1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sekolah merupakan salah satu bentuk organisasi pendidikan. Kepala
sekolah adalah pemimpin pendidikan di sekolah. Jika pengertian kepemimpinan
tersebut
diterapkan
dalam
organisasi
pendidikan,
maka
kepemimpinan
pendidikan bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk memengaruhi
dan
menggerakkan orang-orang yang ada dalam organisasi pendidikan untuk
mencapai tujuan pendidikan.
Dalam organisasi pendidikan, kepala sekolah adalah pemimpin pendidikan.
Sebagai pemimpin pendidikan, kepala sekolah memiliki sejumlah tugas dan
tanggung jawab yang cukup berat. Untuk bisa menjalankan fungsinya secara
optimal, kepala sekolah perlu menerapkan gaya kepemimpinan yang tepat.
Peran utama kepemimpinan kepala sekolah nampak pada pernyataanpernyataan yang dikemukakan para ahli kepemimpinan. Kepemimpinan adalah
sumber energi utama ketercapaian tujuan suatu organisasi. Marzano, Waters,
dan McNulty (2005) menegaskan bahwa kualitas kepemimpinan merupakan
sarana utama untuk mencapai tujuan organisasi. Untuk itu, agar bisa
melaksanakan tugasnya secara efektif, kepala sekolah mutlak harus bisa
menerapkan kepemimpinan yang baik.
Schermerhorn,
Hunt,
dan
Osborn
(2000)
menyatakan
bahwa
kepemimpinan merupakan jantung dari setiap organisasi, karena pemimpin
menentukan keberhasilan atau kegagalan organisasi. Dengan demikian,
penelitian tentang kepemimpinan dalam organisasi terkait erat dengan analisis
efisiensi dan efektivitas organisasi. Dalam sebuah organisasi seperti sekolah,
2
pentingnya kepemimpinan tercermin dalam setiap aspek sekolah: praktik
pembelajaran, prestasi akademik, disiplin siswa, iklim sekolah, dan lain-lain.
McShane dan von Glinow (2010) mengatakan bahwa kepemimpinan
berkait erat dengan bagaimana seseorang memengaruhi, memotivasi, dan
mendorong orang lain dalam organisasi untuk ikut berkontribusi bagi efektivitas
dan keberhasilan organisasi. Oleh karena itu, kontribusi positif dari para anggota
dalam
mencapai
tujuan
organisasi
diperoleh
melalui
kepemimpinan.
Kepemimpinan dapat dilakukan secara efektif dengan memerhatikan empat hal
pokok,
yakni
perilaku
pemimpin
(bagaimana
pemimpin
mengarahkan,
mendukung, mengajak anggota ikutserta, dan berorientasi pada tujuan), daya
dukung anggota (keterampilan dan pengalaman serta kontrol pemimpin),
efektivitas pemimpin dalam memotivasi dan memuaskan anggotanya, serta
tingkat keberterimaan pemimpin, daya dukung lingkungan, serta tugas dan
dinamika organisasi.
Mullins (2005) mengartikan kepemimpinan sebagai proses berelasi untuk
memengaruhi perilaku atau tindakan orang lain. Seorang pemimpin harus focus
dalam
mengarahkan
anggotanya
dalam
organisasi
melaui
peningkatan
kompetensi dan kerjasama tim. Proses kepemimpinan akan berlangsung efektif
apabila pemimpin memiliki kemampuan dalam memberikan motivasi kepada
anggota, memeiliki kemampuan komunikasi yang baik, dan kemampuan
mendelegasikan kewenangannya secara efektif. Lebih lanjut Mullins (2005)
mengatakan bahwa ada tiga implikasi dalam mendefinisikan kepemimpinan
sebagai proses yang mengarahkan dan memengaruhi aktivitas yang berkaitan
dengan tugas anggota. Pertama, kepemimpinan harus melibatkan orang lain
atau pengikut. Kesediaan pengikut menerima pengarahan dari pemimpin
membantu menegaskan status kepemimpinan dan memungkinkan adanya
proses kepemimpinan. Tanpa aktivitas pengikut, semua sifat kepemimpinan
3
seorang pemimpin menjadi tidak relevan. Kedua, kepemimpinan juga meliputi
distribusi kekuasaan yang tidak sama di antara pemimpin dan anggota. Anggota
organisasi atau kelompok juga memiliki kekuasaan. Anggota kelompok
membentuk kegiatan kelompok melalui pelbagai cara sehingga mereka juga
memiliki kekuasaan untuk mengontrol pemimpin. Semakin besar jumlah sumber
kekuasaan yang ada pada pemimpin, semakin besar pula potensinya menjadi
pemimpin yang efektif. Namun, ada kenyataan yang biasanya terlihat dalam
kehidupan organisasi bahwa pemimpin pada tingkat yang sama, dengan
setumpuk kekuasaan yang sah, sangat berbeda kemampuannya dalam
menggunakan kekuasaannya. Ketiga, kepemimpinan adalah kemampuan untuk
menggunakan pelbagai bentuk kekuasaan dalam memengaruhi kepercayaan
pengikutnya melalui sejumlah cara. Pengikut mempunyai kewajiban khusus
dalam mempertimbangkan etika dan keputusannya. Dengan mengacu pada
sifat-sifat kepemimpinan tersebut menjadi jelas bahwa pemimpin itu berfungsi
untuk mengintegrasikan semua kebutuhan dan harapan organisasi secara
keseluruhan guna mempertahankan stabilitas organisasi.
Temuan dalam penelitian yang dilakukan oleh Quinn (2002) pada
hubungan
antara
perilaku
kepemimpinan
kepala
sekolah
dan
praktek
instruksional mendukung gagasan bahwa kepemimpinan memengaruhi instruksi.
