REFERAT MANAJEMEN HIPONATREMIA Disusun Oleh Muhammad Rizky Mubarok 03015121 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI ANASTESI RSUD SEMARANG PERIODE 24 AGUSTUS-5 SEPTEMBER 2020 1 DAFTAR ISI BAB I ...................................................................................................................................................... 3 PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................... 4 2.1 Definisi Hiponatremia ................................................................................................................... 4 2.2 Epidemiologi hyponatremia .......................................................................................................... 4 2.3 Etiologi Hiponatremia ................................................................................................................... 5 2.4 Faktor Risiko Hiponatremia .......................................................................................................... 6 2.5 Manifestasi Klinis ......................................................................................................................... 6 2.6 Klasifikasi hyponatremia .............................................................................................................. 7 2.7 Patofisiologi Hiponatremia ........................................................................................................... 8 2.8 Diagnosis Hiponatremia................................................................................................................ 9 2.9 Pemeriksaan Penunjang .............................................................................................................. 10 2.9 Tatalaksana Hiponatremia........................................................................................................... 13 2.10 Diagnosis banding ..................................................................................................................... 16 2.11 Prognosis ................................................................................................................................... 16 BAB III KESIMPULAN....................................................................................................................... 20 Daftar Pustaka ................................................................................................................................ 21 2 BAB I PENDAHULUAN Hiponatremia merupakan bahaya kesehatan yang serius. Pada Pasien rawat inap, penghuni panti jompo, wanita, dan anak-anak menunjukkan tingkat keparahan hiponatremia yang tinggi. Keparahan gejala dari Hiponatremia berhubungan dengan penyakit komorbiditas.(1) Manifestasi klinis hiponatremia bersifat universal, mulai dari yang ringan (gangguan keseimbangan, masalah kognitif hingga manifestasi klinis yang dapat mengancam jiwa dari peningkatan tekanan intrakranial dengan hipoksia dan edema paru nonkardiak. Meskipun dokter yang merawat harus membuat diagnosis yang akurat berdasarkan kriteria klinis yang ditetapkan dan dijelaskan dengan baik, tatalaksana hyponatremia juga harus didasarkan pada manifestasi klinisnya.(2) Besarnya dan laju peningkatan konsentrasi natrium serum ([Na]) sangat penting. Koreksi berlebihan dari hiponatremia kronis dapat menyebabkan mielinolisis osmotik, sedangkan koreksi yang kurang dapat gagal untuk mencegah manifestasi yang mengancam jiwa. Etiologi hyponatremia dapat dibagi menjadi tiga kategori: euvolemik, hipervolemik, dan hipovolemik.