakan
seseorang hanya akan berhubungan dengan orang lain
apabila
mendatangkan
keuntungan.
Sedangkan
masyarakat perkotaan menurut Emile Durkheim
merupakan masyarakat yang bersifat solidaritas organis
karena masyarakat perkotaan memiliki pekerjaan yang
beragam sehingga terkesan individualis. Masyarakat yang
ditandai oleh solidaritas organis bertahan bersama justru
dengan perbedaan yang ada di dalamnya, dengan fakta
bahwa semua orang memiliki pekerjaan dan
tanggungjawab yang berbeda-beda (Ritzer dan Goodman,
2008: 91).
Hubungan sosial masyarakat menurut Ferdinand
Tonnies terbagi menjadi dua, yaitu patembayan
(Gesellschaft) yang merupakan bentuk kehidupan
bersama dimana para anggotanya mempunyai hubungan
yang bersifat pamrih dan dalam jangka waktu yang
pendek, serta bersifat mekanis (Narwoko dan Suyanto,
2011:33). Bentuk hubungan ini cenderung diidentikkan
dengan kehidupan masyarakat kota karena masyarakat
kota yang bersifat kompleks dan terdapat spesialisasi
diantara para anggotanya. Berikutnya, paguyuban
(gemeinschaft) yang merupakan bentuk kehidupan
bersama, dimana anggotanya diikat oleh hubungan batin
yang murni, bersifat alamiah dan kekal. Dasar hubungan
tersebut adalah rasa cinta dan rasa persatuan batin yang
dikodratkan (Soekanto, 2010:116). Berbeda pada realitas
yang terjadi dewasa ini, gambaran masyarakat kota tidak
sepenuhnya seperti apa yang dijelaskan secara konseptual
maupun teoritis. Apabila merujuk pada konsep yang
dikemukakan oleh Ferdinand Tonnies, hubungan sosial
masyarakat terbagi menjadi dua, yaitu patembayan
(gesellschaft) yang diidentikkan dengan bentuk hubungan
masyarakat perkotaan dan paguyuban (gemeinschaft)
yang diidentikkan dengan bentuk hubungan pada
masyarakat pedesaan. Namun ternyata terdapat sisi lain
pada masyarakat kota. Saat ini paguyuban (gemeinschaft)
tidak lagi identik dengan karakteristik masyarakat desa
seperti pandangan dari Ferdinand Tonnies, tetapi pada
masyarakat kota juga ditemukan kegemaran di
masyarakat untuk menghimpun diri dalam bentuk
paguyuban (gemeinschaft). Salah satunya yang
ditunjukkan dengan munculnya berbagai macam
komunitas. Komunitas terdiri dari masyarakat yang
bertempat tinggal di suatu wilayah tertentu, dimana
faktor utama yang menjadi dasarnya adalah interaksi
yang lebih besar di antara anggota, dibandingkan dengan
interaksi dengan penduduk di luar batas wilayahnya
(Soekanto, 2010:143).
Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini
akan lebih membahas mengenai interaksi sosial antar
anggota komunitas sepeda gunung yang memunculkan
simbol-simbol berdasarkan perspektif interaksionisme
simbolik George Herbert Mead. Penelitian ini
memfokuskan pada komunitas sepeda gunung No’
Nyono’ Cycling Club (NCC) Sumenep yang memiliki
karakteristiknya sendiri. Karakteristik tersebut terlihat
dari simbol-simbol yang selalu mereka gunakan ketika
berinteraksi antar anggota komunitas NCC. Sehingga
dalam penelitian ini, terdapat dua rumusan masalah, yaitu
bagaimana interaksi sosial antar anggota komunitas
sepeda gunung No’ Nyono’ Cycling Club (NCC)
Sumenep dan bagaimana dimensi Mind dan Self dalam
komunitas NCC.
KAJIAN TEORI
Interaksionisme Simbolik (George Herbert Mead)
Penelitian ini menggunakan teori Interaksionisme
Simbolik oleh George Herbert Mead. Menurut Mead,
interaksionisme simbolik berusaha memahami kehidupan
bermasyarakat yang terbentuk melalui proseyarat yang
disampaikan melalui kata-kata atau ucapan secara verbal
untuk berkomunikasi dan simbol non-verbal merupakan
isyarat yang disampaikan bukan melalui kata-kata secara
verbal, malinkan melalui gestur tubuh, penampilan,
kontak mata, dan sebagainya.
Menurut Mead, mind (pikiran) merupakan sebuah
proses yakni proses percakapan batin seseorang dengan
dirinya sendiri. Pikiran muncul dan berkembang dalam
proses sosial. Pikiran melibatkan proses berpikir yang
diarahkan pada pemecahan masalah Ritzer dan Goodman,
2008:385). Mind merupakan tindakan yang menggunakan
simbol-simbol menuju Self. Aktivitas yang dilakukan
mind (pikiran) dapat berupa komunikasi dengan orang
Interaksionisme Simbolik Komunitas Sepeda Gunung
lain, bisa juga dengan self atau dengan diri sendiri.
Dengan mind (pikiran) simbol yang beragam dapat
dimanipulasi sesuai situasi sosial yang sedang dihadapi
individu.
