MAKALAH DISKUSI KASUS PENURUNAN KESADARAN Disusun oleh: Kelompok A Alia Nessa 0906507772 Anggi P N Pohan 0906487695 Arcci Pradessatama 0906507816 Benedicta Mutiara S 0906639713 Deriyan Sukma W 0906554270 Jeffry Adijaya S 0906508182 Rynaldo Partogi 0906639890 Narasumber: Dr. dr. Budiman, SpPD-KEMD MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA, NOVEMBER 2013 BAB I ILUSTRASI KASUS 1.1 1.2 Identitas Pasien Nama : Nn. TH Usia : 36 tahun Alamat : Kramat Asem Agama : Islam Pekerjaan : Ibu rumah tangga Pendidikan : SMA No. RM : 13-46-xx Masuk tgl : 11 November 2013 Anamnesis (Autoanamnesis & Aloanamnesis Adik Pasien, 17 November 2013) Keluhan Utama Penurunan kesadaran 2 jam SMRS Riwayat Penyakit Sekarang Pasien mengatakan 1 minggu lalu tidak sadarkan diri disertai kejang. Sebelumnya tidak didahului oleh sakit kepala atau lemah anggota gerak. Pasien kemudian dibawa ke IGD RSP, dikatakan gula darah waktu itu 600. Pasien baru mengetahui memiliki penyakit gula 1 bulan lalu. 1 bulan lalu pasien menjalani kuretase aborsi kehamilan pertama, usia kehamilan 2 bulan. Saat itu dikatakan gula darah 400, namun pasien tidak memeriksakan diri ke dokter. Selama kehamilan dikatakan tekanan darah pasien normal. Pasien mengalami aborsi karena saat itu dikatakan janinnya meninggal dalam kandungan. Pasien mengaku sering lapar, tidak banyak makan berat, namun sering ngemil. Pasien juga sering haus, banyak minum, dan sering terbangun untuk ke toilet pada malam hari. Sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit mengeluhkan batuk, berdahak jernih yang kemudian menjadi kuning disertai demam. Keluhan sesak, batuk darah, keringat malam, penurunan berat badan, dan riwayat sakit paru di keluarga atau tetangga disangkal. Saat ini pasien juga mengeluhkan tangan kirinya baal, dari lipat siku hingga pergelangan tangan. Keluarga pasien mengatakan saat masuk IGD tangan kiri pasien diinfus saat pasien kejang dan saat ini terdapat luka dan koreng pada lipat siku kiri. Pasien mengaku sudah merasa baal di kedua kaki sejak 1 tahun SMRS. Baal hanya dirasakan di kedua telapak kaki. Keluhan kesemutan pada kaki dan tangan dikeluhkan pasien sejak beberapa bulan terakhir. Riwayat stroke, penyakit jantung, pandangan kabur, dan penyakit ginjal disangkal pasien. Riwayat Penyakit Dahulu Satu bulan yang lalu pasien dikuretase di rumah sakit karena keguguran janin usia 8 minggu. Riwayat penyakit paru dan alergi disangkal. Riwayat Penyakit Keluarga Ibu dan adik laki-laki pasien diketahui mengidap diabetes mellitus. Ayah pasien diketahui mengidap hipertensi. Riwayat asma, penyakit jantung, stroke di keluarga disangkal. Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kebiasaan Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga. Pasien sudah menikah sejak dua tahun yang lalu. Satu bulan yang lalu pasien keguguran anak pertama, pada usia kehamilan 8 minggu. Saat ini pasien berobat menggunakan Kartu Jakarta Sehat. Riwayat merokok, konsumsi alkohol, jamu-jamuan, serta obat-obatan terlarang disangkal. 