Perbedaan Kepercayaan Diri Siswa kelas X yang Mengalami dan

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Bullying
2.1.1 Pengertian Bullying
Bullying memiliki berbagai definisi yang beragam yang dikemukakan oleh
beberapa tokoh. Olweus (2005) mendefinisikan bullying sebagai tindakan negatif
dalam waktu yang cukup panjang dan berulang yang dilakukan oleh satu orang
atau lebih terhadap orang lain, dimana terdapat ketidakseimbangan kekuatan dan
korban tidak memiliki kemampuan untuk melindungi dirinya. Sullivan (2000)
menjelaskan bahwa bullying termasuk ke dalam bentuk perilaku agresif yang
dilakukan secara sengaja dan sadar oleh seseorang atau sekelompok orang
terhadap orang atau sekelompok orang yang lain dengan tujuan menyakiti. Rigby
(2008) menyatakan bahwa bullying merupakan penyalahgunaan kekuatan secara
sistematis dalam berhubungan dengan orang lain. Olweus (2003) melengkapi
definisi bullying dengan menambahkan bentuk dalam bullying. Menurutnya
bullying dapat terjadi dalam bentuk verbal, fisik dan relasional.
Perilaku bullying merupakan perilaku agresif yang serius. Perilaku agresif
dapat terjadi karena berbagai faktor. Menurut teori General Aggression Model
(GAM), faktor-faktor tersebut dapat berasal dari luar individu (situasional) dan
personal (Anderson & Carnagey, 2006). Dalam teorinya, Anderson menyatakan
agresi disebabkan oleh adanya sekumpulan faktor yang kemudian diterima,
dipersepsi, dan dimaknai oleh seseorang berdasarkan sikap dan ketrampilan
8
masing-masing. Kemudian individu tersebut akan menghubungkannya dengan
keadaan sosial di sekitar individu lalu mengekspresikannya dalam bentuk tingkah
laku agresi. Faktor-faktor situasional yang dapat memicu terbentuknya perilaku
agresi antara lain budaya sekolah (bullying yang dilakukan guru atau teman
sebaya), teknologi dan norma kelompok (O’Connell, 2003). Faktor situasional
lain yang juga mempengaruhi perilaku bullying adalah media. Perry (1987) dalam
O’Connell, 2003) menyatakan bahwa media juga dapat mempengaruhi
terbentuknya perilaku bullying pada anak. Tayangan televisi yang menampilkan
candaan yang kasar, menghina, dan mengandung kekerasan ditampilkan sebagai
perilaku yang menghibur dan dapat diterima oleh orang lain sehingga hal ini dapat
dianggap pembaca sebagai perilaku yang wajar dalam hubungan sosial dengan
orang lain. Faktor yang turut mempengaruhi perilaku bullying selain faktor
situasional adalah faktor personal meliputi harga diri (Anderson & Carnagey,
2004), temperamen (Olweus, 2003), dan keluarga (O’Connell, 2003) yang
memberikan kecenderungan individu untuk menampilkan perilaku agresi.
Dari beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa suatu perilaku
dapat dikatakan sebagai bullying apabila (a) dilakukan secara sadar dan sengaja,
(b)
berulang
kali
dalam
waktu
yang
relatif
lama,
(c)
terdapat
ketidakseimbangankekuatan, (d) sistematis dan terorganisir, (e) bertujuan untuk
meyakiti orang lain dalam hal ini korban, (f) dan dapat terjadi dalam beberapa
bentuk, yaitu dalam bentuk verbal, fisik dan mental.
9
2.1.2 Bentuk-bentuk Bullying
Berdasarkan bentuknya menurut Olweus (dalam Sari, 2011) bullying dibagi
ke dalam tiga kategori, yaitu bullying secara verbal, fisik dan relasional.
1) Verbal
Bentuk bullying ini berhubungan dengan verbal atau kata-kata. Tindakan
yang termasuk di dalamnya adalah memaki, menghina, mengejek, memfitnah,
memberi julukan yang tidak menyenangkan, mempermalukan di depan umum,
menuduh, menyoraki, menyebarkan gosip yang negatif dan membentak.
