MATA AJAR PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN TERINTEGRASI (MPKT) BUKU AJAR 1: LOGIKA, FILSAFAT ILMU, DAN PANCASILA oleh Dr. Irmayanti Meliono, M.Si Y. P. Hayon, M.Hum Agnes Sri Poerbasari, M.Si Dr. Ita Syamtasiah Dr. Suharto PROGRAM DASAR PERGURUAN TINGGI UNIVERSITAS INDONESIA 2009 Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi Editor : Liberty P. Sihombing, S.S., M.A. Depok, 2009 KATA PENGANTAR Buku Ajar MPK Terintegrasi Program Dasar Pendidikan Tinggi Universitas Indonesia merupakan revisi dari Modul MPKT 2004. Tujuan revisi ini ialah menambahkan materi dan substansi liberal arts serta menyempurnakan materi ajar yang telah ada, yaitu filsafat, logika, filsafat ilmu, etika, ideologi, Pancasila dan UUD 1945. Berbagai komentar mengenai materi-substansi modul tersebut telah diterima oleh tim penulis Buku Ajar MPKT. Komentar kritis dari berbagai pihak menjadi asupan bagi tim penulis untuk melakukan evaluasi terhadap Modul MPKT yang lama. Perubahan dari Modul MPK Terintegrasi menjadi Buku Ajar MPK Terintegrasi tahun 2009 ini telah melalui evaluasi dan koreksi dari teknis hingga ke substansi materi. Buku Ajar MPKT PDPT UI 2009 ini terdiri atas tiga, yaitu Buku Ajar I: Logika, Filsafat Ilmu dan Pancasila, Buku Ajar II: Manusia, Ahlak, Budi Pekerti, dan Masyarakat, dan Buku Ajar III: yaitu Bangsa, Negara, dan Lingkungan Hidup di Indonesia. Ketiga nya saling berkaitan dan terintegrasi satu dengan lainnya. Tim penyusun Buku Ajar MPKT 2009 mengucapkan terima kasih kepada para penulis dan narasumber Modul MPKT 2004, MPKT dan Suplemen 2005, serta Modul MPKT 2006, yaitu Ibu S. Margaretha K., Bapak Suhardjo, Bapak Mudjilan, Bapak Soerjohardjo, Bapak Chaidir Basrie, Ibu D.T.W. Soebagio, Bapak Didik Pradjoko, Bapak Kasiyanto, Bapak Kresno Yulianto, Bapak H. Zakky Mubarak, dan Dr. dr. Peni K.S. Muthalib. Melalui ide dan pemikiran mereka di modul yang terdahulu, mereka telah memberikan kontribusi yang besar bagi Buku Ajar MPK Terintegrasi. Tim penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada Direktur Pendidikan Universitas Indonesia, Prof. Dr. Multamia RMT Lauder, Mse, DEA, yang telah memfasilitasi penyusunan dan penerbitan Buku Ajar MPKT 2009 ini, dan kepada Ibu Dra. Miranda D.Z, M.Psi. serta berbagai pihak yang tidak dapat disebut satu persatu, atas kerja sama yang baik selama ini. Tiada gading yang tak retak, begitu juga dengan Buku Ajar MPKT 2009 ini, yang masih jauh dari sempurna. Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca yang budiman sangat diharapkan. Depok, Agustus 2009 Tim Penyusun DAFTAR ISI Kata Pengantar ii Pendahuluan Bab I Filsafat 1.1 Sejarah Filsafat 1.2 Pengertian Filsafat 1.3 Kegunaan Filsafat Bab II Logika 2.1 Definisi Logika 2.2 Jenis Logika 2.3 Kaidah-kaidah Berpikir Tepat dan Logis 2.4 Kesesatan Berpikir Bab III Filsafat Ilmu 3.1 Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan 3.2 Revolusi Ilmu Pengetahuan 3.3 Pengertian Filsafat Ilmu Pengetahuan 3.4 Teori Kebenaran 3.5 Paradigma Ilmu Pengetahuan Bab IV Etika 4.1 Definisi Etika 4.2 Etika Normatif dan Etika Terapan 4.3 Kaidah atau Norma Etika 4.4 Pentingnya Etika dalam Kehidupan Sehari-hari dan Kehidupan Ilmiah BabV Ideologi 5.1 Pengertian Ideologi 5.2 Ideologi dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara 5.3 Bentuk-bentuk Ideologi 5.4 Macam-macam Ideologi 5.5 Ideologi-Ideologi dari Asia 5.6 Hambatan dan Tantangan dalam Berideologi Pancasila 5.7 Refleksi Kritis Terhadap Ideologi Bab VI Pancasila Ditinjau dari Perspektif Keilmuan 6.1 Pancasila dan Filsafat Ilmu 6.2 Pancasila sebagai Sistem Nilai 6.3 Nilai Pancasila 6.4 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional 6.5 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional dalam Bidang Poleksosbudhankam Bab VII Undang-Undang Dasar 1945 7.1 Sejarah Terbentuknya UUD 1945 7.2 Pelaksanaan UUD 1945 7.3 Reformasi 7.4 Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 PENUTUP KATA-KATA PENTING DAFTAR PUSTAKA 1 3 3 5 8 9 9 10 15 34 37 37 44 45 48 49 52 52 54 59 63 64 64 68 69 70 82 85 86 88 88 93 95 100 105 109 109 111 113 115 119 121 123 PENDAHULUAN Buku ajar ini merupakan kumpulan tulisan tentang berbagai pokok bahasan dan subpokok bahasan yang membahas tentang filsafat, logika, filsafat ilmu, etika, ideologi, Pancasila, dan UUD 1945. Meskipun bidang ilmu tersebut apabila dilihat secara harafiah nampaknya saling bebeda, namun dalam perbedaannya memunculkan keterpaduan yang logis dan sistematis. Keterpaduan tersebut dimaksudkan agar para pembaca dapat melihat, mengerti dan memahami dengan jernih dan kritis terhadap persoalan atau permasalahan yang muncul dan berkaitan dengan bidang tersebut. Buku Ajar ini mengantarkan pada mahasiswa, fasilitator, narasumber ataupun pembaca lain untuk belajar dan mengkaji tentang berbagai persoalan dalam kehidupan manusia dan persoalan ilmiah yang berkaitan dengan dua tema besar yaitu filsafat dan Pancasila. Pemahaman tentang Liberal Arts telah ada pada Buku Ajar 1, baik secara eksplisit, maupun implisit, khususnya uraian mengenai filsafat dan logika, bahkan dikembangkan ke persoalan filsafat ilmu dan ideologi. Dalam pembahasan tentang filsafat tercakup uraian tentang filsafat itu sendiri, logika, filsafat ilmu dan etika. Untuk itu pembahasan awal dalam modul ini adalah mengkaji tentang filsafat. Mengapa pertama kali harus filsafat? Filsafat membawa kita untuk bersikap kritis terhadap berbagai fenomena atau gejala di sekitar manusia. Sikap kritis berarti mengajak kita untuk melihat dan mencari sesuatu dengan sikap jernih, sikap arif dan rasional. Pada akhirnya sikap kritis tersebut membawa kita pada pencarian akan pengetahuan yang lebih luas. Keinginan untuk mengetahui sesuatu akan menjadi lebih besar sehingga kita sering bertanya dengan lebih mendalam terhadap sesuatu atau pengetahuan itu. Sikap kritis juga mengarahkan kita untuk melakukan dialog dengan orang lain, teman, masyarakat di luar lingkungan kita untuk membahas berbagai persoalan atau fenomena yang sedang kita hadapi. Berdialog berarti kita mau membuka diri, belajar menghargai pendapat orang lain serta berargumentasi (mengemukakan pendapat kita) dengan sikap rasional. Logika membawa pada kita untuk memiliki penalaran yang tepat dan lurus. Berpikir tepat dan lurus, artinya pemikiran manusia berlandaskan pada kebenaran secara rasional. Selain pernyataan yang benar dalam berlogika, muncul pula penalaran yang lain, yaitu kesesatan berpikir (fallacy) atau pernyataan yang dianggap salah. Agar kita tidak terjebak dalam kesesatan berpikir maka kita perlu belajar logika dengan baik. Selain itu kaidah dalam logika atau hukum berpikir menunjukan bahwa melalui rasio atau akal budi kita dapat membuat berbagai pernyataan yang benar dan tepat melalui bahasa. Di dalam pemahaman yang lebih luas dan komprehensif, bahasa dapat dianggap sebagai pengungkapan pengalaman kehidupan manusia. Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwa bahasa memegang peranan penting dalam penalaran manusia atau berlogika. Filsafat ilmu mengajak kita untuk secara kritis mempelajari ciri dan cara kerja ilmu pengetahuan. Landasan filsafat ilmu adalah berpikir kritis, penalaran yang logis, tepat, sistematis, serta rasional. Itu semua diperoleh ketika kita mempelajari filsafat dan logika. Melalui filsafat ilmu, kita mengetahui bahwa landasan dalam proses kerja ilmiah berada pada dua aspek, aspek teoretis dan aspek praksis (aplikatif). Aspek teoretis berkaitan dengan pembenaran metodologis (context of justification) sedang aspek praksis melibatkan penemuan teknologi (context of discovery). Kegiatan mahasiswa mempelajari secara kritis proses kerja ilmiah memerlukan sikap tanggung jawab secara etis atau moral. Apa artinya itu? Tanggung jawab mahasiswa secara etis atau moral menuntut kedewasaan berpikir tentang “yang baik” ketika ia sedang belajar di perguruan tinggi. Perilaku seperti plagiat, mencontek, berbuat onar, dan menggunakan narkoba tidak dibenarkan secara etis (seperti halnya menurut agama dan hukum). Studi tentang etika mengajar kita untuk harus peduli dan mendengarkan suara hati, bebas bertanggungjawab, memahami apa itu hak dan kewajiban. Itu semua menjadi sangat berharga dalam kehidupan kita manakala dapat diterapkan secara positif pada perilaku kita yang mengarah pada perilaku yang baik. Di samping itu, kita juga harus mempelajari pengertian, berbagai bentuk, dan macam ideologi seperti kapitalisme, kolonialisme, liberalisme, sosialisme, feminisme, dan ekologisme yang berasal dari Barat. Memahami berbagai ideologi, baik yang berasal dari Asia maupun Barat akan memberikan nilai tambah bagi kita dalam menghayati dasar negara kita. Pancasila merupakan ideologi yang terbuka untuk dipahami dan dikritisi dengan arif, sehingga akan menjadi pegangan dan pola berpikir bagi kita dan bagi generasi muda Indonesia. Sebagai warga masyarakat dari bangsa Indonesia, kita juga harus mempelajari pandangan hidup serta dasar negara kita, yaitu Pancasila. Pancasila harus dipelajari, dipahami secara kritis, kita tidak boleh terjebak dalam pandangan harafiah dan sempit. Pancasila akan menjadi sangat menarik apabila kita mempelajari tidak hanya keberadaannya sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang selalu muncul dalam setiap penataran saja, tetapi mempelajarinya secara keilmuan dan metafisis. Mempelajari Pancasila secara metafisis artinya mengkaji bahwa di “belakang” kata Pancasila terkandung gagasan atau ide tentang berbagai nilai (value) yang ada seperti nilai moral, nilai kebersamaan, nilai kerukunan, nilai patriotisme, dan nilai persatuan. Untuk itulah pemahaman Pancasila secara filosofis dan keilmuan sangat penting bagi kita semua, agar kita memaknainya dengan arif dan kritis, sehingga terungkap melalui perilaku yang bermakna (meaningfull action) pula. Pembahasan mengenai UUD 1945, sejarah, pelaksanaan UUD 1945, reformasi dan amandemen UUD 1945 melengkapi uraian tentang Pancasila. Pemahaman yang kritis dan arif terhadap berbagai ideologi di luar Pancasila akan memberikan nilai tambah bagi kita dalam menghayati dasar negara kita. PENDAHULUAN Buku ajar ini merupakan kumpulan tulisan tentang berbagai pokok bahasan dan subpokok bahasan yang membahas tentang filsafat, logika, filsafat ilmu, etika, ideologi, Pancasila, dan UUD 1945. Meskipun bidang ilmu tersebut apabila dilihat secara harafiah nampaknya saling bebeda, namun dalam perbedaannya memunculkan keterpaduan yang logis dan sistematis. Keterpaduan tersebut dimaksudkan agar para pembaca dapat melihat, mengerti dan memahami dengan jernih dan kritis terhadap persoalan atau permasalahan yang muncul dan berkaitan dengan bidang tersebut. Buku Ajar ini mengantarkan pada mahasiswa, fasilitator, narasumber ataupun pembaca lain untuk belajar dan mengkaji tentang berbagai persoalan dalam kehidupan manusia dan persoalan ilmiah yang berkaitan dengan dua tema besar yaitu filsafat dan Pancasila. Pemahaman tentang Liberal Arts telah ada pada Buku Ajar 1, baik secara eksplisit, maupun implisit, khususnya uraian mengenai filsafat dan logika, bahkan dikembangkan ke persoalan filsafat ilmu dan ideologi. Dalam pembahasan tentang filsafat tercakup uraian tentang filsafat itu sendiri, logika, filsafat ilmu dan etika. Untuk itu pembahasan awal dalam modul ini adalah mengkaji tentang filsafat. Mengapa pertama kali harus filsafat? Filsafat membawa kita untuk bersikap kritis terhadap berbagai fenomena atau gejala di sekitar manusia. Sikap kritis berarti mengajak kita untuk melihat dan mencari sesuatu dengan sikap jernih, sikap arif dan rasional. Pada akhirnya sikap kritis tersebut membawa kita pada pencarian akan pengetahuan yang lebih luas. Keinginan untuk mengetahui sesuatu akan menjadi lebih besar sehingga kita sering bertanya dengan lebih mendalam terhadap sesuatu atau pengetahuan itu. Sikap kritis juga mengarahkan kita untuk melakukan dialog dengan orang lain, teman, masyarakat di luar lingkungan kita untuk membahas berbagai persoalan atau fenomena yang sedang kita hadapi. Berdialog berarti kita mau membuka diri, belajar menghargai pendapat orang lain serta berargumentasi (mengemukakan pendapat kita) dengan sikap rasional. Logika membawa pada kita untuk memiliki penalaran yang tepat dan lurus. Berpikir tepat dan lurus, artinya pemikiran manusia berlandaskan pada kebenaran secara rasional. Selain pernyataan yang benar dalam berlogika, muncul pula penalaran yang lain, yaitu kesesatan berpikir (fallacy) atau pernyataan yang dianggap salah. Agar kita tidak terjebak dalam kesesatan berpikir maka kita perlu belajar logika dengan baik. Selain itu kaidah dalam logika atau hukum berpikir menunjukan bahwa melalui rasio atau akal budi kita dapat membuat berbagai pernyataan yang benar dan tepat melalui bahasa. Di dalam pemahaman yang lebih luas dan komprehensif, bahasa dapat dianggap sebagai pengungkapan pengalaman kehidupan manusia. Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwa bahasa memegang peranan penting dalam penalaran manusia atau berlogika. Filsafat ilmu mengajak kita untuk secara kritis mempelajari ciri dan cara kerja ilmu pengetahuan. Landasan filsafat ilmu adalah berpikir kritis, penalaran yang logis, tepat, sistematis, serta rasional. Itu semua diperoleh ketika kita mempelajari filsafat dan logika. Melalui filsafat ilmu, kita mengetahui bahwa landasan dalam proses kerja ilmiah berada pada dua aspek, aspek teoretis dan aspek praksis (aplikatif). Aspek teoretis berkaitan dengan pembenaran metodologis (context of justification) sedang aspek praksis melibatkan penemuan teknologi (context of discovery). Kegiatan mahasiswa mempelajari secara kritis proses kerja ilmiah memerlukan sikap tanggung jawab secara etis atau moral. Apa artinya itu? Tanggung jawab mahasiswa secara etis atau moral menuntut kedewasaan berpikir tentang “yang baik” ketika ia sedang belajar di perguruan tinggi. Perilaku seperti plagiat, mencontek, berbuat onar, dan menggunakan narkoba tidak dibenarkan secara etis (seperti halnya menurut agama dan hukum). Studi tentang etika mengajar kita untuk harus peduli dan mendengarkan suara hati, bebas bertanggungjawab, memahami apa itu hak dan kewajiban. Itu semua menjadi sangat berharga dalam kehidupan kita manakala dapat diterapkan secara positif pada perilaku kita yang mengarah pada perilaku yang baik. Di samping itu, kita juga harus mempelajari pengertian, berbagai bentuk, dan macam ideologi seperti kapitalisme, kolonialisme, liberalisme, sosialisme, feminisme, dan ekologisme yang berasal dari Barat. Memahami berbagai ideologi, baik yang berasal dari Asia maupun Barat akan memberikan nilai tambah bagi kita dalam menghayati dasar negara kita. Pancasila merupakan ideologi yang terbuka untuk dipahami dan dikritisi dengan arif, sehingga akan menjadi pegangan dan pola berpikir bagi kita dan bagi generasi muda Indonesia. Sebagai warga masyarakat dari bangsa Indonesia, kita juga harus mempelajari pandangan hidup serta dasar negara kita, yaitu Pancasila. Pancasila harus dipelajari, dipahami secara kritis, kita tidak boleh terjebak dalam pandangan harafiah dan sempit. Pancasila akan menjadi sangat menarik apabila kita mempelajari tidak hanya keberadaannya sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang selalu muncul dalam setiap penataran saja, tetapi mempelajarinya secara keilmuan dan metafisis. Mempelajari Pancasila secara metafisis artinya mengkaji bahwa di “belakang” kata Pancasila terkandung gagasan atau ide tentang berbagai nilai (value) yang ada seperti nilai moral, nilai kebersamaan, nilai kerukunan, nilai patriotisme, dan nilai persatuan. Untuk itulah pemahaman Pancasila secara filosofis dan keilmuan sangat penting bagi kita semua, agar kita memaknainya dengan arif dan kritis, sehingga terungkap melalui perilaku yang bermakna (meaningfull action) pula. Pembahasan mengenai UUD 1945, sejarah, pelaksanaan UUD 1945, reformasi dan amandemen UUD 1945 melengkapi uraian tentang Pancasila. Pemahaman yang kritis dan arif terhadap berbagai ideologi di luar Pancasila akan memberikan nilai tambah bagi kita dalam menghayati dasar negara kita. BAB I FILSAFAT Pada bab ini akan dibahas tentang arti filsafat, dan sejarahnya, mulai dari kemunculan filsafat di Yunani dan perkembangannya. Melalui pemahaman tentang kurun waktu maka kita dapat mengetahui perkembangan filsafat ilmu pengetahuan hingga saat ini serta definisi, objek dan metode, pola berpikir kritis, sistematis yang dipakai dalam belajar filsafat serta dan kegunaannya. 1.1 SEJARAH FILSAFAT Filsafat yang dibahas dalam tulisan ini mula-mula merujuk pada penelusuran secara historis tentang perkembangan filsafat yang dimulai pada masa Yunani Kuna. Pada masa itu (abad IV – VI SM), berfilsafat selalu dianggap sebagai upaya manusia dalam mencari kebijaksanaan. Upaya ini tercermin dari etimologi kata filsafat, philosophia, yang artinya senang, suka (philos) akan kebijaksanaan (sophia). Bagi orang Yunani, senang akan kebijaksanaan selalu diarahkan kepada kepandaian yang bersifat teoretis dan praktis. Kepandaian bersifat teoretis adalah upaya manusia mencari pengetahuan yang penuh dengan gagasan dan idea atau konsep yang tentunya sejalan dengan cara atau alam pikiran mereka. Pada mulanya gagasan (idea) bangsa Yunani diarahkan untuk memahami alam semesta ini dengan cara membuat atau menghadirkan mitos-mitos. Di dalam mitos-mitos itulah kekuatan alam semesta berada pada genggaman para penguasanya yaitu para Dewa. Dengan demikian manusia (bangsa Yunani) sangat tergantung pada alam pikiran yang bersifat magis bahkan dianggap tidak rasional, karena hanya di tangan para Dewalah dunia dengan segala isinya itu hadir diantara mereka. Kepandaian yang bersifat praktis adalah upaya mencari pengetahuan yang diarahkan untuk menemukan kegunaan pengetahuan itu. Apabila pengetahuan itu bermanfaat, maka peran pengetahuan sangatlah penting bagi manusia. Bagi bangsa Yunani, pengetahuan praktis adalah pengetahuan yang mendasarkan pada suatu keterampilan dan memiliki tujuan tertentu. Ketrampilan atau keahlian membuat suatu bangunan, suatu karya sastra, suatu karya musik, atau seni suara, dan keterampilan olah tubuh atau berolahraga. Sebenarnya di dalam pengetahuan praktis tersebut, terdapat upaya bangsa Yunani untuk menemukan cara bagaimana pengetahuan atau keterampilan praktis itu muncul, berperan, berfungsi, dan berguna bagi kepentingan manusia secara optimal. Dalam perkembangannya kemudian, bangsa Yunani mengalami perubahan dalam cara berpikir, cara untuk mendapatkan pengetahuan yang berbeda dengan yang telah ada, yaitu mereka mulai mengembangkan daya penalaran yang lebih rasional dan logis. Penalaran tersebut diaktualisasikan atau dalam pencarian sebab terdalam atau “sebab pertama” dari alam semesta ini. Perubahan cara berpikir dari mitis ke logos (rasional) memunculkan juga pandangan para filsuf yang berusaha menguak rahasia alam dengan berbagai pendapat atau argumen yang lebih rasional. Filsuf alam yaitu Thales, misalnya yang berpendapat bahwa asas di dunia ini adalah air, sementara Anaximandros mengatakan asas itu adalah “yang tidak terbatas” (apeiron). Anaximenes menyebut udara sebagai asas pertama. Beberapa filsuf lain yang secara tidak langsung mewariskan pengetahuan pada umat di dunia ini ialah Plato (dengan dunia idea), Aristoteles (dengan teori materi bentuk—hilemorfisme), Phytagoras (dengan dasar perhitungan aritmatika dan dalil Phytagoras), dan Hipocrates (ahli pengobatan yang dianggap sebagai Bapak Kedokteran). Masa berikutnya adalah Abad Pertengahan (Middle Ages, abad I—IX). Awal Abad Masehi ini ditandai oleh munculnya para pujangga Kristen yang mendasarkan pengetahuan keagamaan secara teologis. Alam pemikiran manusia di masa itu bersifat teosentris dan imago dei. Bersifat teosentris berarti pengetahuan manusia didasarkan pada ajaran teosentris atau agama, sedang imago dei berarti bahwa manusia dianggap sebagai citra Tuhan, berperilaku dan bertindak haruslah sesuai dengan keinginan Tuhan dan ajaran keagamaan. Pada Abad Pertengahan terjadi pertukaran kebudayaan antara bangsa Timur dengan bangsa Barat. Kebudayaan Arab mewarisi banyak karya Yunani Klasik. Banyak filsuf Arab seperti Ibnu Sina sangat berminat pada ajaran Aristoteles dan ia memberikan dasar ilmu pengetahuan kedokteran kepada Barat. Karya-karya bangsa Yunani, khususnya ajaran Aristoteles, banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh para filsuf Arab, dan dari sanalah para filsuf Barat menerjemahkan dan mempelajarinya serta mengembangkannya ke dalam pemikiran para filsuf Barat. Setelah Abad Pertengahan, muncul Abad