Maka sudah saatnya bagi kita untuk mengatasi pelbagai perselisihan dan konflik antarbudaya, baik secara vertical maupun horizontal, baik secara pribadi ataupuan pada tingkat komunitas. Salah satu caranya adalah dengan membekali diri kita dengan pengetahuan yang relevan, diantaranya adalah dengan memahami komunikasi verbal dan non verbal yang berbeda yang dimiliki setiap komunitas kebudayaan. Simbol Sebagian besar ahli antropologi dan sosiologi mengemukakan kebudayaan ditandai oleh bahasa. Kebudayaan tanpa bahasa adalah kebudayaan tidak beradab. Menurut mereka, bahasa menentukan cirri kebudayaan, dari bahasa diketahui derajat kebudayaan suatu suku bangsa. Pengembangan bahasa dalam sebuah kebudayaan merupakan issu sepanjang waktu, terutama dikaitkan dengan ilmu semantic. Pembicaraan tentang bahasa tidak bisa dilepaskan dari masalah symbol dan sign (tanda). Kita berbicara sign atau tanda artinya kita bicara tentang cara memberi makna terhadap objek. Keunikan kualitas tanda terletak pada hubungan ‘satu persatu’, hubungan itu dapat diartikan bahwa tanda memberikan makna yang sama bagi semua orang yang menggunakannya. Jadi, setiap tanda berhubungan langsung dengan objeknya, apalagi semua orang memberikan makna yang sama atas tanda tersebut sebagai hasil konvensi. Tanda, langsung mewakili sebuah realitas. Kalau Anda mengendarai mobil dan berhadapan dengan tanda lalu lintas maka tanda itu berfungsi memerintah atau mewajibkan, melarang, dan memberikan informasi. Simbol berasal dari bahasa Latin symbolycum (semula dari bahasa Yunani sumbolon, yang berarti tanda untuk mengartikan sesuatu). Sebuah symbol adalah ‘sesuatu’ yang terdiri atas ‘sesuatu yang lain’. Suatu makna dapat ditunjukkan oleh symbol. Cincin merupakan symbol perkawinan, bendera merupakan simbol suatu Negara dan sebagainya. Komunikasi dapat terjadi jika setidaknya suatu pesan membangkitkan respons pada penerima melalui penyampaian suatu pesan dalam bentuk tanda dan symbol, baik bentuk verbal (kata-kata) atau bentuk nonverbal (nonkata-kata), tanpa harus memastikan terlebih dahulu kedua pihak yang berkomunikasi punya system symbol yang sama. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang mewakili sesuatu lainnya berdasarkan kesepakatan bersama, misalnya kata ‘kucing’ mewakili suatu makhluk berbulu dan berkaki empat yang dapat mengeong, tanpa memerlukan kehadiran hewan tersebut. Simbol juga dapat merepresentasikan suatu konsep atau gagasan yang lebih PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR – UMB Ira Purwitasari S.Sos Komunikasi Antar Budaya abstrak, seperti ditunjukkan oleh gambar palu arit yang merepresentasikan komunisme atau kata-kata: kemerdekaan, perdamaian, demokrasi, komunikasi yang membutuhkan penjelasan panjang. Pendeknya sebagaimana yang dikatakan Geert Hofstede, symbol adalah kata, jargon, isyarat, gambar, gaya (pakaian, rambut), atau objek (symbol status) yang mengadung suatu makna tertentu yang hanya dikenali oleh mereka yang menganut suatu budaya (Deddy Mulyana, 2004 : 3). Komunikasi Verbal : Bahasa Diantara semua bentuk symbol, bahasa merupakan symbol yang paling rumit, halus, dan berkembang. Kehidupan manusia tidak mungkin tanpa bahasa, dan tidak ada bahasa tanpa kata. Setiap hari kehidupan manusia dikelilingi oleh kata-kata. Beberapa di antara kata itu kita dengar melalui radio dan televise, kita dengar melalui ungkapan orang, kata-kata lain kita baca melalui buku, surat kabar, majalah. Kata-kata seolah-olah mempunyai kekuatan yang luar biasa untuk menyatakan maksud orang kepada sesamanya. Dan jangan lupa, kata-kata itu ada dalam setiap bahasa umat manusia karena merupakan bagian dari kebudayaan untuk menyatakan pendapat, pandangan, pikiran, dan perasaan. Kalau orang masih berbahasa maka dia masih sadar bahwa bahasa menunjukkan kesadaran manusia. Bahasa adalah medium untuk menyatakan kesadaran, tidak sekedar mengalihkan informasi. Bahasa merupakan media paling baik untuk menyatakan struktur kesadaran, kepercayaan, maupun peta kesadaran. Dengan demikian, dapat pula dikatakan bahwa bahasa menyatakan pikiran dan bahkan prosedur pengujian struktur berpikir tentang sesuatu (Whorf, 1956; Vygostsky, 