Temuannya menunjukkan bahwa kepemimpinan kepala sekolah berperan sangat
penting dalam menciptakan sekolah yang bermutu dan terus berupaya untuk
mencapai pendidikan yang luar biasa untuk murid. Waters, Marzona, dan
McNulty (2004) dalam temuan penelitiannya menunjukkan kepemimpinan kepala
sekolah yang efektif dapat meningkatkan prestasi murid secara signifikan.
Terlepas dari kenyataan bahwa kepala sekolah tahu apa yang harus
dilakukan, kapan, bagaimana, dan tahu alasan untuk melakukannya, kepala
sekolah mengetahui jenis perubahan yang mungkin membawa perbaikan pada
4
prestasi murid dan implikasi bagi staf dan murid. Sebagai akibatnya adalah
bahwa kepala sekolah diharapkan untuk mengkomunikasikan harapan untuk
perbaikan program instruksional berkesinambungan,
melakukan kegiatan
pengembangan staf dan mempunyai komitmen pada tujuan sekolah. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa kepala sekolah, yang tidak terlibat dalam
tindakan yang konsisten dengan kepemimpinan instruksional, memiliki perspektif
yang salah pada tujuan sekolah. Sekolah membutuhkan kepemimpinan untuk
berubah dan sukses. Hal ini terbukti dalam temuan penelitian Barker (2001),
yang menggambarkan kepala sekolah sebagai individu mampu menciptakan
iklim yang dibutuhkan untuk membangkitkan motivasi potensi staf dan murid.
Penelitian Barker (2001) menunjukkan bahwa kepala sekolah yang efektif dapat
mengubah sekolah yang tidak memiliki arah dan tujuan kepada sekolah yang
menggembirakan, sekolah yang produktif dan berorientasi pada tujuan. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa kepemimpinan yang efektif sangat penting
dalam meningkatkan produktivitas dan dalam mengubah suatu keadaan yang
tidak menjanjikan di sekolah.
Hal yang paling penting bagi sebuah organisasi adalah kualitas
kepemimpinan, dalam lingkungan sekolah adalah kualitas kepala sekolah. Dalam
konteks ini, Hurley (2001) mengungkapkan bahwa kepala sekolah adalah
jawaban atas sebuah pengembangan dan peningkatan kinerja akademik sekolah
secara umum, di mana di dalamnya kepala sekolah yang efektif menciptakan
lingkungan yang merangsang antusiasme untuk belajar. Dengan demikian, ini
menunjukkan bahwa pekerjaan utama kepala sekolah adalah untuk menciptakan
suasana yang mendorong produktivitas, pengajaran dan belajar yang efektif.
Oleh karena itu, tipe iklim yang ada di sekolah dapat digunakan sebagai ukuran
untuk mengukur efektivitas kepala sekolah.
5
Cunningham dan Cordeiro (2000) menyatakan bahwa kepala sekolah
adalah pusat dari semua inisiatif perbaikan sekolah dalam proses belajar
mengajar, dan karena itu, kepala sekolah adalah pelaku perubahan untuk
keberhasilan sekolah, dan diharapkan untuk mengeksplorasi dan secara
bijaksana memanfaatkan sumber daya untuk perbaikan terus menerus dalam
kinerja organisasi sekolah. Implikasi dari pemahaman ini adalah, jika kepala
sekolah tidak berorientasi pada visi dan produktif dalam kaitan dengan tanggung
jawabnya, peningkatan prestasi sekolah akan tetap menjadi mimpi untuk waktu
yang lama.
Sebagai pemimpin organisasi dan komunitas sekolah, kepala sekolah
bertindak
untuk mengelola kebutuhan pendidikan, melindungi hak dan
kepentingan komunitas sekolah (Smylie, 2010). Lebih lanjut dikatakan bahwa
kepala
sekolah
memiliki
tanggung jawab
sebagai
pemimpin
di
bidang
pengajaran, pengembangan kurikulum, administrasi kesiswaan, administrasi
personalia, administrasi sarana prasarana serta organisasi sekolah. Dalam
konteks lingkungan sosial, kepala sekolah merupakan kunci keberhasilan yang
harus menaruh perhatian pada apa yang terjadi pada peserta didik di sekolah
dan apa yang dipikirkan orang tua dan masyarakat tentang sekolah.
Kepala sekolah dituntut untuk senantiasa membina dan mengembangkan
hubungan kerja sama yang baik antara sekolah dengan masyarakat, guna
mewujudkan sekolah yang efektif dan efisien. Hubungan yang harmonis ini akan
membentuk saling pengertian antara sekolah, orang tua, anggota masyarakat,
dan pemangku kepentingan yang lain (Fullan, 2001). Hubungan yang harmonis
akan terwujud dalam bentuk saling membantu antara sekolah dan masyarakat
dan ikut bertanggung jawab atas suksesnya pendidikan di sekolah. Selain itu,
kepala sekolah sebagai administrator bertanggung jawab atas kualitas guru
mulai dari perekrutan, memberikan evaluasi, dan memberikan pengembangan
6
profesional (Marzano, Waters, & McNulty, 2005). Kepala sekolah harus memiliki
keterampilan kepemimpinan efektif dan dinamis untuk memenuhi tantangan
sekolah saat ini.
Iklim dan tuntutan sekolah telah mendorong kepala sekolah untuk
mengembangkan gaya kepemimpinan yang berbeda. Kepala sekolah harus
menempatkan
banyak
penekanan
lebih
pada
kolaborasi,
meningkatkan
pengembangan profesional, mengembangkan kapasitas kepemimpinan pada
orang lain, dan menggunakan sumber daya kreatif (Simonson, 2005).
Kepemimpinan kepala sekolah adalah komponen penting untuk sekolah yang
efektif. Telah banyak ditulis tentang filosofi dan gaya kepemimpinan bahwa
kepala sekolah harus memanfaatkannya untuk menjadi pemimpin yang efektif.
Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang fokus (Waters, Marzano, &
McNulty, 2004).
Pergeseran dalam filsafat dan teori kepemimpinan telah menantang
pemikiran tradisional tentang sekolah dan kepemimpinan pendidikan (Sackney &
Mitchell, 2002), dan sekolah Katolik tidak terkecuali. Sergiovanni (1993)
menyatakan keyakinannya bahwa kepemimpinan yang penting di sekolah
sekarang ini adalah emosi pengikut, nilai-nilai yang menarik bagi mereka dan
menanggapi hubungan mereka dengan orang lain. Sergiovanni menekankan
pada kepemimpinan berbasis moral yang mewakili bentuk pelayanan, komitmen
untuk melayani orang lain dan untuk melayani cita-cita.
Greenleaf (1977) berpendapat bahwa otoritas hanya merupakan kesetiaan
seseorang yang bebas dan sadar yang diberikan oleh pemimpin. Dari argumen
Greenleaf tersirat ada peringatan kepada para pemimpin bahwa dewasa ini
kepemimpinan bukanlah paternalisme, tetapi lebih baik
diakui sebagai
kepengurusan di mana pandangan kemitraan dan pemberdayaan menjadi
penting (Crippen, 2006). Kepemimpinan semacam ini dipraktekkan dalam
7
komunitas sekolah yang lebih kuat mengarah kepada komunitas belajar sekolah
dengan hasil belajar yang meningkat yang mengatur siswa, staf, dan orang tua di
jalan menuju inisiatif dan pengembangan pribadi (Sergiovanni, 1992). Menyimak
pernyataan tentang kepemimpinan sekolah tersebut di atas, kiranya baik dilihat
secara lebih mendalam inti dari kepemimpinan dalam konteks sekolah Katolik.
Inti dari kepemimpinan sekolah Katolik terletak pada kepemimpinan
spiritual yang efektif di mana pemimpin adalah pelayan (Ciriello, 1996). Sekolah
Katolik adalah satu unit dinamis, saling terkait, saling berhubungan, komunitas
yang saling tergantung, di mana pada dasarnya pemimpin adalah yang melayani
kebutuhan orang-orang dalam komunitas iman dan yang melayani gagasan
moral yang mengikat mereka bersama. Duignan (2007) menggemakan persepsi
bahwa sekolah Katolik merupakan komunitas iman dan bukan hanya institusi
atau organisasi. Miller (2007) menambahkan bahwa kepemimpinan dipahami
sebagai diakonia, suatu pelayanan bagi Gereja dan masyarakat yang lebih luas.
Pemimpin berada di tengah-tengah rekan-rekannya sebagai "orang yang
melayani". Bicara tentang pemimpin berarti bicara tentang pelayanan dari
warisan intelektual, budaya dan agama yang besar. Dapat dipahami bahwa
sebuah komunitas iman dan pembelajaran membutuhkan kepemimpinan adaptif
yang mengemban etika, keadilan, dan kepemimpinan moral (Fullan, 2003;
Starratt, 2004).
Pendidik Katolik memiliki panggilan luhur karena mereka taat mengikuti
jejak Yesus Kristus dan mencari kasih karunia untuk menanggung beban dalam
pekerjaan mereka (Walker & Schraf, 2001). Lebih lanjut, ditunjukkan bahwa bagi
kepala sekolah
Katolik, kepemimpinan yang melayani
adalah ekspresi
fundamental, dasar dan ungkapan penting dari panggilan mereka dalam
komunitas
iman.
Sejalan
dengan
pemikiran
tersebut,
Mulligan
(2005)
menyatakan bahwa pada dasarnya, pendidikan Katolik adalah panggilan untuk
8
hidup secara berbeda dan menawarkan sesuatu yang lebih: perspektif tentang
dunia yang berakar dalam Kitab Suci dan Ajaran Sosial Gereja, menyiratkan
teladan dari gaya kepemimpinan Yesus.
Dalam sebuah sekolah Katolik nilai-nilai yang mendasari kepemimpinan
memang sebagian besar berasal dari kepercayaan agama. Dokumen Vatikan II
mengingatkan para pemimpin sekolah Katolik bahwa setidaknya sejak saat
Konsili Vatikan II sekolah Katolik telah memiliki identitas yang jelas, tidak hanya
sebagai kehadiran Gereja di tengah masyarakat, tetapi juga instrumen asali dan
tepat dari Gereja. Sekolah adalah tempat evangelisasi, kerasulan dan pastoral
dari karya – bukan melalui aktivitas komplementer atau ekstra kurikuler, tetapi
pada asal usulnya: tugasnya mendidik orang Kristen. Singkatnya, sekolah Katolik
menemukan makna dan visi dalam Gereja dan iman yang tidak terpisah dari
pendidikan. Kepemimpinan dalam pendidikan Katolik bukan karir tetapi
panggilan, dan dimaksudkan untuk melayani masyarakat pendidikan Katolik
(Mulligan, 2005).
Dokumen Vatikan II, Gravissimum Educationis (1965) menekankan bahwa
tujuan sekolah Katolik adalah untuk memberikan pendidikan holistik kepada
anak-anak sambil mempromosikan nilai-nilai Injil. Nilai Injil, dalam teologi Katolik,
menunjukkan kualitas seperti kepercayaan kepada Tuhan, kejujuran, belas kasih,
pengampunan,
rahmat,
komunitas,
kepemimpinan
yang
melayani,
kesederhanaan, keadilan, perdamaian, cinta, iman, dan harapan. Nilai-nilai ini
disajikan dalam ajaran Yesus Kristus dalam keempat Injil dalam Alkitab. Nilainilai yang diidentifikasi tidak berarti harus dianggap sebagai daftar lengkap dari
nilai-nilai
Injil.