1.3 Pemeriksaan Fisik (17 November 2013) Kesadaran : Kompos Mentis Keadaan Umum : Tampak sakit sedang Tekanan Darah : 100/60 Nadi : 112x/menit Suhu : 36,9oC Napas : 18x/menit Tinggi badan : 155 cm Berat badan : 50 kg Indeks Massa Tubuh : 20.8 kg/m2 Kepala Normosefal, tidak ada deformitas Mata Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Hidung Lubang hidung lapang, tidak ada sekret Telinga Kedua liang telinga lapang, tidak ada sekret, refleks cahaya positif, nyeri tekan tragus dan mastoid tidak ada. Tenggorok Mukosa tidak kering, gigi berlubang tidak ada, faring tidak hiperemis, tonsil tidak membesar (ukuran T1-T1) Leher JVP 5-2 cmH2O, tidak ada pembesaran KGB, tiroid tidak teraba massa Paru Inspeksi: dada simetris saat statis maupun dinamis. Palpasi: taktil fremitus kanan sama dengan kiri. Perkusi: Sonor pada kedua lapang paru. Auskultasi: Bunyi napas vesikuler/ vesikuler, rhonkhi basah kasar pada kedua lapang paru, wheezing tidak terdengar. Jantung Inspeksi dan Palpasi: Ictus cordis tidak terlihat, teraba di sela iga 5 satu jari medial linea midklavikularis kiri. Perkusi: Batas jantung kanan linea sternalis kanan, batas jantung kiri satu jari medial linea midklavikularis kiri, pinggang jantung pada sela iga 3. Auskultasi: S1 S2 normal dan tunggal, murmur dan gallop tidak terdengar. Perut Inspeksi:datar, tidak terlihat venektasi. Palpasi: nyeri tekan superfisial dan dalam tidak ada, hepar-lien tidak teraba, ballotement tidak ada. Perkusi: timpani, shifting dullness negatif, nyeri ketok CVA negatif. Auskultasi: bising usus normal. Ekstremitas Akral hangat, tidak ada edema, capilarry refill time<2 detik, terdapat vulnus ekskoriatum berukuran 1,5 x 1,5 cm pada fossa cubiti kiri, hipestesia plantar pedis dekstra-sinistra. Tidak ditemukan luka pada kaki kiri dan kanan, pulsasi arteri femoralis +/+, arteri poplitea +/+, arteri tibialis posterior +/+, arteri dorsalis pedis +/+. 1.4 Pemeriksaan Penunjang Laboratorium (11-11-2013) Hb : 12,8 BE : -19,8 Ht : 36% Sat O2 : 97,3 Leukosit : 23.250 Na : 131,3 Diff count : 79/14/6/0/1 K : 2,48 Trombosit : 648.000 Cl : 101 pH : 7,226 Ur : 15 PCO2 : 11,8 Cr : 0,5 PO2 : 109,9 GDS : 508 HCO3- : 4,8 Aceton : (+) Laboratorium (17-11-2013) Hb : 12,6 PO2 : 82,1 Ht : 35% HCO3- : 15,6 Leukosit : 10.760 BE : -4,9 Trombosit : 275.000 Sat O2 : 97,2 MCV : 83,4 Na : 129,5 MCH : 37,1 K : 2,98 pH : 7,5 Cl : 97 PCO2 : 20,3 Aceton : (-) Foto Thorax (11-11-2013) Cardio Thoracal Ratio < 55%, infiltrat pada kedua lapang paru. 1.5 Daftar Masalah 1. DM Tipe 2, normoweight, tidak terkontrol dengan riwayat KAD 2. CAP dd/ TB paru dengan infeksi sekunder 3. Hipokalemia (2,98) 4. Hiponatremia (129,5) 5. Vulnus ekskoriatum fossa cubiti sinistra. 1.7 Tatalaksana 1. Regular Insulin sliding scale premeal / 6 jam. 2. Diet DM 1600 kal 3. IVFD RL 500 cc + KCl 25 mg / 8 jam 4. Ceftriaxone 2 x 2 g IV 5. Levofloxacin 1 x 500 mg 6. Paracetamol 3 x 500 mg bila demam 7. KSR 3 x 1200 mg 8. Kemicetine salep pada luka BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penurunan Kesadaran Kesadaran adalah keawasan terhadap diri dan lingkungan. Kesadaran dipengaruhi oleh aktivitas ascending-reticular activating system (A-RAS). RAS dapat terluka jika dengan adanya lesi pada midbrain sehingga menyebabkan gagalnya “keawasan” atau koma. Pada lesi yagng lebih terlokalisasi, kesadaran tidak akan terganggu.1 Disfungsi yang lebih ringan dapat menyebabkan confusional states dimana kesadaran menjadi berkabut dan pasien mengantuk. Pada beberapa kasus, confusional states bermanifestasi sebagai delirium dimana pasien mengalami keawasan yang meningkat, persepsi yang tergangggu, agitasi, delusi, halusinasi, konvulsi, dan hiperaktivitas autonom.1 Koma dapat terjadi secara skruktural maupun metabolik. Tanda yang dapat dipakai untuk membedakan keduanya adalah refleks pupil, dimana pada kelainan metabolik refleks pupil akan normal.1 Gambar 1. Anatomi ascending reticular activating system (A-RAS).1 2.2.1 Derajat Penurunan Kesadaran Pada umumnya, penurunan