Tinjauan Pustaka BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tinjauan Tentang Masyarakat Masyarakat adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, ‘musyarak’ atau ‘syaraka’ yang berarti "saling bergaul, ikut serta, atau partisipasi". Istilah masyarakat dalam bahasa Inggris adalah society yang berasal dari bahasa Latin, yaitu socius yang artinya "kawan". Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam suatu komunitas yang teratur. Kata society berasal dari bahasa latin, societas, yang berarti hubungan persahabatan dengan yang lain. Societas diturunkan dari kata socius yang berarti teman, sehingga arti society berhubungan erat dengan kata sosial. Secara implisit, kata society mengandung makna bahwa setiap anggotanya mempunyai perhatian dan kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan bersama. Dari pengertian tersebut maka, masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul. Atau, dalam istilah lain: saling berinteraksi. 24 Tinjauan Pustaka Namun, tidak semua kumpulan manusia yang saling berinteraksi disebut masyarakat. Karena, suatu masyarakat harus mempunyai ikatan lain yang khusus. Misalnya, sekumpulan orang yang sedang antre membeli bakso tidak kita anggap sebagai masyarakat karena meskipun terkadang mereka saling berinteraksi, tetapi terbatas. Polanya juga tidak bersifat mantap dan kontinue. Sekumpulan orang yang sedang mengantre membeli bakso, tiket, atau menonton bioskop lebih tepat disebut "kerumunan" (crowd). Jadi, masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan kemaslahatan. Masyarakat sering diorganisasikan berdasarkan cara utamanya dalam bermata pencaharian. Pakar ilmu sosial mengidentifikasikan ada masyarakat pemburu, masyarakat pastoral nomadis, masyarakat bercocok tanam, dan masyarakat agrikultural intensif, yang juga disebut masyarakat peradaban, sebagian pakar menganggap masyarakat industri dan pasca-industri sebagai kelompok masyarakat yang terpisah dari masyarakat agrikultural tradisional. 25 Tinjauan Pustaka Masyarakat dapat pula di organisasikan berdasarkan struktur politiknya: berdasarkan urutan kompleksitas dan besar, terdapat masyarakat band, suku, chiefdom, dan masyarakat negara. Disini dapat dijelaskan bahwa kata masyarakat itu sendiri berasal dari beberapa bahasa yang dirangkumkan sebagai berikut: Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak dan syaraka. Kata society berasal dari bahasa Latin, societas, yang berarti hubungan persahabatan dengan yang lain. Istilah masyarakat dalam bahasa Inggris adalah society yang berasal dari bahasa Latin, yaitu socius yang artinya "kawan". Kebudayaan dalam Antropologi sering diartikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia melalui proses belajar (Koentjaraningrat, 1980: 193). Dari pengertian ini, berarti hampir seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan. Karena, hanya sedikit tindakan manusia yang berasal dari naluri tanpa melalui proses belajar. Misalnya, tindakan makan. Makan sebenarnya naluri manusia untuk bertahan hidup. Akan tetapi, setelah diselipi kebudayaan, muncul cara-cara makan yang berbudaya, sopan, pantas, atau sesuai dengan "estetika". Masyarakat dan kebudayaannya pada dasarnya merupakan tayangan besar dari kehidupan bersama antara individu-individu manusia yang bersifat dinamis. Pada masyarakat yang kompleks (majemuk) 26 Tinjauan Pustaka memiliki banyak kebudayaan dengan standar perilaku yang berbeda dan kadangkala bertentangan. Perkembangan kepribadian individu pada masyarakat ini sering dihadapkan pada model-model perilaku yang suatu saat diimbali sedang saat yang lain disetujui oleh beberapa kelompok namun dicela atau dikutuk oleh kelompok lainnya, dengan demikian seorang anak yang sedang berkembang akan belajar dari kondisi yang ada, sehingga perkembangan kepribadian anak dalam masyarakat majemuk menunjukkan bahwa pola asuh dalam keluarga lebih berperan karena pengalaman yang dominan akan membentuk kepribadian, satu hal yang perlu dipahami bahwa pengalaman seseorang tidak hanya sekedar bertambah dalam proses pembentukan kepribadian, namun terintegrasi dengan pengalaman sebelumnya, karena pada dasarnya kepribadian yang memberikan corak khas pada perilaku dan pola penyesuaian diri, tidak dibangun dengan menyusun suatu peristiwa atas peristiwa lain, karena arti dan pengaruh suatu pengalaman tergantung pada pengalaman-pengalaman yang mendahuluinya. Kebudayaan dianggap sebagai sumber penggalangan konformisme perilaku individu pada sekelompok masyarakat pendukung kebudayaan tersebut, karena setiap anak manusia lahir dalam suatu lingkungan alam tertentu (nature) dan dalam satu lingkungan kebudayaan tertentu (culture) yang keduanya merupakan lingkungan yang secara apriori menentukan proses pengasuhannya (nurture) dalam pengembangannya sebagai anak manusia, dalam proses pembelajaran, sehingga dalam kenyataan, 27 Tinjauan Pustaka kebudayaan cenderung mengulang-ulang perilaku tertentu melalui pola asuh dan proses belajar yang kemudian memunculkan adanya kepribadian rata-rata, atau stereotipe perilaku yang merupakan ciri khas dan masyarakat tertentu yang mencerminkan kepribadian modal dalam lingkungan tersebut, dari pemahaman ini kemudian muncul stereotipe perilaku pada sekelompok individu pada masyarakat tertentu. II.2 Tinjauan Tentang Kebudayaan Culture berasal dari bahasa latin ’colore’ yang berarti ’to cultivate’. Dalam makna yang paling dasar, culture merupakan segala sesuatu yang ada di alam ini yang bukan disediakan oleh alam (nature). Jadi ringkasnya, dunia ini hanya terbagi menjadi dua, yaitu culture dan nature. Pengertian ini tampak jelas pada kalangan antropologi. Istilah kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta, buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Oleh karena itu, kebudayaan sering diartikan hal-hal yang berkaitan dengan akal. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture yang berakar dari bahasa Latin colere yang berarti mengolah atau mengerjakan. Kemudian, berkembang arti culture, yaitu segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam. Dalam konsep yang paling dominan, kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sehingga menurut faham ini pemahaman dan pemaknaan kebudayaan lebih banyak dicermati sebagai “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka 28 Tinjauan Pustaka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar” (Koentjaraningrat, 1980: 193). Sejalan dengan pengertian tersebut, maka tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam berbagai pranata yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia (Geertz, 1973), kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial, oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan (Folkways) dan tata kelakuan (mores) tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilainilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri. "Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti "individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam" di Jepang dan "kepatuhan kolektif" di Cina. Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh 29 Tinjauan Pustaka rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka. Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain. II.3 Tinjauan Tentang Perilaku Perilaku merupakan tindakan yang berpola yang dilakukan oleh seseorang dimana tindakan tersebut dapat diamati. Menurut Keontjaraningrat, 2003:75 : Semua gerak–gerik yang dilakukan dari saat ke saat dan dari hari ke hari, dari masa ke masa, merupakan pola-pola tingkah laku yang dilakukan berdasarkan sistem. Karena itu, pola-pola tingkah laku manusia disebut ”sistem sosial”. Pada prinsipnya, perilaku manusia senantiasa dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimilikinya. Polapola tindakan juga sangat dipengaruhi oleh alam lingkungan yang dijadikannya sebagai tempat belajar mengenai apa yang baik ataupun tidak baik sebagaimana yang terkonstruk dalam sistem budayanya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Slamet, 1975 (dalam Rahmawati, 14: 2004) : “Perilaku individu meliputi segala sesuatu yang menjadi pengetahuannya (knowledge), sikapnya (attitudes) dan yang biasa dikerjakannya (action). Perilaku tidak muncul dalam diri individu tersebut (internal), melainkan merupakan khas interaksi individu dengan lingkungannya.” Penjelasan di atas menegaskan perilaku seseorang (manusia) terbentuk dari lingkungan sosialnya yang mana dalam lingkungan tersebut individu-individu saling berinteraksi satu-sama lain hingga membentuk 30 Tinjauan Pustaka satu ciri budaya. Kebudayaan merupakan faktor penentu yang paling dasar dari keinginan dan perilaku seseorang. Bila makhluk-makhluk lainnya bertindak berdasarkan naluri, maka perilaku manusia pada umumnya dipelajari. Seorang anak yang sedang tumbuh mendapatkan seperangkat nilai, persepsi, preferensi, dan perilaku melalui suatu proses sosialisasi yang melibatkan keluarga dan lembaga-lembaga sosial penting lainnya. Hal ini sejalan dengan pemahaman yang diberikan oleh Keesing, 1981: 51 (Kalangie, 1994:3): “Perilaku merupakan konsekuensi logis dan manunggal yang tak terpisahkan dari kebudayaan. Dari segi ini, dimana ketunggalan mereka tidak dapat dipilah, kita dapat berbicara mengenai sistem budaya tertentu bersama perilaku aktor-aktor dalam sistem sosial yang menjalankan kegiatan tertentu pada lokasi atau lingkungan tertentu.” Dari kutipan di atas, dapat dimaknai dalam kehidupan sehari- hari dimana manusia merupakan aktor dari kehidupan bermasyarakat yang saling berinteraksi dan berperilaku adalah perwujudan dari tindakan budaya yang diatur oleh sistem budayanya. Dalam satu kelompok masyarakat atau kelompok masyarakat manapun, budaya merupakan motorisasi dari segala tindakan ataupun perilaku yang menjadi tradisi secara turun temurun diwariskan dan membentuk menjadi gagasan, ideasional, yang memiliki makna atau nilai yang adil bagi masyarakatnya. Menurut Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya yang berjudul Psikologi Komunikasi yang disarikan oleh akch.wordpress.com, menjelaskan: Secara garis besar, perilaku manusia dipengaruhi oleh dua 31 Tinjauan Pustaka faktor yaitu faktor sosio-biologis dan faktor sosio-psikologis (akch.wordpress.com: 2007): 1.Faktor Biologis Manusia adalah makhluk biologis yang tidak berbeda dengan hewan yang lainnya. Ia lapar kalau tidak makan selama dua puluh jam, kucing pun demikian. Ia memerlukan lawan jenis untuk kegiatan reproduktifnya, begitu pula kerbau. Ia melarikan diri kalau melihat musuh yang menakutkan, begitu pula monyet. Faktor biologis terlibat dalam seluruh kegiatan manusia, bahkan berpadu dengan faktor-faktor sosiopsikologis, warisan biologis manusia menentukan perilakunya, dapat diawali sampai struktur DNA yang menyimpan seluruh memori warisan biologis yang diterima dari kedua orangtuanya. Begitu besarnya pengaruh warisan biologis ini sampai muncul aliran baru, yang memandang segala kegiatan manusia, termasuk agama, kebudayaan, moral, berasal dari struktur biologinya. Aliran ini menyebut dirinya sebagai aliran sosiobiologi (Wilson, 1975). Ada beberapa peneliti yang menunjukkan pengaruh motif biologis terhadap perilaku manusia. Tahun 1950 Keys dan rekan-rekannya menyelidiki pengaruh rasa lapar, Selama 6 bulan, 32 subjek bersedia menjalani eksperimen setengah lapar. Selama eksperimen terjadi perubahan kepribadian yang dramatis. Mereka menjadi mudah tersinggung, sukar bergaul, dan tidak bisa konsentrasi. Pada akhir minggu ke-25, makanan mendominasi