BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Konsep Masyarakat Koenjaranigrat (2009

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Konsep Masyarakat
Koenjaranigrat (2009:116) Secara etimologis, pengertian masyarakat dalam
bahasa Inggris masyarakat di sebut society asal kata socius yang berarti “kawan”.
Istila masyarakat sendiri berasal dari akar kata Arab “syaraka” yang berarti “ikut
serta, berpartisipasi”. Saling bergaul ini tentu ada bentuk-bentuk aturan hidup, yang
bukan disebabkan oleh manusia sebagai perseorangan, melainkan unsur-unsur
kekuatan kaida dalam lingkungan sosial yang merupakan suatu kesatuan. Masyarakat
adalah sekumpulan manusia yang saling “bergaul” atau dengan istilah ilmiah, saling
“berinteraksi”. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai perasaan agar warganya
dapat saling berinteraksi. Negara modern misalnya, merupakan kesatuan manusia
dengan berbagai macam prasarana, yang memungkinkan para warganya untuk
berinteraksi secara intensif, dan dengan frekuensi yang tinggi.
Selain itu masyarakat atau Society adalah sekumpulan manusia yang secara
relatif mandiri, hidup bersama- sama cukup lama, mendiami suatu wilayah tertentu,
memeliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatanya dalam
kelompok tersebut.
Roucek dan Waren. (Lusdio Slamet Santosa.2007.144). berpendapat bahwa “
masyarakat adalah sekelompok manusia yang memeliki rasa kesadaran bersama,
mereka berdiam ( bertempat tinggal) dalam daerah yang sama, sebagian besar atau
seluruh warganya memperliahatkan adanya adat kebiasaaan serta aktifitas yang sama
pula.
Ralp Linton (dalam Atik Catur Budiati.2009: 13). Mengatakan “masyarakat
merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama
sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menggap diri mereka sebagai suatu
kesatuan sosial dengan batas- batas yang dirumuskan dengan jelas”.
Lebih lanjud Mac Iver dan Page (dalam Atik Catur Budiati.2009:13).
Mendefenisikan bahwa “masyrakat adalah suatu sistem dari kebiasan dan tata cara,
dari wewenag kerja sama antara berbagai kelompok dan pengolangan, dan
pengawasan tingka laku serta kebebasan- kebebasan manusia”. Sementara J.P Gilin
dan J.L Gillin (dalam Atik Catur Budiati.2009:13). Berpendapat bahwa “ masyarakat
adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat
yang bersifat kontiniu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
2.2 Konsep Kebudayaan
Secara sempit kebudayaan diartikan sebagai aktivitas dibidang seni, sastra,
dan musik, dalam pengertian luas kebudayaan meliputi semua bidang kehidupan
manusia oleh karena itu, aktivitas seni merupakan salah satu unsur kebudayaan,
Kebudayaan terbentuk dan berkembang sejak terbentuknya masyarakat. Kebudayaan
merupakan hasil upaya manusia secara terus-menerus untuk menciptakan sarana dan
prasarana yang diperlukan dalam kehidupan, Kehidupan sehari-hari selalu
memberikan tantangan-tantangan kepada manusia untuk menciptakan hal-hal baru,
semua hasil ciptaan manusia baik yang bersifat benda-benda fisik maupun yang
nonfisik menjadi bagian dari kebudayaan. Kata “kebudayaan” berasal dari (bahasa
Sangsekerta) buddbayab yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti
budi atau akal. Kebudayaan di artikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan
budi atau akal”
Effendhie (1999:3), mengemukakan bahwa kebudayaan itu hanya dimiliki
oleh masyarakat manusia yang tidak di turunkan secara biologis tetapi diperoleh
melalui proses belajar. Kebudayaan dapat didukung, dan diteruskan oleh manusia
sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan juga merupakan pernyataan atau
perwujudan dari kehendak perasaan, dan pikiran manusia.
Disisi lain, Maran (2007:31) pengertian kebudayaanpun dapat dilihat dari luas
cakupanya. Disini ada dua arti, yakni arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit,
kebudayaan ialah “pikiran, karya dan hasil karya manusia yang memenuhi hasrat
akan keindahan”. Pendek kata, “kebudayaan adalah kesenian” (Koentjaraningrat).
