PEDOMAN TATALAKSANA CEDERA OTAK (Guideline for Management of Traumatic Brain Injury) Editor: Joni Wahyuhadi Wihasto Suryaningtyas Rahadian Indarto Susilo Muhammad Faris Tedy Apriawan Tim Neurotrauma RSU Dr. Soetomo – Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, 2014 Tim Neurotrauma dan Kontributor Prof. Dr. dr. Abdul Hafid Bajamal, SpBS Prof. Dr. dr. Nancy Margarita Rahatta, SpAn. KIC Dr. dr. M. Arifin Parenrengi, SpBS Dr. dr. Agus Turchan, SpBS Dr. dr. Hamzah, SpAn. KNA Dr. dr. Joni Wahyuhadi, SpBS dr. Eko Agus Subagio, SpBS dr. Wihasto Suryaningtyas, SpBS dr. Rahadian Indarto Susilo, SpBS dr. Muhammad Faris, SpBS dr. Achmad Fahmi, SpBS dr. Nur Setiyawan Suroto, SpBS dr. Irwan Barlian Immadoel Haq, SpBS dr. Tedy Apriawan, SpBS dr. Alfan Syah Putra Nasution dr. Yusuf Hermawan dr. Mohammad Kamil dr. Geizar Arsika Ramadhana dr. Yusnita Rahman dr. Fendi Fatkhurrohman Gozi dr. Mochamad Rizki Yulianto dr. Yudhistira Kaysa Karim dr. Adi Wismayasa dr. Gibran Aditiara Wibawa dr. Fatkhul Adhiatmadja dr. Krisna Tsaniadi Prihastomo dr. Wisnu Baskoro Sekretariat Neurotrauma: SMF/ Departemen Ilmu Bedah Saraf RSU dr. Soetomo – FK Universitas Airlangga Jl. Mayjen Prof. Drg. Moestopo 6 – 8 Surabaya Telp: 031-5501325/ 5501304 Fax: 031-5025188 e-mail: [email protected] SAMBUTAN DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. SOETOMO, SURABAYA Assalamualaikum Wr. Wb. Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat Nya, Tim Neurotrauma RSUD Dr. Soetomo – Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, dapat menerbitkan buku “Pedoman Tatalaksana Cedera Otak” edisi kedua tahun 2014. Penyusunan buku pedoman ini adalah langkah maju untuk menjawab tantangan di bidang pelayanan, pendidikan, penelitian dan pengembangan. Di bidang pelayanan, pedoman ini dapat dimanfaatkan di setiap institusi yang berhubungan dengan penanganan cedera otak, sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan dan menurunkan angka kecacatan dan kematian akibat cedera otak. Rumah sakit dr. Soetomo selain memberikan pelayanan kepada masyarakat luas, juga merupakan tempat pendidikan baik bagi tenaga medis maupun paramedis, mulai dari jenjang diploma hingga spesialisasi. Besar harapan kami bagi seluruh peserta didik untuk dapat memanfaatkan pedoman ini dengan baik sehingga proses pendidikan dapat berjalan sinergis dengan pelayanan yang prima. Pedoman ini berdasar evidence base medicine dan disusun sedemikian rupa sehingga memberi peluang besar untuk pengembangan dan penelitian lebih lanjut. Beberapa fenomena kasus cedera otak masih mengundang pertanyaan yang saat ini belum semuanya terjawab dengan jelas. Kami berharap hasil kerja kerja keras ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi para klinisi yang memberi pelayanan, para konsultan, dan peserta didik dokter spesialis, dokter muda serta paramedis dalam memberikan pelayanan terbaik dan kemajuan di masa mendatang. Wassalamualaikum Wr. Wb Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya dr. Dodo Anondo, MPH SAMBUTAN DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA Assalamualaikum Wr. Wb. Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat-Nya Tim Neurotrauma RSU Dr. Soetomo – Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya dapat menerbitkan buku “Pedoman Tatalaksana Cedera Otak”, edisi kedua yang disusun berdasarkan Evidence Base Medicine (EBM). tepat, dan akurat. Pesatnya kemajuan ilmu dan tehnologi di bidang ilmu kedokteran, membawa perubahan yang mendasar pada pelayanan dan pendidikan khususnya bidang bedah syaraf. Cedera Otak adalah salah satu kasus emergency bidang bedah syaraf yang membutuhkan penanganan yang cepat, Pelayanan yang bermutu, yang didukung dengan pedoman baku yang ilmiah, merupakan bagian dari proses pendidikan yang sangat bermanfaat bukan hanya bagi pasien tetapi juga bagi peserta didik. Dalam sinergisme sistim pelayanan dan pendidikan yang terpadu ini, dipastikan akan muncul hal baru yang memberi lahan bagi pengembangan dan penelitian terutama di bidang neurotrauma. Besar harapan saya bahwa buku pedoman ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh mahasiswa kedokteran, dokter, peserta didik pendidikan spesialis, dokter spesialis, perawat, peserta didik keperawatan dan semua pihak yang terkait dalam proses pelayanan dan pendidikan. Pengembangan dan penyempurnaan ilmu yang telah ada selalu saya harapkan dan saya dukung untuk memperluas khazanah dan wawasan keilmuan. Kepada semua pihak yang telah bekerja keras menyiapkan dan menerbitkan buku pedoman ini, saya sampaikan penghargaan dan terima kasih setinggi-tingginya. Semoga bermanfaat dan terus berupaya mengembangkan keilmuan yang dimiliki demi kemanusiaan. Terima kasih. Wassalamualaikum Wr. Wb Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya Prof. Dr. Agung Pranoto, dr., M.Sc., Sp. PD-KEMD FINASIM KATA PENGANTAR Cedera otak sampai saat ini masih menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian para dokter, khususnya yang berkecimpung dalam bidang neurotrauma dan perawatan gawat darurat. Problem utama pada cedera otak adalah tingginya angka kecacatan dan kematian. Angka kematian di RSUD,Dr.soetomo tahun 2002 s/d 2006 berkisar antara 6 % sampai 12 % keadaan ini lebih tinggi dibanding dibeberapa senter di luar negeri yaitu antara 3-8 %. Hal yang mengembirakan angka mortalitas ini terus menurun dari tahun ke tahun dan pada tahun 2013 sebesar 3 %. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah, cedera otak banyak terjadi pada usia produktif yang tentu akan sangat mempengaruhi produktfitas dan kemajuan bangsa. Upanya memberikan pelayanan yang prima dan meningkatkan pengetahuan serta ketrampilan bagi para klinisi, sejawat dokter bedah saraf di pusat pelayanan kesehatan di daerah dan para peserta didik program spesialis bedah umum, bedah saraf, saraf dan anestesi serta para dokter muda dan tenaga para medis, maka kami susun buku pedoman ini yang berbasis ilmiah, dengan sistematika yang mudah dipahami. Buku ini dapat sebagai acuan dalam mengambil keputusan yang cepat dan tepat pada saat yang tepat dalam menangani penderita cedera otak. Kecepatan dan ketepatan adalah faktor utama untuk menurunkan angka kecacatan dan kematian akiba cedera pada susunan saraf. Semoga ALLAH SWT memberikan hidayah dan rahmadNYA sehingga tujuan mulya penyusunan pedoman ini dapat tercapai dan dapat memberikan manfaat demi kemanusiaan. Ketua Tim Neurotrauma RSUD.Dr.Soetomo-FK.Unair Surabaya. Prof. Dr. Abdul Hafid Bajamal, dr., Sp.BS. DAFTAR ISI SUSUNAN TIM NEUROTRAUMA SAMBUTAN Direktur RSU. Dr Soetomo Surabaya Dekan Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR SINGKATAN I. PENDAHULUAN 1 II. PROSES PEMBUATAN PEDOMAN 3 III. ACUAN PENATALAKSANAAN UMUM (GENERAL MEASURES) 6 III.1. Tatalaksana Cedera Otak di Triage 6 III.2. Langkah Tatalaksana Cedera Otak di Ruang Gawat Darurat 6 III.2.1 Perlindungan Umum (General precaution) 6 III.2.2 Stabilisasi Sistem Kardiorespirasi (ABC) dan Disabilitas 8 III.2.3 Prinsip Tatalaksana Cedera Otak atau Trauma Otak 8 III.3 Survey Sekunder 9 III.3.1 Anamnesis 9 III.3.2 Pemeriksaan Fisik Umum 9 III.3.3 Pemeriksaan Neurologis 10 III.4 Observasi 11 III.5 Pemeriksaan Foto Polos Kepala 11 III.6 Pemeriksaan CT Scan 12 III.7 Kriteria Masuk Rumah Sakit 12 III.8 Kriteria Pulang Pasien Cedera Kepala 13 III.9 Lembar Pesanan Saat Pulang 13 III.10 Kriteria Masuk Ruang Observasi Intensif ( ROI) 13 III.11 Kriteria Masuk Ruang High Care Unit ( HCU ) / Ruang F1 14 IV. ALGORITMA PENATALAKSANAAN PASIEN CEDERA KEPALA 15 IV.1. Algoritma Tatalaksana Cedera Otak Ringan 15 IV.2. Algoritma Tatalaksana Cedera Otak Sedang 16 IV.3. Algoritma Tatalaksana Cedera Otak Berat 17 V. REKOMENDASI TATALAKSANA PERAWATAN MEDIKAMENTOSA 18 V.1. Rekomendasi Penggunaan Obat Anti Kejang 18 V.2. Rekomendasi Penggunaan Manitol dan Hipertonik Saline 22 V.3. Rekomendasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis pada Pemasangan Kateter 26 Ventrikel V.4. Rekomendasi Penggunaan Analgetik 28 V.5. Rekomendasi Penggunaan Kortikosteroid 31 V.6. Rekomendasi Penggunaan Sedatif / Tranquilizer 33 V.7. Rekomendasi Pemberian Nutrisi 37 V.8. Rekomendasi Penggunaan Gastric Mucosal Protector dan Acid Suppresor Agent 40 V.9. Rekomendasi Penggunaan Citicoline 42 V.10. Rekomendasi Penggunaan Piracetam 44 V.11. Rekomendasi Penggunaan Neuropeptide 47 V.12. Rekomendasi Penggunaan sel punca (Stem Cell) 49 VI. REKOMENDASI ACUAN TATALAKSANA PEMBEDAHAN 50 (GUIDELINE FOR SURGICAL TREATMENT) VI.1. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Epidural (EDH) 50 VI.2. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Subdural (SDH) 52 VI.3. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Parenkim Otak 56 VI.4. Rekomendasi Pembedahan Pada Lesi Massa di Fosa Posterior 58 VI.5. Rekomendasi Pembedahan Pada Fraktur Basis Cranii 60 VI.6. Rekomendasi Pembedahan Pada Diffuse Axonal Injury (DAI) 63 VII. REKOMENDASI ACUAN PENGENDALIAN TEKANAN INTRAKRANIAL (GUIDELINE FOR 65 INTRACRANIAL PRESSURE MONITORING AND TREATMENT) VII.1. Indikasi Pemasangan Alat Pantau Tekanan Intrakranial – ventrikulostomi 65 VII.2. Manajemen Tekanan Intrakranial 66 VIII. ACUAN TATALAKSANA CEDERA OTAK TRAUMATIKA PADA ANAK 72 VIII.1. Resusitasi Tekanan Darah dan Oksigenasi 72 VIII.2. Indikasi Pemasangan Alat Monitor Tekanan Intrakranial 75 VIII.3. Ambang Terapi Tekanan Intrakranial yang Meningkat 80 VIII.4. Penggunaan Terapi Hyperosmolar untuk Mengendalikan Tekanan Intrakranial 83 VIII.5. Peran Pengeluaran LCS pada Pengendalian TIK 87 VIII.6. Peran Hiperventilasi pada Tatalaksana Akut Pasien Pediatrik dengan COB 89 VIII.7. Pembedahan untuk Hipertensi Intrakranial pada Pediatri 91 IX. CEDERA OTAK TERKAIT OLAHRAGA 99 IX. PENUTUP 103 Cover dalam : Operasi Kepala. Dikutip dari Wilkins RH dan Rengachary SS (Eds). Neurosurgery. 2nd edition. McGraw-Hill. New York, 1996 DAFTAR SINGKATAN CBF : Cerebral Blood Flow CMRO2 : Cerebral Metabolic Rate of O2 COB : Cedera Otak Berat COR : Cedera Otak Ringan COS : Cedera Otak Sedang CPP : Cerebral Perfusion Pressure CSF : Cerebro Spinal Fluid CSS : Cairan Serebro Spinal CT Scan : Computed Tomography Scanning EDH : Epidural Hematoma EVD : External Ventricular Drainage GCS : Glasgow Coma Scale HCU : High Care Unit ICP : Intracranial Pressure IRD : Instalasi Rawat Darurat KRS : Keluar Rumah Sakit LCT : Long Chain Triglycerides LCU : Low Care Unit MAP : Main Arterial Pressure MCT : Medium Chain Triglycerides MRS : Masuk Rumah Sakit NSAID : Non Steroidal Anti Inflamatory Drugs PPI : Proton Pump Inhibitor RCT : Randomized Control Trial ROI : Ruang Observasi Intensif SDH : Sub Dural Hematoma SRMD : Stress Related Mucosa Damage TBI : Traumatic Brain Injury TIK : Tekanan Intra Kranial AAN : American Academy of Neurology I. PENDAHULUAN Cedera otak masih merupakan problem yang banyak dihadapi oleh ahli bedah saraf, dan di Indonesia masih menjadi penyebab utama dari kecacatan, kematian dan biaya tinggi. Perkembangan pengetahuan mengenai patofisiologi dan tatalaksana cedera otak, sangat pesat pada dekade terakhir ini. Salah satu konsep sentral yang didasarkan pada penelitian laboratorium, klinis dan biomolekuler serta genetika, bahwa kerusakan neurologis tidak hanya terjadi pada saat terjadinya impak cedera, melainkan berkembang pada jam-jam dan hari-hari berikutnya. Kerusakan sistim syaraf dipengaruhi juga oleh kerentanan pasien terhadap cedera. Perkembangan patofisiologi ini memacu berkembang metode penanganan yang komprehensif, metode neurorestorasi dan rehabilitasi, dalam rangka meningkatkan outcome dari pasien cedera otak. Cedera otak atau sering disebut neurotrama, masih merupakan masalah yang serius di RSUD dr Soetomo. Dari data pasien cedera otak yang datang ke RSUD Dr. Sutomo sejak tahun Januari 2002 hingga Desember 2013, didapatkan data: Data Penderita Cedera Otak RSU Dr. Soetomo Th. 2002 - 2013 Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 • Ʃ penderita CO 2005 1910 1621 1670 1588 1231 1339 1487 916 1050 1026 1411 Ʃ penderita COB 455 467 275 199 195 159 196 209 126 145 173 166 Total Kematian 225 210 134 103 98 75 81 76 123 124 106 101 % 11.22 10.99 8.27 6.17 6.17 6.09 6.05 5.11 13.4 11.8 9.96 7.1 Total kematian COB 169 127 81 65 49 30 38 29 98 96 72 80 % 37.14 27.19 29.45 32.66 25.13 18.85 19.34 13.87 77.7 66.2 41.6 48.1 Angka kematian pada semua tingkat keparahan cedera kepala berkisar antara 6,171 % hingga 11,22 %. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan standar literatur internasional, yaitu berkisar antara 3-8 %. 1 • Berdasarkan tingkat keparahannya, mortalitas pasien cedera otak berat masih tinggi, berkisar antara 25,13% hingga 37,14%, dengan kecenderungan menurun. Angka ini relatif tinggi dibanding dengan literatur yaitu 22 %. • Angka operasi berkisar antara 18,87% sampai 25,27% dari seluruh pasien cedera otak yang datang ke IRD. Tingginya morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan cedera otak di RSU Dr. Soetomo menunjukkan bahwa cedera otak memerlukan penanganan yang komprehensif. Prehospital care dan Hospital care merupakan faktor yang sangat penting untuk dibenahi dan ditingkatkan dalam rangka menurunkan morbiditas dan mortalitas. Pembenahan Hospital Care meliputi: 1. Pembenahan tatalaksana, dengan cara: a. Pembuatan guideline yang merupakan pedoman praktek kedokteran (PPK) yang juga berisi algoritma tatalaksana cedera otak. b. Peningkatan kemampuan sumber daya manusia (provider) c. Pemenuhan sarana dan prasarana gawat darurat d. Pemenuhan sarana dan prasarana perawatan high care unit (HCU) e. Penelitian dan pengembangan klinis dan laboratoris 2. Pembenahan tatalaksana Pre-Hospital care, dengan cara: a. Sosialisasi Guideline b. Peningkatan sistem rujukan c. Peningkatan kemampuan sumber daya manusia dengan cara pendidikan berkelanjutan. 3. Kerjasama dengan pusat neurotrauma lain 4. Evaluasi berkala Target pencapaian adalah menurunnya mortalitas dan morbiditas sebesar 1% per tahun di RSUD Dr. Sutomo, sehingga pada lima tahun pertama tercapai angka morbiditas dan mortalitas yang sama dengan pusat neurotrauma internasional. Langkah awal adalah tersusunnya pedoman ini. 2 II. PROSES PEMBUATAN PEDOMAN Proses pembuatan guideline atau Pedoman Praktek klinik cedera otak, diawali pada tahun 2004 di SMF/ Lab. Bedah Saraf RSUD Dr. Soetomo – FK Universitas Airlangga dengan membentuk tim neurotrauma yang terdiri dari para ahli bedah saraf, anestesi, peserta didik spesialis bedah saraf dan anestesi serta paramedis di Instalasi Rawat Darurat dan Instalasi Rawat Inap Bedah. Tim neurotrauma melakukan pengumpulan data, identifikasi masalah, opini, pengalaman praktis dan studi literatur serta penelitian yang berkaitan dengan cedera otak. Pedoman ini terdiri dari dua bagian besa, yaitu algoritma tatalaksana cedera otak di RSUD Dr. Soetomo dan rekomendasi untuk perawatan dan terapi baik dengan intervensi pembedahan maupun tanpa pembedahan. Pembuatan pedoman ini berdasarkan evidence based medicine dengan membagi tingkat terapi maupun intervensi menjadi tiga kategori rekomendasi yaitu A, B dan C (Adelson 2003; Mod. SIGN / Scottish Intercollegiate Guideline Network 2011) : A. Didapat dari level pembuktian klas I, adalah metode terapi atau intervensi / pembedahan yang diperoleh dari penelitian yang bersifat prospektif randomized controlled trial (RCT) atau meta analisis dari penelitian yang bersifat RCT. Metode ini merupakan gold standard atau standard (high degree of clinical certainty). B. Didapat dari level pembuktian klas II, adalah metode terapi atau intervensi / pembedahan yang diperoleh dari penelitian yang bersifat analisis baik prospektif maupun retrospektif (studi observasional, kohort, kasus-kontrol, dan studi prevalensi). Metode ini merupakan guideline (moderate clinical certainty). C. Didapat dari level pembuktian klas III, adalah metode terapi atau intervensi / pembedahan yang diperoleh dari penelitian retrospektif, serial case, dari data registrasi pasien, laporan kasus, review kasus, dan pendapat ahli (level pembuktian IV). Metode ini merupakan option (unclear clinical certainty). 3 Level of Evidence (pembuktian klas) Mod. SIGN ( Scottish Intercollegiate Guideline Network ) 2011 level of No Evidence finding Evidence 1. I-a Evidence diperoleh berdasar hasil metaanalisis atau sistemik review dari berbagai uji klinik acak dengan kontrol/kelola (randomized controlled trials Study / RCT) 2. I -b Evidence berasal dari minimal satu uji klinik acak dengan kontrol/kelola ( RCT) 3. II - a Evidence berasal dari paling sedikit satu uji klinik dengan pembanding, tapi tanpa randomisasi 4. II - b Evidence berasal dari paling sedikit satu hasil penelitian dengan rancangan quasi-eksperimental 5. III Evidence berasal dari penelitian deskriptif non eksperimental (studi komparatif, korelasi dan studi kasus) 6. IV Evidence berasal dari laporan komite ahli atau opini, maupun pengalaman klinik ahli yang diakui. KLASIFIKASI REKOMENDASI ( EBM-HTA ) Adelson, 2003 : (Diagnostik maupun Tindakan) 1. Gold Standard (High degree of clinical certainty) > ( I-a, I-B ) Rekomendasi : A 2. Guideline (Moderate clinical certainty) > ( II-a, II-b) Rekomendasi : B 3. Option (Unclear clinical certainty) > ( III- IV ) Rekomendasi : C 4 Sistematika penulisan dan isi dari pedoman adalah sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kondisi di RSUD Dr. Soetomo sebagai rumah sakit tersier tipe A pendidikan. Diharapkan secara mudah para klinisi, konsultan, peserta didik program dokter spesialis dan mahasiswa kedokteran serta paramedis dapat menggunakannya. Acuan dan rekomendasi yang disarankan, diperoleh dari penelitian klinis dan laboratorium serta eksplorasi jurnal atau referensi, sehingga sangat mungkin berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Secara berkala pedoman ini akan dilakukan evaluasi dan dilakukan penelitian pendukung sehingga dihasilkan acuan dan rekomendasi dengan tingkat kepercayaan klinis (clinical certainty) yang lebih tinggi. Editor 5 III. ACUAN PENATALAKSANAAN UMUM ( GENERAL MEASURES ) III. 1. Tatalaksana Cedera Otak di Triage IRD Triage atau penapisan, bertugas memeriksa tanda vital dan memberi label sesuai kegawatan. Semua pasien cedera otak segera dikonsultasikankan pada dokter jaga bedah saraf. III.2. Langkah-langkah Tatalaksana Cedera Otak di Ruang Gawat Darurat 1. General precaution 2. Stabilisasi Sistem Kardiorespirasi (Airway, Breathing, Circulation) 3. Survey sekunder (pemeriksaan status general terdiri dari anamnesa dan pemeriksaan fisik seluruh organ) 4. Pemeriksaan neurologis 5. Menentukan diagnosis klinis dan pemeriksaan tambahan 6. Menentukan diagnosis pasti 7. Menentukan tatalaksana III.2.1. Perlindungan Umum (General precaution ) Perlindungan umum (General precaution) terdiri dari : a. Informed to Consent dan Informed Consent b. Perlindungan diri No 1. 2. 3. 