GERAKAN SOSIAL DI INDONESIA Pembangunan Hotel Dan Mal di Yogyakarta Merusak Lingkungan. Mengapa? Pembangunan hotel dan mal yang semakin marak dalam beberapa tahun terakhir di Daerah Istimewa Yogyakarta, ternyata membawa dampak buruk bagi lingkungan. Dalam diskusi Jogja Sold Out di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gajah Mada, Rabu, (22/04/2015), warga Miliran, Kota Yogyakarta, Dodok Putra Bangsa mencontohkan sejak pendirian Fave Hotel, sumur warga Miliran mengering. “Sumur-sumur warga mengalami kekeringan sejak muncul hotel tersebut. Kami jadi korban pembangunan Fave Hotel. Sejak beroperasi 2012 silam sumur warga jadi kering. Padahal sejak saya hidup disini dan kecil sumur tidak pernah kering meski musim kemarau,” kata aktivis gerakan Jogja Asat itu. Setelah protes mereka tidak direspon manajemen hotel Fave, Dodo dan warga Miliran menyambangi pemerintah Kota Yogyakarta untuk meminta dilakukan pengawasan penggunaan sumur dalam Fave Hotel. “Ironisnya pemerintah Kota Yogyakarta melalui Badan Lingkungan Hidup (BLH) malah beragumen membenarkan operasional hotel karena dinilai sudah tepat mengambil sumber air dalam yag tidak akan menganggu air sumber air dangkal masyarakat. Padahal jelas-jelas sumur warga terdampak menjadi kering,” tambahnya. Mural karya seniman street art Jogja menyikapi maraknya pembangunan Hotel, Mall dan Apartmen di Yogyakarta yang berdampak pada rusaknya lingkungan. Foto : Tommy Apriando Dodok mengajak masyarakat dan kaum muda bersama-sama memperjuangkan kepentingan rakyat yang telah kehilangan kebutuhan dasar yakni air. Salah satunya dengan melakukan riset terkait dokumen Amdal pembangunan hotel dan mal di Yogyakarta. “Saya takut Jogja nantinya benar-benar kering. Jadi ayo siapa yang mau membantu melakukan riset Amdal dan IMB mal dan hotel di Yogyakarta,” ajaknya. Sementara itu, aktivis lingkungan RM. Aji Kusumo menilai bahwa pembangunan hotel maupun mal lebih banyak memunculkan dampak negatif bagi masyarakat sekitar. “Pembangunan hotel dam mal dengan modal investor tidak menguntungkan warga karena keuntungan hanya masuk ke kantong mereka sendiri (investor),” kata Aji. Meski merugikan masyarakat, pembangunan gedung komersil tetap berjalan karena ada dukungan dari aparat kepolisian. Bahkan tidak jarang mendapat dukungan ilmiah dari kalangan akademisi yang luput dari fokus pembangunan yang berkeadilan. “Sekarang ini pengusaha, negara dan kaum intelektual bekerja sama menyengsarakan rakyat,” kata Aji yang sempat ditahan dan divonis 3,5 bulan karena melakukan aksi solidaritas terhadap pembangunan apartemen Uttara The Icon di Jalan Kaliurang, Karangwuni, Caturtunggal, Depok, Sleman. Direktur Center for Integrated Development and Rural Studies, Francis Wahono mengatakan, maraknya pembangunan hotel dan mall telah merusak keistimewaan Yogyakarta, karena menggusur warga kampung dan menyebabkan kerusakan lingkungan. “Mal-mal dan superblok menjadi tontonan tak elok di tengah rakyat yang setia mengawal keistimewaan penguasa,” kata Wahono. Dalam pandangan Wahono, tidak ada hal yang khas di Yogyakarta. Seharusnya kondisi Yogyakarta akan berjalan secara harmonis dan lestari apabila jagad pekeliran geo ekologis dijadikan sebagai acuan pertumbuhan, penghidupan dan pembangunan Yogyakarta. Karena ciri khas yang istimewa dari Yogyakarta ini hanya terletak pada bentuk pemerintahan dan inisiatif rakyatnya. “Hanya dengan itu ‘Jogja Sold Out’ tidak terjadi,” kata Wahyono. Seruan Front Nahdliyin Kepala Biro Penelitian Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), Bosman Batubara kepada Mongabay mengatakan, berdasarkan penelitian terhadap kondisi sosial, ekonomi, lingkungan, politik, dan institusional sumber daya air di Kota Yogyakarta dan sekitarnya dengan kerangka Driving Force-Pressure-State-Impact-Response (DPSIR), menyerukan untuk menghentikan pembangunan hotel, mal, apartemen, dan bangunan komersial lainnya di Yogyakarta. Hasil penelitian FNKSDA menunjukkan driver berasal dari sektor populasi, turisme, industri batik, perubahan iklim, kapasitas lembaga dan individu, serta manajemen data. Faktor driver itu memberikan tekanan (pressure) terhadap sumber daya air di Kota Yogyakarta dan sekitarnya berupa debit konsumsi dan buangan air yang dihasilkan dari populasi terkait yang menunjukkan tingginya beban terhadap sumber daya air. Beban dari arah populasi ini diperparah oleh kondisi lingkungan global berupa perubahan iklim yang ditandai dengan semakin menurunnya curah hujan secara suksesif dalam beberapa tahun. Sementara respons kebijakan dari pemerintah daerah justru kontraproduktif karena memicu mobilisasi permohonan izin pendirian hotel yang baru. “Hal ini berarti penambahan pressure terhadap sumber daya air. Tekanan ini masih ditambah dengan permasalahan kapasitas lembaga dan individu di sektor ini yang lemah,” kata Bosman. Tekanan tersebut pada gilirannya menghasilkan kondisi (state) berupa penurunan muka air tanah di Kota Yogyakarta dan sekitarnya serta kontaminasi nitrat dan bakteri e-coli. Di bidang institusi, terlihat bahwa tidak ada badan otoritas yang melakukan monitoring dan mengelola akuifer Merapi sebagai sumber air tanah bagi daerah Yogyakarta, Bantul, dan Sleman. Tekanan dari sistem tata kelola ini menyebabkan tidak adanya manajemen data hidrologi yang baik. Dalam hal pelayanan publik, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di ketiga daerah ini juga sangat lemah. Tekanan-tekanan itu pada akhirnya menghasilkan dampak (impact) terhadap kondisi sumber daya air dimana harga air menjadi mahal bagi populasi dan buruknya kuantitas dan kualitas air di daerah ini. Sebagai ilustrasi, untuk kasus Sleman, hasil simulasi 10 tahun menunjukkan angka ekstraksi yang “terterima” adalah 28.968 liter/hari, sementara kebutuhan air minum (saja) untuk 1.114.833 orang warga Sleman mencapai 3.344.499 sampai dengan 4.459.332 liter/hari. Selisih angka ekstraksi air tanah terterima dan kebutuhan ini sangat jauh. Dampak dari lemahnya database hidrometereologi adalah susahnya membangun model sumber daya air yang meyakinkan. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan berdasarkan asumsi,” tambahnya. Tanggapan (response) kreatif terhadap kondisi di atas sudah muncul dari kalangan akar rumput berupa penolakan terhadap pendirian mal, hotel, dan apartemen di Yogyakarta dan sekitarnya. “Dalam scope lingkungan dan perubahan iklim yang lebih luas, tanggapan terlihat dari gerakan pertanian perkotaan dan praktik adaptif petani lahan pasir di sekitar Yogyakarta,” kata Bosman. Penghentian Pembangunan Hotel Sedangkan Kepala Badan Pengurus Daerah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Istijab kepada Mongabay pada September 2013 mereka telah menemui Walikota Yogyakarta untuk membahas persoalan pembangunan hotel yang masif dan berdampak pada pendapatan hotel kecil dan non