EKSISTENSI AURA SENI DALAM REALITAS POSMODERN

advertisement
-1-
EKSISTENSI AURA SENI DALAM REALITAS POSMODERN
Prolog
Dalam kehidupannya setiap manusia akan terus berkutat
dengan pengkaryaan, penciptaan, dan pembentukan estetik dan etik
sebagai bentuk eksistensi pengungkapan diri atas pengalamanpengalaman fenomenal yang melingkupinya. Pengalaman-pengalaman ini
kemudian coba diungkapkan melalui pembentukan simbol, kode, idiombahasa estetik sebagai fenomena penandaan dan pemaknaan terhadap
realitasnya. Pengembangan atas pemahaman bahasa estetik dalam
prosesnya sebagai praktek sosial tak bisa dilepaskan dari kondisi
sosial yang terjadi dalam masyarakat. Hal ini akan membuka ruang
bagi diskursus kebudayaan untuk terus mendefinisikan estetika dan
seni dalam upaya memahami kondisi sosial dan budaya yang tengah
terjadi.
Krisis budaya modern yang tengah terjadi di Eropa, seperti
apa yang disebut oleh Vattimo sebagai Akhir dari Modernitas dan
Pembukaan Wawasan oleh Levin adalah suatu tindakan dekonstruksi
dalam diskursus budaya. Beberapa pendapat yang dilontarkan,
meyakini pandangan yang berbeda mengenai arah perkembangan
masyarakat modern. Sebagai contoh Habermas melihat modernitas
telah terdistorsi dan mencari titik kritis ideologis dari
modernitas untuk melanjutkan proyek modernitas yang belum rampung
dengan menawarkan sebuah orde masyarakat komunikatif bebas
penindasan, sedangkan pemikir posmodern melihat meruntuhnya proyek
modernitas yang dianggap telah kehilangan daya kritis dan
utopisnya, seperti yang dibuka oleh pemikiran Nietzsche dan
Heidegger yang kemudian dipertegas oleh Lyotard.
Diskursus budaya yang menghasilkan satu transformasi estetik
terpenting dalam kurun tiga dasawarsa terakhir ini, adalah kajian
mengenai seni kontemporer sebagai produk sosial dari masyarakat
konsumer. Kondisi masyarakat kontemporer yang cepat berubah dan
tak dapat didefinisikan secara periodik ataupun digenrekan sebagai
masa peralihan ini, tentunya akan mempengaruhi relasi antara
manusia dan budaya yang pada gilirannya mempengaruhi proses
berkesenian
dimana
idiom-idiom
estetik
dihasilkan
atau
dikomunikasikan. Kehidupan masyarakat kontemporer dituntut untuk
tidak tinggal diam di “rumah” tanpa mendefinisikan kembali maknamakna yang terkandung dalam bahasa estetik. Keberagaman dan
pluralitas
bahasa
estetik
melalui
media
(massa),
iklan,
perkembangan
keilmuan
dan
teknologi
serta
perluasan
akses
informasi dan komunikasi ke dalam objek-objek seni yang dimuati
beragam unsur ideologis di dalamnya, mampu menciptakan perubahan
ideologis di balik proses produksi dan komsumsi karya seni,
terutama perubahan status karya seni menjadi komoditi. Perubahan
ini juga sejalan dengan perubahan bagaimana cara pandang atau
pendefinisian manusia kontemporer terhadap karya seni secara
ontologis dan bagaimana mereka memperlakukan karya seni dalam
kehidupan kesehariannya, telah mengubah atau menggeser fungsi seni
dalam masyarakat kontemporer.
Karya seni yang hadir dari hasrat-hasrat, peristiwa, pikiran
dimana karakter-karakter individual dan tipikalitas menyatu ke
dalam pengungkapan materiel (bentuk) dan bangunan metafisisnya
(isi), hanya memungkinkan seni ditemukan dalam eksistensinya
sebagai aktivitas sosial. Saat individu mulai membangkitkan gairah
“kediriannya” menjadi bentuk yang eksis ke dalam pengkaryaan maka
-2-
fungsi sosialnya pun tak dapat dielakkan. Saat wicara menjadi
sebuah benturan bagi kondisi sosial dan bahasa teistik menjadi
belenggu bagi pembacaan realitas, di sinilah seni mengambil
perannya dengan menguapkan teks yang membeku dan menggantikannya
dengan bahasa estetik-metafor. Di masa modern, proses ini terjadi,
misalnya, pada saat bayangan fajar Pencerahan (Renaissance)
melalui gerakan humanisme di bidang seni oleh “pioner” seperti
Donatelo, Michelanggelo dan Rafael.