4. Jenis Perlindungan Mencuci tangan dengan antiseptik - setelah terkena darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi atau benda yang terkontaminasi - segera setelah melepas sarung tangan - diantara pemeriksaan 2 pasien yang berbeda Pemakaian sarung tangan - jika akan menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi atau benda – benda yang terkontaminasi - jika bersentuhan dengan mukosa atau kulit yang tidak intak Pemakaian Masker, dan goggles - untuk melindungi mukosa mata, hidung dan mulut ketika akan berhadapan dengan darah atau cairan tubuh Pemakaian Jubah Pelindung ( gowns) - untuk melindungi kulit dari darah atau cairan tubuh 6 5. 6. 7. 8. 10. 11. mencegah pakaian terkena kotoran selama prosedur pemeriksaan yang melibatkan kontak dengan darah dan cairan tubuh Linen - hindari kontak kulit dan mukosa dengan linen kotor yang terkontaminasi - jangan mencuci linen kotor di daerah perawatan pasien Alat perawatan pasien - hindari kontak kulit dan mukosa dengan alat yang telah terkontaminasi dan jangan sampai mengenai baju yang dipakai serta lingkungan sekitarnya - alat yang telah dipakai harus dicuci sebelum digunakan kembali Kebersihan lingkungan - area perawatan pasien harus dibersihkan secara rutin dengan menggunakan desinfektan Benda tajam - jangan menutup ulang jarum suntik yang telah digunakan - jangan melepas jarum suntik bekas dari syringnya - jangan membengkokkan, mematahkan atau memanipulasi jarum bekas dengan tangan - buang benda tajam di dalam kontainer anti tembus. Resusitasi pasien - hindari resusitasi dari mulut ke mulut. Gunakan mouthpiece, resusitation bags, atau alat bantu ventilasi lain. Penempatan pasien - pasien yang dapat menimbulkan kontaminasi pada lingkungan ditempatkan pada ruangan khusus Tabel 3.1 Perlindungan Umum (General Precaution) ( Dikutip dari Guidelines for Healthcare Facilities with Limited Resources ) c. Persiapan alat dan sarana pelayanan Sebelum melakukan tindakan maka dokter bertanggung jawab dalam kelengkapan dan keberfungsian dari alat dan sarana kesehatan yang diperlukan dalam tindakan yang akan dilakukan. Sebelum melakukan tindakan medik maka dokter yang akan melakukan tindakan harus melakukan persiapan dan mejamin bahwa alat dan sarana yang akan dipakai lengkap dan terjamin keselamatannya. 7 III.2.2 Stabilisasi Sistem Kardiorespirasi (ABC) dan Disabilitas Pemeriksaan Evaluasi Perhatikan, catat, dan perbaiki A. Airway Patensi saluran napas ? Obstruksi ? Suara tambahan ? B. Breathing Apakah oksigenasi Rate dan depth Efektif…. ? Gerakan dada Air entry Sianosis C. Circulation Apakah perfusi Adekuat …..? Pulse rate dan volume Warna kulit Capilarry return Perdarahan Tekanan darah D. Disability ( status neurologis ) Apakah ada kecacatan Tingkat kesadaran- neurologis …? menggunakan sistem GCS atau AVPU. Pupil (besar, bentuk, reflek cahaya, bandingkan kanan-kiri) E. Exposure Cedera organ lain… ? (buka seluruh pakaian) Jejas, deformitas, dan gerakan ekstremitas. Evaluasi respon terhadap perintah atau rangsang nyeri Tabel 3.2 Survei Primer Pasien cedera otak III.2.3. Prinsip Tatalaksana Cedera Otak atau Trauma Otak 1. Penanganan cedera otak primer 2. Mencegah dan menamgani cedera otak sekunder 3. Optimalisasi metabolisme otak 4. Rehabilitasi 8 III.3. Survey Sekunder III.3.1 Anamnesis Informasi yang diperlukan adalah: – Identitas pasien: Nama, Umur, Sex, Suku, Agama, Pekerjaan, Alamat – Keluhan utama – Mekanisma trauma – Waktu dan perjalanan trauma – Pernah pingsan atau sadar setelah trauma – Amnesia retrograde atau antegrade – Keluhan : Nyeri kepala seberapa berat, penurunan kesadaran, kejang, vertigo – Riwayat mabuk, alkohol, narkotika, pasca operasi kepala – Penyakit penyerta : epilepsi, jantung, asma, riwayat operasi kepala, hipertensi dan diabetes melitus, serta gangguan faal pembekuan darah III.3.2 Pemeriksaan fisik Umum Pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi, serta pemeriksaan khusus untuk menentukan kelainan patologis, dengan metode: – Dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki atau, – Per organ B1 – B6 (Breath, Blood, Brain, Bowel, Bladder, Bone) Pemeriksaan fisik yang berkaitan erat dengan cedera otak adalah: 1. Pemeriksaan kepala Mencari tanda : a. Jejas di kepala meliputi; hematoma sub kutan, sub galeal, luka terbuka, luka tembus dan benda asing. b. Tanda patah dasar tengkorak, meliputi; ekimosis periorbita (brill hematoma), ekimosis post auricular (battle sign), rhinorhoe, dan otorhoe serta perdarahan di membrane timpani atau leserasi kanalis auditorius. c. Tanda patah tulang wajah meliputi; fraktur maxilla (Lefort), fraktur rima orbita dan fraktur mandibula d. Tanda trauma pada mata meliputi; perdarahan konjungtiva, perdarahan bilik mata depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata. 9 e. Auskultasi pada arteri karotis untuk menentukan adanya bruit yang berhubungan dengan diseksi karotis 2. Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang. Mencari tanda adanya cedera pada tulang servikal dan tulang belakang dan cedera pada medula spinalis. Pemeriksaan meliputi jejas, deformitas, status motorik, sensorik, dan autonomik. III.3. 3 Pemeriksaan Neurologis Pemeriksaan status neurologis terdiri dari : a. Tingkat kesadaran : berdasarkan skala Glasgow Coma Scale (GCS). Cedera kepala berdasar GCS, yang dinilai setelah stabilisasi ABC diklasifikasikan: GCS 14 – 15 : Cedera otak ringan (COR) GCS 9 – 13 : Cedera otak sedang (COS) GCS 3 – 8 : Cedera otak berat (COB) b. Saraf kranial, terutama: • Saraf II-III, yaitu pemeriksaan pupil : besar & bentuk, reflek cahaya, reflek konsensuil à bandingkan kanan-kiri • Tanda-tanda lesi saraf VII perifer. c. Fundoskopi dicari tanda-tanda edema pupil, perdarahan pre retina, retinal detachment. d. Motoris & sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah mencari tanda lateralisasi. e. Autonomis: bulbocavernous reflek, cremaster reflek, spingter reflek, reflek tendon, reflek patologis dan tonus spingter ani. 10 III.4 Observasi Menggunakan lembar observasi umum ( tanda vital: tensi, nadi, pernafasan, dan suhu) dan lembar observasi neurologis khusus bedah saraf. Contoh lembar observasi neurologis sebagai berikut: Gambar 3.1 Lembar observasi status neurologis. Data menunjukkan penurunan tingkat kesadaran disertai dilatasi pupil dan hemiparesis. GCS menurun dari 15 menjadi 5 menunjukkan bahwa telah terjadi keterlambatan penanganan. Data ini menggambarkan penanganan yang kurang tepat III.5 Pemeriksaan Foto Polos Kepala Indikasi pemeriksaan foto polos kepala : 1. Kehilangan kesadaran, amnesia 2. Nyeri kepala menetap 3. Gejala neurologis fokal 4. Jejas pada kulit kepala 11 5. Kecurigaan luka tembus 6. Keluar cairan cerebrospinal atau darah dari hidung atau telinga 7. Deformitas tulang kepala, yang terlihat atau teraba 8. Kesulitan dalam penilaian klinis : mabuk, intoksikasi obat, epilepsi, anak 9. Pasien dengan GCS 15, tanpa keluhan dan gejala tetapi mempunyai resiko : benturan langsung atau jatuh pada permukaan yang keras, pasienusia > 50 tahun. III.6. Pemeriksaan CT Scan Indikasi pemeriksaan CT kepala pada pasien cedera kepala : 1. GCS< 13 setelah resusitasi. 2. Deteorisasi neurologis : penurunan GCS 2 poin atau lebih, hemiparesis, kejang. 3. Nyeri kepala, muntah yang menetap 4. Terdapat tanda fokal neurologis 5. Terdapat tanda Fraktur, atau kecurigaan fraktur 6. Trauma tembus, atau kecurigaan trauma tembus 7. Evaluasi pasca operasi 8. pasien multitrauma ( trauma signifikan lebih dari 1 organ ) 9. Indikasi sosial III.7 Kriteria Masuk Rumah Sakit Pasien cedera kepala akan dirawat di rumah sakit dengan kriteria sebagai berikut: 1. Kebingungan atau riwayat pingsan / penurunan kesadaran 2. Keluhan dan gejala neurologik, termasuk nyeri kepala menetap dan muntah 3. Kesulitan dalam penilaian klinis, misalnya pada alkohol, epilepsi 4. Kondisi medik lain : gangguan koagulasi, diabetes mellitus 5. Fraktur tengkorak 6. CT scan abnormal 12 7. Tak ada yang dapat bertanggung jawab untuk observasi di luar rumah sakit 8. Umur pasien diatas 50 tahun 9. Anak-anak 10. Indikasi sosial III.8 Kriteria Pulang Pasien Cedera Kepala Kriteria pasien cedera kepala dapat dipulangkan dengan pesan : - Sadar dan orientasi baik, tidak pernah pingsan - Tidak ada gejala neurologis - Keluhan berkurang, muntah atau nyeri kepala hilang - Tak ada fraktur kepala atau basis kranii - Ada yang mengawasi di rumah - Tempat tinggal dalam kota III.9 Lembar Pesanan saat Pulang Pasien cedera kepala yang pulang diberi lembar peringatan. Harap segera dibawa ke IRD bila : - Muntah makin sering - Nyeri kepala atau vertigo memberat - Gelisah atau kesadaran menurun - Kejang - Kelumpuhan anggota gerak III.10 Kriteria Masuk Ruang Observasi Intensif (ROI) Kriteria pasien cedera otak yang memerlukan perawatan di ROI : - GCS < 8 - GCS < 13 dg tanda TIK tinggi - GCS < 15 dengan lateralisasi - GCS < 15 dengan Hemodinamik tidak stabil. - Cedera kepala dengan defisit neurologis belum indikasi tindakan operasi. 13 - Pasien pasca operasi Kriteria pasien pindah dari ROI ke Ruang HCU / F1 - pasien cedera kepala yang tidak memerlukan ventilator dan transportable ( layak transport ). III.11 Telah dilakukan koordinasi dengan ruang HCU / F1 Kriteria masuk Ruang High Care Unit (HCU) / Ruang F1 - Pasien dengan CT scan abnormal yang belum indikasi operasi - Pasien COR dan COS yang tidak memenuhi kriteria masuk ROI dan memerlukan observasi ketat. - Pasien yang memerlukan perawatan dengan observasi ketat paska pindah dari ICU/ROI IRD. 14 IV. ALGORITMA PENATALAKSANAAN PASIEN CEDERA OTAK IV.1 Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Otak Ringan Pasien 1. 2. 3. 4. 5. 6. IRD Stabilisasi airway, breathing dan sirkulasi (ABC) Anamnesis, fisik diagnostik Pemeriksaan radiologis, sesuai indikasi Pemeriksaan lab : DL dan GDA + Lab lain sesuai indikasi Tx. Simtomatik + Antibiotik sesuai indikasi Lapor jaga bedah saraf MRS di ruang HCU - F OPERASI ICU - ROI • Infus 0,9 NS 1,5 ml/kgBB/jam (anak < 2 tahun: D5 0.25 NS) • Puasa 6 jam • Obat simptomatik IV atau supp • Observasi ketat sebagai pasien cidera otak • Catat keadaan vital dan neurologis bila akan dikirim ke ruangan perawatan • Serah terima penderita serta informasi lengkap keadaan penderita VS. Stabil Neurologis Stabil Cepat memburuk R. Perawatan ( LCU ) Resusitasi + Rediagnosis KRS ICU ROI - 1 Operasi 15 IV.2 Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Otak Sedang Penderita • Stabilisasi airway, breathing dan sirkulasi (ABC), pasang collar brace • Lapor jaga bedah saraf • Atasi hipotensi dengan cairan isotonis, cari penyebabnya • Pemeriksaan darah (DL, BGA, GDA, cross match) • Bila tensi stabil, infus 0,9 NS 1,5 ml/kgBB/jam • Anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis • Obat simptomatik IV atau supp • Bila telah stabil à CT scan kepala, foto leher lat, thorak foto AP Pemeriksaan radiologis lain atas indikasi • Pasang kateter, evaluasi produksi urine IRD Operatif MRS di ruang HCU - F ICU-ROI Membaik VS. Stabil Neurologis Stabil Memburuk • Stabilisasi + Resusitasi • Rediagnosis cito ICU - ROI Operasi Ruang Perawatan (LCU) 16 IV.3 Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Otak Berat Penderita IRD Lapor jaga bedah saraf • Resusitasi airway, breathing dan sirkulasi • Bersihkan lendir, benda asing, jawthrust bila perlu, kepala tidak boleh hiperextensi, hiperflexi atau rotasi, pasang orofaring atau nasofaring tube bila perlu. Bila ada sumbatan jalan nafas akut dilakukan cricothyrotomi dan persiapan intubasi atau tracheostomi • Intubasi + kontrol ventilasi ( PCO2 35 – 40 mmhg,, PaO2 : 80 – 200 atau Spo2 >97 % ), pasang pipa lambung • Pasang collar brace • Lihat gerakan nafas, auskultasi, palpasi, perkusi dada. Cari tandatanda pneumothorak, hematothorak, flail chest atau fraktur costa.. • Bila shock, berikan cairan isotonis (RL, NaCl, atau koloid atau darah). Cari penyebab, atasi, pertahankan tensi > 90 mmHg. • Ada tanda-tanda TIK meningkat dan tidak ada hipotensi atau gagal ginjal dan atau gagal jantung, à manitol 20% 200 ml bolus dalam 20 menit atau 5 ml/kgBB, dilanjutkan 2 ml/ kgBB dalam 20 menit setiap 6 jam, jaga osmolalitas darah < 320 mOsm. • Bila kejang : Diazepam 10 mg iv pelan, dapat ditambah hingga kejang berhenti. Awasi depresi nafas, dilanjutkan phenitoin bolus10-18 mg/kgBB encerkan dengan aqua steril 20 ml iv pelan, dilanjutkan 8 mg/kgBB • Bila telah stabil Infus cairan isotonis (NaCl 0,9 %) 1,5 ml/kgBB/jam pertahankan euvolume,pemasangan CVP atas indikasi. . Pemeriksaan lab à DL, BGA, GDA, cross match • Anamnesis à pemakaian obat-obatan, sedasi, narkotika, intake terakhir, alergi • Pemeriksaan fisik umum dan neurologis • Obat simptomatik IV atau supp dan antibiotika sesuai indikasi • Pasang kateter, catat keadaan dan produksi urine • Tanda vital stabil à CT scan kepala, foto leher lat, thorak fot AP, • Pemeriksaan radiologis lain atas indikasi • Pemeriksaan refleks batang otak. Hati-hati pada pemeriksaan reflek oculocephalik • Pasang ICP monitor, pertahankan tekanan <15 mmhg.atau<22 cm H2O pada pasien yang tidak ada indikasi operasi lesi intrakranial. Bila ada lesi intrakranial indikasi operasi, ICP monitor dipasang bersamaan saat operasi emergensi • Bila keadaan fungsi vital telah stabil • Catat keadaan terakhir sebelum dikirim ke ruangan ICU • Lakukan serah terima secara lengkap ( keadaan penderita, obat-obatan yang diberikan dan rencana perawatan) Operasi MRS di ICU -ROI R. HCU - F R. Perawatan (LCU) 17 V. REKOMENDASI TATALAKSANA PERAWATAN MEDIKAMENTOSA V.1 Rekomendasi Penggunaan Obat Anti Kejang Standard : Belum ada data yang mendukung Guideline 1) Profilaksis anti kejang efektif diberikan pada 1 minggu pertama pasca trauma. Alternatif obat yang efektif adalah phenytoin dan levetiracetam. 2) Pengobatan profilaksis anti kejang sebaiknya tidak rutin dilakukan setelah 7 hari pasca trauma karena tidak menurunkan resiko kejang fase lanjut pasca trauma. 3) Pemberian profilaksis fenitoin efektif untuk mencegah kejang fase dini pasca trauma Option :- Penjelasan Rekomendasi : Penggunaan obat anti kejang tidak direkomendasikan untuk pencegahan kejang pasca trauma tipe lanjut (late type) karena sudah terbentuk fokus epilepsi. Diperbolehkan untuk menggunakan obat anti kejang sebagai profilaksis terhadap terjadinya kejang pasca trauma tipe dini yang terjadi dalam 7 hari pasca trauma (early type) pada pasien yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadi kejang pasca trauma. Fenitoin atau Carbamazepin terbukti efektif untuk kejang pasca trauma tipe dini oleh karena pada fase ini belum terbentuk fokus epilepsi. Penelitian Torbic tahun 2013 tentang levetiracetam sebagai obat anti epilepsi terbaru menunjukkan bahwa levetiracetam memiliki efikasi yang sebanding dengan fenitoin sebagai profilaksis kejang pasca trauma dan dibandingkan fenitoin, levetiracetam memiliki efek samping yang lebih sedikit. Kriteria pasien risiko tinggi kejang pasca trauma: 1. GCS ≤ 10 2. Immediate seizures 3. Kontusio kortikal 4. Fraktur linier 5. Penetrating Head Injury 18 6. Fraktur depresi 7. Alkoholik kronis 8. Post traumatic Amnesia> 30 menit 9. Epidural, subdural, atau intracerebral hematom 10. Defisit neurologis fokal 11. Usia ≥ 65 tahun atau ≤15 tahun Dosis dan cara pemberian : Pengobatan profilaksis dengan fenitoin untuk menurunkan resiko kejang pasca trauma tipe awal dimulai dengan dosis loading segera setelah trauma. Dosis loading untuk dewasa 15-20 mg/kgBB dalam 100 cc NS 0,9% dengan kecepatan infus maksimum 50 mg/menit.Pada pasien pediatri dosis loading fenitoin yang direkomendasikan 10-20 mg/kgBB, diikuti dosis rumatan 5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-3 dosis. Dosis rumatan dapat ditingkatkan hingga 10 mg/kgBB/hari untuk mencapai konsentrasi serum antara 10-20 mcg/ml. Pengobatan profilaksis dengan levetiracetam dilakukan dengan cara pemberian dosis 500 mg setiap 12 jam selama 7 hari setelah cedera otak tanpa pemberian loading dose. Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1 Penulis Deskripsi Penilaian TP/DR II/B Kesimpulan Temkin Penelitian Fenitoin hanya efektif untuk et al., 1990 randomized double mencegah kejang dini pasca blind untuk trauma mengetahui efektifitas pemberian feniotin untuk mencegah kejang pasca trauma 2 Golden N, Penelitian II/B Faktor resiko terjadinya epilepsi 1996 retrospektif dengan pasca trauma dini: rancangan case -usia < 15 tahun 19 control study untuk -fraktur depress mengetahui -lesi intrakranial pengaruh faktor -defisit neurologis fokal risiko terhadap angka kejadian epilepsi pasca trauma dini 3 Annegers Penelitian II/B Faktor resiko yang signifikan: et al., 1998 retrospektif untuk - subdural hematom mengetahui - skull factures karakteristik cedera - amnesia lebih dari satu hari otak yang - usia > 65 tahun berhubungan dengan timbulnya kejang pasca trauma 4 Temkin Penelitian II/B Tidak didapatkan perbedaan et al., 1999 randomized double- yang signifikan untuk terjadinya blind untuk kejang pasca trauma lanjut mengetahui pada pasien yang mendapatkan efektifitas fenitoin terapi fenitoin selama 1 minggu yang diberikan dibandingkan dengan yang selama 1 minggu mendapatkan terapi asam dibandingkan asam valproat selama 1 atau 6 bulan valproat yang diberikan selama 1 atau 6 bulan sebagai profilaksis kejang pasca trauma 5 Chang SB, Meta analisis II/B Pengobatan profilaksis dengan Lowenstein beberapa penelitian Fenitoin, dimulai dengan dosis DH, 2003 level l,ll untuk loading segera setelah trauma 20 mengetahui peranan efektif menurunkan resiko profilaksis obat anti kejang dini pasca trauma. epilepsi pada Profilaksis tidak efektif untuk penderita cedera kejang fase lanjut. Faktor resiko otak berat terjadinya kejang : cedera otak berat, amnesia atau tidak sadar berkepanjangan, hematom intrakranial atau kontusio serebri, dan fraktur depress. 6 Torbic H Meta analisis II/B Profilaksis anti kejang efektif et al., 2013 penelitian level I diberikan pada 1 minggu dan II untuk pertama pasca trauma. mengetahui Alternatif obat yang efektif efektivitas obat- adalah phenytoin dan obatan anti kejang levetiracetam. dan faktor risikonya Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research Referensi Algattas H and Huang JH. Traumatic brain injury pathophysiology and treatments: early, intermediate and late phases post injury. Int. J. Mol. Sci. 2014, 15, 309-41; doi: 10.3390/ijms 15010309. Annegers JF et al. A Population Based Study of Seizure After Traumatic Brain lnjuries. TheNEJM 1998 Chang S, Bemard and Lowenstein H Daniel. Practice parameter: Antiepileptic drug prophylaxis insevere traumatic brain injury : Report of the Qua|ity Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurotogy 2003; 60:10-6. Golden N. Pengaruh Faktor Resiko terhadap Angka Kejadian Epilepsi Pasca Trauma Dini di RSUD Dr Soetomo. Karya Tulis Akhir PPDS I llmu Bedah Saraf, Lab AJPF Bedah Saraf FK Unair/RSUD Dr Soetomo. 1996 21 Temkin et al. A randomized double blind study of phenytoin for prevention of post traumaticseizures. The NEJM 1990; 323 :497-502. Temkin et al. Valproate therapy for prevention of post traumatic seizures: a randomized trial. J Neurosurg 1999;91:593–600. Torbic H et al. Use of antiepileptics for seizure prophylaxis after traumatic brain injury. Am J Health-Syst Pharm. 