Penekanan
dari
dokumen-dokumen
Vatikan
II
untuk
mempromosikan nilai-nilai Injil di sekolah-sekolah Katolik adalah panggilan
implisit bagi pemimpin sekolah Katolik untuk hidup sesuai tanggung jawab untuk
mempromosikan nilai-nilai Injil dengan gaya kepemimpinan mereka. Oleh karena
9
itu, Duignan (2007) menunjukkan bahwa promosi nilai-nilai Injil dan identitas
Katolik di sekolah-sekolah Katolik harus menjadi pilihan yang disengaja. Semua
pemimpin sekolah Katolik yang terlibat perlu memutuskan arah masa depan
sekolah mereka. Namun, Duignan (2007) memperingatkan bahwa keputusan
untuk mendorong misi Katolik dalam sebuah sekolah tidak boleh disamakan
dengan menjaga status quo. Sebaliknya, terlibat dalam membuat perubahan
kelembagaan yang positif yang akan memastikan katolisitas hidup.
Seperti pemimpin lain, pemimpin sekolah Katolik dipanggil untuk melatih
kepemimpinan
sebagai
pemimpin
yang
melayani,
memenuhi
mandat
kepemimpinan kristiani mereka untuk kebaikan pengikut mereka. Perlu
menggemakan cara-cara baru melihat kepemimpinan di sekolah-sekolah Katolik.
Kepemimpinan atas nama sekolah Katolik melibatkan pergeseran dari model
vertikal kepada model kolegial. Selain itu, diingatkan kepada para pemangku
kepentingan bahwa Sekolah Katolik merupakan bagian integral dari misi Gereja
untuk mewartakan Injil, membangun komunitas iman, merayakan melalui ibadah,
dan melayani orang lain. Mulligan (2005) mengungkapkan bahwa tujuan
kepemimpinan di sekolah Katolik dimaksudkan untuk melayani masyarakat
dengan pendidikan Katolik. Yang menjadi perhatian adalah, dalam semangat
iman, apa yang terbaik untuk peserta didik. Pengamatan Mulligan ini disimpulkan
secara tepat oleh Grace (2000) dengan menekankan bahwa kepemimpinan
pendidikan adalah panggilan untuk melayani. Dalam konteks sekolah-sekolah di
bawah pengelolaan Yayasan Kanisius Pendidikan, perlu ditelusuri lebih
mendalam bagaimana kepemimpinan kepala sekolah yang melayani diwujudkan
dalam praktik sehari-hari.
Yayasan Kanisius Pendidikan adalah sebuah lembaga Katolik yang
didirikan oleh para misionaris Belanda pada tahun 1918. Yayasan Kanisius
Pendidikan
merupakan
karya
Keuskupan
Agung
Semarang,
yang
10
pengelolaannya dipercayakan kepada para Romo Serikat Yesus (Jesuit). Pada
awalnya, Yayasan Kanisius Pendidikan didirikan antara lain untuk menjawab
kebutuhan akan pendidikan bagi orang-orang pribumi. Yayasan Kanisius
Pendidikan mendirikan sekolah-sekolah, terutama sekolah dasar di sejumlah
wilayah di eks Karesidenan Semarang, Pati, Kedu, Surakarta, dan Daerah
Istimewa Yogyakarta. Kebanyakan sekolah Kanisius berada di daerah pedesaan.
Setelah mengalami proses panjang tiga zaman yang berbeda, zaman kolonial
Belanda, zaman pendudukan Jepang, dan zaman Republik Indonesia, sekolahsekolah Kanisius masih tegak berdiri.
Sekolah-sekolah di bawah naungan Yayasan Kanisius menerapkan
Kurikulum berpola Paradigma Pedagogi Reflektif (PPR) yang dijiwai oleh
semangat Latihan Rohani Ignatius Loyola, dengan menekankan Lima Nilai
Dasar, yaitu: Kasih, Disiplin, Cerdas, Berani, dan Jujur. Visi sekolah Kanisius
adalah “Menjadi pendidik anak Indonesia agar cerdas, berkarakter, peduli
terhadap sesama dan lingkungan.” Sedangkan misi sekolah Kanisius adalah
“Menyelenggarakan pendidikan Sekolah Dasar dan Menengah yang berkualitas
berlandaskan Paradigma Pedagogi Reflektif (PPR) dan mengoptimalkan sumber
daya bersama mitra strategis.”
Dengan segala keterbatasan dan kekurangannya, para guru dan karyawan
Yayasan Kanisius berkehendak untuk secara total memberikan diri kepada
Tuhan dengan mencintai anak-anak yang dipercayakan oleh Tuhan untuk dididik
di sekolah-sekolah Kansisius. Dengan semboyan “Educating Children to Create
Meaningful Lives”, para guru dan karyawan berkomitmen memberikan bekal ilmu,
kecerdasan dan iman, dengan harapan anak didik menjadi pribadi yang mampu
menciptakan makna hidup bagi dirinya sendiri, sesamanya, dan lingkungan
hidupnya.
11
Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta, yang menaungi dan mengelola
sejumlah sekolah di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, memiliki 80 sekolah
yang tersebar di kota Yogyakarta, kabupaten Sleman, kabupaten Bantul, dan di
desa-desa di daerah Kulon Progo dan Gunung Kidul. Jumlah guru dan karyawan
adalah 482 orang, jumlah murid 8.756 siswa yang sebagian besar berasal dari
keluarga kurang mampu.
Tabel 1.1
YAYASAN KANISIUS CABANG YOGYAKARTA
DATA SEKOLAH
TAHUN 2012
Kodya Yogyakarta
Kab. Bantul
Kab. Kulon Progo
Kab. Gunung Kidul
Kab. Sleman
Jumlah Total
TK A
TK B
SD
SLTP
5
4
0
2
10
21
5
4
5
6
15
35
9
9
6
7
14
45
1
1
0
1
3
6
(Sumber: Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta, diolah)
Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta mengelola sekolah-sekolah yang berada
di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Jumlah sekolah sebagaimana tersaji
dalam data tersebut di atas, sudah mengalami perubahan dalam jumlah dan
berkurang jauh dari beberapa tahun sebelumnya.