bintang. Adanya Peraturan Walikota No. 77/2013 tentang Pengendalian Pembangunan Hotel yang berisi penghentian penerbitan ijin pembangunan hotel baru dari Januari 2014 sampai 2016. Sehingga permohonan ijin yang masuk sebelum tahun 2014 akan diproses bila memenuhi syarat. Pada 31 Desember 2013 ada sekitar 110 perijinan yang memenuhi syarat. Hingga September 2014 sudah ada 70 Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) yang sudah keluar dan 35 hotel diantaran sedang dibangun. “Terkait dengan pengambilan air bawah tanah, seharusnya memang sudah ada perijinan yang baku/ketat, seperti UKL-UPL, AMDAL,” kata Istijab. Sesuai Peraturan Walikota No.3/2014 tentang Penyediaan Air Baku Usaha Perhotelan di Kota Yogyakarta, setiap usaha perhotelan yang terjangkau jaringan PDAM harus menyediakan air baku yang bersumber dari PDAM. Jika melanggar akan diberikan sanksi hingga pencabutan ijin usahanya. Tetapi debit air PDAM ternyata tidak mencukupi, sehingga sehingga pengusaha hotel kembali mengambil air tanah dalam. Hotel yang belum punya jaringan PDAM juga mengambil air tanah dalam. Dinas Energi dan Sumber Daya Alam mengatur pengambilan air tanah minimal berkedalaman 40 – 60 meter, sehingga tidak mengganggu air dangkal warga. “Jika hotel ada persoalan atau penolakan, mungkin pada saat mengurus ijin HO (lingkungan) tidak terbuka kepada masyarakat sekitarnya. Seharusnya saat sosialisasi pihak hotel melakukannya secara tuntas. Semua kalangan masyarakat diundang,” tambah Istijab. Berdasar data PHRI, ada 68 hotel berbintang dengan 7500 kamar, ada 1010 hotel non bintang/melati berjumlah 13.000 kamar, sehingga total ada 20.500 kamar. Pembangunan hotel membawa dampak ekonomi berupa peluang pekerjaan dan mendukung pariwisata. “PHRI ada kewenangan untuk memonitor hotel-hotel terkait. Menegur dan memperingatkan dan rata-rata hotel yang bersertifikat sudah memiliki manajemen air yang baik,” kata Istijab. Zonasi Hotel Sedangkan Dosen Geologi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno mengatakan masyarakat terancam resiko pembangunan hotel yaitu hilangnya akses air, karena kehilangan atau kerusakan. “Artinya operasi hotel berpotensi pada masyarakat disekitarnya kehilangan akses dan kontrol terhadap hak atas air, karena kualitas dan jumlah,” kata Eko Teguh. Manajemen air yang tidak baik di hotel akan berpotensi mengurangi kualitas air dari minum jadi air bersih. Pengelolaan limbah hotel yaitu limbah air, sampah, tinja, juga perlu dicek apakah sesuai dengan kebutuhannya. Eko mengatakan dalam konteks bencana, tidak membangun hotel adalah pencegahan yang paling sempurna. Dalam konteks konservasi, apakah lahan hotel sudah dipastikan bukan lahan konservasi, cagar budaya atau sempadan sungai. “Pemerintah seharunsya mmebuat kesepatakan dari perspektif ini dipahami beriko bencana atau tidak. Memastikan kembali sumber airnya dari mana,” katanya. Untuk itu, pemerintah harus menata ulang tata ruang hotel, dengan lokasi bukan di kawasan padat penduduk, sehingga tidak terjadi perebutan akses, ruang, air dan udara. Pemerintah juga perlu memastukan data-data yang berhubungan jumlah air, sistem sanitasi, kualitas udaya, serta melakukan kajian kualitas lingkungan bersiko bencana di setiap tempat yang berpotensi. Eko menambahkan pemerintah bisa membuat zonasi hotel dalam tata ruang perkotaan, dengan batasan jumlah hotel yang dibangun, serta sesuai dengan nilai dan kebudayaan masyarakat.