2013; 70:759-66 V2. Rekomendasi penggunaan manitol dan Sodium Laktat Hipertonis Standard Terapi dengan menggunakan larutan sodium laktat hiperosmolar lebih efektif dalam menurunkan TIK bila dibandingkan dengan manitol Guideline Manitol membantu menurunkan TIK pada pasien COB. Pemberian secara bolus dengan dosis 0,25–1 gr/kgBB lebih dianjurkan dibandingkan pemberian secara terus menerus Option 1) Pemberian manitol dapat dilakukan sebelum pemasangan ICP Monitor jika didapatkan tanda-tanda transtentorial atau terjadi penurunan herniasi kesadaran yang progresif. Serum osmolaritas harus dibawah 320 mmol/l untuk mencegah terjadinya gagal ginjal. Pasien harus dipertahankan dalam kondisi euvolemia dan dipasang katater urine untuk memonitor produksi urine. 2) Terapi dengan menggunakan larutan sodium laktat hiperosmolar lebih efektif dalam menurunkan TIK bila dibandingkan dengan manitol Penjelasan Rekomendasi : Manitol sangat bermanfaat dalam terapi TIK yang meningkat. Manitol dapat menurunkan TIK dengan cara menarik cairan ke dalam ruangan Intra vaskular (TIK me↓→ CBF dan CPP me↑). Manitol secara bermakna menurunkan mortalitas COB tipe “non surgical mass lesion” bila tidak ada episode hipotensi atau hipoksia selama perawatan pada GCS 3–5 atau CT Scan menunjukkan kontusio serebri grade III Sediaan manitol yang digunakan biasanya 15 dan 20%. Manitol diberikan bolus 0,25 – 1 gr/KgBB dalam 10 – 20 menit, setiap 4 – 8 jam. Sebelum memberikan manitol 22 harus dilakukan pemeriksaan darah rutin, fungsi ginjal, gula darah, dan elektrolit darah. Penghitungan osmolaritas awal darah dilakukan sebelum pemberian manitol. Dan harus terpasang foley kateter untuk pengukuran diuresis. Osmolaritas = 2(Na+ + K+) + Glukosa/18 + BUN/2,8 Dalam menggunakan manitol maka harus dilakukan observasi ketat untuk menjaga pasien agar tetap dalam keadaan euvolemia dan osmolaritas serum <320 mmol/l. Euvolemia dipertahankan dengan penggantian volume cairan yang isotonis dan harus dicegah terjadinya hipotensi (TDS <90 mmHg). Fenomena rebound dapat dikurangi dengan pemberian bolus, dan penghentian manitol dilakukan secara bertahap. Sodium laktat hipertonis diberikan dengan dosis 1,5 ml/KgBB selama 15 menit dalam setiap kali pemberian. Sodium laktat hipertonis dapat diberikan pada kasus dengan peningkatan TIK, dengan kondisi hipovolemia atau hipotensi. Sodium laktat dapat menurunkan TIK dengan jumlah pemberian yang lebih sedikit, penurunan TIK yang lebih besar dan menurunkan TIK yang lebih cepat. Komplikasi pemberian hipertonik salin diantaranya adalah rebound edema, kerusakan BBB, penurunan tingkat kesadaran karena hipernatremia, dan central pontine myelinolisis (CPM). Sodium laktat hipertonis dapat memberikan keluaran pasien yang lebih baik dengan indikator Glasgow Outcome Scale, Barthel Index, dan Karnoffsky Score bila dibandingkan dengan manitol dan dapat diberikan pada pasien dengan kondisi syok. Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Pembuktian (DR) No 1 Penulis Deskripsi penelitian Mendelow Penilaian pengaruh et al.,1985 pemberian manitol 20 TP/DR Kesimpulan III/C Terjadi penurunan TlK, dan peningkatan CBF dan CPP % dengan dosis 0,25 0,5g/kg intravena terhadap TlK. CPP dan CBF 23 2 Gemma Prospective et al., 1997 randomized efektifnya dengan manitol Clinical study dalam menurunkan edema membandingkan efek otak selama proses operasi hypertonic saline 7,5 % bedah saraf II/B Hypertonic saline sama dengan manitol 20 % 3 Balafif F., Studi case control Bajamal A.H., Membandingkan antara menurunkan mortalitas COB 1999 pasien COB tipe "non tipe “non surgical mass surgical mass lession" lession” bila tidak ada episode yang mendapat hypotension atau hypoksia manitol secara empiris selama perawatan pada GCS dengan tanpa manitol. 3-5 atau CT scan II/B Manitol secara bermakna menunjukkan kontusio grade lll 4 Qureshi Review dari literatur et al., 2000 tentang hipertonik salin menunjukkan efek yang dalam terapi edema menguntungkan dalam hal otak dan hipertensi penurunan TIK sekaligus intrakranial menjaga hemodinamik pada III/C Hipertonik saline penelitian klinis dan di laboratorium 5 6 Faris M., Penelitian eksperimen I/A Hipertonik sodium laktat dan Wahyuhadi J., dengan analisis manitol efektif dan aman 2009 komparatif antara dalam pengobatan pemberian sodium peningkatan TIK. Hipertonik laktat dengan manitol sodium laktat lebih efektif dalam menurunkan TIK dibandingkan manitol Ichai C, Prospective open et al., 2009 randomized study larutan sodium laktat membandingkan terapi hiperosmolar lebih efektif sodium laktat dalam menurunkan TIK bila I/A Terapi dengan menggunakan 24 hiperosmolar dengan dibandingkan dengan manitol manitol dalam menurunkan TIK pada kasus cedera otak 7 Ardyansyah A., Penelitian eksperimen I/A Hipertonik natrium laktat Wahyuhadi J., dengan analisis dapat menurunkan TIK lebih 2011 komparatif antara banyak dan lebih lama pemberian Hipertonik dibandingkan manitol natrium laktat dengan manitol dalam menurunkan TIK 8 Wakai Randomized control et al., 2013 trial dengan pemberian dibandingkan dengan manitol pada pasien pemberian pentobarbital dan trauma akut cedera kurang menguntungkan jika otak sedang dan berat dibandingkan dengan I/A Pemberian manitol lebih baik pemberian cairan hipertonik saline. Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research Referensi Ardyansah A., Wahyuhadi J., Perbandingan Pemberian Dosis Multipel Hipertonik Natrium Laktat dan Manitol terhadap Penurunan Tekanan Intrakranial pada Penderita Cedera Otak Berat tanpa Indikasi Operasi dengan Tekanan Intrakranial lebih dari 20 mmHg, SMF Bedah Saraf RSU Dr Soetomo, 2011 Balafif F., Bajamal A.H., Pengaruh Pemberian Mannitol secara empiris pada penderita cedera otak berat tipe Non Surgical Mass Lession di RS dr. Soetomo Surabaya. 1999 Faris M. Wahyuhadi J., Perbandingan Pengaruh Pemberian Hipertonik Sodium Laktat dan Manitol terhadap Progresifitas Penurunan Tekanan Intrakranial Penderita Cedera Otak Berat Lesi Non Operatif. SMF Bedah Saraf RSU Dr Soetomo,2009 25 Gemma M, Cozzi S, Tommasino C, Mungo M, Catvi MR, Cipriani A, Garancini MP. 7.5% Hypertonic saline versus 20% mannitol during elective neurosurgical supratentorial procedures, J Neurosurg Anesthesiol, 1997;9(4):329 – 34 Ichai C, Armando G, Orban JC, et al. Sodium Lactate versus Mannitol in The Treatment of Intracranial Hypertensive Episodes in Severe Traumatic Brain-injured Patients. Intensive Care Med, 200935:471 – 479 Iskandar J. Cedera Kepala. BIP. 2004 Mendelow AD, et al. Effect of mannitol on cerebral blood flow and cerebral perfusion pressure in human head injury. J Neurosurg 1985;63:43-9 Reilly P, Selladurai B. Initial Management of Head Injury: a Comprehensive Guide. McGraw Hill, 2007, p177 – 205 Qureshi AI, Suarez JI, Use of hypertonic saline solutions in treatment of cerebral edema and intracranial hypertension, Crit Care Med, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11008996 2000;28(9):3301-13 Wakai A, McCabe A, Roberts I and Schierhout G. Mannitol for acute traumatic brain injury. Cochrane Database Syst Rev. Aug 5, 2013 V.3 Rekomendasi penggunaan Antibiotika Profilaksis pada Pemasangan Kateter Ventrikel Standard : Belum ada data yang mendukung Guideline : Belum ada data yang mendukung Option 1. Pemberian antibiotik pada pemasangan dan penggantian kateter ventrikel setiap 5 hari tidak mengurangi resiko infeksi 2. Penggunaan antibiotik lokal maupun sistemik tidak menurunkan resiko infeksi pada pemasangan kateter ventrikel. Penjelasan Rekomendasi : Pada COB karena trauma, angka kejadian infeksi dapat meningkat pada tindakan pemasangan ICP monitor, tindakan ventilasi mekanik dsb. Pada umumnya infeksi ditemukan pada 10 hari pertama setelah pemasangan ventriculostomy. Tidak ada pengaruh antara kateter yang diganti setiap 5 hari atau tidak. Infeksi memberi 26 pengaruh signifikan terhadap morbiditas, mortalitas dan lama rawat inap dari penderita. Pada pemasangan ICP monitor jangka panjang terjadi kenaikan tingkat infeksi sampai dengan 27% sedangkan penggunaan ICP monitor jangka pendek belum terbukti menaikkan resiko morbiditas dan mortalitas. Dari seluruh pasien COB, tidak ada insiden definitive terhadap infeksi CSF. Cephalosporin generasi ke 1 dan 2 merupakan jenis antibiotik yang di rekomendasikan. Pada trauma penetrasi craniocerebral, tidak didapatkan bukti yang mendukung penggunaan antibiotik profilaksis namun para ahli menyarankan pemberian antibiotika broad spectrum secara rutin berkaitan dengan beratnya komplikasi yang mungkin terjadi. Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1 Penulis Deskripsi TP/DR Kesimpulan Sunbarg Analisa rertrospektif dari III/C et al.,1996 648 pasien yang COB tidak ada insiden memakai TIK monitor. definitive terhadap 142-nya adalah COB. infeksi CSF. Dari seluruh pasien Tidak ada yang mendapat antibiotik profilaksis. 2 Holloway Analisa retrospektif dari III/C 61 pasien dengan et al.,1996 584 pasien cedera otak venticulostomy berat berkaitan dengan ditemukan infeksi. Pada efek penggantian kateter umumnya infeksi terhadap insiden ditemukan pada 10 hari terjadinya infeksi pertama setelah pemasangan ventriculostomy. Tidak ada pengaruh antara 27 kateter yang diganti setiap 5 hari atau tidak. 3 Arabi Analisa terhadap III/C Penggunaan antibiotik et al., 2005 insidens infeksi lokal maupun sistemik ventrokulostomy dan tidak menurunkan resiko evaluasi terhadap faktor infeksi pada resikonya. pemasangan kateter ventrikel. Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research Referensi Arabi Y, Memish ZA, Balkhy HH, Ventriculostomy-associated infections: Insidence and risk factors. ,Amj Infect Control 2005;33:137-43. Holloway KL, Barnes T, Choi S. Ventriculostomy infections: the effect of monitoring duration and catheter exchange in 584 patients. J Neurosurg 1996;85:419–24. Sundbarg G, Nordstrom prolonged C-H, ventricular Soderstrom S. Complication due to fluid pressure recording. Br. J Neurosurg 1988;2:485–95. Yuen, ECP.2004. The use of prophylactic antibiotic in trauma. Hong Kong Journal of Emergency Medicine V.4 Rekomendasi penggunaan analgetik Standard Guideline : Belum ada data pendukung 1. Ketorolac dan acetaminophen dapat digunakan pada pasien trauma kepala. Ketorolac hanya boleh diberikan maksimal 5 hari. 2. Obat-obatan NSAID lainnya seperti ibuprofen dan naproxen bisa diberikan per-oral. 3. Ketoprofen supp dan acetaminophen supp bermanfaat mengurangi nyeri pada COR. 28 Option 1. Belum ada data yang tidak membolehkan metamizol diberikan pada pasien trauma kepala (Insiden agranulocytosis 92% terjadi pada 2 bulan pertama pemakaian metamizol) 2. Indometasin dapat bermanfaat untuk menurunkan tekanan intrakranial yang refrakter pada cedera kepala berat. Penjelasan rekomendasi : Rangsangan nyeri dapat memicu peningkatan TIK dan harus ditangani. Pada pasien cedera otak terjadi peningkatan kadar PG dimana PG berperan dalam proses rasa nyeri. NSAID seperti ketorolac, metamizol dan ketoprofen bermanfaat mengurangi nyeri dengan menghambat sintesa PG melalui blokade enzim Cyclooxigenase (COX). Acetaminophen bukan termasuk NSAID namun memiliki mekanisme yang sama dalam menghambat sintesa PG melalui blokade enzim COX. Peningkatan kadar prostaglandin terjadi pada pasien cedera otak. Namun pemakaian obat NSAID dapat pula menyebabkan perdarahan saluran cerna dan gangguan fungsi ginjal. Indometasin merupakan golongan NSAID yang mempunyai sifat anti inflamasi, analgesik dan antipiretik melalui efek inhibisi reversibel terhadap enzim COX. Indometasin dapat berfungsi sebagai terapi alternatif dalam manajemen peningkatan tekanan intrakranial yang refrakter pada COB. Namun mekanisme aksi indometasin dalam menurunkan cerebral blood flow (CBF) dan tekanan intrakranial masih belum dipahami sepenuhnya. Ketorolac untuk dewasa diberikan dengan dosis 30 mg intravena dosis tunggal atau 30 mg/6 jam intravena dengan dosis maksimal 120 mg/hari. Metamizol diberikan dengan dosis 500-1000mg/6 jam secara peroral, intravena atau perektal. 29 Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1 Penulis Deskripsi penelitian TP/DR Kesimpulan Jacobi J Review literatur pada et al., 2002 Medline search 1994-2001 acetaminophen boleh untuk penyusunan digunakan pada pasien guideline dengan review trauma kepala II/B Ketorolac dan dari metaanalisis dan tabel evidence 2 3 Hedenmalm Secara retrospektif III/C Insiden agranulocytosis K et al., membahas laporan kasus 92% terjadi pada 2 bulan 2002 agranulocytosis akibat pertama pemakaian pemakaian metamizole metamizole Review : Peran Roberts et al., 2002 III/C Indometasin indometasin pada dipertimbangkan pada penanganan cedera kepala penanganan cedera kepala dengan peningkatan TIK yang refrakter 4 Prasetya H, eksperimental semu pada II/B Ketoprofen dan Bajamal pemakaian ketoprofen dan acetaminophen bermanfaat A.H., 2005 acetaminophen pada COR mengurangi nyeri pada COR Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research Referensi Hedenmalm K associated et al. with Agranulocytosis and other blood dyscrasias dipyrone (metamizole). Eur J Clin Pharmacol 2002;58(4):265-74. Jacobi J et al. Clinical practice guidelines for the sustained use of sedatives and analgesics in the critically ill adult. Am J Health Syst Pharm 2002;59(2):150-78 30 Prasetya H, Bajamal A.H. Perbandingan Efek Analgetika antara Pemberian Paracetamol 650 mg Suppositoria Suppositoria terhadap Nyeri denganKetoprofen Kepala 100 mg pada Penderita Cedera Otak Ringan. Karya Akhir, 2005. Roberts R, Redman J. Indomethacin - A Review of its Role in the Management of Traumatic Brain Injury. Critical Care and Resuscitation 2002; 4: 271280 V.5 Rekomendasi penggunaan kortikosteroid Standard : Penggunaan glukokortikoid tidak direkomendasikan untuk pasien dengan COB. Glukokortikoid tidak meningkatkan keluaran dan menurunkan TIK pada pasien dengan COB Guideline : Terapi dengan dan tanpa kortikosteroid pada pasien memar otak secara statistik hasil terapi tidak berbeda bermakna Option : Tidak ada penurunan angka kematian dengan pemberian metilprednisolon dalam 2 minggu setelah cedera kepala Penjelasan rekomendasi : Cedera otak dapat menyebabkan kematian sebagian sel otak dan kerusakan reseptor kortikosteroid. Cedera otak juga menyebabkan kenaikan kadar kortikosteroid atau meningkatkan pemakaian reseptor protein dan karenanya penggunaan kortikosteroid tidak efektif karena terbatasnya jumlah reseptor protein yang masih ada dan sebagian reseptor kortikosteroid mengalami kerusakan sehingga pembentukan lipokortin juga terbatas. Hal ini juga menyebabkan toleransi kortikosteroid terganggu. Pada beberapa kasus dilaporkan efek samping penggunaan kortikosteroid yang terjadi bisa timbul perdarahan gastrointestinal dan infeksi. Karena adanya peningkatan mortalitas dan manfaat yang kurang pada penggunaan kortikosteroid dibeberapa penelitian menjadi pertimbangan untuk tidak memberikan kortikosteroid pada pasien dengan cedera otak. 31 Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1 Penulis Deskripsi Kasan U., 1994 Penelitian prospektif TP/DR Kesimpulan II/B Outcome terapi dengan komparatif penggunaan dan tanpa dengan dan tanpa kortikosteroid pada kortikosteroid pada pasien memar otak pasien cedera otak secara statistik tidak berbeda bermakna 2 Aiderson P., 1997 Penelitian Randomized I/A Review sistemik pada Controlled Trials untuk RCT untuk menilai kuantitas kortikosteroid pada efektifitas dan cedera otak akut keamanan tentang menunjukan efek yang penggunaan tidak jelas kortikosteroid pada trauma kepala 3 4. CRASH trial Penurunan angka collaborators, kematian dengan angka kematian 2004 pemberian dengan pemberian metilprednisolon dalam metilprednisolon dalam 2 minggu setelah 2 minggu setelah cedera kepala cedera kepala Alderson P., 2005 Penelitian Randomized III/C I/A Tidak ada penurunan Penelitian yang Controlled Trials untuk terbesar menyimpulkan menilai kuantitas mortalitas dengan efektifitas dan steroid pada penelitian keamanan tentang ini menyarankan penggunaan steroid tidak lagi kortikosteroid pada digunakan rutin pada trauma kepala cedera otak Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research 32 Referensi Alderson P, Roberts I. Corticosteroid for acute traumatic brain injury, 2005 CRASH trial collaborators, Effect of intravenous corticosteroids on death within 14 days in 10 008 adults with clinically significant head injury (MRC CRASH trial): randomized placebo-controlled trial Lancet 2004; 364: 1321–28 Alderson P. Corticosteroids in acute traumatic brain injury: systemic review of randomized controlled trials, BMJ 1997. Kasan U. Penatalaksanaan Penderita Memar Otak Penelitian Prospektif Komparatif dengan dan tanpa penggunaan Kortikosteroid, disertasi 1994. V.6. Rekomendasi Penggunaan Sedatif / Tranquilizer Standard : Baik propofol, midazolam, ataupun kombinasi keduanya dinyatakan aman untuk pasien dengan trauma kepala. Guideline 1. Midazolam mengurangi CBF sehingga cenderung aman dan efektif untuk anestesiadan sedasi pasien dengan peningkatan ICP. 2. Propofol memberikan hasil yang baik dalam fungsi sedasi serta memudahkan dalam evaluasi fungsi neurologis secara awal. 3. Dexmedetomidine merupakan sedasi tanpa efek neurologis dan memberikan efek proteksi pada otak. Option :- Penjelasan rekomendasi : Sedasi adalah komponen penting dalam penanganan pasien dengan cedera otak, dapat memfasilitasi intervensi terapi, memperbaiki kenaikan TIK, dan memastikan pasien dalam keadaan yang nyaman. Dapat dilihat dalam table di bawah ini, pilihan yang sesuai GCS dan ada tidaknya tunjangan ventilasi mekanik. Agent sedasi yang ideal haruslah (i) menurunkan CMRO2 sekaligus mempertahankan suplai oksigen ke otak. (ii) menurunkan TIK tanpa menurunkan CPP (iii) memelihara autoregulasi otak dan reaktifitas vascular terhadap CO2 (iv) memiliki onset yang cepat (v) mudah dalam pengendalian kedalaman dan durasi sedasinya (vi) memiliki therapeutic 33 window untuk evaluasi status neurologis dan deteksi komplikasi neurologis. Pemberian sedatif dapat digunakan sebagai tertiary management kontrol TIK. Propofol loading dose diberikan 1-2 mg/kgBB dan diberi dosis rumatan 1-3 mg/kgBB/jam. Midazolam loading dose diberikan 0,03-0,3mg/kg diberikan dalam 20 menit; dan dosis rumatan 0,03-0,2mg/kg/jam. Penthotal loading dose diberikan 510mg/kg BB diberikan dalam 10 menit, dan di beri dosis rumatan 2-4mg/kgBB/jam. Phenobarbital: Bolus 2-5 mg/kgBB atau Thiopenthal 2-10 mg/kg BB diikuti siringe pump (0.3-7.5 mg/kgBB/jam) atau thiopental 1-6 infus mg/kg/hr. Dexmedetomidine diberikan dengan loading dose 0,5-1 mcg/KgBb selama 10 menit, diikuti dengan dosis maintanance 0,2-0,3 mcg/KgBb/jam. Analgesia and sedation strategy in patients with various acute neurological conditions Head injury, Head injury, Cerebrovascular Hepatic Alcohol mechanical spontaneus accident encelophaty withdrawl ventilation, breathing GCS GCS ≤ 8 >8 syndrome Analgesia Opioids NSAID - - - Sedation Midazolam Light sedation: Light sedation: Isoflurane for Midazolam Propofol propofol & propofol & short periods Other Barbiturates midazolam midazolam benzodiazepines (Uncontrolled Neuroleptic. Neuroleptic. Clonidine ICP) Phenothiazine Phenothiazine Neuroleptics Clomethiazole Antagonist No No No? Yes Yes Monitoring Vital functions, Vital functions, Vital functions, Vital functions, Vital functions, invasive neurologial neurologial neurologial neurological haemodinamic functions functions functions, liver function. monitoring, function tests ICP SjO2 GCS, Glasgow coma score; ICP, intracranial pressure; NSAID, non-steoidal anti-inflamatory drugs; SjO2, oxygen saturation of the jugular vein. 34 Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1 Penulis Deskripsi Penelitian TP/DR Kesimpulan Sanchez Meneliti safety dan et al., 1998 efficacy penggunaan ataupun kombinasi keduanya propofol; midazolam dinyatakan aman untuk pasien araupun kombinasi dengan trauma kepala. I/A Baik propofol, midazolam, propofol dan midazolam pada pasien trauma kepala 2 Karabinis Meneliti safety dan et al., 2004 efficacy sedasi neurologis lebih cepat dan berbasis analgesia lebih mudah diprediksi dengan menggunakan menggunakan ramifentanil ramifentanil, dibandingkan dengan kombinasi dengan penggunaan fentanil ataupun midazolam dan morphin. I/A Waktu pemeriksaan propofol dibandingkan dengsn fentanil, morphin kombinasi dengan midazolam dan propofol di unit perawatan neurointensif. 