(3) Dalam penelitian terbaru melalui metode analisis retrospektif besar yang mencakup periode 2 tahun, 42,6% dari lebih dari 43.000 pasien dirawat di rumah sakit perawatan akut 1.200 tempat tidur di Singapura mengembangkan hiponatremia (didefinisikan sebagai serum [Na +] <136 mEq / L) di beberapa titik mereka tinggal, 66% dari mereka (yaitu, 28,2% secara total) dirawat dengan hiponatremia., prevalensi hiponatremia pada presentasi turun menjadi 22,1%. Prevalensi keseluruhan untuk hiponatremia yang lebih berat dengan serum [Na +] <126 mEq / L dan <116 masing-masing adalah 6,2 dan 1,2%. Dalam populasi Asia ini, usia diidentifikasi sebagai faktor risiko independen yang kuat sedangkan jenis kelamin hanya memiliki pengaruh kecil. Berbeda dengan prevalensi hiponatremia yang tinggi pada pasien rawat inap, angka tersebut jauh lebih rendah dengan 7,2, 0,14, dan 0,03% untuk serum [Na +] <136, <126, dan <116 mEq / L, masing-masing, di 3 poliklinik perawatan primer yang juga dianalisis dalam studi yang sama.(4) Oleh karena itu penulis tertarik mengangkat referat dengan judul manajemen hyponatremia 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Hiponatremia Hiponatremia adalah gangguan elektrolit umum yang didefinisikan sebagai kadar natrium serum kurang dari 135 mEq per L. Sebagian besar kasus hiponatremia terjadi pada orang dewasa dari jumlah berlebih atau efek dari anti diuretic hormone.(5) 2.2 Epidemiologi hyponatremia Prevalensi hiponatremia pada pasien lansia yang mempunyai fraktur sangat bervariasi yaitu sebanyak 2,8% -26,5%, sedangkan 2,6-5,5% hiponatremia yang terjadi pada pasca operasi. Hiponatremia terjadi karena gangguan homeostasis natrium dan air, biasanya dipertahankan oleh mekanisme fisiologis multi-sistem yang kompleks . Akibatnya, ada banyak penyebab potensial yang mendasari hiponatremia, mencakup spektrum penyakit yang luas, farmakoterapi dan varian patofisiologis masing-masing dengan kebutuhan pengobatan yang berbeda. Baru-baru ini, dalam analisis retrospektif besar yang mencakup periode 2 tahun, 42,6% dari 43.000 pasien dirawat di rumah sakit perawatan akut 1.200 tempat tidur di Singapura mengembangkan hiponatremia (didefinisikan sebagai serum [Na +] <136 mEq / L) di beberapa titik mereka tinggal, 66% dari mereka (yaitu, 28,2% secara total) dirawat dengan hiponatremia, prevalensi hiponatremia pada studi ini turun menjadi 22,1%. Prevalensi keseluruhan untuk hiponatremia yang lebih berat dengan serum [Na +] <126 mEq / L dan <116 masing-masing adalah 6,2 dan 1,2%. Identifikasi populasi di asia, usia diidentifikasi sebagai faktor risiko independen yang kuat, sedangkan jenis kelamin hanya memiliki pengaruh kecil. Berbeda dengan prevalensi hiponatremia yang tinggi pada pasien rawat inap, angka tersebut jauh lebih rendah dengan 7,2, 0,14, dan 0,03% untuk serum [Na +] <136, <126, dan <116 mEq / L, masing-masing, di 3 poliklinik perawatan primer yang juga dianalisis dalam studi yang sama.(3,4) 4 2.3 Etiologi Hiponatremia Pada hypovolemic dapat diklasifikasikan menjadi renal dan non renal, hypovolemic disebabkan oleh perdarahan yang mengakibatkan terjadinya perubahan pada ADH, hypovolemic dikaitkan dengan berkurangnya volume plasma darah. Euvolemik merupakan penyebab tersering pada kejadian hyponatremia. Penyebab tersering euvolemik adalah SIADH.(6) Retensi cairan sejauh ini merupakan penyebab tersering hipotonik, hiponatremia pengenceran. Dengan kata lain, hiponatremia hipotonik harus dianggap sebagai gangguan homeostasis cairan daripada gangguan elektrolit. Hiponatremia dilusional berkembang apabila kapasitas ekskresi ginjal untuk air tidak dapat menampung asupan cairan yang berlebihan (misalnya, polidipsia psikogenik, penggunaan larutan irigasi bebas elektrolit dalam prostatektomi transurethral, dll.) Atau, lebih sering, jika mekanisme pengaturan yang secara fisiologis mengarah pada produksi urin encer terganggu. sebagian besar (tetapi tidak seluruhnya) tidak terkait dengan hormon antidiuretik arginine vasopressin (AVP, juga disebut ADH), kadar di hadapan hipotonisitas bisa diobservasi dengan penurunan, normal, atau peningkatan volume cairan ekstraseluler. Penurunan volume darah arteri yang efektif menstimulasi baroreseptor, yang pada gilirannya menyebabkan pelepasan AVP dari kelenjar pituitari posterior.