2) Fisik
Bentuk bullying ini yang paling terlihat karena bersifat langsung dan
terdapat kontak fisik antara korban dan pelaku. Contoh perilakunya seperti
memukul, meludahi, menampar, mendorong, menjambak, menjewer,
menimpuk, menendang, dan berbagai ancam kontak fisik lainnya.
3) Relasional
Bentuk bullying ini berhubungan dengan semua perilaku yang bersifat
merusak hubungan dengan orang lain. Tindakan yang termasuk dengan
sengaja mendiamkan seseorang, mengucilkan seseorang, penolakan kelompok,
pemberian gesture yang tidak menyenangkan seperti memandang sinis,
merendahkan dan penuh ancaman.
Astuti (2008) juga mengemukakan mengenai bentuk-bentuk bullying, antara
lain:
1) Fisik.
Contohnya adalah menggigit, menarik rambut, memukul, menendang,
mengunci, dan mengintimidasi korban di ruangan atau dengan mengitari,
memelintir, menonjok, mendorong, mencakar, meludahi, mengancam, dan
merusak barang-barang milik korban, penggunaan senjata dan perbuatan
kriminal.
2) Non-fisik
Terbagi dalam bentuk verbal dan non-verbal. Verbal contohnya panggilan
telepon yang meledek, pemalakan, pemerasan, mengancam, atau intimidasi,
menghasut, berkata jorok pada korban, berkata menekan, dan
menyebarluaskan kejelekan korban. Sedangkan non-verbal terbagi menjadi
langsung dan tidak langsung. Non-verbal tidak langsung diantaranya adalah
manipulasi pertemanan, mengasingkan, tidak mengikutsertakan, mengirim
pesan menghasut, curang, dan sembunyisembunyi. Non-verbal langsung
contohnya gerakan kasar atau mengancam, menatap, muak mengancam,
menggeram, hentakan mengancam atau menakuti.
10
2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Bullying
Perilaku bullying dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, namun secara
umum ada dua faktor yang berinteraksi, yaitu: faktor personal dan faktor
situasional (Anderson & Carnagey, 2004). Faktor personal meliputi pola asuh ibu
dan ayah serta harga diri (self-esteem). Sedangkan faktor situasional meliputi
norma kelompok dan sekolah. O’Connell (2003) menguraikan faktor-faktor
tersebut di atas sehingga dapat menyebabkan timbulnya perilaku bullying.
1) Pola Asuh Orangtua
Pola asuh dari orangtua sangat mempengaruhi kepribadian dan perilaku
seorang anak. Orangtua yang menggunakan bullying sebagai cara untuk proses
belajar anak akan membuat anak beranggapan bahwa bullying adalah perilaku
yang wajar dan bisa diterima dalam berinteraksi dengan orang lain dan dalam
mendapatkan apa yang mereka inginkan. Penelitian yang dilakukan oleh
Ahmed dan Braithwaite (2004) menyatakan bahwa keluarga merupakan faktor
yang paling berpengaruh dalam menentukan keterlibatan seseorang pada
perilaku bullying. Selain itu, penelitian Olweus (2003) menyebutkan bahwa
terdapat hubungan antara pola asuh orang tua dengan dengan perilaku agresif
pada remaja.
2) Harga Diri
Harga diri dikatakan dapat mempengaruhi perilaku bullying. Seorang anak
yang memiliki harga diri negatif atau harga diri rendah, anak tersebut akan
memandang dirinya sebagai orang yang tidak berharga. Rasa tidak berharga
tersebut dapat tercermin pada rasa tidak berguna dan tidak memiliki
kemampuan baik dari segi akademik, interaksi sosial, keluarga dan keadaan
fisiknya. Harga diri rendah dapat membuat seorang anak merasa tidak mampu
menjalin hubungan dengan temannya sehingga dirinya menjadi mudah
tersinggung dan marah. Akibatnya anak tersebut akan melakukan perbuatan
yang menyakiti temannya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Septrina, Liow, Sulistiyawati, dan dalam Asdrian (2009) yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara harga diri
dengan perilaku bullying dimana semakin tinggi harga diri maka semakin
rendah perilaku bullying.
3) Norma kelompok
Menurut O’Connell (2003), norma kelompok dapat membuat perilaku
bullying sebagai perilaku yang wajar dan dapat diterima. Biasanya anak yang
terlibat dalam perilaku bullying agar dapat diterima dalam kelompok.