kesadaran dapat dibagi menjadi beberapa stadium: Compos mentis Pada keadaan ini, pasien sadar sepenuhnya dapat menjawab pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya. Apatis Keadaan pasien yang segan berhubungan dengan sekitarnya, sikap acuh tak acuh. Letargi Keadaan pasien yang tampak lesu dan mengantuk. Somnolen Keadaan pasien yang selalu mau tidur saja, dapat dibangunkan dengan nyeri, atau untuk makan/ minum, namun jatuh tertidur kembali. Sopor Keadaan kesadaran pasien yang mirip koma, berbaring dengan mata tertutup, tidak menunjukkan reaksi bila dibangunkan, kecuali dengan rangsang nyeri. Refleks kornea meski lunak masih bisa dibangkitkan; reaksi pupil utuh. Koma Keadaan kesaaran yang hilang sama sekali dengan reaksi apapun. Refleks apapun tak didapatkan lagi bahkan batuk atau muntah tak ada.2 2.2.2 Etiologi Penurunan Kesadaran Penurunan kesadaran dapat terjadi akibat penyebab struktural maupun non struktural. Penyebab struktural dapat berupa lesi pada hemisfer cerebri seperti perdarahan, infark luas, abses, atau tumor. Penyebab non struktural dapat berupa: 2.2 - Obat-obatan (etanol, opioid); - Hipoksia; - Iskemia serebri global; - Hipotiroidisme; - Ensefalopati hepatikum; - Meningitis dan ensefalitis; - Hiperkalsemia; - Kejang; - Hyperosmolar states; - Perdarahan subaraknoid; - Hipertermia; - Thyrotoxicosis; - Hipoglikemia; - Uremia; - Hiponatremia; - Wernike’s encephalopathy.1 Diabetes Mellitus Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia. Hiperglikemia dapat terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Diabetes melitus tipe 2 ditandai oleh 3 patofisiologi yaitu: 1. Gangguan sekresi insulin 2. Resistesi insulin perifer 3. Produksi glukosa oleh hepar yang berlebihan.4 Pada orang dengan obesitas, jaringan adiposit mensekresi sejumlah sitokin seperti leptin, TNF-alfa, free faty acids, dan resistin yang akan merangsang sekresi insulin. Pada tahap awal, toleransi glukosa masih normal akibat adanya kompensasi sel beta pankreas. Bersamaan dengan resistensi insulin dan berkembangnya hiperinsulinemia kompensatorik, pankreas tidak mampu mempertahankan kondisi hiperinsulinemia. Selanjutnya, akan terjadi kondisi impaired glucose tolerance (IGT), yang ditandai oleh peningkatan glukosa sewaktu. Berkurangnya sekresi insulin lebih lanjut yang disertai oleh adanya produksi glukosa hepar yang berlebihan menyebabkan diabetes dan hiperglikemia pada saat puasa.4 Diagnosis DM ditegakkan atas kriteria berikut: 5 1 Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥200 mg/dl atau 2 Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥126 mg/dl atau 3 Kadar glukosa plasma ≥200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO Gambar 2. Alur Diagnosis Diabetes Melitus5 Tata Laksana Terdapat empat pilar utama dalam penatalaksanaan diabetes melitus, yaitu edukasi, perencanaan nutrisi, latihan jasmani, dan terapi farmakologi. Penerapan pola hidup sehat biasanya diberikan dalam 2-4 minggu pertama. Jika masih belum berhasil, dapat diterapkan terapi farmakologi dengan obat hipoglikemik oral (OHO) atau insulin. Pada kasus gawat darurat seperti ketoasidosis diabetik, insulin dapat langsung diberikan.12 Edukasi diperlukan agar penyandang DM mengerti sepenuhnya akan penyakitnya serta mawas akan komplikasi di masa mendatang. Dukungan yang erat dari anggota keluarga juga dibutuhkan, khususnya dalam pengaturan nutrisi pasien. Berat badan ideal dihitung dengan rumus Broca, yaitu 90% x (TB – 100) x 1 kg (untuk pasien dengan tinggi badan