1962; Fodor, 1988; Jackendoff, 1992; Pinker, 1994; Miller, 1996). Maka terdapat hubungan yang erat antara bahasa dengan kesadaran, seperti dalam pernyataan ‘kita berbicara dengan akal melalui bahasa’. Melalui bahasa kita mengetahui mental orang lain yang berekspresi dengan kata-kata (emosi). Manusia tanpa bahasa, mentalnya kurang lengkap. Bahasa dapat membantu kita untuk memiliki kemampuan memahami dan menggunakan symbol, khususnya symbol verbal dalam pemikiran dan berkomunikasi. Secara etimologis, kata verbal berasal dari verb (bahasa Latin) yang berarti word (kata). Word merupakan terjemahan dari bahasa Yunani, rhema, yang berarti ‘sesuatu’ yang digunakan untuk menggambarkan tindakan, eksistensi, kejadian, atau peristiwa, atau ‘sesuatu’ yang digunakan sebagai pembantu atau penghubung sebuah predikat. Kata ‘verbal’ sendiri berasal dari bahasa Latin, verbalis, verbum yang sering pula dimaksudkan dengan ‘berarti’ atau ‘bermakna melalui kata-kata’, atau yang berkaitan PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR – UMB Ira Purwitasari S.Sos Komunikasi Antar Budaya dengan ‘kata’ yang digunakan untuk menerangkan fakta, ide, atau tindakan yang lebih sering berbentuk percakapan lisan daripada tulisan. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa komunikasi verbal adalah bahasa – kata dengan aturan tata bahasa, baik secara lisan maupun secara tertulis. Dan hanya manusia yang dapat melambangkan keadaan dunia malalui bahasa. Setiap kebudayaan menjadikan bahasa sebagai media untuk menyatakan prinsip-prinsip ajaran, nilai dan norma budaya kepada para pendukungnya. Bahasa merupakan mediasi pikiran, perkataan dan perbuatan. Seperti kebudayaan secara umum, bahasa dipelajari untuk melayani setiap pikiran manusia. Kemungkinan adanya hubungan antara bahasa dan budaya telah dirumuskan ke dalam suatu hipotesis oleh dua ahli linguistic Amerika, Edward Sapir dan Benjamin L. Whorf yang kemudian dikenal dengan Hipotesis Sapir-Whorf yang sering disebut juga Tesis Whorfian. Menurut Sapir, manusia tidak hidup di pusat keseluruhan dunia, namun hanya di sebagiannya, bagian yang diberitahukan oleh bahasanya. Menurut Sapir, “sangat bergantung pada bahasa tertentu yang menjadi medium ekspresi” bagi kelompoknya. Oleh karena itu, dunia riilnya “sebagian besar secara tidak disadari dibangun atas kebiasaan-kebiasaan bahasa kelompok….Dunia-dunia di mana masyarakat-masyarakat hidup adalah dunia berlainan..” Bagi Sapir dan Whorf, bahasa menyediakan suatu jaringan jalan yang berbeda bagi setiap masyarakat yang sebagai akibatnya, memusatkan diri pada aspekaspek tertentu realitas. Menurut hipotesis itu, perbedaan-perbedaan antara bahasa-bahasa jauh lebih besar daripada sekedar hambatan-hambatan untuk berkomunikasi; perbedaanperbedaan itu menyangkut perbedaan-perbedaan dasar dalam pandangan dunia (world view) berbagai bangsa dan dalam apa yang mereka pahami tentang lingkungan. Hipotesis itu juga mengasumsikan bahwa bahasa tidak sekedar deskriptif, yakni sebagai sarana untuk melukiskan suatu fenomena atau lingkungan, tetapi juga dapat memengaruhi cara kita melihat lingkungan kita. Artinya, orang-orang yang berbahasa berbeda; Indoensia, Cina, Jepang, Rusia, cenderung melihat realitas yang sama dengan cara yang berbeda pula. Implikasi lebih jauh dari pandangan ini adalah bahasa juga dapat digunakan untuk memberikan aksen tertentu terhadap suatu peristiwa atau tindakan, misalnya dengan menekankan, mempertajam, memperlembut, mengagungkan, melecehkan, membelokkan, atau mengaburkan peristiwa atau tindakan tersebut. Menurut Brown, orang mengkategorikan dunia dengan melekatkan label PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR – UMB Ira Purwitasari S.Sos Komunikasi Antar Budaya terhadap apa yang penting atau ada di luar sana. Dan mengabaikan serta tidak memberi nama bagi kategori-kategori yang mereka anggap tidak penting. Orang-orang Eskimo dapat menggunakan kira-kira dua puluh kata untuk menyebut wujud-wujud salju yang berlainan (karena sebagian besar wilayahnya tertutup salju sehingga salju merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan masyarakatnya). Sementara orang Inggris hanya dapat