TARIF LISTRIK NAIK LAGI, RAKYAT DIKORBANKAN LAGI

advertisement
TARIF LISTRIK NAIK LAGI, RAKYAT
DIKORBANKAN LAGI
[Al-Islam 512] Pada Selasa, 15 Juni lalu, rapat kerja Komisi VII DPR dengan Menteri
ESDM Darwin Saleh akhirnya menyetujui kenaikan TDL untuk semua pelanggan.
Kenaikannya bervariasi. Yang terkecil golongan industri berdaya 1.300-2.200 VA naik
6%. Yang paling paling besar golongan rumah tangga berdaya 1300-5500 VA naik 18%.
Adapun golongan rumah tangga berdaya 450 - 900 VA tidak dinaikkan.
Kenaikan TDL itu konon dilakukan untuk menutupi kekurangan subsidi listrik. Menurut
perhitungan, subsidi listrik pada APBN-P 2010, biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga
listrik Rp 144,35 triliun. Tingkat pendapatan yang dibutuhkan PLN (BPP ditambah 8%
margin usaha) Rp 155,90 triliun. Padahal pendapatan penjualan tenaga listrik Rp 95,8
triliun. Jadi, kebutuhan subsidi listrik tahun 2010 semestinya Rp 60 triliun. Namun,
alokasi subsidi yang disetujui DPR dalam APBN-P 2010 hanya sebesar Rp 55,15 triliun,
artinya masih kurang Rp 4,85 triliun. Kekurangan dana itulah yang harus ditutup oleh
pelanggan golongan mampu lewat kenaikan TDL.
Dampak Kenaikan Tarif Listrik
Kenaikan TDL itu hampir bisa dipastikan akan mengakibatkan kenaikan harga-harga
barang kebutuhan. Sebab, semua produsen mulai dari bahan mentah hingga produk
setengah jadi pasti akan menaikkan harga jual produknya sehingga kenaikan harga
produk akhir akan cukup besar. Ironisnya, kenaikan harga itu bisa terjadi pada sebagian
besar barang kebutuhan. Kenaikan harga barang-barang itu akan dirasakan oleh semua
orang. Bagi kelompok masyarakat pelanggan listrik 450 - 900 VA, kenaikan harga-harga
itu pasti akan terasa berat. Sebab, mereka sebagian besar–kalau tidak seluruhnya–
berpenghasilan minim. Mereka itu di antaranya adalah petani, buruh tani, pedagang
asongan, buruh pabrik, pekerja serabutan dan semisalnya. Bagi kalangan petani, kenaikan
harga itu menjadi pukulan kedua setelah pada awal April lalu harus menghadapi kenaikan
harga pupuk hingga 45%.
Kalangan industri juga akan merasakan dampak kenaikan TDL itu meski bervariasi
tingkatnya. Industri dengan biaya listrik besar seperti industri tekstil, mebel, semen, kaca
lembaran, baja, roti, termasuk perhotelan terutama kelas melati, dsb, akan sangat
terpengaruh. Bagi industri, solusi menaikkan harga jual produk hampir tidak mungkin
karena daya saing produk akan kalah dibandingkan dengan produk lain terutama impor.
Karena itu, agar bisa bertahan, yang paling mungkin adalah mengurangi produksi, atau
memangkas biaya lain, dan ujung-ujungnya adalah melakukan PHK. Lagi-lagi kelompok
masyarakat kecillah yang harus menanggung akibat paling fatal.
Bagi kalangan industri terutama UKM kenaikan TDL itu akan menurunkan daya saing.
Daya saing itu sangat diperlukan untuk bisa bertahan di tengah gempuran produk impor
pasca CAFTA (Kesepakatan Perdagangan Bebas Cina-Asean) dan sebentar lagi akan
berlaku free trade (perdagangan bebas) dengan India. Semestinya daya saing itu
ditingkatkan, bukan malah diturunkan dengan kenaikan TDL. Jika industri kesulitan
untuk bertahan hidup, itu artinya masalah pengangguran akan terus menghantui atau
bahkan bertambah besar jumlahnya akibat gelombang PHK dan tidak terserapnya
angkatan kerja baru. Itu bisa saja menjadi salah satu dampak bergilir yang paling serius
dari kenaikan TDL, apalagi jika BBM juga kembali dinaikkan seperti yang sudah mulai
diwacanakan selama ini.
Tidak Adakah Solusi Lain?