Pengertian ini dikatakan sempit, sebab kesenian hanyalah salah satu aspek
kebudayaan mencangkup seluruh aspek kehiduapan manusia dan masyarakat yang di
bangun berdasarkan proses belajar.
Sementara William A. Haviland, (Yat Muliyadi,2000:21) mengemukakan
budaya sebagai seperangkat peraturan yang standar yang apabila dipenuhi atau di
laksanakan oleh angota masyarakatnya akan menghasilkan prilaku yang di anggap
layak dan dapat di terima oleh anggota masyrakat. Sementara. Sir Ewar Burnett
Tylor, (dalam Yat Muliyadi,2000:20) menjelaskan bahwa budaya secara rinci sebagai
pengetahuan,
kepercayaan,
kesenian,
hukum, moral, kebiasaan, dan
lain-lain
kecakapan yang diperoleh manusia sebagai angota masyrakat.
E.B. Taylor (dalam Machmoed Effendihi,1999:2) Berpendapat bahwa”
kebudayaan mencakup ilmu pengetahuan kepercayaan, seni, moral, adat dan
kemampuan- kemampuan,serta kebiasaan-kebiasaan lain yang di peroleh manusia
sebagai angota masyrakat”. Ki Hadjar Dewantara (dalam Machmoed Effendihi,
1999:3) Berpandapat bahwa “ Kebudayaan yang beraarti buah budi manusia adalah
hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yakni alam dan zaman
atau
kodrat
dan
masyrakat
untuk
mengatasi
berbagai
rintangan
dalam
kehidupanya,guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya
bersifat tertip dan damai”.
Lebih lanjut W.A Haviland (Tim Antropologi, 2003:160) Berpendapat bahwa
“ Kebudayaan sebagai seperangkat peraturan atau norma yang di miliki bersama oleh
para anggota masyrakat, yang apabila dilaksanakan oleh para angotanya akan
melahirkan prilaku yang dipandang layak dan dapat di terima. A.L Kroeber (dalam
Tim Antropologi, 2003:160) Berpendapat bahwa “ kebudayaan sebagai keseluruhan
geraka, kebiasaan,tata cara,gagasan, dan nilai – nilai yang dipelajari dan diwariskan,
serta perilaku yang di timbulkan.
C.Kluckhohn (dalam Dyastriningrum, 2009:4) berpendapat bahwa kebudayaan
adalah keseluruhan pola-pola tingkah laku, baik eksplisit maupun implisit yang
diperoleh dan diturunkan melalui simbol yang akhirnya mampu membentuk sesuatu
yang khas dari kelompok-kelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-
benda materi. Linton dan A.L. Kroeber (dalam Dyastriningrum, 2009:5) melihat
kebudayaan melalui pemikiran historical particularism, budaya, dan personalitas.
Dalam bukunya The Study of Man (1936), Linton mengatakan bahwa di dalam
kehidupan ada dua hal penting, yakni:
1) Inti Kebudayaan (Element Culture)
Inti kebudayaan terdiri atas:
a) Sistem nilai-nilai budaya.
b) Keyakinan-keyakinan keagamaan yang dianggap keramat.
c) Adat yang dipelajari sejak dini dalam proses sosialisasi individu warga
masyarakat.
d) Adat yang memiliki fungsi yang terjaring luas dalam masyarakat.
2) Perwujudan Lahir Kebudayaan (Overt Culture)
Perwujudan lahir kebudayaan adalah bentuk fisik suatu kebudayaan, misalnya
alat-alat dan benda-benda yang berguna. Covert Culture adalah bagian kebudayaan
yang sulit diganti dengan kebudayaan asing atau lambat mengalami perubahan.
2.3 Teori Terkait dengan Saluruan dan cara Islamisasi di Indonesia.
Menurut Uka Tjandrasasmita,(dalam Rais Idrus 2006 : 12) mengatakan bahwa
saluran atau cara islamisasi melalui beberapa jalur sebagai berikut:
1. Jalur Perdagangan
Pada taraf permulaan, penyebaran agama Islam melalui perdagangan.
Kesibukan lalulitas perdagangan pada abad ke-7 hingga ke-16 M, membuat
pedagang-pedagang muslim, Arab Persia dan India turut mengambil bagian dalam
perdagangan negeri bagian Barat, Tenggara dan Timur Benua Asia. Jalur penyebaran
Islam melalui perdagangan ini sangat menguntungkan karena para raja dan
bangsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik
kapal dan saham.
