BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Bullying 2.1.1 Pengertian Bullying Bullying memiliki berbagai definisi yang beragam yang dikemukakan oleh beberapa tokoh. Olweus (2005) mendefinisikan bullying sebagai tindakan negatif dalam waktu yang cukup panjang dan berulang yang dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap orang lain, dimana terdapat ketidakseimbangan kekuatan dan korban tidak memiliki kemampuan untuk melindungi dirinya. Sullivan (2000) menjelaskan bahwa bullying termasuk ke dalam bentuk perilaku agresif yang dilakukan secara sengaja dan sadar oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap orang atau sekelompok orang yang lain dengan tujuan menyakiti. Rigby (2008) menyatakan bahwa bullying merupakan penyalahgunaan kekuatan secara sistematis dalam berhubungan dengan orang lain. Olweus (2003) melengkapi definisi bullying dengan menambahkan bentuk dalam bullying. Menurutnya bullying dapat terjadi dalam bentuk verbal, fisik dan relasional. Perilaku bullying merupakan perilaku agresif yang serius. Perilaku agresif dapat terjadi karena berbagai faktor. Menurut teori General Aggression Model (GAM), faktor-faktor tersebut dapat berasal dari luar individu (situasional) dan personal (Anderson & Carnagey, 2006). Dalam teorinya, Anderson menyatakan agresi disebabkan oleh adanya sekumpulan faktor yang kemudian diterima, dipersepsi, dan dimaknai oleh seseorang berdasarkan sikap dan ketrampilan 8 masing-masing. Kemudian individu tersebut akan menghubungkannya dengan keadaan sosial di sekitar individu lalu mengekspresikannya dalam bentuk tingkah laku agresi. Faktor-faktor situasional yang dapat memicu terbentuknya perilaku agresi antara lain budaya sekolah (bullying yang dilakukan guru atau teman sebaya), teknologi dan norma kelompok (O’Connell, 2003). Faktor situasional lain yang juga mempengaruhi perilaku bullying adalah media. Perry (1987) dalam O’Connell, 2003) menyatakan bahwa media juga dapat mempengaruhi terbentuknya perilaku bullying pada anak. Tayangan televisi yang menampilkan candaan yang kasar, menghina, dan mengandung kekerasan ditampilkan sebagai perilaku yang menghibur dan dapat diterima oleh orang lain sehingga hal ini dapat dianggap pembaca sebagai perilaku yang wajar dalam hubungan sosial dengan orang lain. Faktor yang turut mempengaruhi perilaku bullying selain faktor situasional adalah faktor personal meliputi harga diri (Anderson & Carnagey, 2004), temperamen (Olweus, 2003), dan keluarga (O’Connell, 2003) yang memberikan kecenderungan individu untuk menampilkan perilaku agresi. Dari beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa suatu perilaku dapat dikatakan sebagai bullying apabila (a) dilakukan secara sadar dan sengaja, (b) berulang kali dalam waktu yang relatif lama, (c) terdapat ketidakseimbangankekuatan, (d) sistematis dan terorganisir, (e) bertujuan untuk meyakiti orang lain dalam hal ini korban, (f) dan dapat terjadi dalam beberapa bentuk, yaitu dalam bentuk verbal, fisik dan mental. 9 2.1.2 Bentuk-bentuk Bullying Berdasarkan bentuknya menurut Olweus (dalam Sari, 2011) bullying dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu bullying secara verbal, fisik dan relasional. 1) Verbal Bentuk bullying ini berhubungan dengan verbal atau kata-kata. Tindakan yang termasuk di dalamnya adalah memaki, menghina, mengejek, memfitnah, memberi julukan yang tidak menyenangkan, mempermalukan di depan umum, menuduh, menyoraki, menyebarkan gosip yang negatif dan membentak. 2) Fisik Bentuk bullying ini yang paling terlihat karena bersifat langsung dan terdapat kontak fisik antara korban dan pelaku. Contoh perilakunya seperti memukul, meludahi, menampar, mendorong, menjambak, menjewer, menimpuk, menendang, dan berbagai ancam kontak fisik lainnya. 