View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
Tinjauan Pustaka
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Tinjauan Tentang Masyarakat
Masyarakat
adalah
sekelompok
orang
yang
membentuk
sebuah sistem semi tertutup dimana sebagian besar interaksi adalah
antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata
"masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, ‘musyarak’
atau ‘syaraka’ yang berarti "saling bergaul, ikut serta, atau partisipasi".
Istilah masyarakat dalam bahasa Inggris adalah society yang berasal dari
bahasa Latin, yaitu socius yang artinya "kawan".
Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan
hubungan-hubungan
antar
entitas-entitas.
Masyarakat
adalah
sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain).
Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok
orang yang hidup bersama dalam suatu komunitas yang teratur.
Kata society berasal dari bahasa latin, societas, yang berarti
hubungan persahabatan dengan yang lain. Societas diturunkan dari kata
socius yang berarti teman, sehingga arti society berhubungan erat dengan
kata sosial. Secara implisit, kata society mengandung makna bahwa
setiap anggotanya mempunyai perhatian dan kepentingan yang sama
dalam
mencapai
tujuan
bersama.
Dari
pengertian
tersebut
maka, masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul. Atau,
dalam istilah lain: saling berinteraksi.
24
Tinjauan Pustaka
Namun, tidak semua kumpulan manusia yang saling berinteraksi
disebut masyarakat. Karena, suatu masyarakat harus mempunyai ikatan
lain yang khusus. Misalnya, sekumpulan orang yang sedang antre
membeli bakso tidak kita anggap sebagai masyarakat karena meskipun
terkadang mereka saling berinteraksi, tetapi terbatas. Polanya juga tidak
bersifat mantap dan kontinue.
Sekumpulan orang yang sedang mengantre membeli bakso, tiket,
atau menonton bioskop lebih tepat disebut "kerumunan" (crowd). Jadi,
masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut
suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan terikat oleh
suatu rasa identitas bersama. Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani,
sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila
memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan
kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama
mereka berdasarkan kemaslahatan.
Masyarakat sering diorganisasikan berdasarkan cara utamanya
dalam bermata pencaharian. Pakar ilmu sosial mengidentifikasikan ada
masyarakat pemburu,
masyarakat
pastoral
nomadis,
masyarakat bercocok tanam, dan masyarakat agrikultural intensif, yang
juga
disebut
masyarakat peradaban,
sebagian pakar menganggap
masyarakat industri dan pasca-industri sebagai kelompok masyarakat
yang terpisah dari masyarakat agrikultural tradisional.
25
Tinjauan Pustaka
Masyarakat dapat pula di organisasikan berdasarkan struktur
politiknya:
berdasarkan
urutan
kompleksitas
dan
besar,
terdapat
masyarakat band, suku, chiefdom, dan masyarakat negara.
Disini dapat dijelaskan bahwa kata masyarakat itu sendiri berasal
dari beberapa bahasa yang dirangkumkan sebagai berikut:
 Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa
Arab, musyarak dan syaraka.
 Kata society berasal dari bahasa Latin, societas, yang berarti
hubungan persahabatan dengan yang lain.
 Istilah masyarakat dalam bahasa Inggris adalah society yang
berasal dari bahasa Latin, yaitu socius yang artinya "kawan".
Kebudayaan
dalam
Antropologi
sering
diartikan
sebagai
keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia melalui
proses belajar (Koentjaraningrat, 1980: 193).
Dari pengertian ini, berarti hampir seluruh tindakan manusia adalah
kebudayaan. Karena, hanya sedikit tindakan manusia yang berasal dari
naluri tanpa melalui proses belajar. Misalnya, tindakan makan. Makan
sebenarnya naluri manusia untuk bertahan hidup. Akan tetapi, setelah
diselipi kebudayaan, muncul cara-cara makan yang berbudaya, sopan,
pantas, atau sesuai dengan "estetika".
Masyarakat dan kebudayaannya pada dasarnya merupakan
tayangan besar dari kehidupan bersama antara individu-individu manusia
yang bersifat dinamis. Pada masyarakat yang kompleks (majemuk)
26
Tinjauan Pustaka
memiliki banyak kebudayaan dengan standar perilaku yang berbeda dan
kadangkala bertentangan. Perkembangan kepribadian individu pada
masyarakat ini sering dihadapkan pada model-model perilaku yang suatu
saat diimbali sedang saat yang lain disetujui oleh beberapa kelompok
namun dicela atau dikutuk oleh kelompok lainnya, dengan demikian
seorang anak yang sedang berkembang akan belajar dari kondisi yang
ada, sehingga perkembangan kepribadian anak dalam masyarakat
majemuk menunjukkan bahwa pola asuh dalam keluarga lebih berperan
karena pengalaman yang dominan akan membentuk kepribadian, satu hal
yang perlu dipahami bahwa pengalaman seseorang tidak hanya sekedar
bertambah dalam proses pembentukan kepribadian, namun terintegrasi
dengan pengalaman sebelumnya, karena pada dasarnya kepribadian
yang memberikan corak khas pada perilaku dan pola penyesuaian diri,
tidak dibangun dengan menyusun suatu peristiwa atas peristiwa lain,
karena
arti
dan
pengaruh
suatu
pengalaman
tergantung
pada
pengalaman-pengalaman yang mendahuluinya.
Kebudayaan dianggap sebagai sumber penggalangan konformisme
perilaku individu pada sekelompok masyarakat pendukung kebudayaan
tersebut, karena setiap anak manusia lahir dalam suatu lingkungan alam
tertentu (nature) dan dalam satu lingkungan kebudayaan tertentu (culture)
yang keduanya merupakan lingkungan yang secara apriori menentukan
proses pengasuhannya (nurture) dalam pengembangannya sebagai anak
manusia, dalam proses pembelajaran, sehingga dalam kenyataan,
27
Tinjauan Pustaka
kebudayaan cenderung mengulang-ulang perilaku tertentu melalui pola
asuh
dan
proses
belajar
yang
kemudian
memunculkan
adanya
kepribadian rata-rata, atau stereotipe perilaku yang merupakan ciri khas
dan masyarakat tertentu yang mencerminkan kepribadian modal dalam
lingkungan tersebut, dari pemahaman ini kemudian muncul stereotipe
perilaku pada sekelompok individu pada masyarakat tertentu.
II.2 Tinjauan Tentang Kebudayaan
Culture berasal dari bahasa latin ’colore’ yang berarti ’to cultivate’.
Dalam makna yang paling dasar, culture merupakan segala sesuatu yang
ada di alam ini yang bukan disediakan oleh alam (nature). Jadi
ringkasnya, dunia ini hanya terbagi menjadi dua, yaitu culture dan nature.
Pengertian ini tampak jelas pada kalangan antropologi.