3 Chen HI Meneliti penggunaan III/C Penggunaan barbiturat dapat et al., 2008 barbiturat terhadap meningkatkan oksigenasi keadaan intractable jaringan otak pada penderita peningkatan TIK dengan TIK yang meningkat ketika penggunaan pasca trauma. terapi sedasi dan terapi osmotik gagal. 35 4 Shigemori Pertimbangan M et al., penggunaan sedasi II/B 2012 Diazepam dapat digunakan pada kasus epilepsy tetapi tidak cocok untuk mengevaluasi tingkat kesadaran. Midazolam mengurangi CBF sehingga cenderung aman dan efektif untuk anestesiadan sedasi pasien dengan peningkatan ICP. Propofol memberikan hasil yang baik dalam fungsi sedasi serta memudahkan dalam evaluasi fungsi neurologis secara. Dexmedetomidine merupakan sedasi tanpa efek neurologis dan memberikan efek proteksi pada otak. Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research Referensi: Chen HI, Malhotra NR, Oddo M, Heuer GG, Levine JM, LeRoux PD. Barbiturate infusion for intractable intracranial hypertension and its effect on brain oxygenation. Neurosurgery. 2008 Nov;63(5):880-6; discussion 886-7. doi: 10.1227/01.NEU.0000327882.10629.06. Ederoth P et al. Blood-brain barrier transport of morphine in patients with severe brain trauma. Br J Clin Pharmacol.2004;57(4):427-35 Karabinis A et al. Safety and efficacy of Analgesia-based regimens in intensive care unit patients with brain injuries: a randomized, controlled trial. Crit Care.2004;8(4): 268 - 80. Rivier MC, Cholero R, and Ravussin P. Sedation and Analgesia for the Brain- Failure Patient. In: Sedation and Analgesia in the Critically Ill. Ed. By Park GR and Sladen RN. Blackwell Science 1995. pp 130-144 36 Sanchez-Izquierdo-Riera JA et al. Propofol versus Midazolam: safety and efficacy for sedating the severe trauma patient. Anesth Analg. 1998;86(6):1219-24. Shigemori M et al. Guidelines for management severe head injury 2nd Edition. Guidelines from the guidline committee on the managemnt of severe head injury in Japan Society of Neurotraumatology. Neurol. Med. Chir (Tokyo) 52, 1 – 30, 2012. V.7 Rekomendasi pemberian nutrisi Standard : Pemberian nutrisi dini Guideline 1. Pemberian nutrisi diberikan secara bertahap dan kebutuhan total harus tercapai dalam 7 hari setelah trauma. 2. Kebutuhan nutrisi pasien cedera otak yang tidak dilumpuhkan sebesar 140% dari kebutuhan basal, dan pada pasien yang dilumpuhkan sebesar 100% dari kebutuhan basal 3. Nutrisi dapat diberikan secara enteral dan parenteral 4. Sedikitnya 15% dari asupan energi harus mengandung protein 5. Pemberian lemak sebaiknya yang merupakan kombinasi Long- Chain Triglyserides (LCT) dan Medium-Chain Triglyserides (MCT) Option : Pemberian melalui gastrojejunostomy untuk menghindari masalah pengosongan lambung dan memudahkan pemberian dan terhindar dari tercabut saat pasien gelisah karena letaknya yang jauh dari wajah pasien Penjelasan Rekomendasi : Cedera otak meningkatkan respon metabolik dan katabolik tubuh sehingga membutuhkan nutrisi yang cukup. Disarankan pemberian early feeding yang adekuat karena memberikan survival dan disability outcome yang lebih baik pada pasien dengan cedera otak. Belum ada penelitian yang menunjukkan metode pemberian mana yang paling baik Dari penelitian diketahui bahwa pemberian kombinasi LCT dan MCT mungkin dapat memberikan efek yang menguntungkan pada metabolisme protein di viscera pasca 37 trauma. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian late feeding (lebih dari 1 minggu setelah trauma) berhubungan dengan nitrogen loss yang besar disertai penurunan berat badan sebesar 15% perminggu. Untuk mencapai pemenuhan nutrisi pada hari ke-7, maka pemberian nutrisi harus dimulai paling lambat 72 jam setelah trauma atau cedera. Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No. Penulis Deskripsi Penelitian TP/DR 1. Calon B Meneliti nilai metabolik MCT et al.,1990 dan LCT pada penderita menguntungkan trauma kepala pada metabolisme II/B Kesimpulan MCT memiliki efek protein viseral pasca trauma 2. Sarafzadeh Mengukur perubahan II/B Hiperventilasi et al.,2003 metabolik pada penderita memiliki potensi impending atau manifest terjadinya efek hypoxia pada pasien cedera samping otak. Meneliti safety dan metabolisma efficacy penggunaan propofol cerebral. Keadaan dan midazolam pada pasien metabolisme cerebral trauma kepala anaerob tergantung dari derajat dan lamanya episode hipoksik 3. Krakau K Systematic review mengenai et al., 2006 status metabolik dan terapi menunjukkan nutrisi pada penderita cedera peningkatan otak sedang – berat metabolic rate, I/A Hasil review hiperkatabolisme, dan intoleransi gastrointestinal sampai 2 minggu 38 pasca trauma. Kecenderungan morbiditas dan mortalitas yang lebih rendah pada penderita yang mendapat early feeding 4. Aaron M. Cook Review artikel III/C et al., 2008 Terapi nutrisi termasuk pemberian cairan yang tepat dan monitoring elektrolit yang ketat untuk mencegah kelebiihan cairan, elektrolit atau glukosa yang dapat merugikan pasien. 5. Roger Hartl Penelitian retrospektif pada III/C Jumlah nutrisi et al., 2008 pasien dengan cedera otak berhubungan dengan berat dan pemberian nutrisinya mortalitas. Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research Referensi: Aaron M. Cook et al. Nutrition Considerations in Traumatic Brain Injury.2008 Calon B et al. Long-chain versus medium and long-chain triglyceride-based fat emulsion in parental nutrition of severe head trauma patients. Infusiontherapie.1990;17(5):246-8. Krakau K et al. Metabolism and nutrition in patients with moderate and severe traumatic brain injury:A systemic review. Brain Inj.2006;20(4):345-67. Roger Hartl et al. Effect of early nutrition on deaths due to severe traumatic brain injury. 2008 39 Sarrafzadeh AS et al. Metabolic changes during impending and manifest cerebral hypoxia in traumatic brain injury. Br J Neurosurg. 2003;17 (4) : 340-6 V.8 Rekomendasi Penggunaan Gastric Mucosal Protector dan Acid Supresssor Agent Standard : Pemberian terapi farmakologis profilaksis acid supressive agent dengan H2 blocker, proton pump inhibitor (PPI), dan gastric mucosal protector dapat membantu penurunan insiden perdarahan gastrointestinal dan stress related mucosal damage (SRMD). Proton pump inhibitor (PPI) lebih dianjurkan karena memiliki karakteristik cara kerja dan durasi kerja yang lebih baik dibandingkan H2 Blocker dan gastric mucosal protector Guideline :- Option :- Penjelasan rekomendasi Pemberian regimen profilaksis Acid suppressor agent dapat menurunkan insiden perdarahan gastrointestinal yang disebabkan oleh stress ulcer dengan pengaturan PH asam lambung. PPI mempunyai keunggulan dibandingkan regimen lainnya karena site of action memblokade jalur akhir produksi asam lambung dan durasi kerja yang lebih lama. Dosis anjuran omeprazole 40mg/12jam iv atau 40mg/hari peroral atau personde (Messori et al., 2000., Michelle et al., David C. Metz, 2005) Ranitidin diberikan dengan dosis 150 mg/12 jam secara peroral atau personde, 50 mg/6-8 jam secara intravena atau dapat diberikan secara kontinyu intravena perinfus dengan dosis 6,25 mg/jam. Sedangkan Sucralfat sebagai mucosal protector diberikan dengan dosis 1 gr/6 jam. 40 Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1 2 Penulis Deskripsi Penelitian TP/DR I/A Kesimpulan S Trippoli, Meta analisis dari et al., penelitian tentang sucralfat kurang efektif dalam 2000 penggunaan ranitidine pencegahan perdarahan versus sucralfat dalam gastrointestinal yang pencegahan stress ulcer disebabkan oleh stress ulcer I/A Pemberian ranitidine dan Michelle Meta analisis dari Pemberian obat profilaksis E, Allen, Randomized Controlled untuk pencegahan perdarahan 2004 Trials tentang gastrointestinal yang profilaksis terapi disebabkan oleh stress ulcer terhadap stress ulcer memberikan hasil yang sedikit significan dalam menurunkan insiden perdarahan gastrointestinal 3 David C. Meta analisis dari Metz,2005 Randomized Controlled I/A Pemberian regimen acid suppressive agent dapat Trials tentang mencegah terjadinya SRMD penggunaan acid dan stress ulcer dengan suppressive agent untuk menjaga keasaman lambung. pencegahan SRMD dan stress ulcer Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research Referensi David C. Metz. Preventing the Gastrointestinal Consequences of Stress- Related Mucosal Disease. Medscape. 2005 Michelle E. Allen; Brian J. Kopp; Brian L. Erstad. American Society of Health- System Pharmacists. ASHP therapeutic guidelines on stress ulcer prophylaxis. Am J Health-Syst Pharm. 1999;56:347-79. S Trippoli, M Valani, M Govini, A Corrado. Bleeding and pneumonia in intensive care patients given ranitidine and sucralfate for prevention 41 of stress ulcer: meta-analysis of randomized controlled trials. BMJ 2000;321:1103-07 V.9 Rekomendasi penggunaan Citicoline Standard : Citicoline tidak memberikan perbaikan outcome fungsional yang signifikan dibandingkan dengan kelompok placebo Guideline 1. Pemberian citicolin pada pasien sindroma post concussion, ditemukan perbaikan memori dan pengurangan gejala-gejala pasca comotio 2. Penilaian dengan Glasgow Outcome Scale 3 bulan pasca cedera menunjukkan perbaikan yang bermakna Option : Pemberian Citicolin pada jangka waktu lama setelah cedera Otak dapat memberikan peningkatan kemampuan Kognitif Penjelasan Rekomendasi : Citicoline (Cytidine 5-diphosphocholine atau CDP-Choline) berfungsi mengaktivasi biosintesis struktur fosfolipid membran sel neuron, meningkatkan metabolise otak dan menambah level neurotransmitter termasuk acetylcolin dan dopamin. Citicolin juga berfungsi memperbaiki aktifitas enzim mitochondria ATPase dan Na/K ATPase serta menghambat enzim phospholipase A2. Citicolin dapat diberikan pada pasien cedera otak saat setelah kejadian maupun jangka lama dan hasilnya menunjukkan perbaikan dalam pengurangan gejala sindroma post concussion, perbaikan Glasgow Outcome Scale dan fungsi kognisinya. Pemberian dapat diberikan dengan dosis 1 gram/hari baik PO maupun injeksi. Hasil penelitian : a) Citicoline tidak memberikan perbaikan outcome fungsional yang signifikan dibandingkan dengan kelompok placebo b) Adanya perbaikan dalam fungsi memori pada pasien dengan pemberian citicolin dibanding tanpa pemberian obat tersebut 42 a) Adanya perbaikan dalam fungsi motor, kognisi dan psikis serta didapatkan adanya pemendekan masa waktu rawat inap pada pasien dengan pemberian citicoline Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No Penulis 1 Levin HS, 1991 Deskripsi penilaian Penelitian double blind TP/DR II/B Kesimpulan Hasil: adanya perbaikan placebo-control untuk dalam fungsi memori menilai efikasi pada pasien dengan citicoline dengan pemberian citicoline pemberian 1 gram dibanding dengan tanpa tablet selama 1 bulan pemberian obat tersebut pada 14 orang untuk (p<0,02) pengobatan tanda dan gejala sindroma post concussional setelah cedera otak ringan dan sedang 2 Calatayud MV, Penelitian single blind Perez JB, Aso randomized pada 216 dalam fungsimotor, Escario J., 1991 pasien cedera otak kognisi dan psikis serta sedang dan berat didapatkan adanya yang menerima pemendekan masa pengobatan citicoline. waktu rawat inap pada II/B Hasil: adanya perbaikan pasien dengan pemberian citicoline 3 Spiers Laporan kasus 2 III/B Citicoline memberikan PA,Hochanadel pasien dengan hasil perbaikan fungsi G, 1999 pemberian citicoline kognisi setelah cedera selama 1,5 sampai 4 otak sedang dan berat. tahun setelah cedera otak 43 4 Zafonte et al, CORBIT (The 2009 Citicoline Brain Injury memberikan perbaikan Treatment), suatu outcome yang signifikan RCT besar yang dibandingkan dengan menilai efektifitas kelompok placebo I/A Citicoline tidak pemberian citicoline terhadap outcome fungsional pasien dengan cedera kepala Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research Referensi: Levin HS. Treatment of postconcussional symptoms with CDP-coline. J Neurology Science.103: 539-42, 1991 Maldonado VC ef aI. Effects of CDP-coline on the recovery of patients with head injury. JNeurology Science. 103: 515-18, 1991 Spiers PA, Hochanadel G: Citicoline for traumatic brain injury: report of two cases, includingmy own. J lnt Neuropsychol Soc. 5:260-2&+, 1999 Zafonte R, et al. The Citicoline Brain Injury Treatment (COBRIT) Trial. Journal of Neurotrauma 26:2207–2216 (December 2009) V.10 Rekomendasi Penggunaan Piracetam Standard : Belum ada data pendukung Guideline 1. Pemberian piracetam dengan dosis 24-30 gr/hari secara bermakna dapat memberikan efek memperbaiki gejala neurologis pada pasien cedera otak. 2. Setelah pengobatan piracetam 8 minggu dengan dosis 4800 mg ditemukan pengurangan tanda dan gejala sindroma post concussional seperti vertigo, sakit kepala, kelelahan, gangguan kesadaran, peningkatan kerinqat dan gejala lain. 3. Dosis 40-50 mg/kg (1600 – 2400 mg/hari) memberikan hasil yang positif untuk memperbaiki kondisi pasien yang dapat dilihat pada parameter kemampuan fungsi kognitif (memori, atensi) dan 44 fungsi koordinasi motorik Option : Dosis tinggi piracetam (24-30 g/hari) memperbaiki kondisi pasien jika pengobatan dimulai segera setelah cedera. Penjelasan Rekomendasi : Piracetam memperbaiki metabolisme otak dengan cara memacu katabolisme oksidatif, meningkatkan pemecahan ATP, meningkatkan level cAMP, memperbaiki metabolisme phospholipid dan bio-sintesis protein. Piracetam juga memperbaiki fungsi penggunaan oksigen dan glukosa oleh otak serta peningkatan perfusi lokal → dapat dilihat pada parameter partial oxygen pressure (oxygen therapy) dan KGD. Pemakaian piracetam dapat diberikan pada pasien cedera otak maupun pasca cedera dengan gejala sindroma post concussion dengan efek memperbaiki gejala neurologis dan kesadaran. Dosis yang diberikan pada saat setelah cedera otak adalah 24-30 gr/hari baik injeksi maupun oral, dan untuk pemeliharaan diberikan dosis PO 4,8 gr/hari. Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No Penulis 1 Hakkarainen Deskripsi penelitian Penelitian double-blind H., Hakamies dengan 60 pasien dengan L., 1978 TP/DR Kesimpulan II/B Hasil: setelah pengobatan, 8 minggu ditemukan sindroma post concussion pengurangan tanda dan gejala yang diberikan selama 2- sindroma post concussion 12 bulan, dengan dosis seperti vertigo, sakit kepala, 4800 mq perhari. kelelahan, gangguan kesadaran, peningkatan kerinqat dan gejala lain. 2 Goscinski l, Penelitian prospektif II/B Hasil: Dosis 24-30 g/hari et al., 1998 kasus-kontrol untuk memberikan hasil yang positif mengetahui efektifitas untuk memperbaiki kondisi pemberian piracetam pasien yang dapat dilihat pada pada 100 pasien cedera parameter: partial oxygen 45 pressure dan kadar gula darah otak sedang dan berat 3 Goscinski l, et al., 1999 Penelitian observasional III/C Hasil: dosis tinggi piracetam yang dilakukan pada tahun (24-30 g/hari) memperbaiki 1995-1996 dengan jumlah kondisi pasien jika pengobatan pasien 100 orang untuk dimulai segera setelah cedera. mengetahui pengaruh piracetam pada cedera otak. 4 Zavadenko Penelitian prospektif II/B Hasil: Dosis 40-50 mg/kg NN, et al., case/control untuk (1600 – 2400 mg/hari) 2008 mengetahui efektifitas memberikan hasil yang positif pemberian piracetam untuk memperbaiki kondisi pada 42 pasien trauma pasien yang dapat dilihat pada kepala tertutup cedera parameter kemampuan fungsi otak sedang dan berat kognitif (memori, atensi) dan fungsi koordinasi motorik. Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research Referensi: Hakkrainen, H. & Hakamies, L. Piracetam in the treatment of post- concussional syndrome. Eur Neurol 17, 50-55, 1978 Goscinski l, Sliwonik S, SondejT, KwiatkowskiS, Moskala M, CichonskiJ, Wegrzyn D, Uhl H, Piracetam in severe cranio-cerebral injuries. Neurol Neurochir Pol Sep-Oct;32(5):1't 89-97, 1 998 Goscinski l, Moskala M, Cichonski J, Polak J, Krupa M, Sliwonik S, Sondej T, Clinical observations conceming piracetam treatment of patients after craniocerebral injury, Przegl Lek;56(2):1 19-20, 1999 Zavadenko NN, Guzilova LS, The consequences of closed traumatic brain injury and piracetam efficacy in their treatment in adolescents. Neurosci Behav Physiol; 108(3):43-8, 2008. 46 V11. Rekomendasi Penggunaan Neuropeptida Standard Belum ada data yang mendukung Guideline Belum ada data yang mendukung Option Neuroprotektif pada cedera otak traumatik untuk mencegah dan mengurangi pemulihan cedera dari sekunder, cedera. serta meningkatkan Neuroprotektif ditargetkan proses untuk mengurangi kerusakan otak dan memberikan harapan yang bagus pada kasus cedera otak dan stroke. Penjelasan Rekomendasi: Tujuan utama neuroprotektif pada cedera otak traumatik adalah untuk mencegah dan mengurangi cedera sekunder, serta pada proses pemulihan dari cedera, sedangkan tujuan neuroprotektif pada stroke adalah untuk mencegah kematian saraf di daerah penumbra. Ada mekanisme absolut dan relatif proses neuroprotektif. Mekanisme relatif meliputi : modulasi saluran kalsium, modulasi saluran sodium, modulasi antagonis NMDA reseptor, modulasi antagonis GABA reseptor, antioksidan, anti radikal bebas, adesi molekul, agonis dan antagonis adenosin. Mekanisme absolut meliputi : faktor neurotropik, neurotrophic factor-like molecules, sitokin. Faktor neurotropik berperan dalam : pembangunan ontogenetik yang berperan dalam kontrol selular proliferasi dan diferensiasi (ekspresi dari fenotipe mediator, saluran ion, pertumbuhan neurit), promosi kelangsungan hidup neuron (jika ada tidak merusak agen) sepanjang hidup dan mempertahankan fenotip, meningkatkan daya tahan sel neuron akibat agen yang merusak (hipoksia, iskemia, hipoglikemia, eksisitotoksis, zat toksik, dan trauma), serta neuroproteksi, neuroplastisitas dan aktivitas sinaptik dalam proses belajar 47 Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1. Penulis Deskripsi penelitian TP/DR Kesimpulan Muresanu Review , neuroprotektif III/C Neuroprotektif meningkatkan et al., 2007 pada cedera otak daya tahan sel neuron akibat traumatik adalah untuk agen yang merusak mencegah dan (hipoksia, iskemia, mengurangi cedera hipoglikemia, eksisitotoksis, sekunder, serta pada zat toksik, dan trauma) proses pemulihan dari cedera. 