Berikutnya Mead juga mendiskusikan mengenai
konsep diri (self) manusia yang bersumber pada aspekaspek sosial dan terwujud dalam konteks sosial. Self (diri)
merupakan hasil situasional dari proses interaksi sosial.
Self (diri) tumbuh ketika individu memperoleh
pengalaman baru dan memberikan makna pada
pengalaman dan objek tersebut. Pandangan Mead
mengenai self (diri) terletak pada konsep ”pengambilan
peran orang lain” (taking the role of the other). Hal ini
dapat diartikan bahwa individu tampil sebagai diri dalam
perilakunya sejauh individu tersebut mengambil sikap
yang diambil orang lain terhadap dirinya (Mulyana,
2002:76). Mead membagi dua dimensi konsep diri (self),
yaitu “I” dan “Me”. Diri sebagai obyek disebut konsep
“Me”, sedangkan diri sebagai subyek yang bertindak
disebut dengan konsep “I”. “I” merupakan dimensi diri
yang bersifat non-reflektif. “I” tidak mencakup ingataningatan dari tindakan-tindakan masa lampau atau
antisipasi di masa yang akan datang. Namun begitu suatu
tindakan dilaksanakan, ingatan tentang tindakan itu
menjadi bagian dari “Me” dalam konsep diri (Jhonson,
1986:18). “I” merupakan tanggapan spontan individu
terhadap individu lain. “I” tidak dapat diprediksi dan
merupakan aspek psikologis manusia. “I” beraksi
terhadap “Me” yang merupakan aspek sosiologis
manusia yang merupakan penerimaan atas orang lain
yang digeneralisir. Individu menyadari “Me” karena
“Me” meliputi bentuk kesadaran dan tanggung jawab.
Pertimbangan peneliti terhadap pemilihan subyek anggota
senior, karena anggota senior merupakan anggota yang
lebih lama bergabung dalam komunitas NCC, sehingga
diharapkan memiliki pengetahuan yang lebih mendalam
terkait informasi yang ingin digali oleh peneliti.
Kemudian peneliti juga ingin mengetahui bagaimana
interaksi antara anggota senior dan anggota junior dimana
terdapat perbedaan usia diantara keduanya. Berikutnya
peneliti ingin mengetahui bagaimana interaksi yang
terjalin antara anggota pengguna merek impor dan
anggota pengguna merek lokal dimana anggota pengguna
merek lokal cenderung menjadi bahan bullying dari
anggota pengguna sepeda impor.
Sumber data primer dalam penelitian ini dilakukan
melalui observasi dan wawancara mendalam. Observasi
dilakukan dengan participant observation atau
pengamatan berpartisipasi. Peneliti terlibat secara
langsung dalam kegiatan yang dilakukan komunitas
sepeda gunung NCC untuk melihat dan merasakan secara
langsung menganai interaksi yang terjalin antar anggota
komunitas NCC. Selanjutnya peneliti melakukan
wawancara mendalam (indepth interview) dengan subyek
penelitian. Wawancara mendalam dilakukan dengan
tujuan untuk menggali informasi lebih mendalam
mengenai simbol-simbol yang muncul dalam komunitas
NCC.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Interaksi Sosial Antar Anggota Komunitas NCC
Antara Anggota Senior dengan Junior
Interaksi sosial yang terjalin antara anggota senior
dengan anggota junior yaitu keberadaan anggota senior
lebih cenderung mendominasi anggota junior dalam hal
pengambilan keputusan tertentu. Seperti sebelum
melakukan kegiatan bersepeda bersama, para anggota
akan menunggu anggota-anggota yang lain tepatnya di
taman Adipura kota Sumenep sampai batas waktu yang
ditentukan, yaitu pada pukul 06.15 wib. Apabila anggota
tidak datang melebihi batas waktu yang telah ditentukan,
maka anggota senior akan mengatakan “Ayu’ mara!”
(“Ayo berangkat!”). Kalimat verbal tersebut sebagai
stimulus yang mengkomunikasikan suatu makna yaitu
berupa ajakan terhadap anggota yang lain untuk
berangkat dan tidak lagi menunggu anggota yang belum
datang.
Interaksi simbolik berikutnya adalah kebiasaan
membully yang dilakukan oleh anggota senior terhadap
anggota junior pengguna sepeda merek lokal, seperti
pada saat sedang berkumpul salah satu anggota senior
mengatakan, “Beh ariya sapeda dhari besse apa? Cocok
erantai bhai riya!” (“Wah ini sepeda dari besi apa?
Cocoknya dirantai saja!”). Kalimat bullying tersebut
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan
menggunakan perspektif teori interaksionisme simbolik
George Herbert Mead yang menjelaskan interaksi sosial
individu menggunakan simbol-simbol, sehingga individu
mampu mendefinisikan setiap tindakannya. Artinya
individu akan bertindak berdasarkan interpretasi makna
dari simbol-simbol yang dipahaminya dalam situasi
tertentu. Tindakan yang dilakukan individu tidak terjadi
layaknya stimulus yang dapat langsung menimbulkan
respon, melainkan melalui proses interpretasi makna
secara subyektif.