pikiran, percakapan, dan mimpi. Laki-laki lebih senang menempelkan gambar coklat daripada gambar wanita cantik. Kekurangan-tidur juga telah dibuktikan rneningkatkan sifat mudah tersinggung clan tugas-tugas yang kompleks atau memecahkan persoalan. Kebutuhan.akan rasa aman, menghindari rasa sakit, dapat menghambat kebutuhankebutuhan lainnya. Walaupun demikian, manusia bukan sekadar makhluk biologis. Kalau sekadar makhluk biologis, ia tidak berbeda dengan binatang yang lain. Kura-kura Galapagos yang hidup sejak sekian ribu tahun yang lalu bertingkah laku yang sama sekarang ini. Tetapi, perilaku orang Jawa di zaman Diponegoro.sudah jauh berbeda dengan perilaku mereka di zaman Soeharto. Menurut Marvin Harris, Antropolog terkenal dari University of Florida, agak sukar kita menjelaskan perubahan kultural ini pada sebab-sebab biologis (Rensberger, Dialogue, 1/1984:38). 32 Tinjauan Pustaka 2.Faktor Sosiopsikologis Karena manusia makhluk sosial, dari proses sosial ia memperoleh beberapa karakteristik yang mempengaruhi perilakunya: Kita dapat mengklasifikasinya ke dalam tiga komponen-komponen afektif, komponen kognitif, dan kornponen konatif. Komponen yang pertama merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis, didahulukan karena erat kaitannya dengan pembicaraan sebelumnya. Komponen kognitif adalah aspek intelektual, yang berkaitan dengan apa yang diketahui manusia. Komponen konatif adalah aspek volisional, yang berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak. Menurut Marsaulina (2004 : 4) Perilaku manusia merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya. Proses terbentuknya perilaku dapat dilihat pada skema dibawah ini: Pengalaman Pengetahuan Fasilitas Persepsi Keinginan Kehendak Motivasi Niat Keyakinan SosialBudaya Sikap Perilaku Perilaku seseorang terbentuk dari 3 faktor yaitu: 1. Faktor pemudah (predisposisi) atau predisposing factors yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai yang ada pada seseorang. 2. Faktor pendukung/pemungkin (enabling factors) yang terwujud dalam bentuk lingkungan fisik, tersedia atau tidak fasilitas maupun sarana. 33 Tinjauan Pustaka 3. Faktor pendorong/penguat (reinvorcing factors) yang terwujud dalam bentuk sikap dan perilaku yang merupakan kelompok referensi (reference group) dan perilaku seseorang atau masyarakat. Dari penjelasan di atas dapat kita pahami perilaku merupakan tuntunan hasrat dari seseorang dalam mewujudkan atau mengekspresikan keinginan (hasrat), pengetahuan serta pengalaman dari apa yang mereka pahami dan menjadi nilai pada suatu masyarakat. Menurut Koentjaraningrat (1990 : 146-147), masyarakat itu adalah kesatuan hidup dari mahluk-mahluk manusia yang saling bergaul dan berinteraksi secara kontinyu yang terikat oleh sistem adat istiadat tertentu dan rasa identitas bersama. Selanjutnya Ralf Linton dalam Padirman (2008 : 24) memberikan definisi tentang masyarakat, yaitu : “Masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan.” Ditambahkan pengertian masyarakat dalam kamus Antropologi (2003 : 141) : ”Masyarakat adalah kolektif manusia dalam arti seluasluasnya yang terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka pandang bersama. Dari definisi di atas, dapat dikatakan perilaku seseorang tidak terlepas dari peran individu-inidvidu yang tergabung dalam suatu kelompok yang memiliki ciri serta adat istiadat yang sama dan menjadikannya sebagai suatu kesatuan budaya. Dalam kehidupannya, 34 Tinjauan Pustaka manusia senantiasa hidup berkelompok sebagai hakikat dari kehidupan manusia yang saling membutuhkan satu sama lainnya. Salah satu contoh dalam perilaku makan misalnya, menurut Soeharjo, 1988 (Rahmawati, 13: 2004) menyatakan istilah kebiasaan makan memberi konotasi sesuatu yang stabil, sedangkan perilaku makan mempunyai makna yang dinamis. Perilaku makan memiliki makna yang dinamis menjelaskan perilaku makan seseorang sangat dipengaruhi oleh sistem budayanya, dimana setiap kelompok memiliki sistem budaya yang berbeda pula. Menurut Sirin, Safri n al (2002:1, 2): kebudayaan sebagai sebuah konsep yang menyatu dalam kehidupan manusia selalu berhubungan dengan kebutuhan hidupnya. Kebudayaan yang merupakan seperangkat sistem pengetahuan atau sistem gagasan yang berfungsi menjadi blue print bagi sikap dan perilaku manusia sebagai anggota atau warga dari kesatuan sosialnya, tumbuh, berkembang dan berubah sesuai dengan kebutuhan hidup manusia. II.4 Globalisai, Mall dan Gaya Hidup Dalam berkehidupan sosial, budaya tidak lain adalah seperangkat nilai serta sistem pengetahuan yang dijadikan manusia sebagai alat dalam pemenuhan berbagai aspek kehidupannya. Tak terkecuali dalam hal pemenuhan kebutuhan fisiologinya demi keberlangsungan hidupnya. Menurut Malinowski (1921) dalam Sairin an al (2002: 2) mengatakan secara sadar kebutuhan hidup manusia itu dapat dibagi pada tiga kategori besar yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan biologis, sosial dan psikologis. Walaupun ketiga kebutuhan itu tampak terpisah namun 35 Tinjauan Pustaka sebenarnya ketiganya adalah tiga serangkai yang tidak dapat dipisahpisahkan. Untuk memenuhi kebutuhan akan makanan dan minuman yang merupakan salah-satu dari kebutuhan biologis, manusia terikat oleh gagasan makanan yang dapat dikonsumsi dan makanan pula yang diharamkan untuk dimakan. Gagasan tentang apa yang boleh dan yang tidak untuk dikonsumsi itu bukanlah pilihan individu tetapi adalah pilihan masyarakat lingkungan individu itu menjadi anggotanya. Berbicara tentang konsep makanan, maka makanan dapat berasal dari laut, tanaman yang tumbuh di pertanian, yang dijual di pasar tradisional maupun supermarket. Makanan tidaklah semata-mata sebagai produk organik hidup dengan kualitas biokimia, tetapi makanan dapat dilihat sebagai gejala