Tabel 1.2
YAYASAN KANISIUS CABANG YOGYAKARTA
DATA SEKOLAH
SISWA DAN GURU
TAHUN 2008 – 2012
Jumlah
Siswa
Jumlah
Guru
Tahun
2008-2009
9.550
Tahun
2009-2010
9.245
Tahun
2010-2011
9.118
Tahun
2011-2012
9.001
Tahun
2012-2013
8.756
494
475
451
427
406
(Sumber: Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta, diolah)
12
Berdasarkan data yang diperoleh dari Yayasan Kanisius Cabang
Yogyakarta sebagaimana disajikan di atas, tampak bahwa jumlah sekolah dan
jumlah murid serta jumlah guru menurun dari tahun ke tahun. Ini merupakan
tantangan dan keprihatinan Yayasan Kanisius dalam upaya memberikan
pelayanannya. Di samping itu, ada tantangan lain yang tidak kalah menarik yaitu,
banyaknya murid yang membutuhkan bantuan uang sekolah dan adanya
keterbatasan finansial untuk pengembangan spiritualitas dan profesionalitas guru
maupun untuk fasilitas sekolah.
Perubahan sosial dan budaya masyarakat serta tantangan multikulturalisme, keragaman, dan pertumbuhan penduduk juga memiliki dampak
pada kebijakan Yayasan dalam pengelolaan sekolah. Perubahan ini menyiratkan
perlunya penerapan gaya kepemimpinan yang fleksibel, yang memenuhi
kebutuhan kelompok masyarakat yang berbeda. Karena perubahan sosial dan
demografis dapat memperburuk kompleksitas manajemen sekolah, maka sistem
kepemimpinan harus mampu melihat “dunia” dengan cara pandang yang baru.
Model kepemimpinan baru menekankan pada kemampuan menyesuaikan gaya
kepemimpinan dengan kebutuhan dan situasi komunitas sekolah saat ini
(Mulligan, 2005).
Sekarang ini, sekolah-sekolah di bawah Yayasan Kanisius Pendidikan
dihadapkan pada tantangan baru. Sekolah-sekolah mengalami perubahan yang
signifikan dan menjadi kompleks dalam pengelolaan sebagai akibat dari
reformasi pendidikan yang cepat dan sistematis. Perubahan tata nilai dalam
masyarakat dari nilai-nilai mutlak, objektif, dan universal menuju nilai-nilai
multikultural telah mengubah peran kepala sekolah. Salah satu perkembangan
penting telah terjadi di sekolah. Terjadi perkembangan atau perubahan dari
model kepemimpinan yang hirarkis menjadi kepemimpian yang berbagi. Dewasa
ini, kepemimpinan kepala sekolah ditandai oleh hubungan berbagi yang
13
menggambarkan komunitas sekolah sebagai lingkungan untuk menjalin relasi
timbal balik dan kebersamaan. Dalam sebuah komunitas, para pemimpin sekolah
memperoleh kesempatan yang lebih baik untuk membuat perbedaan.
Menempatkan harapan pada kepala sekolah Katolik saat ini tampaknya
akan
berat
dan
sekaligus
menantang.
Banyaknya
relasi
yang
telah
dikembangkan pemimpin sekolah dalam sekolah selama ini memerlukan
pemahaman baru. Pengelola sekolah Katolik berada dalam situasi yang unik,
karena memikul tanggung jawab tambahan untuk mempromosikan nilai-nilai
kristiani dalam komunitas sekolah mereka. Peran yang multi fungsi menjadi
kemampuan untuk mengenali gaya kepemimpinan yang paling efektif.
Tabel 1.3
YAYASAN KANISIUS CABANG YOGYAKARTA
DATA SEKOLAH
SEKOLAH DASAR KANISIUS DEMANGAN BARU SLEMAN
TAHUN PELAJARAN 2008 – 2012
Jumlah
Kelas
Jumlah
Siswa
Jumlah
Guru
Tahun
2008-2009
18
Tahun
2009-2010
18
Tahun
2010-2011
18
Tahun
2011-2012
18
Tahun
2012-2013
18
697
656
626
597
573
23
23
23
23
22
(Sumber: Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta, diolah)
Di antara sekolah-sekolah dasar yang dikelola oleh Yayasan Kanisius
Pendidikan Cabang Yogyakarta, terdapat satu sekolah dasar yang mempunyai
jumlah kelas yang banyak, yaitu 18 (3 paralel) dan mempunyai jumlah murid
yang cukup banyak. Sekolah tersebut adalah Sekolah Dasar Kanisius Demangan
Baru Sleman. Pengelolaan Sekolah Dasar Kanisius Demangan Baru Sleman
dipercayakan kepada seorang kepala sekolah dengan dibantu oleh 22 orang
guru dan 1 orang tenaga tata usaha dan 2 orang tenaga pesuruh. Berikut adalah
14
data-data lengkap Sekolah Dasar Kanisius Demangan Baru Sleman dari tahun
ajaran 2008-2009 hingga 2012-2013.
Sekolah Dasar Kanisius Demangan Baru Sleman, seperti halnya sekolahsekolah di bawah Yayasan Kanisius yang lain menghadapi tantangan yang
cukup berat. Tantangan yang paling menonjol adalah menurunnya jumlah siswa
dari tahun ke tahun. Namun, hingga kini, Sekolah Dasar Kanisius Demangan
Baru Sleman mampu mempertahankan jumlah kelas.