Subyek dalam penelitian ini dipilih berdasarkan teknik
purposive yaitu anggota komunitas sepeda gunung No’
Nyono’ Cycling Club (NCC) Sumenep dengan indikator
pemilihan subyek yang ditentukan oleh peneliti melalui
pertimbangan-pertimbangan tertentu dan didasarkan atas
tujuan penelitian. Indikator pemilihan subyek terdiri dari
anggota senior, anggota junior, anggota pengguna sepeda
merek impor dan anggota pengguna sepeda merek lokal.
3
Paradigma, Volume 03 Nomor 03, Tahun 2015
merepresentasikan bahwa sepeda gunung merek lokal
yang masih berbahan besi milik anggota junior sebagai
sesuatu yang kurang berharga, sehingga keberadaannya
dirasa telah ketinggalan jaman, kuno dan kurang dapat
bersaing dengan sepeda gunung merek impor milik
anggota senior yang lebih ringan pada saat digunakan.
Kalimat tersebut bermakna bahwa sepeda gunung merek
lokal yang digunakan oleh anggota junior tidak memiliki
kualitas yang sebanding dengan sepeda gunung merek
impor milik anggota senior.
Anggota komunitas sepeda gunung No’ Nyono’
Cycling Club (NCC) juga menggunakan simbol bahasa
verbal berupa kata sandi ketika berinteraksi dengan
sesama anggota. Kata sandi tersebut bertujuan untuk
menutupi
atau
menyembunyikan
makna
yang
sesungguhnya agar tidak diketahui oleh pihak lain.
Dalam komunitas sepeda gunung NCC terdapat suatu
tradisi yang disebut dengan “Pembantaian” yang
merupakan serangkaian tes yang diberikan terhadap para
anggota baru yang hendak bergabung ke dalam
komunitas sepeda gunung NCC. Hal ini terjadi pada saat
terdapat anggota yang hendak bergabung, para anggota
NCC akan saling mengatakan isyarat verbal seperti “Ayo,
kita bunuh dia!” atau isyarat verbal “Gengseh lun
laddhingngah!” (“Asah dulu pisaunya !”). Kalimat
tersebut dimaknai sebagai salah satu tradisi untuk melihat
kesungguhan anggota yang hendak bergabung dengan
memberikannya serangkaian tes, maka anggota yang
lainpun akan memahami stimulus berupa kalimat verbal
tersebut dan akan meberikan respon berupa isyarat non
verbal dengan menggorok leher dengan menggunakan
jari telunjuk. Bahasa verbal maupun non verbal yang
digunakan adalah simbol-simbol yang berhubungan
dengan kekerasan. Hal ini dimaknai sebagai suatu simbol
yang merepresentasikan identitas anggota NCC sebagai
goweser yang tangguh dan gaya bersepeda komunitas
NCC yang mengutamakan rute-rute ekstrem dan
menantang.
Komunikasi non verbal berupa gestur tubuh
seringkali digunakan oleh anggota senior untuk
mengisyaratkan suatu makna terhadap anggota junior.
Seperti gestur tubuh pada saat terdapat turunan curam,
anggota senior akan mengisyaratkannya dengan simbol
kedua pergelangan tangan membentuk tanda silang. Hal
ini untuk mengkomunikasikan makna yang telah
disepakati secara bersama terhadap anggota yang lain
bahwa terdapat turunan yang tajam, sehingga anggota
akan lebih mewaspadai dan berhati-hati. Ada pula gestur
tubuh yang mengisyaratkan untuk berhenti dan
beristirahat. Isyarat non verbal yang digunakan adalah
dengan membalikkan telapak tangan, maka isyarat
tersebut akan dipahami anggota lain bahwa mereka akan
berhenti dan beristirahat sejenak. Isyarat non verbal
berupa gestur tubuh menjadi simbol non verbal yang
mampu mengkomunikasikan suatu makna yang telah
disepakati secara bersama. Gestur tubuh anggota adalah
sebagai suatu stimulus yang ditunjukkan terhadap
anggota lain dan anggota akan menafsirkan gerakan
tubuh tersebut berdasarkan makna yang telah dipahami
sebelumnya. Kemudian tindakan anggota junior
berikutnya adalah sebagai respon atas penafsiran
terhadap gerakan tersebut.
Antara Anggota Junior dengan Senior
Interaksi antara anggota junior dengan anggota senior
lebih didasarkan pada hubungan yang lebih menghormati
sekaligus dibatasi oleh norma-norma seperti sopan santun
terhadap anggota senior. Dalam hal ini anggota junior
lebih menempatkan dirinya sebagai anggota yang selalu
akan menghormati anggota senior bagaimanapun ia
diperlakukan. Seperti diketahui keberadaan anggota
junior sangat marak menjadi bahan bullying oleh anggota
senior, baik berkaitan dengan merek sepeda maupun
kecepatan bersepeda. Bahasa bullying yang diucapkan
oleh anggota senior pun terkesan lebih bersifat sesuka
hati (bebas), akan tetapi anggota junior tetap menyadari
posisinya bahwa keberadaan anggota senior tetap harus
dihormati sebagai anggota yang lebih tua sekaligus
anggota yang lebih lama bergabung di dalam komunitas
sepeda gunung No’ Nyono’ Cycling Club (NCC). Seperti
pada saat berbicara dengan anggota senior, anggota
junior akan menggunakan bahasa Enggi Bunten yang
merupakan tingkatan bahasa paling tinggi dalam bahasa
Madura untuk digunakan dalam berkomunikasi dengan
orang yang lebih tua.