2. Teasdale, G.M Review, neuroprotektif III/C Konsep neuroproteksi telah et al., 1997 ditargetkan untuk semakin luas diketahui mengurangi kerusakan dengan memberikan terapi otak dan memberikan sedini mungkin dan banyak harapan yang bagus hal-hal baru yang diketahui pada kasus cedera berperan dalam mekanisme otak dan stroke cedera otak dan banyak dikembangkan secara luas obat neuroprotektan yang punya target yang spesifik Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research Referensi Muresanu FD, et al. Neuroprotection and Neuroplasticity in Craniocerebral Trauma. Romanian Journal of Neurology 2007. Vol VI, No. 4. Page: 154-165 Teasdale, G.M & Bannan, P. E. 1997. Neuroprotection in Head Injury. In Head Injury. Pathophysiology and Management of Severe Closed Injury. Editor : Reilly, P; Bullock, R. Page : 423-436. Chapman & Hall Medicaal. London. UK 48 V.12 Rekomendasi penggunaan sel punca (Stem Cell) Terapi sel punca telah mengalami kemajuan signifikan sebagai strategi pengobatan untuk berbagai penyakit selama dekade terakhir. Cedera otak dapat menyebabkan kematian sebagian sel otak. Saat ini terdapat beberapa data dari banyak laboratorium bahwa pengobatan cedera otak (TBI), stroke, perdarahan intraserebral, cedera tulang belakang, dan penyakit neurodegeneratif menggunakan sel batang mesenchymal (MSC) menghasilkan manfaat fungsional, meskipun tanpa mengurangi lesi, menunjukkan bahwa sel-sel ini merangsang pemulihan fungsi dan merombak cedera jaringan. Tabel Pembuktian (Evidence) Clinical Trial No 1 Penulis Deskripsi Kesimpulan Harting, T.M Penelitian Infus intravena sel punca mesenkimal et al., 2008 prospektif tidak menghasilkan hasil yang signifikan menggunakan dari sel yang rusak atau proses hewan coba tikus pemulihan motorik atau fungsi kognitif sampel. 2 Harting, T.M Penelitian Kombinasi sel punca embrionik et al., 2009 prospektif pluripotentiality dengan beberapa hasil menggunakan diferensiasi sel germinal memiliki hewan coba tikus kerangka kerja konseptual yang baru untuk perbaikan SSP. 3 Richardson Review Literatur Dengan paradigma baru neurogenesis R.M et al., endogenik dan transplantasi diferensiasi 2010 NPC memberikan harapan pada terapi penyakit destruktif SSP seperti TBI dan SCI. 4 Tajiri N, et al., Experimental Penurunan yang signifikan dari 2014 menggunakan kerusakan dan kehilangan sel dari hewan coba tikus korteks dan hippocampus pada terapi Intravenous transplants of human adipose-derived stem cell Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research 49 Referensi Chopp M., Mahmood A., Lu D., Li Y., Mesenchymal stem cell treatment of traumatic brain injury. J Neurosurg 110:1186–1188, 2009., Departments of Neurology and Neurosurgery, Henry Ford Health System, Detroit, Michigan Harting TM., Baumgartner J.E., Worth L.L., Ewing-Cobbs L., Gee A.P., Cell therapies for traumatic brain injury, Neurosurg Focus 24 (3&4):E17, 2008 Harting TM., Jimenez F., Xue H., Fischer U.M., Baumgartner J., Intravenous mesenchymal stem cell therapy for traumatic brain injury, J. Neurosurg. / Volume 110 / Page 1189–1197 / June 2009 Richardson R.M., et all., Stem cell biology in traumatic brain injury: effects of injury and strategies for repair,. J Neurosurg 112:1125–1138, 2010 Tajiri N, et al. Intravenous transplants of human adipose-derived stem cell protect the brain from traumatic brain injury-induced neurodegeneration and motor and cognitive impairments: cell graft biodistribution and soluble factors in young and aged rats. J Neurosci. 2014 Jan 1;34(1):313-26. doi: 10.1523/JNEUROSCI.2425-13.2014 Vadivelu S., Platik. M.M., Choi L., Lacy M.L., Shah A.R. Multi-germ layer lineage central nervous system repair:nerve and vascular cell generation by embryonic stecells transplanted in the injured brain., J Neurosurg 103:124–135, 2005 VI. REKOMENDASI ACUAN TATALAKSANA PEMBEDAHAN (GUIDELINE FOR SURGICAL TREATMENT) VI.1 Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Epidural (EDH) Standard : Belum ada data yang mendukung Guideline : Belum ada data yang mendukung Option : Pengambilan keputusan operatif atau non operatif berdasarkan keadaan klinis dan radiologis penderita. Indikasi pembedahan atau evakuasi massa dilakukan bila terdapat efek massa dan penurunan fungsi neurologi secara progresif 50 Indikasi pembedahan : 1) Pasien EDH tanpa melihat GCS dengan volume > 30 cc, atau ketebalan > 15 mm, atau pergeseran midline > 5 mm, atau 2) Pasien EDH akut (GCS <9) dan pupil anisokor Waktu : Pasien EDH akut dengan koma (GCS < 9) dan pupil anisokor dilakukan cito pembedahan atau evakuasi Metode : Belum ada data yang cukup untuk mendukung satu metode pembedahan, bagaimanapun juga craniotomy memberikan kemungkinan evakuasi yang lebih baik Penjelasan Rekomendasi : Ketebalan, volume hematom, dan midline shift (MLS) struktur pada CT Scan kepala awal mempengaruhi outcome. CT Scan kepala evaluasi pada pasien non operatif dilakukan 6-8 jam setelah trauma. pasien EDH dengan volume > 30 cc, atau ketebalan > 15 mm, atau pergeseran midline > 5 mm tanpa melihat GCS, dilakukan tindakan pembedahan karena efek massa yang signifikan. Pasien EDH dengan volume < 30 cc dan GCS < 9 disertai pupil anisokor secepat mungkin dilakukan tindakan evakuasi. Pasien EDH dengan volume <30 cc, ketebalan <15 mm, pergeseran midline <5 mm tanpa melihat GCS yang tidak disertai pupil anisokor dilakukan manajemen non operatif yang agresif. Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1 Penulis Mitesh V, 1998 Deskripsi Analisis Retrospektif TP/DR III/C Kesimpulan Pengambilan terhadap 221 pasien keputusan operatif EDH atau non operatif berdasarkan radiologis dan keadaan klinis penderita 51 2 Bullock Manajemen III/C Evakuasi massa bila et al., 2006 pembedahan ada efek massa hematoma epidural dan penurunan fungsi neurologi secara progresif Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research Referensi Bullock et al. Surgical management of Acute Epidural Hematomas. Neurosurgery 2006;58:7-15 Cooper PR, (ed), 1993, Head Injury, 3rd Ed, William & Wilkins Baltimore, Maryland, USA.Mitesh V. American Journal of Neuroradiology 1998;20:115-6 Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (eds) 1996. Neurotrauma, MC Graw Hill Co. New York. Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6. Wilkins RH and Rengachary SS (eds), Neurosurgery Vol. II, 2nd ed. MC Graw Hill Co. New York. VI.2. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Subdural Standard : Belum ada data yang mendukung Guideline 1. Menurunkan TIK dengan drainase LCS transventrikel dan monitoring TIK, keduanya lebih penting daripada operasi dekompresi pada SDH tipis (tebal ≤ 10mm) 2. Tidak ada perbedaan bermakna secara statitistik antara tindakan operasi dan konservatif pada penderita cedera otak berat dengan hematom subdural akut traumatika tipis. Option : Indikasi pembedahan pada SDH akut sesuai penjelasan rekomendasi. Dengan indikasi pembedahan sebagai berikut: Indikasi pembedahan : SDH Akut 1) Pasien SDH tanpa melihat GCS : 52 a. Dengan ketebalan > 10 mm b. Atau midline shift (MLS) > 5 mm pada CT Scan 2) Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK 3) Pasien SDH dengan GCS < 9 : a. Ketebalan SDH < 10 mm dan pergeseran struktur midline, jika mengalami penurunan GCS lebih dari 2 poin atau lebih antara saat kejadian dengan saat masuk ke rumah sakit b. Dan atau jika didapatkan pupil yang dilatasi asimetri atau fixed c. Dan/atau TIK > 20 mmHg SDH Kronis 1. Terdapat gejala klinis penurunan kesadaran maupun defisi neurologis fokal atau kejang 2. Ketebalan lesi > 1cm Waktu : Pada pasien SDH akut dengan indikasi pembedahan maka pembedahan dilakukan secepat mungkin. Kemampuan untuk mengontrol TIK lebih penting daripada evakuasi hematom. Metode : Metode penanganan pasien dengan SDH akut tipis traumatika dengan drainase LCS transventrikel juga untuk monitor TIK. Metode operasi craniotomy dekompresi dan pemasangan drainase LCS transventrikel dilakukan pada penderita dengan indikasi tertentu. Penjelasan Rekomendasi : Penderita COB dengan komplikasi SDH akut merupakan penyebab kematian utama pada COB dengan lesi massa intrakranial dimana angka kematian mencapai 42%90%. Kerusakan otak yang terjadi lebih berat karena mekanisme trauma yang hebat, kerusakan parenkim otak yang luas dan edema serebral. Secara patofisiologi, pengaruh cedera otak primer yang terjadi terhadap hasil akhir lebih penting daripada efek SDH itu sendiri sehingga kemampuan untuk mengontrol TIK lebih penting daripada tindakan evakuasi hematom. Tindakan drainase LCS transventrikel lebih baik dibandingkan dengan pembedahan evakuasi hematom dan dekompresi pada SDH tipis 53 Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1 Penulis Deskripsi penelitian TP/DR Kesimpulan II/B Kemampuan untuk Wilberger Penelitian retrospektif analitik et al.,1991 untuk mengetahui apakah operasi mengontrol TIK yang dilakukan kurang dari 4 jam lebih berpengaruh setelah trauma memberi hasil akhir terhadap hasil akhir yang lebih baik dibandingkan waktu pelaksanaan evakuasi hematom 2 Widodo, Penelitian prospektif eksperimental II/B Tidak ada Kasan U, untuk mengetahui perbedaan hasil perbedaan 1999 akhir antara tindakan operasi dan bermakna secara konservatif pada penderita cedera statitistik antara otak berat dengan hematom tindakan operasi subdural akut traumatika tipis. dan konservatif pada penderita cedera otak berat dengan hematom subdural akut traumatika tipis. 3 4 Hartanto, Penelitian prospektif analitik II/B Kasan U, evakuasi hematom dan dekompresi pembedahan 2003 dibanding penanganan secara (evakuasi konservatif pada penderita dengan hematom dan cedera otak berat dengan dekompresi) lebih komplikasi hematom subdural baik daripada kurang dari 1cm dan efek massa penanganan secara lebih dari 5 mm. konservatif. II/B Tindakan Thohari K, Studi prospektif observasional Tindakan drainase Bajamal untuk mengetahui perbedaan CSF transventrikel A.H., hasil akhir antara tindakan lebih baik 2006 pembedahan evakuasi hematom dibandingkan 54 dan dekompresi dengan drainase dengan CSF transventrikel pada penderita pembedahan dengan cedera otak berat dengan evakuasi hematom komplikasi hematom subdural dan dekompresi. kurang dari 1 cm dan efek massa lebih dari 5 mm. Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research Referensi Cooper PR, (Ed), 1993, HEAD INJURY, 3rd Ed, William & Wilkins Beltimore, Maryland, USA Greenberg, MS 2010, Handbook of Neurosurgery, 7th eds, Thieme, New York. Hartanto RA, Kasan U. Operasi Dekompresi dan Evakuasi hematom subdural akut tipis pada cedera otakberat. Karya Tulis Akhir PPDS I Ilmu Bedah Saraf, Lab/UPF Bedah Saraf FK Unair/RSUDDr Soetomo. 2003 Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (Eds) 1996 NEUROTRAUMA, MC Grow Hill Comp, New York. Palmer JD. Head trauma in Manual of Neurosurgery Churchil Livingstone, New York 1997. pp. 499-580 Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6. Thohari K., Bajamal A.H., Penatalaksanaan Perdarahan Subdural Akut Tipis pada Penderita Cedera otak Berat.Karya Tulis Akhir PPDS I Ilmu Bedah Saraf, Lab/UPF Bedah Saraf FK Unair/RSU Dr. Soetomo. 2006 Valadka AB, Andrews BT, 2005, Neurotrauma: Evidence-Based Answers to Common Questions, Thieme, New York, Stuttgart. Widodo J., Kasan U. Perbandingan tindakan operasi dan konservatif penderita dengan komplikasihematoma subdural akut traumatika tipis pada cedera otak berat. Karya Tulis Akhir PPDS IIlmu Bedah Saraf, Lab/UPF Bedah Saraf FK Unair/RSUD Dr Soetomo. 1999 Wilberger JE Jr, Harris M, Diamond DL: Acute subdural hematoma: Morbidity, mortality, andoperative timing. J Neurosurg 1991;74:212-8. 55 VI.3 Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Parenkim Otak Standard : Belum ada data yang mendukung Guideline : Belum ada data yang mendukung Option : Indikasi, waktu dan metode pembedahan Indikasi pembedahan : 1) Pasien dengan GCS 6-8 dengan perdarahan parenkim otak pada daerah frontal atau temporal dengan volume perdarahan > 20 cc, dengan pergeseran struktur midline ≥ 5 mm dan atau kompresi pada sisterna. 2) Perdarahan parenkim otak dengan volume perdarahan > 50 cc 3) Pasien dengan perdarahan parenkim otak dan tanda-tanda deteriorasi neurologis yang progresif sesuai dengan lesi, hipertensi intrakranial yang refrakter dengan medikamentosa, atau didapatkan tanda-tanda efek massa pada CT scan. Waktu dan Metode : Kraniotomy dan evakuasi lesi massa direkomendasikan pada pasien dengan lesi fokal dan dengan indikasi pembedahan di atas. Kraniektomy dekompresi bifrontal dalam 48 jam sejak trauma merupakan pilihan penanganan untuk pasien dengan cerebral edema diffusa dan hipertensi intrakranial membandel dengan pengobatan. Prosedur dekompresi termasuk dekompresi subtemporal, lobektomi temporal dan kraniektomy dekompresi hemisfer, merupakan pilihan penanganan untuk pasien dengan hipertensi intrakranial yang membandel dan trauma parenkimal diffusa dengan klinis dan radiologis adanya impending herniasi transtentorial Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1 Penulis Deskripsi Soloniuk Manajemen dan indikasi et al, 1986 operasi ICH trauma TP/DR III/C kesimpulan Indikasi operasi dibuat berdasarkan data dari yang ada dan waktu kapan untuk dilakuan evakuasi. 2 De Luca Pengalaman pengarang et al, 2000 penanganan pasien IV/C Operasi dekompresi untuk peningkatan TIK 56 dengan peningkatan harus dilakukan tekanan intracranial. sesegera mungkin, sebelum keadaan yang irrversibel terjadi. 3 Bullock Manajemen bedah pada et al., 2006 perdarahan parenkim otak III/C Evakuasi massa segera dilakukan bila ada efek masa dan penurunan fungsi neurologi progresif Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research Referensi Bullock et al. Surgical management of posterior fossa mass lesions. Neurosurgery 2006;58:47– 55. Cooper PR (ed), 1993, Head Injury, 3rd ed, William & Wilkins Baltimore, Maryland, USA. De Luca GP, Volpin L, Fornezza U, et al. The role of decompressive craniectomy in the treatment of uncontrollable post-traumatic intracranial hypertension. Acta Neurochir Suppl 2000;76:401-4. Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (Eds) 1996 Neurotrauma, MC Graw Hill Comp, New York. Palmer JD. Head Trauma in Manual of Neurosurgery Churchill Livingstone, New York 1997. pp 499-580 Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6. Soloniuk D, Pitts LH, Lovely M, et al. Traumatic intracerebral hematomas: timing of appearance and indications for operative removal. J Trauma 1986; 26:787-94. Wilkins RH and Rengachary SS (eds), Neurosurgery Vol. II, 2nd ed MC Graw Hill Comp New York. 57 VI.4. Rekomendasi Pembedahan Pada Lesi Massa di Fosa Posterior Standard : Belum ada data yang mendukung Guideline : Belum ada data yang mendukung Option : Indikasi, waktu dan metode pembedahan Indikasi pembedahan : 1) Pasien dengan efek massa pada CT Scan kepala. Efek massa ditandai dengan : a) Kompresi atau obliterasi ventrikel IV b) Kompresi atau hilangnya sisterna basalis, atau c) Hidrosefalus obstruktif 2) Pasien dengan defisit neurologis Waktu : Pasien dengan indikasi untuk dilakukan pembedahan, evakuasi harus dilakukan segera bila ada efek masa dan penurunan fungsi neurologi yang progresif dan penderita dengan GCS > 8 memiliki prognosa / outcome yang lebih baik Metode : Kraniektomi suboccipital merupakan metode yang banyak dipakai dan direkomendasikan untuk evakuasi lesi massa fossa posterior Penjelasan Rekomendasi : Trauma yang berakibat lesi massa pada fossa posterior hanya berkisar 3% dari seluruh cedera otak. Meski demikian sebagian besar pasien dengan lesi massa fossa posterior didapati dengan penurunan kesadaran yang progresif dikarenakan ruang fossa posterior yang terbatas dan penekanan langsung pada batang otak. Tindakan bedah yang tepat dan segera dapat memberikan outcome yang baik. Terapi konservatif dapat dilakukan secara selektif pada kasus SDH fossa posterior Pasien dengan perdarahan cerebellum dengan diameter <3cm, atau tidak didapatkan defisit neurologis namun pada CT Scan terdapat efek massa, dapat diterapi konservatif dengan observasi ketat dan CT scan serial 58 Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1 2 Penulis Deskripsi TP/DR III/C Kesimpulan Kizikilc Laporan kasus pasien et al., 2003 SDH trauma fosa dapat dilakukan secara posterior dengan kista selektif pada kasus arakhnoid SDH fosa posterior III/C Terapi konservatif Avella Laporan kasus 24 pasien Pada pasien dengan et al., 2003 SDH trauma fosa GCS > 8 yang segera posterior dilakukan operasi memiliki outcome yang lebih baik 3 Bullock Manajemen bedah lesi III/C Evakuasi massa yang et al., 2006 massa fosa posterior dari segera bila ada efek analisa 24 dokumen masa dan penurunan medline secara review fungsi neurologi sistematis progresif Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research Referensi Avella et al. Traumatic Subdural Hematomas of posterior fossa : Clinicoradiological analysis of 24 patients. 2003. Bullock et al. Surgical management of Posterior fossa mass lession. Neurosurgery 2006;58:47-55 Cooper PR, (ed), 1993, Head Injury, 3rd Ed, William & Wilkins Baltimore, Maryland, USA Kizikilc et al. Traumatic Posterior Fossa Subdural Hemorraghe Associated with an Arachnoid Cyst in a Pediatric Patient. Eur J of Trauma 2003; 29: 242-6 Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (eds) 1996. Neurotrauma, MC Graw Hill Co. New York. Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6. Wilkins RH and Rengachary SS (eds), Neurosurgery Vol. II, 2nd ed. MC Graw Hill Co. New York. 59 VI.5 Rekomendasi Pembedahan Pada Fraktur Basis Cranii Standard : Belum ada data yang mendukung Guideline : Pemberian antibiotika profilaksis untuk pencegahan meningitis pada fraktur basis cranii tidak bermakna dibandingkan placebo Option : Penatalaksanaan Fraktur basis cranii terdiri dari perawatan konservatif dan atau tindakan pembedahan Indikasi pembedahan : 1. Kebocoran likuor serebrospinal setelah trauma yang disertai dengan meningitis. 