BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Umum 2.1.1 Pengertian Adaptive Reuse Yang dimaksud dengan konservasi adalah proses merawat sebuah tempat, benda, ruang, dan pemandangan, untuk menjaga nilai budaya, estetika, sejarah, sosial atau spritualnya (Australia ICOMOS Burra Charter, 2013). Konservasi merupakan proses memahami, memelihara, menjaga, dan jika diperlukan memperbaiki, mengembalikan dan menyesuaikan fungsi untuk mempertahankan nilai budaya. Konservasi merupakan sistem yang berkelanjutan yang tidak hanya memperhatikan aspek arsitektural, namun juga ekonomi dan sosial. Fokus konservasi adalah sejarah, masa kini, dan masa depan bangunan dengan mempertimbangkan: bukti sejarah, kebutuhan saat ini, dan keberlanjutan untuk masa depan (Orbasli, 2008). Bangunan bersejarah tidak diperlakukan sebagai benda yang terisolasi; bangunan merupakan bagian dari jaringan area, tempat, kota, dan landscape, maka, dalam membuat keputusan terkait konservasi cagar budaya, tempat dan konteks bangunan sama pentingnya dengan bangunan dan materialnya (Orbasli, 2008). Konservasi arsitektural dilakukan untuk melestarikan bangunan dan townscape, dengan tetap memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini (Orbasli, 2008). Berbagai bentuk konservasi adalah perawatan, preservasi, restorasi, rekonstruksi, adaptasi dan interpretasi (Australia ICOMOS Burra Charter, 2013). Yang dimaksud dengan adaptive reuse adalah membuat perubahan terhadap bangunan untuk mengakomodasi kebutuhan baru dan adaptasi yang dilakukan harus mampu menambah nilai dan kualitas bangunan bersejarah (Orbasli, 2008). Melalui UU Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Cagar Budaya, yang dimaksud dengan adaptasi adalah upaya pengembangan Cagar Budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak akan mengakibatkan kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting. Adaptive reuse pada dasarnya melindungi nilai sejarah dan arsitektur bangunan, sekaligus memberi keleluasaan yang cukup untuk fungsi baru (Pusat Dokumentasi Arsitektur, 2011). 7 8 2.1.2 Etika dalam Konservasi Ada 3 hal yang menjadi dasar dalam melakukan konservasi, yaitu pendekatan berdasarkan nilai dan berdasarkan integritas dan otentisitas (Orbasli, 2008). Pendekatan Berdasarkan Nilai Nilai yang penting pada bangunan atau tempat bersejarah adalah arsitektur dan sejarahnya, yang jika hilang akan menurunkan kepentingannya, namun selain fisiknya, banyak nilai lain yang perlu dipertimbangkan (Orbasli, 2008). Integritas Konservasi harus dilakukan dengan integritas, menggunakan material yang sesuai dengan tujuan kesesuaian. Bangunan bersejarah merupakan peninggalan masa lalu yang menyimpan detail dan informasi tentang masa lalu; hal ini merupakan integritas sejarah (Orbasli, 2008). Otentisitas Otentik tidak berarti mengembalikan bangunan ke bentuk aslinya (Orbasli, 2008). Tabel 2. Etika dalam Konservasi Pendekatan Berdasarkan Nilai Integritas Usia dan Nilai emosional; Integritas fisik (material kelangkaan; bangunan & Nilai sejarah; hubungannya dengan Nilai Nilai landscape; material lainnya); arsitektural; Nilai politik; Integritas struktur; Nilai artistik; Nilai spiritual; Integritas desain; Nilai asosiasi Nilai sosial; dengan suatu Integritas estetika; Nilai teknologi; kejadian; Integritas bangunan Nilai Nilai budaya; dengan tempat & townscape; konteks; Nilai ekonomi; Nilai edukasi; Integritas tim konservasi. Otentisitas Desain atau bentuk; Material; Teknik, tradisi, dan proses; Tempat dan konteks; Fungsi. Sumber: Architectural Conservation 2.1.3 Prinsip Konservasi Konservasi arsitektural tidak hanya berbicara tentang bangunan, namun juga mempertimbangkan konteks urban dan lingkungan alami di mana bangunan berada dan akan berkontribusi (Orbasli, 2008). Lingkungan bersejarah tidak bersifat statik, melainkan terus berubah agar tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat. Lingkungan