Adanya bahasa bullying dalam komunitas sepeda
gunung No’ Nyono’ Cycling Club (NCC) tidak hanya
berlaku antara anggota senior terhadap anggota junior,
akan tetapi juga berlaku antara anggota junior terhadap
anggota senior. Dalam hal ini bahasa bullying yang
digunakan oleh anggota junior lebih bersifat sewajarnya
dan tidak bersifat semaunya layaknya yang digunakan
oleh anggota senior. Seperti teori yang dikemukakan oleh
Geoge Herbert Mead bahwa dalam berinteraksi, individu
menggunakan akal budi (mind) yang melibatkan
pertimbangan-pertimbangan tertentu sebelum individu
benar-benar memutuskan respon apa yang cocok
terhadap stimulus yang muncul. Hal ini sejalan dengan
anggota junior yang terlebih dahulu mempertimbangkan
mengenai bahasa bullying apa yang cocok untuk
diucapkan terhadap anggota senior dengan harapan
bahasa bullying tersebut masih berada dalam batas
sewajarnya dan tidak keluar dari norma kesopanan,
mengingat keberadaan anggota senior yang memang
memiliki usia jauh diatas anggota junior, misalnya pada
saat sedang melakukan kegiatan bersepeda bersama,
ketika anggota junior berhasil mendahului anggota senior
Interaksionisme Simbolik Komunitas Sepeda Gunung
dalam hal beradu kecepatan bersepeda, maka anggota
junior juga akan melontarkan bahasa bullying terhadap
anggota senior seperti, “Beh, malemma tak ajemo pak?”
(“Loh, tadi malam tidak minum jamu ya pak?”) atau
“Mase lemmes pak?” (“Sepertinya sedang lemas pak?”).
Bahasa bullying yang diucapkan lebih bersifat
sewajarnya dan masih dalam batas norma kesopanan. Hal
ini dilakukan karena anggota junior tetap menghormati
keberadaan anggota senior.
Komunikasi non verbal yang dilakukan antara
anggota junior terhadap anggota senior adalah anggota
junior akan secara langsung memberikan pertolongan
terhadap anggota senior yang terjatuh. Perilaku lainnya
juga ditunjukkan pada saat terdapat salah satu anggota
senior yang mengalami pecah ban pada saat bersepeda,
anggota junior akan secara langsung ikut membantu
memperbaiki kerusakan pada ban sepeda milik anggota
senior. Hal ini merupakan suatu bentuk tanggung jawab
yang dirasa memang seharusnya dilakukan sebagai
anggota junior. Anggota junior menyadari posisinya
sebagai anggota yang belum terlalu lama bergabung.,
sehingga ia selalu berusaha untuk menempatkan diri
selayaknya anggota junior yang selalu menghormati
anggota senior. Perilaku antara anggota junior terhadap
anggota senior berbeda dengan perilaku anggota senior
terhadap anggota junior yang cenderung akan menjadikan
bahan candaan apabila terdapat anggota junior yang
sedang terjatuh pada saat bersepeda. Interaksi antara
anggota junior terhadap anggota senior masih dibatasi
oleh norma-norma dan sopan santun.
yang terjatuh, tidak akan secara langsung memberikan
respon berupa pertolongan, akan tetapi para anggota akan
menjadikannya bahan gurauan terlebih dahulu yaitu
dengan memberi hitungan pada anggota yang terjatuh
hingga hitungan ke-sepuluh, layaknya pertandingan tinju.
Jadi anggota akan berhitung, “Satu..Dua..Tiga… (hingga
hitungan ke-10)”. Kemudian apabila anggota yang
terjatuh benar-benar tidak mampu berdiri hingga
hitungan kesepuluh, barulah anggota yang lain akan
menolongnya.
Dalam hal gaya berpenampilan pada saat bersepeda
bersama, anggota senior cenderung berpenampilan
dengan mengenakan kostum berupa jersey yang
diperolehnya dari event-event bersepeda dalam
komunitas Sejawat (Sepeda Jelajah Wisata Jawa Timur)
yang mereka ikuti. Seperti diketahui komunitas Sejawat
merupakan wadah bagi berkumpulnya komunitaskomunitas sepeda gunung yang berasal dari berbagai
daerah di Jawa Timur. Kegiatan yang dilakukan oleh
Sejawat adalah bersepeda bersama berbagai komunitas
se-Jawa Timur yang diadakan setiap dua bulan sekali.