Istilah kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta, buddhayah yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Oleh
karena itu, kebudayaan sering diartikan hal-hal yang berkaitan dengan
akal. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture yang berakar dari
bahasa Latin colere yang berarti mengolah atau mengerjakan. Kemudian,
berkembang arti culture, yaitu segala daya upaya serta tindakan manusia
untuk mengolah tanah dan mengubah alam.
Dalam konsep yang paling dominan, kebudayaan dapat dimaknai
sebagai fenomena material, sehingga menurut faham ini pemahaman dan
pemaknaan kebudayaan lebih banyak dicermati sebagai “keseluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
28
Tinjauan Pustaka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”
(Koentjaraningrat, 1980: 193). Sejalan dengan pengertian tersebut, maka
tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat akan terikat oleh
kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam berbagai pranata yang
berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia (Geertz,
1973), kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami
bersama secara sosial, oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga
suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan (Folkways)
dan tata kelakuan (mores) tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat
kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan
perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi
banyak kegiatan sosial manusia. Beberapa alasan mengapa orang
mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain
terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilainilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan
atas keistimewaannya sendiri. "Citra yang memaksa" itu mengambil
bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti "individualisme
kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam" di Jepang dan
"kepatuhan kolektif" di Cina. Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut
membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku
yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat
dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh
29
Tinjauan Pustaka
rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka. Dengan demikian,
budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk
mengorganisasikan
aktivitas
seseorang
dan
memungkinkannya
meramalkan perilaku orang lain.
II.3 Tinjauan Tentang Perilaku
Perilaku merupakan tindakan yang berpola yang dilakukan oleh
seseorang
dimana
tindakan
tersebut
dapat
diamati.
Menurut
Keontjaraningrat, 2003:75 : Semua gerak–gerik yang dilakukan dari saat
ke saat dan dari hari ke hari, dari masa ke masa, merupakan pola-pola
tingkah laku yang dilakukan berdasarkan sistem. Karena itu, pola-pola
tingkah laku manusia disebut ”sistem sosial”. Pada prinsipnya, perilaku
manusia senantiasa dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimilikinya. Polapola tindakan juga sangat dipengaruhi oleh alam lingkungan yang
dijadikannya sebagai tempat belajar mengenai apa yang baik ataupun
tidak baik sebagaimana yang terkonstruk dalam sistem budayanya.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Slamet, 1975 (dalam Rahmawati,
14: 2004) :
“Perilaku individu meliputi segala sesuatu yang menjadi
pengetahuannya (knowledge), sikapnya (attitudes) dan
yang biasa dikerjakannya (action). Perilaku tidak muncul
dalam diri individu tersebut (internal), melainkan
merupakan
khas
interaksi
individu
dengan
lingkungannya.”
Penjelasan di atas menegaskan perilaku seseorang (manusia)
terbentuk dari lingkungan sosialnya yang mana dalam lingkungan tersebut
individu-individu saling berinteraksi satu-sama lain hingga membentuk
30
Tinjauan Pustaka
satu ciri budaya. Kebudayaan merupakan faktor penentu yang paling
dasar dari keinginan dan perilaku seseorang. Bila makhluk-makhluk
lainnya bertindak berdasarkan naluri, maka perilaku manusia pada
umumnya dipelajari. Seorang anak yang sedang tumbuh mendapatkan
seperangkat nilai, persepsi, preferensi, dan perilaku melalui suatu proses
sosialisasi yang melibatkan keluarga dan lembaga-lembaga sosial penting
lainnya. Hal ini sejalan dengan pemahaman yang diberikan oleh Keesing,
1981: 51 (Kalangie, 1994:3):
“Perilaku merupakan konsekuensi logis dan manunggal
yang tak terpisahkan dari kebudayaan. Dari segi ini,
dimana ketunggalan mereka tidak dapat dipilah, kita
dapat berbicara mengenai sistem budaya tertentu
bersama perilaku aktor-aktor dalam sistem sosial yang
menjalankan kegiatan tertentu pada lokasi atau
lingkungan tertentu.”
Dari kutipan di atas, dapat dimaknai dalam kehidupan sehari- hari
dimana manusia merupakan aktor dari kehidupan bermasyarakat yang
saling berinteraksi dan berperilaku adalah perwujudan dari tindakan
budaya yang diatur oleh sistem budayanya. Dalam satu kelompok
masyarakat atau kelompok masyarakat manapun, budaya merupakan
motorisasi dari segala tindakan ataupun perilaku yang menjadi tradisi
secara turun temurun diwariskan dan membentuk menjadi gagasan,
ideasional, yang memiliki makna atau nilai yang adil bagi masyarakatnya.
Menurut Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya yang berjudul
Psikologi
Komunikasi
yang
disarikan
oleh
akch.wordpress.com,
menjelaskan: Secara garis besar, perilaku manusia dipengaruhi oleh dua
31
Tinjauan Pustaka
faktor
yaitu
faktor
sosio-biologis
dan
faktor
sosio-psikologis
(akch.wordpress.com: 2007):
1.Faktor Biologis
Manusia adalah makhluk biologis yang tidak berbeda
dengan hewan yang lainnya. Ia lapar kalau tidak makan
selama dua puluh jam, kucing pun demikian. Ia
memerlukan lawan jenis untuk kegiatan reproduktifnya,
begitu pula kerbau. Ia melarikan diri kalau melihat musuh
yang menakutkan, begitu pula monyet. Faktor biologis
terlibat dalam seluruh kegiatan manusia, bahkan berpadu
dengan faktor-faktor sosiopsikologis, warisan biologis
manusia menentukan perilakunya, dapat diawali sampai
struktur DNA yang menyimpan seluruh memori warisan
biologis yang diterima dari kedua orangtuanya. Begitu
besarnya pengaruh warisan biologis ini sampai muncul
aliran baru, yang memandang segala kegiatan manusia,
termasuk agama, kebudayaan, moral, berasal dari
struktur biologinya. Aliran ini menyebut dirinya sebagai
aliran sosiobiologi (Wilson, 1975).
Ada beberapa peneliti yang menunjukkan
pengaruh motif biologis terhadap perilaku manusia.
Tahun 1950 Keys dan rekan-rekannya menyelidiki
pengaruh rasa lapar, Selama 6 bulan, 32 subjek bersedia
menjalani eksperimen
setengah
lapar.
Selama
eksperimen terjadi perubahan kepribadian yang
dramatis. Mereka menjadi mudah tersinggung, sukar
bergaul, dan tidak bisa konsentrasi. Pada akhir minggu
ke-25, makanan mendominasi pikiran, percakapan, dan
mimpi. Laki-laki lebih senang menempelkan gambar
coklat daripada gambar wanita cantik. Kekurangan-tidur
juga telah dibuktikan rneningkatkan sifat mudah
tersinggung clan tugas-tugas yang kompleks atau
memecahkan persoalan. Kebutuhan.akan rasa aman,
menghindari rasa sakit, dapat menghambat kebutuhankebutuhan lainnya. Walaupun demikian, manusia bukan
sekadar makhluk biologis. Kalau sekadar makhluk
biologis, ia tidak berbeda dengan binatang yang lain.