2. Fraktur transversal os petrosus yang melibatkan otic capsule 3. Fraktur tulang temporal disertai kelumpuhan komplit otot – otot wajah 4. Pneumocephalus atau kebocoran LCS lebih dari lima hari Waktu : Tidak ada konsensus mengenai waktu pelaksanaan operasi. Rekomendasi terakhir menyebutkan diharapkan operasi sudah dilaksanakan dalam waktu 5 hari semenjak LCS fistula diisolasi. Pembedahan secepatnya direkomendasikan untuk mengurangi insiden infeksi Metode : Subtotal petrosectomy yang terdiri dari eksenterasi total dari temporal bone air cell tracts dan obliterasi dari tuba eustachian. Setelah struktur yang cedera diperbaiki atau dibebaskan (nervus fasialis, arteri karotis atau otic capsule), kavitas yang terbentuk diobliterasi dengan graft lemak endogen dan flaps otot temporal. Tindakan operasi untuk otorrhea meliputi craniotomy fossa media atau fossa posterior, menelusuri tulang untuk melihat paparan dura yang menutupi tulang petrosus. Diusahakan melakukan penutupan primer, namun bila tidak memungkinkan dapat dilakukan graft fascia lata atau graft lemak atau otot untuk menutupi defek. Tindakan operasi untuk Rhinorrhea disesuaikan dengan lokasi kebocoran yamg diketahui dengan tindakan diagnostik radiologis. 60 Penjelasan Rekomendasi : Perawatan konservatif dilaksanakan bila tidak didapatkan kebocoran LCS yang persisten, fraktur tulang temporal, kelumpuhan otot-otot wajah, kehilangan pendengaran, atau kebutaan. Terapi konservatif meliputi pemberian antibiotik empirik intravenous selama 5 hari untuk memberikan kesempatan penyembuhan robekan dura. Data terakhir menganjurkan pemberian PNC 1-2 juta unit/hari pada kasus kebocoran LCS. Kultur nasal dan tenggorokan segera diambil, dan antibiotik yang dipilih sesuai dengan kultur. Pasien dipertahankan dalam posisi bed rest total dengan elevasi posisi the head of bed, untuk mengurangi aliran LCS. Bila kebocoran cairan likuor tidak berkurang dalam waktu 72 jam dengan terapi konservatif, pemasangan lumbar drain dilakukan untuk mengalirkan 150 ml LCS perhari selama 3-4 hari. Diversi LCS dari kebocoran dura dapat membantu penutupan secara spontan. Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1 Penulis Deskripsi penilaian TP/DR Kesimpulan II/B Pemberian obat antibiotik Turchan A. Prospektif case 1995 control insiden propilaksis untuk meningitis pada pencegahan meningitis pemberian antibiotik pada fraktur dasar pada fraktur dasar tengkorak tidak tengkorak bermakna dibandingkan placebo. 2 Katzen T. Review beberapa et al., 2007 penelitian tentang tengkorak dapat fraktur dasar dilakukan dengan tengkorak konservatif bila tidak III/C Penanganan fraktur dasar didapatkan indikasi pembedahan. 61 3 Bachli H, Review beberapa III/C Penanganan pembedahan et al., 2009 penelitian mengenai dari fraktur basis kranii tingkat keparahan secara bermakna dapat dari fraktur basis didasarkan dari tingkat kranii keparahannya (CMF-ISS) Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research Referensi Bachli H, et al. Skull base and maxillofacial fractures: Two centre study with correlation ofclinical findings with a comprehensive craniofacial classification system. Journal of Cranio-Maxilofacial Surgery. 2009;37: 305-311 Cooper PR, (Ed), 1993, HEAD INJURY, 3rd Ed, William & Wilkins Beltimore, Maryland, USA. Greenberg, Mark S. 2010. Handbook of NeuroSurgery 7th Ed. Thieme Publishers, pp 887-889. Katzen T., Janahy R, Eby JB, Mathiasen RA., Margulies DM, Shahinian HK. Craniofacial and Skull Base Trauma. 2007. Available at \AMM/. Skull Base lnstitute' Kaye AH. Essential Neurosurgery.Blackwell Publishing, Ltd. Massachusetts. 2005 pp 50-51 Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (Eds) 1996 NEUROTRAUMA, MC Grow Hill Comp, New York. Turchan A, Kasan U. Penggunaan Kloksasilin Dibandingkan Plasebo Dalam Hal Mencegah Komplikasi Meningitis Bakteri Pada Penderita Patah Tulang Dasar Tengkorak.Laboratorium llmu Bedah RSUD Dr Soetomo. Fakuhas Kedokteran UniversitasAirlangga. 1995 Wahyuhadi J, dkk. Pedoman Tatalaksana Cedera Otak. Tim Neurotrauma RSUD Dr Soetomo. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2007, pp 5, 31-32 62 VI.3 Rekomendasi Pembedahan pada Diffuse Axonal Injury (DAI) Standard : Belum ada data yang mendukung Guideline 1. Pasien dengan DAI tanpa lesi massa memiliki tekanan intrakranial yang normal sehingga pemasangan ICP monitor tidak diperlukan 2. Nimodipine memperbaiki prognosis pasien dengan diffuse axonal injury dan menurunkan terjadinya vasospasm. Option :- Penjelasan Rekomendasi : Pasien cedera otak berat dengan diffuse axonal injury tanpa lesi massa harus diintubasi atau ditracheostomy untuk proteksi terhadap jalan nafas, dan diberikan oksigen dengan monitoring terhadap saturasi oksigen secara berkelanjutan. Pasien harus mendapatkan support ventilator apabila didapatkan kondisi gagal nafas atau klinis pasien yang mengalami perburukan. Dapat diberikan sedasi ringan dengan midazolam i.v tunggal atau kombinasi dengan morphine. Nimodipine memperbaiki prognosis pasien dengan diffuse axonal injury dan menurunkan terjadinya vasospasm. Nimodipine diberikan dengan dosis 60 mg setiap 4 jam segera setelah pasien masuk RS Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1 Penulis Deskripsi TP/DR II/B Kesimpulan Farhaoudi M Efek nimodipine pada Nimodipine memperbaiki et al., 2007 hemodinamik cerebral, prognosis pasien dengan vasospasm dan prognosis diffuse axonal injury dan jangka pendek pasien menurunkan terjadinya dengan diffuse axonal vasospasm. injury 2 Liew B Keluaran pasien cedera II/B Pasien dengan DAI tanpa et al., 2009 otak berat dengan diffuse lesi massa memiliki axonal injury yang diterapi tekanan intrakranial yang dengan manajemen ICP- normal sehingga CPP dibandingkan terapi pemasangan ICP monitor 63 konservatif di RS. Sultanah tidak diperlukan bila Aminah, Johor Bahru dibandingkan dengan bentuk cedera otak berat yang lain. Keluaran pasien dengan diffuse axonal injury yang diterapi secara konservatif lebih baik dalam hal lama rawatan di RS/ICU dan perbaikan GCS Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research Referensi Farhoudi M et all., Effects of nimodipine on cerebral hemodynamics, and prognosis of diffuse axonal injury patients. Neurosciences 2007; Vol. 12 (4) Liew B et al., Severe Traumatic Brain Injury: Outcome in Patients withDiffuse Axonal Injury Managed Conservatively in Hospital Sultanah Aminah, Johor Bahru – An Observational Study. Med J Malaysia Vol . 64 No. 4 December 2009 64 VII. REKOMENDASI ACUAN PENGENDALIAN TEKANAN INTRAKRANIAL (GUIDELINE FOR INTRACRANIAL PRESSURE MONITORING AND TREATMENT ) VII.1 Indikasi pemasangan alat pantau tekanan intrakranial- Ventrikulostomi Standard : Belum ada data yang mendukung Guideline : Pasien dengan cedera kepala berat dengan tekanan intra kranial 20 mmHg atau lebih rendah memberikan outcome yang signifikan lebih baik dinilai dari status kognitif. Option : Indikasi dan metode pemasangan ICP monitor Indikasi : 1. Pemasangan ICP monitor perlu dilakukan pada pasien COB (GCS 3-8 setelah proses resusitasi) dengan CT Scan kepala abnormal (hematoma, contusio, edema serebri atau penyempitan sisterna basalis). 2. ICP monitor juga dipasang pada pasien COB dengan CT Scan kepala normal jika didapatkan 2 atau lebih dari hal berikut : a. Usia > 40 tahun b. TDS < 90 mmHg c. Postural bilateral atau unilateral Metode: Metode monitoring TIK adalah melakukan pemasangan drainase intraventrikuler, dengan lokasi insersi pada titik kocher. Penjelasan Rekomendasi : Tujuan utama Intensif Management Protocol adalah untuk memelihara perfusi dan oksigenasi otak secara adekuat untuk menghindari cedera otak sekunder. Perfusi otak yang menurun dan outcome yang buruk berhubungan dengan hipotensi sistemik dan hipertensi intrakranial. Satu-satunya jalan untuk menentukan CPP adalah dengan memonitor TIK dan tekanan darah sistemik secara kontinyu. 65 Pasien dengan cedera kepala berat dengan tekanan intra kranial 20 mm Hg atau lebih rendah memberikan outcome yang signifikan dinilai dari status kognitif. Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1 Penulis Deskripsi penelitian TP/DR Kesimpulan II/B Pasien dengan cedera kepala Randall M. Monitoring tekanan et al., 2012 intrakranial berat dengan tekanan intra dipertimbangkan kranial 20 mm Hg atau lebih sebagai terapi standar rendah memberikan outcome untuk pasien cedera yang signifikan dinilai dari kepala berat status kognitif. Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research Referensi Cooper PR, (Ed), 1993, HEAD INJURY, 3rd Ed, William & Wilkins Beltimore, Maryland, USA. Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (Eds) 1996 NEUROTRAUMA, MC Grow Hill Comp, New York. Palmer JD. HEAD TRAUMA in Manual of Neurosurgery Churchil Livingstone, New York 1997. pp 499-580 Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6. Randall M, Chesnut, M.D, Temkin N, A trial of Intravranial-Pressure Monitoring in Traumatic brain injury. J Neurotrauma 2012; 367; 26; 2471-81. Wilkins RH and Rengachary SS (Eds), Neurosurgery Vol. II, 2nd Ed MC Graw Hill Comp New York. VII.2 Manajemen Tekanan Intra Kranial Standard : Belum ada data yang mendukung Guideline : Belum ada data yang mendukung Option : Beberapa option dalam penanganan ICP 66 Penjelasan rekomendasi : Pada beberapa jurnal sudah disusun guideline penanganan peningkatan TIK beserta Beberapa pilihan yang didapatkan dari penelitian.: • Pemasangan ICP Monitor • Menjaga CPP>70 mmHg • Drainase Cairan Serebrospinal(CSF) • Manitol 0,25 - 1,0 gr/KgBB • Hyperventilation PaCO2 30-35 mmHg • Terapi tersier: barbiturat dosis tinggi, hyperventilation PaCo2<30mmHg, Hypothermia, Decompressive Craniecktomy. 67 Algoritma Tatalaksana Peningkatan TIK Pilihan I Pemasangan ICP Monitor Menjaga CPP>70mmHg Hipertensi TIK CT Scan ulang Pertahankan terapi TIK Manitol 0.25-­‐1.0 g/KgBB ya a Hipertensi TIK? tidak j Hiperventilasi sampai PaCO2 30-­‐35mmHg ya Hipertensi TIK? tidak Terapi tersier penanganan TIK Dikutip dari Guidelines For the Management of Severe Head Injury (Journal of Neurotrauma November 1996) 68 Algoritma Tatalaksana Peningkatan TIK Pilihan II Sedasi dan analgesik Penggunaan Ventilator (PaCO2 30-­‐35 mmHg, PEEP sampai 10 cmH2O) Head Up 30° dengan leher yang lurus Terapi Dasar Terapi Lanjutan Manitol THAM Cairan hipertonik Drainase CSF Decompressive Craniectomy Koma dengan barbiturat Dikutip dari Valadka AB, Andrews BT. Neurotrauma Evidence-Based Answer to Common Questions. 2004 69 Algoritma Tatalaksana Peningkatan TIK Pilihan III Sedasi Drainase CSF Manitol Mild Hiperventilasi-­‐ hipothermi 32 Hiperventilasi agresif Barbiturat Dikutip dari Head Injury Pathofiology and management of Severe Closed Injury,Peter Reilly 1997 70 Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1 2 3 Pengarang Diskripsi Bullock Jalur kritis et al., 1996 penanganan TIK Peter Reilly, Algoritma 1997 penanganan TIK Valadka Algoritma et al., 2004 penanganan TIK TP/DR Kesimpulan III/C Sesuai skema I, drainase CSF setelah itu manitol III/C Skema III,drainase CSF dulu baru pemberian manitol III/C Sesuai skema II, pemberian manitol setelah itu drainase CSF Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research Referensi Bullock RM, Povlishock JT. Guidelines for the management of Severe Head Injury, Journal of Neurotrauma,November 1996. Reilly P,Head Injury : Pathophysiology and management of Severe Closed Injury, 1997 Valadka, Neurotrauma Evidence-Based Answer to Common Question,2004 71 VIII. ACUAN TATALAKSANA CEDERA OTAK TRAUMATIK PADA ANAK VIII.1 Resusitasi Tekanan Darah dan Oksigenasi Standard : Belum ada data yang cukup Guideline : Hipotensi harus segera diatasi dengan cairan resusitasi Option : Kontrol terhadap jalan nafas harus dilakukan pada anak dengan GCS ≤8 Penjelasan Rekomendasi : Pada anak, hipotensi didefenisikan sebagai penurunan tekanan darah dibawah 5 persentil sesuai usia atau menunjukkan tanda-tanda syok. Batas bawah TDS (persentil kelima) sesuai usia dapat diperkirakan dengan formula : 70 mmHg + (2 x Usia dalam tahun). Oksigenasi dan ventilasi diawasi ketat dengan pulse oxymetri dan End-tidal CO2 monitoring atau pemeriksaan Gas Darah (BGA) secara berkala. Hipoksia didefenisikan sebagai : apnea, Cyanosis, PaO2 < 60-65 mmHg, atau saturasi oksigen 90%. Cyanosis sentral bukan indikator yang awal dan tepat adanya hipoksia pada anak-anak. Hipoventilasi didefenisikan sebagai pernafasan yang tidak adekuat sesuai usianya, pernafasan yang tidak teratur dan dangkal, periode apnea yang sering, atau didapatkan tanda hiperkarbia. Hipoventilasi adalah indikasi untuk dilakukan kontrol jalan nafas dan assisted ventilation dengan oksigen 100%. Pada anak, resusitasi cairan merupakan indikasi bila didapatkan tanda-tanda penurunan perfusi meskipun tekanan darah sudah adekuat. Syok biasanya tidak disebabkan oleh cedera otak itu sendiri, evaluasi adanya cedera spinal atau cedera lainnya harus dilakukan. Restriksi cairan untuk membatasi edema otak merupakan kontraindikasi pada penanganan cedera otak. Jika akses vaskuler perifer sulit didapatkan, infus intraosseus dan obat-obatan harus dilakukan. Mortalitas pada anak-anak lebih rendah dibandingkan dengan dewasa. Pada anak hanya hipotensi yang berhubungan dengan angka mortalitas yang lebih tinggi, 72 sedangkan pada dewasa faktor hipotensi dan hipertensi. Hasil akhir yang jelek berhubungan dengan : GCS < 8, abnormalitas pupil, defisit motorik, hipoksia, hipotensi dan cedera ekstrakranial. Hipotensi dengan atau tanpa hipoksia meningkatkan angka mortalitas secara signifikan Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1 Penulis Deskripsi Penelitian TP/DR Kesimpulan Fisher Penelitian double-blind cross III/C et al, 1992 over membandingkan 3% dapat menurunkan penggunaan cairan saline TIK dan mengurangi 3% (1025 mOsm/L) dan intervensi yang lain 0,9% (308 mOsm/L) pada ( thiopental dan anak dengan cedera otak hiperventilasi). Kadar berat Serum sodium Cairan hipertonis saline meningkat sekitar 7 mEq/L setelah pemberian saline 3% 2 Khanna Studi prospektif tentang III/C Terjadi penurunan yang et al., 2000 penggunaan cairan signifikan pada TIK dan hipertonis saline 3% (1025 peningkatan CPP selama mOsm/L) pemberian cairan saline 3% Timbulnya hipernatremi dan hiperosmoler dapat ditoleransi secara aman pada pasien anak-anak 3 Peterson Penelitian retrospektif untuk III/C Cairan hipertonis Saline et al., 2000 mengetahui efek cairan 3%efektif dalam hipertonis Saline 3% dalam menurunkan TIK menurunkan TIK 4 Simma Penelitian prospektif random III/C Pasien yang diterapi et al., 2000 terbuka membandingkan dengan salin hipertonis penggunaan saline memerlukan intervensi 73 hipertonis (598 mOsm/L) tambahan yang lebih dengan ringer laktat yang sedikit dibandingkan diberikan lebih dari 3 hari dengan pemberian pada 35 anak dengan dengan ringer laktat cedera otak berat dalam mengatur TIK. Group dengan pemberian salin hipertonis memiliki waktu tinggal di ICU lebih singkat, penggunaan ventilasi mekanik lebih singkat, lebih sedikit komplikasi dibandingkan dengan penggunaan ringer laktat 5 Sakellaridis Penelitian prospektif untuk II/B Tidak ada perbedaan et al., 2011 membandingkan efek dari diantara kedua terapi mannitol dan saline baik dalam hal hipertonis terhadap penurunan ICP dan hipertensi intrakranial pada durasi kerjanya pasien dengan cedera otak berat Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research Referensi : Fisher B, Thomas D, Peterson B ; Hypertonic saline lowers raised intracranial pressure in children after head trauma. J Neurosurg Anesthesiol 1992; 4 : 4-10 Khanna S, Davis D, Peterson B, et al : Use of hypertonic saline in the treatment of severe refractory posttraumatic intracranial hypertension in pediatric traumatic brain injury. Crit Care Med 2000; 28 : 1144-1151 74 Peterson B, Kanna S, Fisher B, et al . Prolonged hypernatremia controls elevated intracranial pressure in head injured pediatric patients. Crit Care Med 2000; 28 : 1136 -1143 Sakellaridis N, Pavlou E, Karatzas S, et al : Comparison of mannitol and hypertonic saline in the treatment of severe brain injury. J Neurosurg 2011; 114 : 545-548 Simma B, Burger R, Falk M, et al : A prospective, randomized and controlled study of fluid management in children with severe head injury : Lactated Ringer’s solution versus hypertonic saline. Crit Care Med 1998; 26 : 1265-1270 VIII.2 Indikasi Pemasangan Alat Monitor Tekanan Intrakranial Standard : Belum ada data yang cukup Guidelines : Belum ada data yang cukup Option : ICP Monitor dapat dilakukan pada bayi dan anak dengan cedera otak berat Penjelasan Rekomendasi: ICP monitor diindikasikan pada penderita COB dengan CT Scan abnormal. Penderita COB dengan CT Scan normal dipasang ICP monitor bila didapatkan minimal 2 dari keadaan berikut : 1) Motor posturing 2) Hipotensi sistemik Fontanela mayor dan atau sutura yang masih terbuka pada bayi tidak dapat menyingkirkan kemungkinan terjadinya TIK yang tinggi atau menyingkirkan penggunaan ICP monitor ICP monitor tidak dianjurkan rutin pada COS dan COR. Belum ada penelitian RCT untuk mengevaluasi terhadap hasil akhir pengaruh penanganan COB dengan atau tanpa pemasangan ICP monitor. TIK > 20 mmHg berhubungan dengan peningkatan resiko kematian. TIK > 35 mmHg dan CPP < 55 mmHg (dewasa) dan 45 mmHg (anak) merupakan faktor prediktif untuk hasil akhir yang jelek 75 Anak-anak dengan Cedera pada brain stem dengan TIK > 40 mmHg berhubungan dengan kematian dan vegetative state yang tinggi. Tujuan terapi pasien anak dengan cedera otak berat adalah normalisasi TIK (< 20 mmHg), optimalisasi CPP dan CBF, mencegah terjadinya cedera otak sekunder dan menghindari terjadinya komplikasi berkaitan dengan modalitas terapi yang bervariasi Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1 Penulis Deskripsi Penelitian TP/DR Eder Studi retrospektif pada et al., 2000 anak dengan cedera cedera pada batang otak otak berat. dan TIK > 40 mm Membandingkan berhubungan dengan beberapa faktor dan TIK kematian dan kondisi monitor terhadap vegetatif yang tinggi. III/C Kesimpulan Anak-anak dengan outcome 2 Peterson Penelitian retrospektif III/C Cairan hipertonis Saline et al., 2000 untuk mengetahui efek 3% efektif dalam cairan hipertonis Saline menurunkan TIK. 3% dalam menurunkan TIK 3 4 5 Downard Penelitian retrospektif III/C et al., 2000 pada anak yang berhubungan dengan dilakukan pemasangan peningkatan resiko TIK kematian III/C TIK > 20 mmHg Chambers Penelitian observational et al., 2001 pada pada anak-anak merupakan prediktif dan dewasa yang faktor untuk hasil akhir dilakukan TIK dan CPP yang jelek pada anak monitor dan dewasa III C TIK > 35 mm 14% survivor pada White Penelitian retrospektif et al., 2001 dan observasional kelompok 1 dan 41% terhadap 136 pasien di nonsurvivor pada NICU dan PICU dengan kelompok 2 memiliki ICP 76 ICP monitor > 20mmHg pada 72 jam pertama. ICP pada 6 jam, 12 jam dan 24 jam pertama yang rendah berhubungan secara signifikan dengan outcome yang baik. 6 Cruz Penelitian retrospektif III C ICP yang tinggi pada et al., 2002 mengenai efek dari hari 1-5 pertama, pemasangan ICP pada berhubungan dengan pasien pediatric penurunan ekstraksi oksigen otak dan prognosis yang buruk. 