Jika kelompoknya melakukan perilaku bullying terhadap siswa lain biasanya
siswa yang tergabung dalam kelompok itu akan mendukung anggota
kelompoknya yang melakukan perilaku bullying. Selain itu, kelompok
11
menggunakan perilaku bullying sebagai cara untuk mengajarkan norma-norma
yang dianut dalam kelompok pada siswa lain yang ingin bergabung dengan
kelompok. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Astari (2008) menunjukkan
bahwa terdapat hubungan yang positif antara norma kelompok dengan
perilaku bullying yang dilakukan siswa SMA.
4) Sekolah
Budaya sekolah juga dapat mempengaruhi perilaku bullying. Menurut
O’Connell (2003), guru dan pihak sekolah yang bersikap tidak peduliterhadap
kekerasan yang dilakukan oleh para siswa dapat meningkatkan perilaku
bullying di sekolah. Karena pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan
bullying ini, anak-anak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan
terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi anak-anak yang lainnya.
Bullying berkembang dengan pesat dalam lingkungan sekolah yang sering
memberikan masukan yang negatif pada siswanya misalnya berupa hukuman
yang tidak membangun sehingga tidak mengembangkan rasa menghargai dan
menghormati antar sesama anggota sekolah. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Djuwita (2009) menunjukkan bahwa faktor situasional yang berperan
secara signifikan adalah bullying yang dilakukan guru di sekolah.
2.1.4 Karakteristik Pelaku Bullying
Karakteristik yang umum dimiliki oleh pelaku bullying (Olweus, 2003).
adalah (a) memiliki keinginan untuk mendominasi orang lain, (b) kurang atau
tidak berempati terhadap perasaan orang lain, (c) hanya peduli dengan
keinginannya sendiri, (d) sulit melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain, (e)
tingkah lakunya cenderung impulsif, (f) agresif, (g) intimidatif, (h) dan suka
memukul Dari beberapa karakteristik ini, dapat disimpulkan bahwa motivasi
seseorang melakukan bullying bisa berdasarkan kebencian, perasaan iri dan
dendam atau bisa juga untuk menyembunyikan rasa malu dan gelisah serta
mendorong rasa percaya diri dengan menganggap orang lain tidak ada artinya.
12
2.2. Kepercayaan Diri
2.2.1 Pengertian Percaya Diri
Rasa percaya diri adalah sikap seorang individu mampu mengembangkan
diri kearah yang positif terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya. Rasa percaya
diri yang tinggi dapat membantu seorang individu lebih percaya akan kemampuan
yang individu miliki, dia percaya bahwa dia bisa karena didukung oleh
pengalaman dan potensi yang dia miliki serta harapan realistik terhadap diri
sendiri dan individu yang memiliki percaya diri tinggi lebih mudah dalam
menyesuaikan diri dalam lingkungannya. Menurut Lauster (2012) kepercayaan
diri merupakan suatu sikap atau keyakinan atas kemampuan diri sendiri, sehingga
dalam tindakan-tindakannya tidak terlalu cemas, merasa bebas untuk melakukan
hal-hal yang sesuai keinginan dan tanggung jawab atas perbuatannya, sopan
dalam berinteraksi dengan orang lain, memiliki dorongan prestasi serta dapat
mengenal kelebihan dan kekurangan diri sendiri. Kepercayaan diri berawal dari
tekad pada diri sendiri, untuk melakukan segala yang kita inginkan dan kita
butuhkan dalam hidup. Rasa percaya diri terbina dari keyakinan diri sendiri,
bukan dari karya-karya kita, walapun karya-karya kita sukses. Rasa percaya diri
merupakan suatu keyakinan dalam jiwa sebagai manusia, tantangan hidup harus
dihadapi dengan berbuat sesuatu. Bukan masalah berbuat sesuatu itu yang
penting, namun kesediaan untuk melakukannya. Jika sebagai seorang individu
yakin pada diri sendiri, maka apapun tantangan hidup akan dihadapi. Jadi bukan
kepercayaan diri karena kemampuan mengerjakan sesuatu namun percaya diri
karena kemampuan menghadapi segala tantangan hidup (Angelis, 2003).