(7) 5 2.4 Faktor Risiko Hiponatremia Usia, jenis kelamin dan ras berpengaruh terhadap terjadinya hyponatremia, pada orang yang mempunyai usia dengan kategori lansia berisiko untuk terjadinya hyponatremia, hal ini dikaitkan dengan factor risko beberapa penyakit seperti, Congestive Heart Failure, gagal ginjal, cirosis hepatis, dan juga mengkonsumsi obat-obatan diuretic seperti thiazide yang dapat menimbulkan terjadinya SIADH, namun pada penyakit yang berkaitan dengan keseimbangan cairan seperti diare juga dapat menyeabkan terjadinya hyponatremia, dan juga dikaitkan dengan trauma yang dimana merupakan faktor risio terjadinya hyponatremia karena terjadinya perdarahan sesuai dengan etiologi dasar hypovolemic.(7) 2.5 Manifestasi Klinis Hiponatremia akut ditandai dengan timbulnya gejala <48 jam. Pasien dengan hiponatremia akut mengalami gejala neurologis akibat edema serebral yang disebabkan oleh pergerakan air ke otak. Ini mungkin termasuk kejang, gangguan status mental atau koma dan kematian. Hiponatremia kronis merupakan kejadian dimana Hiponatremia yang berkembang selama> 48 jam harus dianggap "kronis". Kebanyakan pasien mengalami hiponatremia kronis. Konsentrasi natrium serum biasanya di atas 120meq / L. Otak menyesuaikan diri dengan hiponatremia melalui pembentukan osmol idiogenik. Ini adalah mekanisme perlindungan yang mengurangi derajat edema serebral; itu dimulai pada hari pertama dan selesai dalam beberapa hari. Oleh karena itu pada pasien hiponatremia kronis mungkin tampak asimtomatik. Hiponatremia ringan ditandai dengan gejala saluran cerna mual, muntah, kehilangan nafsu makan. Kadang-kadang, kelainan neurologis yang tidak kentara dapat muncul ketika natrium serum antara 120 dan 130 meq / L. Hiponatremia pada lansia dapat bermanifestasi dengan sering terjatuh dan gangguan gaya berjalan.(8) 6 2.6 Klasifikasi hyponatremia Osmolalitas serum normal adalah 280-295 mosm / kg. Osmolalitas serum (Osm) dapat dihitung dengan konsentrasi dalam milimol per liter larutan serum utama menurut persamaan berikut: Sosm (mmol / kg) = (2 × serum [Na]) + (serum [glukosa] / 18) + (nitrogen urea darah / 2.8). Hiponatremia pseudo (normo-osmolal) atau isotonik disebabkan oleh adanya hipertrigliseridemia atau peningkatan protein plasma pada kondisi seperti mieloma multipel. Pada subjek normal, air plasma adalah 93 persen dari volume plasma, lemak dan protein menyumbang 7 persen sisanya. Fraksi air plasma turun di bawah 80 persen pada kasus dengan hiperlipidemia (trigliserida> 1500 mg / dL) atau hiperproteinemia (protein> 10 g / dL). [4,5] Di sini, konsentrasi natrium air plasma dan osmolalitas plasma tidak berubah, tetapi konsentrasi natrium yang terdeteksi dalam total volume plasma berkurang karena darah mengandung lebih sedikit air plasma. Pada gagal ginjal, peningkatan urea darah melawan penurunan osmolalitas serum akibat hiponatremia. Namun, osmolalitas serum yang efektif berkurang secara tepat dalam pengaturan ini karena urea adalah osmol yang tidak efektif.(8,9) Hiponatremia translokasi (hiperosmolal) atau hipertonik atau redistributif disebabkan oleh adanya zat terlarut yang aktif secara osmotik dalam serum misalnya manitol atau glukosa. Ketika plasma mengandung sejumlah besar zat terlarut tak terukur, seperti manitol atau agen kontras radiografi, osmolalitas plasma tidak dapat dihitung secara akurat dan evaluasi harus dilakukan secara langsung.