Renaissance (X—XVII). Abad ini merupakan abad yang sangat memperhatikan dan berpusat pada “kekuatan” manusia, tidak hanya kekuatan yang bersifat fisik, melainkan kemampuan akal budi manusia. Pengertian Renaissance atau kelahiran kembali diartikan sebagai lahirnya atau dihidupkannya kebudayaan Yunani Kuno dan Roma. Pada awalnya Abad Renaissance ditandai dengan gerakan kesenian, yaitu suatu gerakan yang mencoba menghadirkan karya-karya seni yang bernafaskan atau bergaya Yunani Kuno dan Roma. Berbagai karya seni seperti seni pahat, seni lukis, seni bangun – arsitektur, dan kesusasteraan sangat mewarnai kehidupan bangsa Eropa pada waktu itu. Gerakan kesenian itu disebut juga Gerakan Seni Humanisme (memuncak pada abad XIV), yang pada karya-karya seni itu bercirikan harmonisasi di setiap bidang atau bagian, baik dari struktur, bentuk, ragam hias maupun estetisnya. Ciri lainnya adalah tampilnya nilai-nilai kemanusiaan, karya seni dan manusia dilihat secara alamiah atau natural serta nilai keagungan, yaitu menampilkan karya seni dalam kemegahan dengan membangun bangunan ataupun patung, lukisan yang berukuran besar, tinggi, dan penuh dengan ragam hias/detil yang sangat beragam. Dari gerakan seni humanisme ini manusia Renaissance mulai mengadakan penyelidikan tentang pengetahuan yang mengarah pada kekuatan alam semesta. Timbullah minat untuk menyelidiki ilmu pengetahuan kealaman dengan keinginan yang sangat besar untuk menguak rahasia alam. Alam semesta diamati, dan diselidiki dengan ketelitian yang sangat cermat yang didukung oleh pemikiran yang sangat rasional, bahkan sangat kuantitatif. Inilah awal mula munculnya ilmu fisika, ilmu kimia, ilmu kedokteran, dan biologi. Beberapa tokoh Abad Renaissance seperti Pertrarca, Bocasio, Eramus, Michelangelo, Leonardo da Vinci, Galileo Galilei, Copernicus, dan J. Keppler sangat berperan dalam perkembangan seni dan ilmu pengetahuan kealaman di dunia ini. Abad berikutnya adalah Abad Pencerahan (Aufklaerung) (abad XVIII). Puncak kejayaan bangsa Eropa ditandai dengan hadirnya masa Aufklaerung (yang disebut juga masa Pencerahan atau Fajar Budi). Abad ini merupakan kelanjutan dari masa Renaissance, kemampuan akal budi manusia diaktualisasikan dengan munculnya ilmu pengetahuan kealaman yang didukung oleh berbagai percobaan yang berlandaskan aspek metodologis dan akademis. Faktor akademis yang telah dirintis sejak Abad Renaissance memunculkan kaum intelektual di berbagai universitas di Eropa, yang mencoba menggabungkan unsur teoretis dengan unsur praktis. Mereka berupaya agar ilmu pengetahuan memiliki peran dan berguna bagi orang banyak. Gerakan intelektual berkembang cepat di kawasan Eropa, seperti di Inggris, Perancis, Jerman, dan Belanda. Salah satu sumbangan bagi kemajuan khasanah ilmu pengetahuan adalah munculnya kaum ensiklopedis yang berusaha menyusun pemikiran-pemikiran tentang ilmu pengetahuan, dan kesenian ke dalam sejumlah buku yang kemudian lebih dikenal sebagai ensiklopedi. Salah satu ensiklopedi yang tertua adalah ensiklopedi Britanica. Tokoh yang sangat terkenal dalam bidang fisika adalah Newton, David Hume tokoh Empirisme dari Inggris, serta Voltaire, Montesquieu dan J.J. Rousseau yang berasal dari Prancis, mereka adalah para ahli di bidang kenegaraan dan politik. Setelah masa Aufklaerung, muncul masa pasca-Aufklaerung yang mulai berlangsung pada abad XIX hingga abad XXI ini. Masa ini ditandai oleh kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat pesat. Ilmu filsafat telah berkembang sebagai ilmu filsafat yang otonom, artinya memiliki objek, metode atau pendekatan yang disesuaikan dengan perkembangan ilmu filsafat yang tetap berbasis ke-kritisan-nya dalam menganalisis kajiannya. Sedang ilmu pengetahuan berkembang menjadi tiga kelompok besar, yaitu ilmu pengetahuan kealaman, ilmu budaya, dan ilmu pengetahuan sosial. Ketiga cabang ilmu pengetahuan tersebut berkembang pula sehingga memiliki banyak cabang ilmu. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan manusia, maka pendekatan yang sifatnya kajian lintas ilmu, atau multidisiplin, menyebabkan ilmu pengetahuan satu dengan lainnya saling bekerja sama untuk menghadapi kebutuhan (juga intelektualitas) manusia yang semakin kompleks. Untuk itulah para ilmuwan seakan-akan berlomba menciptakan teknologi baru dalam mengantisipasi arus globalisasi yang semakin cepat. 1.2 PENGERTIAN FILSAFAT Untuk menjawab pertanyaan misalnya, “Apa itu Filsafat?” tidaklah mudah. Lebih mudah menjawab pertanyaan, “Apa itu Antropologi?” atau “Apa itu ilmu kedokteran?” Menjawab pertanyaan itu orang dengan mudah dapat mengatakan bahwa antropologi adalah ilmu yang mengkaji manusia dari aspek budaya, dan ilmu kedokteran adalah ilmu yang mengkaji manusia dari aspek kesehatan. Pertanyaan “Apa itu Filsafat?” mengajak kita untuk menjawabnya secara panjang lebar; kita tidak dapat menjawabnya secara singkat. Mengapa? Pertanyaan itu sendiri–Apa itu filsafat?– sebenarnya telah mengajak kita berfilsafat. Berfilsafat berarti berusaha mengajak orang untuk bertanya. Dalam bertanya orang kadangkala menunjukkan sikap heran, skeptis, atau ragu-ragu terhadap sesuatu yang ditanyakan. Berfilsafat dapat diartikan sebagai upaya orang untuk mengetahui sesuatu dengan metode atau cara atau sikap tertentu. Upaya mengetahui sesuatu harus dianggap sebagai suatu usaha manusia yang terusmenerus untuk menggali sesuatu sampai ke akar-akarnya. Kecenderungan manusia untuk mempertanyakan sesuatu secara terus menerus menyebabkan manusia menjadi lebih kritis, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap sesuatu yang ingin diketahuinya. Oleh karena itu kita menelusuri pengertian filsafat lalu memberikan penjelasan dan merumuskannya secara tepat. Pertama, filsafat dapat diartikan sebagai pengetahuan yang mempelajari berbagai fenomena kehidupan manusia secara kritis. Kedua, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari berbagai pemikiran manusia secara kritis. Ketiga, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari dan mencari hakekat dari berbagai fenomena kehidupan manusia. Keempat, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang bersifat kritis refleksif dalam penyelidikan terhadap objek kajian yang berkaitan dengan aspek ontologis (realitas konkret), aspek epistemologis (kebenaran pengetahuan), dan aksiologis (nilai atau value tentang kebaikan dan keindahan). Secara historis, filsafat berasal dan didasari oleh latar belakang kebudayaan bangsa Yunani. Arti philosophia ataupun filsafat secara etimologis (philos dan sophos) berarti senang atau suka mencari kebijaksanaan ataupun kebenaran. Di masa lalu “kebijaksanaan” ini oleh bangsa Yunani diartikan mencari pengetahuan yang berguna bagi manusia ataupun mencoba mencari suatu kebenaran dalam proses berpikir manusia. Pengetahuan yang bersifat praktis diarahkan misalnya bagaimana menjadi manusia yang sehat, untuk itu olah raga atau olah tubuh sangatlah diminati. Lihat saja bagaimana mula-mula Olimpiade (pertandingan olahraga dunia) itu muncul. Mulanya untuk menjaga agar badan tetap sehat, dikembangkan cara untuk membinanya, seperti misalnya dengan berlari. Mencari kebenaran dalam proses berpikir manusia sudah lama dikenal oleh bangsa Yunani. Sebagai contoh, berdialog adalah upaya mencari kebenaran dalam berkomunikasi. Socrates mengajarkan, dalam berdialog kita harus bersikap aktif, dan dialektis dinamis, dan kita harus seperti seorang bidan yang membantu persalinan seorang ibu (techne maieutike), membantu mengeluarkan segala persoalan yang ada dan untuk itu “yang benar” dan “yang baik” haruslah dijunjung tinggi. Di sisi lain, seiring dengan perkembangan manusia dan kemajuan ilmu pengetahuan maka filsafat dapat dilihat dan dikaji sebagai suatu ilmu (science), yaitu ilmu filsafat. Sebagai ilmu, filsafat haruslah memiliki objek dan metode yang khas dan bahkan dapat dirumuskan secara sistematis. Ilmu filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji seluruh fenomena yang dihadapi manusia secara kritis refleksif, integral, radikal, logis, sistematis, dan universal (semesta). Lalu, apa sebenarnya fenomena manusia itu, apa saja gejala yang terlihat ataupun berada di sekitar manusia? Fenomena tersebut dapat diarahkan pada tema besar pada ilmu filsafat, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Dengan demikian fenomena tersebut sangat berkaitan dengan ketiga tema ilmu filsafat. Tema yang pertama, ontologi, mengkaji tentang keberadaan sesuatu, membahas tentang “ADA” (onta), yang dapat dipahami baik secara konkret, faktual maupun secara epistemologi ataupun metafisis. Yang berkaitan dengan “ADA” misalnya wujud-wujud fisik seperti alam, manusia benda-benda dan wujud yang epistemologi atau konseptual misalnya Tuhan, penyebab pertama, gagasan ataupun idea-idea. Tema yang kedua, epistemologi, membahas tentang pengetahuan (episteme) yang akan dimiliki manusia apabila ia membutuhkannya. Pada dasarnya manusia selalu ingin tahu tentang sesuatu, untuk itulah ia mencarinya dan epistemologi beranjak dari beberapa pertanyaan tentang apa sebenarnya batas-batas pengetahuan itu dan seperti apa? Struktur pengetahuan itu apa? Kebenaran pengetahuan itu apa? Tema yang ketiga, aksiologi, membahas tentang kaidah norma dan nilai yang ada pada manusia. Norma-norma itu berada pada perilaku manusia, berkaitan dengan “yang baik” dan “yang buruk”, yakni bagaimana seharusnya menjadi manusia yang baik, dan ukuran atau norma-norma dan nilai-nilai apa yang mendasarinya. Berbagai pertimbangan atas dasar moral dan etika diberlakukan pada perilaku manusia tentang “yang baik” dan “yang buruk”, sedangkan pengalaman tentang keindahan bagi seseorang menjadi semacam “ukuran” estetika dalam melihat yang indah. Jadi, jelaslah bahwa semua hal yang berkaitan dengan ontologi, epistemologi, dan aksiologi sangat erat dan menjadi sesuatu yang mengakar pada manusia sesuai dengan tingkat perkembangannya secara intelektual. Sebagai suatu ilmu, filsafat memiliki sasaran atau objek untuk dikaji. Objek penelitian filsafat haruslah dilihat dari dua aspek. Aspek pertama adalah objek materi (material), dan aspek kedua adalah objek forma (formal). Objek materi adalah bahan atau sesuatu yang menjadi kajian penelitiannya. Materi atau bahan kajian dapat bersifat sangat umum atau sangat luas sehingga orang belum dapat memfokuskannya secara lebih terperinci. Untuk itulah aspek kedua, yaitu objek forma, berperan. Objek forma adalah fokus perhatian seseorang terhadap objek materi yang dihadapinya atau, dengan kata lain, salah satu aspek atau tema tertentu dalam penelitiannya. Bagi ilmu filsafat, objek forma muncul dalam bentuk disiplin atau cabang ilmu filsafat tertentu. Sebagai contoh, filsafat manusia adalah bentuk forma ilmu filsafat, karena manusia menjadi titik pusat atau fokus perhatian, dan manusia akan dikaji dalam keterkaitan antara tubuh dan jiwa. Contoh yang lain, filsafat ilmu pengetahuan adalah objek forma dari ilmu filsafat karena permasalahan ilmu pengetahuan secara internal (cara kerja ilmiah) dan eksternal (penemuan baru dalam kegiatan ilmiah) menjadi pusat perhatian dari ilmu filsafat dan akan dikaji secara kritis dan filosofis. Bagi ilmu filsafat, metode atau pendekatan terhadap kajiannya sangat penting. Dengan metode yang tepat dan khas, orang diharapkan dapat memahami persoalan filsafat atau problema filosofis dengan lebih baik. Berbagai metode yang sifatnya masih sangat umum dapat membantu orang untuk menjelaskan dan memahami tema-tema filsafat (ontologi, epistemologi, dan aksiologi). Metode-metode itu antara lain adalah metode kritis-refleksif, metode dialektik-dialog (dari Socrates), metode fenomenologis (Husserl), dan metode dialektika (Hegel). Metode kritis refleksif adalah cara untuk memahami suatu objek atau permasalahan dengan melihatnya secara mendalam dan mendasar untuk kemudian merenungkannya kembali. Metode ini membutuhkan proses pemikiran yang terusmenerus sampai seseorang telah menemukan kebenaran atau telah puas dengan apa yang dikajinya. Selama ia masih meragukan dan ingin bertanya tentang sesuatu itu, maka metode kritis refleksif tetap digunakannya. Metode dialektik-dialog dari Socrates adalah cara untuk memahami sesuatu atau objek kajiannya dengan melakukan dialog. Dialog berarti berkomunikasi dengan dua arah; artinya, ada seseorang yang berbicara dan ada orang yang mendengarkan. Dalam pembicaraan yang terus-menerus dan mendalam diharapkan orang dapat menyelesaikan segala problema yang ada. Dialektik berarti proses pemikiran seseorang yang mengalami perkembangan karena mempertemukan antara ide yang satu dengan ide yang lainnya. Tujuan metode dialektik-dialog ini adalah mengembangkan cara berargumentasi di mana posisi yang sifatnya dua arah itu dapat diketahui dan dihadapkan satu dengan yang lainnya. Metode fenomenologi, yang dikemukakan oleh seorang filsuf bernama Edmund Husserl, adalah metode yang digunakan untuk melakukan persepsi (mengetahui dan memahami) terhadap semua fenomena atau gejala yang berada di sekeliling manusia dan untuk kemudian menemukan hakekat (eidos) dari seluruh fenomena itu. Eidos diperoleh dengan cara mereduksi atau menanggalkan semua fenomena yang dianggap tidak relevan dengan keinginan (kesadaran/rasionalitas) sehingga ditemukan fenomena murni. Fenomena murni inilah yang disebut atau dikenal sebagai esensi dari fenomena yang telah ada atau yang semula. Metode yang bersifat dinamis, yaitu pendekatan induktif dan deduktif diperkenalkan oleh seorang filsuf Yunani, Aristoteles. Metode ini mengajak kita bernalar secara dinamis dan logis. Penalaran induktif (mengambil kesimpulan dari yang sifatnya khusus ke yang umum) menawarkan suatu proses dinamis berpikir tentang suatu realitas yang dihadapi sehingga mampu mengambil kesimpulan sangat tepat dari apa yang telah diamati dan dipikirkan. Penalaran deduktif adalah penalaran yang mencoba menarik kesimpulan dari sesuatu yang bersifat umum ke yang khusus. Metode dialektika ala Hegel adalah cara untuk memahami dan memecahkan persoalan atau problema dengan berdasarkan tiga elemen, yaitu tesis, antitesis dan sintesis. Tesis adalah suatu persoalan atau problem tertentu sedang antitesis adalah suatu reaksi atau tanggapan ataupun komentar kritis terhadap tesis (argumen dari tesa) tersebut. Apabila kedua elemen itu saling dihadapkan maka akan muncul sintesis, yaitu kesimpulan. Metode ini bertujuan untuk mengembangkan proses berpikir yang dinamis, dan memecahkan persoalan yang muncul karena adanya argumen yang saling berkontradiksi atau berhadapan itu sehingga dicapai kesepakatan yang rasional sifatnya. 1.3 KEGUNAAN FILSAFAT Suatu pertanyaan yang menggelitik adalah apakah ada manfaat atau faedahnya orang belajar filsafat. Pertanyaan itu hendaknya dijawab dari berbagai sudut pandang. Pertama, filsafat kita dudukkan sebagai sebuah sarana, sebuah kata benda. Dengan melihatnya sebagai sebuah kata benda, maka filsafat muncul berupa suatu tindakan tertentu atau perilaku tertentu dari seseorang yang di dalamnya termuat pandanganpandangan hidup ataupun keyakinannya ataupun ide-ide serta gagasan-gagasan. Dalam keilmuan, filsafat dapat dilihat sebagai sebuah sarana (tools) bagi ilmu pengetahuan untuk memecahkan berbagai problem secara kritis. Oleh karena itu semua orang dapat mempelajarinya dan menggunakannya sebagai tool dalam kegiatan ilmiah. Kedua, filsafat kita lihat sebagai suatu action–meaningfull action—yang dianggap sebagai sebuah kata kerja. Sebagai sebuah kata kerja, maka yang berperan adalah manusia yang sangat aktif mengisi tindakannya atau perilakunya (yang telah dipenuhi pandangan hidup dan ide tertentu) dengan bermakna. Dengan bermakna berarti seseorang harus bekerja keras untuk menyelesaikan segala masalah yang dihadapinya baik secara individual maupun dalam kehidupan bermasyarakat (karena memiliki pandangan tertentu, misalnya sikap arif dan moralitas yang baik). Ia dapat mengaktualisasikan kehidupan bermaknanya dalam bentuk tertentu, misalnya dengan memiliki pekerjaan tertentu, memiliki keluarga, atau memiliki teman secara bertanggungjawab dan bermartabat. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berfilsafat sangatlah erat dengan kehidupan sehari-hari. Untuk itulah kita dapat menentukan faedah apa yang dapat kita peroleh apabila kita belajar filsafat. Faedah pertama, filsafat atau berfilsafat mengajak orang untuk bersikap arif dan berwawasan luas terhadap berbagai problem yang dihadapi manusia sehingga mampu memecahkan problem tersebut dengan cara mengidentifikasinya memudahkannya dalam memperoleh jawaban-jawabannya tersebut. Faedah kedua, berfilsafat dapat membentuk pengalaman kehidupan seseorang secara lebih kreatif atas dasar pandangan hidup, dan ide-ide yang muncul karena keinginannya. Faedah ketiga, filsafat dapat membentuk sikap kritis seseorang dalam menghadapi permasalahan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan ilmiah. BAB II LOGIKA Pada bab ini akan dikaji pengertian dan jenis logika. Logika sangat terkait dengan pengalaman kebahasaan seseorang, yang dilakukan baik secara lisan maupun tertulis. Bagaimana merumuskan sesuatu dengan tepat dan benar diuraikan dalam bagian Definisi. Dibahas juga proposisi dan bentuk proposisi disertai dengan proses penalaran baik secara langsung maupun tidak langsung, dan hukum silogisme. Proses penalaran manusia sering mengalami “kesesatan berpikir” karena adanya pelanggaran terhadap hukum silogisme, karena faktor bahasa, dan karena tidak adanya relevansi antara premis dan kesimpulannya. 2.1 DEFINISI LOGIKA Istilah logika, dari segi etimologis, berasal dari kata Yunani logos yang digunakan dengan beberapa arti, seperti ‘ucapan, bahasa, kata, pengertian, pikiran, akal budi, ilmu’ (Poespoprodjo, 1981: 2). Dari kata logos kemudian diturunkan kata sifat logis yang sudah sangat sering terdengar dalam percakapan kita sehari-hari. Orang berbicara tentang perilaku yang logis sebagai lawan terhadap perilaku yang tidak logis, tentang tata cara yang logis, tentang penjelasan yang logis, tentang jalan pikiran yang logis, dan sejenisnya. Dalam semua kasus itu, kata logis digunakan dalam arti yang kurang lebih sama dengan ‘masuk akal’; singkatnya, segala sesuatu yang sesuai dengan, dan dapat diterima oleh akal sehat. Dengan hanya berdasar kepada arti etimologis itu, apa sebetulnya logika masih belum dapat diketahui. Agar dapat memahami dengan sungguh-sungguh hakekat logika, sudah barang tentu orang harus mempelajarinya. Untuk maksud itu, kiranya tepat kalau, sebagai suatu perkenalan awal, terlebih dahulu dikemukakan di sini sebuah definisi mengenai istilah logika itu. Dalam bukunya Introduction to Logic, Irving M. Copi mendefinisikan logika sebagai suatu studi tentang metode-metode dan prinsip-prinsip yang digunakan dalam membedakan penalaran yang tepat dari penalaran yang tidak tepat (Copi, 1976: 3). Dengan menekankan pengetahuan tentang metode-metode dan prinsip-prinsip, definisi ini hendak menggarisbawahi pengertian logika semata-mata sebagai ilmu. Definisi ini tidak bermaksud mengatakan bahwa seseorang dengan sendirinya mampu bernalar atau berpikir secara tepat jika ia mempelajari logika. Namun, di lain pihak, harus diakui bahwa orang yang telah mempelajari logika–jadi sudah memiliki pengetahuan mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir–mempunyai kemungkinan lebih besar untuk berpikir secara tepat ketimbang orang yang sama sekali tidak pernah berkenalan dengan prinsip-prinsip dasar yang melandasi setiap kegiatan penalaran. Dengan ini hendak dikatakan bahwa suatu studi yang tepat tentang logika tidak hanya memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir tepat, melainkan juga membuat orang yang bersangkutan mampu berpikir sendiri secara tepat dan kemudian mampu membedakan penalaran yang tepat dari penalaran yang tidak tepat. Ini semua menunjukkan bahwa logika tidak hanya merupakan suatu ilmu (science), tetapi juga suatu seni (art). Dengan kata lain, logika tidak hanya menyangkut soal pengetahuan, melainkan juga soal kemampuan atau ketrampilan. Kedua aspek ini berkaitan erat satu sama lain. Pengetahuan mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir harus dimiliki bila seseorang ingin melatih kemampuannya dalam berpikir; sebaliknya, seseorang hanya bisa mengembangkan keterampilannya dalam berpikir bila ia sudah menguasai metode-metode dan prinsipprinsip berpikir. Namun, sebagaimana sudah dikatakan, pengetahuan tentang metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir tidak dengan sendirinya memberikan jaminan bagi seseorang dapat terampil dalam berpikir. Keterampilan berpikir itu harus terus-menerus dilatih dan dikembangkan. Untuk itu, mempelajari logika, khususnya logika formal secara akademis sambil tetap menekuni latihan-latihan secara serius, merupakan jalan paling tepat untuk mengasah dan mempertajam akal budi. Dengan cara ini, seseorang lambatlaun diharapkan mampu berpikir sendiri secara tepat dan, bersamaan dengan itu, mampu pula mengenali setiap bentuk kesesatan berpikir, termasuk kesesatan berpikir yang dilakukannya sendiri. 