8 Bab 2 Landasan Teori 2.1 Teori Sastra Menurut Rene Wellek dan

advertisement
Bab 2
Landasan Teori
2.1 Teori Sastra Menurut Rene Wellek dan Austin Warren
Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Setiap karya sastra pada
dasarnya bersifat umum dan sekaligus bersifat khusus, atau lebih tepatnya lagi
individual dan umum sekaligus. Setiap karya sastra mempunyai sifat-sifat yang sama
dengan karya seni lainnya (Wellek dan Warren, 1989: 9).
Salah satu batasan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak.
Greenlaw (teoritikus sastra Inggris) dalam Wellek dan Warren (1989: 11), mendukung
gagasan ini: “Segala sesuatu yang berkaitan dengan sejarah kebudayaan termasuk dalam
wilayah kita” (“Nothing related to the history of civilization is beyond our province”).
Ilmuwan sastra “tidak terbatas pada belles letters atau manuskrip cetakan atau tulisan
dalam mempelajari sebuah periode atau kebudayaan” (“Not limited to belles letters or
even to printed or manuscript record in our effort to understand a period or
civilization”), dan ilmuwan sastra harus dilihat dari “sumbangan pada sejarah
kebudayaan” (“in the light of its possible contribution to the history of culture”).
Istilah “sastra” paling tepat diterapkan pada seni sastra, yaitu sastra sebagai karya
imajinatif. Sastra tidak hanya mengkontraskan “pikiran” dan “emosi” atau “perasaan”,
sastra juga mengandung pikiran, sedangkan bahasa emosional tidak selalu dimiliki oleh
sastra. Bahasa sastra penuh ambiguitas dan homonim (kata-kata yang sama bunyinya
tetapi berbeda artinya), serta memiliki kategori-kategori yang tak beraturan dan tak
rasional seperti gender (jenis kata yang mengacu pada ungkapan atau karya yang
diciptakan sebelumnya). Dengan kata lain, bahasa sastra sangat “konotatif” sifatnya.
8
Bahasa sastra bukan sekedar bahasa referensial, yang hanya mengacu pada satu hal
tertentu. Bahasa sastra mempunyai sifat ekspresif, menunjukkan nada (tone) dan sikap
pembicara atau penulisnya. Bahasa sastra berusaha membujuk, mempengaruhi dan pada
akhirnya mengubah sikap pembaca (Wellek dan Warren, 1989: 14-15).
Istilah sastra sebagai karya imajinatif disini tidak berarti bahwa setiap karya
sastra harus memakai imaji (citra). Di bawah pengaruh Hegel, mereka memberi batasan
bahwa semua karya seni adalah the sensuous shining forth of the idea “bersinarnya ide
secara indrawi.” Aliran lain seperti Riehl Hildebrandt Fidle menganggap bahwa semua
karya seni adalah karya yang sepenuhnya nampak (pure visibility), tetapi banyak karya
sastra tidak membangkitkan imaji indrawi. Kalaupun ada, imaji itu muncul secara
kebetulan dan kadang-kadang, bahkan dalam menampilkan tokoh, seorang pengarang
tidak selalu perlu memakai citra klasik (Wellek dan Warren, 1989: 21).
2.2 Teori Intertekstual
Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan
teks yang lain. Selain itu, teks itu sendiri secara etimologis (textus, bahasa Latin) berarti
tenunan, anyaman, penggabungan, sususan, dan jalinan. Kristeva dalam Culler (1975:
139), menyatakan bahwa setiap teks adalah mozaik kutipan-kutipan, penyerapan dan
transformasi dari teks lain, termasuk di dalamnya adalah teks karya sastra. Menurut
Kristeva dalam Teeuw (1984: 145-146), setiap teks sastra harus dibaca dengan latar
belakang teks-teks lain; tidak ada satu teks pun yang benar-benar mandiri, dalam arti
bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain
sebagai contoh, teladan, kerangka; tidak dalam arti bahwa teks baru hanya meneladani
teks lain atau mematuhi kerangka-kerangka yang telah diberikan lebih dahulu, tetapi
9
dalam arti bahwa dalam penyimpangan dan transformasi pun model teks yang sudah ada
memainkan peranan yang penting: pemberontakan atau penyimpangan menyatakan
adanya
sesuatu
yang
memungkinkan
untuk
terjadinya
pemberontakan
atau
penyimpangan.
Produksi makna terjadi dalam interteks, yaitu melalui proses oposisi, permutasi,
dan transformasi. Penelitian dilakukan dengan cara menemukan hubungan-hubungan
bermakna di antara dua teks atau lebih. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interteks
tidak terbatas sebagai persamaan genre, interteks memberikan kemungkinan yang
seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan hipogram, karena konsep penting dalam
teori interteks adalah hipogram, dikemukakan oleh Riffaterre (1978: 11-13), yang
sesungguhnya sudah digunakan dalam tradisi Saussurean. Menurut Riffaterre, hipogram
adalah struktur pra teks, yang dianggap sebagai energi puitika teks.