bersejarah dapat menjadi katalis yang penting. Desain memiliki peran yang penting dalam adaptasi bangunan atau lingkungan bersejarah untuk menciptakan lingkungan yang hidup dan dinamis. Jika satu bangunan dikonservasi dan direhabilitasi, ini akan membuat bangunan lain di sekelilingnya untuk mengikuti, semakin banyak bangunan yang diregenerasi dan 9 pengguna baru akan datang, area tersebut akan ikut teregenerasi dan perkembangan ekonomi akan terjadi (Orbasli, 2008). Pemahaman Implementasi Evaluasi Tabel 3. Prinsip Dasar dalam Konservasi Bekerja berdasarkan bukti sejarah Memahami lapisan bangunan dan lahan Konteks bangunan Fungsi yang sesuai Perbaikan material Tradisi dan teknologi Pembedaan antara material asli dan material baru Memperhatikan proses pembersihan bangunan Masalah yang baru membutuhkan pendekatan yang baru Keberlanjutan Interpretasi Sumber: Architectural Conservation Pertimbangan dalam memilih fungsi baru untuk bangunan bersejarah adalah fungsi yang baru harus melindungi dan memaksimalkan nilai yang dimiliki bangunan, dan pertimbangan finansial, yaitu fungsi yang dibutuhkan di area tersebut (Orbasli, 2008). 2.1.4 Tahapan Konservasi Konservasi bangunan cagar budaya dilakukan secara konseptual, didahului dengan proses dokumentasi seluruh kondisi eksisting bangunan sebelum dilakukan intervensi, dokumentasi penting dilakukan untuk membuat perencanaan konservasi secara komprehensif (Pusat Dokumentasi Arsitektur, 2011). Selanjutnya dilakukan studi kelayakan mencakup kajian latar sejarah, nilai budaya, keaslian bangunan cagar budaya, dan permasalahan teknis, kemudian dibuat perencanaan tindakan konservasi, meliputi tahap persiapan (pengamanan, shop drawing, dan mock up), pembersihan (pembersihan manual, pembersihan mekanis, pembersihan kimiawi), perbaikan pada seluruh komponen yang mengalami kerusakan (Pusat Dokumentasi Arsitektur, 2011). 10 Gambar 6. Tahapan Konservasi Sumber: Pengantar Panduan Konservasi Bangunan Bersejarah Masa Kolonial 2.1.5 Sejarah Kawasan Kota Tua Jakarta Pada tahun 1619, Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieter Z. Coen tiba di Jawa dan melakukan pertempuran di Jayakarta. Setelah rata dengan tanah, Jan Pieter Z. Coen mendirikan Batavia di atas puing-puing tesebut (Nas, 2009). Untuk mendirikan markas besar VOC (Perserikatan Dagang Hindia Timur) di wilayah tersebut, ditugaskanlah Simon Stevin, ahli matematika, ilmuwan, sekaligus penasihat Pangeran Belanda, Maurits. Simon Stevin merancang kota yang disebut kota ideal, sebagai pusat perdagangan dan permukiman masa depan berupa kota berbentuk persegi dengan dinding tinggi menjulang mengelilinginya. Kota dibagi menjadi 2 wilayah besar yang dipisahkan oleh Sungai Ciliwung. Rancangan kota 11 Batavia menyerupai kota-kota yang ada di Belanda, dengan ciri kanal-kanal yang membelah kota dan pohon rindang di tepinya. Pembangunan kota berbenteng ini memakan waktu sekitar 40 tahun (Wirawan, 2009). Benteng Batavia menjadi pusat kekuasaan dan titik pusat utama kota. Batavia terus tumbuh dan berkembang hingga pada 1730 menjadi besar dan makmur. Area dalam tembok dikembangkan sebagai pusat perdagangan, sedangkan area luar tembok difokuskan sebagai areal perkebunan dan pertanian. Kanal-kanal dibangun untuk mengairi tanah dan perkebunan, dan juga difungsikan untuk mengangkut hasil pertanian dan menggerakkan watermills guna memeras tebu (Wirawan, 2009). Batavia awalnya menjadi pusat kantor VOC setelah VOC mendominasi Kota hingga digantikan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1799. Batavia dikenal sebagai kuburan orang Eropa karena rendahnya standar kebersihan dan kualitas air yang menyebabkan terjadinya wabah malaria. Pada 1808, Daendels meruntuhkan tembok dan membangun kantor baru pada 1809 di Lapangan Banteng, Weltevreden yang kemudian menjadi pusat pemerintahan baru dan Downtown Batavia masih berfungsi sebagai tempat kantor pelayaran, perdagangan, dan