Kura-kura Galapagos yang hidup sejak sekian ribu tahun
yang lalu bertingkah laku yang sama sekarang ini.
Tetapi, perilaku orang Jawa di zaman Diponegoro.sudah
jauh berbeda dengan perilaku mereka di zaman
Soeharto. Menurut Marvin Harris, Antropolog terkenal
dari University of Florida, agak sukar kita menjelaskan
perubahan kultural ini pada sebab-sebab biologis
(Rensberger, Dialogue, 1/1984:38).
32
Tinjauan Pustaka
2.Faktor Sosiopsikologis
Karena manusia makhluk sosial, dari proses sosial ia
memperoleh beberapa karakteristik yang mempengaruhi
perilakunya: Kita dapat mengklasifikasinya ke dalam tiga
komponen-komponen afektif, komponen kognitif, dan
kornponen konatif. Komponen yang pertama merupakan
aspek emosional dari faktor sosiopsikologis, didahulukan
karena erat kaitannya dengan pembicaraan sebelumnya.
Komponen kognitif adalah aspek intelektual, yang
berkaitan dengan apa yang diketahui manusia.
Komponen konatif adalah aspek volisional, yang
berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak.
Menurut Marsaulina (2004 : 4)
Perilaku manusia merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan
seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi,
sikap dan sebagainya. Proses terbentuknya perilaku dapat dilihat pada
skema dibawah ini:
Pengalaman
Pengetahuan
Fasilitas
Persepsi
Keinginan
Kehendak
Motivasi
Niat
Keyakinan
SosialBudaya
Sikap
Perilaku
Perilaku seseorang terbentuk dari 3 faktor yaitu:
1. Faktor pemudah (predisposisi) atau predisposing factors yang
terwujud
dalam
bentuk
pengetahuan,
sikap,
kepercayaan,
keyakinan, nilai-nilai yang ada pada seseorang.
2. Faktor pendukung/pemungkin (enabling factors) yang terwujud
dalam bentuk lingkungan fisik, tersedia atau tidak fasilitas maupun
sarana.
33
Tinjauan Pustaka
3. Faktor pendorong/penguat (reinvorcing factors) yang terwujud
dalam bentuk sikap dan perilaku yang merupakan kelompok
referensi
(reference
group)
dan
perilaku
seseorang
atau
masyarakat.
Dari penjelasan di atas dapat kita pahami perilaku merupakan
tuntunan
hasrat
dari
seseorang
dalam
mewujudkan
atau
mengekspresikan keinginan (hasrat), pengetahuan serta pengalaman dari
apa yang mereka pahami dan menjadi nilai pada suatu masyarakat.
Menurut Koentjaraningrat (1990 : 146-147),
masyarakat itu adalah
kesatuan hidup dari mahluk-mahluk manusia yang saling bergaul dan
berinteraksi secara kontinyu yang terikat oleh sistem adat istiadat tertentu
dan rasa identitas bersama. Selanjutnya Ralf Linton dalam Padirman
(2008 : 24) memberikan definisi tentang masyarakat, yaitu :
“Masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang
telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga
mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap
diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan
batas-batas yang dirumuskan.”
Ditambahkan pengertian masyarakat dalam kamus Antropologi
(2003 : 141) :
”Masyarakat adalah kolektif manusia dalam arti seluasluasnya yang terikat oleh suatu kebudayaan yang
mereka pandang bersama.
Dari definisi di atas, dapat dikatakan perilaku seseorang tidak
terlepas dari peran individu-inidvidu yang tergabung dalam suatu
kelompok yang memiliki ciri serta adat istiadat yang sama dan
menjadikannya sebagai suatu kesatuan budaya. Dalam kehidupannya,
34
Tinjauan Pustaka
manusia senantiasa hidup berkelompok sebagai hakikat dari kehidupan
manusia yang saling membutuhkan satu sama lainnya.
Salah satu contoh dalam perilaku makan misalnya, menurut
Soeharjo, 1988 (Rahmawati, 13: 2004) menyatakan istilah kebiasaan
makan memberi konotasi sesuatu yang stabil, sedangkan perilaku makan
mempunyai makna yang dinamis. Perilaku makan memiliki makna yang
dinamis menjelaskan perilaku makan seseorang sangat dipengaruhi oleh
sistem budayanya, dimana setiap kelompok memiliki sistem budaya yang
berbeda pula. Menurut Sirin, Safri n al (2002:1, 2): kebudayaan sebagai
sebuah konsep yang menyatu dalam kehidupan manusia selalu
berhubungan dengan kebutuhan hidupnya. Kebudayaan yang merupakan
seperangkat sistem pengetahuan atau sistem gagasan yang berfungsi
menjadi blue print bagi sikap dan perilaku manusia sebagai anggota atau
warga dari kesatuan sosialnya, tumbuh, berkembang dan berubah sesuai
dengan kebutuhan hidup manusia.
II.4 Globalisai, Mall dan Gaya Hidup
Dalam berkehidupan sosial, budaya tidak lain adalah seperangkat
nilai serta sistem pengetahuan yang dijadikan manusia sebagai alat dalam
pemenuhan berbagai aspek kehidupannya. Tak terkecuali dalam hal
pemenuhan kebutuhan fisiologinya demi keberlangsungan hidupnya.
Menurut Malinowski (1921) dalam Sairin an al (2002: 2) mengatakan
secara sadar kebutuhan hidup manusia itu dapat dibagi pada tiga kategori
besar yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan biologis, sosial dan
psikologis. Walaupun ketiga kebutuhan itu tampak terpisah namun
35
Tinjauan Pustaka
sebenarnya ketiganya adalah tiga serangkai yang tidak dapat dipisahpisahkan. Untuk memenuhi kebutuhan akan makanan dan minuman yang
merupakan salah-satu dari kebutuhan biologis, manusia terikat oleh
gagasan makanan yang dapat dikonsumsi dan makanan pula yang
diharamkan untuk dimakan. Gagasan tentang apa yang boleh dan yang
tidak untuk dikonsumsi itu bukanlah pilihan individu tetapi adalah pilihan
masyarakat lingkungan individu itu menjadi anggotanya.