3) Relasional Bentuk bullying ini berhubungan dengan semua perilaku yang bersifat merusak hubungan dengan orang lain. Tindakan yang termasuk dengan sengaja mendiamkan seseorang, mengucilkan seseorang, penolakan kelompok, pemberian gesture yang tidak menyenangkan seperti memandang sinis, merendahkan dan penuh ancaman. Astuti (2008) juga mengemukakan mengenai bentuk-bentuk bullying, antara lain: 1) Fisik. Contohnya adalah menggigit, menarik rambut, memukul, menendang, mengunci, dan mengintimidasi korban di ruangan atau dengan mengitari, memelintir, menonjok, mendorong, mencakar, meludahi, mengancam, dan merusak barang-barang milik korban, penggunaan senjata dan perbuatan kriminal. 2) Non-fisik Terbagi dalam bentuk verbal dan non-verbal. Verbal contohnya panggilan telepon yang meledek, pemalakan, pemerasan, mengancam, atau intimidasi, menghasut, berkata jorok pada korban, berkata menekan, dan menyebarluaskan kejelekan korban. Sedangkan non-verbal terbagi menjadi langsung dan tidak langsung. Non-verbal tidak langsung diantaranya adalah manipulasi pertemanan, mengasingkan, tidak mengikutsertakan, mengirim pesan menghasut, curang, dan sembunyisembunyi. Non-verbal langsung contohnya gerakan kasar atau mengancam, menatap, muak mengancam, menggeram, hentakan mengancam atau menakuti. 10 2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Bullying Perilaku bullying dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, namun secara umum ada dua faktor yang berinteraksi, yaitu: faktor personal dan faktor situasional (Anderson & Carnagey, 2004). Faktor personal meliputi pola asuh ibu dan ayah serta harga diri (self-esteem). Sedangkan faktor situasional meliputi norma kelompok dan sekolah. O’Connell (2003) menguraikan faktor-faktor tersebut di atas sehingga dapat menyebabkan timbulnya perilaku bullying. 1) Pola Asuh Orangtua Pola asuh dari orangtua sangat mempengaruhi kepribadian dan perilaku seorang anak. Orangtua yang menggunakan bullying sebagai cara untuk proses belajar anak akan membuat anak beranggapan bahwa bullying adalah perilaku yang wajar dan bisa diterima dalam berinteraksi dengan orang lain dan dalam mendapatkan apa yang mereka inginkan. Penelitian yang dilakukan oleh Ahmed dan Braithwaite (2004) menyatakan bahwa keluarga merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam menentukan keterlibatan seseorang pada perilaku bullying. Selain itu, penelitian Olweus (2003) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara pola asuh orang tua dengan dengan perilaku agresif pada remaja. 2) Harga Diri Harga diri dikatakan dapat mempengaruhi perilaku bullying. Seorang anak yang memiliki harga diri negatif atau harga diri rendah, anak tersebut akan memandang dirinya sebagai orang yang tidak berharga. Rasa tidak berharga tersebut dapat tercermin pada rasa tidak berguna dan tidak memiliki kemampuan baik dari segi akademik, interaksi sosial, keluarga dan keadaan fisiknya. Harga diri rendah dapat membuat seorang anak merasa tidak mampu menjalin hubungan dengan temannya sehingga dirinya menjadi mudah tersinggung dan marah. Akibatnya anak tersebut akan melakukan perbuatan yang menyakiti temannya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Septrina, Liow, Sulistiyawati, dan dalam Asdrian (2009) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara harga diri dengan perilaku bullying dimana semakin tinggi harga diri maka semakin rendah perilaku bullying. 