asuransi (Merrillees, 2000). Dengan dihapuskannya Sistem Tanam Paksa pada 1870, terjadi peningkatan kegiatan perdagangan besar-besaran di daerah Jawa, terlebih di Batavia. Perusahaanperusahaan dagang swasta dan lembaga keuangan berdiri, sebagian besar membuka kantor di wilayah Kota, khususnya di sepanjang Kali Besar dan sekitarnya (Wirawan, 2009). Di Kawasan Kota Tua terdapat kanal utama yang menjadi jalur transportasi utama kota bernama Kali Besar. Kali Besar menjadi jalur perdagangan yang penting, sehingga banyak perusahaan perdagangan membangun kantor di sekitar kanal tersebut (Akihary, 1996). 2.1.6 Undang-Undang No 11 Tahun 2010 Menurut Undang-undang No 11 tahun 2010 tentang konservasi cagar budaya, Pasal 5: Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi kriteria: a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih; b. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun; 12 c. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan d. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa. Pasal 83: (1) Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya dapat dilakukan adaptasi untuk memenuhi kebutuhan masa kini dengan tetap mempertahankan: a. ciri asli dan/atau muka Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya; dan/atau b. ciri asli lanskap budaya dan/atau permukaan tanah Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya sebelum dilakukan adaptasi. (2) Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: a. mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada Cagar Budaya; b. menambah fasilitas sesuai dengan kebutuhan; c. mengubah susunan ruang secara terbatas; dan/atau d. mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan estetika lingkungan di sekitarnya. 2.1.7 Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 36 Tahun 2014 Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Rencana Induk Kawasan Kota Tua,: Pasal 4 tentang visi dan misi: Pembangunan kawasan Kota Tua diarahkan dengan visi mewujudkan kawasan Kota Tua sebagai kawasan cagar budaya yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi sebagai kawasan wisata, bisnis, jasa, dan perdagangan dengan tetap mempertahankan karakter dan nilai-nilai kesejarahan kawasan. Pasal 5: Untuk mewujudkan visi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, penataan ruang pada Kawasan Kota Tua ditujukan untuk melaksanakan 7 (tujuh) misi utama, yaitu: a. meningkatkan peranan Kota Tua sebagai kawasan wisata cagar budaya yang mampu meningkatkan nilai ekonomis kawasan dan menjadi daya tarik bagi para investor dan turis; b. melakukan revitalisasi Kota Tua melalui upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan di Kota Tua baik secara bendawi maupun non bendawi; 13 c. meningkatkan kualitas fisik dan visual Kotatua dengan meningkatkan aksesibilitas, penyediaan sarana dan prasarana infrastruktur yang layak; d. mempertahankan kegiatan yang saat ini telah ada dan mendorong tumbuhnya kegiatan baru yang menunjang kegiatan ekonomi di kawasan Kotatua; Pasal 6, strategi penataan kawasan: a. memberikan dinamika baru bagi kawasan Kota Tua dengan melakukan upaya pelestarian melalui revitalisasi dan adaptasi serta upaya perlindungan melalui pemeliharaan dan pemugaran yang dilakukan secara kontinu, komprehensif dan bersifat jangka panjang; Pasal 10 tentang Konsep Pengembangan Zona: (1) Area di dalam tembok terdiri dari zona inti dan zona penunjang yang pengembangannya diarahkan sebagai kawasan bersejarah dengan fungsi utama sebagai fungsi edukasi, kegiatan budaya, dan sosial, ikon wisata internasional, replikasi kota lama Batavia, pusat bisnis dan perdagangan terbatas. Pasal 17 tentang Rencana Pengembangan Kawasan Komersial: (1) Fungsi komersial terdiri atas kawasan dengan pemanfaatan sebagai perkantoran, perdagangan dan jasa serta campuran. (3) Pengembangan kawasan komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui: a. memberikan fungsi