BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara berkembang, dimana dahulu pernah dijajah oleh bangsa asing yang salah satunya adalah Belanda. Zaman penjajahan Belanda atau istilah ‘Masa Kolonial’ adalah ketika Indonesia bersinggungan dengan kebudayaan Eropa mulai dari abad ke-16 sampai abad ke-20 Masehi, tepatnya sampai Indonesia Merdeka. Sejarah menyebutnya masa itu sebagai masa Hindia Belanda atau Masa Kolonial Belanda. Ketika Kota Batavia didirikan pada tahun 1619 oleh J.P Coen (Gubernur Jendral Kompeni Belanda-VOC) sampai penguasa NICA (Netherlands India Civil Authority) membangun kota Kebayoran Baru pada tahun 1949, merupakan sebuah lintasan sejarah bagi Indonesia yang menerus dari segi perkembangan perkotaan dengan ragam arsitekturnya di seluruh negeri. Kawasan Kota Tua khususnya dahulu menjadi pusat pemerintahan Batavia pada jaman pemerintahan Belanda, sehingga di kawasan ini banyak meninggalkan bangunan-bangunan tua yang kondisinya kurang baik dan terbengkalai. Kawasan Kota Tua saat ini memiliki berbagai langgam bangunan yang berbedabeda, yang menjadi daya tarik wisata untuk berkunjung ke Kota Tua. Sebagian besar bangunan kini dimanfaatkan kembali menjadi museum, kantor, tempat perniagaan, dan ada pula yang menjadikannya sebagai tempat tinggal (hunian). Namun tidak semua bangunan dapat dikelola dengan baik, terdapat beberapa bangunan yang kini keadaannya memprihatinkan dari rusak ringan hingga rusak berat, tidak terlihat lagi bentuk muka dan struktur bangunannya. Terlepas dari itu semua nilai sejarah yang tinggi yang dimiliki oleh Kota Tua, saat ini tidak membuat kawasan ini menjadi daya tarik tujuan utama wisatawan domestik, maupun mancanegara yang berkunjung ke Jakarta. Padahal bangunan yang sekurang-kurangnya berusia 50 tahun perlu dilindungi, dipelihara, dan dilestarikan keberadaannya, karena bangunan tersebut termasuk benda cagar budaya yang memiliki nilai sejarah. Menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 Bab I Pasal 1 poin 1 menyebutkan, cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang 1 2 perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Bebagai upaya dilakukan untuk menghidupkan kembali Kota Tua saat ini pihak Pemprov DKI yang bekerja sama dengan pihak swasta dan individu untuk melakukan revitalisasi terhadap kawasan Kota Tua sebagai Kawasan Ekonomi Khusus dan pusat kesenian sebagai destinasi nasional. Langkah awal yang dilakukan salah satunya yaitu, melakukan Adaptive Reuse sebagian bangunan Kantor Pos yang terbengkalai menjadi galeri seni rupa kontemporer bernama Galeria Fatahillah dan revitalisasi terhadap bangunan-bangunan yang ada di kawasan tersebut. Selain itu, masuknya Kota Tua Jakarta ke dalam Tentative List World Heritage Site yang akan diajukan ke UNESCO tahun 2016 nanti, merupakan wujud nyata usaha pihak Pemprov DKI dalam merevitalisasi kawasan Kota Tua Jakarta. Gambar 1. Map Kawasan Ekonomi Khusus Sumber: jeforah.org, diakses 2 April 2015 3 Saat ini yang menjadi perhatian khusus untuk merevitalisasi kawasan Kota Tua adalah bangunan-bangunan yang berada di zona inti, yaitu bangunan yang dahulu berada di dalam dinding benteng. Rencana aktivitas yang ingin dibangun dalam kawasan ini berupa aktivitas kreatif, seni dan pertunjukan, aktivitas budaya, pendidikan, pariwisata, aktivitas pendukung, dan maritim. (Sumber: jeforah.org) Bangunan-bangunan milik Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) yang