Tabel 1.4
YAYASAN KANISIUS CABANG YOGYAKARTA
DATA SEKOLAH
SEKOLAH DASAR KANISIUS DEMANGAN BARU SLEMAN
JUMLAH SISWA BERDASARKAN AGAMA
TAHUN PELAJARAN 2008 – 2012
Agama
Jumlah
Katolik
Kristen
Islam
Lain-lain
2008-2009
533
151
11
2
697
2009-2010
506
146
4
0
656
2010-2011
491
135
0
0
626
2011-2012
455
134
8
0
597
2012-2013
512
52
0
0
573
(Sumber: Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta, diolah)
Melihat komposisi data siswa tahun terakhir berdasarkan agama yang
dianut oleh siswa, kepala sekolah nampaknya akan lebih mudah dalam
mewujudkan misi sekolah. Hal ini mengingat bahwa kepemimpinan kepala
sekolah Sekolah Dasar Kanisius Demangan Baru Sleman mempunyai peran
strategis dalam upaya mengelola sekolah sehingga mampu memberikan bekal
ilmu, kecerdasan dan iman, dengan harapan anak didik menjadi pribadi yang
mampu menciptakan makna hidup bagi dirinya sendiri, sesamanya, dan
lingkungan hidupnya dengan dilandasi: Kasih, Disiplin, Cerdas, Berani, dan Jujur.
15
Dalam memerankan kepemimpinan, kepala sekolah dibantu oleh para
guru. Kepala sekolah harus juga meningkatkan komptensi guru. Oleh karena itu,
kepala sekolah mendorong para guru untuk meningkatkan diri melalui lembaga
pendidikan formal. Guru-guru yang masih bergelar diploma diminta untuk
menempuh pendidikan yang lebih tinggi yakni sampai pendidikan sarjana. Hal ini
juga sebagai salah satu persyaratan dari pemerintah yang akan berlaku mulai
tahun 2015.
Tabel 1.5
YAYASAN KANISIUS CABANG YOGYAKARTA
DATA SEKOLAH
SEKOLAH DASAR KANISIUS DEMANGAN BARU SLEMAN
PENDIDIKAN GURU
TAHUN PELAJARAN 2008 – 2012
Pendidikan
S1
D3
D2
SPG
2008-2009
13
0
7
3
2009-2010
13
0
7
3
2010-2011
13
0
8
2
2011-2012
14
0
7
2
2012-2013
16
0
4
2
(Sumber: Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta, diolah)
Situasi sekolah sekarang ini sangat berbeda dengan masa lalu.
Masyarakat makin ikut terlibat. Orang-orang semakin pintar dari sebelumnya. Di
samping itu, keragaman dan kompleksitas yang dihadapi oleh kepala sekolah
sekarang merupakan bagian dari kerumitan administrasi. Tschannen-Moran
(2004) mengatakan bahwa masa di mana para pemimpin sekolah yang sangat
dihormati dan umumnya tidak dipertanyakan anggota masyarakat telah berakhir,
karena dewasa ini kepemimpinan diakui hanya jika dapat dipercaya dan jika
berpusat pada manusia.
16
Bennet (2001) menambahkan dimensi lain pada pemimpin sekolah dengan
mengingatkan bahwa saat ini sekolah membutuhkan kepemimpinan moral yang
diarahkan pada tanggung jawab sosial, dan pengembangan berbagai bentuk
kecerdasan untuk memanfaatkan keinginan berbagai mitra kerja. Sementara itu,
Crippen (2006) menyatakan bahwa pemimpin pendidikan harus mendukung
cara-cara baru kepemimpinan sebagai langkah sekolah menuju demokratisasi.
Sergiovanni (1999) telah mengusulkan sebuah model kepemimpinan untuk
sekolah dewasa ini yang terfokus pada kepemimpinan yang efektif. Kouzes dan
Posner
(1995)
berpendapat
bahwa
kepemimpinan
yang
efektif
harus
mempertimbangkan kebutuhan dan nilai-nilai dari mereka yang dilayani.
Untuk menjadi pemimpin yang efektif, kepala sekolah harus mendasarkan
keputusan pada standar etika profesional dan pribadi. Ketika struktur masyarakat
secara demografi menjadi lebih beragam, kepala sekolah harus dapat
mengembangkan,
membina,
dan
memimpin
sekolah yang
toleran dan
demokratis (Shapiro & Stefkovich, 2001). Kepala sekolah dihadapkan dengan
tugas menerapkan model kepemimpinan, struktur, dan koherensi visi misi utama
sekolah untuk mendidik semua siswa ketika menanggapi tuntutan masyarakat
dan pemerintah untuk mencapai prestasi siswa. Pada saat yang sama, kepala
sekolah harus mengikuti standar profesional dan pribadi yang ditandai dengan
meramu keprihatinan manusia, profesional, dan kemasyarakatan; menyediakan
lingkungan untuk pembelajaran yang manusiawi dan memenuhi tanggung jawab
sosial (Starratt, 2004).
Semua sekolah bergantung pada kepemimpinan dan pengambilan
keputusan kunci individu, dimulai dengan kepala sekolah. Dalam komitmen
mereka untuk memimpin sekolah, kepala sekolah juga harus memperhatikan
tanggung jawab moral dan etis untuk sekolah-sekolah yang mereka layani.
Kepala sekolah bertanggung jawab untuk keberhasilan sistem sekolah yang
17
mereka kelola dan pimpin. Kepala sekolah adalah pemimpin yang paling
memengaruhi
perubahan dalam sistem yang mereka pimpin (Dobel, 1998).
Mereka mempengaruhi perencanaan strategis, alokasi sumber daya, dan
program keseluruhan dari sekolah. Kepala sekolah memiliki kewajiban
profesional untuk memeriksa pekerjaan dan praktek etika pribadi mereka dan
memimpin dengan integritas pantang menyerah bagi para siswa dan masyarakat
yang mereka layani (Bennis, Burke, Gery, & Juechter, 2003).