Fungsi seni yang dipercaya menyimpan daya kritis dan
semangat “provokatif”nya dalam melakukan pemaknaan yang disebut
“aura seni” oleh Adorno dan Benjamin, dianggap telah kehilangan
auranya akibat budaya inidustri yang mereduksi karya seni menjadi
fethisisme komoditi. Pengagungan nilai tukar atau pengelabuhan,
marjinalisasi
nilai
guna
melalui
komoditi
dalam
diskursus
kapitalisme, menurut Marx disebabkan fungsi ideologis seni yang
merupakan bagian dari suprastuktur masyarakat dimana melibatkan
ideologi dan kekuatan kelas sosial - status quo. Seni tinggi
(high-art) seringkali didekte oleh selera kaum borjuasi modern,
khususnya pasca-Revolusi Industri. Fungsi ideologisnya yang
digunakan sebagai pembentukan kesadaran palsu oleh kelas borjuis
(dominan) telah menentukan kesadaran, pengalaman dan respon
terhadap situasi sosial anggota kelas subordinan pada level budaya
untuk mempertahankan hubungan yang ada dalam masyarakat sebagai
suatu hubungan yang seolah “alamiah”, atau meminjam istilah
Antonio Gramsci – hegemoni atau “desublimisasi represif” dalam
bahasa Herbert Marcuse. Hegemoni dimaknai sebagai
usaha sebuah
kelompok/kelas
sosial
dalam
memperoleh
kekuasaan
dengan
kemampuannya
memsubordinasi
kelompok
sosial
lainnya
untuk
menyetujui berjalannya hubungan sosial yang ada. Menurut Gramsci,
sebuah kelompok adalah hegemonik dan mampu mereproduksi hegemonik
sejauh ia tidak hanya membawa tujuan-tujuan ekonomi dan politik
saja, tapi juga kesatuan intelektual dan moral untuk menghadapi
semua persoalan ….di “alam semesta” (Tester, 2003 :hal 31)
Seni sebagai praktek sosial menjadi persoalan yang sangat
pelik dalam proses eksistensinya, terutama dalam level budaya yang
turut mempengaruhi pemahaman (sense), pemaknaan (meaning) atau
pembentukan “way of life” masyarakat. Namun di balik fungsi
ideologisnya, Marx ataupun Gramsci masih percaya bahwa masih
tersimpan kekuatan-kekuatan produktif yang mampu merubah kondisi
sosial yang hegemonik tersebut. Budaya populer (pop) yang sedang
terjadi dalam masyarakat kontemporer, menurut Toni Bennett
merupakan tempat bagi terjadinya negosiasi antara kelas-kelas
sosial bahkan elemen yang berlawanan untuk melakukan kombinasinya
yang berbeda - bercampur-baur sehingga setiap kelompok sosial
mempunyai kekuatan atau kekuasaan yang sama dalam memberi
pengaruh.
Benjamin yang lebih revolusioner dalam melihat budaya massa,
menilai seni menjadi lebih demokratis. Efek montase yang
dihasilkan oleh karya seni membawa kita pada bagaimana pengalaman
estetis masyarakat modernitas yang dikembalikan pada pengalaman
kesehariannya, dan budaya massa akan memungkinkan kita dapat
melihat seni sebagai hal yang eksis karena ia telah meleburkan
dirinya dalam keseharian. Estetika posmodern yang telah membuka
hal baru dalam melihat seni, yang tidak memisahkan seni dari
pengalaman keseharian individu. Namun di balik semua itu, estetika
-3-
posmodern dalam praksisnya telah menjadi semacam trademark baru
dalam diskursus sistem kapitalisme.
Semangat ini pula yang membuka cakrawala wacana estetika
bagi seniman dan pemikir posmodern. Estetika posmodern yang
membangkitkan kembali fungsi mitos dalam seni, dengan meleburkan
seni tinggi dan seni rendah, seni populer dan seni murni dengan
merajainya nilai tanda, kode dan simbol menjadi bahasa metafor,
membangun fenomena estetis dalam keriuhan wacana sosial yang
selama ini diyakini.
Estetika
posmodern
yang
ditandai
dengan
pastiche
peminjaman dan penggunaan berbagai sumber seni masa lalu, parodi –
distorsi dan permainan makna, kitsch – reproduksi gaya, bentuk dan
ikon.,serta camp – pengelabuhan identitas dan penopengan, telah
membuat pembauran genre dan merombak wacana sosial terhadap
pembacaannya
mengenai
realitas.
Namun
benarkah
apa
yang
diungkapkan Nietzsche dalam penyatuan Apollonian dan Dionysian
telah terangkum semuanya dalam estetika posmodern?, atau justru
estetika posmodern yang dibalut dalam diskursus kapitalisme telah
menyebabkan
pendangkalan
terhadap
eksistensi
seni,,
karena
“kehendak kuasa” subjek dikelabui oleh sistem indusrti –
kapitalisme?. Sepertinya kita perlu melakukan pembacaan kembali
terhadap
semua
hal
yang
terangkum
dalam
kajian
kasanah
posmodernisme dan mengapa hal ini menjadi suatu penelitian yang
menarik bagi penulis, karena para pemikir posmodern sendiri bukan
individu-individu yang memberikan solusi pada tingkat teoritik
namun pada praksis, dan apa yang dilakukannya adalah sebagai usaha
pembongkaran budaya yang sebenarnya menolak posmodern.
Munculnya beragam aliran dalam seni sebagai misal, tidak
hanya membawa suasana baru dalam kasanah realitas seni itu sendiri
sebagai sebuah proses perkembangannya, tapi lebih dari itu apa
yang mereka hasilkan dalam pengkaryaan adalah sebuah proses
pengidentifikasian diri terhadap identitas budaya masyarakatnya.
Pencarian identitas, falsafah hidup, tak lepas dari pembacaannya
terhadap diskursus kebudayaan masyarakat modern yang mengalami
krisis. Hal ini menempatkan seni menjadi jalan bagi yang “lain”
dalam usaha manusia memahami realitasnya.
Bagaimana
eksistensi
seni
dan
estetika
dalam
budaya
posmodern dengan melihat kondisi masyarakat kontemporer yang hidup
dalam hiperealitasnya-menurut Baudrillard ?. Benarkah seni telah
kehilangan daya kritisnya dalam masyarakat konsumer yang hidup
dengan beragam kode dan tanda. Ataukah inilah budaya yang
memuaskan kita dengan hidup dalam kehidupannya yang ironis , yang
sebenarnya sudah merupakan
perlawanan atau berfungsinya seni?.