baru tanpa mengubah karakter morfologi penting pada kawasan atau bangunan; b. fungsi komersial diarahkan berupa fungsi-fungsi yang dapat menonjolkan karakter kawasan sebagai kawasan pariwisata dan sejarah seperti tourist center, visitor center, hotel, museum, restoran, butik; c. fungsi komersial dianjurkan berupa fungsi yang mampu menghidupkan kawasan selama 24 (dua puluh empat) jam, misalkan: hotel, apartemen, hiburan, pertokoan, perbelanjaan. Pasal 20 tentang Penataan Bangunan (1) Penataan bangunan di Kota Tua bertujuan untuk mewadahi kebutuhan fungsifungsi baru yang dapat memperkuat karakter Kota Tua tanpa mengabaikan prinsipprinsip pelestarian dan perlindungan bangunan cagar budaya. (2) Penataan tata bangunan di Kota Tua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan sesuai dengan prinsip sebagai berikut: 14 a. Menata bangunan pada masing-masing zona sesuai dengan karakter dan nilai bangunan eksisting cagar budaya yang telah ada; b. Menciptakan konektivitas ruang dan fungsi antar bagunan dalam kawasan guna menciptakan keterpaduan dan meningkatkan akses bagi pejalan kaki; c. Memperkuat karakter kota dengan penataan fasad dan arkade; d. Mempertahankan karakter bangunan lama dan menyesuaikan bentukan arstitektural bangunan baru dengan lingkungan sekitarnya; dan e. Mengaktifkan kembali fungsi bangunan, baik dengan fungsi lama maupun fungsi baru (Adaptive reuse). (3) Penataan Bangunan Pemugaran di Kota Tua sebagai berikut: a. Bangunan yang termasuk dalam bangunan cagar budaya harus dilestarikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bidang bangunan cagar budaya; b. Berbagai bentuk pengabaian terhadap bangunan cagar budaya akan dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan. Pasal 21: (1) Pembangunan dan penyisipan bangunan baru dimungkinkan untuk mendorong upaya revitalisasi, pelestarian dan pemanfaatan bangunan cagar budaya di Kotatua. (2) Perubahan, pengembangan, da perbaikan bangunan tidak boleh menyalahi aturan intensitas yang telah diterapkan; (3) Penyisipan bangunan baru harus memperhatikan golongan bangunan cagar budaya, karakter, skala, bentukan, material dan warna, detail arsitektural bangunan di sekitarnya sehingga memberikan keharmonisan serta memperkuat karakter wawasan. (4) Desain bangunan harus merespon terhadap nilai historis, estetika, sosial dan budaya melalui pemahaman dan studi terhadap karakter dan kualitas lingkungan sehingga sesuai dengan konteks kawasan. 2.1.8 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 01/PRT/M/2015 tentang Bangunan Cagar Budaya yang Dilestarikan Pasal 4: Setiap bangunan gedung cagar budaya yang dilestarikan harus memenuhi persyaratan: a. administratif; dan b. teknis. Pasal 6: 15 Persyaratan teknis bangunan gedung cagar budaya yang dilestarikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b meliputi: a. persyaratan tata bangunan; b. persyaratan keandalan bangunan gedung cagar budaya; dan c. persyaratan pelestarian. Pasal 8: (1) Persyaratan keandalan bangunan gedung cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b terdiri atas: a. keselamatan; b. kesehatan; c. kenyamanan: dan d. kemudahan. (2) Persyaratan keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. komponen struktur harus dapat menjamin pemenuhan kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban muatan, mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran, bahaya petir, dan bencana alam; b. penggunaan material asli yang mudah terbakar harus mendapat perlakuan tertentu (fire retardant treatment); dan c. penggunaan material baru harus tidak mudah terbakar (non combustible material). (3) Persyaratan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. sistem penghawaan, pencahayaan, dan sanitasi harus dapat menjamin pemenuhan terhadap persyaratan kesehatan; dan b. penggunaan material hars dapat menjamin pemenuhan terhadap persyaratan kesehatan. (4) Persyaratan kenyamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas: a. pemenuhan persyaratan ruang gerak dan hubungan antar ruang; b. kondisi udara dalam ruang; c. pandangan; d. tingkat getaran; dan e. tingkat kebisingan. 