13
Menurut Prayitno (1995) percaya diri itu lahir dari kesadaran bahwa ketika
seseorang memutuskan untuk melakukan sesuatu, sesuatu itu pula yang akan
dilakukan. Artinya keputusan untuk melakukan sesuatu dan sesuatu yang
dilakukan itu bermakna bagi kehidupannya. Jika seseorang memiliki percaya diri
didalam arena sosial, maka akan menjadi tidak gelisah dan lebih nyaman dengan
dirinya sendiri serta mampu mengembangkan perilaku dalam situasi sosial. Rasa
percaya diri dipengaruhi dua sumber penting dalam dukungan sosial adalah
hubungan dengan orang tua dan dukungan dengan teman sebaya. Coopersmith
(dalam Santrock, 2003). Sedangkan menurut Harter (dalam Santrock, 2003)
dukungan dari teman sebaya lebih berpengaruh pada tingkat rasa percaya diri pada
individu pada masa remaja awal daripada anak-anak, meskipun dukungan orang
tua juga faktor yang penting untuk rasa percaya diri pada anak-anak dan remaja
awal. Akan tetapi dukungan teman sebaya lebih penting dibandingkan dengan
dukungan orang tua pada remaja akhir. Terdapat dua jenis dukungan teman
sebaya yaitu dukungan teman sekelas dan teman akrab. Dukungan teman satu
kelas lebih kuat berpengaruh terhadap rasa percaya diri remaja dalam berbagai
usia dibandingkan dengan teman akrab, karena teman akrab selalu memberikan
dukungan yang dibutuhkan, sehingga dukungan itu tidak dianggap oleh remaja
untuk meningkatkan rasa percaya diri, karena remaja pada saat-saat tertentu
membutuhkan sumber dukungan yang lebih obyektif untuk membenarkan rasa
percaya dirinya.
14
2.2.2 Karakteristik kepercayaan diri
Menurut Lauster (dalam Rini, 2002) individu yang memiliki rasa percaya
diri yang Proporsional diantaranya adalah:
1. Percaya akan kompetensi atau kemampuan diri, hingga tidak membutuhkan
pujian, pengakuan, penerimaan, ataupun rasa hormat orang lain.
2. Tidak terdorong untuk menunjukan konformitas demi diterima orang lain atau
kelompok.
3. Berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain, berani menjadi diri
sendiri.
4. Punya pengendalian diri yang baik (tidak moody dan emosinya stabil).
5. Memiliki internal locus of control (memandang keberhasilan atau kegagalan,
tergantung usaha dari diri sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau
keadaan serta tidak tergantung/mengharapkan bantuan orang lain).
6. Mempunyai cara pandang yang positif terhadap diri sendiri, orang lain dan
situasi diluar dirinya.
7. Memiliki harapan yang realistik terhadap diri sendiri, sehingga ketika harapan
itu tidak terwujud, ia tetap mampu melihat sisi positif dirinya dan situasi yang
terjadi.
Kesimpulan dari karakteristik kepercayaan diri, individu yang memiliki
kepercayaan diri memiliki karakteristik yang menunjukan individu yang mampu
mengendalikan diri, yakin akan kemampuan yang dimilki, berpandangan positif,
tidak konformitas dan memiliki harapan yang realistic terhadap diri sendiri.
2.1.3 Aspek-aspek dalam percaya diri
Menurut Lauster (1997) aspek-aspek dalam percaya diri secara rinci adalah
sebagai berikut:
1) Cinta diri.
Merupakan perilaku seseorang untuk memelihara diri.
2) Pemahaman diri.
Orang yang percaya diri selalu ingin tahu bagaimana pendapat orang lain
tentang dirinya sendiri, percaya akan kompetensi atau kemampuan diri
sehingga tidak membutuhkan pujian, pengakuan, penerimaan, ataupun rasa
hormat orang lain, berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain
yaitu menjadi diri sendiri.
3) Tujuan hidup yang jelas.