budaya. Gejala budaya terhadap makanan dibentuk karena berbagai pandangan hidup masyarakatnya. Suatu kelompok masyarakat melalui pemuka ataupun mitos-mitos (yang beredar di masyarakat) akan mengijinkan warganya memakan makanan yang boleh disantap dan makanan yang tidak boleh disantap. “Ijin” tersebut menjadi semacam pengesahan atau legitimasi yang muncul dalam berbagai peraturan yang sifatnya normatif. Selanjutnya dalam buku yang sama Widarni (1997:11) menegaskan masalah-masalah makanan yang menentukan pilihan boleh dan tidak boleh (keharusan dan pantangan), kearifan tradisional, produksi, penyimpanan makanan, konsumsi dan konsekuensi-konsekuensi gizi. Sebagai suatu sistem budaya, makanan tidak terpisahkan dari sistem- 36 Tinjauan Pustaka sistem budaya lainnya dan menunjukkan adanya peranan-peranan sosial dalam sistem sosialnya. Sebagai suatu sistem budaya, Gaya hidup bukanlah semata-mata produk organik yang dapat dipakai manusia untuk mempertahankan hidupnya, tetapi selain itu gaya hidup para anggota kelompok masyarakat, dibentuk secara budaya, misalnya bagi sesuatu yang akan dimakan memerlukan pengesahan budaya sehingga tidak semua bahan-bahan makanan yang bergizi baik dianggap sebagai makanan (Foster, 1986 : 33). Uraian ini berarti pula makanan yang tersedia dari lingkungan alam sampai pada tingkat pengkonsumsian berada di bawah kontrol kebudayaan (Foster, 1986 dalam Widarni 1997: 12). Dengan mengacu pada aspek budaya makan, maka faktor kebiasaan makan (food habbit) ikut mempengaruhi seseorang dalam pendistribusian makanan. Untuk memenuhi kebutuhannya akan makan, seseorang selau bersikap, kepercayaan dan menilai makanan sesuai dengan pelajaran dan pengalaman yang diperoleh semasa kanak-kanak dan berlanjut hingga dewasa (Khumaidi, 1993: 233). Misalkan dalam kebutuhan biologis seperti makan, makanan adalah semua substansi yang diperlukan tubuh kecuali air, obat-obatan dan substansi-substansi yang diperlukan untuk tujuan pengobatan. Makanan merupakan sumber energi bagi kelangsungan hidup manusia. Makanan yang dikonsumsi oleh manusia merupakan makanan yang tersusun atas Zat gizi. Menurut ahli Gizi, Zat gizi yang dikenal ada Lima, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Makanan (Food) 37 Tinjauan Pustaka adalah suatu konsep budaya yang merupakan zat-zat makanan yang telah diterima dan diolah, telah melalui proses penyuguhan serta penyiapan secara budaya, sehingga yang mengkonsumsinya dapat hidup dan berada pada kondisi yang baik (Foster, 1986: 313- 314). Di masa lampau, kita terbiasa dengan makanan tradisional. Makanan tradisional terbentuk oleh proses perkembangan yang berjalan bertahun-tahun, yakni proses penyesuaian antara makanan yang kita konsumsi dengan jenis-jenis bahan makanan yang ada serta bentuk aktivitas yang dijalankan masyarakat setempat. Kehidupan di Indonesia masih didominasi suasana tradisional. Semua aktivitas masih serba santai dan relatif nyaman. Keadaan demikian secara berangsur berubah, sejalan perubahan kehidupan masyarakat Indonesia menuju kehidupan yang lebih urban dan modern. Sejalan dengan Globalisasi, keterbukaan masyarakat di berbagai negara ketiga terhadap penetrasi budaya luar tidak dapat terelakkan. Di Indonesia pemahaman globalisasi yang erat kaitannya dengan modernisasi pun ikut menjadi referensi gaya hidup konsumtif oleh masyarakat kota. Menurut Barker (2005: 176- 177) dinamisme modernitas menyebar dari markasnya di Eropa menuju seluruh penjuru bumi. Lembaga modernitas yang lahir di Barat ini dinamis dan mengglobal karena, seperti yang ditulis Giddens: Dinamisme modernitas diturunkan dari pemisahan ruang dari waktu dan penggabungan ulang keduanya dalam bentuk-bentuk yang memungkinkan “pen-zona-an” ruang waktu; pencabutan (dismbedding) sistem-sistem sosial (fenomena yang erat 38 Tinjauan Pustaka terkait dengan faktor-faktor yang terlibat dengan pemisahan ruangwaktu); dan penataan ulang refleksif atas hubungan sosial yang dipandu terus oleh masukan-masukan pengetahuan yang mempengaruhi tindakan individu dan kelompok. Perubahan gaya hidup muncul ketika orang lebih tertarik dengan makanan siap saji (fast food) yang ditawarkan di daerah pertokoan elit (dengan tempat yang nyaman dan menarik) dan hal itu dianggapnya dapat memberikan nilai tambah baginya. Selain itu perubahan gaya hidup tersebut juga membawa perubahan persepsi pada masyarakat terhadap makanan, yaitu munculnya persepsi masyarakat konsumtif (the consumer society). Perilaku konsumtif muncul karena adanya unsur teknologi, seperti iklan yang menawarkan berbagai kebutuhan manusia akan makanan. Melalui tayangan iklan baik pada media cetak maupun elektronik, orang menjadi tertarik untuk membeli. Kesadaran manusia seakan terstruktur oleh keinginan, impian, imajinasi terhadap pesan yang disampaikan oleh “tanda” (sign) pada makanan (label makanan, tayangan iklan, penyajian di tempat mewah dan sebagainya). Perkembangan waralaba-waralaba fast food di Indonesia tidak terlepas dari arus Globalisasi. Budaya makanan cepat saji ini dengan cepat dan meluas mempengaruhi perilaku makan masyarakat Indonesia. Menjamurnya restoran-restoran fast food yang kita kenal sebagai restoran yang menyajikan makanan dari luar negeri seperti Amerika dan Eropa merupakan sebuah dampak dari arus globalisasi yang tidak dapat kita 39 Tinjauan Pustaka hindari sebagai negara dunia ketiga. Seperti yang diungkapkan oleh Irwan Abdullah (2007: 3): “Dalam dunia yang semakin terintegrasi dengan tatanan global, batas-batas antara Amerika, Venezuela, dan Cina tersebut, seperti halnya Indonesia, menjadi mencair akibat arus orang, barang, informasi, ide-ide, dan nilai yang semakin lancer, padat, dan intensif”. Kata "globalisasi" diambil dari kata globe (bola dunia) menjadi global yang berarti ‘mendunia’. Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia. Hubungan antar bangsa dan antar manusia tersebut dapat berupa hubungan dalam bidang perdagangan, investasi, perjalanan, budaya popular, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain. Istilah globalisasi memiliki kesamaan dengan istilah internasionalisasi. Internasionalisasi mengandung pengertian hubungan yang melintasi batas-batas negara. Hubungan internasional berlangsung dalam masyarakat internasional. Modernitas memeilhara hubungan antar mereka yang “tidak hadir”, transaksi-transaksi terjadi melintasi ruang dan waktu dan setiap tempat mengalami penetrasi dan dibentuk oleh pengaruh sosial yang berasal dari jauh. Dengan kata lain, hubungan-hubungan sosial tercabut atau “diangkat” dari satu konteks lokal dan mendapat struktur baru melintasi ruang dan waktu. Di sini Giddens mencatat, khususnya, adanya tanda simbolis (seperti uang) dan sistem-sistem keahlian. Dus, penemuan uang dan pengetahuan profesional memungkinkan hubungan sosial untuk direntangkan (atau di-jarak-an) melintasi ruang dan waktu. 40 Tinjauan Pustaka Kehidupan modern mencakup pemeriksaan dan pengubahan hubungan sosial secara terus-menerus, yang dipandu oleh informasi tentang praktik-praktik yang bersangkutan. Refleksivitas ini mengandung arti penggunaan pengetahuan mengenai kehidupan sosial sebagai elemen konstitutif (yang menjadi bagian dari dan turut membentuk kehidupan sosial-penerj). Perubahan gaya hidup suatu masyarakat dalam kaitannya dengan makanan berkaitan juga pada perubahan budaya. Makanan alamiah yang berasal dari pertanian seperti beras, gandum, jagung menjadi lebih menarik lagi apabila diolah dengan lebih modern sesuai dengan tuntutan zaman. Makanan siap saji menjadi lebih diminati karena dianggap lebih cepat dan praktis, sebab dapat menunjang kebutuhan masyarakat urban yang sangat sibuk bekerja. Dengan demikian, perkembangan dan peningkatan perekonomian sebagian masyarakat juga membentuk kebiasaan makannya. Pola konsumsi yang dilakukan remaja terhadap makanan cepat saji tersebut terkait dengan citra yang diberikan oleh fast food tersebut sebagai citra atau simbol manusia modern yang ditampilakan dalam iklan fast food. Hal ini juga diungkapkan oleh Burhan Bungin (dikutip oleh ElMuniry, 2008): “McDonald’s atau Coca Cola pun sama. Seakan-akan, makanan dan minuman ini harus dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Karena pencitraan yang timbul, bagi pemirsa-lebih banyak-dengan iklan televisi, citra yang dikonstruksi pada umumnya berganda, maka pemaknaan juga tidak pernah tunggal (Burhan Bungin, 2001, h. 202). Makna yang dikode oleh pemirsa pada 41 Tinjauan Pustaka umumnya selalu bermakna ganda. Iklan McDonald’s (McRendang) contohnya. Makna iklan tersebut dikode oleh pemirsa sebagai bagian dari kehidupan kelas sosial menengah ke atas yang bergaya modern, di bagian lain iklan tersebut adalah bagian dari kenikmatan, kemewahan dan persahabatan”. Selanjutnya Foster (1986: 317) berasumsi: “Makanan, nyatanya, merupakan sesuatu yang pokok dalam hidup. Makanan juga penting bagi pergaulan sosial. Jika tidak ada cara-cara dimana makanan dimanipulasi secara simbolis untuk menyatakan persepsi terhadap hubungan antara individu-individu dan kelompok-kelompok, juga di dalam kelompok, sukarlah untuk meramalkan, bagaimana kehidupan sosial dapat terjadi”. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan makanan yang esensinya sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidup dapat dimanipulasi sebagai sesuatu yang memiliki makna simbolis bagi yang mengkonsumsinya dalam kaitannya dengan konstruksi simbolik dari sebuah hubungan sosial. Menurut Chaney (2004 : 40), gaya hidup adalah pola-pola tindakan sebagai tipe pembeda dengan orang lain. Lebih lanjut dikatakan dalam interaksi sehari-hari dapat diterapkan suatu gagasan mengenai gaya hidup tanpa perlu menjelaskan. Gaya hidup dapat dipahami tanpa harus membenarkan fenomena yang melanda masyarakat kota tentang apa yang dilakukan seseorang, mengapa mereka lakukan, dan apakah yang dilakukan bermanfaat bagi dirinya atau orang lain. Berdasar pada konsep Waralaba, yang memberi peluang kepada para Kapitalis menjadi berlomba-lomba untuk membentuk suatu pola konsumtif pada masyarakat urban. Dengan mudah para pemodal 42 Tinjauan Pustaka membangun konsep pasar yang penuh dengan citra modernitas, meninggalkan konsep pasar konvensional demi pemburuan citra dan prestisius belaka bagi konsumen. Menjamurnya mall di Indonesia yang menyajikan “konsep satu atap” tampak memanjakan para pemburu “image” untuk melakukan suatu perilaku konsumtif. Menurut Piliang (2004: 116): “Mal menjelma menjadi agen difusi, menjadi sebuah ruang kelas, yang di dalamnya manusia abad 21 mempelajari seni dan keterampilan untuk menghadapi peran baru mereka yang sentral sebagai consumer masa depan. Mal tidak lagi menjadi tempat transaksi barang dan jasa, akan tetapi di dalam abad 21 ia mempunyai peran sentral sebagai cermin (mirror image) sebuah masyarakat. Mal menjadi tempat setiap orang membangun dan merealisasikan citra diri (self image), tempat setiap orang merumuskan gaya hidupnya (life style), tempat setiap orang mencari identitasnya”. Praktik-praktik konsumsi selanjutnya menjadi gaya hidup masyarakat. Konsumsi menjadi cara pandang (baru) masyarakat. Seiring dengan terus beroperasinya industri lintas negara dan tumbuhnya supermarket, hipermarket, dan mall. Bahkan dengan strateginya yang cantik, barang konsumsi disesuaikan dengan pengalaman dan pandangan filosofis masyarakat setempat (fordisme). Munculnya strategi fordisme tersebut terus-menerus menempatkan masyarakat dalam kubangan konsumerisme. Menurut wikipedia, mall adalah jenis dari pusat perbelanjaan yang secara