di atas 160 cm untuk pria atau 150 cm untuk wanita). Kebutuhan kalori perhari adalah 25 kcal/kgBB untuk wanita dan 30 kcal/kgBB untuk pria. Kebutuhan tersebut disesuaikan dengan tingkat usia, tingkat stress, dan aktivitas.12 Alur penatalaksanaan secara umum adalah sebagai berikut: Gambar 3. Alur pemilihan farmakologi tatalaksana DM. 2.2.1 Ketoacidosis Diabetikum (KAD) KAD merupakan salah satu komplikasi akut dari diabetes mellitus. KAD biasanya terjadi pada penyandang DM tipe 1. KAD terjadi akibat defisiensi insulin relatif maupun absolut dengan kelebihan hormon regulator lawan (glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormon). Berkurnangnya ratio insulin terhadap glukagon menyebabkan peningkatan glukoneogenesis, glikogenolisis, dan pembentukan benda keton di hati, serta peningkatan pengambilan substrat dari lemak dan otot ke hati.4 Ketosis terjadi akibat peningkatan bermakna asam lemak bebas yang dilepaskan oleh sel adiposit. Normalnya, asam lemak bebas akan di rubah menjadi trigliserid atau VLDL di liver. Namun pada DKA, hiperglukagonemia menyebabkan metabolisme hepar memilih pembentukan benda keton. Pada PH fisiologis, benda keton sebagai ketoacid akan dinetralkan oleh bicarbonat. Ketika bicarbonat habis, terjadilah metabolik asidosis. Peningkatan asam laktat juga berkontribusi pada terjadinya asidosis.4 KAD biasanya dipicu oleh peningkatan kebutuhan insulin yang dapat dipicu berbagai hal, seperti kurangnya pemberian insulin, infeksi, infark, dan kehamilan. Gambar 4. Bagan penatalaksanaan KAD.5 Diagnosis KAD memiliki karakteristik khusus, yaitu hipeglikemia, ketosis, serta asidosis metabolik dengan anion gap meningkat. Sering kali serum glukosa hanya sedikit meningkat. Secara klinis, pasien dapat memiliki gejala: mual/muntah, haus, nyeri perut, serta sesak. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan: takikardi, dehidrasi, hipotensi, takipnea, kussmaul, nyeri abdomen, serta penurunan kesadaran.3 Kadar glukosa darah biasanya berkisar antara 300-600 mg/dL. Asidosis metabolik ditandai dengan dengan pH < 7.3 dan bikarbonat < 15 mEq/L serta peningkatan anion gap. 5 Tatalaksana Tatalaksana awal KAD adalah pemberian cairan pengganti intravena. Selanjutnya, dilakukan pemberian infus Insulin, koreksi Kalium, dan Koreksi Bikarbonat. Lebih detailnya dapat dilihat di Gambar 4.6 2.3 Community-Acquired Pneumoniae (CAP) Community-Acquired Pneumoniae (CAP) merupakan infeksi yang paling sering ditemukan oleh para klinisi di seluruh dunia. CAP memiliki berbagai penyebab, beberapa patogen yang sering ditemui adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis. Inokulasi patogen CAP sendiri biasanya melalui inhalasi organisme patogen ke lobus paru.6 Diagnosis Pasien dengan CAP bakteri tipikal biasanya datang dengan keluhan paru-paru sedangkan CAP dengan bakteri atipikal dapat memiliki gejala paru dan ekstraparu yang bervariasi. Pasien dengan CAP bakterial memiliki gejala demam, batuk produktif, dan nyeri dada pleuritik. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan, sputum purulen atau sputum berdarah. Rhonkhi dapat didengar pada lobus atau segmen yang terlibat. Jika terjadi konsolidasi, dapat terjadi peningkatan taktil fremitus serta perubahan suara napas bronkhial.6 Pemeriksaan x-ray dada sebaiknya dilakukan pada seluruh pasien yang dicurigai CAP untuk mencari gambaran infiltrat yang sesuai dengan presentasi CAP. X-ray dada juga dapat menyingkirkan kondisi lain yang menyerupai CAP. Pada pneumoniae bakterial, distribusi infiltrat dapat berupa fokal segmental atau lobaris.6 Beberapa pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan: seperti usapan gram sputum, kultur sputum, saturasi O2, darah perifer lengkap dengan hitung jenis, BUN dan Creatinine, Gula darah sewaktu, dan analisis gas darah (jika kasus berat).7 Tatalaksana CAP dapat ditatalaksana dengan mono-terapi atau terapi kombinasi. Antibiotik monoterapi yang efektif adalah doksisiklin, quinolon respiratorik, atau tigesiklin. Terapi kombinasi yang disarankan adalah ceftriaxone dengan doksisiklin, azitromisin, atau quinolon respirasi.6 2.4 Gangguan Elektrolit 2.4.1 Hipokalemia Gradien kalium pada sel membran menentukan tingkat eksitabilitas sel saraf dan sel otot. Perubahan cepat dan signifikan pada kadar kalium dapat menyebabkan konsekuensi kematian. Evaluasi serum kalium harus mempertimbangkan efek dari perubahan serum pH karena saat pH turun kalium meningkat akibat kalium intrasel keluar ke darah, dan sebaliknya saat pH naik, kalium akan berkurang akibat kalium ekstrasel masuk ke dalam sel. Hipokalemia didefinisikan sebagai kalium serum < 3.5 mEq/L. Penyebab paling sering dari turunnya kadar kalium adalah hilangnya kalium dari saluran cerna (diare, laksatif), renal loss (hiperalodsteronisme, hiperglikemia berat, potassium depleting diuretic, carbenicillin, sodium penicillin, amphotericin B), intracellular shift (alkalosis atau peningkatan pH) dan malnutrisi. Konsekuensi utama dari hipokalemia berat adalah efeknya pada sel saraf dan otot (termasuk jantung). Gejala utama hipokalemia ringan adalah kelemahan, lelah, paralisis, kesulitan bernapas, konstipasi, ileus paralitik, dan keram kaki. Hipokalemia yang lebih berat dapat menyebabkan perubahan EKG seperti gelombang U, pendataran gelombang T, dan aritmia. Pulseless electrical activity (PEA) atau asistol dapat juga terjadi.8 Pendekatan pada hipokalemia diawali dengan penentuan apakah hipokalemia disebabkan oleh transcellular shift. Penyebab yang paling sering dari transcellular shift berupa keadaan alkalosis atau penggunaan insulin pada pasien. Kehilangan kalium kemudian dipikirkan dan dibedakan menjadi hilangnya kalium melalui saluran cerna atau ginjal.7 Pendekatan secara terinci dapat dilihat di Gambar 5. Tatalaksana hipokalemia terdiri atas meminimalkan hilangnya kalium semakin banyak dan menmberikan kalium pengganti. Pada kasus yang tidak emergensi, koreksi kalium dapat dilakukan perlahan seperti memberikan KCl oral 40 mEQ 4-6 kali per hari. Pada kasus emergensi, seperti pada keadaan aritmia atau kadar kalium < 2.5 mEq/L, dapat diberikan kalium intravena 10 mEq/ jam. Pada keadaan henti jantung imminent (contohnya aritmia ventrikuler maligna) dibutuhkan penggantian kalium secara cepat. Infus inisial 10 mEq IV dalam 5 menit dapat dilakukan dan diulang jika dibutuhkan.8 Gambar 5. Pendekatan diagnostik hipokalemia.9 2.4.2 Hiponatremia Natrium merupakan ion intravaskuler utama yang mempengaruhi osmolaritas. Peningkatan akut serum natrium akan menyebabkan peningkatan akut osmolalitas serum dan sebaliknya. Penurunan mendadak dari serum natrium akan menyebabkan perpindahan akut air dari vaskular ke ruang interterstisial dan menyebabkan edema otak. Koreksi cepat keadaan hiponatremia dihubungkan dengan terjadinya myelinolyisis pontine dan perdarahan serebral.8 Hiponatremia didefinisikan sebagai konsentrasi natrium dibawah 130 – 135 mEq/L. Hiponatremia umumnya disebabkan akibat berlebihnya air dibandingkan dengan natrium. Kasus hiponatremia paling sering akibat