Berbicara tentang konsep makanan, maka makanan dapat berasal
dari laut, tanaman yang tumbuh di pertanian, yang dijual di pasar
tradisional maupun supermarket. Makanan tidaklah semata-mata sebagai
produk organik hidup dengan kualitas biokimia, tetapi makanan dapat
dilihat sebagai gejala budaya. Gejala budaya terhadap makanan dibentuk
karena berbagai pandangan hidup masyarakatnya. Suatu kelompok
masyarakat melalui pemuka ataupun mitos-mitos (yang beredar di
masyarakat) akan mengijinkan warganya memakan makanan yang boleh
disantap dan makanan yang tidak boleh disantap. “Ijin” tersebut menjadi
semacam pengesahan atau legitimasi yang muncul dalam berbagai
peraturan yang sifatnya normatif.
Selanjutnya
dalam
buku
yang
sama
Widarni
(1997:11)
menegaskan masalah-masalah makanan yang menentukan pilihan boleh
dan tidak boleh (keharusan dan pantangan), kearifan tradisional, produksi,
penyimpanan makanan, konsumsi dan konsekuensi-konsekuensi gizi.
Sebagai suatu sistem budaya, makanan tidak terpisahkan dari sistem-
36
Tinjauan Pustaka
sistem budaya lainnya dan menunjukkan adanya peranan-peranan sosial
dalam sistem sosialnya.
Sebagai suatu sistem budaya, Gaya hidup bukanlah semata-mata
produk organik yang dapat dipakai manusia untuk mempertahankan
hidupnya, tetapi selain itu gaya hidup para anggota kelompok masyarakat,
dibentuk secara budaya, misalnya bagi sesuatu yang akan dimakan
memerlukan pengesahan budaya sehingga tidak semua bahan-bahan
makanan yang bergizi baik dianggap sebagai makanan (Foster, 1986 :
33). Uraian ini berarti pula makanan yang tersedia dari lingkungan alam
sampai
pada
tingkat
pengkonsumsian
berada
di
bawah
kontrol
kebudayaan (Foster, 1986 dalam Widarni 1997: 12).
Dengan mengacu pada aspek budaya makan, maka faktor
kebiasaan makan (food habbit) ikut mempengaruhi seseorang dalam
pendistribusian makanan. Untuk memenuhi kebutuhannya akan makan,
seseorang selau bersikap, kepercayaan dan menilai makanan sesuai
dengan pelajaran dan pengalaman yang diperoleh semasa kanak-kanak
dan berlanjut hingga dewasa (Khumaidi, 1993: 233).
Misalkan dalam kebutuhan biologis seperti makan, makanan
adalah semua substansi yang diperlukan tubuh kecuali air, obat-obatan
dan substansi-substansi yang diperlukan untuk tujuan pengobatan.
Makanan merupakan sumber energi bagi kelangsungan hidup manusia.
Makanan yang dikonsumsi oleh manusia merupakan makanan yang
tersusun atas Zat gizi. Menurut ahli Gizi, Zat gizi yang dikenal ada Lima,
yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Makanan (Food)
37
Tinjauan Pustaka
adalah suatu konsep budaya yang merupakan zat-zat makanan yang
telah diterima dan diolah, telah melalui proses penyuguhan serta
penyiapan secara budaya, sehingga yang mengkonsumsinya dapat hidup
dan berada pada kondisi yang baik (Foster, 1986: 313- 314).
Di masa lampau, kita terbiasa dengan makanan tradisional.
Makanan tradisional terbentuk oleh proses perkembangan yang berjalan
bertahun-tahun, yakni proses penyesuaian antara makanan yang kita
konsumsi dengan jenis-jenis bahan makanan yang ada serta bentuk
aktivitas yang dijalankan masyarakat setempat. Kehidupan di Indonesia
masih didominasi suasana tradisional. Semua aktivitas masih serba santai
dan relatif nyaman. Keadaan demikian secara berangsur berubah, sejalan
perubahan kehidupan masyarakat Indonesia menuju kehidupan yang lebih
urban dan modern.
Sejalan dengan Globalisasi, keterbukaan masyarakat di berbagai
negara ketiga terhadap penetrasi budaya luar tidak dapat terelakkan. Di
Indonesia
pemahaman
globalisasi
yang
erat
kaitannya
dengan
modernisasi pun ikut menjadi referensi gaya hidup konsumtif oleh
masyarakat kota. Menurut Barker (2005: 176- 177) dinamisme modernitas
menyebar dari markasnya di Eropa menuju seluruh penjuru bumi.
Lembaga modernitas yang lahir di Barat ini dinamis dan mengglobal
karena, seperti yang ditulis Giddens: Dinamisme modernitas diturunkan
dari pemisahan ruang dari waktu dan penggabungan ulang keduanya
dalam bentuk-bentuk yang memungkinkan “pen-zona-an” ruang waktu;
pencabutan (dismbedding) sistem-sistem sosial (fenomena yang erat
38
Tinjauan Pustaka
terkait dengan faktor-faktor yang terlibat dengan pemisahan ruangwaktu); dan penataan ulang refleksif atas hubungan sosial yang dipandu
terus oleh masukan-masukan pengetahuan yang mempengaruhi tindakan
individu dan kelompok.
Perubahan gaya hidup muncul ketika orang lebih tertarik dengan
makanan siap saji (fast food) yang ditawarkan di daerah pertokoan elit
(dengan tempat yang nyaman dan menarik) dan hal itu dianggapnya
dapat memberikan nilai tambah baginya. Selain itu perubahan gaya hidup
tersebut juga membawa perubahan persepsi pada masyarakat terhadap
makanan, yaitu munculnya persepsi masyarakat konsumtif (the consumer
society). Perilaku konsumtif muncul karena adanya unsur teknologi,
seperti iklan yang menawarkan berbagai kebutuhan manusia akan
makanan. Melalui tayangan iklan baik pada media cetak maupun
elektronik, orang menjadi tertarik untuk membeli.
Kesadaran manusia
seakan terstruktur oleh keinginan, impian, imajinasi terhadap pesan yang
disampaikan oleh “tanda” (sign) pada makanan (label makanan, tayangan
iklan, penyajian di tempat mewah dan sebagainya).
Perkembangan waralaba-waralaba fast food di Indonesia tidak
terlepas dari arus Globalisasi. Budaya makanan cepat saji ini dengan
cepat dan meluas mempengaruhi perilaku makan masyarakat Indonesia.
Menjamurnya restoran-restoran fast food yang kita kenal sebagai restoran
yang menyajikan makanan dari luar negeri seperti Amerika dan Eropa
merupakan sebuah dampak dari arus globalisasi yang tidak dapat kita
39
Tinjauan Pustaka
hindari sebagai negara dunia ketiga. Seperti yang diungkapkan oleh Irwan
Abdullah (2007: 3):
“Dalam dunia yang semakin terintegrasi dengan tatanan
global, batas-batas antara Amerika, Venezuela, dan
Cina tersebut, seperti halnya Indonesia, menjadi mencair
akibat arus orang, barang, informasi, ide-ide, dan nilai
yang semakin lancer, padat, dan intensif”.