membedakan salju yang lengket, hujan es, hujan es bercampur salju, dan es (karena mereka memiliki empat musim yang berlainan). Orang Indonesia atau negara-negara lain mungkin hanya mengenal satu atau dua kata saja untuk melukiskan salju. Jelasnya, budaya-budaya lain dapat mengidentifikasi nuansa salju yang berbeda-beda, hanya saja karena fenomena salju itu bagi budayabudaya lain itu tidak sepenting seperti bagi orang Eskimo. Dalam konteks komunikasi antarbudaya, terdapat hambatan-hambatan dalam interaksi bahasa dan verbal, yaitu : 1. Polarisasi Polarisasi adalah kecenderungan untuk melihat dunia dalam bentuk lawan kata dan menguraikanya dalam bentuk ekstrim – baik atau buruk, positif atau negative, sehat atau sakit, pandai atau bodoh. Dalam faktanya, kebanyakan orang berada di antara ekstrim baik dan ekstrim buruk, sehat dan sakit, pandai dan bodoh dan sebagainya. Namun demikian kita mempunyai kecenderungan kuat untuk hanya melihat titik-titik ekstrim dan mengelompokkan manusia, obyek, dan kejadian dalam bentuk lawan kata yang ekstrim ini. 2. Orientasi Intensional Mengacu pada kecenderungan kita untuk melihat manusia, obyek, dan kejadian sesuai dengan cirri yang melekat pada mereka. Sebagai contoh, jika Sally dicirikan sebaga orang yang “tidak menarik”, kita akan, secara intensional, menilainya sebagai tidak menarik sebelum mendengarkan apa yang dikatakannya. Orientasi intensional terjadi bila kita bertindak seakan-akan label adalah lebih ekstensional, penting adalah daripada orangnya kecenderungan untuk sendiri. terlebih Sebaliknya, dahulu orientasi memandang manusia, obyek, dan kejadian dan baru setelah itu memerhatikan cirinya. Kita melihat Fari tanpa memerhatikan cirri yang melekat pada dirinya. 3. Kekacauan Karena Menyimpulkan Fakta Secara Keliru PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR – UMB Ira Purwitasari S.Sos Komunikasi Antar Budaya Kita dapat membuat pernyataan tentang dunia yang kita amati, dan kita dapat membuat pernyataan tentang apa yang belum pernah kita lihat. Dari segi bentuk atau struktur, pernyataan-pernyataan ini sama saja, dan kita tidak dapat membedakan mereka dengan analisis gramatika. Sebagai contoh, kita dapat mengatakan, “Ia mengenakan jaket biru,” seperti juga kita dapat mengatakan “Ia melontarkan tatapan yang penuh kebencian”. Dari segi struktur, kedua kalimat ini serupa. Tetapi kita tahu bahwa keduanya merupakan jenis pernyataan yang sangat berbeda. Kita dapat melihat jaket dan warnanya yang biru, tetapi bagaimana kita melihat “tatapan yang penuh kebencian?” Jelas, ini bukanlah pernyataan deskriptif, melainkan pernyataan inferensial (penyimpulan). Ini adalah pernyataan yang dibuat berdasarkan bukan hanya pada apa yang kita lihat, melainkan juga pada apa yang kita simpulkan. 4. Potong Kompas (ByPassing) Potong kompas adalah pola kesalahan evaluasi di mana orang gagal mengkomunikasikan makna yang mereka maksudkan. William Haney (1973) mendefinisikan sebagai “pola salah komunikasi yang terjadi bila pengirim pesan dan penerima saling menyalah-artikan makna pesan mereka”. Asumsi yang mendasari potong kompas adalah bahwa kata-kata memiliki makna intrinsic. Kita secara keliru menganggap bahwa bila dua orang menggunakan kata yang sama, mereka memaksudkan hal yang sama pula, dan bila mereka menggunakan kata yang berbeda mereka memaksudkan hal yang berbeda. Tetapi, kata tidak mempunyai makna; makna ada dalam diri manusia. Pasangan yang sedang jatuh cinta, mungkin mempunyai maksud yang berbeda. Yang seorang mungkin bermaksud menyatakan adanya komitmen yang langgeng dan eksklusif, sementara yang lain mungkin mengartikannya sebagai hubungan seksual. 5. Kesemuaan (Allness) Karena dunia ini sangat kompleks, kita tidak pernah bisa mengetahui semua hal atau mengatakan segalanya tentang sesuatu. Kita tidak pernah melihat sesuatu secara keseluruhan. Kita melihat bagian dari suatu obyek, kejadian, atau orang, dan atas dasar yang terbatas itu kemudian kita menyimpulkan bagaimana rupa keseluruhan. Tentu saja kita tidak mungkin membuat kesimpulan dengan bukti- PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR – UMB Ira Purwitasari S.Sos Komunikasi Antar Budaya