arsitektur berupa bangunan tertutup dengan suhu yang diatur dan memiliki jalur untuk berjalan-jalan yang teratur sehingga berada diantara antar toko-toko kecil yang saling berhadapan. Karena bentuk arsitektur 43 Tinjauan Pustaka bangunannya yang melebar (luas), umumnya sebuah mall memiliki tinggi tiga lantai, namun saat ini, mall bisa bertingkat-tingkat. Mal adalah kata serapan dari bahasa Inggris “Mall” yang diterjemahkan menjadi gedung atau kelompok gedung yang berisi macam-macam toko dengan dihubungkan oleh lorong atau koridor (jalan penghubung). Dalam bahasa aslinya arti mall mirip dengan pengertian mal dalam bahasa Indonesia. Saat ini mal murni memiliki konotasi sebagai pusat perbelanjaan atau shopping centre dalam arti umum. Mal juga identik dengan pola gaya hidup mewah dan berkelas. Seiring dengan perkembangan jaman dan untuk lebih banyak menggaet lapisan masyarakat datang ke mal, maka mal terdiri dari beberapa macam yaitu: Community mall, biasanya terdapat di sebuah distrik atau kawasan permukiman tertentu dengan tujuan untuk melayani masyarakat di sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan baik selaku pusat belanja ataupun sekedar "mejeng". City mall, biasanya jauh lebih besar dibanding community mall, karena bertugas untuk melayani aktivitas masyarakat di Kota (pinggiran) dengan wilayah-wilayah pemukiman yang tersebar. Selain mal, fasilitas gedung kawasan belanja kadang disebut plasa (asal kata dari bahasa Spanyol, plaza) dan square (asal kata dari bahasa Inggris). Baik plaza maupun square sebetulnya merujuk pada suatu lapangan terbuka yang ditujukan bagi masyarakat untuk melakukan berbagai aktivitas, seperti halnya kita mengenal istilah alun-alun. Konsep plasa dan square ini dikombinasikan dengan konsep mal, sehingga 44 Tinjauan Pustaka menjadi kawasan belanja dalam gedung dengan lahan tengah (square/plaza) cukup luas untuk menampung berbagai kegiatan-kegiatan non reguler semisal fashion show atau pameran mainan anak-anak. Munculnya pusat perbelanjaan dalam bentuk yang lebih “baru”, membuat konsumsi menjadi sebentuk candu. Area perbalanjaan yang berkembang paling cepat adalah pusat perbelanjaan ukuran menengah dan kecil dari pelbagai bentuk, biasanya dengan kurang dari 100.000 kaki persegi. Sebagian adalah pusat perbelanjaan lingkungan dengan bermacam toko barang keperluan sehari-hari yang disertai pula dengan masalah besar dalam arus lalulintas, dalam hubungannya dengan efek pada area perumahan di sekitarnya. Beberapa dari pusat perbelanjaan ini direncanakan dan dirancang dengan baik, kadang dalam bentuk tertutup atau tahan segala cuaca, dan disebut mini-mall (pusat perbelanjaan mini) atau power mall. Banyak pusat perbelanjaan yang lebih tua ”diformat ulang” dengan menutup dan memberikan penampilan yang lebih kontemporer. Kehadiran mal menjadi medan pertarungan kuasa bagi para kaum ekonomi menegah ke atas. Bagaimana tidak, keberadaan mal secara tidak langsung memarginalkan masyarakat bawah dengan daya beli yang begitu rendah bahkan tak terjangkau terhadap penawaran harga yang begitu tinggi. Sebagaimana yang diungkapakan oleh Seabrook, (2006: 6-7): 45 Tinjauan Pustaka “….fenomena lama muncul kembali-hantu buruh miskin, sebagaimana mereka disebut pada awal era industri. Orang-orang itu, tak peduli sekeras apa mereka bekerja, masih tidak cukup memperoleh uang untuk mencukupi kebutuhan dasar mereka sendiri dan keluarga mereka”. Dari penggalan di atas, menjelaskan bagaimana sektor industri yang dikuasai oleh kaum kapitalis mengkonstruk gaya hidup yang menskreditkan kaum miskin oleh daya beli mereka. Hal ini semata-mata oleh pertarungan simbolik masyarakat menegah ke atas yang memiliki daya beli yang tinggi hanya untuk mendapatkan pengakuan dalam pembentukan identitasnya. Menurut Saifuddin, (2006: 180): Individu bersaing untuk mendapatkan akses ke jenjang status peranan yang lebih tinggi karena prestise yang terdapat di sana, dan juga ganjaran materi dan lainnya yang lebih besar. Dalam masyarakat yang hidup dalam era modern ini, praktik konsumsi tidak lagi didasarkan pada pertukaran barang materi yang berdaya guna, melainkan pada komoditas sebagai tanda dan simbol yang signifikasinya sewenang-wenang dan tergantung kesepakatan “kode”. Sebagaimana yang dikatakan Baudrillard yang dukutip Barker (2004 : 111) (dalam Padirman, 2008 : 41) objek dalam masyarakat konsumen tidak lagi di beli demi nilai guna, melainkan sebagai komoditas-tanda dalam suatu masyarakat yang ditandai oleh komodifikasi yang semakin meningkat. Selanjutnya menurut Baudrillard, tidak ada obyek yang memiliki nilai esensial justru nilai guna tersebut ditentukan melalui pertukaran, membuat makna budaya benda-benda lebih berarti ketimbang nilai kerja atau manfaatnya. Komoditas menawarkan prestise dan 46 Tinjauan Pustaka memaknai nilai sosial, status dan kekuasaan dalam konteks makna budaya yang berasal dari tatanan sosial yang lebih luas. Jadi, kode kesamaan dan perbedaan pada barang-barang konsumstif digunakan untuk memaknai afiliasi sosial. (Piliang, 2001 : 141) menuturkan: bahasa, simbol, ungkapan, makna, citra-semuanya adalah unsur dari kebudayaan. Dan, semua unsur kebudayaan dapat berkaitan dengan kekuasaan (power). Hal senada juga dituturkan oleh Jhally dalam Lee, (2006 :28-29): komoditas selalu dikonsumsi secara simbolis, sebagai makna sosial atau sebagai benda budaya, maupun perlengkapan fungsionalnya dalam substansi materialnya. Bahkan orang bisa melangkah jauh mengatakan kesuksesan yang dicapai ekonomi konsumen ini sebenarnya tergantung pada regulasi simbolis dan budaya komoditas; yaitu, dijalankan kontrol atas ekonomi benda-benda simbolis atau benda-benda budaya. Budaya konsumerisme yang merupakan jantung dari kapitalisme adalah sebuah budaya yang di dalamnya terdapat berbagai bentuk halusinasi, mimpi, artifisialitas, kemasan wujud komoditi, yang kemudian dikonstruksi secara sosial melalui komunikasi ekonomi (iklan, show, media dan sebagainya) sebagai kekuatan tanda (semiotic power) kapitalisme. Baudrillard (1970) yang dikutip Featherstone (2005: 33-34) adalah dengan menggunakan semiologi untuk menegaskan konsumsi membutuhkan manipulasi sinyal-sinyal secara aktif. Manipulasi ini menjadi hal penting dalam masyarakat kapitalis baru dimana sinyal dan komoditas secara bersama-sama menghasilkan ‘sinyal-komoditas’ (commodity–sing). 