Kata "globalisasi" diambil dari kata globe (bola dunia) menjadi
global yang berarti ‘mendunia’. Globalisasi adalah sebuah istilah yang
memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan antar bangsa dan
antar manusia di seluruh dunia. Hubungan antar bangsa dan antar
manusia tersebut dapat berupa hubungan dalam bidang perdagangan,
investasi, perjalanan, budaya popular, dan bentuk-bentuk interaksi yang
lain.
Istilah
globalisasi
memiliki
kesamaan
dengan
istilah
internasionalisasi. Internasionalisasi mengandung pengertian hubungan
yang melintasi batas-batas negara. Hubungan internasional berlangsung
dalam masyarakat internasional.
Modernitas memeilhara hubungan antar mereka yang “tidak hadir”,
transaksi-transaksi terjadi melintasi ruang dan waktu dan setiap tempat
mengalami penetrasi dan dibentuk oleh pengaruh sosial yang berasal dari
jauh. Dengan kata lain, hubungan-hubungan sosial tercabut atau
“diangkat” dari satu konteks lokal dan mendapat struktur baru melintasi
ruang dan waktu. Di sini Giddens mencatat, khususnya, adanya tanda
simbolis (seperti uang) dan sistem-sistem keahlian. Dus, penemuan uang
dan pengetahuan profesional memungkinkan hubungan sosial untuk
direntangkan (atau di-jarak-an) melintasi ruang dan waktu.
40
Tinjauan Pustaka
Kehidupan modern mencakup pemeriksaan dan pengubahan
hubungan sosial secara terus-menerus, yang dipandu oleh informasi
tentang praktik-praktik yang bersangkutan. Refleksivitas ini mengandung
arti penggunaan pengetahuan mengenai kehidupan sosial sebagai
elemen konstitutif (yang menjadi bagian dari dan turut membentuk
kehidupan sosial-penerj).
Perubahan gaya hidup suatu masyarakat dalam kaitannya dengan
makanan berkaitan juga pada perubahan budaya. Makanan alamiah yang
berasal dari pertanian seperti beras, gandum, jagung menjadi lebih
menarik lagi apabila diolah dengan lebih modern sesuai dengan tuntutan
zaman. Makanan siap saji menjadi lebih diminati karena dianggap lebih
cepat dan praktis, sebab dapat menunjang kebutuhan masyarakat urban
yang sangat sibuk bekerja. Dengan demikian, perkembangan dan
peningkatan perekonomian sebagian masyarakat juga membentuk
kebiasaan makannya.
Pola konsumsi yang dilakukan remaja terhadap makanan cepat
saji tersebut terkait dengan citra yang diberikan oleh fast food tersebut
sebagai citra atau simbol manusia modern yang ditampilakan dalam iklan
fast food. Hal ini juga diungkapkan oleh Burhan Bungin (dikutip oleh ElMuniry, 2008):
“McDonald’s atau Coca Cola pun sama. Seakan-akan,
makanan dan minuman ini harus dikonsumsi oleh
masyarakat Indonesia. Karena pencitraan yang timbul,
bagi pemirsa-lebih banyak-dengan iklan televisi, citra
yang dikonstruksi pada umumnya berganda, maka
pemaknaan juga tidak pernah tunggal (Burhan Bungin,
2001, h. 202). Makna yang dikode oleh pemirsa pada
41
Tinjauan Pustaka
umumnya selalu bermakna ganda. Iklan McDonald’s
(McRendang) contohnya. Makna iklan tersebut dikode
oleh pemirsa sebagai bagian dari kehidupan kelas sosial
menengah ke atas yang bergaya modern, di bagian lain
iklan tersebut adalah bagian dari kenikmatan,
kemewahan dan persahabatan”.
Selanjutnya Foster (1986: 317) berasumsi:
“Makanan, nyatanya, merupakan sesuatu yang pokok
dalam hidup. Makanan juga penting bagi pergaulan
sosial. Jika tidak ada cara-cara dimana makanan
dimanipulasi secara simbolis untuk menyatakan persepsi
terhadap hubungan antara individu-individu dan
kelompok-kelompok, juga di dalam kelompok, sukarlah
untuk meramalkan, bagaimana kehidupan sosial dapat
terjadi”.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan makanan yang
esensinya
sebagai
sumber
pemenuhan
kebutuhan
hidup
dapat
dimanipulasi sebagai sesuatu yang memiliki makna simbolis bagi yang
mengkonsumsinya dalam kaitannya dengan konstruksi simbolik dari
sebuah hubungan sosial.
Menurut Chaney (2004 : 40), gaya hidup adalah pola-pola tindakan
sebagai tipe pembeda dengan orang lain. Lebih lanjut dikatakan dalam
interaksi sehari-hari dapat diterapkan suatu gagasan mengenai gaya
hidup tanpa perlu menjelaskan. Gaya hidup dapat dipahami tanpa harus
membenarkan fenomena yang melanda masyarakat kota tentang apa
yang dilakukan seseorang, mengapa mereka lakukan, dan apakah yang
dilakukan bermanfaat bagi dirinya atau orang lain.
Berdasar pada konsep Waralaba, yang memberi peluang kepada
para Kapitalis menjadi berlomba-lomba untuk membentuk suatu pola
konsumtif pada masyarakat urban. Dengan mudah para pemodal
42
Tinjauan Pustaka
membangun konsep pasar yang penuh dengan citra modernitas,
meninggalkan konsep pasar konvensional demi pemburuan citra dan
prestisius belaka bagi konsumen. Menjamurnya mall di Indonesia yang
menyajikan “konsep satu atap” tampak memanjakan para pemburu
“image” untuk melakukan suatu perilaku konsumtif. Menurut Piliang (2004:
116):
“Mal menjelma menjadi agen difusi, menjadi sebuah
ruang kelas, yang di dalamnya manusia abad 21
mempelajari seni dan keterampilan untuk menghadapi
peran baru mereka yang sentral sebagai consumer
masa depan. Mal tidak lagi menjadi tempat transaksi
barang dan jasa, akan tetapi di dalam abad 21 ia
mempunyai peran sentral sebagai cermin (mirror image)
sebuah masyarakat. Mal menjadi tempat setiap orang
membangun dan merealisasikan citra diri (self image),
tempat setiap orang merumuskan gaya hidupnya (life
style), tempat setiap orang mencari identitasnya”.
Praktik-praktik
konsumsi
selanjutnya
menjadi
gaya
hidup
masyarakat. Konsumsi menjadi cara pandang (baru) masyarakat. Seiring
dengan terus beroperasinya industri lintas negara dan tumbuhnya
supermarket, hipermarket, dan mall. Bahkan dengan strateginya yang
cantik, barang konsumsi disesuaikan dengan pengalaman dan pandangan
filosofis masyarakat setempat (fordisme). Munculnya strategi fordisme
tersebut terus-menerus menempatkan masyarakat dalam kubangan
konsumerisme.