3) Norma kelompok Menurut O’Connell (2003), norma kelompok dapat membuat perilaku bullying sebagai perilaku yang wajar dan dapat diterima. Biasanya anak yang terlibat dalam perilaku bullying agar dapat diterima dalam kelompok. Jika kelompoknya melakukan perilaku bullying terhadap siswa lain biasanya siswa yang tergabung dalam kelompok itu akan mendukung anggota kelompoknya yang melakukan perilaku bullying. Selain itu, kelompok 11 menggunakan perilaku bullying sebagai cara untuk mengajarkan norma-norma yang dianut dalam kelompok pada siswa lain yang ingin bergabung dengan kelompok. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Astari (2008) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara norma kelompok dengan perilaku bullying yang dilakukan siswa SMA. 4) Sekolah Budaya sekolah juga dapat mempengaruhi perilaku bullying. Menurut O’Connell (2003), guru dan pihak sekolah yang bersikap tidak peduliterhadap kekerasan yang dilakukan oleh para siswa dapat meningkatkan perilaku bullying di sekolah. Karena pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying ini, anak-anak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi anak-anak yang lainnya. Bullying berkembang dengan pesat dalam lingkungan sekolah yang sering memberikan masukan yang negatif pada siswanya misalnya berupa hukuman yang tidak membangun sehingga tidak mengembangkan rasa menghargai dan menghormati antar sesama anggota sekolah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Djuwita (2009) menunjukkan bahwa faktor situasional yang berperan secara signifikan adalah bullying yang dilakukan guru di sekolah. 2.1.4 Karakteristik Pelaku Bullying Karakteristik yang umum dimiliki oleh pelaku bullying (Olweus, 2003). adalah (a) memiliki keinginan untuk mendominasi orang lain, (b) kurang atau tidak berempati terhadap perasaan orang lain, (c) hanya peduli dengan keinginannya sendiri, (d) sulit melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain, (e) tingkah lakunya cenderung impulsif, (f) agresif, (g) intimidatif, (h) dan suka memukul Dari beberapa karakteristik ini, dapat disimpulkan bahwa motivasi seseorang melakukan bullying bisa berdasarkan kebencian, perasaan iri dan dendam atau bisa juga untuk menyembunyikan rasa malu dan gelisah serta mendorong rasa percaya diri dengan menganggap orang lain tidak ada artinya. 12 2.2. Kepercayaan Diri 2.2.1 Pengertian Percaya Diri Rasa percaya diri adalah sikap seorang individu mampu mengembangkan diri kearah yang positif terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya. Rasa percaya diri yang tinggi dapat membantu seorang individu lebih percaya akan kemampuan yang individu miliki, dia percaya bahwa dia bisa karena didukung oleh pengalaman dan potensi yang dia miliki serta harapan realistik terhadap diri sendiri dan individu yang memiliki percaya diri tinggi lebih mudah dalam menyesuaikan diri dalam lingkungannya. Menurut Lauster (2012) kepercayaan diri merupakan suatu sikap atau keyakinan atas kemampuan diri sendiri, sehingga dalam tindakan-tindakannya tidak terlalu cemas, merasa bebas untuk melakukan hal-hal yang sesuai keinginan dan tanggung jawab atas perbuatannya, sopan dalam berinteraksi dengan orang lain, memiliki dorongan prestasi serta dapat mengenal kelebihan dan kekurangan diri sendiri. Kepercayaan diri berawal dari tekad pada diri sendiri, untuk melakukan segala yang kita inginkan dan kita butuhkan dalam hidup. Rasa percaya diri terbina dari keyakinan diri sendiri, bukan dari karya-karya kita, walapun karya-karya kita sukses. Rasa percaya diri merupakan suatu keyakinan dalam jiwa sebagai manusia, tantangan hidup harus dihadapi dengan berbuat sesuatu. Bukan masalah berbuat sesuatu itu yang penting, namun kesediaan untuk melakukannya. Jika sebagai seorang individu yakin pada diri sendiri, maka apapun tantangan hidup akan dihadapi. Jadi bukan kepercayaan diri karena kemampuan mengerjakan sesuatu namun percaya diri karena kemampuan menghadapi segala tantangan hidup (Angelis, 2003). 