47 Tinjauan Pustaka Melalui manipulasi sinyal dalam media dan periklanan, misalnya, otonomi pemberi arti (singnifer) mengartikan sinyal mampu mengalir bebas dari objek dan tersedia untuk digunakan dalam suatu keragaman hubungan asosiatif. Televisi atau media lainnya telah menjadi semacam alat penyihir, dimana konsumerisme dan komersialisme menjadi ruang yang tak ada habis-habisnya. Pemaknaan masyarakat oleh apa yang mereka simak dari media menjadikannya sangat konsumtif. Pengkosumsian terhadap benda tidak lagi terpaku pada fungsinya, akan tetapi tidak lain hanyalah image yang melekat pada benda tersebut. Sejalan dengan hal di atas, Abdullah (2006: 33-34), menjelaskan tiga cara tentang proses konsumsi. Pertama, kelas sosial telah membedakan proses konsumsi dimana setiap kelas menunjukkan identifikasi berbeda. Secara umum memperlihatkan pilihan-pilihan yang dilakukan sesuai dengan kelas dimana integrasi di dalam satu tatanan umum tidak terbentuk sepenuhnya. Nilai simbolis dalam konsumsi tampak diinterpresentasikan secara berbeda oleh kelompok yang berbeda. Daerah-daerah kantong tidak membuka kemungkinan yang besar bagi produksi massa sehingga tidak memungkinkan integgrasi kelas satu dengan yang lain. Kedua, barang yang dikonsumsi kemudian menjadi wakil dari kehadirannya. Hal ini berhubungan dengan aspek-aspek psikologis dimana konsumsi suatu produk berkaitan dengan perasaan atau rasa percaya diri yang menunjukkan itu bukan hanya sekedar aksesoris, tetapi 48 Tinjauan Pustaka barang-barang yang merupakan isi dari kehadiran seseorang karena dengan cara itu ia berkomunikasi. Sejalan dengan ini, Blumer, 1969 : 1112 dalam Schlehe (2006 : 155): setiap objek mempunyai makna berbeda bagi setiap individu, tergantung cara pandang dan rencana tindakan untuk menanggapinya. Makna sebuah objek bagi seseorang terlihat dari cara menentukan sikap dirinya terhadap orang lain saat berinteraksi. Jadi karena sumber makna diperoleh dari interaksi sosial, maka tindakan sosial atau perilaku merupakan bahan pokok untuk mengetahui makna-makna simbolik yang memungkinkan interaksi dan komunikasi. Ketiga, berdasarkan proses konsumsi, dapat dilihat konsumsi citra (image) di satu pihak telah menjadi proses konsumsi yang penting dimana citra yang dipancarkan oleh suatu produk dan praktik (seperti pakaian dan makanan) merupakan alat ekspresi diri bagi kelompok. Bagi kelompok sosial, menegaskan citra yang melekat pada suatu produk (global) merupakan instrumen modernitas yang mampu menegaskan keberadaannya dan identitasnya. Proses identifikasi yang terwujud melalui proses konsumsi merupakan proses aktif di dalam konsumsi citra yang menyebabkan intensifikasi kesadaran kelas (the self). Dari penggambaran di atas dapat dijelaskan perilaku konsumtif terjadi oleh adanya daya beli yang terkonstruk oleh media yang menyajikan paradigma baru terhadap gaya hidup modern. Difusi budaya yang tercipta menancapkan oleh arus globalisasi mendorong para kapitalis pengaruh pada masyarakat menengah ke atas untuk 49 Tinjauan Pustaka mengkonsumsi citra modern dalam pertarungan medan kuasa dari hubungan kelas sosial semata. II.5 Tinjauan Tentang Remaja Remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescere, berasal dari bahasa Latin yang artinya "Tumbuh atau tumbuh mencapai kematangan". Zakiah Daradjat berpendapat mengenai remaja, "Masa remaja adalah masa peralihan diantara masa anak-anak dan masa dewasa, dimana anak-anak mengalami petumbuhan cepat di segala bidang. Mereka bukan lagi anak-anak, baik bentuk badan, sikap, cara berfikir dan bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang". Menurut Mappiaer (Notok, 2007): "Masa remaja berlangsung antara umur 12-21 tahun bagi wanita dan 13-22 tahun bagi pria". Rentang usia remaja ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu usia 12/13 tahun sampai dengan 17/18 tahun adalah remaja awal, dan usia 17/18 tahun sampai dengan 21/22 tahun adalah remaja akhir". Masa remaja merupakan masa dimana dianggap sebagai masa topan badai dan stress (Storm dan Stress). Karena mereka-mereka telah memiliki keinginan bebas untuk menentukan nasib sendiri, kalau terarah dengan baik maka ia akan menjadi seorang individu yang memiliki rasa tanggungjawab, tetapi kalau tidak terbimbing maka bisa menjadi seorang yang tak memiliki masa depan dengan baik. Menurut Erikson, masa remaja adalah masa yang akan melalui krisis dimana remaja berusaha untuk mencari identitas diri (Search for self-Identity, Dariyo, 2004). 