Uka Tjandrasasmita (dalam Rais Idrus 2006:13) menyebutkan bahwa para
pedagang muslim banyak bermukim di pesisir pulau Jawa yang penduduknya ketika
itu masi kafir. Mereka berhasil mendirikan mesjid-mesjid dan mendatangkan ulamaulama dari luar sehingga jumlah mereka jadi banyak, dan karnanya anak-anak muslim
itu menjadi orang Jawa yang kaya-kaya. Pada beberapa tempat, penguasa-penguasa
jawa, yang menjadi pejabat sebagai bupati Majapahit yang ditempatkan di pesisir
Jawa utara banyak yang masuk Islam, bukan hanya faktor politik dalam negeri yang
sedang goyah, faktor hubungan ekonomi dengan pedagang-pedagang muslim. Dalam
perkembangan selanjutnya, mereka kemudian mengambil ahli perdagangan dan
kekuasaan di temmpat-tempat tinggalnya.
2. Jalur Perkawinan.
Dari sudut ekonomi, para pedagnang Muslim memiliki status social yang
lebih baik daripada kebanyakan pribumi, sehingga penduduk pribumi, terutama putriputri bangsawan, tertarik untuk menjadi istri saudagar-saudagar itu. Sebelum kawin,
mereka diislamkan terlebih dahulu. Setelah mereka mempunyai keturunan,
lingkungan mereka makin luas. Akhirnya, timbul kampung-kampung, daerah-daerah
dan kerajaan-kerajaan Muslim.
Dalam perkembangan berikutnya, ada pula wanita Muslim yang dikawani
oleh keturunan bangsawan, tentu saja setelah yang terakhir ini masuk Islam terlebih
dahulu. Jalur perkawinan ini lebih menguntungkan apabila terjadi antara saudagar
Muslim dengan anak bangsawan atau anak raja dan anak adipati, karena raja, adipati
atau bangsawan itu kemudian turut mempercepat proses Islamisasi. Demikianlah
yang terjadi antara Raden Rahmat atau Sunan Ampel dengan Nyai Manila, Sunan
Gunung Jati dengan Nyai Kawunganten, Brawijaya dengan putri Campa yang
menurunkan Raden Patah (raja pertama Demak) dan lain-lain. http://Saluran dan
Cara-cara Islamisasi Di Indonesia ~ Aji Raksa.htm
3. Jalur tasawuf
Pengajar-pengajar tasawuf atau para sufi, mengajarkan teosofi yang
bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka
mahir dalam soal-soal magis dan mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Di
antara mereka ada juga yang mengawini putri-putri bangsawan setempat. Dengan
tasawuf, “bentuk” Islam yang diajarkan keada penduduk pribumi mempunyai
persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu,
sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan diterima. Diantara ahli-ahli tasawuf
yang memberikan ajaran yang mengandung persaman dengan alam pikiran Indonesia
pra-Islam itu adalah Hamzah Fansuri di Aceh, Syeikh Lemah Abang, dan Sunan
Panggung di Jawa. Ajaran mistik seperti ini masih berkembang di abad ke-19 bahkan
di abad ke-20 M ini. . http://Saluran dan Cara-cara Islamisasi Di Indonesia ~ Aji
Raksa.htm
4. Jalur pendidikan
Peneyebaran agama Islam juga di lakukan melalui pendidikan, baik melalui
pendidikan pesantren, yang diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiyai-kiyai,dan
ulama-ulama, di tempat tersebut mereka mendapat pendidikan agama. Setelah keluar
dari pesantren, mereka pulang ke kampung masing-masing atau berdakwah ketempat
tertentu mengajarkan agama Islam, misalnya pesantren yang didirikan oleh Raden
Rahmat di Ampel Denta Surabaya, dan Sunan Giri di Giri, keluarga pesantren Giri ini