13 Menurut Prayitno (1995) percaya diri itu lahir dari kesadaran bahwa ketika seseorang memutuskan untuk melakukan sesuatu, sesuatu itu pula yang akan dilakukan. Artinya keputusan untuk melakukan sesuatu dan sesuatu yang dilakukan itu bermakna bagi kehidupannya. Jika seseorang memiliki percaya diri didalam arena sosial, maka akan menjadi tidak gelisah dan lebih nyaman dengan dirinya sendiri serta mampu mengembangkan perilaku dalam situasi sosial. Rasa percaya diri dipengaruhi dua sumber penting dalam dukungan sosial adalah hubungan dengan orang tua dan dukungan dengan teman sebaya. Coopersmith (dalam Santrock, 2003). Sedangkan menurut Harter (dalam Santrock, 2003) dukungan dari teman sebaya lebih berpengaruh pada tingkat rasa percaya diri pada individu pada masa remaja awal daripada anak-anak, meskipun dukungan orang tua juga faktor yang penting untuk rasa percaya diri pada anak-anak dan remaja awal. Akan tetapi dukungan teman sebaya lebih penting dibandingkan dengan dukungan orang tua pada remaja akhir. Terdapat dua jenis dukungan teman sebaya yaitu dukungan teman sekelas dan teman akrab. Dukungan teman satu kelas lebih kuat berpengaruh terhadap rasa percaya diri remaja dalam berbagai usia dibandingkan dengan teman akrab, karena teman akrab selalu memberikan dukungan yang dibutuhkan, sehingga dukungan itu tidak dianggap oleh remaja untuk meningkatkan rasa percaya diri, karena remaja pada saat-saat tertentu membutuhkan sumber dukungan yang lebih obyektif untuk membenarkan rasa percaya dirinya. 14 2.2.2 Karakteristik kepercayaan diri Menurut Lauster (dalam Rini, 2002) individu yang memiliki rasa percaya diri yang Proporsional diantaranya adalah: 1. Percaya akan kompetensi atau kemampuan diri, hingga tidak membutuhkan pujian, pengakuan, penerimaan, ataupun rasa hormat orang lain. 2. Tidak terdorong untuk menunjukan konformitas demi diterima orang lain atau kelompok. 3. Berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain, berani menjadi diri sendiri. 4. Punya pengendalian diri yang baik (tidak moody dan emosinya stabil). 5. Memiliki internal locus of control (memandang keberhasilan atau kegagalan, tergantung usaha dari diri sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta tidak tergantung/mengharapkan bantuan orang lain). 6. Mempunyai cara pandang yang positif terhadap diri sendiri, orang lain dan situasi diluar dirinya. 7. Memiliki harapan yang realistik terhadap diri sendiri, sehingga ketika harapan itu tidak terwujud, ia tetap mampu melihat sisi positif dirinya dan situasi yang terjadi. Kesimpulan dari karakteristik kepercayaan diri, individu yang memiliki kepercayaan diri memiliki karakteristik yang menunjukan individu yang mampu mengendalikan diri, yakin akan kemampuan yang dimilki, berpandangan positif, tidak konformitas dan memiliki harapan yang realistic terhadap diri sendiri. 2.1.3 Aspek-aspek dalam percaya diri Menurut Lauster (1997) aspek-aspek dalam percaya diri secara rinci adalah sebagai berikut: 1) Cinta diri. Merupakan perilaku seseorang untuk memelihara diri. 2) Pemahaman diri. Orang yang percaya diri selalu ingin tahu bagaimana pendapat orang lain tentang dirinya sendiri, percaya akan kompetensi atau kemampuan diri sehingga tidak membutuhkan pujian, pengakuan, penerimaan, ataupun rasa hormat orang lain, berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain yaitu menjadi diri sendiri. 3) Tujuan hidup yang jelas. 