7 Pfenninger, Penelitian retrospektif III C Hipertensi intrakranial Santi, 2002 mengenai hubungan sebanding dengan pengukuran ICP dan prognosis buruk. monitoring tekanan vena jugular dengan outcome pada pasien pediatric 8 Adelson Penelitian rondomized et al, 2005 controlled trial terapi prediktor buruk untuk hyptotermi dan prognosis yang paling normotermi pada terapi sensitif. Rerata ICP yang peningkatan TIK pada rendah berhubungan pasien pediatric dengan prognosis yang IIIC ICP > 20 adalah baik 9 Wahlstrom Penelitian observasional III C Pada penelitian ini tidak et al, 2005 mengenai terapi terbukti adanya monitoring ICP hubungan signifikan menggunakan protokol antara ukuran ICP dan 77 Lund pada pasien outcomen pasien. pediatri 10 Stiefel M, Penelitian retrospektif III/C Pemasangan monitor et al, 2006 pada pasien anak-anak PO2jaringan merupakan yang dilakukan tambahan yang berguna pemasangan monitor dan aman pada TIK dan PO2 jaringan pemasangan monitor TIK 11 Grinkeviciute Penelitian observasional III C Pada penelitian ini tidak et al, 2008 satu senter mengenai ada perbedaan outcome hubungan beberapa pada kelompok dengan terapi TIK tinggi pada tekanan ICP rerata baik pasien pediatri (22.2mmHg) dan buruk (24.6mmHg) 12 Jagannathan Penelitian observasional III C Outcome yang baik et al, 2008 mengenai terapi berhubungan dengan pemasangan ICP dalam manajemen kenaikan hubungannya dengan TIK yang baik. tindakan craniektomy dekompresi pada pasien pediatric Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research Referensi : Adelson PD, Ragheb J, Kanev P, et al: Phase II clinical trial of moderate hypothermia after severe traumatic brain injury in children. Neurosurgery 2005; 56:740 –754; discussion 740 –754 Chambers IR, Treadwell L, Mendelow AD : Determination of treshold levels of cerebral perfusionpressure and intracranial pressure in severe brain injury by using receiver operatingcharacteristic curves : An observational study in 291 patients. J Neurosurg 2000; 94 :412-416 Cruz J, Nakayama P, Imamura JH, et al: Cerebral extraction of oxygen and 78 intracranial hypertension in severe, acute, pediatric brain trauma: Preliminary novel management strategies. Neurosurgery 2002; 50: 774 –779; discussion 779 –780 Downard C, Hulka F, Mullins R, et al : Relationship of cerebral perfusion pressure and survival in pediatric brain-injured patients. J Trauma 2000; 49: 654-659 Elder HG, Legat JA, gruber W : Traumatic brain stem lesion in children. Childs Nerv Syst 2000;16: 21-24 Grinkeviciute DE, Kevalas R, Matukevicius A, et al: Significance of intracranial pressure and cerebral perfusion pressure in severe pe- diatric traumatic brain injury. Medicina (Kaunas, Lithuania) 2008; 44:119 –125 Jagannathan J, Okonkwo DO, Yeoh HK, et al: Long-term outcomes and prognostic factors in pediatric patients with severe traumatic brain injury and elevated intracranial pressure. J Neurosurg Pediatr 2008; 2:240 –249 Peterson B, Kanna S, Fisher B, et al : Prolonged hypernatremia controls elevated intracranialpressure in head injured pediatric patients. Crit Care Med 2000; 28 : 1136 -1143 Pfenninger J, Santi A: Severe traumatic brain injury in children—Are the results improving? Swiss Med Wkly 2002; 132:116 –120 Stiefel M, Joshua D, Storm P, et al : Brain tissue oxygen monitoring in pediatric patients with severe traumatic brain injury. J Neurosurg 2006; 105:281-286 White JR, Farukhi Z, Bull C, et al: Predictors of outcome in severely head- injured children. Crit Care Med 2001; 29:534 –540 Wahlstrom MR, Olivecrona M, Koskinen LO, et al: Severe traumatic brain injury in pediatric patients: Treatment and outcome using an intracranial pressure targeted therapy— The Lund concept. Intensive Care Med 2005; 31:832– 839 79 VIII.3 Ambang Terapi Tekanan Intrakranial yang Meningkat Standard : Belum ada data yang cukup Guidelines : Belum ada data yang cukup Option 1. Hipertensi intrakranial didefenisikan sebagai peningkatan patologis pada TIK 2. Tatalaksana segera dimulai bila TIK ≥ 20 mmHg 3. Interpretasi dan terapi hipertensi intrakranial didasarkan pada titik kritis TIK yang dikaitkan dengan : pemeriksaan klinis, pemantauan variabel fisiologis misal CPP dan foto serial Penjelasan Rekomendasi : Pengaruh hipertensi intrakranial atau peningkatan TIK yang patologis terhadap outcome COB pada anak-anak berkaitan dengan nilai puncak TIK dan durasi peningkatan tersebut. Outcome yang jelek bila TIK > 30 mmHg dibandingkan TIK < 20 mmHg. Batas tertentu TIK untuk memulai pengobatan pada anak-anak dengan COB belum dapat ditegakkan Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No Penulis Deskripsi Penelitian TP/DR Kesimpulan 1 Shapiro and Studi prospektif non random III/C Peningkatan TIK >20 Marmarou, menentukan hubungan mmHg berbanding 1982 antara TIK dan PVI (Pressure terbalik dengan PVI Volume Index) (Pressure Volume Index) 2 3 Cho Penelitian retrospektif pada et al., 1995 shaken baby syndrome pada bila TIK > 30 mmHg pasien < 2 tahun, yang dibandingkan TIK < dipasang TIK / operasi. 20 mmHg Sharples Penelitian prospektif. et al., 1995 Mengetahui hubungan antara III/C III/C Outcome yang jelek CBF berbanding terbalik dengan TIK CBF dengan TIK 80 4 III/C 14% survivors dan White Penelitian retrospektif dan et al., 2001 observasional terhadap 136 41% nonsurvivors pasien di NICU dan PICU memiliki ICP > dengan ICP monitor 20mmHg pada 72 jam pertama. ICP pada 6 jam, 12 jam dan 24 jam pertama yang rendah berhubungan secara signifikan dengan outcome yang baik. 5 Cruz Penelitian prospektif pada III C Rerata ICP 15-21 et al., 2002 terapi monitoring ICP pada mmHg pada hari ke 2- pasien pediatri. 5 didapatkan pada kelompok pasien pasien dengan outcome yang baik. Rerata ICP 19-26 mmHg pada hari ke 25 didapatkan pada kelompok pasien dengan outcome yang buruk. 6. Pfenninger, Penelitian retrospektif III C Hipertensi intrakranial Santi, 2002 mengenai hubungan dengan tinggi > 20 pengukuran ICP dan mmHg sebanding monitoring tekanan vena dengan prognosis jugular dengan outcome buruk. pada pasien pediatric 7 Adelson Penelitian rondomized et al., 2005 controlled trial terapi IIIC Rerata ICP pada anak-anak dengan 81 hyptotermi dan normotermi prognosis baik (11.9 pada terapi peningkatan TIK + 4.7 mm Hg) vs pada pasien pediatri prognosis buruk (24.9 + 26.3 mm Hg). Ukuran ICP > 20 mmHg sebanding dengan prognosis buruk 8 9 Kan Penelitian prospektif untuk et al., 2006 mengetahui mortalitas dan kraniektomi morbiditas pada pasien anak- dekompresi hanya anak dengan cedera otak untuk peningkatan berat yang dilakukan TIK memiliki kraniektomi dekompresi mortalitas yang tinggi Grinkeviciute Penelitian observasional satu et al., 2008 III/C III C Pasien yang dilakukan Tidak ada perbedaan senter mengenai hubungan outcome pada beberapa terapi TIK tinggi kelompok dengan pada pasien pediatri tekanan ICP rerata baik (22.2mmHg) dan buruk (24.6mmHg) Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research Referensi : Adelson PD, Ragheb J, Kanev P, et al: Phase II clinical trial of moderate hypothermia after severe traumatic brain injury in children. Neurosurgery 2005; 56:740 –754; discussion 740 –754 Cho D, Wang Y, Chi C : Decompressive craniotomy for acute shaken/impact baby syndrome. Pediatr Neurosurg 1995; 23: 192-198 Cruz J, Nakayama P, Imamura JH, et al: Cerebral extraction of oxygen and intracranial hypertension in severe, acute, pediatric brain trauma: Preliminary novel management strategies. Neurosurgery 2002; 50: 774 –779; discussion 779 –780 82 Grinkeviciute DE, Kevalas R, Matukevicius A, et al: Significance of intracranial pressure and cerebral perfusion pressure in severe pe- diatric traumatic brain injury. Medicina (Kaunas, Lithuania) 2008; 44:119 –125 Kan P, Amini A, Hansen K, et al : Outcome after decompressive craniectomy for severe traumatic brain injury in children. Journal Neurosurgery: Pediatrics 2006; 105:337-342 Pfenninger J, Santi A: Severe traumatic brain injury in children—Are the results improving? . Swiss Med Wkly 2002; 132:116 –120 Shapiro K, Marmarou A : Clinical applications of the pressure-volume index on treatment of pediatric head injuries. J Neurosurg 1982; 56 : 819825 Sharples PM, Stuart AG, Matthews Ds, et al : Cerebral blood flow and metabolism in children with severe head injury. Part I : Relation to age, Glasgow Coma Score, outcome, intracranial pressure, and time after injury. JNNP 1995; 58 : 145 -152 White JR, Farukhi Z, Bull C, et al: Predictors of outcome in severely head- injured children. Crit Care Med 2001; 29:534 –540 VIII.4 Penggunaan Terapi Hiperosmolar Untuk Mengendalikan Tekanan Intrakranial Standard : Pemberian manitol lebih baik dibandingkan dengan pemberian pentobarbital dan kurang menguntungkan jika dibandingkan dengan pemberian cairan hipertonik saline. Guidelines : Tidak ada perbedaan diantara mannitol dan saline hipertonis terhadap hipertensi intrakranial pada pasien dengan cedera otak berat dalam hal penurunan ICP dan durasi kerjanya Option : Cairan hipertonis NaCl 3% dan manitol dapat digunakan untuk mengendalikan TIK Penjelasan Rekomendasi : Manitol merupakan pilihan dalam manajemen peningkatan TIK dan cedera otak. Manitol dapat menurunkan TIK melalui 2 mekanisme : 83 1. Menurunkan TIK dengan menaikkan viskositas darah dengan mengurangi resultante diameter pembuluh darah → Penurunan volume darah otak dan TIK ( bersifat sementara < 75 menit ) 2. Efek Osmotik yang berkembang secara perlahan 15-30 menit, mengikuti pergerakan air secara graduil dari parenkim (ICF) ke sirkulasi (IVF) → efek timbul sekitar > 6 jam dan memerlukan Blood Brain Barrier yang intak Manitol efektif dalam dosis bolus antara 0,25 gr/kgBB -1 gr/kgBB. Persyaratan penggunaan manitol : 1. Euvolemia harus dipertahankan dengan terapi cairan 2. Pemasangan kateter urethra diwajibkan untuk mencegah ruptur buli 3. Osmolalitas serum dipertahankan di bawah 320 mOsm/L Cairan hipertonis salin 3% efektif dalam menurunkan TIK dan mengurangi intervensi yang lain ( Thiopental dan hiperventilasi ) → me↓ TIK dan me↑ CPP. Group dengan pemberian salin hipertonis memiliki waktu tinggal di ICU lebih singkat, penggunaan ventilasi mekanik lebih singkat, dan komplikasi yang lebih sedikit dibandingkan penggunaan RL. Dosis efektif dalam infus kontinyu salin 3% adalah 0,1 ml/kgBB/jam-1,0 ml/kgBB/jam. Osmolalitas serum dipertahankan pada 320 mOsm/L. Kadar serum sodium meningkat sekitar 7 mEq/L setelah pemberian salin 3%. Timbulnya hipernatremia dan hiperosmolar dapat ditoleransi secara aman pada pasien anak-anak. Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1 Penulis Deskripsi penelitian TP/DR Kesimpulan Fisher Penelitian double-blind et al., 1992 cross over 3%dapat menurunkan membandingkan TIK danmengurangi penggunaan cairan saline intervensi yanglain 3% (1025 mOsm/L) dan (thiopental 0,9% (308 mOsm/L) pada danhiperventilasi). anak dengan cedera otak Kadar Serum berat. sodiummeningkat sekitar III/C Cairan hipertonis saline 84 7 mEq/Lsetelah pemberian saline3% 2 Khanna Studi prospektif tentang III/C Terjadi penurunan yang et al., 2000 penggunaan cairan signifikan pada TIK dan hipertonis saline 3% peningkatan CPP selama (1025mOsm/L) pemberian cairan saline 3%Timbulnya hipernatremia dan hiperosmoler dapat ditoleransi secara aman pada pasien anak-anak. 3 Peterson Penelitian retrospektif III/C Cairan hipertonis Saline et al., 2000 untuk mengetahui efek 3% efektif dalam cairan hipertonis Saline menurunkanTIK. 3% dalam menurunkan TIK. 4 Simma Penelitian prospektif III/C Pasien yang diterapi et al., 2000 random terbuka dengan salin hipertonis membandingkan memerlukan intervensi penggunaan saline tambahan yang lebih hipertonis (598 mOsm/L) sedikit dibandingkan dengan ringerlaktat yang dengan pemberian diberikan lebih dari 3 hari dengan ringer laktat pada 35 anak dengan dalam mengatur TIK. cedera otak berat Groupdengan pemberian salin hipertonis memiliki waktu tinggal di ICU lebih singkat, penggunaan ventilasi mekanik lebih singkat, lebih sedikit komplikasi dibandingkan dengan 85 penggunaan ringer laktat 5 Wakai, 2013 Randomized control trial I/A Pemberian manitol lebih dengan pemberian manitol baik dibandingkan pada pasien trauma akut dengan pemberian cedera otak sedang dan pentobarbital dan kurang berat menguntungkan jika dibandingkan dengan pemberian cairan hipertonik saline. 6 Sakellaridis Penelitian prospektif untuk II/B Tidak ada perbedaan et al., 2011 membandingkan efek dari diantara kedua terapi mannitol dan saline baik dalam hal hipertonis terhadap penurunan ICP dan hipertensi intrakranial durasi kerjanya pada pasien dengan cedera otak berat Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research Referensi : Fisher B, Thomas D, Peterson B ; Hypertonic saline lowers raised intracranial pressure in childrenafter head trauma. J Neurosurg Anesthesiol 1992; 4 : 4-10 Khanna S, Davis D, Peterson B, et al : Use of hypertonic saline in the treatment of severerefractory posttraumatic intracranial hypertension in pediatric traumatic brain injury.Crit Care Med 2000; 28 : 1144-1151 Peterson B, Kanna S, Fisher B, et al : Prolonged hypernatremia controls elevated intracranialpressure in head injured pediatric patients. Crit Care Med 2000; 28 : 1136 -1143 Sakellaridis N, Pavlou E, Karatzas S, et al : Comparison of mannitol and hypertonic saline in the treatment of severe brain injury. J Neurosurg 2011; 114 : 545-548 Simma B, Burger R, Falk M, et al : A prospective, randomized and controlled study of fluidmanagement in children with severe head injury : Lactated 86 Ringer’s solution versushypertonic saline. Crit Care Med 1998; 26 : 1265-1270 VIII.5 Peran pengeluaran LCS Pada pengendalian TIK Standard : Belum ada data yang cukup Guidelines : Drainase cairan serebrospinal (3 ml) secara signifikan mengurangi ICP dan meningkatkan CPP selama setidaknya 10 menit. Option : Pengeluaran atau drainase dapat dilakukan melalui kateter ventrikulostomi atau dikombinasi dengan drainase lumbal Penjelasan Rekomendasi: Ditemukan studi kelas III pada anak dengan penggunaan darinase ventrikuler pada TBI. Sahpiro dan marmarou melakukan studi retrospektif pada anak dengan TBI berat, didapat score ≤ 8 pada Glasgow Coma Scale (GCS), yang mana semuanya dilakukan ventrikel drainase. Variabel terukur termasuk TIK, pressure-volume index, dan angka kematian. Drainase LCS akan meningkatkan Pressure Volume Index (PVI) dan penurunan TIK, kematian hanya terjadi pada pasien dengan hipertensi intrakranial tak terkendali/refrakter. Drainase LCS tidak terbatas dari rute ventrikel. Drainase lumbal sebagai kombinasi perlu dipertimbangkan pada kasus : 1) Hipertensi intrakranial yang membandel setelah pamasangan kateter ventrikulostomi yang berfungsi baik, 2) Sisterna basal yang terbuka 3) Dan tidak ada gambaran lesi massa yang besar atau pergeseran kompartemen pada foto Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1 Penulis Deskripsi penelitian TP/DR III/C Kesimpulan Shapiro, Penelitian retrospektif, Drainage meningkatkan Marmaron, 1982 22 pasien dengan EVD PVI, menurunkan TIK, ditentukan TIK/PVI kematian hanya pada 87 pasien dengan TIK tak terkendali 2 3 Baldwin and laporan serial klinis, lima III/C Tiga dari lima selamat rekate, 1991- pasien dengan drain 1992 lumbar Levy Penelitian retrospektif, et al., 1995 16 pasien dengan kematian pada dua lumbar drain pasien dengan TIK tak setelah penurunan TIK III/C Penderita dari 16 orang , terkendali 4 Kerr E Mary, Case control, untuk et al., 2001 mengetahui efek serebrospinal (3 ml) drainase LCS pada ICP secara signifikan monitor terhadap mengurangi ICP dan perfusi otak meningkatkan CPP II/B Drainase cairan selama setidaknya 10 menit. Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research Referensi : Baldwin HZ, Rekate HL : Preliminary experience wih controlled external lumbar drainage in diffuse pediatric head injury. Pediatry Neurosurg 1991-2; 17: 115-120 Kerr ME, et al : Dose response to cerebrospinal fluid drainage on cerebral perfusion in traumatic brain-injured adult, Neurosurg Focus 11 (4):Article 1; 1-6. 2001 Levy DI, Rekate HL, Cherny WB, et al : Controlled lumbar drainage in pediatric head injury. J Neurosurg 1995; 83 : 452-460. Shapiro K, Marmarou A : Clinical application of the pressure-volume index on treatment of pediatric head injuries. J Neurosurg 1982; 56 : 819825 88 VIII.6 Peran Hiperventilasi pada Tatalaksana Akut Pasien Pediatrik dengan COB Standard : Belum ada data yang cukup Guidelines : Belum ada data yang cukup Option : Hiperventilasi ringan atau profilaksis (PaCO2<35 mmHg) harus dihindari pada anak Penjelasan Rekomendasi: Hiperventilasi → Hipocapnia (PaCO2 ↓) → Vasokonstriksi otak → Pe↓ CBF → pe ↓ volume darah otak → pe ↓ TIK. Terapi hiperventilasi menunjukkan keuntungan pada cedera otak dengan berbagai mekanisme yaitu : 1) Penurunan asidosis otak 2) Peningkatan metabolisme otak 3) Perbaikan tekanan darah dari aliran darah otak Hiperventilasi → Pe ↓ TIK dan pe ↑ CPP 4) Peningkatan perfusi pada area otak yang iskemia Hiperventilasi ringan (PaCO2 30-35 mmHg) dapat dipertimbangkan pada kondisi hipertensi intrakranial yang tidak turun dengan : 1. Sedasi dan analgesia 2. Blokade neuromuskular 3. Pengeluaran LCS 4. Terapi hiperosmolar Hiperventilasi agresif (PaCO2 < 30 mmHg) dapat dipertimbangkan sebagai terapi tingkat kedua pada hipertensi intrakranial refrakter. CBF, SaO2 vena jugularis, atau monitor oksigen jaringan otak dianjurkan untuk membantu mengidentifikasi terjadinya iskemia pada kondisi ini. Hiperventilasi agresif singkat dapat dipertimbangkan pada kasus herniasi otak atau penurunan kondisi neurologis. Hiperventilasi dihubungkan dengan resiko iskemia iatrogenik. Hipocapnia (alkalosis respiratoris) menimbulkan pergeseran ke kiri dari kurva dissosiasi Hb-O2 → mengganggu pembawaan oksigen ke jaringan otak yang cedera dan masih intak. 89 Tidak ada bukti bahwa hiperventilasi sedang (PaCO2 25 – 30 mmHg) pada awal cedera otak dapat menyebabkan iskemia global ataupun regional. Meskipun aman, Hiperventilasi sementara masih diragukan manfaatnya. Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No 1 Penulis Deskripsi penelitian TP/DR II/B Kesimpulan Stringer Penelitian serial non Iskemia karena et al.,1993 randomuntuk pengukuran hiperventilasi terjadi dan CBF.Diukur TIK, CPP, mempengaruhi jaringan MAP,ETCO2, XeCT, CBF otak yang cedera dan masih intak. 2 Skippen Penelitian kohort et al.,1997 prospektif,23 anak dengan II/B Bila PaCO2 turun, TIK akan turun dan CPP meningkat cedera otakberat, GCS < 8. Umur 3 hingga 16 thn, rata-rata 11 tahun. PaCO2 dipertahankan pada > 35, 25-35 dan < 25torr 3 Diringer Penelitian kohort II/B Hiperventilasi pada awal et al.,2002 prospektif, 13 pasien cedera otak tidak terbukti dengan cedera otak berat, menyebabkan iskemia dibagi dalam 2 grup, membandingkan grup yang diterapi dengan hiperventilasi sedang, dan berat Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research Referensi : Diringer MN, Videen TO, Yundt K, et al. Regional Cerebrovascular and Metabolic Effects of Hyperventilation after Severe Traumatic Brain Injury. J Neurosurg 2002;96:103-108 90 Skippen P, Seear M, Poskitt K, et al. Effect of hyperventilation on regional cerebral blood flow inhead-injured children. Crit Care Med 1997; 25: 1402-1409 Stringer WA, Hasso AN, Thompson JR, et al. Hyperventialtion-induced cerebral ischemia inpatients with acute brain lesions : Demonstration by Xenon -enhanced CT.AJNR 1993;14: 475-484 VIII.7 Pembedahan Untuk Hipertensi Intrakranial Pada Pediatri Standard : Belum ada data yang cukup Guidelines : Belum ada data yang cukup Option 1. Kraniektomy dekompresi perlu dipertimbangkan pada pasien pediatri dengan: a. Cedera Otak Berat (COB) b. Edema serebri (brain swelling) c. Hipertensi intrakranial yang membandel terhadap terapi medis intensif d. COB dengan hipertensi intrakranial yang tampaknya akan mengalami perbaikan dari cedera otaknya. 