16 2.2 Tinjauan Khusus 2.2.1 Sejarah Bangunan PT. Cipta Niaga Bangunan yang berfungsi sebagai kantor perniagaan untuk Internationale Crediet- en Handelsvereeniging Rotterdam ini dirancang oleh biro arsitek Ed.Cuypers &Hulswit Batavia. Bangunan ini dibangun pada tahun 1913 dengan bentuk memanjang dari Jalan Kali Besar Timur hingga ke Jalan Pintu Besar Utara. Bangunan dengan 2 lantai ini memiliki lebar 19,5 m dan panjang 57 m (Cuypers & Hulswit, 1914). Gambar 7. PT. Cipta Niaga dari Atas Sumber: KITLV Universiteit Leiden Gambar 8. Fasad PT. Cipta Niaga Tahun 1913 Sumber: N.V. Internationale Crediet En Handels Vereeniging 1863-1938 Menurut (Cuypers & Hulswit, 1914), pada sisi barat terdapat teras yang berfungsi sebagai buffer sinar matahari dan sebagai jalan bagi publik. Semua tembok dipancang di atas beton bertulang, Anak tangga dibuat mewah dengan terbuat dari batu keras yang diminyaki, sehingga tampak seperti marmer hitam yang dipoles. 17 Bangunan ini memiliki gaya arsitektur art deco dengan ciri ornamen geometris pada eksterior, kaca patri dan dekorasi pada interior bangunan, namun dengan penyesuaian terhadap iklim tropis, ditunjukkan dengan tinggi langit-langit mencapai 6,5 m agar sirkulasi udara lancar, juga banyaknya bukaan pada sekeliling bangunan. Saat ini ekterior gedung masih dalam keadaan kokoh namun terjadi beberapa kerusakan di dalam bangunan. 1913 1913-1957 >1957 2003 Tabel 4. Kronologi Bangunan PT. Cipta Niaga Pembangunan gedung oleh biro arsitek Ed Cuypers en Hulswit Kantor Internationale Crediet en- Handelsvereeniging Rotterdam Kantor PN Tjipta Niaga, kemudian menjadi PT. Cipta Niaga Penetapan sebagai gedung milik PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia Sumber: Unit Pengelola Kawasan Kota Tua Gambar 9. PT Cipta Niaga tahun 1920-an Sumber: KITLV Universiteit Leiden Gambar 10. Interior PT Cipta Niaga Lantai 1 Sumber: Het Nederlandsch-Indisch Huis Oud & Nieuw 18 Gambar 11.Interior PT Cipta Niaga Lantai 2 Sumber: Het Nederlandsch-Indisch Huis Oud & Nieuw 2.2.2 Visi dan Misi Jakarta Endowment for Art and Heritage Visi dan misi JEFORAH dalam kegiatan revitalisasi Kota Tua adalah sebagai berikut: 1. Melestarikan warisan budaya yang memberi identitas unik pada warga Jakarta. 2. Tercipta komunitas yang menghubungkan individu, lingkungan, kota dan metropolitan. 3. Mengingatkan pada sejarah sebagai bekal untuk masa depan. 4. Memberikan kontribusi untuk kepentingan public dan manfaat bagi komunitas. Tujuan merevitalisasi Jakarta Kota Tua untuk: 1. Menciptakan lapangan kerja. 2. Melestarikan gedung sejarah dengan target 5 tahun: meperbaiki 85 gedung bersejarah. 3. Mempromosikan keragaman budaya. 4. Menarik bakat dan turis. 5. Menarik investasi. Dengan rencana revitalisasi: Di dalam menghidupkan Jakarta Kota Tua fokus JEFORAH bukan hanya pada restorasi bangunan semata namun membuat Kota tua sebagai tempat untuk bekerja, hidup dan bermain. 2.2.3 Gaya Arsitektural Art Deco Art Deco awalnya berkembang di Perancis pada tahun 1908-1912, kemudian menyebar ke seluruh Negara Barat dan mencapai puncaknya pada tahun 1925-1935 (Cranfield, 2001). Yang dimaksud dengan Art Deco adalah gaya seni dekoratif yang 19 berkembang awalnya pada tahun 1920-an dan dengan kebangkitan pada tahun 1960an, ditandai terutama oleh motif geometris, bentuk streamline atau kurvilinier, outline yang didefinisikan dengan jelas, seringkali dengan warna yang tegas, dan penggunaan material sintetis seperti misalnya plastik. Art Deco merupakan kependekan dari Exposition Internationale Des Arts Decoratifs et Industries Modernes, sebuah eksposisi dari seni modern dan dekoratif yang diadakan di Paris, Perancis pada tahun 1925 (Ching, 2012). Art Deco atau yang dulu disebut