Menurut wikipedia, mall adalah jenis dari pusat perbelanjaan yang
secara arsitektur berupa bangunan tertutup dengan suhu yang diatur dan
memiliki jalur untuk berjalan-jalan yang teratur sehingga berada diantara
antar toko-toko kecil yang saling berhadapan. Karena bentuk arsitektur
43
Tinjauan Pustaka
bangunannya yang melebar (luas), umumnya sebuah mall memiliki tinggi
tiga lantai, namun saat ini, mall bisa bertingkat-tingkat.
Mal adalah kata serapan dari bahasa Inggris “Mall” yang
diterjemahkan menjadi gedung atau kelompok gedung yang berisi
macam-macam toko dengan dihubungkan oleh lorong atau koridor (jalan
penghubung). Dalam bahasa aslinya arti mall mirip dengan pengertian mal
dalam bahasa Indonesia.
Saat ini mal murni memiliki konotasi sebagai pusat perbelanjaan
atau shopping centre dalam arti umum. Mal juga identik dengan pola gaya
hidup mewah dan berkelas. Seiring dengan perkembangan jaman dan
untuk lebih banyak menggaet lapisan masyarakat datang ke mal, maka
mal terdiri dari beberapa macam yaitu:
Community mall, biasanya terdapat di sebuah distrik atau kawasan
permukiman tertentu dengan tujuan untuk melayani masyarakat di
sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan baik selaku pusat belanja
ataupun sekedar "mejeng". City mall, biasanya jauh lebih besar dibanding
community mall, karena bertugas untuk melayani aktivitas masyarakat di
Kota (pinggiran) dengan wilayah-wilayah pemukiman yang tersebar.
Selain mal, fasilitas gedung kawasan belanja kadang disebut plasa
(asal kata dari bahasa Spanyol, plaza) dan square (asal kata dari bahasa
Inggris). Baik plaza maupun square sebetulnya merujuk pada suatu
lapangan terbuka yang ditujukan bagi masyarakat untuk melakukan
berbagai aktivitas, seperti halnya kita mengenal istilah alun-alun. Konsep
plasa dan square ini dikombinasikan dengan konsep mal, sehingga
44
Tinjauan Pustaka
menjadi
kawasan
belanja
dalam
gedung
dengan
lahan
tengah
(square/plaza) cukup luas untuk menampung berbagai kegiatan-kegiatan
non reguler semisal fashion show atau pameran mainan anak-anak.
Munculnya pusat perbelanjaan dalam bentuk yang lebih “baru”, membuat
konsumsi menjadi sebentuk candu.
Area perbalanjaan yang berkembang paling cepat adalah pusat
perbelanjaan ukuran menengah dan kecil dari pelbagai bentuk, biasanya
dengan kurang dari 100.000 kaki persegi. Sebagian adalah pusat
perbelanjaan lingkungan dengan bermacam toko barang keperluan
sehari-hari yang disertai pula dengan masalah besar dalam arus lalulintas, dalam hubungannya dengan efek pada area perumahan di
sekitarnya.
Beberapa dari pusat perbelanjaan ini direncanakan dan dirancang
dengan baik, kadang dalam bentuk tertutup atau tahan segala cuaca, dan
disebut mini-mall (pusat perbelanjaan mini) atau power mall. Banyak pusat
perbelanjaan yang lebih tua ”diformat ulang” dengan menutup dan
memberikan penampilan yang lebih kontemporer.
Kehadiran mal menjadi medan pertarungan kuasa bagi para kaum
ekonomi menegah ke atas. Bagaimana tidak, keberadaan mal secara
tidak langsung memarginalkan masyarakat bawah dengan daya beli yang
begitu rendah bahkan tak terjangkau terhadap penawaran harga yang
begitu tinggi.
Sebagaimana yang diungkapakan oleh Seabrook, (2006: 6-7):
45
Tinjauan Pustaka
“….fenomena lama muncul kembali-hantu buruh miskin,
sebagaimana mereka disebut pada awal era industri.
Orang-orang itu, tak peduli sekeras apa mereka bekerja,
masih tidak cukup memperoleh uang untuk mencukupi
kebutuhan dasar mereka sendiri dan keluarga mereka”.
Dari penggalan di atas, menjelaskan bagaimana sektor industri
yang dikuasai oleh kaum kapitalis mengkonstruk gaya hidup yang
menskreditkan kaum miskin oleh daya beli mereka. Hal ini semata-mata
oleh pertarungan simbolik masyarakat menegah ke atas yang memiliki
daya beli yang tinggi hanya untuk mendapatkan pengakuan dalam
pembentukan identitasnya. Menurut Saifuddin, (2006: 180): Individu
bersaing untuk mendapatkan akses ke jenjang status peranan yang lebih
tinggi karena prestise yang terdapat di sana, dan juga ganjaran materi dan
lainnya yang lebih besar.
Dalam masyarakat yang hidup dalam era modern ini, praktik
konsumsi tidak lagi didasarkan pada pertukaran barang materi yang
berdaya guna, melainkan pada komoditas sebagai tanda dan simbol yang
signifikasinya sewenang-wenang dan tergantung kesepakatan “kode”.
Sebagaimana yang dikatakan Baudrillard yang dukutip Barker (2004 :
111) (dalam Padirman, 2008 : 41) objek dalam masyarakat konsumen
tidak lagi di beli demi nilai guna, melainkan sebagai komoditas-tanda
dalam suatu masyarakat yang ditandai oleh komodifikasi yang semakin
meningkat. Selanjutnya menurut Baudrillard,
tidak ada obyek yang
memiliki nilai esensial justru nilai guna tersebut ditentukan melalui
pertukaran, membuat makna budaya benda-benda lebih berarti ketimbang
nilai kerja atau manfaatnya. Komoditas menawarkan prestise dan
46
Tinjauan Pustaka
memaknai nilai sosial, status dan kekuasaan dalam konteks makna
budaya yang berasal dari tatanan sosial yang lebih luas. Jadi, kode
kesamaan dan perbedaan pada barang-barang konsumstif digunakan
untuk memaknai afiliasi sosial. (Piliang, 2001 : 141) menuturkan: bahasa,
simbol, ungkapan, makna, citra-semuanya adalah unsur dari kebudayaan.
Dan, semua unsur kebudayaan dapat berkaitan dengan kekuasaan
(power).
Hal senada juga dituturkan oleh Jhally dalam Lee, (2006 :28-29):
komoditas selalu dikonsumsi secara simbolis, sebagai makna sosial atau
sebagai benda budaya, maupun perlengkapan fungsionalnya dalam
substansi materialnya. Bahkan orang bisa melangkah jauh mengatakan
kesuksesan yang dicapai ekonomi konsumen ini sebenarnya tergantung
pada regulasi simbolis dan budaya komoditas; yaitu, dijalankan kontrol
atas ekonomi benda-benda simbolis atau benda-benda budaya.