B. Pertanyaan Penelitian
Peran kepemimpinan kepala sekolah Sekolah Dasar Kanisius dalam
mengembangkan dan mempertahankan eksistensi sekolah akan didalami dalam
penelitian ini. Secara khusus, penelitian ini mendalami pertanyaan-pertanyaan
berikut:
1.
Bagaimana peran kepemimpinan kepala sekolah dalam mewujudkan visi
misi sekolah?
2.
Bagaimana peran kepimimpinan kepala sekolah mengembangkan dan
mempertahankan sekolah?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendalami peran kepemimpinan
kepala sekolah Sekolah Dasar Kanisius dalam mewujudkan visi dan misi sekolah
serta
mengembangkan
dan
mempertahankan
sekolah.
Data-data
yang
dikumpulkan dari Kepala Sekolah Dasar Kanisius, baik berupa catatan atas
wawancara, observasi dan data tertulis lainnya dikaji dalam proses studi kasus
kualitatif. Temuan penelitian ini diharapkan akan menambah hasil kajian tentang
kepemimpinan di lingkungan pendidikan yang telah ada.
18
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Akademis:
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah hasil kajian penelitian mengenai
kepemimpinan, khususnya peran kepemimpinan kepala sekolah.
2. Manfaat Praktis:
Bagi Yayasan Kanisius, diharapkan temuan dari penelitian dapat dijadikan
pijakan bagi Yayasan dalam menentukan program seleksi dan pengembangan
kepemimpinan kepala sekolah. Sampai saat ini, program pengembangan
kepemimpinan kepala sekolah masih relatif sedikit, dan lebih menitikberatkan
pada sisi administrasi.
Bagi peneliti, seluruh rangkaian kegiatan dan hasil penelitian diharapkan dapat
lebih memantapkan penguasaan keilmuan yang dipelajari selama mengikuti
program pendidkan di Program Paska Sarjana Fakultas Psikologi Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta, dan menjadi bekal dalam melakukan penelitian secara
ilmiah dalam pekerjaan yang digeluti.
Penelitian ini signifikan untuk sejumlah alasan.
Pertama, studi kasus ini berdasarkan pada pengalaman hidup peserta
yang menyajikan peran kepemimpinan praktis dan efektif di Sekolah Dasar
Katolik.
Kedua, penelitian ini menyelidiki dan menjelaskan bagaimana model
kepemimpinan kepala Sekolah Dasar Katolik yang berbasis nilai inti komitmen
kepada staf, orangtua, dan siswa dalam mempraktekkan kepemimpinan dalam
menghadapi perubahan dan keragaman.
Ketiga, penelitian ini mendalami bagaimana kepala sekolah di Sekolah
Dasar Katolik menggabungkan tujuh tugas pokok kepala sekolah dengan
19
kepemimpinan moral dan etika dalam kepemimpinan. Selain itu, penelitian ini
berguna tidak hanya untuk kepala sekolah Sekolah Dasar Kanisius Demangan
Baru, tetapi juga untuk kepala sekolah di Sekolah Dasar Kanisius lain yang
mungkin tertarik dalam mengimplementasikan gaya dan model kepemimpinan
yang diteliti dalam pengelolaan sekolah mereka.
Keempat, penelitian menguraikan strategi kepemimpinan yang efektif
dalam pengelolaan sekolah kontemporer. Ini termasuk hubungan dengan orang
tua, staf, dan siswa dan pembangunan komunitas sekolah yang sehat.
Kelima, studi ini menambah literatur tentang kepemimpinan di lingkungan
pendidikan atau sekolah yang secara khusus berkaitan dengan konteks sekolah
Katolik, dan menawarkan kemungkinan beberapa konteks transfer ke sekolah
lain.
E. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya
Leithwood
dan
Duke
(1999)
melakukan
kajian
tentang
konsep
kepemimpinan dalam literatur pendidikan selama 1988-1995. Dalam ulasan ini
Leithwood dan Duke menemukan 121 artikel tentang kepemimpinan, dari jumlah
total 716 artikel. Berdasarkan hasil penelaahan dari sepuluh tahun penelitian
kepemimpinan dalam administrasi pendidikan, Heck dan Hallinger (1999)
menyimpulkan bahwa ada kecenderungan yang jelas terhadap akumulasi
pengetahuan mengenai kepemimpinan sekolah dan dampaknya. Kepemimpinan
telah, dan akan terus menjadi fokus utama dalam era akuntabilitas sekolah dan
restrukturisasi sekolah. Para ahli juga menyarankan bahwa studi tentang
kepemimpinan sekolah akan menjadi semakin lebih eklektik, baik secara filosofis
maupun metodologis. Selain itu, dalam memimpin dan mengelola sekolah yang
efektif untuk merespon tuntutan masyarakat yang semakin kompleks diperlukan
20
pengetahuan dan keterampilan teknis para pemimpin yang berkomitmen dan
kompeten.
Dalam beberapa penelitian tentang peran kepemimpinan kepala sekolah,
diungkap bahwa peran kepemimpinan sekolah mendapat posisi yang paling
signifikan dalam meningkatkan kinerja sekolah dan prestasi siswa (Hallinger &
Heck, 1998; Mulford, 2003; Janerrette & Sherretz, 2007; Gamage, 2009a). Dalam
penelitian-penelitian
tersebut
ditemukan
bahwa
pemimpin
yang
efektif
mengembangkan iklim dan budaya sekolah yang membantu memotivasi para
siswa dan guru yang mengarah pada penciptaan pengajaran yang lebih baik dan
lingkungan belajar yang lebih kondusif bagi prestasi siswa ke tingkat yang lebih
tinggi. Selain itu, dalam sistem sekolah, kepala sekolah dituntut oleh otoritas
sistemik untuk meningkatkan belajar siswa dan dituntut bertanggung jawab
dengan membangun komitmen dalam mengembangkan visi bersama untuk
memotivasi dan menyemangati guru dan siswa (Mulford, 2003). Dalam beberapa
penelitian yang lain, dicatat pula bahwa perilaku kepemimpinan kepala sekolah
dan perannya sebagai pemimpin instruksional memiliki dampak yang signifikan
dalam menciptakan sekolah yang lebih efektif yang mengarah kepada prestasi
siswa ke tingkat yang lebih tinggi (Quinn, 2002; Cotton, 2003).