2. Kraniektomy dekompresi tampaknya kurang efektif pada pada pasien cedera otak sekunder yang berat 3. Outcome yang baik dapat diharapkan pada kasus penurunan GCS sekunder dan atau sindroma herniasi otak yang masih dalam proses dalam waktu 48 jam pertama setelah cedera 4. Pasien dengan GCS 3 dan tidak membaik adalah kelompok dengan outcome yang tidak baik Penjelasan Rekomendasi : Tindakan pembedahan secara umum bertujuan kontrol terhadap hipertensi intrakranial yang berat. Tindakan kraniektomy dekompresi untuk kasus traumatic brain injury pada anak-anak menurunkan TIK secara signifikan (rata-rata penurunan 9 mmHg). Outcome yang baik didapatkan pada : usia muda, operasi lebih awal dan TIK tidak pernah > 40 mmHg 91 Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR) No. Penuls 1. Deskripsi Penelitian Cho et al., 1995 Penelitian retrospektif pada TP/DR Kesimpulan III/C Pasien yang dioperasi pada anak-anak dengan survivalnya lebih baik shaken baby syndrome yang dibandingkan yang dilakukan operasi hanya mendapat dekompresi atau terapi terapi medis medis 2. Polin Penelitian case control, 35 III/C Outcome yang baik et al., 1997 pasien cedera otak berat didapatkan pada usia yang dilakukan dekompresi muda, operasi lebih kraniektomi dengan pre dan awal dan TIK tidak post operatif TIK monitor pernah >40 mmHg dan terapi medis 3. 4. Taylor Single center PRCT, 27 III/C et al., 2001 cedera otak berat pada anak dekompresi secara dengan hipertensi nyata menurunkan intrakranial yang membandel TIK dalam 48 jam dengan terapi medis dan setelah dirandomisasi drainase ventrikel yang dan hasilnya tidak dirandom antara bitemporal terlalu bermakna dekompresi kraniotomi vs terhadap perbaikan tanpa pembedahan klinis III/C Kraniotomi Hejazi Penelitian retrospektif 7 Semua pasien et al., 2002 kasus serial pada pasien mengalami perbaikan pediatri yang mengalami komplit pada brain swelling dengan ICP monitoring selama 8 inisial>45mmHg telah bulan post operasi. dilakukan craniektomi dekompresi 5. Figaji Studi pada 5 kasus pasien et al., 2003 pediatri yang mengalami III/C Semua pasien mengalami perbaikan 92 6. Ruf et al., 2003 deteriorisasi neurologis (GCS dan skor GOS 4 – 5 <8) yang dilakukan tindakan pada monitoring14- craniektomi. 40 bulan. Studi kasus serial pada 6 III/C 3 pasien mengalami kasus dengan skor GCS 3-7, perbaikan komplit, 2 kisaran usia 5-11 tahun yang pasein mengalami dilakukan craniektomy kecacatan pada unilateral dan bilateral monitoring selama 6 dekompresi. bulan. ICP post operasi teregulasi dibawah 20 mm Hg. 7. Kan et al., 2006 Studi kasus serial pada 6 III/C 5 dari 6 pasien pasien pediatri dengan meninggal. 3 dari 4 rerata skor GCS 4.6 yang pasien memiliki ICP < dilakukan craniektomi 20 mmHg dekompresi. 8. Rutgliano Studi kasus retrospektif pada III/C 5 dari 6 pasien et al, 2006 6 pasien dengan kisaran usia memiliki ICP tidak dibawah 20 tahun yang tinggi. 1 pasien dilakukan craniektomy mengalami kenaikan dekompresi ICP, setelah dilakukan operasi kedua ICP kembali normal. 9. Skoglund pasien pediatri dengan GCS III/C 3 pasien memiliki et al., 2006 3-15, riwayat deteriorisasi, skor GOS 5pada herniasi dan kenaikan ICP monitoring selama 1 yang dilakukan unilateral tahun, 1 pasien atau bilateral craniektomy dengan GOS 4, 3 dekompresi. pasien dengan GOS 3 dan 1 pasien meninggal. 93 10. Jagannathan Studi kasus serial pada 23 III/C ICP yang tinggi et al., 2007 pasien dengan rerata usia sebanding dengan 1.9 tahun yang dilakukan mortalitas, craniektomy dekompresi didapatkan pula post cedera kepala. survival rate sebesar 70% dengan mortalitas terutama pada pasien dengan multitrauma. 4. Ellis JA Penelitian retrospektif III/C Internal cranial et al., 2012 terhadap 10 pasien yang expansion adalah menjalani operasi internal operasi yang aman cranial expansion selama 5 dan efektif untuk tahun pasien dengan intraserebral hipertensi yang refrakter. Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research Referensi: Cho DY, Wang YC, Chi CS: Decompressive craniotomy for acute shaken/impact syndrome.Pediatr Neurosurg 1995; 23:192–198 Ellis JA et al. Internal cranial expansion surgery for the treatment of refractory idiopathic intracranial hypertension. 2012 Figaji AA, Fieggen AG, Peter JC: Early decompressive craniotomy in children with se- vere traumatic brain injury. Childs Nerv Syst 2003; 19:666 – 673 Hejazi N, Witzmann A, Fae P: Unilateral decompressive craniectomy for children with severe brain injury. Report of seven cases and review of the relevant literature. Eur J Pedi- atr 2002; 161:99–104 Jagannathan J, Okonkwo DO, Dumont AS, et al: Outcome following decompressive craniec- tomy in children with severe traumatic brain 94 injury: A 10-year single-center experience with long-term follow up. J Neurosurg 2007; 106: 268 –275 Kan P, Amini A, Hansen K, et al: Outcomes after decompressive craniectomy for severe traumatic brain injury in children. J Neuro- surg 2006; 105:337–342 Polin RS, Shaffrey ME, Bogaev CA, et al: Decompressive bifrontal craniectomy in the treatment of severe refractory posttraumatic cerebral edema. Neurosurgery 1997; 41:84–94 Ruf B, Heckmann M, Schroth I, et al: Early decompressive craniectomy and duraplasty for refractory intracranial hypertension in children: results of a pilot study. Crit Care 2003; 7:R133–R138 Rutigliano D, Egnor MR, Priebe CJ, et al: Decompressive craniectomy in pediatric pa- tients with traumatic brain injury with intractable elevated intracranial pressure. J Pe- diatr Surg 2006; 41:83– 87; discussion 83– 87 Skoglund TS, Eriksson-Ritzen C, Jensen C, et al: Aspects on decompressive craniectomy in patients with traumatic head injuries. J Neurotrauma 2006; 23:1502–1509 Taylor A, Warwick B, Rosenfeld J, et al: A randomized trial of very early decompressive craniectomy in children with traumatic brain injury and sustained intracranial hypertension. Childs Nerv Syst 2001; 17:154–162 Tinjauan antara Cedera Otak Pediatri dan Dewasa : Perbandingan antara Cedera pada anak dan dewasa menurut “National Pediatric Trauma Registry” menunjukkan bahwa proporsi anak yang mengalami cedera otak traumatik lebih besar dibandingkan orang dewasa. Tetapi karena sulitnya untuk menilai terapi pada anak dengan rentang kelompok umur yang lebar dan perbedaan tingkat perkembangan pada tiap fase mengakibatkan masih belum banyak penelitian yang memenuhi syarat untuk dijadikan standard penanganan pada masa akut hingga rehabilitasi. Karena tidak benar anggapan bahwa “ anak adalah miniatur orang dewasa”, maka tidaklah tepat untuk menyamakan dan mengaplikasikan begitu saja literatur penelitian pada orang dewasa atau guideline yang ada untuk orang 95 dewasa pada anak. Usaha-usaha untuk mengenali aspek khusus pada anak dikaji dan guideline yang disusun adalah sebagai pendamping guideline yang ada untuk orang dewasa. Guideline yang disusun sebagian besar adalah hasil konsensus bersama. Pediatrik atau anak didefinisikan sebagai mereka yang berusia kurang dari 18 tahun. Cedera otak traumatik, yang selanjutnya disebut sebagai “cedera otak” saja, adalah perlukaan primer atau sekunder akibat kejadian trauma pada otak. Cedera otak akibat penganiayaan (abusive head injury) termasuk didalamnya penganiyaan, penyiksaan, penelantaran dan shaken baby syndrome dimasukkan juga dalam kategori cedera otak ini. Cedera akibat trauma kelahiran, tenggelam, dan gangguan pembuluh darah otak tidak dimasukkan dalam kelompok ini. Secara epidemiologi, cedera otak pada anak menyebabkan kematian pada 40% kasus anak usia 1 hingga 4 tahun dan 70% kematian pada anak usia 5 hingga 19 tahun. Pola dan prinsip manajemen cedera kepala pada anak hampir sama dengan pada orang dewasa tetapi ada perbedaan penting. Ini berhubungan dengan tingkat perkembangan anak, variasi anatomi terhadap kepala dan pada umumnya dan respon otak anak terhadap cedera traumatik. Hal-hal yang terkait adalah : pada anak kecil tidak mungkin melakukan pemeriksaanGCS seperti orang dewasa. Modifikasi skala yang diadopsi untuk anak kecil dan bayi. Fluktuasi respon lebih banyak pada anak dan dicatat secara terpisah pada kartu monitoring seringkali menyesatkan. Seringkali sulit memutuskan apakah ada penurunan kesadaran pada waktu benturan. Gegar otak bisa sangat singkat dan tidak bisa dinilai dengan observasi Trauma tumpul pada kepala anak dapat terjadi dalam waktu singkat dengan perkembangan edema otak akut. Kondisi ini bisa terjadi pada trauma kepala yang nampaknya terlihat ringan dan diindikasikan dengan penurunan status kesadaran yang cepat dan dalam.Kondisi ini dapat di diagnosa hanya setelah lesi masa disingkirkan dengan pemeriksaan CT scan. Penurunan kesadaran mendadak diikuti kondisi seperti episode bingung menandai beratnya cedera kepala. Pasien seperti ini harus menjalani CT scan untuk memastikan tidak ada perdarahan intrakranial. Kejang dini dalam satu jam sejak 96 trauma tidak sama resikonya dengan epilepsi pasca trauma lanjut pada orang dewasa. Pada umumnya anak anak membaik dan sembuh total setelah serangan, tidak ada indikasi pemberian anti konvulsan. Tipisnya scalp dan kalvaria pada anak kecil meningkatkan resiko kerusakan otak oleh penetrasi objek dimana pada orang dewasa tidak bisa tembus. Beberapa luka tusuk pada kepala anak harus diterapi seolah-olah telah terjadi trauma langsung pada otak. Luka masuk harus diperiksa dengan teliti untuk mencari tanda fraktur, keluarnya CSS atau jaringan otak. Jika masih ragu-ragu, CT scan dapat digunakan untuk menilai luasnya kerusakan pada sisi itu. Rujukan ke ahli bedah saraf diperlukan untuk memperbaiki kerusakan tersebut. Fraktur impresi, baik yang sederhana maupun yang komplikata umumnya berkaitan dengan kerusakan lokal terhadap otak dibawahnya. Energi benturan secara substansial dapat diserap pada sisi trauma dan efek akselerasi pada otak diminimalisir. Tidak adanya riwayat hilangnya kesadaran tidak menghilangkan adanya cedera fokal yang berat. Foto polos kepala, khususnya tangensial view, bisa menyatakan luasnya cedera tulang walupun CT scan dapat menunjukkan lebih jelas aspek yang sama, dan ditambah dapat menunjukkan apakah ada atau tidak cedera otak dibawahnya. Karena elastisitasnya, kalvaria anak kecil dapat mengalami perubahan bentuk setelah benturan tanpa ada fraktur. Deformitas ini bisa berhubungan dengan trauma lokal terhadap otak atau trauma pada meningen yang menghasilkan timbulnya hematom ekstradural. Tidak adanya fraktur tidak menghilangkan suatu perdarahan tipe ini pada anak. Kehilangan darah adalah pertimbangan penting sebagai perhatian untuk menilai cedera otak pada anak termasuk bayi. Penurunan mendadak volume darah sirkulasi bisa dihasilkan dari perdarahan dari luka, hematom scalp (sub galeal) dan atau hematom intrakranial. Pada bayi kecil karena mekanisme kompensasi intrakranial hematom bisa sangat besar. Khususnya penting untuk menyatakan bahwa tekanan darah bisa dipertahankan sebagai refleksi peningkatan tekanan intrakranial dan distorsi. Pada pembedahan, tekanan darah bisaturun dengan cepat. Ini penting pada anak-anak jika merencanakan untuk melakukan pembedahan sebagai pertimbangan pemberian transfusi darah segera.Pada kondisi emergensi darah O negatif dapat diberikan. Otak anak kecil 97 kemungkinan besar mengalami edema setelah trauma tumpul dan ini penting sekali untuk tidak memasukkan cairan berlebihan pada pasien seperti ini. Sebagaimana pada orang dewasa cairan intravena tidak diperlukan kecuali untuk mengganti perkiraan kehilangan sesuai indikasi. Edema otak lambat dapat menyebabkan perubahan yang tidak diduga dan observasi pada anak kecil di rumah sakit selama 24 jam setelah cedera ringan dianjurkan. Pada bayi, fontanela paling bermanfaat dalam menilai ada atau tidaknya peningkatan tekanan intrakranial. Adanya perdarahan retina, skull fraktur bilateral menunjukkan suatu trauma non kecelakaan. Gelisah pada cedera kepala anak kecil bisa menyulitkan saat CT scan. Pembiusan atau sedasi dapat diberikan pada kondisi akut. Rekomendasi atau guideline penatalaksanaan cedera otak berat pada anak sesuai dengan Guidelines For The Acute Medical Management of Severe Traumatic Brain Injury in Infants, Children, and Adolescent (Pediatric Critical Care Medicine, 4(3), 2003 (Rainer Gedeit.Head Injury. Pediatrics in Review Vol.22 No.4 April 2001) 98 IX. Cedera otak terkait olahraga Cedera otak merupakan diagnosis klinis dari cedera kepala dengan gangguan fungsi neurologis yang dapat berupa gejala akut dari gangguan fungsi kognitif. Diperkirakan terdapat 1,7 sampai 3,8 juta kerjadian cedera otak tiap tahunnya di AS, 10% nya berhubungan dengan trauma olahraga. Pada umumnya cedera otak dapat sembuh sendiri dengan perbaikan gejala dalam satu minggu namun dapat juga terjadinya sequel dari cedera otak dari yang ringan berupa nyeri kepala dan yang berat sampai meninggal. Diagnosis yang tepat dan pengobatan sesuai dengan pedoman standar sangat penting ketika merawat atlet yang mengalami cedera otak dan kemungkinan meningkatnya gangguan jangka panjang. Conccusion karena trauma olahraga Gejala dari conccusion karena trauma olahraga diklasifikasikan dalam 4 kelompok : gangguan fisik, kognitif, emosi, dan gangguan tidur. Gangguan fisik Gangguan kognitif Gangguan Gangguan tidur emosi - Nyeri kepala - Mual muntah - Gangguan keseimbangan - Mudah lelah - Gangguan visus - Mental “berkabut” Mudah marah Mengantuk - Merasa “lambat” Sedih Tidur lebih lama - Susah konsentrasi Lebih emosi Susah tidur - Mudah lupa - Sensitif dengan - Mengulang cahaya pertanyaan - Sensitif dengan bising - Mati rasa - kesemutan dan gugup - Menjawab pertanyaan dengan pelan 99 Derajat concussion berdasarkan system Cantu dan AAN : Grade Ringan Sistem Cantu 1. Amnesia post traumatic < 30 menit 2. Tidak pernah penurunan kesadaran Sedang 1. penurunan kesadaran n < 5 menit atau Sistem AAN 1. Bingung 2. Tidak pernah penurunan kesadaran 3. Gejala hilang < 15 menit Seperti diatas namun gejala masih masih ada > 15 menit 2. Amnesia post trauma > 30 menit Berat 1. penurunan kesadaran ≥ 5 menit atau Tiap ada penurunan kesadaran 2. Amnesia post trauma ≥ 24 jam Kontraindikasi untuk kembali bermain olahraga yang memerlukan kontak fisik : 1. Gejala post concussion yang persisten 2. Sisa gejala trauma kepala pada sistem saraf pusat yang menetap ( dementia organik, hemiplegia, hemianopsia homonym) 3. Hidrosefalus 4. SAH spontan 5. Gejala abnormal dari foramen magnum (malformasi chiari) Pedoman untuk atlit bisa kembali bermain (AAN guideline) Rekomendasi penanganan concussion pada olahraga Grade AAN Ringan • keluar dari kontes • periksa setiap 5 menit untuk gejala amnesia dan post concussive • Dimungkinkan bisa kembali bermain jika gejala menghilang dalam 15 menit Sedang • Keluar dari kontes • Tidak disarankan kembali bermain pada hari itu • Periksa secara berkala untuk tanda-tanda berkembangnya gangguan intrakranial • Periksa kembali pada hari berikutna 100 • CT atau MRI jika nyeri kepala atau gejala lain memburuk atau lebih dari 1 minggu Berat • Latihan kembali setelah 1 minggu bebas gejala • Transportasi ambulans dari lapangan ke UGD RS jika belum sadar ( pasang stabilisator C-Spine) • Segera lakukan pemeriksaan neurologi. neuroimaging yang sesuai • Dapat kembali ke rumah dengan instruksi “cedera kepala” jika pada pemeriksaan tidak didapatkan kelainan • Segera ke RS setiap ada tanda kelainan atau mental status tidak normal yang berkelanjutan. • Periksa status neurologi tiap hari sampai semua gejala membaik atau stabil • Adanya penurunan kesadaran yang berlangsung lama, perubahan mental status yang persisten, perburukan gejala post concussion atau pemeriksaan neurologi yang tidak normalà evaluasi neurosurgical segera atau transfer ke trauma center. • Setelah penurunan kesadaran < 1 menit pada concussion derajat 3, jangan kembali latihan sampai bebas gejala selama satu minggu • Setelah penurunan kesadaran > 1 menit pada concussion derajat 3, jangan kembali latihan sampai bebas gejala selama dua minggu. • CT scan atau MRI jika nyeri kepala atau keluhan memberat atau lebih dari dua minggu. Concussion berulang pada periode waktu yang pendek merupakan suatu kondisi yang berpotensi membahayakan. Perlunya pemeriksaan neuroimaging (misal CT scan) pada atlet dengan gejala yang membaik bersifat kontroversi, dan tergantung penilaian dari dokter yang menangani. Indikasi pemerikasaan neuroimaging yang disarankan adalah : 1. Concussion berat 101 2. Gejala yang menetap > 1 minggu, meskipun ringan 3. Sebelum kembali berkompetisi setelah concussion yang kedua dan ketiga pada musim kompetisi yang sama. Rekomendasi pada concussion berulang pada satu musim kompetisi Concussion No 2 Panduan sebelum kembali bermain Tingkat keparahan Ringan 1 minggu* Sedang atau Berat 1 bulan* dengan CT scan atau MRI normal 3 Ringan † Disarankan untuk tidak bermain lagi pada musim ini, CT scan atau MRI† 2 Sedang Disarankan tidak bermain lagi pada musim ini,dan hindari Berat olahraga yang memerlukan kontak fisik * tanpa gejala-gejala pada saat istirahat dan aktivitas † jika didapatkan abnormalitas akut pada CT/MRI: akhiri musim kompetisi. Pertimbangkan untuk tidak ikut berpartisipasi pada olahraga yang bersifat kontak fisik Referensi Bradley, et al. 2013. Sport related concussion. Division of pediatric sports medicine rainbow babies and children hospital. Elsevier. Vol 14 : 4 Victoroff, et al. 2012. Diagnosis dan treatment of sport related traumatic brain injury. Psychiatric annals. 42 : 10 Sahler, et al. 2012. Traumatic brain injury in sports : A review. Hindawi rehabilitation research and practice. Greenberg, Mark. 2010. Handbook of neurosurgery 7 ed. Thieme : Hal 850. 102 PENUTUP Pedoman ini akan selalu dilakukan evaluasi dan secara sistematis dilakukan penelitian yang mendukung, sehingga mendapat tingkat kepercayaan klinis (clinical certainty) yang tertinggi yaitu gold standard / standard. Namun, pada dasarnya pedoman ini sudah dapat digunakan sebagai acuan atau rekomendasi, baik untuk tatalaksana yang bersifat medik maupun intervensi pembedahan di bidang cedera otak. Besar harapan kami untuk menyempurnakan perdoman ini dengan mendapatkan saran dan kritik yang datang dari manapun dan siapapun terutama yang berkecimpung pada pelayanan dan pendidikan serta penelitian dibidang neurotrauma. Rasanya tak ada gading yang tak retak. Kesempurnaan selalu menjadi harapan kami namun berbagai keterbatasan membuat kami tidak dapat menyusun pedoman ini secara sempurna, sehingga kekurangan dan ketidak sesuaian selalu ada. 103