Budaya konsumerisme yang merupakan jantung dari kapitalisme
adalah sebuah budaya yang di dalamnya terdapat berbagai bentuk
halusinasi, mimpi, artifisialitas, kemasan wujud komoditi, yang kemudian
dikonstruksi secara sosial melalui komunikasi ekonomi (iklan, show, media
dan sebagainya) sebagai kekuatan tanda (semiotic power) kapitalisme.
Baudrillard (1970) yang dikutip Featherstone (2005: 33-34) adalah dengan
menggunakan semiologi untuk menegaskan konsumsi membutuhkan
manipulasi sinyal-sinyal secara aktif. Manipulasi ini menjadi hal penting
dalam masyarakat kapitalis baru dimana sinyal dan komoditas secara
bersama-sama
menghasilkan
‘sinyal-komoditas’
(commodity–sing).
47
Tinjauan Pustaka
Melalui manipulasi sinyal dalam media dan periklanan, misalnya, otonomi
pemberi arti (singnifer) mengartikan sinyal mampu mengalir bebas dari
objek dan tersedia untuk digunakan dalam suatu keragaman hubungan
asosiatif.
Televisi atau media lainnya telah menjadi semacam alat penyihir,
dimana konsumerisme dan komersialisme menjadi ruang yang tak ada
habis-habisnya. Pemaknaan masyarakat oleh apa yang mereka simak
dari media menjadikannya sangat konsumtif. Pengkosumsian terhadap
benda tidak lagi terpaku pada fungsinya, akan tetapi tidak lain hanyalah
image yang melekat pada benda tersebut.
Sejalan dengan hal di atas, Abdullah (2006: 33-34), menjelaskan
tiga cara tentang proses konsumsi. Pertama, kelas sosial telah
membedakan proses konsumsi dimana setiap kelas menunjukkan
identifikasi berbeda. Secara umum memperlihatkan pilihan-pilihan yang
dilakukan sesuai dengan kelas dimana integrasi di dalam satu tatanan
umum tidak terbentuk sepenuhnya. Nilai simbolis dalam konsumsi tampak
diinterpresentasikan secara berbeda oleh kelompok yang berbeda.
Daerah-daerah kantong tidak membuka kemungkinan yang besar bagi
produksi massa sehingga tidak memungkinkan integgrasi kelas satu
dengan yang lain.
Kedua, barang yang dikonsumsi kemudian menjadi wakil dari
kehadirannya. Hal ini berhubungan dengan aspek-aspek psikologis
dimana konsumsi suatu produk berkaitan dengan perasaan atau rasa
percaya diri yang menunjukkan itu bukan hanya sekedar aksesoris, tetapi
48
Tinjauan Pustaka
barang-barang yang merupakan isi dari kehadiran seseorang karena
dengan cara itu ia berkomunikasi. Sejalan dengan ini, Blumer, 1969 : 1112 dalam Schlehe (2006 : 155): setiap objek mempunyai makna berbeda
bagi setiap individu, tergantung cara pandang dan rencana tindakan untuk
menanggapinya. Makna sebuah objek bagi seseorang terlihat dari cara
menentukan sikap dirinya terhadap orang lain saat berinteraksi. Jadi
karena sumber makna diperoleh dari interaksi sosial, maka tindakan sosial
atau perilaku merupakan bahan pokok untuk mengetahui makna-makna
simbolik yang memungkinkan interaksi dan komunikasi.
Ketiga, berdasarkan proses konsumsi, dapat dilihat konsumsi citra
(image) di satu pihak telah menjadi proses konsumsi yang penting dimana
citra yang dipancarkan oleh suatu produk dan praktik (seperti pakaian dan
makanan) merupakan alat ekspresi diri bagi kelompok. Bagi kelompok
sosial, menegaskan citra yang melekat pada suatu produk (global)
merupakan
instrumen
modernitas
yang
mampu
menegaskan
keberadaannya dan identitasnya. Proses identifikasi yang terwujud melalui
proses konsumsi merupakan proses aktif di dalam konsumsi citra yang
menyebabkan intensifikasi kesadaran kelas (the self).
Dari penggambaran di atas dapat dijelaskan
perilaku konsumtif
terjadi oleh adanya daya beli yang terkonstruk oleh media yang
menyajikan paradigma baru terhadap gaya hidup modern. Difusi budaya
yang
tercipta
menancapkan
oleh
arus
globalisasi
mendorong
para
kapitalis
pengaruh pada masyarakat menengah ke atas untuk
49
Tinjauan Pustaka
mengkonsumsi
citra modern dalam pertarungan medan kuasa dari
hubungan kelas sosial semata.
II.5 Tinjauan Tentang Remaja
Remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescere, berasal
dari bahasa Latin yang artinya "Tumbuh atau tumbuh mencapai
kematangan". Zakiah Daradjat berpendapat mengenai remaja, "Masa
remaja adalah masa peralihan diantara masa anak-anak dan masa
dewasa, dimana anak-anak mengalami petumbuhan cepat di segala
bidang. Mereka bukan lagi anak-anak, baik bentuk badan, sikap, cara
berfikir dan bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah
matang". Menurut Mappiaer (Notok, 2007):
"Masa remaja berlangsung antara umur 12-21 tahun
bagi wanita dan 13-22 tahun bagi pria". Rentang usia
remaja ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu usia 12/13
tahun sampai dengan 17/18 tahun adalah remaja awal,
dan usia 17/18 tahun sampai dengan 21/22 tahun
adalah remaja akhir".
Masa remaja merupakan masa dimana dianggap sebagai masa
topan badai dan stress (Storm dan Stress). Karena mereka-mereka telah
memiliki keinginan bebas untuk menentukan nasib sendiri, kalau terarah
dengan baik maka ia akan menjadi seorang individu yang memiliki rasa
tanggungjawab, tetapi kalau tidak terbimbing maka bisa menjadi seorang
yang tak memiliki masa depan dengan baik. Menurut Erikson, masa
remaja adalah masa yang akan melalui krisis dimana remaja berusaha
untuk mencari identitas diri (Search for self-Identity, Dariyo, 2004).
50
Tinjauan Pustaka
Menurut teori psikologi yang digagas Rene Girard (dalam Sabari,
2008: 82), dalam melihat perilaku remaja adalah:
“Mengimitasi atau meniru merupakan fenomena khas
manusia. Setiap manusia, sejak masih kanak-kanak,
melakukan tindakan tersebut. Dalam melakukan
peniruan, seseorang memerlukan sebuah model terbaik
untuk di acunya”.