15 Orang yang mengetahui tujuan hidupnya karena mempunyai pikiran yang jelas mengapa melakukan tindakan tertentu dan tahu hasil apa yang diharapkannya, tidak terdorong untuk menunjukan sikap konformitas demi diterima oleh orang lain atau kelompok, memiliki harapan realistic terhadap diri sendiri, sehingga ketika harapan itu terwujud, ia tetap mampu melihat sisi positif dari dirinya dan situasi yang terjadi. 4) Berpikir positif. Orang yang dapat melihat dari kehidupan sisi cerah serta mencari pengalaman dari hasil yang bagus, mempunyai pengendalian diri yang baik (tidak moody dan emosinya stabil), memiliki internal locus of control (memandang keberhasilan atau kegagalan tergantung dari usaha diri sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaan, serta tidak tergantung atau mengharapkan bantuan orang lain), mempunyai cara pandang positif terhadap diri sendiri, orang lain dan situasi di luar dirinya. Menurut Lauster (2006) kepercayaan pada diri sendiri mempengaruhi sikap hati-hati, ketaktergantungan, ketidak serakahan, toleransi dan cita-cita. Seorang yang percaya diri tidaklah hati-hati secara berlebihan, yakin akan ketidaktergantungan dirinya kepada orang lain karena percaya pada diri sendiri, tidak menjadi terlalu egois, lebih toleran, karena individu yang percaya diri tidak melihat dirinya sedang dipersoalkan, dan cita-citanya normal dan tidak menutupi kekurangpercayaan pada diri sendiri dengan cita-cita yang berlebihan. 2.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi percaya diri Faktor-faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri (Angelis, 2003) adalah sebagi berikut : 1) Kemampuan pribadi. Rasa percaya diri timbul pada saat seseorang mengerjakan sesuatu yang memang mampu dilakukan. 2) Keberhasilan seseorang. Keberhasilan seseorang ketika mendapatkan apa yang selama ini diharapkan dan cita citakan akan memperkuat timbulnya rasa percaya diri. 3) Keinginan Ketika seseorang menghendaki sesuatu maka orang tersebut akan belajar dari kesalahan yang telah diperbuat untuk mendapatkannya. 16 4) Tekat yang kuat Rasa percaya diri yang datang ketika seseorang memiliki tekat yang kuat untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dari uraian faktor-faktor percaya diri tersebut disimpulkan bahwa faktorfaktor yang dimiliki individu adalah adanya kemampuan pribadi, keberhasilan, keinginan dan tekat yang kuat untuk belajar dari pengalaman agar tidak terulang lagi. 2.2.5 Usaha-usaha membangun kepercayaan diri Menurut Lauster (2006) ada dua cara manusia beraksi untuk menutupi rasa rendah diri, yaitu menyerah dan kompensasi. Menyerah berarti bahwa rasa rendah diri dianggap sebagai perbaikan terhadap kepercayaan pada diri sendiri yang dapat dicapai. Adler (dalam Lauster, 2006) menyadari rasa rendah diri sering dikompensasi. Kompensasi ini mengambil berbagai bentuk. Salah satu cara adalah kompensasi langsung seperti yang dilakukan oleh Wilma Rudolph, yang terkena folio. Orang yang tak yakin pada dirinya mencari kompensasi untuk menutupi rasa rendah dirinay justru dalam bidang kekurangannya. Beberapa petunjuk untuk meningkatkan rasa percaya pada diri sendiri yaitu(Lauster2006) : 1) Cari sebab-sebab merasa rendah diri. Sekali individu mengetahui sebab-sebab itu maka individu sudah mendapatkan prasyarat yang sangat penting untuk suatu perbaikan kepercayaan diri sendiri yang direncanakan. 2) Atasi kelemahan yang dimiliki. Hal yang penting adalah individu harus memiliki kemauan yang kuat. Karena hanya dengan begitu individu akan memandang suatu perbaikan yang kecil sebagai keberhasilan yang sebenarnya. 3) Kembangkan bakat dan kemampuan. Dengan mengembangkan bakat dan kemampuan individu mengadakan kompensasi bagi kelemahan individu, sehingga kelemahan itu tidak penting lagi bagi individu. 