Komunitas sepeda gunung NCC merupakan salah satu
komunitas yang tergabung di Sejawat. Hal ini memang
menjadi ciri komunitas NCC yang membedakannya
dengan komunitas sepeda gunung lainnya khususnya di
kabupaten Sumenep, sebab tidak semua komunitas
sepeda gunung di Sumenep yang tergabung dalam
komunitas Sejawat. Jersey Sejawat menjadi simbol non
verbal dalam komunitas NCC yang dimaknai sebagai
simbol eksistensi, sebab dengan menggunakan jersey
Sejawat akan merepresentasikan suatu simbol eksistensi
dari komunitas sepeda gunung NCC itu sendiri bahwa
komunitas tersebut tidak hanya eksis di lingkungan
kabupaten Sumenep saja, tetapi juga eksis dalam kegiatan
bersepeda bersama yang diadakan dalam lingkup Jawa
Timur, khususnya di kalangan para penggemar sepeda
gunung di Sumenep.
Sepeda gunung yang digunakan oleh anggota senior
merupakan sepeda gunung merek impor. Hal ini bukan
berarti para anggota merupakan pengguna sepeda gunung
merek impor sejak awal ia bergabung. Akan tetapi terjadi
suatu proses sosial yang menyebabkan para anggota pada
akhirnya memutuskan untuk beralih dari yang awalnya
merupakan pengguna sepeda gunung merek lokal
menjadi pengguna sepeda gunung merek impor. Dalam
hal ini sepeda gunung merek impor menjadi salah satu
simbol non verbal yang dimaknai sebagai jenis sepeda
gunung yang memiliki nilai prestise. Interaksi antara
anggota senior dengan anggota senior seperti ketika salah
satu anggota mengenakan sesuatu yang baru dalam
penampilannya, misalnya sepatu baru, sepeda baru
ataupun peralatan sepeda lainnya yang tergolong baru.
Maka anggota tersebut akan dibawa pada rute-rute yang
Antar Anggota Senior dengan Senior
Keberadaan anggota senior cenderung merupakan
anggota yang tidak mau tersaingi dalam hal kecepatan
bersepeda. Anggota senior selalu berusaha untuk berada
di barisan paling depan pada saat bersepeda bersama. Hal
ini dilakukan dengan menambah kecepatan bersepeda
pada saat melintasi jalur berpasir (offroad). Anggota
senior akan memberikan stimulus terhadap anggota lain
dengan mengatakan “Speed !!”, sehingga bahasa verbal
tersebut menjadi suatu stimulus bagi anggota lain yang
pada akhirnya memunculkan respon dengan menambah
kecepatan bersepeda masing-masing ketika berada di
jalur offroad. Anggota akan menafsirkan bahwa dengan
adanya stimulus tersebut mereka harus menambah
kecepatan bersepeda, agar tidak tertinggal di barisan
belakang yang kemudian juga akan menerima bahasa
bullying pada saat beristirahat nanti.
Interaksi sosial antara anggota senior dengan anggota
senior terlihat pada keusilan diantara mereka. Seperti
bentuk perilaku pada saat terdapat salah satu anggota
yang terjatuh saat melakukan bersepeda bersama.
Anggota lain melihat secara langsung salah satu anggota
5
Paradigma, Volume 03 Nomor 03, Tahun 2015
mengharuskan anggota tersebut untuk turun dari
sepedanya, seperti rute melewati sungai ataupun rute
penuh dengan lumpur. Perilaku ini dikomunikasikan
melalui pemberian isyarat non verbal sebelum melakukan
aktifitas bersepeda yaitu memberikan kedipan mata
terhadap anggota yang lain dengan mimik wajah
mengarah pada barang baru anggota tersebut. Hal ini
akan dimaknai oleh anggota yang lain, bahwa rute yang
akan dituju adalah rute-rute penuh lumpur ataupun
menyebrangi sungai. Perilaku ini bertujuan agar barangbarang yang masih tergolong baru tersebut menjadi kotor.
Tradisi tersebut dimaknai sebagai salah satu simbol untuk
semakin mempererat hubungan kedekatan diantara para
anggota. Tradisi ini tidak hanya berlaku antara anggota
senior dengan anggota senior, tetapi juga antara anggota
senior terhadap junior.
Antar Anggota Junior dengan Junior
Interaksi sosial yang terjalin antara anggota junior dengan
anggota junior adalah memiliki hubungan kedekatan
layaknya saudara yang tidak ada pembeda diantaranya.
Interaksi yang terjalin juga terkesan apa adanya dan
saling terbuka. Bahasa verbal yang digunakan untuk
berkomunikasi adalah bahasa yang cenderung apa adanya
bahkan juga terdapat perilaku saling membully satu sama
lain. Seperti pada saat berkumpul dan bergurau bersama,
anggota junior akan mengatakan “Beh ariya sapedana
santre-santre!” (“Wah ini sepedanya santri-santri!”).
Kalimat bullying tersebut merepresentasikan sepeda lokal
milik anggota junior lainnya dianalogikan sebagai
karakter para santri yang cenderung bersahaja, sederhana
dan menerima apa adanya. Hal ini bermakna bahwa
sepeda lokal yang dibully merupakan sepeda yang biasa
saja dan sederhana. Adanya bullying tersebut dimaknai
sebagai wujud kedekatan hubungan antara anggota junior
dengan anggota junior lainnya. Adanya bahasa bullying
tersebut tidak lantas membuat anggota menjadi marah,
akan tetapi menjadi suatu hal yang semakin mempererat
hubungan diantara mereka.