2.2 JENIS LOGIKA Logika dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa aspek atau sudut pandang. Di antaranya ialah berdasarkan sumber dari mana pengetahuan logika diperoleh, sejarah perkembangan, bentuk dan isi argumen, dan proses atau tata cara penyimpulan. 2.2.1 Sumber Berdasarkan aspek ini kita mengenal adanya dua macam logika, yakni logika alamiah dan logika ilmiah. a) Logika Alamiah Dari nama istilah itu saja sudah tampak apa maksudnya. Setiap manusia, dari kodratnya, memiliki jenis logika ini justru karena ia adalah makhluk rasional. Sebagai makhluk rasional, ia dapat berpikir. Hukum-hukum logika yang dibawa sejak lahir ini memungkinkan manusia dapat bekerja dan bertindak, baik secara spontan maupun disengaja. Dengan perkataan lain, dengan mendasarkan diri pada akal sehat saja, manusia mampu berpikir dan bertindak. Tetapi, hukum-hukum logika ini hanya dapat membantu manusia dalam menghadapi hal-hal keseharian yang bersifat rutin dan sepele. Bila manusia mulai dihadapkan kepada masalah-masalah yang sulit dan kompleks, maka logika alamiah dengan hukum-hukum akal sehatnya sudah tidak dapat diandalkan. Dalam menghadapi masalah-masalah semacam itu manusia dituntut untuk memiliki pengetahuan yang memadai mengenai hukum-hukum, cara-cara, metodemetode bagaimana seharusnya bernalar, sehingga dengan demikian baik proses atau prosedur penalaran maupun kesimpulan yang dihasilkannya betul-betul terjamin kepastiannya. Untuk maksud itulah manusia membutuhkan logika ilmiah. b) Logika Ilmiah Uraian di atas memperlihatkan bahwa kelemahan-kelemahan logika alamiah akan dapat diatasi bila manusia memiliki logika ilmiah. Jenis logika kedua ini mampu membekali manusia dengan prinsip-prinsip, norma-norma, dan teknik-teknik tertentu, yang apabila dipatuhi secara sungguh-sungguh, maka ketepatan proses penalaran beserta keabsahan kesimpulan dapatlah dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, berbeda dengan logika alamiah yang didapat secara kodrati, logika ilmiah justru harus diperoleh dengan mempelajari dan menguasai hukum-hukum penalaran sebagaimana mestinya. Kemudian, dengan menerapkan hukum-hukum tersebut secara terus-menerus, setiap bentuk kekeliruan penalaran dapat dihindari. 2.2.2 Sejarah Perkembangan Ditinjau dari segi pertumbuhan dan perkembangannya, logika biasanya dikenal dalam dua jenis, yakni logika klasik dan logika modern a) Logika Klasik Jenis logika ini merupakan ciptaan Aristoteles (384—322 seb. M), salah seorang filsuf besar yang hidup di zaman Yunani kuno. Dia adalah orang pertama yang melakukan pemikiran sistematis tentang logika. Karena alasan itu, logika ciptaannya itu disebut juga logika Aristoteles atau logika tradisional. Namun demikian, ia sendiri tidak menggunakan istilah logika, melainkan istilah analitika dan dialektika. Dengan analitika dimaksudkan penyelidikan terhadap argumen-argumen yang bertolak dari putusanputusan yang benar; sedangkan dialektika adalah penyelidikan terhadap argumenargumen yang bertolak dari putusan-putusan yang masih diragukan kebenarannya. Bagi Aristoteles logika bukanlah suatu ilmu di antara ilmu-ilmu lain. Hal ini tampak dari organon (yang berarti ‘alat’), judul yang ia berikan kepada kumpulan karangannya tentang logika. Menurut dia, logika merupakan alat untuk mempraktekkan ilmu pengetahuan. Dengan perkataan lain, baginya logika adalah persiapan yang mendahului ilmu-ilmu. Baru kemudian, pada permulaan abad III Masehi, Alexander Aphrodisias mulai menggunakan istilah logika dengan arti seperti yang dikenal sekarang (Bertens, 1979: 135—6). Sampai pertengahan abad ke-19 pembicaraan mengenai logika tetap tidak bergeser dari apa yang sudah ditetapkan Aristoteles dalam logika klasik dan tidak mengalami perubahan sedikit pun. b) Logika Modern Suatu perkembangan baru dalam logika mulai tampak ketika beberapa ahli matematika Inggris, seperti A. de Morgan (1806—1871) dan George Boole (1815— 1864), mencoba menerapkan prinsip matematika ke dalam logika klasik. Dengan menggunakan lambang-lambang nonbahasa atau lambang-lambang matematis, mereka berhasil merintis lahirnya suatu jenis logika lain, yakni logika modern, yang disebut juga logika simbolis atau logika matematis, yang sejak pertengahan Abad ke-19 dibedakan dari logika klasik. 2.2.3 Bentuk dan Isi Argumen Dengan bertolak dari segi bentuk dan isi argumen, logika dapat dibedakan atas logika formal dan logika material. Logika formal membahas masalah bentuk argumen, sedangkan logika material memusatkan perhatiannya pada masalah isi argumen. a) Logika Formal Persoalan mengenai bentuk penalaran, yang menjadi pusat penyelidikan dalam logika formal, tidak lain merupakan persoalan yang menyangkut proses penalaran. Dalam hal ini yang dipertanyakan adalah: apakah proses penalaran (dari premis-premis ke kesimpulan) dalam suatu argumen tertentu tepat atau tidak, lurus atau tidak? Bila ternyata proses penalarannya tepat, maka kesimpulan yang dihasilkan pasti tepat juga. Dalam logika formal, argumen seperti itu disebut argumen yang sahih (valid). Jadi, suatu argumen hanya dapat dikatakan sahih dari segi bentuk bila kesimpulan penalaran tersebut memang diturunkan secara tepat atau lurus dari premis-premisnya atau, dengan kata lain, bila kesimpulan yang ditarik itu sungguh-sungguh merupakan implikasi logis dari premis-premisnya. Selain dari itu, bentuk argumen dikatakan tidak sahih. Jelaslah, bahwa yang memainkan peranan kunci bagi sahih atau tidak sahihnya bentuk suatu penalaran adalah premis-premis yang berfungsi sebagai landasan atau dasar penyimpulan. Dengan demikian, penataan premis-premis yang keliru dengan sendirinya akan berakibat pada kesimpulan yang keliru pula. b) Logika Material Bila logika formal berbicara tentang tepat tidaknya proses penalaran, maka logika material berurusan dengan benar tidaknya proposisi-proposisi yang membentuk suatu argumen. Itu berarti bahwa suatu argumen hanya dapat dikatakan benar dari segi isi bila semua proposisi (premis-premis dan kesimpulan)-nya benar, artinya, semua proposisi itu sesuai dengan kenyataan. Jadi, jika satu saja dari proposisi-proposisi dalam suatu argumen tidak benar, maka argumen tersebut, sebagai satu kesatuan, dari segi isi, dikatakan tidak benar. Dengan demikian, dalam suatu argumen ada dua persoalan yang harus dibedakan secara tegas, yakni kesahihan bentuk dan kebenaran isi. Pemahaman kita mengenai kedua aspek tersebut kiranya dapat dibantu dengan memperhatikan Tabel 1: Bentuk dan Isi Argumen. Tabel 1: Bentuk dan Isi Argumen LOGIKA FORMAL (Bentuk) ARGUMEN LOGIKA MATERIAL (Isi) (1) Semua binatang adalah makhluk hidup. Tidak sahih Semua kucing adalah makhluk hidup. Benar Jadi, semua kucing adalah binatang. (2) Semua binatang mempunyai sayap. Sahih Semua mobil adalah binatang. Tidak benar Jadi, semua mobil mempunyai sayap. (3) Semua binatang mempunyai sayap. Tidak sahih Semua mobil mempunyai sayap. Tidak benar Jadi, semua mobil adalah binatang. (4) Semua binatang adalah makhluk hidup. Sahih Semua kucing adalah binatang. Benar Jadi, semua kucing adalah makhluk hidup. Argumen (1) di atas dari segi isi benar karena semua proposisinya sesuai dengan kenyataan. Tetapi dari segi bentuk, argumen tersebut tidak sahih. Hal itu disebabkan karena kesimpulan "Semua kucing adalah binatang" bukan merupakan implikasi logis dari premis-premisnya. Dengan perkataan lain, kesimpulan "Semua kucing adalah binatang" tidak dapat ditarik berdasarkan fakta bahwa "Semua binatang adalah makhluk hidup" dan bahwa "Semua kucing adalah makhluk hidup". Sebaliknya, argumen (2) dari segi isi tidak benar karena semua proposisinya tidak sesuai dengan kenyataan. Namun, dari segi bentuk, argumen tersebut sungguhsungguh sahih. Atau, dapat dikatakan bahwa proses penalaran yang tampak dari argumen (2) itu betul-betul tepat dan lurus. Mengapa? Karena, kalau saja premispremisnya ("Semua binatang mempunyai sayap" dan "Semua mobil adalah binatang") benar, maka kesimpulan "Semua mobil mempunyai sayap" pasti benar juga. Jadi, proses penarikan kesimpulan dalam argumen itu tepat sekali; kesimpulan itu sungguh-sungguh merupakan implikasi logis dari premis-premisnya. Dari argumen (3) dapat kita lihat bahwa, di samping isinya tidak benar (semua proposisinya tidak sesuai dengan kenyataan), juga bentuknya tidak sahih. Atas dasar premis-premis "Semua binatang mempunyai sayap" dan "Semua mobil mempunyai sayap" tidak dapat kita simpulkan "Semua mobil adalah binatang". Argumen (4) merupakan contoh argumen yang mengandung baik kebenaran isi maupun kesahihan bentuk. Selain proposisi-proposisinya sesuai dengan kenyataan, juga proses penalaran yang tercermin dari argumen tersebut sungguh-sungguh tepat. Perlu pula ditekankan di sini, bahwa dalam konteks ilmu pengetahuan, setiap argumen yang dibangun harus selalu memperhatikan kedua aspek itu bersama-sama. Setiap argumen ilmiah harus selalu memperlihatkan kesahihan bentuk dan kebenaran isi. 2.2.4 Proses Penyimpulan Penyimpulan atau penalaran pada dasarnya merupakan suatu proses. Dalam proses itu akal budi kita bergerak dari suatu pengetahuan lama yang sudah dimiliki, menuju pengetahuan baru yang sebelumnya masih samar-samar. Proses penyimpulan itu dapat menempuh dua jalan, yakni deduksi dan induksi. Jenis-jenis logika yang berbicara mengenai kedua proses penalaran itu, masing-masing disebut logika deduktif dan logika induktif. a). Logika Deduktif Logika deduktif secara khusus memperhatikan penalaran deduktif. Dalam penalaran ini, akal budi bertolak dari pengetahuan lama yang bersifat umum, dan atas dasar itu menyimpulkan suatu pengetahuan baru yang bersifat khusus. Penalaran deduktif ini biasanya terwujud dalam suatu bentuk logis yang disebut silogisme. Silogisme adalah argumen yang terdiri atas tiga proposisi atau pernyataan: proposisi pertama dan kedua (premis-premis) merupakan titik tolak atau landasan penalaran, sedangkan proposisi ketiga (kesimpulan) merupakan tujuan penalaran, yang dihasilkan berdasarkan hubungan yang terjalin antara premis-premisnya. Dengan demikian, hubungan antara premis-premis dan kesimpulan, dengan demikian merupakan hubungan yang tak terpisahkan satu dari yang lain. Tepat tidaknya sifat hubungan tersebut menjadi pusat pengamatan logika deduktif. Itu berarti, setiap argumen deduktif selalu atau sahih atau tidak sahih, dan tugas logika deduktif adalah menjelaskan sifat dari hubungan antara premis-premis dan kesimpulan dalam argumen yang sahih, sehingga dengan itu kita dapat membedakan argumen-argumen yang sahih dari argumen-argumen yang tidak sahih. Dari premis-premis berikut "Semua manusia berakal budi" dan "Cecep adalah manusia" kita dapat menyimpulkan bahwa "Cecep berakal budi". Kesimpulan itu kita turunkan hanya lewat suatu analisis terhadap premis-premisnya tanpa bersandar pada pengamatan inderawi atau observasi empiris mengenai diri Cecep; jadi, apriori sifatnya. Selain itu, lewat analisis juga, kita menemukan bahwa kesimpulan "Cecep berakal budi" merupakan konsekuensi yang sudah langsung terkandung di dalam premis-premisnya; artinya, premis-premis "Semua manusia berakal budi" dan "Cecep adalah manusia" terhubungkan sedemikian rupa sehingga "Cecep berakal budi" sungguh-sungguh sudah tersirat di dalamnya. Dengan demikian, setiap argumen deduktif senantiasa memiliki tiga ciri khas. Pertama, analitis; artinya kesimpulan ditarik hanya dengan menganalisa proposisi-proposisi atau premis-premis yang sudah ada. Kedua, tautologis; artinya, kesimpulan yang ditarik sesungguhnya secara tersirat (implisit) sudah terkandung dalam premis-premisnya, ketiga, apriori; artinya, kesimpulan ditarik tanpa berdasarkan pengamatan inderawi atau observasi empiris. Ciri-ciri tersebut memungkinkan setiap argumen deduktif selalu dapat dinilai sahih atau tidak sahih. Oleh karena itu, suatu argumen deduktif yang sahih dengan sendirinya juga menghasilkan kesimpulan yang mengandung nilai kepastian mutlak. b) Logika Induktif Jenis logika ini berurusan dengan penalaran induktif. Tidak seperti dalam penalaran deduktif, dalam penalaran induktif, akal budi justru beranjak dari pengetahuan lama mengenai sejumlah kasus sejenis yang bersifat khusus, individual, dan konkret yang ditemukan dalam pengalaman inderawi, dan atas dasar itu menyimpulkan pengetahuan baru yang bersifat umum. Misalnya, observasi empiris terhadap sejumlah orang Jawa dari berbagai profesi dan latar belakang pendidikan, ternyata berturut-turut memperlihatkan hasil yang sama pula, yakni suka minum jamu. Bila hasil observasi itu dituangkan dalam argumen induktif, maka bentuknya akan tampak seperti dalam Tabel 2: Argumen Induktif. Tabel 2: Argumen Induktif ARGUMEN INDUKTIF (A) (B) Fauzi (orang Jawa, pengusaha) suka minum jamu. Fauzi (orang Jawa, pengusaha) suka minum jamu. Sutrisno (orang Jawa, anggota DPR) suka minum jamu. Sutrisno (orang Jawa, anggota DPR) suka minum jamu. Shinta (orang Jawa, penyiarTV) suka minum jamu. Shinta (orang Jawa, penyiar TV) suka minum jamu. Jadi, semua orang Jawa suka minum jamu. Bachtiar (orang Jawa, pesulap) suka minum jamu. Fadillah (orang Jawa, tukang baso) suka minum jamu. Dewi (orang Jawa, pedangdut) suka minum jamu. Jadi, semua orang Jawa suka minum jamu Dari kedua contoh argumen induktif—masing-masing (A) dan (B)—di atas tampaklah bahwa kesimpulan-kesimpulannya merupakan generalisasi karena kesimpulan-kesimpulan tersebut menyebutkan kasus yang lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan jumlah kasus yang disebutkan dalam premis-premisnya. Dalam hal seperti ini selalu ada bahaya bahwa orang melakukan generalisasi tergesa-gesa; artinya, terlalu cepat menarik kesimpulan yang berlaku umum, sedangkan jumlah kasus yang digunakan sebagai landasan dalam premis-premis tidak atau kurang memadai. Untuk itu orang harus mempelajari ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalam suatu penelitian ilmiah agar kesimpulan yang berupa generalisasi tersebut dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya. Kedua contoh argumen di atas juga memperlihatkan bahwa kesimpulankesimpulannya berbentuk sintesis atau penggabungan dari kasus-kasus yang digunakan sebagai titik tolak penalaran. Karena itu, penalaran induktif sering disebut juga penalaran sintetis. Selain itu, karena kasus-kasus yang menjadi titik tolak argumen induktif merupakan hasil pengamatan inderawi, maka argumen induktif selalu bersifat a posteriori. Atas dasar itu, setiap argumen induktif selalu memiliki tiga ciri khas. Pertama, sintetis; artinya, kesimpulan ditarik dengan jalan menyintesakan atau menggabungkan kasus-kasus yang terdapat dalam premis-premis. Kedua, general artinya kesimpulan yang ditarik selalu meliputi jumlah kasus yang lebih banyak atau yang lebih umum sifatnya ketimbang jumlah kasus yang terhimpun dalam premis-premis. Ketiga, aposteriori; artinya, kasus-kasus konkret yang dijadikan landasan atau titik tolak argumen selalu merupakan buah hasil pengamatan inderawi. Ciri-ciri yang demikian itu menyebabkan setiap argumen induktif tidak dapat dikatakan sahih atau tidak sahih, dan kerena itu kesimpulannya pun tidak mungkin mengandung nilai kepastian mutlak. Suatu argumen induktif hanya dapat dinilai lebih baik atau kurang baik, tergantung seberapa besar (tinggi) derajat kebolehjadian (probabilitas) yang diberikan premis-premis kepada kesimpulannya. Itu berarti, semakin banyak kasus sejenis yang dijadikan landasan argumen (alasannya memadai), semakin besar (tinggi) probabilitas kesimpulannya. Dan, semakin besar (tinggi) probabilitas kesimpulan suatu argumen induktif, semakin baik argumen yang bersangkutan. Sebaliknya, semakin sedikit (kurang) kasus sejenis yang digunakan sebagai titik tolak argumen (alasannya kurang memadai), semakin kecil (rendah) probabilitas kesimpulannya. Dan, semakin kecil (rendah) probabilitas kesimpulan suatu argumen induktif, semakin kurang baik argumen induktif yang bersangkutan. Dengan demikian, mengenai kedua contoh argumen induktif di atas, harus dikatakan bahwa argumen (A) kurang baik jika dibandingkan dengan argumen (B), atau sebaliknya, argumen (B) lebih baik daripada argumen (A). Dari uraian di atas jelaslah bahwa hanya dalam logika deduktif formal diperhatikan tepat tidaknya sifat hubungan antara premis-premis dan kesimpulan dan dengan demikian hanya dalam lingkup logika deduktif formallah, suatu penalaran atau argumen dapat dikatakan sahih atau tidak sahih. Dengan kata lain, perbincangan tentang tepat tidaknya atau logis tidaknya suatu penalaran hanya dapat dilakukan dalam konteks logika deduktif formal. Atas dasar itu, bila dalam pembahasan selanjutnya dalam buku ajar ini diuraikan tentang kaidah-kaidah berpikir tepat dan logis, maka yang dimaksudkan adalah penalaran deduktif formal sedangkan penalaran induktif tidak akan dibicarakan 2.3 KAIDAH-KAIDAH BERPIKIR TEPAT DAN LOGIS Berpikir sebagai kegiatan akal budi pada inti pokoknya mengandung unsur yang harus dipelajari satu demi satu. Dengan kata lain, keseluruhan kegiatan akal budi dapat dibedakan dalam tiga tahap yang masing-masingnya memiliki prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah tersendiri namun tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Ketiga unsur pemikiran atau ketiga tahap kegiatan akal budi tersebut dapat disimak dalam Tabel 3: Unsur-unsur Penalaran.. Tabel 3: Unsur-unsur Penalaran (Tahap-tahap Kegiatan Akal Budi) Aspek Mental (1) Pengertian (Concept) (2) Putusan (Judgment) (3) Penyimpulan (Reasoning) Aspek Ekspresi Verbal (1) Term (Term) (2) Proposisi (Proposition) (3) Silogisme (Syllogism) 2.3.1 Term a) Term dan Kata Dari Tabel 3: Unsur-unsur Penalaran terlihat bahwa term selalu merupakan ungkapan lahiriah atas suatu pengertian. Sebagai ungkapan lahiriah dari pengertian, term dapat terdiri dari satu kata atau lebih. Jadi, dengan term dimaksudkan kata atau kelompok kata yang merupakan ungkapan lahiriah dari pengertian. Kata-kata seperti meja, kursi, buku, mahasiswa, dan jembatan layang, masing-masing disebut term karena merupakan ekspresi verbal dari pengertian-pengertian ‘meja’, ‘kursi’, ‘buku’, ‘mahasiswa’, dan ‘jembatan layang’. Sebagai ekspresi verbal dari suatu pengertian tertentu, apabila diletakkan dalam proposisi, maka term itu akan berfungsi sebagai subjek atau predikat. Dengan demikian, dalam konteks proposisi, term dapat didefinisikan sebagai bagian dari proposisi (satu kata atau lebih) yang berfungsi sebagai subjek atau predikat. Kata manusia adalah sebuah term karena mewakili pengertian ‘manusia’ dan kata makhluk hidup adalah juga sebuah term karena mewakili pengertian ‘makhluk hidup’. Apabila kata-kata itu dihubungkan satu sama lain dalam proposisi menjadi “Manusia adalah makhluk hidup”, maka manusia berfungsi sebagai term subjek, sedangkan makhluk hidup berfungsi sebagai term predikat. Sebagai bagian dari proposisi, baik term subjek maupun term predikat dapat saja terdiri atas sejumlah kata. Namun keseluruhan kata itu tetap membentuk satu pengertian saja. Karena itu, dalam proposisi “Pria berkebangsaan Lybia yang menjadi otak pembajakan pesawat Boeing 727 milik maskapai penerbangan Hongkong itu bermaksud memaksa pilot untuk menerbangkan pesawat menuju Kuwait”, maka term subjeknya adalah “pria berkebangsaan Lybia yang menjadi otak pembajakan pesawat Boeing 727 milik maskapai penerbangan Hongkong itu”, sedangkan “bermaksud memaksa pilot untuk menerbangkan pesawat menuju Kuwait” maka adalah term predikat. Dari uraian di atas jelaslah bahwa setiap proposisi, betapapun sederhananya, harus selalu terdiri atas dua bagian saja, yaitu term subjek dan term predikat; tidak ada keterangan subjek, keterangan predikat, objek, atau pun keterangan-keterangan lainnya sebagaimana lazimnya ditemukan dalam tata bahasa. Kesatuan antara term subjek dan term predikat merupakan syarat mutlak bagi terbentuknya proposisi karena hanya dengan itulah bisa tampak unsur pengakuan atau pengingkarannya, dan dengan demikian dapat ditentukan pula benar atau salah. b) Klasifikasi Term Dalam logika, term dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa aspek, yaitu: berdasarkan jumlah kata, luas, sifat, dan penggunaan arti. 1) Berdasarkan