(11,12) 7 2.7 Patofisiologi Hiponatremia Hiponatremia diakibatkan oleh ketidakmampuan ginjal untuk mengeluarkan cairan atau kelebihan asupan air. Asupan air bergantung pada mekanisme rasa haus. Rasa haus dirangsang oleh peningkatan osmolalitas. Rasa haus dirasakan oleh osmoreseptor yang terletak di hipotalamus dan menyebabkan pelepasan hormon anti-diuretik (vasopresin) dari hipofisis posterior. Hormon antidiuretik bekerja pada reseptor V2 yang terletak di aspek basolateral sel duktus pengumpul dan menyebabkan peningkatan ekspresi aquaporin pada aspek luminal sel duktus pengumpul yang meningkatkan penyerapan air dan menghilangkan rasa haus. Hiponatremia terjadi jika stimulasi ADH persisten yang terlihat pada situasi berikut. Sekresi ADH yang normal tapi terus-menerus - Penurunan volume, efek penurunan volume melawan efek hipoosmolalitas dan stimulasi ADH terus terjadi. Penurunan volume darah arteri yang efektif terjadi melalui dua mekanisme: Penurunan volume darah yang merupakan respon fisiologis dan pada pasien edema pada gagal jantung maupun sirosis hepatis, dimana perfusi jaringan menurun karena curah jantung yang rendah atau vasodilatasi arteri. Penurunan perfusi jaringan dirasakan oleh baroreseptor di tiga tempat(13) 8 (i) terdapa pada sinus karotis dan arkus aorta yang mengatur aktivitas simpatis dan, dengan penurunan volume yang signifikan, pelepasan hormon antidiuretik (ii)di dalam arteriol aferen glomerulus yang mengatur aktivitas sistem renin-angiotensin; dan (iii) di atrium dan ventrikel yang mengatur pelepasan peptida natriuretik. Akibatnya terjadi retensi air Sekresi ADH abnormal mis. Sindrom pelepasan ADH yang tidak sesuai yang dijelaskan di bawah ini (SIADH).(14) 2.8 Diagnosis Hiponatremia Anamnesis dan pemeriksaan fisik Riwayat konsumsi obat dan diet, riwayat kehilangan cairan seperti diare, muntah harus dicatat. Penentuan status volume yaitu dehidrasi, edema, asites harus dilakukan. Pasien dengan tanda klinis penurunan volume (misalnya penurunan ortostatik pada tekanan darah dan peningkatan denyut nadi, selaput lendir kering, penurunan turgor kulit) harus dianggap hipovolemik. Jika tersedia, pengukuran hemodinamik langsung dapat memperkuat kesan klinis. Tanda-tanda hipotiroidisme atau insufisiensi adrenal harus diperhatikan. Juga pemeriksaan rinci harus dilakukan untuk mendeteksi adanya lesi SSP atau paru.(15) 9 2.9 Pemeriksaan Penunjang Langkah 1: Pengukuran natrium serumIdealnya dengan Ion specific electrode (ISE) menggunakan potensiometri langsung. Pseudohyponatremia (Na rendah palsu dengan osmolalitas plasma normal) tidak terlihat jika ISE dengan metode potensiometri langsung digunakan. Namun, banyak penganalisis laboratorium yang mengukur natrium dengan elektroda selektif ion menggunakan potensiometri tidak langsung di mana sampel plasma diencerkan sebelum pengukuran; penganalisis ini akan melaporkan konsentrasi natrium yang 10 rendah. Fotometer api dapat menghasilkan nilai natrium serum yang rendah karena mereka mengukur natrium hanya dalam fase air. Langkah 2: Osmolalitas serum Dilakukan untuk mengetahui hiponatremia sejati, semu atau translokasi . Osmolalitas serum yang dihitung mungkin tidak mencerminkan osmolalitas serum jika zat terlarut yang aktif secara osmotik terdapat dalam plasma. Oleh karena itu, osmolalitas serum harus diukur menggunakan osmometer, (IB). Jika osmometer tidak tersedia, gula darah acak, trigliserida serum, dan protein serum harus membantu dalam membedakan ketiga jenis tersebut. Setiap mg peningkatan glukosa darah di atas 100 mg / dl menurunkan natrium serum sebesar 1,6 meq / l. Jika gula darah kurang dari 200 sampai 300 mg / dl, hiperglikemia memiliki efek yang dapat diabaikan pada konsentrasi natrium serum. Ketika trigliserida serum di atas 100 mg / dl, untuk setiap kenaikan trigliserida serum 500 mg / dl, penurunan natrium serum akan menjadi sekitar 1,0 mEq / L. Ketika protein serum di atas 8 gm / dl, untuk setiap kenaikan 1 gm / dl protein serum, penurunan natrium serum akan menjadi sekitar 4,0 mEq / L. Langkah 3: Osmolalitas urin Osmolalitas urin dapat digunakan untuk membedakan antara gangguan ekskresi air dan hiponatremia dengan ekskresi air normal Ekskresi air yang terganggu (Osmolalitas urin> 150 mosm / kg) 11 Fisiologis terhadap hiponatremia ditandai dengan penekanan sekresi ADH, yang mengakibatkan ekskresi urin encer secara maksimal dengan osmolalitas di bawah 100 mosmol / kg dan berat jenis ≤1.003. Nilai di atas tingkat ini menunjukkan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan secara normal, paling sering karena sekresi ADH yang persisten.