Selain itu, penelitian-penelitian yang lebih umum menunjukkan bahwa gaya
kepemimpinan tertentu dari pemimpin sekolah dapat memiliki dampak positif
pada lingkungan pengajaran dan pembelajaran dan proses yang mengarah ke
perbaikan kinerja siswa dan prestasi akademik (Leithwood & Riehl, 2003; Harris,
2004). Dengan demikian, jelas bahwa kepemimpinan sekolah yang dimiliki oleh
seorang kepala sekolah merupakan salah satu faktor kunci dalam meningkatkan
kinerja sekolah dan prestasi siswa. Pemimpin sekolah, dalam konteks ini adalah
"orang-orang, menempati berbagai peran di sekolah, yang bekerja dengan orang
lain untuk memberikan arahan dan memberikan pengaruh pada orang dan hal-
21
hal lain dalam rangka mencapai tujuan sekolah" (Leithwood & Riehl, 2003).
Definisi ini menyiratkan pentingnya peran kepala sekolah, bekerja sama dengan
pemangku kepentingan lainnya, dalam meningkatkan kinerja dan prestasi siswa.
Dalam penelitiannya mengenai kepemimpinan sekolah yang sukses, Harris
(2004) menyatakan bahwa kepemimpinan yang sukses di sekolah telah
mengakibatkan pencapaian dan prestasi siswa ke tingkat lebih tinggi,
menekankan pentingnya kepemimpinan terdistribusi.
Sementara itu, pentingnya kepemimpinan instruksional dalam menciptakan
keberhasilan dan prestasi siswa telah didukung oleh banyak penelitian (Blasse &
Blasse, 2000; Quinn, 2002; Cotton, 2003). Dari beberapa penelitian yang telah
dilakukan dapat ditunjukkan bahwa ada pengaruh peran kepemimpinan kepala
sekolah pada peningkatan sekolah. Dari beberapa penelitian tersebut meneliti
tentang efektivitas sekolah dengan mengidentifikasi karakteristik sekolah efektif
yang memengaruhi pencapaian sekolah (Leithwood & Riehl, 2003). Sementara
itu, dari penelitian tersebut terfokus pada peran kepala sekolah sebagai
pemimpin instruksional. Dalam konteks ini, peran kepala sekolah dalam
mengembangkan program instruksional telah memberikan kontribusi terutama
untuk menciptakan lebih banyak sekolah yang berprestasi tinggi. Kepemimpinan
instruksional berfokus pada pengaruh pemimpin terhadap prestasi belajar siswa:
bagaimana kepala sekolah sebagai pemimpin secara positif mempengaruhi guru,
hasil pengajaran, dan meningkatkan kinerja siswa (Leithwood, Louis, Anderson,
& Wahlstrom, 2004, Waters, Marzano, & McNulty, 2003). Penelitian terkini
tentang kepemimpinan instruksional dalam konteks sekolah menekankan peran
pemimpin yang berbasis pada menetapkan arah, mengembangkan orang, dan
membuat organisasi bekerja (Leithwood, Louis, Anderson, & Wahlstrom, 2004).
Kepala sekolah dapat berbagi tanggung jawab kepemimpinan instruksional
dengan para pemimpin pendidikan lainnya melalui penyediaan sumber daya dan
22
bimbingan bagi guru, mengkomunikasikan visi dan harapan, menciptakan
budaya organisasi yang positif dan komunitas belajar profesional, dan
menunjukkan kehadiran yang nyata di sekolah (Leithwood, 2005; Waters,
Marzano, & McNulty, 2003).
Dalam rangka penelitian ini, peneliti fokus terutama pada pendalaman
peran kepemimpinan kepala sekolah dasar yang menekankan pada fitur gerakan
kepemimpinan
sekolah
yang
efektif,
dan
mengarah
kepada
upaya
mempertahankan dan mengembangkan sekolah.
Sebuah
studi kasus kualitatif
akan memungkinkan
peneliti
untuk
mempelajari aspek kepemimpinan dari perspektif kepala sekolah. Sebuah desain
kualitatif bersifat dinamis dan cukup fleksibel untuk mengumpulkan secara detil
data kondisi peserta. Tantangannya adalah secara subjektif menganalisis data
tanpa prasangka atau bias (Stake, 2000). Studi kasus dapat tidak membuat klaim
untuk menjadi khas atau digeneralisasikan. Karena sampel yang sedikit dan
istimewa, dan karena data yang umumnya non-numerik, tidak ada cara untuk
menetapkan probabilitas bahwa data merupakan perwakilan dari beberapa
populasi yang lebih besar (Hodkinson & Hodkinson, 2001). Selain itu,
diasumsikan bahwa kepala sekolah yang berpartisipasi dalam penelitian ini telah
membatasi respon dengan pengalaman pribadi dan profesional. Penelitian ini
mengeksplorasi bagaimana peran kepemimpinan kepala sekolah, integritas,
kejujuran, kepercayaan (trust), atau pengaruhnya dalam pengambilan keputusan
dan juga gaya kepemimpinan. Kepala sekolah memiliki tanggung jawab untuk
bertindak dan memimpin dengan satu keharusan mendasar dan itu adalah untuk
melayani "kepentingan siswa" (Shapiro & Stefkovich, 2001). Untuk itu, landasan
teoritis dari penelitian ini mendukung perdebatan ini mengenai praktek
kepemimpinan kepala sekolah.
Download