style modern, berkembang sebagai reaksi terhadap gaya Art Nouveau. Kedua gaya ini menggunakan dekorasi berdasarkan alam, namun Art Nouveau dengan desain bunga dan tanaman eksotis yang memutar, sedangkan Art Deco cenderung memilih bunga yang geometris. Banyak gaya yang menjadi inspirasi bagi Art Deco, termasuk Cubism, Bauhaus, Ballets Russes, Glasgow School of Art, Vienna Secession, Deutsche Werkbund, Russian Constructivism, dan De Stijl (Cranfield, 2001). Arsitektur Art Deco fokus pada energi dan efek visual, bukan tentang struktur atau denah (Bayer, 2001). Karakteristik umum dari gaya Art Deco adalah bentuk geometris, zigzag, pola abstrak dengan warna, kaca patri warna, plaster yang dicat dengan desain geometris (Cranfield, 2001). 2.3 Hipotesis Berdasarkan tinjauan pustaka, hipotesis penelitian adalah: Fungsi komersial yang tepat diaplikasikan pada adaptive reuse PT. Cipta Niaga adalah berupa fungsi yang komersial yang mampu berfungsi selama 24 jam. Konsep interior adaptive reuse yang tepat bagi gedung PT. Cipta Niaga yang mampu memenuhi kebutuhan akan fungsi yang baru dengan tetap menjaga nilai sejarah kawasan Kota Tua adalah dengan menggunakan gaya interior asli bangunan, yaitu art deco. 2.4 State of the Art Terdapat beberapa penelitian dengan topik konservasi: 1. Yıldırım, M., & Turan, G. (2012). Sustainable development in historic areas: adaptive reuse challenges in traditional houses in Sanliurfa, Turkey. Habitat International 36, 493-503. 20 Menurut Yıldırım dan Turan, adaptive reuse pada area bersejarah dapat melestarikan pola historis. Penelitian dilakukan dengan menganalisa 6 studi kasus adaptive reuse pada rumah tradisional di Turki. Tujuan penelitian adalah menganalisa perubahan dan efek yang ditimbulkan oleh adaptive reuse dan mengetahui pendekatan yang paling tepat dalam melakukan konservasi. Selain melestarikan nilai budaya, adaptive reuse juga merupakan penggunaan bangunan yang berkelanjutan. Komersialisasi yang dilakukan dapat membuat area historis menjadi tempat wisata yang hidup. Alih fungsi yang dimiliki oleh rumah-rumah tradisional di Turki adalah menjadi restoran dan pusat kebudayaan. Metode yang dilakukan adalah dengan melakukan penelitian mengenai sejarah bangunan dan literature review. 2. Yildirim, M. (2012). Assessment of the decision-making process for re-use of a historical asset: The example of Diyarbakir Hasan Pasha Khan, Turkey. Journal of Cultural Heritage 13, 379-388. Yildrim merumuskan metode mengenai adaptive reuse yang tepat pada sebuah bangunan bersejarah. Adaptive reuse dapat dikatakan berhasil jika proses konservasi yang dilakukan menjaga bangunan dan lingkungan tetap berkelanjutan. Metode yang digunakan adalah menurut (Worthing & Bond, 2007), yaitu 6 langkah yang mengevaluasi: kondisi pola historis; kondisi lingkungan; integritas tempat; alternatif penggunaan ulang beserta kelebihan dan kekurangannya; kebutuhan pemilik dan pengguna; analisa terhadap struktur bangunan. Alternatif adaptive reuse di kawasan Hasan Pasha Khan adalah hotel, restoran, museum, dan retail. Permasalahan yang dihadapi dalam adaptive reuse dalam kawasan bersejarah adalah sirkulasi kendaraan dan juga kepadatan pengunjung. 3. Rozov, D. (2013). Carlile House: Finding Ways to Preserve Run-Down Heritage Buildings Through Their Adaptive Reuse. Unitec Institute of Technology. Sebuah rumah cagar budaya namun dengan status kepemilikian swasta di Auckland memiliki kondisi yang sudah rusak. Rozov memberikan ide mengenai adaptive reuse terhadap bangunan tersebut. Fungsi baru yang akan diberikan terhadap bangunan bersejarah harus memenuhi kebutuhan masyarakat dan dapat menjadi tempat bekerja, hidup, dan bermain. Fungsi yang diusulkan adalah pusat masyarakat sebagai tempat pameran dan pertukaran budaya, karena proyek ini bukan 21 hanya tentang satu bangunan, namun terkait dengan lingkungan dan masyarakat sekitarnya. 