(16) 12 2.9 Tatalaksana Hiponatremia 13 14 Guideline dari eropa berpendapat rekomendasinya berpacu pada tingkat stadium daripada durasi. Kedua pedoman merekomendasikan salin hipertonik (biasanya 3% NaCl) untuk hiponatremia akut ataupun simptomatik. Salin hipertonik efektif efektif untuk mengobati edema serebral akibat hiponatremia, karena konsentrasi natrium ekstraseluler yang tinggi segera menghilangkan air dari ruang intraseluler. Pada pasien dengan hiponatremia hipervolemik, larutan garam hipertonik dapat dikombinasikan dengan loop diuretik. Volume larutan garam hipertonik yang diperlukan untuk mencapai peningkatan SNa yang telah ditentukan dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus Adrogué-Madias atau BarsoumLevinee. Meskipun prediksi dengan formula ini cukup akurat, peralihan ke arah pemberian garam hipertonik dengan pemberian bolus telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Tidak ada penelitian yang secara sistematis menguji pendekatan ini, tetapi ada sejumlah aspek yang menarik. Pertama pada pasien dengan edema serebral, diperlukan koreksi parsial yang cepat pada SNa. Kedua, bolus tetap menghilangkan kebutuhan untuk kalkulasi pada pasien dengan masalah akut, membatasi potensi kesalahan kalkulasi. Ketiga, terapi bolus membatasi risiko koreksi berlebih, yang biasanya terjadi dengan infus saline hipertonik yang terus menerus. Berdasarkan pertimbangan, kedua pedoman merekomendasikan terapi bolus, meskipun dengan spesifikasi yang sedikit berbeda.(17,18) Pengobatan Hiponatremia Kronik, dilakukan kecuali pada hiponatremia hipovolemik, pengobatan hiponatremia kronis ini bergantung pada pengurangan asupan air gratis dan / atau peningkatan ekskresi cairan bebas pada ginjal. Pembatasan cairan (<1 L / hari) sering menjadi landasan terapi untuk hiponatremia kronis. Rasio urin terhadap serum elektrolit ([UNa + konsentrasi kalium urin] / SNa) menunjukkan jika pasien berada dalam fase antidiuretik atau akaretik, dan juga dapat membantu memperkirakan derajat pembatasan cairan yang diperlukan untuk meningkatkan SNa.Untuk pasien dengan rasio> 1 (menunjukkan urin pekat), dianjurkan <500 ml cairan / hari, yang sulit untuk dipatuhi. ( 19,20) 15 2.10 Diagnosis banding Osmolalitas urin dapat digunakan untuk membedakan diagnosis antara gangguan ekskresi air dan hiponatremia dengan ekskresi cairan normal Ekskresi air yang terganggu (Osmolalitas urin> 150 mosm / kg) Respon normal terhadap hiponatremia ditandai dengan penekanan sekresi ADH, yang mengakibatkan ekskresi urin encer secara maksimal dengan osmolalitas di bawah 100 mosmol / kg dan berat jenis ≤1.003. Nilai di atas tingkat ini menunjukkan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan secara , paling sering karena sekresi ADH yang persisten. 2.11 Prognosis Ad Vitam :dubia ad bonam Ad Fungtionam: dubia ad bonam Ad Sanationam :dubia ad bonam 16 2.13 Fisiologi Keseimbagan cairan Keseimbangan cairan didasarkan pada 3 konsep utama yaitu, tekanan hidrostatik, tekanan onkotik dan permeabilitas kapiler. Distribusi cairan diatur oleh tekanan osmotic dimana melibatkan membrane semipermeable, saluran ion transmembran dan gradien elektrokimia dan. Membran seluler relatif pasif terhadap anion dan protein besar tetapi dapat mentrasport cairan. Metabolisme merupakan keseimbangan antara intake dan juga uptake dimana terbagi menjadi 2 faktor yaitu regulated dan unregulated. Intake diatur oleh yang teregulasi dan yang tidak teregulasi, dan uptake bergantung pada pengeluaran cairan melalui keringat dan juga urin.