15
Orang yang mengetahui tujuan hidupnya karena mempunyai pikiran yang
jelas mengapa melakukan tindakan tertentu dan tahu hasil apa yang
diharapkannya, tidak terdorong untuk menunjukan sikap konformitas demi
diterima oleh orang lain atau kelompok, memiliki harapan realistic terhadap
diri sendiri, sehingga ketika harapan itu terwujud, ia tetap mampu melihat sisi
positif dari dirinya dan situasi yang terjadi.
4) Berpikir positif.
Orang yang dapat melihat dari kehidupan sisi cerah serta mencari
pengalaman dari hasil yang bagus, mempunyai pengendalian diri yang baik
(tidak moody dan emosinya stabil), memiliki internal locus of control
(memandang keberhasilan atau kegagalan tergantung dari usaha diri sendiri
dan tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaan, serta tidak tergantung
atau mengharapkan bantuan orang lain), mempunyai cara pandang positif
terhadap diri sendiri, orang lain dan situasi di luar dirinya.
Menurut Lauster (2006) kepercayaan pada diri sendiri mempengaruhi sikap
hati-hati, ketaktergantungan, ketidak serakahan, toleransi dan cita-cita. Seorang
yang
percaya
diri
tidaklah
hati-hati
secara
berlebihan,
yakin
akan
ketidaktergantungan dirinya kepada orang lain karena percaya pada diri sendiri,
tidak menjadi terlalu egois, lebih toleran, karena individu yang percaya diri tidak
melihat dirinya sedang dipersoalkan, dan cita-citanya normal dan tidak menutupi
kekurangpercayaan pada diri sendiri dengan cita-cita yang berlebihan.
2.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi percaya diri
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri (Angelis, 2003) adalah
sebagi berikut :
1) Kemampuan pribadi.
Rasa percaya diri timbul pada saat seseorang mengerjakan sesuatu yang
memang mampu dilakukan.
2) Keberhasilan seseorang.
Keberhasilan seseorang ketika mendapatkan apa yang selama ini
diharapkan dan cita citakan akan memperkuat timbulnya rasa percaya diri.
3) Keinginan
Ketika seseorang menghendaki sesuatu maka orang tersebut akan belajar
dari kesalahan yang telah diperbuat untuk mendapatkannya.
16
4) Tekat yang kuat
Rasa percaya diri yang datang ketika seseorang memiliki tekat yang kuat
untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Dari uraian faktor-faktor percaya diri tersebut disimpulkan bahwa faktorfaktor yang dimiliki individu adalah adanya kemampuan pribadi, keberhasilan,
keinginan dan tekat yang kuat untuk belajar dari pengalaman agar tidak terulang
lagi.
2.2.5 Usaha-usaha membangun kepercayaan diri
Menurut Lauster (2006) ada dua cara manusia beraksi untuk menutupi rasa
rendah diri, yaitu menyerah dan kompensasi. Menyerah berarti bahwa rasa rendah
diri dianggap sebagai perbaikan terhadap kepercayaan pada diri sendiri yang dapat
dicapai. Adler (dalam Lauster, 2006) menyadari rasa rendah diri sering
dikompensasi. Kompensasi ini mengambil berbagai bentuk. Salah satu cara adalah
kompensasi langsung seperti yang dilakukan oleh Wilma Rudolph, yang terkena
folio. Orang yang tak yakin pada dirinya mencari kompensasi untuk menutupi
rasa rendah dirinay justru dalam bidang kekurangannya. Beberapa petunjuk untuk
meningkatkan rasa percaya pada diri sendiri yaitu(Lauster2006) :
1) Cari sebab-sebab merasa rendah diri.
Sekali individu mengetahui sebab-sebab itu maka individu sudah
mendapatkan prasyarat yang sangat penting untuk suatu perbaikan
kepercayaan diri sendiri yang direncanakan.
2) Atasi kelemahan yang dimiliki.
Hal yang penting adalah individu harus memiliki kemauan yang kuat.
Karena hanya dengan begitu individu akan memandang suatu perbaikan yang
kecil sebagai keberhasilan yang sebenarnya.
3) Kembangkan bakat dan kemampuan.
Dengan mengembangkan bakat dan kemampuan individu mengadakan
kompensasi bagi kelemahan individu, sehingga kelemahan itu tidak penting
lagi bagi individu.
17
4) Bahagialah dengan keberhasilan dalam suatu bidang tertentu.