Sesuai dengan definisi di atas, tersirat makna sesungguhnya hal
tersebut (meniru) tak lepas dari peranan lingkungan sosial yang
mengharuskan
sesorang
untuk
bersosialisai
dengan
lingkungan
sekitarnya untuk mencari hal-hal yang baik dari yang terbaik untuk
mendapatkan acuan yang membentuk seperangkat pengetahuannya
sebagai sesuatu yang normatif serta mengandung nilai yang baik dan
dapat diterima dalam lingkungan sosial budayanya.
Remaja sebagai makhluk individu merupakan satu kesatuan dari
aspek fisik atau jasmani dan psikis atau rohani yang sedang mengalami
perkembangan
dan
perubahan
guna
menuju
pada
suatu
tahap
kematangan dalam rangkaian yang tidak terpisahkan. Sabagaimana para
filsuf Yunani berpendapat bagian fisik atau jasmani merupakan aspek
individu yang bersifat kasat mata, kongkret dan dapat diamati sehingga
lebih mudah kita ketahui adanya perkembangan pada remaja, sedangkan
aspek psikis, rohani atau jiwa merupakan aspek individu yang sifatnya
abstrak, immaterial dan tidak dapat diamati, hal ini dapat kita ketahui
dengan perubahan sikap dan tingkah laku remaja.
Dalam ilmu kedokteran dan ilmu biologi, remaja dikenal sebagai
suatu tahap perkembangan dimana alat-alat kelamin manusia mencapai
51
Tinjauan Pustaka
kematangan, dan dasarnya pertumbuhan dan perkembangan adalah
suatu proses untuk menjadi yang lebih. Sehubungan dengan ini secara
anatomis, fisik remaja mengalami perubahan sempurna baik bentuk
maupun fungsinya.
Remaja ditinjau dari segi perkembangan fisik adalah: masa
pematangan fisik (± 2 tahun):”PUBERTAS”
Wanita
: dihitung mulai haid pertama
laki-laki
: dihitung mulai mimpi basahnya
Jadi usia 16/19 s/d 21 tahun dianggap belum dewasa penuh disejajarkan
dengan pengertian-pengertian ”remaja” dalam ilmu sosial (Ruswdani,
2008).
Pada tahun 1974, WHO memberikan definisi tentang remaja lebih
bersifat konseptual, menurut WHO remaja adalah suatu masa dimana
individu berkembang dari saat ia pertama kali menunjukkan tanda seksual
sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual, individu akan
mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari anak-anak
menjadi dewasa serta terjadi peralihan dari ketergantungan sosial dan
ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.
Mendefinisikan remaja untuk masyarakat Indonesia sama sulitnya
untuk menetapkan definisi remaja secara umum. Hal ini dikarenakan
Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, adat dan tingkatan sosial,
ekonomi maupun pendidikan dengan kata lain belum ada profil tentang
remaja Indonesia yang seragam berlaku secara nasional. Sebagaimana
yang didefinisikan Zakiyah Daradjat bahwasanya masa remaja merupakan
52
Tinjauan Pustaka
masa peralihan dimana dalam kondisi remaja mulai mencari identitas diri.
Pada masa ini biasanya ditandai dengan beberapa kecenderungan yang
diakibatkan dari masih labilnya emosi.
Selanjutnya,
E.H.
Ericson
mengemukakan
masa
remaja
merupakan masa dimana terbentuk suatu perasaan baru mengenai
identitas. Identitas mencakup cara hidup pribadi yang dialami hidup sendiri
dan sulit dikenal oleh orang lain. Secara hakiki ia tetap sama walaupun
telah mengalami berbagai macam perubahan (Ahmadi, 1991: 7).
Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa,
masa ini harus lebih diperhatikan oleh orang tua karena apabila tidak
ditanggapi, remaja dapat melakukan penyimpangan-penyimpangan moral
dan etika yang dapat merusak dirinya sendiri. Dalam masa remaja sifat
kesadarannya masih ENTROPY (keadaan dimana kesadaran manusia
belum tersusun rapi) walaupun isinya sudah banyak (ilmu pengetahuan,
perasaan, dan sebagainya). Arti remaja sendiri adalah:
1. Individu yang berkembang dari saat pertama kali menunjukkan
tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai
kematangan seksualnya.
2. Individu
mengalami
perkembangan
psikologis
dan
pola
identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.
3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang
penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.
Bagi sebagian besar orang yang baru berangkat dewasa bahkan
yang sudah melewati usia dewasa, remaja adalah waktu yang paling
53
Tinjauan Pustaka
berkesan dalam hidup mereka. Kenangan terhadap saat remaja
merupakan kenangan yang tidak mudah dilupakan, sebaik atau seburuk
apapun saat itu. Sementara banyak orangtua yang memiliki anak berusia
remaja merasakan bahwa usia remaja adalah waktu yang sulit.
Masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan
manusia yang batasan usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu
jelas. Pubertas yang dahulu dianggap sebagai tanda awal keremajaan
ternyata
tidak
lagi
valid
sebagai
patokan
atau
batasan
untuk
pengkategorian remaja sebab usia pubertas yang dahulu terjadi pada
akhir usia belasan (15-18) kini terjadi pada awal belasan bahkan sebelum
usia 11 tahun. Seorang anak berusia 10 tahun mungkin saja sudah (atau
sedang) mengalami pubertas namun tidak berarti ia sudah bisa dikatakan
sebagai remaja dan sudah siap menghadapi dunia orang dewasa. Ia
belum siap menghadapi dunia nyata orang dewasa, meski di saat yang
sama ia juga bukan anak-anak lagi.
Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini
mood (suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Hasil penelitian
di Chicago oleh Mihalyi Csikszentmihalyi dan Reed Larson (1984)
menemukan bahwa remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk
berubah dari mood “senang luar biasa” ke “sedih luar biasa”, sementara
orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama.
Perubahan mood (swing) yang drastis pada para remaja ini seringkali
dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan
sehari-hari di rumah. Meski mood remaja yang mudah berubah-ubah
54
Tinjauan Pustaka
dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah
psikologis.
Salah satu topik yang paling sering dipertanyakan oleh individu
pada masa remaja adalah masalah "Siapakah Saya?" Pertanyaan itu sah
dan normal adanya karena pada masa ini kesadaran diri (self-awareness)
mereka sudah mulai berkembang dan mengalami banyak sekali
perubahan. Remaja mulai merasakan bahwa “ia bisa berbeda” dengan
orang tuanya dan memang ada remaja yang ingin mencoba berbeda.
Inipun hal yang normal karena remaja dihadapkan pada banyak pilihan.
Karenanya, tidaklah mengherankan bila remaja selalu berubah dan ingin
selalu mencoba–baik dalam peran sosial maupun dalam perbuatan.
55
Download