(20) Pengaturan cairan didasarkan pada cara mengatur air.Air didalam tubuh antara lain airn, serta air. Sedangkan pengeluaran cairan dalam tubuh dapat melalui mekanisme insensible water loss, keringat, feses dan urin. Berkeringat bukanlah fisiologis normal pada tubuh kita dalam mengatur pembuangan air di dalam tubuh. tubuh mengatur jumlah air melalui fungsi ginjal dan mekanisme haus. Peningkatan osmolaritas cairan ekstraselular akan terdeteksi melalui osmoreseptor di hipotalamus, yang kemudian akan merangsang neuron hipotalamus sehingga menimbulkan rasa haus akan berdampak kepada sekresi hormon vasopresin.(21) 17 Aldosterone berfungsi pada menjaga stabilitas cairan, aldosterone akan masuk kedalam lumen ginjal melalui proses difusi, selnya akan bekerja pada keadaan hiperpolarisasi, karena kerja dari kanal kalium, kanal kalsium dan pompa natrium-kalium. Ketika angiotensin II berikatan dengan reseptornya pada sel korteks adrenal, maka akan terjadi inhibisi kanal kalium dan pompa natrium-kalium, sehingga terjadilah depolarisasi. Depolarisasi tersebut akan mengakibatkan kanal kalsium membuka, sehingga kalsium masuk ke dalam sel, dan kalsium yang masuk tadi akan menyebabkan peningkatan ekspresi gen Cyp11B2 sehingga meningkatlah produksi hormon aldosterone. Pada fase lambat, ikatan aldosteron dan reseptor terjadi yang menyebabkan meningkatnya sintesis kanal ion natrium, kanal ion kalium dan pompa natrium-kalium,kemudian terjadi reabsorpsi natrium dan eliminasi kalium oleh ginjal.(22,23) 18 Vasopresin juga berperaan dalam proses keseimbangan cairan tubuh. Vasopresin bekerja di duktus koligentes ginjal, ketika hormon vasopresin berikatan pada reseptor V2 di membran basolateral, akan mengaktifkan enzim adenilat siklase dimana menyebabkan peningkatan jumlah cAMP. meningkatnya cAMP akan berpengaruh pada protein kinase A (PKA) dimana akan merangsang translokasi dari vesikel protein AQP2, translokasi AQP2 ini akan mengakibatkan peningkatan pada permeabilitas membran sel terhadap air. Translokasi AQP2 juga dapat terjadi melalui jalur protein Epac akibat dari peningkatan kadar cAMP. Selain translokasi yang ditingkatkan oleh PKA, PKA bisa mengakibatkan meningkatnya sintesis AQP2 dengan ion fosforilasi protein CREB. Namun bukan hanya PKA saja yang meningkatkan sintesis AQP2, Epac juga mempunyai efek yang sama yaitu melalui mekanisme penghambatan ERK 1/2. Apabila terjadi molekulas yang kompleks dapat menyebabkan air masuk ke dalam sel pada duktus koligentes. Air yang sudah masuk akan meninggalkan sel melalui AQP3 dan AQP4 dan terjadilah reabsorbsi pada cairan melalui mekanisme vasopressor.(24) 19 BAB III KESIMPULAN Hiponatremia merupakan keadaan klinis dimana kadar serum natrium dalam darah <135, etiologi dari hyponatremia dapat dikelompokkan menjadi hypovolemia, euvolemia, dan hypervolemia. Klasifikasi hyponatremia itu sendiri didasarkan pada osmolalitas serum natrium. Gejala klinis dari hyponatremia itu terjadi biasanya penurunan fungsi neurologis. Dan biasanya pasien hyponatremia tampak gejala apabila dalam keadaan akut/ <48 jam. Pada pasien kronis biasanya tidak menunjukkan gejala. Banyak faktor yang dapat mendasari terjadinya hyponatremia antara lain adalah usia, jenis kelamin, penyakit komorbiditas yang menyertai seperti hipertensi, diabetes mellitus tipe II diketahui dapat memprparah terjadinya hyponatremia. Patofisiologi hyponatremia didasarkan pada fungsi ginjal yang tidak mampu mengatur regulasi cairan. Prinsip tatalaksana pada hyponatremia adalah penggantian cairan menggunakan kristaloid seperti normasaline atau ringer laktat. Diagnosis banding pada hyponatremia dapat ditegakkan melalui perbandingan osmolalitas. 20 Daftar Pustaka 1. Ganguli A, Mascarenhas RC, Jamshed N, Tefera E, Veis JH. Hyponatremia: incidence, risk factors, and consequences in the elderly in a home-based primary care program. Clinical nephrology. 2015 Aug;84(2):75. 