17 4) Bahagialah dengan keberhasilan dalam suatu bidang tertentu. Perkiraan individu atas keberhasilan adalah lebih penting untuk ke kesadaran sendiri dibandingkan dengan pendapat orang lain. 5) Bebaskan diri dari pendapat orang lain. Jaganlah berbuat berlawan dengan keyakinan sendiri. Hanya dengan begitu individu akan merasa merdeka dalam diri sendiri dan yakin. 6) Tidak puas dengan pekerjaan tapi tidak melihat sesuatu untuk memperbaiki, maka kembangkanlah baka-bakat yang dimiliki melalui hoby. Dengan begitu individu dapat mengkompensasikan kekecewaan dan dapat menjaga diri dari ketidak yakinan atas diri sendiri. 7) Jika disuruh melakukan pekerjaan yang sukar, cobalah melakukan pekerjaan tersebut dengan optimis. 8) Jangan terlalu bercita-cita , karena cita-cita yang kelewat batas tidak baik. Makin besar cita-cita, maka akan semakin sulit untuk memenuhi tuntutan yang tinggi. 9) Jangan terlalu sering membandingkan diri dengan orang lain. Ada banyak hal yang dapat dilakukan dengan baik oleh orang lain dibanding dengan diri sendiri. Jika individu terus menerus membandingkan diri dengan orang lain maka ada kemungkinan individu akan kecewa dengan diri sendiri. Dan ini tidak baik bagi harga diri individu. 10) Janganlah mengambil motto ungkapan yang berbunyi, apapun yang dilakukan dengan baik oleh orang lain sayapun dapat melakukannya, karena tak seorangpun dapat mempunyai hasil yang sama dalam tiap bidang. 2.3 Penelitian Yang Relevan Menurut penelitian Ajeng Fiste Fiftina (2010) mengenai Hubungan Kepercayaan Diri Dengan Perilaku Asertif Pada Siswa SMA Korban bullying. Pendekatan penelitiann yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah kuesioner dari kepercayaan diri dan perilaku asertiif yang berbentuk skala likert. Data yag diperoleh dianalisis menggunakan teknik analisis korelasi bivariate. Uji korelasi menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara kepercayaan diri dengan perilaku asertif pada uji korelasi Bivariate sebesar 0,506 dengan taraf signifikansi sebesar 0,000 ( ini disimpulkan bahwa hipotesis 18 diterima yang artinya terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara kepercayaan diri dengan perilaku asertif pada siswa SMA korban bullying. Berdasarkan penelitian Ulfatun Ni’mah (2013) mengenai Pengaruh Konseling Kelompok Terhadap Peningkatan Kepercayaan Diri Korban Bullying Pada Siswa Kelas VII MTs Swasta Di Demak. Populasi dalam penelitian ini adala siswa kelas VII MTs Swasta di Demak Tahun Pelajaran 2012/2013 dengan jumlah 54 siswa. Sampel yang diambil adalah 10 siswa dengan menggunakan Random Sampling. Data penelitian ini diperoleh melalui instrumen penelitian skala kepercayaan diri korban bullying dengan alternatif empat jawaban. Desain penelitian yang digunakan adalah one group pretest, treatment, and posttest design. Berdasarkan analisis data penelitian setelah mendapatkan perlakuan layanan konseling kelompok, menunjukkan adanya pengaruh positif dan signifikan dari konseling kelompok terhadap peningkatan kepercayaan diri korban bullying pada siswa tahun ajaran 2012/2013. Thitung (55) sedangkan Ttabel (8). Karena T hitung > Ttabel dengan taraf signifikansi 5%, dengan demikian berarti H A diterma dan Ho ditolak sehingga penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan konseling kelompok terhadap peningkatan kepercayaan diri korban bullying pada siswa tahun pelajaran 2012/2013. 2.4 Hipotesis Dari penelitian ini diajukan hipotesis : “ Ada perbedaan yang signifikan antara kepercayaan diri siswa kelas X yang mengalami dan tidak mengalami perilaku Bullying di SMA Theresiana Weleri.” 19