Pada 8 Maret 2010 lalu Menteri Keuangan saat itu, Sri Mulyani Indrawati mengatakan
bahwa tarif dasar listrik akan naik pada bulan Juli 2010. Ketika itu Menkeu
mengisyaratkan tarif listrik akan naik rata-rata 15%. Alasan kenaikan tersebut karena
Pemerintah menaikkan marjin keuntungan PT PLN (persero) dari 5% menjadi 8%
(Tempointeraktif.com, 9/3/2010).
Di sisi lain, karena PLN sudah menjamin mulai 1 Juli tidak akan ada lagi pemadaman
listrik bergilir, PLN harus menambah pasokan BBM. Akibatnya, pengeluaran bertambah
bengkak. Penambahan penggunaan BBM itu karena minimnya pasokan gas yang diterima
PLN, sementara sangat sulit dan hampir-hampir PLN merasa frustasi untuk mendapatkan
tambahan pasokan gas yang baru. Padahal jika sebagian besar pembangkit PLN
digerakkan dengan gas, PLN akan bisa menghemat puluhan triliun. Jika itu terealiasasi
maka dengan dana yang dihemat itu PLN bisa membangun jaringan atau pembangkit
baru sehingga penyediaan tenaga listrik akan lebih merata dan terjamin. Sayangnya, hal
itu untuk saat ini masih sebatas mimpi.
Kenaikan TDL tidak akan terus menjadi ancaman seandainya PLN bisa mendapatkan
pasokan gas dalam jumlah yang cukup dan terjamin. Apalagi jika diiringi dengan
pengembangan sumber listrik yang terbarukan seperti panas bumi, tenaga surya, air,
angin, gelombang laut, dsb; atau bahkan mengembangkan PLTN (Nuklir) yang meski
tidak terbarukan tapi bisa menyediakan tenaga listrik dalam jumlah sangat besar.
Namun, sayang hal itu tidak bisa terjadi saat ini. Pasalnya, gas produksi dalam negeri
justru lebih banyak diekspor dengan kontrak jangka panjang. Pangkalnya adalah UU
yang dibuat DPR yaitu UU No 22 tahun 2001 tentang Migas yang mengamanatkan
Domestic Market Obligation (DMO)–kewajiban suplai gas untuk kebutuhan dalam
negeri–hanya minimal 25%. Akibatnya, gas Tangguh terus mengalir ke luar, di antaranya
ke Cina dengan harga yang murah. Gas Natuna Blok B telah diikatkan kontrak untuk
mensuplai Singapura selama cadangannya masih ada. Gas-gas dari lapangan lainnya
sama saja. Akibatnya, saat kita (terutama PLN) sangat membutuhkan gas seperti
sekarang, belum tampak keinginan atau keberanian Pemerintah untuk merundingkan
ulang penjualan gas ke luar negeri itu sehingga bisa dialihkan untuk mensuplai kebutuhan
dalam negeri, termasuk PLN. Bahkan terhadap gas Donggi Senoro yang hendak dijual
saja, Pemerintah tampak tidak berani memutuskan lebih banyak untuk kebutuhan dalam
negeri; hanya sekitar 30% untuk dalam negeri, sementara 70% dijual ke luar negeri.
Apalagi pengusahaan gas itu diserahkan kepada kontraktor yang hampir semuanya asing.
Akibatnya, Pemerintah tidak bisa sepenuhnya mengelola gas itu untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri. Sungguh ironis! Gas milik kita yang sangat kita butuhkan dijual
ke luar negeri, bahkan ada yang dengan harga murah, sementara industri dalam negeri
kesulitan termasuk PLN dan kita harus mengimpor BBM dengan harga mahal. Itulah di
antaranya akibat UU yang dibuat oleh mereka yang konon menjadi wakil-wakil rakyat
kita sendiri. Belum lagi adanya jaringan “mafia” di trading “energi” yang banyak
memainkan produk UU demi kepentingan bisnisnya.
Dengan demikian, demokrasi sesungguhnya menjadi lahan bagi tumbuh suburnya para
penjahat yang mengatasnamakan rakyat untuk merampok harta rakyat. Ini adalah salah
satu pangkal persoalan dalam masalah ini. Semua itu adalah akibat doktrin ideologi dan
sistem ekonomi Kapitalisme yang diadopsi di negeri ini.
Ideologi Kapitalisme mendoktrinkan bahwa campur tangan negara harus seminimal
mungkin. Dalam penyediaan listrik ini pun, negara akhirnya memerankan diri sebagai
pedagang dan memposisikan rakyat sebagai konsumen. Ideologi dan sistem ekonomi
kapitalis juga mendoktrinkan pengelolaan SDA diserahkan kepada swasta. Tampak jelas,
pangkal dari masalah TDL ini adalah politik energi dan pengelolaan SDA yang
berlandasan ideologi Kapitalisme dengan sistem ekonominya seraya berpaling dari
peringatan (ketentuan) Allah. Ini sudah diperingatkan oleh Allah dalam QS Thaha [20]:
124.