Dalam hal ini kita tidak hanya akan membicarakan estetika dan seni
dalam perannya sebagai fungsi sosial, karena ini memungkinkan
diskursus kebudayaan akan menjadi agitasi dan propaganda belaka
dan melupakan proses imajinasi, kreativitas dan inovatif dalam
fungsi estetisnya. Hal ini pula yang dikhawatirkan oleh Adorno
mengenai
eksistensi
seni
dalam
keberpihakannya
pada
suatu
kepentingan ataupun ideologi dari suatu kelompok tertentu yang
dianggap dapat menghilangkan pengalaman estetis dan sikap kritis –
aspek kesadaran masyarakat, yang pula tak menyetujui seni jatuh
dalam praktis politik.
Permasalahan :
 Bagaimanakah eksistensi seni dalam wacana sosial
budaya pada masyarakat kontemporer ?
-4-
Sistematika Penulisan
1. Fungsi Ideologis Seni
Marx dan Engels memang tidak merumuskan secara sistematis
tentang teori estetika atau pun filsafat seni dalam kerangka
pemikirannya. Beberapa karyanya mengenai sastra dan seni hanya
merupakan serpihan-serpihan atau bagian dari tulisan-tulisannya
mengenai ekonomi dan politik. Perhatian Marx dan Engels terhadap
sastra dan seni menunjukkan bahwa mereka bukan termasuk dalam
golongan Philitines – sebutan untuk mereka yang mengabaikan
budaya, dalam mewujudkan masyarakat tanpa alienasi. Marx percaya
bahwa hubungan sosial antar manusia diikat dengan cara mereka
memproduksi kehidupan materielnya, dan dari kehidupan materiel
(infrastruktur) masyarakatnya, proses kehidupan sosial, politik,
dan
intelektual
(suprastruktur)
turut
membentuk
kesadaran
sosialnya. Marx melihat seni sebagai praktek sosial yaitu,
bagaimana seni merupakan bagian dari suprastruktur masyarakat yang
di
dalamnya
melukiskan
proses
aktivitas
manusia
dalam
pengkaryaannya sebagai objek kesadarannya atas pemahaman historis,
yang tak hanya mengandung struktur persepsi sosial tertentu –
produk ideologi yang berkaitan dengan kondisi sosial suatu zaman,
tapi juga mengakui “manusia yang khas” dalam bentuk aktivitas
produktifnya membangun kodrat dan kapasitas yang di milikinya.
Seni
bagi
Marx
mengandung
fungsi
ideologis,
yaitu
kemampuannya mengkonstruksi bentuk-bentuk kesadaran sosial, dengan
melibatkan kekuatan atau kekuasaan kelas sosial tertentu sebagai
pelegitimasian persepsi sosial, dimana ide-ide dominan masyarakat
atau struktur persepsi sosial yang terbentuk adalah ide-ide dari
kelas sosial yang berkuasa. Seni yang dipelajari secara historis
dengan memahami ideologis sosialnya, tidak hanya menjadikan seni
tidak berdaya untuk mengemansipsikan manusia yang bertarung dalam
masyarakat kelas, namun Marx juga melihat kekuatan-kekuatan
produktif tertentu dalam diri seni yang dapat menyediakan citracitraan kuat bagi usaha emansipasi manusia untuk keluar dari
alienasinya. Dalam Economic and Philosophic Manuscripts of 1844,
Marx agaknya menyaksikan prafigurasi kepekaan manusia dalam
kesenian, yang lebih canggih dan kuat, terbebas dari pengasingan
sejarah. Meskipun, ia juga tetap bersikeras bahwa hanya melalui
perkembangan
objektif
sifat
manusialah
dapat
mewujudkan
“sensualitas subjektif manusia” semacam itu (Liftschitz,2003,hal:
5).
Keelimiteran pemikiran Marx mengenai fungsi ideologis seni,
sebenarnya merupakan usaha Marx untuk mengembalikan romantisme
Fichtean yang dimunculkan dalam arti dangkal oleh kaum borjuis
atas
penerapannya
di
bawah
romantisme
liberal-kapitalisme.
Kemampuan kaum bojuis melakukan “sensor” terhadap karya seni
merupakan bentuk Modern-Feodal dari prinsip Romantik. Bagaimana
kaum bojuis mereduksi seni menjadi fethisisme komoditi, mengubah
penyair menjadi “buruh upahan” dan menjeratnya dalam genggaman
pundi-pundi uang dengan mengubah karya seni menjadi barang
dagangan, sebenarnya kritik romantik Marx dari revolusi borjuis
demokratik. Romantisme Marx yang dekat dengan Nietzsche dalam
upayanya membangkitkan spirit Dionysos dalam manusia modern, bagi
Marx ini bukan hanya menolak gagasan sempit kaum borjuis abad XIX
yang merubah status seni menjadi komoditi dalam pasar dan
menjadikannya sebagai utilitarianisme, tapi juga menghujat tradisi
estetika humanis Jerman abad XVIII yang melihat seni hanya sebagai
-5-
mimetik dengan maksud ulitarian secara langsung. Romantik –
Liberal dalam budaya industri, membawa masyarakat dalam semangat
kebebasan “kepentingan pribadi” yang berkuasa dengan membuatnya
tunduk di bawah persaingan bebas, laissez faire, hak pemilikan
pribadi,
pengendalian
melalui
“sensor”
dari
kaum
borjuis
industrial yang justru mempertentangkan kebebasan dengan sifat
kebebasan
individu
yang
sebenarnya.