Gaya berpenampilan anggota junior adalah cenderung
lebih memilih untuk mengenakan jersey yang diperoleh
dari outlet perlengkapan sepeda pada umumnya. Hal ini
dimaknai sebagai bentuk penyempurnaan penampilan
bersepeda
ketika
mengenakan
jersey
sesuai
keinginannya. Anggota junior memiliki perbedaan
pemikiran mengenai gaya berpenampilan pada saat
bersepeda bersama. Anggota junior sebagai anggota yang
belum terlalu lama bergabung cenderung memaknai gaya
berpenampilan bersepeda dengan mengenakan jersey
khusus sepeda gunung pada umumnya sebagai bentuk
kesempurnaan pada penampilannya. Anggota junior lebih
senang untuk mengenakan jersey sepeda gunung sesuai
dengan keinginannya.
Kemudian untuk penampilan sepeda, sebenarnya baik
anggota junior maupun anggota senior pada awal
bergabung, mereka merupakan pengguna sepeda gunung
merek lokal, akan tetapi seiring berkembangnya interaksi
yang terjalin, mereka akhirnya beralih menggunakan
sepeda gunung merek impor. Sepeda gunung merek
impor bagi anggota junior, dimaknai sebagai suatu
produk yang mampu meningkatkan status sosial anggota.
Dalam komunitas sepeda gunung NCC mayoritas
anggota merupakan pengguna sepeda gunung merek
lokal pada awal ia bergabung dan kemudian memilih
untuk beralih menggunakan sepeda gunung merek impor
untuk mendapatkan pengakuan atas keberadaannya dari
lingkungan sosialnya. Artinya anggota junior berusaha
untuk terlihat setara dan berusaha untuk keluar dari
“posisi minoritas” dalam komunitas sepeda gunung NCC.
Hal ini disebabkan oleh salah satu realitas dalam
komunitas sepeda gunung NCC bahwa pengguna sepeda
gunung merek lokal akan mudah menerima bahasa
bullying dari anggota-anggota yang lain. Jadi keberadaan
sepeda gunung merek impor juga dimaknai sebagai suatu
hal yang mampu menghindarkan anggota dari bahasa
bullying anggota lain.
Mind dalam Komunitas No’ Nyono’ Cycling Club
(NCC)
Berpikir (mind) menurut Mead adalah suatu proses
dimana individu berinteraksi dengan dirinya sendiri
dengan mempergunakan simbol-simbol yang berisi
makna (Umiarso dan Elbandiansyah, 2014:166). Dalam
hal ini, peralihan mayoritas anggota komunitas sepeda
gunung No’ Nyono’ Cycling Club (NCC) yang pada
awalnya merupakan pengguna sepeda gunung merek
lokal menjadi sepeda gunung merek impor, bukanlah
merupakan suatu tindakan yang terjadi secara instan,
layaknya konsep stimulus yang akan bereaksi secara
langsung terhadap respon, akan tetapi terdapat suatu
proses sosial pada tindakan tersebut dimana proses sosial
yang terjadi berasal dari adanya interaksi sosial antar
anggota komunitas NCC.
Seiring berlangsungnya interaksi sosial diantara para
anggota komunitas sepeda gunung NCC, adanya bahasa
bullying baik secara verbal maupun non verbal tidak
dapat dipungkiri secara tidak langsung menjadi stimulus
bagi proses pemikiran pada anggota yang menggunakan
sepeda gunung merek lokal. Proses pemikiran (mind)
yang terjadi merupakan proses percakapan batin
seseorang dengan dirinya sendiri. Anggota yang dibully
menafsirkan bahasa bullying dari para anggota pengguna
sepeda gunung merek impor sebagai simbol yang
merepresentasikan bahwa sepeda gunung merek lokal
adalah merek sepeda yang biasa saja, tidak berharga dan
memiliki kualitas yang rendah. Ia juga memberi
Interaksionisme Simbolik Komunitas Sepeda Gunung
penafsiran awal bahwa sepeda gunung merek impor
dianggap sebagai sepeda gunung yang digunakan oleh
mayoritas anggota di dalam komunitas NCC yang
memiliki kualitas tinggi dan nilai prestise sebab tidak
semua orang mampu menggunakannya. Walaupun dalam
hal ini anggota pengguna sepeda merek lokal tetap
memahami bahwa perilaku bullying dari anggota yang
lain hanya sebatas gurauan untuk menciptakan keakraban
semata, akan tetapi di sisi lain, anggota akan tetap
berpikir dan menafsirkan bahwa sepeda gunung merek
lokal (miliknya) sebagai sesuatu yang benar-benar tidak
berharga dan memunculkan perasaan malu dalam batin
anggota. Menurut Mead, tindakan individu dalam proses
interaksi dipahami bukan hanya sebagai tanggapan
(respon) yang bersifat langsung terhadap stimulus yang
datang, akan tetapi tindakan individu dipahami sebagai
hasil dari penafsiran simbol-simbol yang muncul
(Umiarso dan Elbandiansyah, 2014: 09).
