RechtsVinding Online KONSTITUSIONALITAS BAHASA DALAM PERJANJIAN Oleh: Reza Fikri Febriansyah * Naskah diterima: 19 Mei 2017; disetujui: 24 Mei 2017 Secara empiris, pilihan bahasa yang konsekuensi hukumnya manakala perjanjian digunakan dalam proses komunikasi antar tersebut tidak manusia (termasuk dalam konteks transaksi Indonesia?”. Putusan Pengadilan Negeri niaga internasional) pada satu sisi dapat Jakarta menjadi sarana efektif untuk mencapai Jkt.Bar (yang kemudian dikuatkan dengan kesepakatan, namun pada sisi lain justru Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. menjadi potensi utama terjadinya sengketa. 48/Pdt.G/2014/PT. DKI dan Putusan MA No. Pasal 31 (1) UU No.24/2009 tentang 601 K.PDT/2015 ) menyatakan bahwa Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, perjanjian yang demikian itu batal demi serta Lagu Kebangsaan (UU Bahasa) yang hukum. Barat menggunakan Bahasa No.451/Pdt.G/2012/PN. sejatinya mulai berlaku sejak Tanggal 9 Juli Huala Adolf menegaskan bahwa posisi 2009 mengatur bahwa “Bahasa Indonesia akademiknya bertentangan (kontra) dengan wajib digunakan dalam nota kesepahaman eksistensi Pasal 31 (1) UU Bahasa (Kompas, atau perjanjian yang melibatkan lembaga 22/2/2017, hlm. 7). Dalam konteks ini, negara, Republik Penulis menawarkan perspektif lain (yakni Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau pro) terhadap eksistensi pasal tersebut. perseorangan warga negara Indonesia”. Menurut Penulis, pasca berlakunya UU instansi Persoalan pemerintah hukum dalam Bahasa, terjadi pergeseran politik hukum konteks transaksi niaga internasional yang Indonesia terhadap kemutlakan prinsip melibatkan instansi kebebasan berkontrak yang telah ajeg dianut pemerintah Republik Indonesia, lembaga selama ini dalam ranah hukum perdata. Hal swasta Indonesia, atau perseorangan Warga ini memiliki landasan konstitusional yang Negara Indonesia (pihak domestik Indonesia) tegas sebagaimana diatur dalam Pasal 28J (2) sebagai salah satu pihak adalah “apa UUD NRI Tahun 1945 sehingga pasca lembaga utama negara, 1 RechtsVinding Online berlakunya UU Bahasa terdapat kewajiban Dengan telah berlakunya UU Bahasa, hukum bagi “pihak domestik Indonesia” penulis justru mempertanyakan motif “pihak untuk Indonesia domestik Indonesia” yang tetap memilih dalam setiap transaksi niaga internasional untuk tidak menggunakan Bahasa Indonesia yang dilakukannya. dalam transaksi niaga yang dilakukannya menggunakan Bahasa Dalam Pasal 3 UU Bahasa dinyatakan dengan pihak asing. Ada setidaknya 2 (dua) bahwa salah satu tujuan pengaturan bahasa asumsi terkait hal ini, yakni Pertama, “sikap (termasuk niaga pasrah” dari “pihak domestik Indonesia” internasional) adalah menjaga kehormatan terhadap posisi inferiornya dalam transaksi dan kedaulatan serta menciptakan kepastian niaga internasional tersebut. Kedua, ada hukum. Dalam konteks “kepastian hukum”, potensi itikad buruk dari para pihak dalam Pasal 28D (1) UUD NRI Tahun 1945 transaksi menyebutkan berhak dengan menjadikan Pasal 31 ayat (1) UU atas…kepastian hukum yang adil…” sehingga Bahasa sebagai ‘senjata pamungkas’ yang dalam penafsiran a contrario, kepastian sengaja disimpan untuk dijadikan salah satu hukum yang tidak adil (termasuk dalam alasan pembatalan kontrak tersebut di bentuk transaksi niaga internasional yang kemudian hari. cenderung dalam transaksi “Setiap tersebut Penulis termasuk orang yang meyakini sebagai suatu perbuatan hukum yang bahwa kata “wajib” merupakan operator inkonstitusional norma yang senantiasa akan menimbulkan dan tidak mempunyai Dengan sanksi manakala kewajiban dalam norma demikian