jumlah kata Ditinjau dari segi jumlah kata, term dapat dikelompokkan atas dua macam, yaitu term tunggal dan term majemuk. (a) Term tunggal adalah term yang terdiri atas satu kata saja, misalnya: manusia, binatang, rumah, gunung, dan pohon. (b) Term majemuk adalah term yang terdiri atas dua kata atau lebih (beberapa kata), misalnya kantor pos, rumah makan, jalan raya, arena balap sepeda, dan toko serba ada. 2) Berdasarkan luas Dari segi luas, term dapat dikenal dalam tiga jenis, yaitu term singular, term partikular, dan term universal. (a) Term singular adalah term yang dengan tegas menunjukkan satu benda, satu individu, atau satu realitas tertentu, misalnya Pak Amir, Jawa, Gunung Merapi, gadis tercantik di desa ini, dan danau itu. (b) Term partikular adalah term yang menunjukkan hanya sebagian dari seluruh luasnya; sekurang-kurangnya satu, dan yang satu itu tidak tertentu. Misalnya beberapa gedung, banyak pengunjung, tidak semua peserta, seorang pelajar, dan sebuah mangga. (c) Term universal adalah term yang menunjukkan seluruh luasnya tanpa ada yang dikecualikan, misalnya semua dokter, tak seekor pun, dan tak ada orang Jawa. 3) Berdasarkan sifat Menurut sifatnya, term dapat dibedakan atas dua macam, yaitu term distributif dan term kolektif. (a) Term distributif Suatu term disebut term distributif apabila pengertian yang terkandung dalam term itu dapat dikenakan kepada semua anggota atau individu yang tercakup di dalamnya, satu demi satu tanpa kecuali. Term manusia, misalnya. bersifat distributif sejauh pengertian ‘manusia’ itu terkena pada setiap individu atau siapa saja (Anton, Clara, Lina, Peter, Suzy, Lina, dan lain-lain) yang berada dalam lingkup pengertian ‘manusia’. Begitu juga term binatang. Term ini bersifat distributif karena mengandung pengertian yang dapat diterapkan pada setiap individu atau apa saja (kambing, kuda, sapi, ular, bebek, buaya ular, dan lain-lain) yang bernaung dalam lingkup pengertian ‘binatang’. Bila term distributif itu menduduki posisi sebagai term subjek dalam proposisi, maka untuk menentukan luasnya perlu diingat pedoman berikut: term subjek yang bersifat distributif, sejauh berdiri sendiri dan tidak didahului atau diikuti kata-kata yang menunjuk pada kuantitas, luasnya bisa universal dan dapat juga partikular; jadi, tergantung konteksnya. Perhatikanlah contoh berikut. (1) Manusia dapat khilaf. (2) Ikan hidup di air. (3) Ular itu binatang melata. Ketiga proposisi di atas (1—3), secara berturut-turut memiliki term subjek yang bersifat distributif (manusia. ikan, ular), yang masing-masing dalam konteksnya, harus dipahami dalam luas universal. Amati pula contoh lain berikut. (4) Orang Batak pandai menyanyi. (5) Wanita Solo senang memakai kebaya. (6) Petani Jawa ulet dalam bekerja. Ketiga proposisi di atas (4—6) secara berturut-turut rnemiliki term subjek yang bersifat distributif (orang Batak, wanita Solo, petani Jawa), yang masingmasing, dalam konteksnya, tidak dapat dipahami dalam luas universal, melainkan partikular. (b) Term kolektif Suatu term disebut term kolektif apabila pengertian yang terkandung di dalamnya, tidak dapat dikenakan kepada anggota-anggota atau individuindividu yang tercakup di dalamnya satu demi satu, melainkan kepada kelompok sebagai suatu keseluruhan. Term keluarga, misalnya, bersifat kolektif karena pengertian ‘keluarga’ tidak menunjuk pada anggota-anggota atau individu-individu yang berada dalam lingkup pengertian ‘keluarga’, melainkan pada keluarga itu sendiri sebagai satu kesatuan kelompok atau komponen. Jadi, yang dikenai pengertian 'keluarga' bukanlah individu-individu dalam keluarga itu, melainkan komponennya. Di samping term keluarga, masih terdapat sejumlah term lain yang bersifat kolektif, seperti: bangsa, masyarakat, divisi, korps, rombongan, orkes, pasukan, armada, tim, partai, suku, dan kesebelasan. Apabila term kolektif itu menempati posisi sebagai term subjek dalam suatu proposisi, maka untuk menentukan luasnya perlu digunakan pedoman berikut. (1) Bila term subjek terdiri atas satu term kolektif yang berdiri sendiri tanpa didahului atau diikuti kata-kata yang menunjuk pada kuantitas, maka luasnya selalu universal. Contoh: a) Kesebelasan adalah nama regu dalam olahraga sepakbola. (dikenakan kepada semua kesebelasan). b) Keluarga mempunyai peranan penting dalam pendidikan generasi muda. (dikenakan kepada semua keluarga). c) Orkes sangat membutuhkan kekompakan. (dikenakan kepada semua orkes). (2) Bila term subjek yang bersifat kolektif itu secara tegas menunjuk pada satu kelompok atau satu komponen tertentu, maka luasnya adalah singular. Contoh: a) Keluarga Pak Lukman sedang berlibur ke luar negeri. (menunjuk pada satu keluarga tertentu). b) Tim terkuat dalam turnamen basket kali ini adalah tim "Garuda". (menunjuk pada satu tim tertentu). c) Pasukan itu berhasil menghalau para pengacau. (menunjuk pada satu pasukan tertentu) 4) Berdasarkan penggunaan arti Suatu term atau kata dapat digunakan dalam tiga macam arti, yaitu dalam arti univok, ekuivok, dan analog. (a) Univok Suatu kata digunakan dalam arti univok bila kata tersebut digunakan untuk dua hal (realitas) atau lebih dalam satu arti yang sama, Perhatikanlah bahwa pasangan kata yang digarisbawahi dalam masing-masing contoh kalimat di bawah ini memiliki satu arti yang sama. 1) Buku pelajaran lebih mahal harganya daripada buku novel. 2) Wajah puteri itu mirip benar dengan wajah ibunya. 3) Ditinjau dari segi martabatnya sebagai manusia, orang kota tidak berbeda dengan orang desa. (b) Ekuivok Suatu kata digunakan dalam arti ekuivok bila dengan kata tersebut dimaksudkan dua hal (realitas) yang sama sekali berbeda atau berlainan. Amatilah contoh berikut ini. 1) Kata orang, bisa ular kobra bisa diramu sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit reumatik. 2) Informasi yang saya peroleh memang masih kabur tetapi tampaknya narapidana kelas kakap itu sudah berhasil kabur dari penjara. 3) Menurut hemat saya, cara hidup hemat merupakan cara hidup yang paling cocok dalam situasi krisis moneter dewasa ini. (c) Analog Suatu kata digunakan dalam arti analog bila kata tersebut digunakan untuk dua hal (realitas) dalam arti yang sama tetapi sekaligus berbeda. Kata-kata dalam arti analog ini biasanya digunakan bila orang ingin memperlihatkan kemiripan antara dua hal (analogi berarti relasi kemiripan antara dua hal) dan itu terjadi bila orang ingin membuat perbandingan antara satu hal dengan hal lainnya. Analogi itu bisa dilakukan ke arah bawah (analogi - ke arah - bawah) yaitu dari manusia ke taraf bawah manusiawi atau ke arah atas (analogi-ke arah-atas) yaitu dari manusia ke taraf Tuhan (Bertens, 1987: 128—131). Sering kali analogi atau perbandingan itu ditampilkan dalam bentuk kiasan (metafor). Perhatikanlah bahwa pasangan kata yang digarisbawahi dalam masing-masing contoh kalimat berikut ini digunakan dalam arti analog. (1) Getaran dawai dan alat musik yang dimainkan penyanyi itu benar-benar mencerminkan getaran jiwanya sendiri. (2) Kobaran api yang menghanguskan benteng pertahanan mereka membuat kobaran semangat para gerilyawan untuk terus berjuang semakin menjadijadi. (3) Senyuman bulan itu mirip benar dengan senyuman gadis desa. Setelah memperoleh pemahaman yang baik tentang term, langkah berikut yang harus dilakukan seseorang pada taraf awal dalam menekuni logika adalah menyusun definisi agar dapat terhindar dari kekacauan pemahaman mengenai arti sebuah term. Langkah ini pun hanya dapat dilalui secara mulus apabila yang bersangkutan menguasai sungguh-sungguh isi dan luas pengertian dari term yang hendak didefinisikan dengan terlebih dahulu mempelajari secara mendalam sub-tema seputar klasifikasi, baik menyangkut jenis maupun hukum-hukum yang melandasinya (Hayon, 2005: 40—46). 2.3.2 Definisi a) Pengertian Definisi Kata definisi berasal dari bahasa Latin definire yang berarti ‘membatasi atau mengurung dalam batas-batas tertentu’. Dalam rangka kegiatan ilmiah, definisi selalu dihubungkan dengan suatu konsep atau suatu istilah tertentu yang hendak dijelaskan artinya. Jadi, definisi secara sederhana dipahami sebagai penentuan batas pengertian bagi sebuah istilah. Penentuan batas itu sedapat mungkin dilakukan secara singkat, jelas, tepat, padat, dan lengkap sehingga konsep atau term yang hendak dirumuskan itu dapat dimengerti secara jelas pula. Dengan demikian, definisi berarti penentuan batas pengertian sebuah istilah atau konsep secara singkat, tepat,jelas, padat, dan lengkap sehingga istilah yang hendak dirumuskan itu dapat dimengerti secara jelas dan dapat dibedakan dari istilah-istilah yang lain. Dari definisi tentang definisi di atas terungkap bahwa, di satu pihak, suatu definisi yang baik haruslah berupa rumusan yang singkat, tepat, jelas, padat, dan lengkap yang mencakup semua elemen yang terkandung dalam konsep yang didefinisikan dan, di lain pihak, definisi itu harus juga mampu memperlihatkan perbedaan antara konsep yang hendak dijelaskan itu dengan konsep lainnya. Pendefinisian secara singkat, tepat, jelas, padat, dan lengkap ini sangat penting artinya dalam kegiatan ilmiah karena dengan itu kemungkinan akan terjadinya kesimpangsiuran pandangan serta kesalahpahaman mengenai sebuah konsep dapat dihindari. Kerancuan pemahaman akan sangat sulit diatasi bila sejak awal suatu pembicaraan atau tulisan ilmiah tidak terlebih dahulu dikemukakan apa yang dimaksud dengan sebuah konsep. Dalam sebuah definisi selalu terkandung dua unsur, yaitu hal atau simbol yang hendak didefinisikan (lazim disebut definiendum), dan hal atau (kumpulan) simbol yang digunakan untuk menjelaskan arti definiendum (lazim disebut definiens). Dengan rumusan lain, definiendum adalah istilah yang hendak dijelaskan artinya, sedangkan definiens adalah perumusan atau penjelasan yang diberikan. b) Aturan Definisi Penyusunan definisi yang benar sudah barang tentu harus mengikuti sejumlah aturan. Dalam tradisi ditetapkan lima aturan yang harus diperhatikan dalam membentuk definisi yang benar. Satu per satu aturan-aturan itu akan diuraikan di bawah ini. 1) Definiens harus dapat dibolak-balikkan dengan definiendum. Aturan ini mengandaikan bahwa luas definiens dan definiendum harus sama besar. Perbedaan dalam luas mengakibatkan kedua unsur itu tidak dapat dipertukarkan tempatnya. Karena itu, mendefinisikan sepatu sebagai ‘sesuatu yang digunakan sebagai alas kaki’ tentu saja tidak tepat sebab luas pengertian ‘sesuatu yang digunakan sebagai alas kaki’ (definiens) lebih besar daripada luas pengertian sepatu (definiendum). Pembalikan tempat definiens dan definiendum ini merupakan cara pengujian yang sangat efektif untuk meneliti tepat-tidaknya sebuah definisi. 2) Definiendum tidak boleh masuk ke dalam definiens. Aturan ini mengingatkan kita kembali bahwa definisi pada hakekatnya merupakan pembatasan pengertian terhadap suatu istilah atau term yang dilakukan dengan tujuan agar istilah tersebut dapat dipahami artinya secara jelas dan dapat dibedakan dari istilah-istilah lain. Karena itu, masuknya definiendum ke dalam definiens, entah secara eksplisit atau implisit, sebetulnya hanya akan membuat definisi bergerak melingkar (sirkular) atau berputar-putar untuk itu akhirnya kembali lagi pada titik persoalan semula, dan dengan demikian definisi tersebut tidak menjelaskan apa-apa. Ambillah contoh, bila seseorang mendefinisikan logika sebagai 'ilmu yang mempelajari aturan-aturan logika' atau ‘ilmu yang mengkaji aturan-aturan agar dapat berpikir logis’, maka bagi mereka yang ingin mengetahui apa sebetulnya "logika" itu, definisi tersebut tidak memberikan manfaat sedikit pun karena persoalan mengenai logika tetap tak terjawab. 3) Definiens harus sungguh-sungguh menjelaskan. Aturan ini pun menegaskan bahwa setiap definisi yang baik harus selalu berusaha agar istilah atau term yang didefinisikan betul-betul dipahami secara jelas. Untuk maksud itu penggunaan kata-kata dalam definiens yang bersifat ambigu, tidak jelas atau mengandung kiasan sedapat mungkin dihindari karena penggunaan kata-kata semacam itu akan berakibat pada timbulnya kerancuan atau salah pengertian terhadap definiendum-nya. Jadi, mendefinisikan advokat sebagai ‘orang yang membela penjahat-penjahat’ sudah tentu akan menimbulkan salah pengertian. Selain itu, dengan hanya menyebutkan contoh pun sesuatu definiens belum terumuskan secara jelas, meskipun dari segi tertentu pemberian contoh memang bermanfaat untuk membantu pemahaman yang lebih baik mengenai suatu istilah. Sebagai contoh, janganlah mendefinisikan alat tulis dengan ‘misalnya bolpoin, pen, kapur tulis, spidol, atau kertas.’ 4) Definiens harus bersifat paralel dengan definiendum. Maksud aturan ini ialah bahwa definiens harus mengandung perumusan yang tepat tentang definiendum. Secara lebih tegas dapat dikatakan bahwa definiens harus diawali dengan kata atau term yang sama strukturnya dengan definiendum. Jadi janganlah misalnya, definiens dimulai dengan sebuah kata yang strukturnya adalah kata benda, padahal definiendum-nya berstruktur kata sifat, atau sebaliknya. Ambillah contoh, jujur adalah ‘orang yang bertutur atau bertindak sesuai dengan suara hatinya’. Kiranya tak ada yang menyangkal bahwa jujur merupakan sifat yang terdapat pada manusia (orang) dan hanya manusia (orang) memiliki sifat jujur, tetapi definisi itu tidak dapat dibenarkan karena jujur bukanlah orang, dan orang bukanlah jujur. Kedua kata atau term itu berbeda strukturnya. Yang satu (jujur) dalam definiendum berstruktur kata sifat, sedangkan yang lain (orang) dalam definiens berstruktur kata benda. 5) Definiens tidak boleh berbentuk negatif, sejauh masih dapat dirumuskan secara afirmatif. Penetapan aturan kelima ini berdasarkan alasan bahwa suatu definisi disebut definisi yang benar bila definiens-nya mampu mengungkapkan apa sebenarnya makna dari definiendum-nya. Dengan kata lain, tujuan setiap definisi yang benar hanya mungkin dapat tercapai bila apa yang merupakan hakekat definiendum terungkap dalam definiens-nya. Dalam definisi di mana definiens-nya berbentuk negatif, tujuan tersebut tidak tercapai karena hakekat definiendum tidak terungkap. Jadi, orang yang mendefinisikan sepak bola, sebagai, misalnya, ‘sejenis olahraga yang tidak dimainkan dengan menggunakan tangan’, tidak menerangkan apa-apa mengenai sepak bola. Namun demikian, ada istilah-istilah atau term-term tertentu yang mau tidak mau dirumuskan secara negatif karena tidak ada kemungkinan merumuskannya secara afirmatif. Hal ini berlaku antara lain pada realitas-realitas yang sebenarnya bukanlah merupakan realitas-realitas yang positif. Sebagai contoh, "Lumpuh adalah tidak dapat berjalan". Definisi ini benar meskipun definiens-nya berbentuk negatif. Alasannya ialah karena "tidak dapat berjalan" (definiens) sudah mengungkapkan apa sebenarnya makna dari lumpuh (definiendum). Dengan kata lain, "tidak dapat berjalan" sesungguhnya merupakan hakekat dari lumpuh. 2.3.3 Proposisi a) Apa Itu Proposisi Bila term merupakan ekspresi verbal dari pengertian, maka proposisi merupakan ungkapan lahiriah dari putusan. Sebagai ungkapan lahiriah dari putusan, proposisi selalu terdiri atas rangkaian term-term yang berfungsi sebagai subjek atau predikat. Hubungan antara term subjek dan term predikat ini senantiasa berbentuk pengakuan atau pengingkaran semata tentang sesuatu yang lain. Maka, proposisi dapat dirumuskan sebagai pernyataan yang di dalamnya manusia mengakui atau mengingkari sesuatu tentang sesuatu yang lain. b) Unsur-unsur proposisi Proposisi terdiri atas term subjek, term predikat, dan kopula. 1) Term subjek ialah sesuatu yang tentangnya pengakuan atau pengingkaran ditujukan. 2) Term predikat ialah sesuatu yang diakui atau diingkari tentang term subjek. 3) Kopula ialah penghubung antara term subjek dan term predikat, yang sekaligus memberi bentuk (pengakuan atau pengingkaran) pada hubungan tersebut. Perlu diketahui bahwa ketiga unsur tersebut hanya terdapat di dalam proposisi kategoris standar. Adapun sebuah proposisi disebut proposisi kategoris jika apa yang menjadi term predikat diakui atau diingkari secara mutlak (tanpa syarat) tentang apa yang menjadi term subjek. Proposisi “Ayah membaca surat kabar” merupakan proposisi kategoris karena membaca surat kabar (term predikat) diakui tanpa syarat tentang ayah (term subjek). Begitu pula proposisi “Emilia tidak lulus ujian” tergolong proposisi kategoris karena lulus ujian (term predikat) diingkari secara mutlak tentang Emilia (term subjek). Sementara itu, sebuah proposisi kategoris hanya dapat disebut standar jika proposisi kategoris itu memenuhi dua syarat: pertama, ketiga unsurnya (term subjek, term predikat, dan kopula) dinyatakan secara eksplisit; dan kedua, term subjek dan term predikat sama-sama berstruktur kata benda. Oleh karena itu "Lydia cantik" bukanlah sebuah proposisi kategoris standar. Itu adalah sebuah sebuah proposisi kategoris non-standar karena di samping kopulanya tidak dinyatakan secara eksplisit, juga term subjek dan term predikat dari proposisi tersebut berbeda strukturnya: Lydia (term subjek) berstruktur kata benda, sedangkan cantik (term predikat) berstruktur kata sifat. Jika proposisi kategoris ini dijadikan standar, maka bentuknya harus menjadi "Lydia adalah wanita yang cantik". Proposisi kategoris (standar atau non-standar), dalam bahasa, selalu berbentuk kalimat berita. Dengan demikian, mudah dimengerti mengapa setiap proposisi (kategoris) selalu berupa kalimat, tetapi tidak setiap kalimat disebut proposisi. Dalam logika, sebuah kalimat hanya dapat disebut proposisi bila memenuhi ciriciri berikut: (1) mengandung term subjek dan term predikat yang dihubungkan dalam sebuah pernyataan; (2) mengandung sifat pengakuan atau pengingkaran; dan (3) mengandung nilai benar atau salah Ciri pertama merupakan ciri pokok. Jika sebuah kalimat sudah memenuhi ciri pertama, maka secara otomatis juga akan memenuhi kedua ciri berikutnya. Ambillah contoh kalimat ”Kampus Universitas Indonesia terletak di wilayah Depok”. Ini adalah proposisi karena memiliki term subjek “Kampus Universitas Indonesia” dan term predikat “terletak di wilayah Depok” (ciri pertama); memiliki sifat pengakuan (ciri kedua) karena “terletak di wilayah Depok” diakui tentang ”Kampus Universitas Indonesia”; dan, akhirnya, dapat ditentukan bahwa memang benarlah demikian (ciri ketiga). Jadi, sebuah proposisi, bagaimanapun sederhananya, harus memiliki dua unsur pokok, yakni term subjek dan term predikat. Perlu diingatkan kembali bahwa dalam logika tidak dikenal adanya objek, keterangan subjek, keterangan predikat atau keterangan-keterangan lainnya sebagaimana lazimnya ditemukan dalam tata bahasa. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah tersebut maka jenis kalimat non-berita, seperti kalimat seru, kalimat perintah, dan kalimat tanya seperti contoh berikut (1) “Oh, Tuhan! Mengapa bencana ini hanya terjadi pada keluarga saya?” (2) “Segera tinggalkan tempat ini!” (3) “Di mana ayahmu bekerja?” (4) “Selamat Hari Ulang Tahun, Adi. Semoga panjang umur.” tidak dapat disebut proposisi. Kecuali itu, dalam kehidupan sehari-hari, sering kita mendengar atau membaca kalimat-kalimat yang meskipun mengandung berita atau pernyataan yang maknanya dapat dipahami namun karena tidak memiliki term subjek dikategorikan sebagai proposisi yang tidak logis. Di bawah ini dikemukakan beberapa contoh. (1) (2) (3) (4) (5) Di sini menerima jahitan pakaian pria dan wanita. Dari pihak keluarga korban mengharapkan agar kepolisian segera mengungkap kasus pembunuhan ini. Untuk tiga orang pemenang masing-masing akan mendapatkan hadiah Rp500.000,00. Bagi mahasiswa yang mengambil mata kuliah MPKT harap berkumpul di aula. Dengan dinaikkannya tunjangan transport diharapkan akan meningkatkan semangat kerja para karyawan. Sebenarnya, di dalam logika masih ada jenis proposisi lain di mana term predikat mengakui atau mengingkari term subjek dengan suatu syarat (tidak secara mutlak) yang disebut proposisi hipotetis. Jenis proposisi ini tidak dibahas dalam buku ajar ini; yang dibicarakan hanyalah proposisi kategoris. c) Klasifikasi Proposisi Kategoris Proposisi kategoris dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa aspek, yakni aspek kuantitas, kualitas serta kuantitas dan kualitas. 