Bentuk
kebebasan
yang
ditawarkan oleh prinsip romantik liberal terhadap seni adalah
sebuah bentuk ideologis palsu yang diusung kaum borjuis dengan
memandang anasir-anasir keindahan yang ditujukan untuk pemenuhan
hasrat memiliki komoditi bukan sebagai lambang tapi sebagai
kenyataan. Bagaimana gagasan Marx mengenai kerja (pengkaryaan)
sebagai bentuk perwujudan esensi manusia yang paling hakiki, telah
mengalami alienasinya dalam diskursus sistem kapitalisme. Proses
kerja, status pekerja dalam relasi kapitalisme akan mengalami
mistifikasi dan menampakkan fetish-nya akibat proses pertukaran
dalam relasi komoditi.
Marx melihat manusia dalam “individualis abstrak” dimana ia
mewujudkan dirinya sebagai materi. Manusia yang tak selamanya
tunduk pada ideologis strukturnya dan kenisbian sejarah, tapi
mampu melakukan “pembatasan diri” sebagai penarikan, pengunduran
diri individu ke dalam ruang kosong untuk secara kritis melihat
realitas
dan
membuat
jalan
untuk
melakukan
kehendak,
“kesepihakan”kreatif yang esensial dalam kehidupannya. Marx tidak
percaya bahwa kesenian kretif telah tamat bersama masa lalu dan
tak dapt dikembalikan lagi. Ia menunjukkan kepada seniman jalan
keluar dari krisis besar yang menimpa kesenian dalam masyarakat
dimana “kepentingan pribadi” berkuasa. Marx melihat jalan keluar
ini hadir ketika seniman mengidentifikasikan diri dengan prinsip
politik tertentu, dalam “aksen dan dialek” terbuka dengan
ketegasan suatu partai politik. Berbekal gagasan ini dalam
benaknya ia menyerang kekaburan romantisme, bermain matanya dengan
syair primitif maupun mistisisme modern, zaman pertengahan dan
dunia Oriental (Liftschitz, 2003,hal:76).
Marx masih percaya akan individu-individu yang akan lahir
dari dialektis materialisme historisnya dalam mengubah masyarakat
semakin dewasa. Dan kekuatan seni sebagai fungsi ideologisnya yang
merubah kesadaran sosial akan lahir dari kekuatan-kekuatan
produktif yang terbentuk dari kondisi sosialnya. Marx juga
memandang bahwa romantisme liberal – yang didukung oleh diskurus
sistem kapitalisme, telah membuang seni dari realitas yang
sesungguhnya.
Bagaimana
bentuk
produksi
dan
komsumsi
yang
dihasilkan dari sebuah karya seni, bukan hanya membentuk kekuasaan
kapital, namun juga beriringan dengan penguasaan pengetahuan
(dalam bahasa Marx – ideologi) yang mendukung dan diartikulasikan
pada berbagai praktik sosial menentukan bentuk dan gaya seni dalam
proses produksi dan komsumsi.
2. Mengembalikan Seni Tragik
“Lahirnya tragedi berasal dari roh musik”, begitu tulis
Nietzsche dalam bukunya The Birth of Tragedy (1872). Musik dan
Tragedi ?, untuk apa tragedi dibutuhkan?, seni ?, dan masih banyak
lagi setumpuk pertanyaan yang ada di kepala kita saat meneriakkan
tragedi dan seni ke dalam satu wadah yang padu. Namun lebih dari
itu, mungkin justru lebih jauh banyak hal lagi yang tak terjawab
dalam kepala kita, saat mencoba mensubordinasikan imajinasi
ketimbang akal dalam melihat tragedi. Tulisan-tulisan Nietzsche
-6-
yang cukup rumit untuk dipahami secara sepintas, bukan hanya
karena bahasa yang digunakan terlampau metaforis tapi juga
kontradiksi, keparadokan yang dimunculkan seolah ia sedang
berperang dengan dirinya sendiri sebagai usaha melakukan kritik
diri. Hal ini yang menunjukkan keluasan dalam cara berpikirnya.
Tapi bukankah ini juga merupakan spirit bagi lahirnya tragedi?.
Dalam bukunya The Birth of Tragedy, dalam bagian “Pengantar
kepada Richard Wagner”, sebagai tulisan yang ditujukan pada Wagner
sebagai rasa penghargaannya yang besar terhadap penciptaan seni
tragik Wagner (yang nantinya dalam perkembangannya Nietzsche
merasa kecewa terhadap Wagner atas sikapnya yang “lari” dari
tragedi) yang menunjukkan estetika sebagai persoalan yang serius
dalam melihat kondisi masyarakat Jerman waktu itu. Nietzsche
melihat bagaimana masyarakat modern telah memarjinalkan estetika
dalam realitas kehidupannya.
Tulisnya, “jika membaca esai ini, mereka akan heran menemukan
persoalan Jerman yang sangat serius yang sedang kita tangani, sebuah
pusaran dan titik balik persis di pusat harapan-harapan Jerman. Tetapi
barangkali rakyat yang sama ini akan merasa jijik melihat sebuah persoalan
estetika yang ditangani dengan serius, kalu mereka dapat melihat seni tak
lebih dari relevansi yang menghibur, suatu bunyi lonceng yang mudah lenyap
di samping “keseriusan kehidupan”: seakan-akan tak seorang pun menyadari
apa perbedaannya dengan “keseriusan kehidupan”(Nietzsche, 2002,hal:20).