4. Prakosa, W., & Suparman, A. (2013). Karakteristik Rumah Peristirahatan Kolonial Belanda di Kaliurang. PESAT. Kawasan Kaliurang merupakan kawasan yang memiliki warisan budaya peninggalan masa penjajahan Belanda yaitu kawasan peristirahatan yang didirikan oleh orang Eropa. Dalam upaya pelestarian peninggalan masa lalu ini, maka penelitian ini difokuskan di kawasan peristirahatan kolonial di Tlogo Nirmolo sebagai objek penelitian untuk mengetahui karakteristik kawasan dan pengembangan yang sesuai dengan kondisi setempat. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif yang diharapkan dapat diperoleh masalah-masalah yang muncul di lapangan kemudian dilakukan pengumpulan data dengan melakukan survei primer yaitu melakukan observasi langsung dan mengidentifikasi beberapa rumah peristirahatan kolonial di Kaliurang yang masih ada dan pencarian literatur terkait dengan rumah peristirahatan Kaliurang. Sitem analisis dilakukan beberapa langkah yang pertama pengolahan data hasil survei lapangan dan studi literatur, langkah kedua adalah melakukan analisis berdasarkan hasil olah data kemudian dikaitkan dengan teori dan aturan sebuah rumah peristirahatan sehingga diperoleh kesimpulan sementara tentang gambaran dan karakteristik rumah peristirahatan kolonial Belanda di Kaliurang, tahap ke tiga adalah menyimpulkan dari analisis terkait dengan karakteristik rumah peristirahatan dan tingkat perubahan pada saat ini yang menuntut akan kebutuhan fasilitas. Tujuan dari penelitian ini adalah diperoleh suatu gambaran karakteristik rumah peristirahatan Kolonial di kawasan Kaliurang sehingga dapat dijaga kelestariannya. Fungsi bangunan bersifat privat pada saat itu dan telah mengalami pergeseran ke arah publik yaitu komersialisasi. 5. Agustiananda, P. A. (2012). Urban Heritage Conservation in Surakarta, Indonesia: Scenarios and Strategies for the Future. International Journal of Civil & Environmental Engineering IJCEE-IJENS Vol: 12 No: 02, 28-34. Menurut Agustiananda, perkembangan kota yang pesat dapat menyingkirkan kawasan kota yang memiliki nilai sejarah. Penelitian yang dilakukan di kota Surakarta ini bertujuan untuk memahami masalah konservasi di Surakarta. Penelitian 22 eksploratori dilakukan untuk mengetahui situasi yang ada di kota Surakarta. Motivasi untuk melakukan renovasi bangunan pribadi adalah untuk ekonomi, karena perawatan yang dilakukan untuk bangunan tua membutuhkan dana yang cukup besar. Sektor informal yang tidak teratur membuat kawasan historis menjadi terkesan padat. Strategi konservasi yang seharusnya dilakukan adalah tetap mempertahankan nilai historis kota Surakarta namun tidak membebani masyarakat. Masyarakat dapat mengembangkan potensi ekonomi dengan diaturnya ruang komersial untuk tempat wisata. 2.5 Kesimpulan State of the Art Selain melestarikan nilai budaya, adaptive reuse juga merupakan penggunaan bangunan yang berkelanjutan dan komersialisasi dapat membuat area historis menjadi tempat wisata yang hidup (Yıldırım & Turan, 2012). Adaptive reuse dapat dikatakan berhasil jika proses konservasi yang dilakukan menjaga bangunan dan lingkungan tetap berkelanjutan dan permasalahan yang dihadapi adaptive reuse dalam kawasan bersejarah adalah sirkulasi kendaraan dan juga kepadatan pengunjung (Yildirim M. , 2012). Fungsi baru yang akan diberikan terhadap bangunan bersejarah harus memenuhi kebutuhan masyarakat dan dapat menjadi tempat bekerja, hidup, dan bermain dan konservasi bukan hanya tentang satu bangunan, namun terkait dengan lingkungan dan masyarakat sekitarnya (Rozov, 2013). Fungsi baru yang sering ditemui pada bangunan bersejarah adalah komersialisasi dengan sifat asal privat (Prakosa & Suparman, 2013). Perkembangan kota yang pesat dapat menyingkirkan kawasan kota yang memiliki nilai sejarah, sedangkan motivasi untuk melakukan renovasi adalah ekonomi dan potensi ekonomi dapat dikembangkan dengan diaturnya ruang komersial untuk tempat wisata (Agustiananda, 2012).