terancam runtuh nantinya akan direvitalisasi ke bentuk semula. PPI adalah BUMN yang paling banyak memiliki aset gedung bersejarah. Dari situ revitalisasi akan bekerja sama pengelolaannya dengan JOTRC-JEFORAH (PT. Pembangunan Kota Tua Jakarta). Latar belakang pemilihan lokasi, yang menjadi objek perancangan yaitu gedung Dharma Niaga berada di Jl. Kali Besar masih satu blok dengan Tjipta Niaga. Bangunan ini memiliki luas 2028 m² dengan total tiga lantai. Lokasinya berada di kawasan yang cukup strategis, yaitu berada dekat dengan alun-alun Museum Sejarah. Dimana alunalun ini merupakan lokasi yang sering dijadikan pusat berkumpulnya wisatawan yang datang ke Kota Tua. Karena disana terdapat berbagai aktivitas seperti pasar tumpah, penyewaan sepeda, perpustakaan keliling, dan ada pula yang memamerkan karya seni mereka disana. Gambar 2. Lokasi Tapak Sumber: Google Maps, diakses 31 Maret 2015 4 Gambar 3. Blok Tjipta Niaga Gambar 4. Tampak Gedung Dharma Niaga Sumber: Foto Pribadi Sumber: Foto Pribadi Bangunan yang dibangun pada tahun 1913 ini memiliki nilai arsitektural dengan Gaya Art Deco. Bangunan ini juga mewakili perkembangan perkantoran pada zaman Batavia, dimana dahulu bangunan ini dimanfaatkan sebagai kantor Unie-Bank yang letaknya berdekatan dengan kantor pemerintahan Batavia pada saat itu (Museum Sejarah) dan Kali Besar yang menjadi jantung kota lama Batavia, karena pada zaman VOC di sepanjang Kali Besar merupakan pusat perekonomian dan perdagangan. Sehingga terdapat bangunan-bangunan kantor, gudang, gereja, pasar dan pemukiman pribadi. Sekarang kondisi bangunan tersebut kosong dan ditinggalkan, tidak ada aktivitas yang berarti. Oleh karena itu dengan adanya rencana konservasi yang dilakukan oleh pemerintah dan konsorsium Kota Tua diharapkan dapat melestarikan kawasan Kota Tua khususnya Gedung Dharma Niaga yang menjadi identitas sejarah dengan dilakukan Adaptive Reuse Gedung Dharma Niaga dan merancang interior gedung dengan langgam yang sesuai dengan gaya bangunan tersebut yaitu Art Deco. Sehingga bangunan tersebut dapat menjadi sumber manfaat dalam bidang ekonomi, budaya, teknologi dan social tourism (UNESCO). 1.2 Perumusan Masalah Perumusan masalah dari penulisan ini yaitu: Bagaimana mengadaptif Gedung Dharma Niaga yang dahulu dimanfaatkan sebagai kantor dengan fungsi yang sesuai sebagai pusat kesenian di Kawasan Kota Tua, Jakarta serta; Bagaimana interior yang sesuai dengan langgam Art Deco. 5 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu mengadaptif Gedung Dharma Niaga dengan tetap mempertahankan identitas sejarah gedung dengan fungsi yang sesuai dengan pusat kesenian di Kawasan Kota Tua, Jakarta. Serta, mendesain interior yang sesuai dengan langgam dari bangunan itu sendiri yaitu, Art Deco. 1.4 Ruang Lingkup Ruang lingkup pembahasan mencakup identifikasi terhadap kondisi Gedung Dharma Niaga dan fungsi yang sesuai pada Gedung Dharma Niaga, serta identifikasi langgam interior Art Deco dengan memperhatikan aspek-aspek yang ada pada buku The Fundamentals of Interior Design yang membahas mengenai The Human Interface, yang dimaksud di dalamnya terdapat peraturan yang mampu menjembatani interaksi antara manusia dengan ruang (interior). Pada bagian ini yang menjadi cakupan dalam pembahasan yaitu material dan finishing, skema dekoratif, furniture, warna dan lighting. 