Dari sini Nietzsche melihat seni sebagai hal yang merupakan
sebuah yang ada dalam raealitas dan merupakan “keseriusan
kehidupan” itu sendiri, yang dalam versi manusia modern,
kehadirannya dianggap tidak memberadabkan peradaban manusia.
Manusia modern terlalu melebihkan sifat Apollonian-nya dengan
mengorbankan kualitas-kualitas Dionysian. Keduanya bagi Nietzsche
adalah aspek penting bagi psike manusia, namun intelek Apollonian
yang terdisiplin itu terlampau diagungkan oleh manusia modern.
Kontradiksi,
penyangkalan,
dan
oposisi
biner
dalam
kebudayaan modern menurutnya hanya mampu dijembatani oleh seni
tragik dimana hanya melalui bahasa estetik yang mampu menjelaskan
dunia yang penuh kekacuan dan kekomplekkan ini. “Eksistensi dunia
dibenarkan
hanya
sebagai
sebuah
fenomena
estetik”
(Nietzsche,2002,hal:11).
Tulisan
ini
mengisyaratkan
adanya
himbauan
Nietzsche
untuk
kembali
pada
tragedi,
dengan
membangkitkan kembali semangat Dionysos dalam bahasa formal Apollo
yang merupakan simbol atas meleburnya manusia dengan apa yang
disebut Kehendak atau Ada. Menyatunya subjek dengan Ada merupakan
prakondisi bagi lenyapnya subjek yang berkuasa versi modernitas
yatiu subjek sebagai pusat akal budi. Subjek bukanlah sesuatu yang
menentukan landasan diskursusnya sendiri, akan tetapi subjek yang
selamanya
di
dalam
landasan
bayang-bayang
Ada
(Piliang,2003,hal:85). Dalam kondisi manusia yang tak dapat
menjangkau Ada inilah, bahasa metafor memungkinkan manusia untuk
menggambarkan realitas dunianya, dimana konsep “kebenaran”,
“pengetahuan” hanya akan berkaitan dengan bahasa yang bersifat
metaforis dimana kebenaran nyata tentang diri kita dan dunia
adalah “kehendak akan kuasa”, yang tak akan mungkin “objektif”
karena senantiasa melayani kepentingan dan tujuan tertentu dari
manusia.
3. Eksistensi Aura Seni dan Daya Kritisnya
Theodor W Adorno dan Walter Benjamin merupakan dua tokoh
intelektual yang saling bersebrangan dalam melihat polemik
estetika, namun karena pemikirannya yang berbeda ini, justru
mendekatkan mereka secara filosofis sebagai perdebatan yang tak
-7-
terpisahkan dalam seni dan estetika. Keduanya bergairah untuk
menaklukkan pemikiran borjuis yang sejak abad XVII meletakkan
pengalaman estetik dan pengetahuan sebagai oposisi biner, yaitu
dengan mempertentangkan kebenaran ilmiah (pengetahuan) dan seni
sebagai ilusi/imajinasi. Adorno dan Benjamin menganggap bahwa seni
sebagai bentuk pengetahuan ilmiah memberi konstribusi penting
dalam usaha untuk menyelamatkan estetika sebagai pusat disiplin
kognitif (Hakim, 2001,hal:45).
Di sini mereka percaya bahwa
sebenarnya antara pengetahuan (baca:kebenaran ilmiah) dan seni
bukan suatu yang patut di dudukkan dalam oposisi biner. Adorno dan
Horkheimer dalam bukunya Dialektic of Enlightenment, memberedel
bagaimana proyek Pencerahan yang ingin menyingkirkan mitos-mitos
abad Kegelapan, menggantikan posisi mistik (Tuhan) dengan logos
(manusia) untuk mengendalikan alam, ternyata membawa manusia
modern pada pemitosan baru yaitu penguasaan rasio atas kehidupan
masyarakat. Bagaimana kemudian Adorno atau pun Benjamin mencoba
membuka wacana estetika dalam “pengetahuan” manusia sebagai
penolakannya terhadap oposisi biner yang diciptakan oleh ‘ide-ide
modern’.
Perdebatan antara Adorno dan Benjamin dimulai dari adanya
perbedaan cara pandang mereka mengenai daya kritis seni akibat
memudarnya aura seni dengan munculnya momentum budaya industri
dalam mereproduksi secara mekanis karya-karya seni. Adorno
menganggap budaya industri dengan kemampuan reproduksi massalnya
telah membawa budaya dan karya seni pada jurang kehancuran nilai
seni yang tinggi, karena karaya seni mengalami kejatuhannya dalam
rutinitas keseharian yang menyeret karya seni ke dalam sisitem
komoditi masyarakat kapitalis. Penghargaan terhadap finansial dan
terciptanya karya seni sebagai hiburan untuk pemuasan diri yang
bersifat sementara, hilangnya ekspresi perlawanan, membuat audiens
menurut Adorno hanya akan berlaku pasif dalam menerima dan
menyerap karya seni, sehingga hubungan sosial yang terjadi antara
seniman dan masyarakat adalah hubungan yang monolitik bukan
dialogis.