1) Kuantitas proposisi Kuantitas sebuah proposisi kategoris ditentukan oleh luas term subjeknya. Karena luas suatu pengertian dapat berupa singular, partikular, dan universal, maka proposisi kategoris, berdasarkan kuantitasnya, dapat dibedakan atas proposisi singular, proposisi partikular, dan proposisi universal. (a) Proposisi singular adalah proposisi yang luas term subjeknya singular. Artinya, pengertian term subjek itu menunjuk hanya kepada satu hal, benda, atau individu ter- tentu. Misalnya, “Gedung baru itu berlantai dua belas”. (b) Proposisi partikular adalah proposisi yang luas term subjeknya partikular. Artinya pengertian term subjek itu tidak menunjuk kepada keseluruhan luasnya, melainkan hanya sebagian atau paling kurang satu, namun yang satu itu tidak tentu yang mana. Misalnya, “Tidak semua binatang dapat dijinakkan”. (c) Proposisi universal adalah proposisi yang luas term subjeknya universal. Artinya, pengertian term subjek itu meliputi semua hal, benda, atau individu, yang terdapat di dalamnya tanpa kecuali. Misalnya: "Semua manusia dapat mati". 2) Kualitas Proposisi Ciri khas sebuah proposisi kategoris adalah bahwa di dalamnya selalu terkandung unsur pengakuan (afirmasi) atau pengingkaran (negasi), dan karena itu hanya tentang proposisi kategoris dapat dikatakan benar atau salah. Itu berarti kualitas sebuah proposisi kategoris ditentukan oleh bentuk kopula yang digunakan. Atas dasar itu, menurut kualitasnya, proposisi kategoris dapat dibedakan atas dua macam, yakni proposisi afirmatif dan proposisi negatif. (a) Proposisi afirmatif Suatu proposisi dikatakan afirmatif apabila apa yang menjadi term predikat diakui tentang apa yang menjadi term subjek. Proposisi "Karim adalah pedagang buah apel", misalnya, berkualitas afirmatif, karena "pedagang buah apel" (term predikat) dalam proposisi tersebut diakui tentang "Karim" (term subjek). (b) Proposisi negatif Suatu proposisi dikatakan negatif apabila apa yang menjadi term predikat diingkari tentang apa yang menjadi term subjek. Proposisi "Dina bukan peragawati", misalnya, berkualitas negatif, karena "peragawati" (term predikat) dalam proposisi tersebut diingkari tentang "Dina" (term subjek). (c) Kuantitas dan kualitas proposisi Pengklasifikasian proposisi kategoris menurut kuantitas dan kualitas secara teoretis akan menghasilkan enam macam proposisi, yakni, (1) Proposisi universal afirmatif, (2) Proposisi partikular afirmatif, (3) Proposisi singular afirmatif, (4) Proposisi universal negatif, (5) Proposisi partikular negatif, dan (6) Proposisi singular negatif. Jika ditarik suatu garis perbandingan antara proposisi singular di satu pihak dengan proposisi universal dan proposisi partikular di lain pihak, maka akan ternyata bahwa dalam arti tertentu sifat proposisi singular lebih mempunyai persamaan dengan proposisi universal ketimbang dengan proposisi partikular. Dalam proposisi singular afirmatif "Irwan gemar bermain di pantai", sesungguhnya "gemar bermain di pantai" diakui tentang seluruh (bukan sebagian) term subjek proposisi yang bersangkutan, yang kebetulan adalah satu individu dan tertentu. Demikian pula dalam proposisi singular negatif "Lindawati bukan mahasiswi Fakultas Psikologi UI" sesungguhnya "mahasiswi Fakultas Psikologi UI" diingkari tentang seluruh (bukan sebagian) term subjek proposisi yang bersangkutan, yang kebetulan adalah satu individu dan tertentu. Karena alasan itulah, maka para ahli logika tidak membedakan lambang yang digunakan, baik untuk proposisi universal afirmatif dan proposisi singular afirmatif, maupun untuk proposisi universal negatif dan proposisi singular negatif. Dengan demikian, di kalangan para ahli logika digunakan hanya empat lambang saja untuk mewakili keenam macam proposisi di atas. Lambang-lambang yang dimaksud itu ialah A, E, I, dan O, seperti terlihat pada Tabel 4: Proposisi Kategoris. Tabel 4: Proposisi Kategoris Menurut kualitas Afirmatif Negatif Universal / singular A E Partikular I O Menurut kuantitas Proposisi A: Proposisi universal/singular afirmatif Contoh: "Semua penumpang selamat." "Bandung terletak di wilayah Jawa Barat. " Proposisi E: Proposisi universal/singular negatif Contoh: "Semua jalan di sini tidak beraspal." "Hasan bukan peternak ayam." Proposisi I: Proposisi partikular afirmatif Contoh: "Beberapa mahasiswa pandai menyanyi." "Ada karyawan yang bergelar sarjana. " Proposisi O: Proposisi partikular negatif Contoh: "Sebagian mahasiswa tidak dapat melanjutkan studi." "Tidak semua binatang dapat berenang." Dari penjelasan tentang keempat macam proposisi di atas, kiranya tampak jelas bahwa dalam proposisi universal (A dan E) term subjeknya berdistribusi, sedangkan dalam proposisi partikular (I dan O) term subjeknya tidak berdistribusi. Suatu term disebut distributif apabila penggunaan term itu meliputi semua anggotanya secara individual, satu demi satu, jadi tidak sebagai kelompok. Term yang berdistribusi itu disebut term universal. Term yang tidak berdistribusi hanya meliputi sebagian dari semua anggotanya, yaitu satu atau lebih. Term yang hanya meliputi satu anggotanya saja atau lebih, akan tetapi tidak semuanya, disebut term partikular. d) Luas Term Predikat Jika luas term subjek menentukan kuantitas suatu proposisi, maka kualitas suatu proposisi menentukan luas term predikatnya. Dalam hubungan dengan kualitas proposisi, masalah pokok tentang luas term predikat adalah: apakah term predikat suatu proposisi meliputi semua anggotanya secara individual (universal/berdistribusi) atau hanya sebagian anggotanya (partikular/tidak berdistribusi). Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kiranya perlu dicamkan hukum pokok mengenai luas term predikat, baik dalam proposisi yang berkualitas afirmatif maupun dalam proposisi yang berkualitas negatif. 1) Luas term predikat dalam proposisi afirmatif Hukum pokok berbunyi: Dalam proposisi afirmatif, luas term predikat selalu partikular. Jika kita perhatikan sebuah proposisi A seperti "Semua kucing adalah binatang", luas term "binatang" (predikat) bukan universal, melainkan partikular. Dalam proposisi itu tidak dikatakan bahwa "Semua kucing" adalah "semua binatang", melainkan "Semua kucing" adalah "sebagian binatang". Itu berarti luas term predikatnya adalah partikular, yaitu hanya mewakili sebagian saja dari anggotanya (tidak berdistribusi). Selanjutnya, apabila kita perhatikan sebuah proposisi I, seperti "Sebagian pejabat adalah koruptor", luas term koruptor (predikat) adalah juga partikular. Dalam proposisi itu tidak dikatakan bahwa "Sebagian pejabat" adalah "semua koruptor", melainkan dikatakan bahwa "sebagian pejabat" adalah "sebagian (dari) koruptor". Kalau begitu term predikatnya meliputi hanya sebagian saja dari anggotanya; jadi, tidak berdistribusi. Pengecualian terhadap hukum ini hanya berlaku bagi proposisi A yang memiliki corak tertentu. Pertama, hukum ini tidak berlaku pada proposisi A yang term subjek dan term predikatnya sama-sama mempunyai luas universal. Corak proposisi semacam ini hanya terdapat dalam definisi. Sebagaimana sudah dijelaskan, salah satu hukum definisi mengatakan "Definens dan definendum harus dapat di bolak-balik". Untuk itu, luas dari kedua bagian itu harus sama besarnya, yaitu sama-sama universal. Amatilah contoh berikut ini. (1) "Manusia adalah hewan yang berakal budi." (2) "Janda adalah wanita yang pernah bersuami." (3) "Dosen adalah orang yang mengajar di perguruan tinggi." Ketiga pernyataan di atas tidak sekadar berupa proposisi, melainkan proposisi yang berbentuk definisi, yakni definisi hakiki. Karena itu, luas term predikat dari masingmasingnya bukan partikular, melainkan universal. Kedua, hukum ini juga tidak berlaku pada proposisi A yang term subjek dan term predikatnya sama-sama mempunyai luas singular. Seperti diketahui, term singular adalah term yang pengertiannya menunjuk pada satu hal atau satu individu tertentu. Perhatikanlah bahwa luas term predikat dari masing-masing proposisi berikut ini bukan partikular, melainkan singular. (4) "Tommy adalah putera sulung Tuan Jamal." (5) "Sungai ini adalah sungai terpanjang di daerah ini." (6) "Asri adalah wanita pertama yang menyaksikan kejadian itu." 2) Luas term predikat dalam proposisi negatif Hukum pokok berbunyi: "Dalam proposisi negatif, luas term predikat selalu universal." Dalam suatu proposisi E, seperti "Semua kelinci bukan gajah", term gajah (predikat) sama sekali terpisah dari term kelinci (subjek); begitu juga sebaliknya. Itu berarti gajah yang dimaksud dalam proposisi itu bukan hanya sebagian gajah, melainkan semua (yang disebut) gajah. Dengan demikian, term gajah dalam proposisi tersebut meliputi semua anggotanya; jadi, berdistribusi. Demikian pula halnya dengan proposisi O, seperti "Sebagian bintang film bukan penyanyi". Dalam proposisi tersebut term bintang film yang dimaksud (sebagian saja) sama sekali terpisah dari term penyanyi; begitu juga sebaliknya. Itu berarti penyanyi yang dimaksud dalam proposisi itu bukan hanya sebagian penyanyi, melainkan semua penyanyi; dan karena itu term penyanyi dalam proposisi itu berlaku untuk semua anggotanya; jadi, berdistribusi. Satu-satunya pengecualian terhadap hukum ini terdapat pada proposisi E yang luas term subjek beserta predikatnya sama-sama singular. Perhatikan ketiga proposisi berikut ini. (1) "Semarang bukan kota terbesar di lndonesia. " (2) "Ingrid bukan puteri bungsu Nyonya Farida." (3) "Menara ini bukan menara yang paling tinggi di kota ini." Term predikat dari masing-masing proposisi di atas ini dengan jelas menunjuk pada satu hal tertentu, dan karena itu luasnya bukan universal, melainkan singular. 2.3.4 Penyimpulan Deduktif dan Silogisme a) Apa itu penyimpulan deduktif dan silogisme? Sebagaimana telah dikemukakan, deduksi adalah proses pemikiran yang dengan berpijak pada pengetahuan yang lebih umum, dan yang membuahkan kesimpulan yang lebih khusus. Dalam penyimpulan (penalaran) deduktif itu, meskipun kesimpulan yang diturunkan merupakan sesuatu yang baru, namun pada hakekatnya kesimpulan tersebut sudah tersirat dalam premis-premisnya. Ditinjau dari segi cara menurunkan kesimpulan, penyimpulan (penalaran) itu dapat dibedakan atas dua macam, yaitu penyimpulan langsung dan penyimpulan tidak langsung. Penyimpulan langsung adalah penalaran yang hanya bertolak dari sebuah premis, dan, atas dasar itu, langsung menurunkan kesimpulan. Sebaliknya, sebuah penalaran disebut penyimpulan tidak langsung jika proses penalaran itu bergerak dari proposisi pertama (premis mayor) dan, dengan melalui proposisi kedua (premis minor), menghasilkan kesimpulan. Penalaran tidak langsung inilah yang nantinya terwujud dalam suatu bentuk (struktur) logis yang disebut silogisme. 1) Penalaran langsung Salah satu prosedur yang lazim digunakan dalam mempraktekkan penalaran langsung adalah melakukan konversi. Yang dimaksud dengan konversi adalah pengungkapan kembali makna yang terkandung dalam sebuah proposisi dengan cara menukarkan tempat term subjek dengan term predikatnya tanpa mengubah kualitas proposisi tersebut. Itu berarti, bila dalam suatu proposisi terdapat suatu hubungan tertentu antara term subjek dan term predikatnya, maka atas dasar itu dapat pula disimpulkan mengenai hubungan antara term predikat dan term subjeknya. Jadi, jika memang ternyata "S—P", maka dapat disimpulkan bahwa "P— S". Agar kesimpulan dari sebuah penalaran langsung melalui proses konversi dapat mempunyai makna yang sama (ekuivalen) dengan premisnya, maka perlu diperhatikan hukum pokoknya yang berbunyi: Luas term predikat pada proposisi asal (premis) harus sama besar dengan luas term tersebut pada proposisi baru (kesimpulan). Akan tetapi, konversi yang menghasilkan kesimpulan yang benar-benar ekuivalen atau semakna– dan karena itu juga senilai—dengan premisnya, hanya bisa dilakukan untuk proposisi E dan proposisi I. Hal ini disebabkan baik proposisi E maupun proposisi I masing-masing memiliki term subjek dan term predikat dengan luas yang sama besar. Pada proposisi E, term subjek dan term predikat sama-sama mempunyai luas universal. Dengan demikian proposisi E, jika dikonversi, tetap menjadi proposisi E. Amatilah contoh berikut ini. Premis Kesimpulan : "Semua becak bukan mobil" (proposisi E). : "Semua mobil bukan becak" (proposisi E). Premis dan kesimpulan dalam penalaran langsung di atas ekuivalen atau semakna halnya dengan proposisi I. Term subjek dan term predikat pada proposisi I keduanya mempunyai luas partikular. Dengan demikian proposisi I, jika dikonversi, tetap menjadi proposisi I. Perhatikan contoh di bawah ini. Premis : "Beberapa mahasiswa adalah penyanyi" (proposisi I). Kesimpulan : "Beberapa penyanyi adalah mahasiswa" (proposisi I). Premis dan kesimpulan dalam penalaran langsung di atas pun ekuivalen atau semakna. Karena prosedur konversi untuk proposisi E dan proposisi I itu hanya berupa penukaran tempat term subjek dan term predikat. maka disebut konversi sederhana. Prosedur konversi sederhana tidak dapat dilakukan terhadap proposisi A. Hal ini disebabkan dalam proposisi A (ingat: kualitasnya afirmatif!), luas term predikatnya adalah partikular. Jika dikonversi secara sederhana begitu saja, maka term predikat, yang dalam premis mempunyai luas partikular, akan memperoleh luas universal dalam kesimpulan. Amatilah contoh di bawah ini: Premis Kesimpulan : "Semua emas adalah logam" (proposisi A). : "Semua logam adalah emas" (proposisi A). Jelaslah bahwa kesimpulan itu salah. Karena itu, untuk mendapat konversi yang tepat terhadap proposisi premisnya, maka term predikat (logam) pada premis tersebut harus dibatasi luasnya dalam kesimpulan menjadi partikular. Dengan demikian, konversi terhadap premis dalam penalaran langsung di atas seharusnya begini. Kesimpulan: "Sebagian logam adalah emas" (proposisi I). Jadi, proposisi A hanya dapat dikonversi menjadi proposisi I. Itulah sebabnya untuk proposisi A hanya berlaku konversi terbatas. Pengecualian hanya bisa terjadi apabila proposisi A itu memang merupakan sebuah definisi karena kedua unsur dalam definisi, yakni definiens dan definendum, dituntut harus sama-sama mempunyai luas universal agar dapat dipertukarkan tempatnya. Kalau begitu, kesimpulan dalam penalaran langsung berikut ini benar sekaligus ekuivalen dengan premisnya. Premis Kesimpulan : "(Semua) manusia adalah makhluk yang berakal budi" (proposisi A). : "Semua makhluk yang berakal budi adalah manusia" (proposisi A). Proposisi O tidak dapat dikonversi, karena dalam proposisi O luas term predikatnya adalah universal. Itu berarti, sejalan dengan hukum pokok di atas, term predikat itu harus diturunkan ke dalam kesimpulan dengan luas universal pula, dan kalau begitu kesimpulannya selalu berupa proposisi E. Dengan demikian, kesimpulan yang ditarik bukan hanya tidak ekuivalen dengan premisnya, tetapi juga selalu salah. Amatilah contoh berikut ini. Premis Kesimpulan Atau : "Sebagian bintang film bukan penyanyi" (proposisi O). : “Semua penyanyi bukan bintang film” (proposisi E) Premis Kesimpulan : “Sebagian manusia bukan dokter” (proposisi O) : “Semua dokter bukan manusia” (proposisi E) Secara keseluruhan, prosedur konversi untuk semua jenis proposisi di atas dapat dilihat pada Tabel 5: Prosedur Konversi. Tabel 5: Prosedur Konversi Jenis Proposisi Proposisi asal Konversi E Semua becak bukan mobil. Semua mobil bukan becak. (konversi sederhana) I Beberapa mahasiswa adalah penyanyi. Beberapa penyanyi adalah mahasiswa. (konversi sederhana) A Semua emas adalah logam. Sebagian logam adalah emas. (konversi terbatas) O Sebagian bintang film bukan penyanyi. (tidak ada konversi) 2) Penalaran tidak langsung Seperti dikatakan di atas, penalaran tidak langsung diwujudkan dalam satu bentuk logis yang disebut silogisme. Karena menurut sifat pengakuan dan pengingkaran term predikat tentang term subjek kita mengenal dua macam proposisi, yaitu proposisi kategoris dan proposisi hipotetis, maka dalam pembicaraan tentang silogisme, kita juga mengenal silogisme kategoris dan silogisme hipotetis. (a) Silogisme Kategoris Standar Silogisme kategoris (atau dengan singkat silogisme) adalah suatu bentuk logis argumen deduktif yang terdiri atas dua premis dan satu kesimpulan, yang semuanya merupakan proposisi-proposisi kategoris. Sementara itu, suatu silogisme kategoris hanya dapat disebut standar jika semua proposisi yang terkandung di dalamnya (premis-premis dan kesimpulan) merupakan proposisi-proposisi kategoris standar. Kecuali itu, suatu silogisme kategoris standar selalu berisikan tiga term atau tiga kelas, yang masing-masingnya hanya boleh muncul dalam dua proposisi silogisme. Kesimpulan dari silogisme kategoris standar yang berupa proposisi kategoris standar itu mengandung dua dari tiga term silogisme yakni term subjek (S) dan term predikat (P). Term predikat dari kesimpulan disebut “term mayor” silogisme, sedangkan term subjek dari kesimpulan disebut “term minor” silogisme. Jadi, dalam bentuk silogisme kategoris standar, seperti Semua pahlawan adalah orang dewasa. Beberapa prajurit adalah pahlawan. Jadi. Beberapa prajurit adalah orang berjasa. Term prqjurit adalah term minor dan term orang berjasa adalah term mayor. Term ketiga dari silogisme, yang tidak terdapat dalam kesimpulan, tetapi yang hanya termuat dalam kedua premis, disebut “term menengah” (dilambangkan dengan M yang merupakan singkatan dari (terminus) medius). Dalam contoh di atas, term pahlawan adalah term menengah. Term mayor dan term minor dari sebuah silogisme kategoris standar masingmasing terkandung dalam salah satu dari kedua premis silogisme. Premis yang mengandung term mayor disebut “premis mayor”, sedangkan premis yang mengandung term minor disebut “premis minor”. Dalam silogisme di atas, premis mayor adalah “Semua pahlawan adalah orang berjasa”, sedangkan premis minor adalah “Beberapa prqjurit adalah pahlawan”. Dalam silogisme standar, premis mayor selalu ditempatkan sebagai proposisi pertama pada baris pertama, sedangkan premis minor selalu ditempatkan sebagai proposisi kedua pada baris kedua. Premis mayor dan premis minor ini berfungsi sebagai pangkal tolak seluruh penalaran. Kesimpulan penalaran diturunkan dengan memperhatikan hubungan antara premis mayor dan premis minor tersebut atau, dalam contoh di atas, antara term menengah (M) dengan term predikat (P) dalam premis mayor, dan antara term subjek (S) dengan term menengah (M) dalam premis minor. Itu berarti, kalau memang ternyata bahwa M sama dengan P, sedangkan S sama dengan M, maka S mesti sama juga dcngan P: M=P S=M ... S = P Penalaran yang menggunakan term menengah (M) untuk menarik kesimpulan dalam sistem Aristoteles, disebut penalaran tidak langsung. (b) Sifat Formal Argumen Silogistis Dari segi tinjauan logika, bentuk argumen merupakan aspek yang paling penting. Masalah kesahihan atau ketidaksahihan silogisme kategoris tergantung sematamata pada bentuk (forma)-nya dan sama sekali tidak tergantung pada isi (materi)-nya. Dan, seperti sudah disinggung, pembicaraan tentang isi suatu silogisme kategoris adalah pembicaraan tentang benar tidaknya proposisi-proposisi (premis-premis dan kesimpulannya). Jadi istilah sahih dan tidak sahih hanya dapat dikenakan pada (bentuk) argumen, sedangkan istilah-istilah benar dan tidak benar hanya dapat dikenakan pada proposisi-proposisi. Silogisme dengan bentuk, seperti Semua M adalah P Semua M adalah P Jadi, semua S adalah P adalah suatu argumen yang sahih tanpa memperhatikan isinya. Itu berarti, term-term apa pun yang digunakan untuk menggantikan lambang-lambang "S", "P", dan "M" argumen yang dilahirkan akan tetap sahih. Jika kita menggantikan lambang-lambang tersebut dengan term-term mahasiswa-mahasiswa UI, hewan berakal budi, dan manusia, maka kita akan memperoleh argumen yang sahih: Semua manusia adalah hewan berakal budi Semua mahasiswa UI adalah manusia Jadi, semua mahasiswa UI adalah hewan berakal budi Apabila, dalam bentuk yang sama, kita menggantikan lambang-lambang tersebut dengan term-term lele, binatang yang hidup dalam air, dan ikan, maka Semua ikan adalah binatang yang hidup dalam air. Semua lele adalah ikan. Jadi, semua lele adalah binatang yang hidup dalam air. adalah juga argumen yang sahih. Suatu silogisme kategoris yang sahih adalah argumen yang sahih secara formal, sahih berdasarkan bentuknya saja. Ini menunjukkan bahwa silogisme lain, asal menggunakan bentuk yang sama, juga tetap disebut sahih. Sebaliknya, jika suatu silogisme tertentu ternyata tidak sahih, maka silogisme lain mana pun, sejauh menggunakan bentuk yang sama, tetap juga tidak sahih. Perhatikanlah kedua contoh berikut ini: (1) Semua penyanyi adalah orang yang bersuara bagus. Beberapa mahasiswa UI adalah orang yang bersuara bagus Jadi, beberapa mahasiswa UI adalah penyanyi. (2) Semua kelinci adalah binatang berkaki empat. Semua kuda adalah binatang berkaki empat. Jadi, semua kuda adalah kelinci. Pada contoh (1) kita melihat bahwa premis-premis dan kesimpulannya, dari segi isi (menurut kenyataan), adalah benar. Namun, dari segi bentuk, argumen itu tidak sahih. Dalam contoh (2) kita melihat bahwa, dari segi isi, premis-premisnya benar sedangkan kesimpulannya salah. Hal ini justru disebabkan jalan pikirannya tidak lurus; dengan kata lain, argumen tersebut, menurut bentuknya, tidak sahih. Persoalan mengenai bentuk argumen ini akan dengan lebih mudah dipahami bila kita mendalami sungguh-sungguh semua seluk-beluk yang berkaitan dengan hukum-hukum silogisme. b) Hukum Silogisme Kategoris Untuk membangun suatu bentuk argumen silogistik yang sungguh-sungguh logis, kita harus mematuhi kaidah-kaidah penyimpulan yang semuanya berjumlah delapan hukum. Dari kedelapan hukum ini, empat di antaranya tentang term, dan empat lainnya tentang proposisi (Hayon, 2005: 140-149) c) Silogisme Hipotetis Silogisme hipotetis adalah model argumentasi yang premis mayornya berupa sebuah proposisi kondisional. Premis mayor ini terdiri atas dua bagian: bagian pertama mengandung syarat (sebab) yang dimulai dengan “Jika”; lazimnya disebut antesedens, dan bagian kedua mengandung apa yang disyaratkan (akibat) yang dimulai dengan “Maka”; lazimnya disebut konsekuens. Dalam logika, premis mayor dari argumentasi ini biasanya tersusun dalam empat pola, yakni: (a) “Jika A, maka B.” (b) “Jika A, maka bukan B.” (c) “Jika bukan A, maka B.” (d) “Jika bukan A, maka bukan B” Argumentasi kondisional dengan premis mayor yang tersusun dalam empat pola itu dikenal dalam dua jenis, yakni argumentasi kondisional dalam arti luas dan argumentasi kondisional dalam arti sempit. (1) Silogisme kondisional dalam arti luas Jenis argumentasi ini secara keseluruhan memiliki empat bentuk, namun hanya ada dua bentuk yang sahih, sedangkan dua bentuk lainnya tidak sahih. (a) Bentuk Sahih Agar bentuk argumentasi kondisional dalam arti luas ini dapat sahih, kita harus berpegang pada dua hukum Pertama, proses penyimpulan harus bergerak dari pembenaran terhadap syarat (sebab) dalam antesedens (premis minor) kepada pembenaran terhadap apa yang disyaratkan (akibat) yang termuat dalam konsekuens (kesimpulan). Proses penyimpulan dengan tata aturan seperti ini disebut modus ponens. Kita ambil sebuah contoh dengan mengikuti pola pertama sebagai berikut: Jika Jones Ginting terserang flu burung, maka ia mengalami sesak nafas. Ternyata Jones Ginting terserang flu burung, Jadi, ia mengalami sesak nafas. Jalan pikiran ini logis. Hukum kedua, proses penyimpulan harus bergerak dari pengingkaran terhadap apa yang disyaratkan (akibat) yang termuat dalam konsekuens (premis minor) kepada pengingkaran terhadap syarat (sebab) yang termuat dalam antesedens (kesimpulan). Tata aturan penyimpulan seperti ini disebut modus tollens. Dengan mengambil contoh dari pola yang sama, bentuk argumentasi itu menjadi demikian: Jika Jones Ginting terserang flu burung, maka ia mengalami sesak napas. Ternyata Jones Ginting tidak mengalami sesak napas. Jadi, ia tidak terserang flu burung. Jalan pikiran ini pun logis (b) Bentuk yang tidak sahih Ada dua bentuk tidak sahih yang diperoleh dari argumentasi konsidional ini. Bentuk yang satu mirip dengan modus ponens di atas. Amatilah contoh di bawah ini: Jika Jones Ginting terserang flu burung, maka ia mengalami sesak napas. Ternyata, Jones Ginting mengalami sesak napas. Jadi, ia terserang flu burung. Jalan pikiran seperti ini tidak logis karena proses penyimpulan tersebut masih membuka peluang bagi adanya kemungkinan lain. Dari adanya kenyataan bahwa “Jones Ginting mengalami sesak napas” (akibat), tidak dapat secara pasti disimpulkan bahwa “Jones Ginting terserang flu burung”. Mungkin karena ada penyebab lain. Bentuk lain yang juga tidak sahih, mirip dengan modus tollens di atas. Perhatikan contoh berikut: Jika Jones Ginting terserang flu burung, maka ia mengalami sesak napas. Ternyata, Jones Ginting tidak terserang flu burung. Jadi, ia tidak mengalami sesak napas. Jalan pikiran ini pun tidak logis karena masih terdapat kemungkinan lain. Dari adanya kenyataan bahwa “Jones Ginting tidak terserang flu burung” (sebab), tidak dapat secara pasti disimpulkan bahwa “Jones Ginting tidak mengalami sesak napas” (akibat). Bisa saja Jones Ginting memang mengalami sesak napas tetapi penyebabnya lain, bukan karena ia terserang flu burung. (2) Silogisme Kondisional dalam arti sempit Berbeda dengan argumentasi kondisional dalam arti luas, argumentasi kondisional dalam arti sempit memiliki empat bentuk yang kesemuanya sahih. Hal ini disebabkan argumentasi kondisional dalam arti sempit ini tidak membuka peluang bagi adanya kemungkinan lain; jadi, eksklusif sifatnya. Tetapi agar keempat bentuk itu dapat sahih semuanya, maka hanya ada satu aturan yang harus dipatuhi, yakni syarat (sebab) yang terkandung dalam antesedens harus merupakan satu-satunya syarat (sebab). Untuk itu frase “Jika…, maka….” harus diubah menjadi “Jika dan hanya jika…., maka….” Dengan memakai rumusan ini, kita dapat menghasilkan empat bentuk argumentasi kondisional yang sahih. Dengan menggunakan contoh yang sama, keempat bentuk sahih tersebut menjadi demikian: (a) Jika dan hanya jika Jones Ginting terserang flu burung, maka ia mengalami sesak napas. Ternyata, Jones Ginting terserang flu burung. Jadi, ia mengalami sesak nafas. (b) Jika dan hanya jika Jones Ginting terserang flu burung, maka ia mengalami sesak napas. Ternyata, Jones Ginting tidak mengalami sesak napas. Jadi, ia tidak terserang flu burung. (c) Jika dan hanya jika Jones Ginting terserang flu burung, maka ia mengalami sesak napas. Ternyata, Jones Ginting mengalami sesak napas. Jadi, ia terserang flu burung. (d) Jika dan hanya jika Jones Ginting terserang flu burung, maka ia mengalami sesak napas. Ternyata, Jones Ginting tidak terserang flu burung. Jadi, ia tidak mengalami sesak napas. 2.4 KESESATAN BERPIKIR Secara sederhana kesesatan berpikir (atau disingkat kesesatan) dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu kesesatan formal dan kesesatan material. Kesesatan formal adalah kesesatan yang dilakukan karena bentuk (forma) penalaran yang tidak tepat atau tidak sahih. Kesesatan ini terjadi karena pelanggaran terhadap hukum-hukum silogisme. Sebaliknya, kesesatan material adalah kesesatan yang terutama menyangkut isi (materi) penalaran. Kesesatan ini dapat terjadi karena faktor bahasa (kesesatan bahasa) dan juga karena memang tidak adanya hubungan logis atau relevansi antara premis dan kesimpulannya (kesesatan relevansi). 2.4.1 Kesesatan Bahasa Salah satu model kesesatan bahasa yang sering dilakukan orang adalah kesesatan amfiboli. Kesesatan ini terjadi karena kekeliruan penempatan suatu kata atau term dalam sebuah ungkapan (kalimat) sehingga makna ungkapan (kalimat) itu menjadi bercabang. Akibatnya, timbul lebih dari satu penafsiran mengenai maknanya, padahal hanya salah satu saja yang benar, dan yang lain pasti salah. Amatilah contoh berikut: Putera pengusaha yang gemar bermain golf itu mengalami kecelakaan. Kalimat itu mengandung ambiguitas atau percabangan arti. Hal ini bersumber pada letak term “yang gemar bermain golf”. Yang dipersoalkan dalam konteks kalimat itu ialah term tersebut menerangkan yang mana: Putera dari pengusaha atau pengusaha itu sendiri? Kesesatan yang sama terlihat dalam kedua contoh berikut ini: (1) Kami mengharapkan kehadiran Saudara pada acara pelantikan Dekan Fakultas Psikologi yang baru. (2) “Selamat Hari Ulang Tahun Golkar ke-41” 2.4.2 Kesesatan Relevansi Kesesatan relevansi timbul apabila seseorang menarik kesimpulan yang tidak relevan dengan premisnya. Artinya secara logis kesimpulan itu tidak merupakan implikasi dari premisnya. Penalaran yang mengandung kesesatan relevansi sama sekali tidak menampakkan sama sekali hubungan logis antara premis dan kesimpulannya. Di bawah ini dikemukakan beberapa jenis kesesatan relevansi yang umum dilakukan. a) Argumentum Ad Hominem Ad Hominem secara harafiah berarti ‘mengacu pada orangnya’. Kesesatan argumentum ad hominem terjadi bila seseorang berusaha untuk menerima atau menolak suatu gagasan (ide) bukan berdasarkan faktor penalaran yang terkandung dalam gagasan itu, melainkan berdasarkan alasan yang berhubungan dengan pribadi dari orang yang melontarkan gagasan. Singkatnya, yang disoroti bukan penalarannya, melainkan orangnya. Bila orangnya disenangi, pandangannya diterima, tetapi bila orangnya tidak disenangi, pandangannya ditolak. Contoh : Dalam suatu rapat umum yang dipimpin oleh kepala desa, semua warga desa yang hadir dimintai pandangannya mengenai cara-cara memelihara lingkungan desa agar dapat terhindar dari bahaya demam berdarah. Marzuki, salah seorang warga desa, juga ikut hadir dan memberikan pendapatnya. Tetapi pendapatnya langsung ditolak oleh sebagian warga desa yang hadir. Alasannya ialah karena Marzuki itu di desanya dikenal sebagai orang yang suka mabuk-mabukan. b) Argumentum Ad Populum Argumentum ad populum (dalam bahasa Latin, populus berarti ‘rakyat’ atau ‘massa’) adalah penalaran yang diajukan untuk meyakinkan para pendengar dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat atau orang banyak. Di sini pembuktian logis tidak diperlukan. Yang dipentingkan ialah menggugah perasaan massa pendengar, membangkitkan semangat dan membakar emosi orang banyak agar menerima suatu pernyataan tertentu. Argumentum ad populum kerap dijumpai dalam kampanye politik, pidato-pidato, dan propaganda-propaganda seperti yang terdapat dalam dunia iklan. Simaklah contoh berikut ini yang diangkat dari pidato dalam sebuah kampanye menjelang Pemilu. “... Sejak awal tekad Golkar hanya satu, yakni memperjuangkan dan membela kepentingan rakyat. Golkar memahami aspirasi rakyat, Golkar merasakan penderitaan rakyat, Golkar tidak pernah meninggalkan rakyat, Golkar selalu menyatu dengan rakyat, Golkar merupakan hati nurani rakyat. Karena itu siapa pun yang menentang program Golkar, dia menentang perjuangan rakyat dan yang menentang perjuangan rakyat, dia adalah musuh rakyat ... .” c) Argumentum Ad Verecundiam Jenis kesesatan relevansi ini disebut juga argumentum auctoritatis (dalam bahasa Latin, auctoritas berarti ‘kewibawaan’) yang memang sangat mirip dengan argumentum ad hominem. Dalam argumentum ad verecundiam atau argumentum auctoritatis ini, nilai suatu penalaran terutama ditentukan oleh keahlian atau kewibawaan orang yang mengemukakannya. Jadi, suatu gagasan diterima sebagai gagasan yang benar hanya karena gagasan tersebut dikemukakan oleh seseorang yang sudah terkenal karena keahliannya. Contoh: “Apa yang dikatakan oleh Prof. Dr. Solichin itu pasti benar karena beliau adalah seorang psikolog ulung dan namanya sudah tidak asing lagi dalam dunia pendidikan.” d) Ignoratio Elenchi Kesesatan ignoratio elenchi terjadi bila seseorang menarik kesimpulan yang sebenarnya tidak memiliki relevansi dengan premisnya. Dengan demikian ketiga jenis kesesatan yang sudah disebutkan terdahulu (argumentum ad hominem, argumentum ad populum, dan argumentum ad verecundiam) dapat dikategorikan sebagai bagian dari kesesatan ignoratio elenchi ini. Ignoratio elenchi memperlihatkan loncatan sembarangan dari premis ke kesimpulan yang sama sekali tidak ada kaitan dengan premis tadi. Karena itu hubungan antara premis dan kesimpulan hanya suatu hubungan yang semu, bukan hubungan yang sesungguhnya. Dalam kesesatan ini biasanya prasangka, kepercayaan mistis, emosi, dan perasaan subjektif merupakan faktor-faktor yang memainkan peranan utama. Selidikilah kedua contoh di bawah ini. (1) Fitri itu puteri bungsu; pasti dia keras kepala. (2) Saat melihat seekor kupu-kupu hinggap di jendela rumah, sang ibu rumah tangga berkata kepada suaminya, “Pak, hari ini kita akan kedatangan tamu”. e) Kesesatan karena Generalisasi Tergesa-gesa Jenis kesesatan ini sebetulnya merupakan akibat dari induksi yang keliru karena bertumpu pada hal-hal khusus yang tidak mencukupi. Orang yang melakukan kesesatan ini biasanya tergopoh-gopoh menarik kesimpulan yang berlaku umum (general), sementara percontoh (sample) yang dijadikan titik tolak kurang, atau bahkan tidak memadai. Perhatikan ketiga contoh di bawah ini. (1) Remaja-remaja masa kini sulit diajak berdialog. (2) Supir-supir kendaraan umum di Jakarta lebih mengutamakan uang setoran daripada keselamatan penumpang. (3) Aksi-aksi unjuk rasa yang terjadi akhir-akhir ini berlatar belakang politik. f) Kesesatan karena Komposisi Kesesatan karena komposisi dilakukan bila seseorang berpijak pada anggapan bahwa apa yang benar (berlaku) bagi satu atau beberapa individu dari suatu kelompok tertentu, pasti juga benar (berlaku) bagi seluruh kelompok secara kolektif. Dengan kata lain, kesesatan karena komposisi terjadi karena suatu predikat yang seharusnya hanya dikenakan kepada satu atau beberapa individu dalam suatu kesatuan, oleh seseorang justru dikenakan kepada kesatuan tersebut secara keseluruhan. Contoh: (1) Dari pernyataan “Polo itu seorang ayah pengedar shabu-shabu”, seseorang menarik kesimpulan “Keluarga Polo itu juga pasti pengedar shabu-shabu.” (2) Beberapa pemain depan kesebelasan Belanda, dalam pertandingan melawan kesebelasan Brasil baru-baru ini, bermain sangat cermerlang. Minggu depan kesebelasan Belanda itu akan berhadapan dengan kesebelasan Argentina. Pasti tim Belanda itu akan tetap bermain bagus. Setiap pernyataan yang bersifat ilmiah haruslah memenuhi tuntutan logis, kritis, dan rasional. Dengan berbekalkan kemampuan berpikir logis yang kuat, seseorang dapat memasuki bidang ilmu pengetahuan yang akan dibahas dalam bab berikut di bawah judul Filsafat Ilmu. BAB III FILSAFAT ILMU Pada bab ini akan dibahas tentang pengertian filsafat ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan, dan pengetahuan serta persamaan dan perbedaan yang mendasar tentang keduanya. Selain itu juga akan dikaji tentang cara kerja ilmu empiris yang sifatnya induktif, cara kerja ilmu deduktif, dan ilmu-ilmu kemanusiaan. Pengenalan tentang berbagai bentuk pengetahuan dan ilmu pengetahuan sangatlah berguna terutama dalam menentukan dasar seseorang dalam memasuki dunia ilmu pengetahuan atau dunia ilmiah. 3.1 PENGETAHUAN DAN ILMU PENGETAHUAN 3.1.1 Pengertian Pengetahuan Bagi manusia hal utama yang sangat penting adalah keingintahuan tentang sesuatu. Sesuatu itu dapat berupa apa saja, sesuatu yang tampak konkret, atau nyata seperti meja, kursi, teman, alat-alat kedokteran, dan buku. Baginya apa yang nampak dan diketahuinya akan menjadi sebuah pengetahuan. Untuk mendapatkan pengetahuan itu, maka pengenalan akan pengalaman indrawi sangat menentukan. Seseorang dapat membuktikan secara indrawi, secara konkret, secara faktual, dan bahkan ada saksi yang mengatakan, bahwa benda itu, misalnya kursi, memang benar ada dan berada di ruang kerja seseorang. Dengan pembuktian secara indrawi (karena sentuhan, penglihatan, pendengaran, penciuman, daya pengecap, dan argumen-argumen yang menguatkannya) maka sebenarnya telah muncul suatu kebenaran tentang pengetahuan itu. Bagaimana sebenarnya pengetahuan berasal? Pengetahuan muncul karena adanya gejala. Gejalagejala yang melekat pada sesuatu misalnya bercak-bercak merah pada kulit tubuh manusia, aroma bau tertentu karena seseorang sedang membakar sate ayam, bau yang menyengat dari got yang sudah lama got itu tidak dibersihkan, semua gejala itu muncul dihadapan kita. Kita harus “menangkap” gejala itu atas dasar pengamatan indrawi, atau observasi yang cermat, secara empiris dan rasional. Pengetahuan yang lebih menekankan adanya pengamatan dan pengalaman indrawi dikenal sebagai pengetahuan empiris atau pengetahuan aposteriori. Setelah mengenal pengetahuan yang bersifat empiris, maka pengetahuan empiris itu harus dideskripsikan, sehingga kita mengenal pengetahuan deskriptif. Pengetahuan deskriptif muncul bila seseorang dapat melukiskan, menggambarkan segala ciri, sifat, dan gejala yang nampak olehnya, dan penggambaran tersebut atas dasar kebenaran (objektivitas) dari berbagai hal yang diamatinya itu. Pengalaman pribadi manusia tentang sesuatu yang terjadi berulang kali juga dapat membentuk suatu pengetahuan baginya. Sebagai contoh, Ani merasa bahwa ia akan terlambat kuliah di kampus (kuliah dimulai pukul 9 pagi) apabila berangkat dari rumah pukul 7.30 pagi, karena perjalanan ke kampus membutuhkan waktu 2 jam. Selama ini ia sering terlambat masuk kuliah karena berangkat dari rumah pukul 7.30 pagi. Untuk itu ia telah berpikir dan memutuskan bahwa setiap hari ia harus berangkat pukul 6.30 agar tidak terlambat di kampus. Contoh tersebut menunjukkan bahwa pemikiran manusia atau kesadaran manusia dapat dianggap juga sebagai sumber pengetahuan dalam upaya mencari pengetahuan. Selain pengamatan yang konkret atau empiris, kekuatan akal budi sangatlah menunjang. Kekuatan akal budi yang dikenal sebagai rasionalisme, (yaitu pandangan yang bertitik tolak pada kekuatan akal budi) lebih menekankan adanya pengetahuan yang sifatnya apriori, suatu pengetahuan yang tidak menekankan pada pengalaman. Matematika dan logika adalah hasil dari akal budi, bukan dari pengalaman. Sebagai contoh, dalam logika muncul pernyataan: “Jika benda A tidak ada, maka dalam waktu yang bersamaan, benda itu, A pasti tidak dapat hadir di sini”. Dalam matematika, perhitungan 2 + 2 = 4 merupakan penjumlahan itu sebagai sesuatu yang pasti dan sangat logis. 3.1.2 Pengertian Ilmu Pengetahuan Sebuah pernyataan yang muncul di benak orang ialah, sebenarnya ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah itu apa? Apakah ada perbedaan antara pengetahuan dengan ilmu pengetahuan? Untuk menjawab hal itu perlulah kita mengulasnya dengan cermat. Ilmu pengetahuan muncul karena adanya pengalaman manusia ketika ia mendapatkan pengetahuan tertentu melalui proses yang khusus. Sebuah cerita tentang Newton, bagaimana ia menemukan teori gravitasi dalam ilmu fisika bermula ketika ia merasakan sesuatu, yaitu apel yang jatuh dan menimpa kepalanya saat sedang duduk di bawah pohon apel. Pengalaman tentang sesuatu itulah yang menyebabkan orang kemudian berpikir dan berpikir lebih lanjut tentang sebab peristiwa tersebut. Berkat ketekunan, kesabaran, keingintahuan serta didukung oleh kepandaian dan inteligensi yang memadai dan daya kreativitas yang tinggi, seseorang dapat menciptakan teori-teori atau hukum atau dalil dan teori-teori tersebut agar dapat diterapkan bagi kepentingan umat manusia. Munculnya teknologi atau hasil dari ilmu pengetahuan (berupa benda-benda di sekeliling manusia seperti mobil, pesawat terbang, kereta api, komputer, dan telpon selular) dari masa ke masa telah menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan memang mengalami kemajuan yang sangat pesat. Tetapi pengalaman yang bersifat indrawi belumlah cukup untuk menghasilkan ilmu pengetahuan. Pengalaman indrawi tersebut harus mengalami proses ilmiah yang lebih lanjut, dan hal ini dikenal sebagai proses metodologis. Proses metodologis adalah suatu proses kerja di dalam kegiatan ilmiah (misalnya dapat berada dalam suatu laboratorium) untuk mengolah gejala-gejala pengetahuan dan bertujuan mendapatkan kebenaran dari gejala-gejala tersebut. Untuk itulah di dalam setiap proses metodologis atau proses kegiatan ilmiah, observasi atau pengamatan yang cermat terhadap objek penelitian haruslah diperhatikan dengan benar. Pengamatan secara empiris atau indrawi yang didukung oleh alat bantu tertentu seperti mikroskop, tape recorder, atau kuesioner sangat membantu bagi seorang peneliti dalam mencari dan menemukan fakta penelitiannya. Hasil dari ilmu pengetahuan yang mendasarkan pada pengamatan indrawi dan faktual disebut ilmu pengetahuan empris. Ini berarti bahwa ilmu empiris bergantung pada objek penelitian yang sangat konkret dan terlihat, tersentuh, terdengar dan tercium oleh panca indra manusia. Di sisi lain, ilmu pengetahuan haruslah dapat dilukiskan, digambarkan, diuraikan secara tertulis tentang segala ciri-ciri, sifat dan bentuk dari gejala-gejalanya, dan ilmu pengetahuan semacam itu disebut ilmu pengetahuan deskriptif. Contoh ilmu empiris adalah antara lain: ilmu kedokteran, antropologi, arkeologi, ilmu teknik, biologi, ilmu kimia, dan ilmu fisika, sedang contoh ilmu deskriptif adalah antara lain: ilmu filsafat, susastra, ilmu kedokteran, biologi, ilmu keperawatan, sosiologi, dan antropologi. Bagi seorang ilmuwan, lingkup ilmiah sangat mendukung dalam proses penelitiannya. Lingkup ilmiah tersebut haruslah sangat dikenal dan diakrabinya. Ia harus mengenal langkah-langkah dan istilah teknis dalam kegiatan penelitiannya. Ia harus dapat berpikir logis, runtut dalam setiap langkah atau tahapan dalam setiap penelitiannya. Tahapan penelitian atau cara kerja ilmiah lazimnya