Proses berpikir dan hasil penafsiran simbol-simbol
tersebut yang nantinya akan mengarahkan pada konsep
kesadaran diri (self) anggota yang dibully, sehingga ia
akan memilih tanggapan apa yang harus dilakukannya
agar ia tidak lagi menjadi bahan bullying para anggota.
Tanggapan tersebut sebagai bentuk penyesuaian diri
anggota dengan realitas sosialnya yaitu dengan memilih
untuk beralih menggunakan sepeda gunung merek impor
agar ia terlihat setara dan mendapat pengakuan dari
anggota yang lain.
adalah bagaimana respon dari anggota lain maupun
realitas yang akan terjadi setelah ia mengganti sepedanya
itu. Dalam tahap ini anggota pengguna sepeda merek
lokal akan menjadi “Me” sebab ia memposisikan dirinya
(subyek) sebagai obyek. Ia akan menginternalisasikan
seluruh pengalaman yang berasal dari obyek sosialnya
untuk diarahkan ke dalam dirinya. Sejauh diri (self)
memahami perilaku yang ada di sekitarnya dan juga turut
berpartisipasi, diri (self) sang aktor akan bertindak
berdasarkan interpretasi, ia akan berusaha untuk
melekatkan makna yang diperoleh dari interaksi
sosialnya
untuk
tindakannya
(Umiarso
dan
Elbandiansyah, 2014: 191). Anggota akan menilai dan
mengingat kembali interaksi yang pernah terjadi antara
dirinya (anggota pengguna sepeda lokal) dengan
beberapa anggota pengguna sepeda gunung merek impor,
dimana kegiatan saling menceritakan mengenai
kenyamanan suatu sepeda gunung produk impor tertentu
juga akan dipertimbangkan dan diterapkan ke dalam
dirinya. Ia akan masuk pada konsep pengambilan peran
orang lain (taking the role of the other), dimana anggota
akan menempatkan dirinya dalam peranan anggota yang
lain bahwa jika ia menggunakan sepeda gunung merek
impor ia tidak akan lagi menjadi bahan bullying, sebab
keberadaan mayoritas anggota adalah pengguna sepeda
gunung merek impor yang secara otomatis akan
mengeluarkannya dari “posisi minoritas” dalam
kelompok. Ia akan menafsirkan bahwa sepeda gunung
merek impor tertentu adalah sepeda gunung yang terbaik
berdasarkan pertimbangan pengalaman (secara kolektif)
yang ia ketahui dan diperolehnya dari interaksi dengan
anggota pengguna sepeda gunung merek impor.
Kemudian anggota akan memasuki tahapan generalized
other atau penyamarataan orang lain dengan diri sendiri
bahwa keberadaan mayoritas anggota adalah pengguna
sepeda merek impor tertentu, yaitu merek Giant. Hal ini
akan memunculkan penafsiran baru dalam konsep diri
(self) anggota, bahwa keberadaan sepeda impor merek
Giant digeneralisir sebagai sepeda gunung merek impor
dengan kualitas yang paling baik. Pada akhirnya anggota
akan memutuskan untuk beralih menggunakan sepeda
gunung impor yaitu merek Giant.
Self dalam Komunitas No’ Nyono’ Cycling Club
(NCC)
Self sebagai diri yang bertindak dalam komunitas NCC
muncul pada saat anggota komunitas memilih dirinya
sebagai “I” (subyek) dan “me” (obyek). Diri (self)
sebagai subyek adalah diri yang lebih mengarah pada
kebebasan dan spontanitas. Sedangkan diri sebagai obyek
adalah diri sebagaimana dilihat oleh orang lain.
Setelah terjadi suatu proses berpikir subyektif (mind)
pada diri anggota pengguna sepeda gunung merek lokal,
hal ini akan memunculkan kesadaran diri (self) terhadap
realitas sosial yang terjadi dengan menentukan tindakan
apa yang tepat atas stimulus yang muncul berupa bahasa
bullying, yaitu agar diri anggota tidak lagi menjadi bahan
bullying anggota yang lain, maka muncul keinginan
sebagai respon atas perilaku bullying yang muncul, untuk
mengganti sepeda gunung merek lokal miliknya dan
beralih menggunakan sepeda gunung merek impor
layaknya mayoritas anggota. Namun, sebelum anggota
benar-benar memutuskan untuk mengganti sepeda
gunung merek lokal miliknya dan beralih menggunakan
sepeda gunung merek impor, ia masih akan kembali
mempertimbangkan hal-hal yang lain tentang merek
sepeda gunung impor apa yang tepat dan yang terpenting
PENUTUP
Simpulan
Dalam komunitas sepeda gunung No’ Nyono’ Cycling
Club (NCC) Sumenep keberadaan anggota terbagi
menjadi dua, yaitu anggota senior dan anggota junior.