Dalam pembahasannya mengenai seni, Adorno melihat bahwa saat
ini seni direproduksi secara massal dan masuk ke dalam budaya
industri maka karya seni akan kehilangan daya inovatifnya,
orisinilitas dan ekspresi pemberontakannya. Misalnya mengenai seni
musik dalam essainya : Perennial Fashion Jazz (1989), Adorno
menegaskan bahwa musik Jazz telah mengalami standarisasi yang
diobok-obok oleh budaya industri karena ia memang menguntungkan
(Tester, 2003,hal:75). Musik Punk The Clash ataupun musik Rock
yang awal kelahirannya sebagai bentuk pemberontakan atau subkultur
dari budaya modern yang ditawarkan, ditolaknya mampu membawa misi
kreatif dan kritis dalam melihat kondisi kritis sosial masyarakat
modern. Bagi Adorno hal tersebut tak lebih dari sebuah komoditas
sebagai hasil dari mesin industri. Bentuk-bentuk radikalisme
direduksi ke dalam budaya industri dalam membentuk pencitraan atau
ikon-ikon melalui penokohan atau pengidolasasian kaum selebritis
sebagai
pembentukan
identitas
zamannya.
Adorno
dengan
pesimistiknya dalam melihat fungsi seni yang telah kehilangan daya
kritisnya, melihat bagaimana kita terjebak dalam pemitosan baru
atas nama fethisisme komoditi industrial.
Berbeda dengan Benjamin yang melihat budaya industri sebagai
bentuk yang lebih revolusioner. Baginya budaya massa telah
menghacurkan pembedaan antara seni tinggi dan seni rendah karena
-8-
kemudian setiap orang dapat secara leluasa menikmati seni. Dari
sini seni menjadi demokratis. Benjamin melihat bahwa sosok seorang
seniman progresif adalah sosok yang memanfaatkan dan mengembangkan
media-media baru yang ada serta mengubahnnya menjadi sebuah
perlawanan dan merevolusionerkan media yang ada. Benjamin,
layaknya Marx masih percaya akan daya kritis seni yang mempunyai
sisi ideologisnya, ia memberi pendasaran politik pada seni agar
seni dapat dijadikan sarana komunikasi politik dalam masyarakat
dewasa ini. Ia menyarankan bahasa eksotik bagi seni, sehingga seni
menjadi medium politik (Hakim, 2001,hal: 48).
Tujuan Penulisan
 Secara umum, penulisan ini memberi sentuhan estetik,
membangun ruang pengembangan wacana estetik dan seni
dalam ranah antropologi (pada khususnya) secara
teoritik dan metodologis. Hal yang tak jauh lebih
penting dari penulisan ini adalah pengakuan keberadan
seni di dalam wacana sosial budaya (baca: kebenaran
ilmiah).
Manfaat Penulisan
 Diharapkan mampu menambah perluasan sub bahasan atau
mata kuliah tambahan atau “baru” seperti, antropologi
posmodern
dan
tak
menutup
kemungkinan
bagi
pengembangan
pemikiran
dan
pamahaman
seiring
perkembangan proses keilmuan dan masyarakat.
 Dapat memberikan wacana tentang pemahaman antropologi
dalam dunia realitas seni antara filsafat posmodern
dan antropologi posmodern.
Paradigma Penulisan
“semua bergerak, semua berubah, semua diubah namun tak ada yang
berubah. Masyarakat menyelesaikan semua kemungkinan revolusi,
namun hal itu sendiri merupakan revolusi” (Aziz [ed], 2001, hal:
4).
Apa yang tersirat dalam tulisan tersebut seolah mengusik
kita untuk meyelesaikan masalah tentang kehidupan dalam parameter
praxis historis. Para ahli dan pemikir telah merumuskan banyak
definisi
mengenai
kehidupan
kita,
dari
sebutan
masyarakat
industri, masyarakat posindustri, posmodern, konsumer dan masih
banyak lagi sederet nama dalam bahasanya, sebagai usaha manusia
memahami realitasnya. Bagaimana kemudian kita mendefinisikan
budaya macam apa yang sedang berlangsung atau masyarakat macam,
apa yang ingin kita lampaui? dimana kita sedang tidak hanya
memberi sekedar sebuah nama pada realitas tapi kemudian kita juga
sedang mendistorsi realitas dengan penggunaan bahasa-bahasa dimana
kita memberi sentuhan “kehendak atas kuasa”-menurut Nietzsche.
Bahasa yang mengandung sifatnya yang metaforis dan selamanya hanya
akan berada dalam bahasa. Kata-kata menjadi bermanfaat karena kita
memanfaatkannya untuk menyederhanakan, membekukan atau mendistorsi
realitas. Mungkin hanya ini yang bisa kita lakukan dalam pembacaan
dan
penguraian
makna
terhadap
realitas,
karena
hakiki
subjektivitas tak pernah diungkap tuntas oleh bahasa. Lacan
menyinggung bilamana seseorang berbicara atau menulis, ia selalu
mewujudkan diri dengan bahasa, dengan penanda-penanda. Penandapenanda adalah satu-satunya cara subjek itu dapat mewujudkan
dirinya. Maka, Lacan berpikir bahwa komunikasi di antara kita
tidak bersifat langsung tetapi selalu diperantarai oleh penanda-
-9-
penanda (Lacan,2002,hal:30). Karena itu Lacan menuliskan “S”
dengan tanda palang yang menunjukkan subjektivitas yang tak
diterjemahkan seutuhnya lewat bahasa. Persis seperti perkataan
Nietzsche dalam bukunya The Birth of Tragedy, bahwa eksistensi
dunia dibenarkan hanya dalam fenomena estetik. Karena dengan
menggunakan bahasa estetik memungkinkan manusia untuk menyatu
dengan Ada atau Kehendak.
Nietzsche menolak “teori korepondensi” tentang kebenaran,
seperti yang juga dipercaya oleh positivistik, bahwa konsep mental
kita bagaimanapun juga “berkesesuaian” dengan dunia karena kita
senantiasa memiliki akses langsung terhadap “realitas”, baik
melalui indera maupun rasio kita (Robinson, 2002, hal:13).