berkurangnya ekskresi ginjal dengan asupan air yang terus menerus atau hilangnya natrium di urin. Kebanyakan kasus hiponatremia dihubungkan dengan serum osmolalitas yang rendah (hipo-osmolar hiponatremiat). Pengecualian yang sering ditemukan pada kasus ini adalah diabetes yang tidak terkontrol, dimana hiperglikemia menyebabkan hiperosmolar state meskipun serum natrium dibawah normal (hiperosmolar hiponatremia).8 Hiponatremia biasanya asimtomatik kecuali jika terjadi secara akut atau berat (<120 mEq/L). Penurunan serum natrium yang tiba-tiba menyebabkan bergesernya air ke dalam sel yang dapat menyebabkan edema otak. Pada kasus ini, pasien akan memiliki gejala mual, muntah, nyeri kepala, iritabel, letargi, kejang, koma, bahkan kematian.8 Pendekatan pada hiponatremia diawali dengan mengetahui keadaan osmolalitas plasma. Keadaan osmolalitas yang tinggi menandakan adanya zat lain yang menarik air ke dalam intrasel dengan meningkatkan osmolaritas (hiperglikemia, mannitol). Hiponatremia isotonik dapat terjadi akibat artifak pemeriksaan lab akibat hiperlipidemia atau hiperproteinemia. Sedangkan pada keadaan hipotonik hiponatremia atau yang sering disebut true hiponatremia, dibutuhkan penilaian lebih lanjut mengenai status volume dari pasien. Pendekatan lebih lanjut dapat dilihat di Gambar 6.7 Gambar 6. Pendekatan diagnostik hipotonik hiponatremia. Tatalaksana hiponatremia adalah pemberian natrium dan eliminasi air intravaskular. Koreksi hiponatremia asimtomatik harus bertahap, umumnya dengan peningkatan 0.5 mEq/L per jam dengan maksimum 12 mEq/L dalam 24 jam pertama. Pada kasus parah disertai koma, pemberian dapat ditingkatkan hingga 2-4 mEq/L hingga kesadaran membaik, setelah itu dilanjutkan dengan 0.5 mEq/L.8 BAB III PEMBAHASAN 3.1 Diabetes Mellitus tipe 2 dengan riwayat Ketoacidosis Diabetik Dari anamnesis didapatkan riwayat hasil pemeriksaan GDS 400 1 bulan lalu. Gejala polidipsi, polifagi, dan poliuri didapatkan pada pasien. Pasien juga mengeluhkan kaki baal sejak 1 tahun lalu yang dipikirkan kemungkinan merupakan komplikasi polineuropati DM. 1 minggu lalu pasien datang ke IGD, dikatakan dalam keadaan tidak sadarakan diri dan kejang. Dikatakan oleh keluarga pasien saat itu pemeriksaan gula darah mencapai 600. Diagnosis DM terpenuhi yaitu atas dasar gejala khas DM dan GDS > 200. Dari data ini, dipikirkan penyebab tidak sadar pada pasien adalah akibat ketoasidosis diabetik. Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak sejak 1 hari SMRS yang kemungkinan merupakan pencetus terjadinya KAD pada pasien. Sebelum tidak sadar pasien tidak mengeluhkan adanya sakit kepala atau kelemahan anggota badan, sehingga kecurigaan pada stroke dapat disingkirkan. Saat dilakukan pemeriksaan fisik pada tanggal 17 November (hari ke 7 perawatan) kondisi pasien sudah stabil. Didapatkan hipestesia pada kedua telapak kaki pasien, dipikirkan akibat polineuropati DM. Hasil pemeriksaan lab pada tanggal 11 November saat pasien masuk ke IGD mendukung diagnosis KAD yaitu: GDS tinggi (508), pH asam (7,226), HCO3- rendah (4,8), peningkatan anion gap yang ((Na + K) – (Cl + HCO3) = 27,98), dan aseton serum positif. Semua kriteria diagnosis untuk KAD terpenuhi. Tatalaksana yang diberikan pada pasien saat ini sudah tepat. Diet untuk DM dengan jumlah kalori 1600 didapatkan melalui perhitungan berdasarkan tinggi dan berat badan pasien yaitu155 cm dan 55 kg. Sliding scale RI tiap 6 jam diberikan mengingat kondisi kadar gula darah pasien yang sudah stabil. 