Pandangan Islam
Islam menggariskan pemerintah (negara) berkewajiban memelihara urusan dan
kemaslahatan rakyat. Dalam memberikan pelayanan kepada rakyat, negara tidak boleh
berpikir untuk mengcari untung. Yang harus menjadi fokus pemerintah adalah bagaimana
memberikan pelayanan kepada rakyat semaksimal dan sesempurna mungkin. Ini pula
yang harus dijadikan pikiran dasar dalam menyediakan tenaga listrik.
Islam menetapkan bahwa kekayaan alam seperti gas, minyak, barang tambang, dsb
sebagai milik umum; milik seluruh rakyat. Kekayaan alam itu tidak boleh dikuasai oleh
segelintir orang atau pihak swasta. Kekayaan alam itu harus dikelola oleh negara bukan
sebagai pemilik, tetapi hanya mewakili rakyat yang mejadi pemilik kekayaan itu. Seluruh
hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat, di antaranya dalam bentuk berbagai
pelayanan, termasuk penyediaan tenaga listrik. Nabi saw. pernah bersabda:
ُ َ‫ْال ُم ْس ِل ُمون‬
ٍ َ‫ش َر َكا ُء فِي ثَال‬
‫ار‬
ِ ‫ث فِي ْال َكإلَ ِِ َو ْال َم‬
ِ َّ‫اء َوالن‬
Kaum Muslim bersekutu dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR Abu
Dawud, Ahmad dan al-Baihaqi).
Kata api pengertiannya mencakup sumber energi, termasuk listrik. Artinya, Islam
menetapkan listrik sebagai milik umum, milik seluruh rakyat. Karena itu, untuk
melaksanakan kewajiban memelihara urusan rakyat, negara harus mengelola tenaga
listrik dalam posisi mewakili rakyat sebagai pemiliknya. Jadi fokus pemerintah adalah
menjamin penyediaan dan pelayanan tenaga listrik semaksimal dan sesempurna mungkin
untuk seluruh rakyat. Bahan bakarnya dipasok dari hasil eksploitasi kekayaan milik
rakyat baik BBM, gas, batubara, panas bumi, dsb. Biayanya diambil dari hasil
pengelolaan kekayaan alam yang juga milik rakyat. Dengan begitu tenaga listrik bisa
disediakan semaksimal dan sesempurna mungkin dengan harga yang murah. Dengan itu
pula lapangan kerja akan bisa dibuka seluas-luasnya karena industri bisa berkembang
dengan baik sekaligus berdaya saing tinggi. Harga-harga kebutuhan akan murah atau
mudah dijangkau. Pada akhirnya kesejahteraan akan bisa dirasakan oleh seluruh rakyat.
Wahai Kaum Muslim:
Masalah kenaikan TDL dan semua problem yang dihadapi masyarakat saat ini
berpangkal pada penerapan ideologi Kapitalisme berikut sistem turunannya terutama
sistem politik dan sistem ekonomi. Selama ideologi Kapitalisme berikut sistemnya itu
masih diadopsi, selama itu pula masalah tidak akan pernah berhenti mendera masyarakat.
Karena itu, ideologi dan sistem Kapitalisme itu harus ditinggalkan. Selanjutnya negera ini
harus segera mengambil dan menerapkan ideologi dan sistem Islam dengan syariahnya
dalam sistem Khilafah. Hanya dengan itu umat manusia bisa memandang masa depan
yang lebih baik. Sungguh telah tiba saatnya untuk mewujudkan semua itu.
َ ‫يَاأَيُّ َها الَّذ‬
ْ ‫ِين َءا َمنُوا ا‬
‫لرسُو ِل ِإذَا دَعَا ُك ْم ِل َما ي ُْح ِيي ُك ْم‬
َّ ‫ستَ ِجيبُوا ِ َّّلِلِ َو ِل‬
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul
menyeru kalian menuju sesuatu yang memberi kalian kehidupan (QS al-Anfal [8]: 24).
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
KOMENTAR:
KH Hilmi Aminudin: PKS menjadi partai terbuka karena itu merupakan pelaksanaan
ajaran Islam (pk-sejahtera.org, 22/6/2010).
Menjadi partai terbuka artinya tidak lagi menyuarakan penerapan syariah Islam. Inikah
ajaran Islam?!
Download