Perkiraan individu atas keberhasilan adalah lebih penting untuk ke
kesadaran sendiri dibandingkan dengan pendapat orang lain.
5) Bebaskan diri dari pendapat orang lain.
Jaganlah berbuat berlawan dengan keyakinan sendiri. Hanya dengan
begitu individu akan merasa merdeka dalam diri sendiri dan yakin.
6) Tidak puas dengan pekerjaan tapi tidak melihat sesuatu untuk memperbaiki,
maka kembangkanlah baka-bakat yang dimiliki melalui hoby.
Dengan begitu individu dapat mengkompensasikan kekecewaan dan dapat
menjaga diri dari ketidak yakinan atas diri sendiri.
7) Jika disuruh melakukan pekerjaan yang sukar, cobalah melakukan pekerjaan
tersebut dengan optimis.
8) Jangan terlalu bercita-cita , karena cita-cita yang kelewat batas tidak baik.
Makin besar cita-cita, maka akan semakin sulit untuk memenuhi tuntutan yang
tinggi.
9) Jangan terlalu sering membandingkan diri dengan orang lain.
Ada banyak hal yang dapat dilakukan dengan baik oleh orang lain
dibanding dengan diri sendiri. Jika individu terus menerus membandingkan
diri dengan orang lain maka ada kemungkinan individu akan kecewa dengan
diri sendiri. Dan ini tidak baik bagi harga diri individu.
10) Janganlah mengambil motto ungkapan yang berbunyi, apapun yang dilakukan
dengan baik oleh orang lain sayapun dapat melakukannya, karena tak
seorangpun dapat mempunyai hasil yang sama dalam tiap bidang.
2.3 Penelitian Yang Relevan
Menurut penelitian Ajeng Fiste Fiftina (2010) mengenai Hubungan
Kepercayaan Diri Dengan Perilaku Asertif Pada Siswa SMA Korban bullying.
Pendekatan penelitiann yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Metode
pengumpulan data yang dilakukan adalah kuesioner dari kepercayaan diri dan
perilaku asertiif yang berbentuk skala likert. Data yag diperoleh dianalisis
menggunakan teknik analisis korelasi bivariate. Uji korelasi menunjukkan bahwa
ada hubungan positif yang sangat signifikan antara kepercayaan diri dengan
perilaku asertif pada uji korelasi Bivariate sebesar 0,506 dengan taraf signifikansi
sebesar 0,000 (
ini disimpulkan bahwa hipotesis
18
diterima yang artinya terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara
kepercayaan diri dengan perilaku asertif pada siswa SMA korban bullying.
Berdasarkan penelitian Ulfatun Ni’mah (2013) mengenai Pengaruh
Konseling Kelompok Terhadap Peningkatan Kepercayaan Diri Korban Bullying
Pada Siswa Kelas VII MTs Swasta Di Demak. Populasi dalam penelitian ini adala
siswa kelas VII MTs Swasta di Demak Tahun Pelajaran 2012/2013 dengan jumlah
54 siswa. Sampel yang diambil adalah 10 siswa dengan menggunakan Random
Sampling. Data penelitian ini diperoleh melalui instrumen penelitian skala
kepercayaan diri korban bullying dengan alternatif empat jawaban. Desain
penelitian yang digunakan adalah one group pretest, treatment, and posttest
design. Berdasarkan analisis data penelitian setelah mendapatkan perlakuan
layanan konseling kelompok, menunjukkan adanya pengaruh positif dan
signifikan dari konseling kelompok terhadap peningkatan kepercayaan diri korban
bullying pada siswa tahun ajaran 2012/2013. Thitung (55) sedangkan Ttabel (8).
Karena T hitung > Ttabel dengan taraf signifikansi 5%, dengan demikian berarti H A
diterma dan Ho ditolak sehingga penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat
pengaruh yang signifikan konseling kelompok terhadap peningkatan kepercayaan
diri korban bullying pada siswa tahun pelajaran 2012/2013.
2.4 Hipotesis
Dari penelitian ini diajukan hipotesis :
“ Ada perbedaan yang signifikan antara kepercayaan diri siswa kelas X yang
mengalami dan tidak mengalami perilaku Bullying di SMA Theresiana Weleri.”
19
Download