50 Tinjauan Pustaka Menurut teori psikologi yang digagas Rene Girard (dalam Sabari, 2008: 82), dalam melihat perilaku remaja adalah: “Mengimitasi atau meniru merupakan fenomena khas manusia. Setiap manusia, sejak masih kanak-kanak, melakukan tindakan tersebut. Dalam melakukan peniruan, seseorang memerlukan sebuah model terbaik untuk di acunya”. Sesuai dengan definisi di atas, tersirat makna sesungguhnya hal tersebut (meniru) tak lepas dari peranan lingkungan sosial yang mengharuskan sesorang untuk bersosialisai dengan lingkungan sekitarnya untuk mencari hal-hal yang baik dari yang terbaik untuk mendapatkan acuan yang membentuk seperangkat pengetahuannya sebagai sesuatu yang normatif serta mengandung nilai yang baik dan dapat diterima dalam lingkungan sosial budayanya. Remaja sebagai makhluk individu merupakan satu kesatuan dari aspek fisik atau jasmani dan psikis atau rohani yang sedang mengalami perkembangan dan perubahan guna menuju pada suatu tahap kematangan dalam rangkaian yang tidak terpisahkan. Sabagaimana para filsuf Yunani berpendapat bagian fisik atau jasmani merupakan aspek individu yang bersifat kasat mata, kongkret dan dapat diamati sehingga lebih mudah kita ketahui adanya perkembangan pada remaja, sedangkan aspek psikis, rohani atau jiwa merupakan aspek individu yang sifatnya abstrak, immaterial dan tidak dapat diamati, hal ini dapat kita ketahui dengan perubahan sikap dan tingkah laku remaja. Dalam ilmu kedokteran dan ilmu biologi, remaja dikenal sebagai suatu tahap perkembangan dimana alat-alat kelamin manusia mencapai 51 Tinjauan Pustaka kematangan, dan dasarnya pertumbuhan dan perkembangan adalah suatu proses untuk menjadi yang lebih. Sehubungan dengan ini secara anatomis, fisik remaja mengalami perubahan sempurna baik bentuk maupun fungsinya. Remaja ditinjau dari segi perkembangan fisik adalah: masa pematangan fisik (± 2 tahun):”PUBERTAS” Wanita : dihitung mulai haid pertama laki-laki : dihitung mulai mimpi basahnya Jadi usia 16/19 s/d 21 tahun dianggap belum dewasa penuh disejajarkan dengan pengertian-pengertian ”remaja” dalam ilmu sosial (Ruswdani, 2008). Pada tahun 1974, WHO memberikan definisi tentang remaja lebih bersifat konseptual, menurut WHO remaja adalah suatu masa dimana individu berkembang dari saat ia pertama kali menunjukkan tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual, individu akan mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari anak-anak menjadi dewasa serta terjadi peralihan dari ketergantungan sosial dan ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri. Mendefinisikan remaja untuk masyarakat Indonesia sama sulitnya untuk menetapkan definisi remaja secara umum. Hal ini dikarenakan Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, adat dan tingkatan sosial, ekonomi maupun pendidikan dengan kata lain belum ada profil tentang remaja Indonesia yang seragam berlaku secara nasional. Sebagaimana yang didefinisikan Zakiyah Daradjat bahwasanya masa remaja merupakan 52 Tinjauan Pustaka masa peralihan dimana dalam kondisi remaja mulai mencari identitas diri. Pada masa ini biasanya ditandai dengan beberapa kecenderungan yang diakibatkan dari masih labilnya emosi. Selanjutnya, E.H. Ericson mengemukakan masa remaja merupakan masa dimana terbentuk suatu perasaan baru mengenai identitas. Identitas mencakup cara hidup pribadi yang dialami hidup sendiri dan sulit dikenal oleh orang lain. Secara hakiki ia tetap sama walaupun telah mengalami berbagai macam perubahan (Ahmadi, 1991: 7). Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa, masa ini harus lebih diperhatikan oleh orang tua karena apabila tidak ditanggapi, remaja dapat melakukan penyimpangan-penyimpangan moral dan etika yang dapat merusak dirinya sendiri. Dalam masa remaja sifat kesadarannya masih ENTROPY (keadaan dimana kesadaran manusia belum tersusun rapi) walaupun isinya sudah banyak (ilmu pengetahuan, perasaan, dan sebagainya). Arti remaja sendiri adalah: 1. Individu yang berkembang dari saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksualnya. 2. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa. 3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri. Bagi sebagian besar orang yang baru berangkat dewasa bahkan yang sudah melewati usia dewasa, remaja adalah waktu yang paling 53 Tinjauan Pustaka berkesan dalam hidup mereka. Kenangan terhadap saat remaja merupakan kenangan yang tidak mudah dilupakan, sebaik atau seburuk apapun saat itu. Sementara banyak orangtua yang memiliki anak berusia remaja merasakan bahwa usia remaja adalah waktu yang sulit. Masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasan usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Pubertas yang dahulu dianggap sebagai tanda awal keremajaan ternyata tidak lagi valid sebagai patokan atau batasan untuk pengkategorian remaja sebab usia pubertas yang dahulu terjadi pada akhir usia belasan (15-18) kini terjadi pada awal belasan bahkan sebelum usia 11 tahun. Seorang anak berusia 10 tahun mungkin saja sudah (atau sedang) mengalami pubertas namun tidak berarti ia sudah bisa dikatakan sebagai remaja dan sudah siap menghadapi dunia orang dewasa. Ia belum siap menghadapi dunia nyata orang dewasa, meski di saat yang sama ia juga bukan anak-anak lagi. Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini mood (suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Hasil penelitian di Chicago oleh Mihalyi Csikszentmihalyi dan Reed Larson (1984) menemukan bahwa remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk berubah dari mood “senang luar biasa” ke “sedih luar biasa”, sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama. Perubahan mood (swing) yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meski mood remaja yang mudah berubah-ubah 54 Tinjauan Pustaka dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah psikologis. Salah satu topik yang paling sering dipertanyakan oleh individu pada masa remaja adalah masalah "Siapakah Saya?" Pertanyaan itu sah dan normal adanya karena pada masa ini kesadaran diri (self-awareness) mereka sudah mulai berkembang dan mengalami banyak sekali perubahan. Remaja mulai merasakan bahwa “ia bisa berbeda” dengan orang tuanya dan memang ada remaja yang ingin mencoba berbeda. Inipun hal yang normal karena remaja dihadapkan pada banyak pilihan. Karenanya, tidaklah mengherankan bila remaja selalu berubah dan ingin selalu mencoba–baik dalam peran sosial maupun dalam perbuatan. 55