banyak yang di undang ke Maluku untuk mengajarkan agama Islam . http://Saluran
dan Cara-cara Islamisasi Di Indonesia ~ Aji Raksa.htm
5. Jalur kesenian.
Penyebaran agama Islam melalui jalur kesenian yang paling terkanal adalah
pertunjukan wayang, seperti sunan kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam
mementaskan wayang. Beliau tidaka meminta imbalan, tetapi meminta para penonton
untuk mengikuti ucapan kalimat syahadat. Sebagaian cerita wayang masi di petik dari
cerita mahabarat dan Ramayana, tetapi di dalam cerita ini masi di sisipkan ajaran dan
pahlawan islam. Kesenian-kesenian lain juga di jadikan alat peneybaran islam, seperti
sastra (hikayat,babat dan sebagainya) seni bangunan dan seni ukir. . http://Saluran
dan Cara-cara Islamisasi Di Indonesia ~ Aji Raksa.htm
6. Jalur politik
Di daerah Maluku dan Sulawesi selatan. kebanyakan rakyat masuk Islam
setelah rajanya memeluk agama Islam terlebih dahulu. Pengeruh politik raja sangat
membantu tersebarnya Islam di daerah ini, di samping itu, baik di Sumatra di Jawa
maupun Indonesia bagian timur demi kepentingan politik kerajaan-kerajaan islam
memerangi kerajaan non Islam. Kerajaan Islam secara politis banyak menarik
penduduk kerajaan bukan islam itu masuk Islam.
Berbagai gejala masuknya Islam di Indonesia jika di hubungkan dengan
masuknya Islam di Tidore mempunyai hubungan yang berarti. Perbedaan pendapat
pun mengemuka. Berbagai pendapat ini di mungkinkan oleh karna adanya berbagai
faktor, antara lain kurang sumber tulisan, sikap penelitian terhadap sumber tentang
masuknya Islam itu sendiri. . http://Saluran dan Cara-cara Islamisasi Di Indonesia ~
Aji Raksa.htm
1.4 Konsep Ritual
Pengertian ritual menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun,
2001 : 959) adalah hal ihwal ritual atau tata cara dalam upacara keagamaan. Upacara
ritual atau ceremony adalah sistem atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau
hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam
peristiwa yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan.
(Koentjaraningrat, 1990 : 190)
Dalam kajian antropologi agama, Victor Turner memberikan definisi
ritual, menurut Turner ritual dapat diartikan sebagai perilaku tertentu yang bersifat
formal, dilakukan dalam waktu tertentu secara berkala, bukan sekedar sebagai
rutinitas yang bersifat teknis, melainkan menunjuk pada tindakan yang didasari oleh
keyakinan religius terhadap kekuasaan atau kekuatan-kekuatan mistis.
Dalam analisis Djamari (1993: 36), ritual ditinjau dari dua segi: tujuan
(makna) dan cara. Dari segi tujuan, ada ritual yang tujuan¬nya bersyukur kepada
Tuhan; ada ritual yang tujuannya mendekatkan diri kepada Tuhan agar mendapatkan
keselamatan dan rahmat; dan ada yang tujuannya meminta ampun atas kesalahan
yang dilakukan. Adapun dari segi cara, ritual dapat dibedakan menjadi dua:
individual dan kolektif. Sebagian ritual dilakukan secara perorangan, bahkan ada
yang dilakukan dengan mengisolasi diri dari keramaian, seperti meditasi, bertapa, dan
yoga. Ada pula ritual yang dilakukan secara kolektif (umum), seperti khotbah, salat
berjamaah, dan haji.
George Homans (Djamari, 1993: 38) menunjukkan hubungan antara ritual
dan kecemasan. Menurut Homans, ritual berawal dari kecemasan. Dari segi
tingkatannya, ia membagi kecemasan menjadi: kecemasan yang bersifat “sangat”,
yang ia sebut kecemasan primer; dan kecemasan yang biasa, yang ia sebut kecemasan
sekunder.
Selanjutnya, Homans menjelaskan bahwa kecemasan primer melahirkan
ritual primer; dan kecemasan sekunder melahirkan ritual sekunder. Oleh karena itu, ia
mendefinisikan ritual primer sebagai upacara yang bertujuan mengatasi kecemasan
meskipun tidak langsung berpengaruh terhadap tercapainya tujuan- dan ritual
sekunder sebagai upacara penyucian untuk kompensasi kemungkinan kekeliruan atau
kekurangan dalam ritual primer.
2.5 Makna
Makna adalah bagian yang tidak terpisahkan dari semantik dan selalu melekat
dari apa saja yang kita tuturkan. Pengertian dari makna sendiri sangatlah beragam.