dilalui dengan proses penalaran berikut. a) Observasi: pengamatan terhadap objek penelitian yang merupakan fenomena yang sifatnya konkret seperti manusia, bangunan, monumen, tumbuh-tumbuhan, dan penyakit. b) Fakta: suatu realitas yang dihadapi seorang peneliti, sesuatu yang dilihat atau sesuatu yang terjadi yang berkaitan dengan gejala dalam fenomena seseorang. c) Data: hasil atau sejumlah besaran atau kuantitas yang berasal dari fakta yang telah ditemukan oleh si peneliti. Di dalam data inilah seorang peneliti telah menemukan gejala yang lebih bersifat kuantitatif dan konkret/faktual dari objek penelitiannya, misalnya, jumlah rumah sakit swasta di DKI Jakarta ada 30 buah, dan penderita diabetes mellitus di Puskesmas Rawamangun pada bulan Maret 2006 berjumlah 10 orang. d) Konsep: pengertian atau pemahaman tentang sesuatu (yang berasal dari fakta), dan pemahaman itu berada pada akal budi atau rasio manusia. Konsep selalu dipikirkan oleh manusia, dan oleh karenanya menjadi pemikiran manusia. Seseorang atau peneliti yang memiliki konsep tertentu, atau konsep tentang sesuatu, maka ia harus menuliskan konsep itu agar dapat dipahami oleh orang lain. e) Klasifikasi atau penggolongan atau kategori: pengelompokan gejala atau data penelitian ke dalam kelas-kelas atau penggolongan ataupun kategori atas dasar kriteria-kriteria tertentu. Syarat klasifikasi atau penggolongan atau kategori haruslah memiliki ciri, dan sifat yang homogen atau sama. Apabila ciri dan sifat dari gejala itu tidak sama, maka klasifikasi gejala atau data penelitian itu tidak menunjukkan kadar ilmiah yang benar. f) Definisi: perumusan sesuatu yang disebut (yang disebut definiendum) dengan apa yang dinamakan definiens. Definisi membantu seorang peneliti atau ilmuwan untuk merumuskan sesuatu/ hal agar orang lain lebih mudah memahaminya. Ada beberapa jenis definisi, yang masing-masing dijelaskan berikut ini. (1) Definisi etimologis menjelaskan sesuatu atas dasar asal katanya. Misalnya kata biologi berasal dari bahasa Yunani (bios dan logos), yang artinya ilmu yang mempelajari tentang mahluk hidup (2) Definisi stipulatif merumuskan sesuatu atau istilah tertentu yang akan digunakan untuk masa depan. Pengertian masa depan adalah suatu pengertian yang diarahkan pada kegiatan seminar, ceramah, isi buku dan dalam kegiatan ilmiah tertentu istilah-istilah yang baru dimunculkan. (3) Definisi deskriptif menjelaskan sesuatu atas dasar sejarah, ciri, sifat. (4) Definisi operasional merumuskan pelaksanaan atau cara kerja dari fungsi dan peran gejala, alat, atau benda tertentu. Definisi operasional lazim digunakan dalam ilmu teknik, dan ilmu pengetahuan kealaman. (5) Definisi persuasif merumuskan sesuatu dengan tujuan agar rumusan tersebut dapat mempengaruhi pemikiran seseorang. Definisi persuasif sering dipakai dalam kegiatan periklanan yang dimuat di media cetak atau ditayangkan di media elektronik maupun kegiatan kampanye politik, dan sebagainya. Harus dipahami bahwa setiap perumusan definisi selalu menggunakan pernyataan bahasa. Dalam ilmu pengetahuan bahasa memegang peran penting karena dapat mengungkapkan segala kegiatan penelitian seorang ilmuwan, baik secara lisan maupun tertulis. Bahasa ilmiah (bahasa ilmu), yaitu bahasa yang digunakan seorang ilmuwan dalam penelitiannya, sangatlah penting karena segala upaya pembenaran metodologisnya berada di dalamnya, seperti penjelasan dalam perumusan hipotesis, konsep, definisi, dan teori. Proses penalaran ialah hipotesis dan teori. g) Hipotesa: suatu ramalan atau prediksi dalam kegiatan penelitian yang harus dibuktikan kebenarannya. Dalam hipotesis, perumusan masalah sangatlah penting. Seorang peneliti harus mampu merumuskan permasalahan penelitian dengan cermat dan teliti. Atas dasar hipotesis itu, akan membuat analisis lebih lanjut. h) Teori: hubungan yang sedemikian rupa antara gejala satu dengan gejala lainnya dan hubungan tersebut telah dibuktikan kebenarannya. Teori yang telah teruji kebenarannya berasal dari hipotesis yang telah dirumuskan. 3.1.3 Cara Kerja Ilmu Empiris a) Pengertian Ilmu Empiris Ilmu Empiris adalah ilmu yang bertitik tolak dari pengalaman indrawi. Pengalaman indrawi ialah sentuhan, penglihatan, pendengaran, penciuman, dan pengecapan seseorang terhadap sesuatu yang diamatinya. Dengan demikian pengalaman indrawi berkaitan dengan objek penelitian yang sifatnya sangat konkret, faktual. Dalam pengamatan atau observasi terhadap objek, seorang peneliti dapat menggunakan sarana untuk menunjang pengamatannya itu. Sarana itu dapat berupa alat-alat seperti mikroskop, teleskop, thermometer, neraca dan alat-alat pengukur lainnya. Tujuan pengamatan ialah untuk memperoleh atau menangkap semua gejala terhadap semua objek yang diamati, lalu menjelaskannya dengan benar. Hasil pengamatan itu berupa data awal yang harus dicatat dengan cermat, yang kelak akan sangat berguna bagi analisis sebuah penelitian. b) Objek Ilmu Empiris Ilmu empiris memiliki objek yang dapat dibedakan dari dua aspek, yaitu objek materi dan objek formal. Objek materi berupa apa saja yang dapat diamati oleh manusia, seperti alam semesta dan manusia. Objek forma adalah pokok perhatian seseorang terhadap sesuatu yang menjadi minatnya yang sangat khusus. Objek forma atau aspek yang khusus dalam ilmu empiris dapat berupa, misalnya, minat yang sangat tinggi terhadap kesehatan manusia, pertumbuhan dan perkembangan dari tumbuhtumbuhan atau hewan, dan adat-istiadat suatu bangsa/masyarakat tertentu. Dari hasil objek forma yang beraneka ragam itulah muncul ilmu-ilmu tertentu yang sifatnya empiris, misalnya ilmu kedokteran, biologi, ilmu teknik, botani, zoologi, antropologi, dan ilmu sosiologi. c) Pendekatan atau Metode Ilmu Empiris Pendekatan atau metode merupakan cara seorang peneliti mendapatkan data saat ia sedang melakukan pengamatan. Lazimnya di dalam ilmu empiris seorang ilmuwan menggunakan pendekatan atau metode induktif yang mencoba menarik kesimpulan dari penalaran yang bersifat khusus untuk sampai pada penalaran yang umum sifatnya. Pada penalaran yang sifatnya khusus itu, seorang peneliti akan mengamati sesuatu atau beberapa hal yang memiliki ciri-ciri yang khusus. Sebagai contoh, saat Toby melihat buah jeruk yang diletakkan di dalam sebuah keranjang, ia memperhatikan bahwa kedua puluh jeruk itu berwarna kuning dan bentuknya bulat. Atas dasar itulah Toby menyimpulkan bahwa jeruk (yang berjumlah 20) yang berada di dalam keranjang semuanya berwarna kuning dan bentuknya bulat. Metode induksi berguna bagi ilmu empiris karena mendasarkan pada pengamatan faktual dan dipakai sebagai landasan berpijak pada ilmu empiris. 3.1.4 Cara Kerja Ilmu-ilmu Deduktif a) Pengertian Ilmu Deduktif Ilmu deduktif adalah ilmu pengetahuan yang membuktikan kebenaran ilmiahnya melalui penjabaran-penjabaran yang disebut deduksi. Berbeda dengan ilmu empiris yang mendasarkan pengalaman indrawi, penjabaran-penjabaran itu melalui penalaran yang berdasarkan hukum-hukum serta norma-norma yang bersifat logis. Hukum-hukum serta norma-norma logis memunculkan suatu penalaran yang mencoba membuktikan sesuatu atas dasar perhitungan yang sangat pasti. Dengan demikian, dalam ilmu deduktif terdapat suatu penalaran yang diperoleh dari kesimpulan yang bersifat umum untuk menuju ke penalaran yang bersifat khusus. Ilmu-ilmu deduktif dikenal sebagai ilmu matematik. Penalaran yang deduktif diperoleh dari penjabaran dalil-dalil, atau rumus-rumus yang tidak dibuktikan kebenarannya melalui penyelidikan empiris, melainkan melalui penjabaran dalil-dalil yang telah ada sebelumnya. Suatu dalil atau rumus matematika dibuktikan kebenarannya berdasarkan dalil-dalil yang telah ada atau dalil lain, berdasarkan suatu perhitungan/hitung-menghitung, ukur-mengukur, timbang-menimbang, bukan atas dasar observasi. Dalam membuktikan kebenaran itulah kita mengenal adanya, pada awalnya aritmatika, matematika, goniometri, ilmu ukur dan sebagainya. Asas matematika hanya mengenal “logika dua nilai” (two value logic) yaitu benar dan tidak benar (salah). Contoh yang sederhana adalah dua ditambah dua sama dengan empat. Itu berarti penjumlahan tersebut memiliki nilai benar. Apabila kita mengatakan tiga kali empat sama dengan lima belas, maka hasil itu dikatakan tidak benar (salah). b) Objek Ilmu Deduktif Objek ilmu deduktif adalah angka atau bilangan yang mungkin jumlahnya satu atau lebih dari satu, yang dikenal dengan himpunan atau semacam deret. Objek itu berupa lambang atau simbol yang digunakan sebagai relasi antar objek. Kita mengenal angka Romawi (I, II, III, dan seterusnya) atau angka-angka Arab (1, 2, 3, dan seterusnya), yang semuanya merupakan simbol atau lambang. Selain itu, kita juga mengenal simbol dalam bentuk lain seperti +, -, >, <, , dan %. Pemakaian simbolsimbol dalam ilmu deduktif berguna agar validitas atau keabsahan dari pembuktian penjabaran-penjabaran dalil atau axioma atau rumus terbukti tidak salah dan, oleh karena itu, dianggap benar. 3.1.5 Cara Kerja Ilmu-ilmu Empiris yang Lebih Khusus: Ilmu Alam, Ilmu Hayat dan Ilmu-Ilmu tentang Manusia a) Cara Kerja Ilmu Alam 1) Pengertian Ilmu Alam Ilmu alam adalah ilmu yang membahas gejala-gejala alam (gejala alam yang tidak hidup). Sifat ilmu alam adalah empiris; artinya, gejala alam itu dianggap sebagai fenomena yang dapat dibuktikan secara indrawi, dan konkret. Contoh Ilmu-ilmu alam adalah geologi, astronomi, hidrologi, ilmu kimia, fisika, meteorologi, dan geodesi. 2) Sifat Ilmu Alam Ada praanggapan bahwa ada hukum alam yang dapat dikenakan pada seluruh gejala alam. Sifat hukum alam memiliki ciri kuantitatif, suatu ciri yang melekat pada gejala alam yang muncul di masa lalu maupun di masa yang akan datang. Ciri kuantitatif merujuk pada kenyataan bahwa gejala alam memiliki besaran tertentu dan karenanya dapat dihitung, diukur secara matematis. Selain itu, hukum alam memiliki sifat mekanistis, yaitu sifat keteraturan yang melekat pada gejala alam, dan sifat keteraturan itu berjalan secara berkala serta memiliki siklus tertentu. 3) Pendekatan atau Metode Ilmu-ilmu Alam Ada empat pendekatan atau metode ilmu-ilmu alam. Pertama, metode observasi atau pengamatan melalui pancaindra manusia yang didukung oleh alat tertentu. Kedua, metode deskripsi yang bertujuan untuk melukiskan atau menggambarkan gejala-gejala alam serta interaksi di antara gejala-gejala alam itu. Ketiga, metode erklaeren atau metode eksplanasi yang menerangkan berbagai hubungan gejala-gejala alam itu, yang satu dengan yang lainnya. Keempat, metode kausalitas yang mencoba menjelaskan gejala alam atas dasar hubungan sebab-akibat. b) Cara Kerja Ilmu Hayat 1) Pengertian Ilmu Hayat Ilmu hayat adalah ilmu pengetahuan yang membahas gejala alam yang bersifat hidup, atau memiliki sifat kehidupan. Sifat ilmu hayat adalah empiris, artinya gejala alam yang dianggap hidup dapat diamati secara indrawi atau faktual, nyata. Contoh ilmu hayat adalah ilmu tumbuh-tumbuhan dan ilmu hewan (zoologi). 2) Sifat Ilmu Hayat Sesuatu yang bersifat hidup memiliki organ-organ yang dapat tumbuh, mati, berkembang biak. Setiap organ dapat memiliki sel, jaringan yang membentuk suatu sistem yang memiliki nama, fungsi, peran/tugas, kegunaan serta tujuan tertentu. Sebagai suatu sistem yang baik, maka setiap organ itu memiliki daya-daya hidup saling melengkapi, saling menunjang sehingga sistem itu berjalan dengan sempurna. 3) Pendekatan atau Metode Ilmu-ilmu Hayat Ada empat pendekatan atau metode ilmu-ilmu hayat. Pertama, metode kausal yang berguna untuk melihat hubungan sebab-akibat yang berasal dari hubungan atau interaksi antarorgan. Di dalam hubungan kausalitas itu sebenarnya terdapat semacam “informasi” di antara masing-masing organ yang memungkinkan organ itu berproses swakendali, yang disebut proses sibernetik. Proses sibernetik merupakan proses yang dikendalikan oleh adanya informasi umpan balik dari organ-organ yang berjalan secara teratur (mekanistis). Proses umpan balik tersebut diartikan sebagai hubungan timbal balik di antara organisme. Sebagai contoh, daun mangga ketika masih tunas (kecil) berwarna hijau muda, ketika tumbuh menjadi lebih besar berwarna hijau tua, dan ketika daun itu mati berwarna kekuningan dan setelah mengering, maka daun itu gugur. Selama pohon mangga itu masih hidup, maka terulang proses pertumbuhan daun itu, dari tunas daun hingga daun berwarna hijau tua kemudian kekuningan, dan proses itu disebut proses sibernetik (proses swakendali). Sementara itu, karena adanya asupan informasi masing-masing organisme melalui sel fotografik maka proses itu dapat berlangsung secara teratur. Kedua, metode mekanistis, yaitu metode yang memunculkan adanya keteraturan tentang sistem yang berlaku pada gejala atau daya hidup dari organisme. Metode mekanistis memiliki tujuan tertentu yang disebut sebagai tujuan finalis (tujuan akhir) agar sistem organisme berjalan dengan sempurna. Ketiga, metode genetik, yaitu metode yang mengkaji secara historis bagaimana terjadinya sebuah organ, sel atau jaringan tertentu. Keempat, metode fungsional, yaitu metode yang melihat bahwa masing-masing organisme itu memiliki fungsi tertentu yang memungkinkan sistem organ itu berjalan dengan teratur dan baik. c) Cara Kerja Ilmu-ilmu Kemanusian 1) Pengertian Ilmu-ilmu Kemanusiaan Ilmu-ilmu kemanusiaan adalah ilmu yang mengkaji masalah kemanusiaan seperti masalah budaya, sosial, politik, dan ekonomi, yang terdapat dalam masyarakat. Ilmu-ilmu kemanusiaan memiliki objek kajian yang diamati secara empiris dan objek itu dianggap kongkret karena masalah kemanusiaan itu memiliki objek yang khusus yaitu manusia atau masyarakat tertentu. Contoh ilmu-ilmu kemanusiaan adalah antropologi, ilmu susastra, ilmu arkeologi, ilmu sejarah, sosioplogi, dan ilmu ekonomi. 2) Sifat Ilmu-ilmu Kemanusiaan Sifat yang paling menonjol dari ilmu-ilmu kemanusiaan adalah objeknya berkaitan dengan manusia yang memiliki tindakan bermakna (meaningfull action). Dengan tindakan bermakna manusia, atau seseorang, menghasilkan karya-karya tertentu misalnya karya sastra seperti Romeo dan Juliet karya William Shakespeare dari Inggris, karya seni seperti tari Pendet, dan lukisan Monalisa yang termashur karya Michelangelo. Untuk itu, apabila ingin mengkaji ilmu-ilmu kemanusiaan dengan lebih mendalam haruslah digunakan metode yang tepat agar objektivitas dan kebenaran ilmiahnya dapat terungkap dengan benar dan sahih. 3) Pendekatan atau Metode Ilmu-ilmu Kemanusiaan Metode yang sangat mendasar pada ilmu-ilmu kemanusiaan adalah metode pemahaman (methode verstehen). Metode pemahaman digunakan untuk memahami, meyakini tindakan-tindakan manusia ketika ia menciptakan suatu karya seni ataupun terlibat dalam peristiwa sejarah seperti jatuhnya pemerintahan Orde Baru di Indonesia pada tahun 1998. Di dalam metode pemahaman digunakan metode wawancara mendalam (depth intervieuw) yang bertujuan memahami dengan lebih baik dan mendalam tentang para pelaku budaya yang terlibat, misalnya pada peristiwa sejarah atau saat menciptakan karya seni. Metode yang lain adalah metode deskripsi, yaitu metode yang digunakan oleh para peneliti untuk mencatat, melukiskan dan menggambarkan seluruh sifat dan karakteristik objek penelitiannya. Pada awalnya ilmu-ilmu kemanusiaan hanya menggunakan metode kualitatif, yaitu metode yang bertitik tolak dari nilai-nilai (values) kemanusiaan (nilai moral, nilai budaya, nilai agama, nilai estetis/keindahan, dan sebagainya) dalam menganalisis data penelitiannya. Tetapi dengan perkembangan dan demi kemajuan ilmu itu, maka ilmuilmu kemanusiaan sejak awal abad XX ini telah menggabungkan metode statistik ke dalam penelitiannya. Sebagai contoh, di dalam penelitian psikologi, ilmu sosial, dan ilmu ekonomi, mereka telah menggunakan metode statistik dalam mengolah data penelitiannya. 3.2 REVOLUSI ILMU PENGETAHUAN Apa yang hendak kita ketahui tentang revolusi ilmu pengetahuan? Apakah revolusi semacam itu memiliki kegunaan bagi kita? Sebenarnya revolusi macam apakah itu? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu membutuhkan penjelasan yang cermat. Revolusi ilmu pengetahuan muncul di Eropa pada abad XVII. Pada masa itu Eropa dilanda krisis kehidupan yang cukup berat. Banyaknya pengangguran, kehidupan perekonomian yang sangat tidak menguntungkan rakyat jelata, dan kehidupan kenegaraan feodalisme yang sangat materialistis kapitalistis telah menumbuhkan berbagai gejolak. Berbagai revolusi muncul dalam sejarah perjalanan bangsa Eropa, seperti revolusi industri, revolusi pertanian, revolusi Prancis, serta revolusi ilmu pengetahuan. Revolusi ilmu pengetahuan terjadi pada abad XVII. Revolusi yang menandai bangkitnya kelompok intelektual bangsa Eropa itu adalah sebuah revolusi tentang perubahan cara berpikir serta persepsi manusia dalam mendapatkan pengetahuan bagi dirinya. Perubahan persepsi manusia itu menyangkut bagaimana cara berada sebuah objek yang menjadi pokok perhatian dalam kegiatan ilmiahnya. Sebuah objek (misalnya benda) dalam penelitian haruslah tampil di depan seorang peneliti secara nyata, konkret. Benda itu tampil secara konkret karena ada persentuhan indrawi si peneliti dengan benda itu. Selain itu, benda tersebut dapat diukur dan terukur secara matematis sehingga orang dapat mengamati berat, gerak, atau perubahan yang terjadi pada benda itu. Revolusi ilmu pengetahuan adalah perubahan cara berpikir masyarakat intelektual Eropa dari cara berpikir yang ontologis ke cara berpikir matematismekanistis. Cara berpikir ontologis adalah warisan yang ditinggalkan bangsa Eropa ketika pada Abad atau Masa Pertengahan (Middle Ages) diberlakukan hukum agama bagi segala-galanya, termasuk kegiatan ilmu pengetahuan. Dunia yang dialami manusia beserta pengetahuan yang dimilikinya merupakan keberadaan secara apa adanya (natura), alamiah yang memang itu milik manusia. Keadaan itu berlangsung cukup lama, hingga muncul Abad Renaissance yang mengubah segalanya. Manusia tidak lagi menjadi citra Tuhan, tetapi manusia memiliki rasio atau kesadaran manusia (akal budi) serta kreativitas keinginan untuk maju, memperbaiki kebudayaannya. Dunia manusia dan pengetahuannya adalah dunia antroposentris, dunia yang terpusat pada "kekuataan" akal budi manusia. Pada masa Renaissance dibangun kejayaan bangsa Eropa, yaitu mulai dipelajarinya pengetahuan yang berlandaskan rasionalitas dan empiristis. Berbagai peninggalan bangunan yang megah seperti karya seni (seni lukis, seni pahat, dan arsitektur) di daratan Eropa menandai bangkitnya bangsa Eropa untuk menguasai dunia seni maupun ilmu pengetahuan. Tokoh-tokoh pembaharu Humanis Renaissance, seperti Leonardo da Vinci, Michelangelo, N. Copernicus, J. Keppler, dan Galileo Galilei sangatlah termashur dengan karya-karya seni dan penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan. Fenomena alam dan sosial budaya dipelajari secara cermat untuk kemudian dimanfaatkan. Dari upaya yang cukup lama dan tak kenal lelah, maka berkembanglah ilmu-ilmu pengetahuan kealaman seperti fisika, ilmu kimia, dan kedokteran hingga ke Abad Aufklaerung (Abad Pencerahan), abad XVIII. Perintis ilmu fisika adalah Sir Isaac Newton yang mendasarkan fisika klasik dengan bukunya Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (Ilmu pengetahuan alam berdasarkan prinsip-prinsip matematis). Sejak itulah ilmu pengetahuan berkembang pesat dengan pendekatan matematis yang diterapkan dalam kajiannya. Cara berpikir matematis-mekanistis dalam revolusi ilmu pengetahuan yang dipelopori oleh Newton menjadi semacam "gaya" para intelektual untuk membuat analisis dalam penelitiannya. Pengamatan terhadap alam di sekitar para ilmuwan dilihat sebagai sesuatu yang dapat diukur, dan benda dianggap memiliki kriteria tertentu (berat, luas, isi, dan sebagainya.). Dengan pengamatan semacam itulah maka berbagai pendekatan terhadap cara kerja ilmu pengetahuan dikembangkan. Pendekatan yang bersifat kausalitas (hukum sebab-akibat) sangat mewarnai cara kerja ilmu pengetahuan. Benda, atau sesuatu, memiliki sifat seperti alam semesta dan terstruktur sehingga keteraturan hukum alam atau sifat mekanistis itu menjadi fokus dalam cara kerja ilmu. Cara kerja ilmiah didukung oleh percobaan atau eksperimen yang selalu berusaha menyempurnakan hasil percobaannya itu melalui usaha uji coba (trial and error). Di dalam laboratorium, percobaan itu juga didukung oleh sebuah “model”, suatu tiruan dari objek yang sesungguhnya, yang kemudian dijadikan sebagai objek penelitian. Dengan model itu para peneliti dapat menganalisis dan mengembangkan penelitiannya dengan lebih sempurna. Akibat dari "perjalanan" dan proses revolusi ilmu pengetahuan, muncullah nilainilai dasar pada cara berpikir manusia. Pertama, nilai alam. Alam semesta memiliki tata susunan yang berada pada hukum alam, dan kosmos adalah sesuatu yang dianggap memiliki struktur tertentu. Kedua, nilai budaya. Kemajuan manusia ditandai dengan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan yang dapat digunakan untuk memajukan kebudayaan manusia. Dengan kemajuan manusia, terutama dalam cara berpikir yang antroposentris, manusia mampu mengubah kebudayaannya dan teknologinya menjadi sesuatu yang sangat berarti dan bermakna bagi kehidupannya melalui proses belajar. Ketiga, nilai ekonomi. Nilai ini tercipta karena para pelaku revolusi ilmu pengetahuan memiliki semangat kerja yang tinggi. Para ilmuwan mulai menciptakan teknologi yang tepat guna bagi kebutuhan masyarakat, sehingga muncullah mesin-mesin dalam berbagai sektor industri. Pada awalnya industri berasal dari kerja rumahan (industri rumahan) baru kemudian berkembang menjadi industri pabrikasi. Barang-barang yang dihasilkan oleh mesin-mesin (industri pabrikasi) itu mampu menembus pasaran dengan daya jual yang tinggi. Dengan demikian terciptalah nilai ekonomis yang menuntut kemandirian, tanggung jawab, dan kerja sama di antara para pelaku ekonomi sehingga nilai ekonomis dapat dimanfaatkan tidak hanya oleh sekelompok orang saja melainkan juga oleh seluruh masyarakat. 