3.2 Community Acquired Pneumoniae Pada anamnesis didapatkan keluhan batuk berdahak sejak 1 hari SMRS. Batuk berdahak warna putih, kemudian menjadi kuning, dan disertai demam. Tidak ada keluarga atau tetangga pasien yang mengalami keluhan batuk seperti pasien. Pada pemeriksaan fisik didapatkan rhonki basah kasar pada kedua paru. Dipikirkan diagnosis CAP dd/ TB paru. Pemeriksaan foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat pada kedua paru, dan dari pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan leukosit yaitu 23.250 yang mendukung adanya infeksi bakteri. Infeksi ini yang kemudian dapat mencetuskan terjadinya KAD pada pasien. Tatalaksana CAP adalah dengan menggunakan antibiotik monoterapi atau kombinasi Antibiotik monoterapi yang dianjurkan adalah doksisiklin, quinolon respiratorik, atau tigesiklin. Sedangkan terapi kombinasi yang disarankan adalah ceftriaxone dengan doksisiklin, azitromisin, atau quinolon respirasi. Pasien mendapatkan terapi kombinasi antibiotik Ceftriaxone 2 x 2 g IV dan Levofloxacin 1 x 500 mg. Penggunaan terapi antibiotik kombinasi pada pasien ini sudah tepat, menggunakan kombinasi ceftriaxone, sefalosporin generasi ke 3 broad sectrum yang efektif terutama untuk gram negatif, dengan levofloxacin, floroquinolon respiratorik. 3.3 Hipokalemia Hipokalemia pada pasien dipikirkan atas dasar hasil laboratorium serum pasien pada saat masuk yaitu K+ = 2.48 mEq/L dan saat kami periksa, hari ke-7 perawatan dengan K+ = 2.98 mEq/L. Hal ini memenuhi kriteria diagnosis hipokalemia yaitu serum kalium < 3.5 mEq/L.8 Gejala hipokalemia pada pasien saat diterima di rumah sakit rancu karena penurunan kesadaran pada pasien. Seharusnya, hipokalemia dapat memiliki gejala kelemahan, lelah, lumpuh, kesulitan bernapas, konstipasi, ileus paralitik, dan keram pada kaki.8 Penyebab hipokalemia pada pasien dipikirkan akibat kondisi ketoasidosis diabetik. Pada keadaan KAD, hiperglikemia menyebabkan hiperosmolaritas serum sehingga elektrolit intrasel ikut tergeser ke luar. Seharusnya, hal ini menyebabkan hiperkalemia relatif akibat proses transcellular shift. Namun, proses selanjutnya adalah keluarnya kalium melalui ginjal sesuai proses diuresis osmotik.3 Kalium melalui proses tersebut pada KAD umumnya dapat hilang 200-500 mEq/L.9 Jika dikonversi, hilangnya 200 mEq setara dengan turunnya serum kalium sebesar 1 mEq/L, sehingga sesuai dengan keadaan pasien.7 Keadaan hipokalemia pada pasien dipikirkan diperparah oleh pemberian insulin sebagai tatalaksana awal KAD. Insulin memiliki efek memasukan glukosa ke dalam sel bersamaan dengan kalium sehingga kadar kalium serum semakin berkurang.3 Pemikiran ini sebenarnya dapat dikonfirmasi dengan memeriksa trans-tubular kalium gradien (TTGK), bahwa hilangnya kalium terjadi akibat renal loss (TTGK > 7),7 namun data pemeriksaan kalium dan osmolaritas urin tidak tersedia. Tatalaksana hipokalemia pada pasien didasarkan keadaan pasien saat ini yaitu tidak dalam keadaan urgensi dengan dasar tidak ada tanda-tanda hipokalemia berat pendataran gelombang T, aritmia, maupun asistole.8 Pada keadaan urgensi, pemberian kalium dapat diberikan secara cepat. Namun, pada pasien ini sesuai rekomendasi dapat diberikan KCl 40 mEq jalur oral 4-6 kali sehari.7 Koreksi pada pasien yang diberikan berupa KCl 25 mEq IV / 8 jam dan KSR 3 x 1200 mg/hari. Sebenarnya, indikasi pemberian kalium intravena adalah jika terdapat aritmia atau hipokalemia berat (< 2.5 mEq/L),8 sehingga menurut kami pemberian KCl intravena tidak memiliki indikasi yang kuat. Pada kasus