1.5 State of the art Issemiarti, Siti Madichah, tahun 2011, dengan judul “Revitalisasi Bangunan Lama Sebagai Upaya Konservasi Kota” dimana kesimpulan bangunan lama dengan lagam arsitektur klasik maupun tradisional yang sudah tidak layak huni karena usia dan berkurangnya kekuatan struktur tidak perlu dirobokan dan diganti dengan bangunan baru hanya dengan alasan mengikuti perkembangan arsitektur modern. Tampilan arsitektur bangunan lama merupakan bagian warisan kota yang dapat menjadi aset dalam industri pariwisata. Adanya “the sense of place” dan landmark yang memberikan penanda atau identitas kota akan membuat suasana yang spesifik pada lingkungan atau kawasan kota. Hal ini akan membedakan tampilan setiap kota karena citra dan wajah setiap kota tidaklah sama. Bangunan yang merupakan landmark kota yang masih berfungsi dengan baik dapat dipertahankan penggunaannya dengan upaya konservasi dengan menambahkan fasilitas yang memadai untuk kegunaan saat ini. Dr. B. Shankar, tahun 2013, dengan judul Creating Awareness for Heritage Conservation in the City of Mysore: Issues and Policies Kesadaran terhadap benda warisan adalah hal yang krusial baik pada konservasi benda warisan dan manajemen. Untuk menciptakan kesadaran membutuhkan waktu dan komitmen dan dukungan dari 6 masyarakat lokal. Ini merupakan komponen yang paling sering dikenali dalam manajemen benda warisan. Salah satu hal yang efektif dalam membangun dan menghargai komunitas benda warisan adalah dengan memilih aktivitas yang dapat meningkatkan kesadaran public (masyarakat) dan meningkatkan apresiasi. Kesuksesan inisiatif dalam melindungi benda warisan bergantung pada pemahaman dan partisipasi masyarakat lokal. Dra. Rr. Tjahjani Busono, MT., tahun 2011, dengan judul “Eskursi Preservasi, Konservasi, Renovasi pada Pemeliharaan Bangunan Singapura dan Malaysia” dimana kesimpulan bahwa performance fungsi maupun teknis sebuah bangunan harus dipertimbangkan sebagai upaya perawatan yang dilakukan dengan seksama dan terencana dari saat perencanaan, konstruksi maupun operasi bangunan dimana tindakan pemeliharaan bangunan akan dipengaruhi oleh fungsi, teknis dan peraturan yang berlaku serta pengguna bangunannya. Tindakan-tindakan koreksi terhadap kegagalan proses koreksi, perbaikan akibat alam perlu segera dilakukan untuk mempertahankan kinerja teknis sebuah bangunan guna mempertahankan fungsinya. Pemeliharaan bangunan konservasi merupakan kegiatan yang terkait dengan beberapa aspek sejarah, sosial dan budaya serta tidak terlepas dari kepentingan perkembangan kota sehingga dalam kegiatan pemeliharaan bangunan konservasi perlu pertimbangan dan partisipasi berbagai pihak secara profesional. Grace Tanaya dan Setiawan, Andreas Pandu, tahun 2013 tentang “Studi Gaya Desain Perabot Ruang Makan Restoran Bon Ami di Surabaya” Studi yang dilakukan pada salah satu restoran dimana dahulu bangunan ini merupakan rumah tinggal yang dialihfungsikan sebagai restoran. Lokasinya berada di Surabaya ini tidak menghilangkan karakteristik gaya arsitektur aslinya. Pembagian periodisasi waktu menurut buku perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda Surabaya 18701940 periodisasi waktu dimulai dari tahun 1870 – 1900, sesudah tahun 1900, dan setelah tahun 1920. Selama periode ini gaya yang terkenal adalah The Empire Style yang dipopulerkan oleh Daendels, ada yang mengatakan gaya tersebut dengan istilah The Dutch Kolonial. Gaya arsitektur The Empire Style tersebut adalah suatu gaya