Descartes yang menyatakan rasio kita yang menyebabkan kita menjadi
“manusia”. Sejauh kita membatasi diri kita dalam jenis-jenis
penyelidikan filosofis dan ilmiah tertentu, ungkapnya, kita dapat
menggunakan intelek kita untuk mendapatkan pengetahuan yang benar.
Rasio bersifat universal, objektif, dan otonom, dan jika dipakai
sesuai dengan suatu”metodea’ akan memungkinkan ilmu dan masyarakat
maju (Robinson, 2002, Hal:12). Apa yang mewarnai pemikiran
positivistik tak terlepas dengan kelahirannya dari pemikiran
Pencerahan akhir abad XVII, dimana penguasaan (pengetahuan)manusia
terhadap alam sebagai suatu kondisi untuk mengatasi alam. Hal ni
memandang pengetahuan sebagai alat tertinggi untuk memecahkan
kontradiksi yang da dalam kehidupan. Disini pula letak pereduksian
emosi-emosi manusia menjadi rumus-rumus matematis dan formalistik
di mulai, setelah mengingkarannya mengenai mitos dan mistis dalam
rasionalitas abad pertengahan.
Dalam
“kehendak
atas
kuasa”-menurut
Nietzsche
maka
“kebenaran” dan “pengetahuan” akan menjadi menjadi nyata tentang
diri kita dan dunia. Artinya manusia hanya bisa menciptakan
“kebenaran “ bagi dirinya sendiri, yang berguna membantu mereka
dalam mendefinisikan dan melestarikan diri sebagai spesies.
Sehingga tak mungkin “objektif “dalam menyatakannya karena
senantisa bahasa menjadi sarana untuk memenuhidan memanfaatkannya
untuk tujuan kita sendiri. Apa yang kemudian ditolaknya adalah
pandangan Fondasionalisme terhadap “kebenaran” dan pengetahuan
yang kita miliki. Nietzsche yang mengakui subjektivitas manusia
dalam
menentukan
“kebenaran”,
layaknya
Marx
yang
mengakui
“individualitas
abstrak”
untuk
melakukan
serangkaian
usaha
pendefinisian
dirinya
dan
masyarakatnya,
sehingga
menolak
subjektivitas
untuk
hidup
dalam
menemukan
“kebenaran”
dan
“pengetahuan” adalah permusuhan terhadap kehidupan.
Dalam pembacaannya mengenai dunia, individu tak pernah lepas
dari ideologis yang melingkupinya. Entah menjadi tolak ukurnya
ataupun untuk ditolak, namun itu menjadi pelik sebagai upaya
penilainya yang kritis dalam melihat realitas. Ini yang kemudian
menjadi ranah teori kritis dimana individu berusaha mengungkap apa
yang ada dalam “the real struktur” atau ideologi yang nampak dalam
kehidupan material, dengan tujuan membantu membentuk kesadaran
sosial agar memperbaiki dan mengubah kondisi kehidupan mereka.
Menurut cuba dan Lincoln (1994) dalam “Competing Paradigm in
Qualitative Reasearch”, critical theory secara ontologis, realitas
yang teramati merupakan realitas “semu” yang terbentuk oleh proses
sejarah (kekuatan sosial – budaya, ekonomi dan politik). Secara
epistemologi, hubungan yang terjadi antara penulis dan subjek yang
akan ditulis selain dijembatani oleh nilai-nilai tertentu,
- 10 -
pemahaman realitas merupakan value mediated finding. Secara
metodologis, mengutamakan analisis komprehensif kontekstual, multi
level analisis yang bisa dilakukan melalui penempatan diri sebagai
aktivis atau partisipan dalam proses tranformasi sosial dan secara
axiologis, nilai, etika,dan pilihan moral merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari suatu penelitian. Penulis menempatkan diri
sebagai transformatif intelektual, advokad ataupun aktivis. Tujuan
penulisan adalah sebagai kritik sosial, transformasi, emansipasi
dan social powerment.
Dari pendapat tersebut diatas mengenai teori kritis, seperti
yang telah diungkapkan penulis bahwa penulisan ini akan lebih
bersifat emansipatoris dimana penulis juga terlibat langsung atau
menggeluti dunia yang sedang ditulis bukan hanya sebagai
perwujudan dirinya tapi dalam pencarian pendefinisian diri dan
lingkungannya dalam parameter praxis. Teori kritis mengkritik
pandangan positivitik dengan berbagai asumsi dan metode yang
dipakainya, yang dianggap justru mendistorsi keinginan manusia
dalam menemukan “kebenaran” dan “pengetahuan”. Disini kemudian
penulis menggunakan paradigma critical theory, karena penulisan
ini bukan hanya ingin menggambarakan ataupun menjelaskan suatu
fenomena tapi lebih dalam mencoba membongkar “isi” dibalik
ideologis kehidupan material masyarakat kontemporer” dengan etik
seni, dunia yang agak dekat dengan penulis dimana seni tak hanya
berfungsi
sebagai
insipirator,
katalisator
tapi
juga
agen
perubahan.
Seni menjadi sebuah realitas yang tak pernah
terpikirkan dalam eksistensinya melakukan perubahan. Disini pula
dengan teori kritis kita akan melakukan pembongkaran wacana yang
telah ada dan teryakini dalam kehidupan masyarakat.
Dalam prosesnya penulisan ini tentunya akan mengalami
perkembangan dalam paradigmanya, yang akan dimungkinkannya terus
melakukan pergerakan dari satu paradigma ke paradigma yang lain
dengan menambahankan, membuang atau pun menolaknya. Teringat akan
Marx yang menjadikan penulisan ini menjadi penting “banyak filsuf
menafsirkan dunia namun yang penting adalah mengubahnya”.