Dasar pengkategorisasian tersebut berdasarkan lamanya
anggota bergabung. Interaksi sosial antar anggota dalam
komunitas NCC adalah berbeda-beda. Seperti antara
anggota senior dengan anggota junior, interaksi yang
7
Paradigma, Volume 03 Nomor 03, Tahun 2015
terjalin adalah anggota senior lebih mendominasi dalam
hal pengambilan keputusan tertentu. Adanya bahasa
bullying oleh anggota senior terhadap anggota junior juga
terkesan lebih bersifat semaunya. Berikutnya interaksi
antara anggota junior dengan anggota senior adalah
anggota junior akan lebih menghormati dan selalu
bersifat mengikuti apa yang menjadi keputusan anggota
senior. Bahasa bullying yang digunakan juga lebih
bersifat sewajarnya. Anggota junior juga seringkali
menanyakan informasi terkait dunia sepeda kepada
anggota senior. Kemudia interaksi antara anggota junior
dengan anggota junior. Interaksi yang terjalin adalah
selayaknya saudara. Mereka saling terbuka dan saling
menasehati antara satu sama lain. Bahasa bullying juga
terkesan apa adanya. Berikutnya yang terakhir adalah
interaksi antara anggota senior dengan anggota senior
yaitu interaksi yang terjalin adalah anggota senior
cenderung tidak ingin tersaingi dalam hal kemampuan
dan kecepatan bersepeda. Bahasa bullying yang
diucapkan biasanya berkaitan dengan kemampuan
bersepeda.
Pemikiran (mind) dalam komunitas sepeda gunung
NCC adalah ketika anggota mulai berpikir mengenai
respon apa yang tepat bagi stimulus yang muncul. Dalam
hal ini proses berpikir tidak terjadi secara sederhana,
melainkan melalui pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Seperti pada saat anggota pengguna sepeda gunung
merek lokal menerima bahasa bullying dari anggota
pengguna sepeda gunung merek impor, ia akan berpikir
mengenai respon atau tindakan apa yang tepat untuk
menghindari adanya bahasa bullying tersebut. Anggota
menafsirkan bahwa sepeda lokal miliknya sebagai sepeda
yang benar-benar tidak berharga, sehingga muncul
perasaan malu dalam batin anggota, ia akan berpikir
untuk beralih menggunakan sepeda gunung merek impor
sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap lingkungan
sosialnya agar ia terlihat setara dengan anggota yang lain.
Konsep diri (self) muncul ketika anggota menjadikan
dirinya sebagai “I” (subyek) maupun “Me” (obyek).
Dalam hal ini ketika anggota mulai berpikir untuk beralih
menggunakan sepeda gunung merek impor, ia
mempertimbangkan kembali mengenai sepeda gunung
impor merek apa yang akan dipilihnya, sehingga konsep
diri (self) anggota akan menjadi “Me” sebab ia akan
memposisikan
dirinya
sebagai
obyek
dan
menginternalisasikan
seluruh
pengalaman
yang
diperolehnya dari obyek sosialnya. Kemudian anggota
akan lebih memilih sepeda gunung impor merek Giant,
sebab anggota menginterpretasikan merek Giant sebagai
sepeda gunung impor terbaik yang digunakan oleh
mayoritas anggota. Konsep diri (self) anggota selalu
berubah dan bersifat dinamis. Seperti ketika anggota
bersepeda di lingkungan kota Sumenep, mereka akan
bersepeda dengan lebih mematuhi aturan lalu lintas.
Dalam hal ini diri menjadi “Me”. Namun berbeda ketika
para anggota mulai memasuki daerah pedesaan yang
cenderung sepi, mereka akan bersepeda dengan beradu
kecepatan masing-masing. Situasi yang terjadi adalah
para anggota layaknya orang yang sedang bermusuhan.
Dalam situasi tersebut, anggota menjadi diri “I”.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian di atas, penulis memberikan
saran bagi peneliti selanjutnya yang hendak mengkaji
mengenai interaksionisme simbolik komunitas untuk
dapat memahami secara menyeluruh bagaimana simbol
verbal dan simbol non verbal dikomunikasikan dan
memahami seluruh pemaknaan atas simbol-simbol yang
muncul dalam interaksi sosial komunitas tersebut. Selain
itu tentunya juga diharapkan bagi peneliti selanjutnya
untuk secara langsung masuk dan menjadi bagian dari
komunitas yang hendak diteliti agar dapat lebih
memahami bagaimana simbol-simbol yang muncul
tersebut dikomunikasikan.
DAFTAR PUSTAKA
Imam, Asy’ari Sapari, 1993. Sosiologi Kota dan Desa.
Surabaya: Usaha Nasional.
Jhonson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan
Modern II. Terjemahan Robert M.Z. Jakarta: PT.
Gramedia.
Mulyana, Deddy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung: PT. Remaja Rosadakarya.
Narwoko, J Dwi dan Suyanto, Bagong. 2011. Sosiologi
Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana.
Ritzer, George & Douglas J Goodman. 2008. Teori
Sosiologi
Dari
Teori
Klasik
Sampai
Perkembangan
Mutakhir
Teori
Sosial
Postmodern. Bantul: Kreasi Wacana.
Soekanto, Soerjono. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Umiarso dan Elbandiansyah. 2014. Interaksionisme
Simbolik dari Era Klasik Hingga Modern. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Sumber Internet
Prasetyo, Galih. 2015. “Pengantar Birokrasi Klasik:
Hegel,
Marx
dan
Weber”.
(Online).(http://www.academia.edu/5650988/Peng
antar_Birokrasi_Klasik_Hegel_Marx_dan_Weber)
Download