arsitektur neo-klasik yang melanda Eropa (terutama Perancis, bukan Belanda) yang diterjemahkan secara bebas. Hasilnya berbentuk gaya Hindia Belanda yang bercitra kolonial, yang disesuaikan dengan lingkungan lokal, dengan iklim dan tersedianya material pada waktu itu. Sesudah Tahun 1900 adalah masa kejayaan bagi arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Hampir semua arsitek Hindia Belanda didatangkan 7 dari Belanda dan mempunyai latar belakang akademis di negeri Belanda. Dimulai dari seorang arsitek neo-gothik PJH. Cuypers (1827-1921) yang disusul oleh arsitek beraliran Nieuwe Kunst, HP. Berlage (1856-1934). Gerakan arsitektur Nieuwe Kunst inilah yang nantinya berkembang menjadi aliran arsitektur modern Belanda yang terkenal seperti The Amsterdam School dan aliran De Stijl. Perkembangan arsitektur kolonial Belanda di Indonesia mempunyai ciri khusus yang tidak sama dengan arsitektur induknya yang ada di Belanda karena telah mengalami penyesuaian dengan iklim dan lingkungan Indonesia. Selama periode ini, berkembang pula gaya-gaya lain yang mempengaruhi seperti, Art and Craft, Art Nouveau. Sesudah tahun 1920 muncul beberapa gaya desain yang sudah mulai mengarah pada desain yang lebih modern. Salah satu contoh desain yang telah berkembang yaitu gaya Art Deco. Awal mula gaya Art Deco berkembang yaitu setelah gaya Art Nouveau berakhir yaitu mulai tahun 1910 sampai tahun 1930. Gaya Art Deco merupakan adaptasi dari bentukan historism ke bentukan modern. Gaya Art Deco ini memiliki estetika yang menjadi gaya pilihan bagi gedung-gedung dan tempat publik. Hasil dan pembahasan yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa gaya desain perabot yang digunakan untuk ruang makan yang paling dominan adalah Gaya Art and Craft. Namun, terdapat perpaduan gaya lain yang mempengaruhi perabot ruang makan restoran yaitu Art Deco dan Baroque. Dr. Amira Elnokaly and Dr. Ahmed Elseragy, tahun 2013 dengan judul “Sustainable Heritage Development: Learning from Urban Conservation of Heritage Projects in Non Western Context” dimana kesimpulan Prinsip konservasi Setelah bangunan di konservasi harus terdapat perawatannya secara dalamnya maintenance sangat tergantung kepada keadaan termasuk juga preservation, restoration, reconstruction dan adaptation. Maintenance bertujuan memberi perlindungan dan pemeliharaan yang terus menerus terhadap semua material fisik dari ‘place’, untuk mempertahankan kondisi bangunan yang diinginkan. Perbaikan mencakup restoration dan reconstruction dan harus diperlakukan semestinya. Alwin Suryono, 2013 dalam Conservation of Dutch Colonial Architecture Hertiage on Rectorate Building of Education University of Indonesia in Bandung. Dalam studi kasus yang mengambil Gedung Rektorat Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung menjelaskan objek arsitektural terorganisir dari aspek bentuk-fungsi-makna. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan observasi, interview, tinjauan dari dokoumen, dan menghasilkan data yang deskriptif. 8 Hal tersebut melalui langkah-langkah: (1) menjelaskan makna kultur bangunan yang dilihat dari aspek bangunan-fungsi. (2) menjelaskan secara signifikan elemen arsitektural yang harus di konservasi. (3) menjelaskan perawatan yang dibutuhkan oleh bangunan konservasi. Analisa harus berdasarkan pada teori arsitektural (fungsibentuk-makna) dan teori konservasi (nilai-pendekatan yang yang berbasis etika).