Mansoer Pateda (2001:79) mengemukakan bahwa istilah makna merupakan kata-kata
dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata
maupun kalimat. Menurut Ullman (dalam Mansoer Pateda, 2001:82) mengemukakan
bahwa makna adalah hubungan antara makna dengan pengertian.
Bloomfied (dalam Abdul Wahab, 1995:40) mengemukakan bahwa makna adalah
suatu bentuk kebahasaan yang harus dianalisis dalam batas-batas unsur-unsur penting
situasi di mana penutur mengujarnya. Terkait dengan hal tersebut, Aminuddin
(1998:50) mengemukakan bahwa makna merupakan hubungan antara bahasa dengan
bahasa luar yang disepakati bersama oleh pemakai bahsa sehingga dapat saling
dimengerti.
Dari pengertian para ahli bahasa di atas, dapat dikatakan bahwa batasan tentang
pengertian makna sangat sulit ditentukan karena setiap pemakai bahasa memiliki
kemampuan dan cara pandang yang berbeda dalam memaknai sebuah ujaran atau
kata.
Aspek-aspek makna dalam semantik menurut Mansoer Pateda ada empat hal,
yaitu :
1. Pengertian (sense)
Pengertian disebut juga dengan tema. Pengertian ini dapat dicapai apabila
pembicara dengan lawan bicaranya atau antara penulis dengan pembaca mempunyai
kesamaan bahasa yang digunakan atau disepakati bersama. Lyons (dalam Mansoer
Pateda, 2001:92) mengatakan bahwa pengertian adalah sistem hubungan-hubungan
yang berbeda dengan kata lain di dalam kosakata.
2. Nilai rasa (feeling)
Aspek makna yang berhubungan dengan nilai rasa berkaitan dengan sikap
pembicara terhadap hal yang dibicarakan. Dengan kata lain, nilai rasa yang berkaitan
dengan makna adalah kata-kata yang berhubungan dengan perasaan, baik yang
berhubungan dengan dorongan maupun penilaian. Jadi, setiap kata mempunyai
makna yang berhubungan dengan nilai rasa dan setiap kata mempunyai makna yang
berhubungan dengan perasaan.
3. Nada (tone)
Aspek makna nada menurut Shipley adalah sikap pembicara terhadap kawan
bicara ( dalam Mansoer Pateda, 2001:94). Aspek nada berhubungan pula dengan
aspek makna yang bernilai rasa. Dengan kata lain, hubungan antara pembicara
dengan pendengar akan menentukan sikap yang tercermin dalam kata-kata yang
digunakan.
4. Maksud (intention)
Aspek maksud menurut Shipley (dalam Mansoer Pateda, 2001: 95)
merupakan maksud senang atau tidak senang, efek usaha keras yang dilaksanakan.
Maksud yang diinginkan dapat bersifat deklarasi, imperatif, narasi, pedagogis,
persuasi, rekreasi atau politik.
1.5 Konsep Simbol
Muhammad Alfan (2013:153) Pengertian simbol dan simbolisasi secara
etimologi di ambil dari kata kerja Yunani yang artinya sumballa (sumbalen) yang
berarti berwawancara, merenungkan, membandingkan bertemu melemparkan jadi
satu, dan menyetukan. Pengertian itu mengandung arti bahwa symbol adalah
penyatuan dari dua hal menjadi satu, atau satu pengertian yang mengandung arti lebih
dari dua pemahaman.
Berpijak dari konsep tentang simbol atau lambang, peran symbol dalam
pertunjukan Badabus dapat di bedakan menjadi dua jenis yakni simbol melalui
perangkat lunak dan simbol melalui perangkat keras. Simbol melalui perangkat
lunak. Dapat dilihat melalui pemimpin Badabus (syeh) beserta rombongan atau
pelakunya, sedangkan simbol melalui perangkat keras, yaitu sarana yang di gunakan
serta sesajen yang di pergunakan.
Anton Baker (dalam Muhammad Alfan 2013:134) berpendapat bahwa simbol
adalah tenda yang sentral bagi manusia yang bersifat penting, efektif, dan emosional
serta eksistensial, juga menyeluruh dan total, juga menyeluruh dan total. Akan tetapi,
simbol bisa menjadi hanya sekedar sebagai alat (tampa makna) apabila tersisi dari
kehidupan. Kemudian menjadi mati, hanya konsep yang kemudian menjadi parsial
dan regional.
Download