Interteks dapat dilakukan antara novel dengan novel, novel dengan puisi, novel
dengan mitos. Hubungan yang dimaksudkan tidak semata-mata sebagai persamaan,
melainkan juga sebaliknya sebagai pertentangan, baik sebagai parodi maupun negasi.
Menurut Barthes (1977: 159), pluralisme makna dalam interteks bukan merupakan
akibat ambiguitas, melainkan sebagai hakikat tenunannya. Oleh karena itu, pada
dasarnya tidak ada teks tanpa interteks (Hutcheon, 1992: vii). Jadi, usaha untuk mencari
asal usul teks merupakan kegagalan, sebab dalam interteks tidak ada sumber dan
pengaruh. Interteks memungkinkan terjadinya teks plural dan dengan demikian
merupakan indikator utama pluralisme budaya. Menurut teori interteks, pembacaan yang
berhasil justru apabila didasarkan atas pemahaman-pemahaman terhadap karya-karya
terdahulu. Oleh karena itu, secara praktis aktivitas interteks terjadi melalui dua cara,
yaitu: a) membaca dua teks atau lebih secara berdampingan pada saat yang sama, b)
10
hanya membaca sebuah teks tetapi dilatarbelakangi oleh teks-teks lain yang sudah
pernah dibaca sebelumnya. Intertekstulitas yang sesungguhnya adalah yang kedua sebab
aktivitas inilah yang memungkinkan terjadinya teks jamak, teks tanpa batas. Menurut
Riffaterre dalam Ratna (2006: 175), karya sastra yang secara metodologis dibayangkan
sebagai sumber interteks disebut hypogram. Dalam suatu aktivitas pembacaan dengan
demikian akan terdapat banyak hypogram yang berbeda-beda sesuai dengan
kompleksitas aktivitas pembacaan terdahulu. Hypogram juga merupakan landasan untuk
menciptakan karya-karya yang baru, baik dengan cara menerima maupun menolaknya.
Melalui antar hubungan tersebutlah teks saling menetralisasikan satu dengan yang lain
sehingga masing-masing menampilkan makna yang sesungguhnya. Dengan pandangan
yang seperti itu, makna karya sastra selain ditentukan oleh dirinya sendiri, juga
ditentukan oleh hubungannya dengan karya-karya yang lain (Ratna, 2006: 174).
2.3 Semantik
Semantik ( 意 味 論 ’imiron’) merupakan salah satu cabang Linguistik ( 言 語
学’gengogaku’) yang mengkaji tentang makna. Objek kajian semantik antara lain makna
kata (語の意味’go no imi’), relasi makna (語の意味関係’go no imi kankei’) antar satu
kata dengan kata yang lainnya, makna frase dalam suatu idiom (句の意味’ku no imi’),
dan makna kalimat (文の意味’bun no imi’) (Sutedi, 2003: 103).
1. Makna kata satu persatu (語の個々の意味’go no koko no imi’)
Makna setiap kata merupakan salah satu objek kajian semantik, karena
komunikasi dengan menggunakan suatu bahasa yang sama seperti bahasa Jepang,
baru akan berjalan lancar jika setiap kata yang digunakan oleh pembicara dalam
11
komunikasi tersebut makna atau maksudnya sama dengan yang digunakan oleh
lawan bicaranya.
2. Hubungan antar makna kata dengan kata yang lainnya (relasi makna)
Hasil relasi makna dapat dijadikan bahan untuk menyusun kelompok kata (語
彙’goi’) berdasarkan kategori tertentu. Misalnya pada verba 「話す’hanasu’ 」
<berbicara>, 「言う’iu’」 <berkata>, 「しゃべる’shaberu’」 <bicara>, dan 「食
べる’taberu’」 <makan>, dapat dikelompokkan ke dalam 「言葉を発する’kotoba
wo hassuru’ 」 <bertutur> untuk tiga verba pertama, sedangkan taberu tidak
termasuk ke dalamnya. Contoh lainnya, misalnya hubungan makna antara kata 「話
す’hanasu’」 dan 「言う’iu’」, 「高い’takai’」 <tinggi> dan 「低い’hikui’」
<rendah>, 「 動 物 ’doubutsu’ 」 <binatang> dan 「 犬 ’inu’ 」 <anjing> akan
berlainan dan perlu diperjelas. Pasangan pertama merupakan sinonim, dan pasangan
kedua merupakan antonim, sedangkan pasangan terakhir merupakan hubungan
superordinat.
3. Makna frase
Dalam bahasa Jepang, ungkapan 「本を読む’hon wo yomu’」 <membaca
buku>, 「靴を買う’kutsu wo kau’」 <membeli sepatu>, dan 「腹が立つ’hara ga
tatsu’」 <*perut berdiri (=marah)> merupakan suatu frase. Frase “hon wo yomu”
dan “kutsu wo kau” dapat dipahami cukup dengan mengetahui makna kata hon,
kutsu, kau, dan wo; ditambah dengan pemahaman tentang struktur kalimat bahwa
“nomina + wo + verba.” Jadi, frase tersebut dapat dipahami secara leksikalnya (文
12
字通りの意味’mojidoori no imi’). Tetapi, untuk frase “hara ga tatsu,” meskipun
seseorang mengetahui makna setiap kata dan strukturnya, belum tentu dapat
memahami makna frase tersebut jika tidak mengetahui makna frase secara
idiomatikalnya (慣用句的の意味’kanyoukuteki no imi’). Berbeda dengan frase 「足
の洗う’ashi no arau’」yang memiliki dua makna, yaitu secara leksikal (文字通り
の意味) adalah <mencuci kaki>, dan juga secara idiomatikal (慣用句的の意味)
yakni <berhenti berbuat jahat>.