dapat dilihat jelas political will dan tersebut tidak dipatuhi. Kata “wajib” sebagai keberpihakan Pembentuk UU Bahasa yang operator lebih mengutamakan perlindungan terhadap primary laws yang senantiasa berpasangan posisi dan dan hukum harus internasional dipandang kekuatan asimetris) orang niaga mengikat. kepentingan hukum (legal tidak norma dapat sejatinya merupakan dipisahkan dengan standing) “pihak domestik Indonesia” yang secondary laws yang memuat ketentuan cenderung menjadi pihak inferior dalam mengenai what officials must or may do suatu transaksi niaga internasional. when the primary laws are broken (H.L.A. Hart, 1961:7). Mahkamah Agung (MA) 2 RechtsVinding Online sebagai salah satu officials telah menegaskan dengan kesusilaan yang baik atau ketertiban bahwa transaksi niaga internasional yang umum”. melibatkan “pihak domestik Indonesia” Ada beberapa solusi yang Penulis sebagai salah satu pihak namun tidak tawarkan terkait persoalan ini,. Pertama, menggunakan bahasa Indonesia adalah batal “Para demi hukum. Sanksi “batal demi hukum” internasional (khususnya “pihak domestik inilah yang harus disadari oleh para pihak Indonesia”) harus senantiasa menekankan (khususnya “pihak domestik Indonesia”) pentingnya versi bahasa Indonesia dalam sebelum dan pada saat melakukan suatu setiap transaksi niaga internasional, namun transaksi niaga internasional. kesepakatan Dalam salah satu pertimbangan (ratio decidendi) Putusan PN Jakarta Barat pihak dalam mengenai transaksi pilihan niaga hukum (choice of law) yang berlaku manakala terjadi sengketa dalam transasksi tersebut tetaplah No.451/Pdt.G/2012/PN. Jkt.Bar disebutkan didasarkan bahwa kesepakatan atau perjanjian niaga berkontrak, sebab kewajiban yang diatur internasional yang dibuat pasca berlakunya dalam Pasal 31 ayat (1) UU Bahasa sejatinya UU Bahasa (9 Juli 2009) yang melibatkan hanya “pihak domestik Indonesia’ sebagai pihak penggunaan (usage) Bahasa Indonesia dan namun bahasa tidak meliputi kewajiban bahwa hukum Indonesia dinyatakan bertentangan dengan Indonesia wajib dijadikan referensi pilihan Undang-Undang (UU Bahasa). Pengadilan hukum (choice of law) yang dianut manakala Negeri juga terjadi sengketa dalam transaksi tersebut. mempertimbangkan Pasal 1335 KUH Perdata Kedua, diperlukan pemahaman yang lebih yang menyatakan “suatu perjanjian tanpa jernih bahwa kewajiban penggunaan Bahasa sebab atau yang telah dibuat karena suatu Indonesia hanya berlaku terhadap perjanjian sebab yang palsu atau terlarang, tidak yang dibuat pasca berlakunya UU Bahasa (9 mempunyai kekuatan hukum” dan Pasal Juli 2009) sehingga perjanjian yang dibuat 1337 KUH Perdata yang menyatakan “suatu sebelum berlakunya UU Bahasa tetap sah sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh secara hukum. Ketiga, para pelaku usaha Undang-Undang atau apabila bertentangan (“pihak domestik Indonesia”) memiliki posisi tidak menggunakan Jakarta Barat pada meliputi prinsip kewajiban kebebasan mengenai 3 RechtsVinding Online hukum (legal standing) yang sangat yang diatur sebagai salah satu hak beralasan untuk mengajukan permohonan konstitusional dalam Pasal 28D ayat (1) constitutional review kepada MK sebagai the UUDNRI Tahun 1945. Tawaran ketiga ini guardian and the sole interpreter of the sejatinya diamanatkan pula dalam salah satu constitution pertimbangan (ratio decidendi) Putusan PN guna menegaskan tafsir konstitusional atas Pasal 31 ayat (1) UU Jakarta Bahasa guna menjamin tegaknya prinsip Jkt.Bar. Barat No.451/Pdt.G/2012/PN. “kepastian hukum yang adil” sebagaimana * Penulis adalah Mahasiswa S3 Universitas Indonesia. 4