2. Tzikas S, Keller T, Wild PS, Schulz A, Zwiener I, Zeller T, Schnabel RB, Sinning C, Lubos E, Kunde J, Münzel T, Lackner KJ, Blankenberg SMidregional pro-atrial natriuretic peptide in the general population/Insights from the Gutenberg Health Study. Clin Chem Lab Med 51: 1125–1133, 2013. 3. Cuesta M, Garrahy A, Slatt ery D, Gupta S, Hannon AM, Forde H, McGurren K, Sherlock M, Tormey W, Thompson CJ: The contribution of undiagnosed adrenal insufficiency to euvolaemic hyponatraemia: Results of a large prospective single-centre study. Clin Endocrinol (Oxf) 2016;85:836–844. 4. Fenske W, Maier SK, Blechschmidt A, Allolio B, Stork S: Utility and limitations of the traditional diagnostic approach to hyponatremia: a diagnostic study. Am J Med 2010;123:652–657. 5. Verbalis JG, Goldsmith SR, Greenberg A, Korzelius C, Schrier RW, Sterns RH, et al. Diagnosis, evaluation and treatment of hyponatremia: Expert panel recommendations. Am J Med. 2013;126(Suppl 10):S1–42. 6. Sahay M, Sahay R. Hyponatremia: a practical approach. Indian journal of endocrinology and metabolism. 2014 Nov;18(6):760. 7. Burst V. Etiology and Epidemiology of Hyponatremia. InDisorders of Fluid and Electrolyte Metabolism 2019 (Vol. 52, pp. 24-35). Karger Publishers. 8. Adrogué HJ, Madias NE. The challenge of hyponatremia. J Am Soc Nephrol. 2012;23:1140–8. 9. Giordano M, Ciarambino T, Castellino P, Malatino L, Cataliotti A, Rinaldi L, Paolisso G, Adinolfi LE: Seasonal variations of hyponatremia in the emergency department: age-related changes. Am J Emerg Med 2017;35:749–752. 10. Tzamaloukas AH, Malhotra D, Rosen BH, Raj DS, Murata GH, Shapiro JI. Principles of management of severe hyponatremia. Journal of the American Heart Association. 2013 Jan 23;2(1):e005199. 11. Adrogué HJ, Madias NE. Hyponatremia. N Engl J Med. 2000;342:1581–9. 12. Hoorn EJ, Hotho D, Hassing RJ, Zietse R Unexplained hyponatremia: Seek and you will find. Nephron, Physiol 118: 66–71, 2011pmid:21212700 21 13. Adrogué HJ, Madias NE Diagnosis and treatment of hyponatremia. Am J Kidney Dis 64: 681–684, 2014pmid:24996937, 14. Spasovski G, Vanholder R, Allolio B, Annane D, Ball S, Bichet D, Decaux G, Fenske W, Hoorn EJ, Ichai C, Joannidis M. Clinical practice guideline on diagnosis and treatment of hyponatraemia. Nephrology Dialysis Transplantation. 2014 Apr 1;29(suppl_2):i1-39. 15. Tormey WP, Carney M, Cuesta M, Sreenan S. Reference change values for sodium are ignored by the American and European treatment guidelines for hyponatremia. Clinical chemistry. 2015 Dec 1;61(12):1430. 16. Ellison DH, Berl T. Clinical practice. The syndrome of inappropriate antidiuresis. N Engl J Med. 2007;356:2064–72. 17. Moritz ML, Ayus JC: 100 cc 3% sodium chloride bolus: A novel treatment for hyponatremic encephalopathy. Metab Brain Dis 25: 91–96, 2010 18. Ayus JC, Caputo D, Bazerque F, Heguilen R, Gonzalez CD, Moritz ML. Treatment of hyponatremic encephalopathy with a 3% sodium chloride protocol: a case series. American Journal of Kidney Diseases. 2015 Mar 1;65(3):435-42. 19. Verbalis JG, Ellison H, Hobart M, Krasa H, Ouyang J, Czerwiec FS, Barnum O, Devireddy K, Franco M, Goldstein F, Hack TC. Tolvaptan and neurocognitive function in mild to moderate chronic hyponatremia: a randomized trial (INSIGHT). American Journal of Kidney Diseases. 2016 Jun 1;67(6):893-901. 20. Blackmer AB. Fluids and Electrolytes. N Engl J Med. 2003;349:1157-67. 21. William W. Fisiologi Keseimbangan Cairan dan Hormon yang Berperan. Jurnal Kedokteran Meditek. 2017 Oct 11. 22. Yaswir R, Ferawati I. Fisiologi dan Gangguan Keseimbangan Natrium, Kalium dan Klorida serta Pemeriksaan Laboratorium. Jurnal FK UNAND. 2012; 1(2):80-5. 23. Jequier E, Constant F. Water as an essential nutrient: physiological basis of hydration. European Journal of Clinical Nutrition. 2010; 64:115-23. 24. Yan Y, Hongbao M. Aldosterone. Researcher. 2009; 1(5):89-93. 22