4. Makna Kalimat
Suatu kalimat ditentukan oleh makna setiap kata dan strukturnya. Makna
kalimat ditentukan oleh kata yang menjadi unsur kalimat tersebut. Suatu kalimat
dapat menimbulkan makna ganda yang berbeda. Dengan demikian, selain adanya
berbagai macam relasi makna antara suatu kata dengan kata lainnya, dalam kalimat
pun terdapat berbagai jenis hubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang
lainnya.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa objek kajian semantik adalah
berupa makna suatu kata dan frase; relasi makna antara beberapa kata; dan makna suatu
kalimat (Sutedi, 2003: 103-106).
Dalam semantik, terdapat jenis dan perubahan bahasa yang antara lain adalah
makna leksikal dan gramatikal, makna denotatif dan konoatif, dan makna dasar dan
makna perluasan.
1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Makna leksikal dalam bahasa Jepang disebut dengan 「辞書的意味’jishotekiimi’ 」 「 語 彙 的 意 味 ’goiteki-imi’ 」 . Makna leksikal adalah makna kata yang
13
sesungguhnya sesuai dengan referensinya sebagai hasil pengamatan indra dan terlepas
dari unsur gramatikalnya, atau dapat juga dikatakan sebagai makna asli suatu kata.
Misalnya, kata 「猫’neko’」 dan kata 「学校’gakkou’」 memiliki makna leksikal:
<kucing> dan <sekolah>.
Makna gramatikal dalam bahasa Jepang disebut 「文法的意味 ’bunpoutekiimi’ 」 yaitu makna yang muncul akibat proses gramatikalnya. Contohnya partikel
「に’ni’」 secara leksikal tidak jelas maknanya, tetapi akan jelas jika digunakan dalam
kalimat 「バンドンに住んでいる’Bandon ni sunde iru’」 <tinggal di Bandung>.
2. Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif dalam bahasa Jepang disebut 「明示的意味’meijiteki-imi’」
atau 「外延’gaien’」. Makna denotatif adalah makna yang berkaitan dengan dunia
luar bahasa seperti suatu objek atau gagasan dan dapat dijelaskan dengan analisis
komponen makna. Makna konotatif disebut 「暗示的意味’anjiteki-imi’」 atau 「内
包’naihou’」 yaitu makna yang ditimbulkan karena perasaan atau pikiran pembicara
dan lawan bicaranya. Misalnya, pada kata 「父 ’chichi’」 dan 「親父 ’oyaji’」.
Kedua-duanya memiliki makna yang sama, yaitu <ayah>. Makna denotatif dari
kedua kata tersebut sama, karena merujuk pada referent yang sama, tetapi nilai rasa
berbeda. Kata ‘chichi’ digunakan lebih formal dan lebih halus, sedangkan kata
‘oyaji’ terkesan lebih dekat dan lebih akrab. Makna denotatif 「子供’kodomo’」
adalah <anak>, melahirkan makna konotatif
<tidak mau diatur> atau <kurang
dipertimbangkan>.
14
3. Makna Dasar dan Makna Perluasan
Makna dasar disebut dengan 「基本儀’kihon-gi’」 merupakan makna asli
yang dimiliki oleh suatu kata. Sedangkan makna perluasan 「 転 義 ’ten-gi’ 」
merupakan makna yang muncul sebagai hasil perluasan dari makna dasar, di
antaranya akibat penggunaan secara kiasan (majas/比喩’hiyu’) (Sutedi, 2003: 106108).
2.3.1 Kumo no Ito
Secara etimologis, Kumo (蜘蛛) berarti laba-laba, Ito (糸) berarti benang: senar,
dawai, tali (Nelson, 2002: 695, 797). Sedangkan no (の) adalah partikel yang berarti
punya; milik (Matsuura, 1994: 728). Sehingga Kumo no Ito dapat diartikan sebagai
Benang (milik) Laba-Laba atau Benang Laba-Laba.
Dalam cerpen karya Akutagawa Ryūnosuke, Kumo no Ito adalah alat yang
digunakan oleh Kandata untuk keluar dari neraka (Kelly, 1999). Kumo no Ito diberikan
oleh Sang Buddha sebagai imbalan atas perbuatan baik yang pernah dilakukannya, yaitu
tidak membunuh laba-laba (Akutagawa, 1918).
Sedangkan dalam lirik lagu yang ditulisnya, Mika Nakashima menyatakan bahwa
Kumo no Ito mewakili sifat tenggang rasa yang ada pada manusia (Ohno, 2005: 173).
15
Download