Operasional Konsep
1.
Realitas Seni, dalam hal ini dipahami sebagai peran aktif
atau pengakuan kebaradaan seni dalam fungsinya sebagai praktek
sosial yang tidak hanya berbicara mengenai fungsi estetikanya tapi
juga fungsi sosialnya yang turut membentuk sejarah manusia.
2.
Relasi Sosial, dalam konteks ini diartikan sebagai interaksi
antar manusia dari berbagai elemen atau kekuatan sosial yang
terbentuk oleh proses sejarah (kekuatan-kekuatan sosial, budaya,
ekonomi dan politik) dalam kerelatifan historisnya.
3.
Eksistensi Aura, dalam hal ini dipahami akan adanya suatu
gairah (hasrat) dalam keberadaanya sebagai sisi-sisi lain yang
muncul
sehingga
tak
hanya
dapat
menunjukkan
ketunggalan
interpretasi ataupun pendefinisian secara mutlak.
4.
Wacana Sosial Budaya, dalam konteks ini diartikan sebagai
suatu bentuk pengetahuan dalam tataran ide, gagasan yang
diartikulasikan ke dalam penanda-penanda (simbol, kode, idiom)
yang dikonstruksikan oleh struktur atau sistem masyarakat untuk
mempengaruhi pamahaman, pemaknaan dan pengalaman individu terhadap
realitasnya.
Epilog
Secara simultan
bahwa seni merupakan realitas dari setiap
masyarakat (individu). Didalam tulisan ini banyak sekali titik
- 11 -
balik yang menandai suatu peralihan, misalnya dari modernisme ke
posmodernisme, dari produksi ke konsumsi, dari petanda ke penanda,
dari kemajuan ke nostalgia, dari seni ke kitsch, dari rasionalitas
ke hasrat, dari kesatuan ke eklektik, dari struktur ke waktu, dari
fungsi ke citraan, dari universalisme ke lokalisme, dari kebaruan
ke diferensi, dari sublimasi ke ekstasi, dari komunikasi ke
permainan
bahasa....dan
seterusnya.
Titik-titik
ini
yang
menggambarkan
keterputusan
diskursus
dari
diskursus
yang
sebelumnya, akan tetapi di dalamnya satu diskursus justru menjalin
rantai historis dengan beraneka ragam diskursus-diskursus yang
lain dai berbagai zaman dan tempat, sehingga menciptakan relasirelasi baru yang lebih terbuka, lebih kaya, lebih plural, akan
tetapi sekaligus lebih indeterminan.
*******
Referensi:










Budiman, Hikmat, Lubang Hitam Kebudayaan, Kanisius,
Yogyakarta, 2002
Culler, Jonathan, Seri Pengantar Singkat: Barthes,
Jendela, Yogyakarta, 2003.
Eagleton, Terry, Marxisme dan Kritik Sastra, Sumbu,
Yogyakarta, 2002, Diterjemahkan dari Marxism and
Literary Criticism.
Eco, Umberto, Tamasya Hiperealitas (terj), Jalasutra
2004
Liftschitz, Mikhail dan Leonardo Salamini, Praksis
Seni : Marx dan Gramsci, Alinea, 2004. Diterjemahkan
dari The Philosophy of Art Karl Marx, Angel Flores,
New York, 1938.
Ma’ruf, Ade, Berontak (Bukan) Tanpa Sebab: Revolusi
Menurut Para Pesohor Dunia; Andi Warhol dkk, Alinea,
2003.
Nietzsche,
Friedrich,
Lahirnya
Tragedi,
Bentang,
Yogyakarta, 2002, Diterjemahkan dari
The Birth of
Tragedy : Out of The Spirit of Music, Peguin Books,
New York, 1993.
Pialang, Yasraf Amir, Hipersemiotika: Tafsir Cultural
Studies atas Matinya Makna, Jalasutra,2003.
Storey, John, Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan
Lanskap
Konseptual
Cultural
Studies,
Qalam,
Yogyakarta, 2003.
Tester, Keith, Media, Budaya, dan Moralitas, Juqtapose
dan Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2003.
- 12 -








Wiryomartono, P, Bangoes, Pijar-Pijar Penyingkap Rasa:
Sebuah Wacana Seni dan Keindahan dari Plato sampai
Derrida, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.
Aziz, M Imam [ed], Galaksi Simulacra: Esai-esai Jean
Baudrillard, LkiS, Yogyakarta, 2001.
Hakim, Abdul, Seni Auratik VS Seni Politik: Perdebatan
Adorno dan Benjamin, dalam Majalah Basis, No. 09-10
Thn ke 50,2001
Hill, Philip, Lacan bagi Pemula, Kanisius, Yogyakarta,
2002
Littschitz, Mikhail, Praksis Seni : Marx dan Gramsci,
Alinea, Yogyakarta, 2003.
Nietzsche,
Friedrich,
Lahirnya
Tragedi,
Bentang,
Yogyakarta, 2002, Diterjemahkan dari buku The Birth of
Tragedy: Out of Spirit of Music, Penguin Books, New
York, 1993.
Robinson,
Dave,
Seri
Posmodern:
Nietzsche
dan
Posmodernisme, Jendela, Yogyakarta,1999.
Wijaya,
Putu,
BOR
(esai-esai
budaya),
Bentang,
Yogyakarta 1999.
Download