ini, koreksi hipokalemia perlahan lebih disarankan mengingat pasien stabil.8 Konversi KSR 3 x 1200 mg/ hari menjadi mEq dapat menggunakan persamaan: 𝑚𝐸𝑞 = 𝑚𝑔 × 𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑐𝑒 𝑚𝑜𝑙𝑒𝑐𝑢𝑙𝑎𝑟 𝑤𝑒𝑖𝑔ℎ𝑡 dengan valen KCl = 1, dan berat molekul K+ 39 + berat molekul Cl- 35.5, sehingga didapatkan 1 mEq KCl = 74.5 mg KCl. Total pemberian harian pada pasien adalah 3 x 16 mEq ditambah jalur IV sebesar 3 x 25 mEq, yaitu 3 x 41 mEq per hari. 3.4 Hiponatremia Hiponatremia pada pasien didasarkan hasil serum Na+ pada saat masuk sebesar 131.3 mEq/L dan saat perawatan hari ke-7 yaitu 129.5 mEq/L. Pada pasien tidak ditemukan gejala, sehingga dipikirkan hiponatremia asimtomatik. Menurut sumber, gejala pada hiponatremi biasanya muncul jika kadar Na+ dibawah 120 mEq/L, dapat berupa mual, muntah, nyeri kepala, iritabilitaas, letargi, kejang, koma, atau kematian.8 Pendekatan pada hiponatremia dimulai dengan mengetahui keadaan osmolaritas serum, yang dapat dihitung menggunakan rumus: 𝑜𝑠𝑚𝑜𝑙𝑎𝑟𝑖𝑡𝑎𝑠 = 2 𝑁𝑎 + pada 𝐺𝑙𝑢 𝑈𝑟 + 18 6 pasien didapatkan osmolaritas serum sebesar 292.9 mOsm/L. Hasil ini menandakan bahwa pasien mengalami hiperosmolar hiponatremia yang disebabkan oleh hiperglikemia. Keadaan hiperosmolaritas pada pasien menyebabkan cairan dan elektrolit (termasuk natrium) keluar dari dalam sel ke serum. Hal ini seharusnya, bersamaan dengan keadaan dehidrasi pada pasien KAD, menyebabkan keadaan hipernatremia. Namun, proses selanjutnya, natrium pada serum akan terbuang lewat ginjal akibat proses diuresis osmotik.8 Umumnya, pada KAD dapat terjadi kehilangan serum natrium sebesar 300-700 mEq.9 Koreksi natrium pada pasien, disarankan secara perlahan karena koreksi yang terlalu cepat dapat menyebabkan koma yang dihubungkan dengan osmotic demyelination syndrome atau central pontine myelinolisis. Koreksi pada kasus asimtomatik disarankan sebesar 0.5 mEq/ jam dengan maksimum 12 mEq/ 24 jam pertama.8 Kebutuhan natrium atau natrium deficit dapat dihitung dengan rumus dibawah ini: 𝑁𝑎 𝑑𝑒𝑓𝑖𝑐𝑖𝑡 = ∆𝑁𝑎 × 0.5 × 𝑏𝑜𝑑𝑦 𝑤𝑒𝑖𝑔ℎ𝑡 dengan kadar Na+ target 140 mEq/L dan kadar Na+ saat ini 129.2 mEq/L, berat badan pasien 50 kg, didapatkan Na deficit sebesar 262 mEq/L. Sehingga dibutuhkan kurang lebih 1 kolf NaCl 3% IV (257 mEq). Pemberian kemudian dihitung sehingga tidak lebih dari 0.5 mEq/L dengan hasil minimal pemberian dalam + 20 jam sehingga disarankan pemberian IVFD NaCl 3% 500 cc /24 jam dengan pemeriksaan elektrolit post koreksi. REFERENSI 1. McPhee J, Hammer GD. Pathophysiology of Disease: an Introduction to Clinical Medicine. 6th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2010. 2. Hendarwanto, Waspadji S, Markum HMS. Pemeriksaan Fisik Umum. In: Markum HMS, editor. Penuntun Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2005. 3. Fauci a, Braunwald E, Kasper D, etc. Diabetes Melitus. In: Harrison’s Manual of Medicine. New York: Mc Graw-Hill. 2008 4. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB PERKENI; 2011. 5. PERKENI. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2. Jakarta: PB PERKENI; 2008. 6. Cunha BA. Community-Acquired Pneumoniae [Internet]. 2012 [cited 2013 Nov 23]. Available from: emedicine.medscape.com/article/234240 7. Sabatine MS. Pocket Medicine. 4th ed. Philadelphia; Lippincott Williams & Wilkins; 2011. 8. American Heart Association. Life-Threathening Electrolyte Abnormalities. J Am Soc. 2005;112. 9. Raghavan VA. Diabetic Ketoacidosis [Internet]. 2012 [cited 2013 Nov 25]. Available from: : emedicine.medscape.com