3.3 PENGERTIAN FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN 3.3.1 Kedudukan Filsafat Ilmu Filsafat Ilmu atau Filsafat Ilmu Pengetahuan berasal dari tradisi Filsafat Barat. Diperkenalkan oleh sekelompok ahli ilmu pengetahuan kealaman dari universitas Wina, pada abad XIX, Filsafat Ilmu menjadi mata ajaran di universitas tersebut. Para ahli ilmu pengetahuan kealaman yang berasal dari berbagai disiplin ilmu (ilmu kimia, fisika, matematika) itu, antara lain Moritz Schlick, Hans Hahn, dan Hans Reichenbach, telah memberikan sumbangan yang besar kepada filsafat ilmu pada awal perkembangannya. Dipelopori oleh Moritz Schlick, mereka tergabung dalam kelompok diskusi ilmiah yang dikenal sebagai "Lingkaran Wina" (Viena Circle). Lingkaran Wina menginginkan bahwa di dalam ilmu pengetahuan terdapat unsur pemersatu. Unsur pemersatu itu, yang mereka sebut ilmu terpadu (unified science) haruslah bertitik tolak dari bahasa ilmiah dan cara kerja ilmiah yang pasti dan logis. Filsafat ilmu telah sangat berkembang dan menjadi kajian yang lebih modern. Beberapa bidang keilmuan sangat membutuhkan proses kerja ilmiah yang relevan dengan pokok perhatian atau fokus yang lebih spesifik. Contohnya adalah filsafat ilmu kedokteran dan filsafat ilmu sosial. Dalam kajian tersebut fokus filsafat ilmu diarahkan pada bagaimana ciri dan cara kerja kegiatan ilmiah diterapkan pada persoalan manusia dan kesehatan atau kehidupan manusia dalam kehidupan sosial serta interaksi dengan masyarakat. Secara historis, cikal-bakal filsafat ilmu telah diperkenalkan oleh bangsa Yunani yang diawali oleh filsuf Aristoteles (abad VI seb.M). Dalam tradisi filsafat Barat telah dikenal pula adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema-tema tertentu, yakni ontologi, epistemologi dan aksiologi. Tema ontologi berbicara tentang problem "ada", yaitu tema yang membahas masalah keberadaan sesuatu, misalnya keberadaan makhluk hidup dan alam semesta, yang semuanya itu merupakan keberadaan yang dapat ditangkap dan dibedakan secara empiris. Sisi lain tema ontologi terdapat keberadaan sesuatu yang tidak dapat ditangkap dan hadir secara empiris, atau konkret, yaitu metafisika. Metafisika (meta: di belakang, fisika: sesuatu yang konkret) adalah sebagai sesuatu yang mengkaji tentang berbagai hal seperti gagasan, idea, ataupun konsep. Gagasan ataupun konsep itu sebagai semacam prinsip yang muncul atas dasar penalaran manusia. Prinsip itu sendiri memang tidak dapat dibuktikan secara empiris, tetapi orang akan mengenal prinsip tersebut apabila diaktualisasikan melalui sebuah tulisan. Sebagai contoh, gagasan Einstein tidak akan dikenal luas oleh masyarakat ilmuwan apabila ia tidak membuktikan gagasannya dan menuliskan gagasannya itu setelah melalui berbagai penelitian yang tidak kenal lelah secara uji coba (trial error). Tema kedua, epistemologi, ialah tema yang mengkaji pengetahuan (episteme berarti ‘pengetahuan’). Dalam epistemologi dibahas berbagai hal seperti batas pengetahuan, sumber pengetahuan, serta kriteria kebenaran. Batas pengetahuan adalah pengalaman manusia dalam mengkaji sesuatu yang menjadi minat penelitiannya. Oleh karena itulah ilmu pengetahuan, misalnya ilmu kedokteran dengan psikologi sangat berbeda, karena masing-masing ilmu itu memiliki ruang lingkup sendiri (objek forma yang berbeda). llmu kedokteran membahas masalah kesehatan manusia yang berkaitan dengan penyakit tertentu sedangkan psikologi membahas perilaku manusia dari aspek kejiwaannya. Sumber pengetahuan manusia adalah akal budinya. Dengan akal budinya manusia mampu berpikir tentang sesuatu, memikirkan gagasan untuk menciptakan karya-karya seni atau teknologi, dan dengan akal budinya pula manusia dapat belajar, berhubungan dengan orang lain, mampu berdialog tentang apa saja dengan siapa saja. Sedang kriteria kebenaran sebagai upaya pencarian objektivitas terhadap pengenalan manusia yang bersifat empiris. Apa yang dilihat, misalnya sebuah kursi, maka kursi itu haruslah sesuai dengan kriteria kursi, memiliki alas duduk, sandaran. Atas dasar itulah maka objektivitas sebuah benda yang diamati memiliki kebenaran. Tema ketiga, aksiologi, ialah tema yang membahas masalah nilai atau norma yang berlaku dalam kehidupan manusia. Nilai diartikan sebagai sebuah penilaian tentang apa yang telah dilakukan oleh manusia dalam kaitannya dengan relasi manusia, baik atau buruknya tindakan manusia. Nilai (value) muncul dalam kehidupan manusia dalam bentuk sebagai nilai yang berada dalam sistem kemanusiaan seseorang, misalnya nilai moral/nilai etis, nilai budaya, nilai keagamaan/religius, dan nilai keindahan. Sebagai contoh, Tedy memiliki nilai moral yang tinggi, ia bekerja sebagai seorang arsitek di sebuah perusahaan kontraktor bangunan “Indah Selalu” dengan penuh tanggung jawab dan dedikasi yang tinggi terhadap tugasnya. Ia tidak suka memfitnah atau menjelek-jelekkan teman sejawatnya di hadapan atasannya dengan harapan ia dapat menjadi orang kepercayaannya. Dengan uraian di atas, maka sampailah kita pada pemetaan atau kedudukan filsafat ilmu apabila ia diletakkan pada lingkup ilmu filsafat. Agaknya lingkup epistemologi menjadi tempat yang tepat bagi filsafat ilmu. Filsafat ilmu membahas persoalan ilmu pengetahuan dengan berbagai problematiknya, terutama yang berkaitan dengan metodologi atau pembenaran ilmiah. Dengan kata lain, ciri keilmiahan suatu ilmu pengetahuan dengan cara kerja ilmiah menjadi bahan yang dikaji dalam filsafat ilmu. Sedang epistemologi membahas batas, sumber, dan kebenaran pengetahuan, yang semuanya itu memerlukan kajian yang bersifat rasional. Demikian juga filsafat ilmu mengkaji ciri dan cara kerja ilmu pengetahuan berlandaskan rasionalitas atau akal budi manusia. Ini berarti bahwa jembatan rasionalitas menjadi media bagi filsafat ilmu dengan aspek epistemologi untuk menemukan kebenaran ilmiah atau validitas ilmu pengetahuan. 3.3.2 Tujuan dan Kegunaan Mempelajari Filsafat Ilmu Tujuan mempelajari filsafat ilmu adalah untuk dapat (1) memahami persoalan ilmiah dengan melihat ciri dan cara kerja setiap ilmu atau penelitian ilmiah dengan cermat dan kritis; (2) melakukan pencarian kebenaran ilmiah dengan tepat dan benar dalam persoalan yang berkaitan dengan ilmunya (ilmu budaya, ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu keperawatan, ilmu hukum, ilmu sosial, ilmu ekonomi dan sebagainya) dan juga persoalan yang menyangkut seluruh kehidupan manusia seperti: lingkungan hidup, peristiwa sejarah, dan kehidupan sosial politik; (3) memahami bahwa terdapat dampak kegiatan ilmiah (penelitian) yang berupa teknologi ilmu (misalnya alat yang digunakan oleh bidang medis, teknik, dan komputer) dengan masyarakat yaitu berupa tanggung jawab dan implikasi etis. Contoh dampak tersebut ialah masalah euthanasia dalam dunia kedokteran yang masih sangat dilematis dan problematis, penjebolan terhadap sistem sekuriti komputer, pemalsuan terhadap hak atas kekayaaan intelektual (HAKI), dan plagiarisme dalam karya ilmiah. 3.3.3 Cara Kerja dan Problema Filsafat Ilmu Cara kerja filsafat ilmu haruslah dimulai dengansuatu anggapan bahwa setiap ilmu pengetahuan merupakan ilmu yang bersifat: (1) sistematis (sistem dalam susunan pengetahuan dan cara memperolehnya karena adanya berbagai hubungan gejala yang teratur sehingga merupakan suatu keseluruhan yang utuh); (2) logis (gejala pengetahuan diamati dan dianalisis secara rasional); (3) intersubjektif (kepastian ilmu pengetahuan tidak melulu didasarkan pada emosi atau pemahaman si ilmuwan tetapi didasarkan dan dijamin oleh sistem pengetahuan itu sendiri); (4) rasional; (5) serta memiliki cara kerja ilmu pengetahuan yang mengupayakan pembenaran secara metodologis. Dengan demikan filsafat ilmu dapat melihat bahwa refleksi kritis terhadap ciri dan cara kerja ilmu pengetahuan dapat menunjukkan adanya dua aspek, yaitu aspek internal dan aspek eksternal. Aspek internal lebih mengarah pada kegiatan ilmiah yang bersifat metodologis. Aspek internal context of justification berkaitan erat dengan pembenaran suatu pengetahuan. Sebagai contoh, ilmu kedokteran atau teknik akan menjadi sangat kokoh apabila secara de jure memiliki landasan filosofis yaitu kebenaran epistemologis (teori kebenaran atau teori pengetahuan). Aspek eksternal context of discovery lebih mengarah pada hasil dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibuat oleh para ilmuwan di masa lalu hingga kini. Oleh karena itulah timbulnya ilmu pengetahuan serta kegunaan ilmu itu dapat ditelusuri secara historis. Dalam rangka penelusuran secara historis, secara de facto hasil ilmu dan teknologi diterima dan digunakan oleh manusia sesuai dengan kebutuhannya. Teknologi berkembang seiring dengan kemajuan dan perkembangan setiap ilmu. 3.4 TEORI KEBENARAN Di bagian ini akan dijelaskan bahwa kebenaran dalam kegiatan ilmiah dan filsafat ilmu bersumber pada kebenaran epistemologi. Kebenaran filsafat ilmu itu mengacu pada teori pengetahuan atau teori kebenaran klasik yang terkait dengan tradisi filsafat Barat. Teori pengetahuan dipandang sebagai teori kebenaran yang sifatnya universal dan berlaku umum untuk berbagai bidang keilmuan (misalnya ilmu kedokteran, teknik, ilmu ekonomi, dan ilmu budaya) yang bertujuan mencari objektivitas dan kebenaran ilmiah. Teori pengetahuan atau teori kebenaran dalam epistemologi terdiri atas tiga teori kebenaran, yaitu teori korespondensi, teori koherensi dan teori pragmatik. Teori korespondensi adalah teori kebenaran yang bersumber dari persesuaian antara seorang subjek dengan objek yang dilihatnya. Sebagai contoh, seseorang akan mengatakan bahwa yang dilihatnya adalah sebuah meja besi apabila kriteria meja besi (biasanya berkaki empat, mempunyai daun, terbuat dari besi) itu sesuai benar dengan meja itu. Ini berarti bahwa ada teori korespondensi dalam kasus itu. Teori koherensi akan terjadi apabila ada persesuaian di antara beberapa subjek dengan objek yang diamatinya. Sebagai contoh, semua orang di rumah Bapak Santoso setuju dan sepakat bahwa televisi itu memiliki antena yang berwarna merah. Hal itu menunjukkan bahwa ada kebenaran koherensi di antara semua orang di rumah bapak Santoso. Teori pragmatik adalah teori kebenaran yang terjadi karena ada manfaat serta kegunaan dari sebuah ilmu pengetahuan. Contoh, Tuti akan belajar dengan tekun di Fakultas Teknik Arsitektur agar ia cepat lulus menjadi seorang arsitek dan dapat segera bekerja. Teori kebenaran (teori korespondensi, koherensi dan pragmatik) yang ada pada filsafat ilmu adalah sebagai dasar mencari kebenaran dalam setiap kegiatan ilmu pengetahuan. Dalam pencarian kebenaran terjadi berbagai perubahan gejala, peningkatan ataupun kemajuan bagi ilmu itu sendiri. Tiga teori kebenaran itu pun mendukung pelaksanaan kegiatan ilmu secara konkret, yaitu sebagai penerapan antara sisi teoretis dengan sisi praksis, praktek dan kegunaannya. Di sisi lain, batas pengetahuan juga menjadi landasan dalam teori kebenaran. Ruang lingkup pengetahuan adalah pengetahuan yang memiliki keluasan wilayah secara tertentu. Melalui keluasannya yang terukur itu, pengetahuan dibatasi oleh pancaindera manusia. Dengan demikian sejauh mata memandang terhadap apa yang dilihat kita, maka hal menjadi pengetahuan manusia. Ini berarti bahwa pengetahuan manusia bersumber pada indera manusia dan hasil pengetahuan itu disebut sebagai pengetahuan indrawi atau pengetahuan empiris (empiris dari kata empêria yang artinya pengalaman manusia muncul karena diperoleh oleh sentuhan indrawi). Selain pengetahuan indrawi, terdapat pengetahuan non-indrawi yang juga menjadi sumber pengetahuan manusia. Pengetahuan non-indrawi adalah pengetahuan yang berasal dari akal budi manusia atau rasio manusia. Melalui akal budi atau rasio, manusia dapat berpikir, dapat memiliki gagasan atau ide dan hasil dari kemampuan berpikir itu adalah pengetahuan non-indrawi atau pengetahuan rasional. Struktur pengetahuan juga menjadi landasan bagi teori kebenaran. Struktur pengetahuan adalah susunan dari berbagai elemen pengetahuan yang dilandasi oleh suatu konsep tertentu. Berbagai elemen pengetahuan seperti fenomena atau gejala atau sesuatu yang berada di depan kita (gunung, pasien, rumah, mobil ambulans), ide tentang masa depan sebuah negara, atau teori Newton, semua itu dapat menjadi elemen dari "bangunan" pengetahuan kita. Sebenarnya, bangunan pengetahuan itu merupakan kumpulan berbagai elemen yang disusun sedemikian rupa sehingga terbentuk bangunan pengetahuan yang kokoh. Dalam proses itu terdapat pelaku yang sangat berperan, yaitu subjek. Subjek ialah seseorang yang tertarik mencari pengetahuan atas dasar minat serta keterarahan (intensionalitas), dan yang dicari itu adalah objek. Dengan demikian terdapat interaksi antara subjek dengan objek dalam pencarian pengetahuan. Struktur pengetahuan akan terjadi apabila terdapat hubungan atau interaksi antara subjek dengan objek 3.5 PARADIGMA ILMU PENGETAHUAN Paradigma ilmu haruslah dilihat sebagai sebuah model penyelidikan ilmiah yang digunakan sebagai pola dasar untuk berpikir, merencanakan usulan penelitian, atau berbagai kasus penelitian seperti studi kasus pada ilmu-ilmu empiris, ilmu filsafat, dan ilmu pengetahuan alam. Tujuan paradigma ilmu adalah menemukan kebenaran. Kebenaran ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak mutlak (absolut). Setiap kebenaran yang dimunculkan oleh paradigma tertentu terbuka untuk difalsifikasi atau dikaji apabila kebenaran itu mulai digoyahkan oleh pendapat-pendapat baru. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, paradigma yang dianggap sebagai model atau pola berpikir bagi seorang peneliti memiliki kriteria dasar seperti nilai kualitas, nilai kuantitas, dan nilai kebenaran. Nilai-nilai yang dimiliki paradigma akan membentuk sebuah model paradigma. Atas dasar itulah penulis meletakkan model dasar pada paradigma. Paradigma ilmu mengenal enam paradigma dasar, yaitu (1) paradigma kuantitatif, (2) paradigma kualitatif, (3) paradigma induktif-deduktif, (4) paradigma piramida atau limas ilmu, (5) paradigma siklus empiris, dan (6) paradigma "rekonstruksi teori". Paradigma kuantitatif adalah model penyelidikan ilmiah yang bertitik tolak pada perhitungan matematis. Objek penelitian yang menampilkan berbagai gejala atau fenomena empiris harus dilihat sebagai "elemen" yang dapat dihitung dengan perhitungan (besaran) tertentu dan untuk itu digunakan "alat" bantu perhitungan matematis. Gejala-gejala medis pada pasien, seperti suhu tubuh, dapat diukur dengan alat pengukur. Gejala gempa dapat diukur besar tekanannya dengan skala Richter. Paradigma kualitatif adalah model penyelidikan ilmiah yang melihat kualitas-kualitas objek penelitiannya seperti perasaan (emosi) manusia, pengalaman menghayati hal-hal religius (sakral), keindahan suatu karya seni, peristiwa sejarah, dan simbol-simbol ritual atau artefak tertentu. Kualitas-kualitas itu haruslah dinilai atau "diukur" berdasarkan pendekatan tertentu (misalnya menggunakan metode semiotik, metode hermeneutik, atau teori sistem) yang sesuai dengan objek kajiannya. Paradigma kualitatif menghindari perhitungan matematis karena yang dicari adalah nilai (value) yang muncul dari objek kajian yang bersifat khusus, bahkan sangat spesifik, unik, dan selalu mengandung tindakan bermakna (meanin full action). Paradigma induktif-deduktif adalah model penyelidikan ilmiah yang digunakan sebagai pola berpikir seorang peneliti untuk memiliki penalaran yang induktif (mengambil kesimpulan dari hal-hal yang khusus untuk sampai pada hal yang umum) dan deduktif (mengambil kesimpulan dari penalaran yang bersifat umum untuk sampai pada hal-hal yang khusus). Seseorang dapat menggunakan paradigma induktif-deduktif secara bersamaan. Artinya ia dapar berpikir induktif dahulu untuk kemudian berpikir secara deduktif, tetapi dapat pula menggunakan penalaran induktif atau deduktif saja. Tujuan paradigma induktif-deduktif lebih bersifat aplikatif dalam penalaran dan digunakan dalam suatu penelitian ilmiah agar seseorang dapat memiliki penalaran yang logis dan konsep berpikir yang runtut. Sebagai contoh, penalaran induktif-deduktif dapat diterapkan ketika mencari data, menggolong-golongkan data, merumuskan masalah, dan sebagainya. Paradigma piramida atau limas ilmu adalah model penyelidikan ilmiah dengan menggunakan konsep yang bertujuan mengkonstruksi tahapan-tahapan kegiatan ilmiah secara berlapis-lapis seperti bentuk piramida. Bagian bawah piramida merupakan bagian yang paling dasar dan paling luas, sedangkan makin ke atas luas lapisan piramida makin berkurang. Lapisan teratas merupakan kerucut piramida. Lapisan-lapisan itu dimaksudkan sebagai gambaran proses penelitian yang mengacu kepada tahapantahapan observasi, data, hipotesis, pengujian hipotesis, dan hasil penelitian yang berupa teori baru. Pola pikir seorang ilmuwan dibentuk seperti model piramida berlapis: makin ke atas, tujuan penelitian makin tercapai; puncak kerucut merupakan gambaran ditemukannya sebuah teori baru. Bentuk atau model piramida lain adalah piramida ganda. Piramida ganda atau bahkan piramida-piramida lain akan muncul apabila seseorang mampu membuat piramida lain atas dasar landasan piramida yang telah ada. Lihat Bagan 1: Model Piramida Ilmu. Bagan 1: Model Piramida Ilmu Piramida ganda Piramida terbalik Piramida terbalik adalah suatu kerangka berpikir atau model piramida yang berlandaskan sebuah teori. Kegiatan penelitian yang menggunakan model piramida terbalik memulai proses kerjanya dari sebuah teori (yang telah dianggap baku). Melalui teori, seorang peneliti akan memulai kegiatannya dengan observasi terhadap teori tersebut. Observasi menentukan langkah berikutnya, yaitu tahap-tahap penelitian atau lapisan-lapisan piramida) seperti data, permasalahan (hipotesis), pembuktian-pengujian hipotesis, dan hasil penelitian yang berupa teori baru. Paradigma siklus empiris sangat diakrabi ilmu-ilmu empiris. Paradigma tersebut membutuhkan langkah awal, yaitu observasi yang bersifat induktif Beberapa tokoh seperti de Groot dan Walter Wallace menampilkan siklus empiris yang beranjak pada pengamatan faktual. Pada umumnya, paradigma siklus empiris memiliki komponenkomponen yang saling berkaitan dan hubungan-hubungan yang sedemikian rupa tersebut dapat dievaluasi secara siklus (periodik, berkala). Tahapan-tahapan dalam siklus empiris akan membentuk pola berpikir bagi subjek (Ilmuwan/peneliti) dalam melakukan kegiatan ilmiahnya. Walter Wallace mencoba menjelaskan paradigma siklus empiris secara rinci dengan memperhatikan unsur metodologis. Paradigma siklus empiris adalah model penyelidikan ilmiah yang sifatnya berkala, memiliki beberapa elemen yang terdiri atas komponen informasi (data, konsep, kategori) dan komponen kontrol metodologis (evaluasi, pengujian, teori). Kemampuan seseorang dalam mengolah data dan pengujian hipotesis sangat menentukan hasil penelitiannya. Paradigma "rekonstruksi teori" adalah model penyelidikan ilmiah yang berusaha membangun (rekonstruksi) beberapa teori atau metode yang digunakan dalam sebuah penelitian. Tujuan penggunaan paradigma rekonstruksi teori adalah untuk menunjang proses penelitian agar berjalan lebih sempurna sehingga kebenaran ilmiahnya pun dapat terjaga sesuai dengan proses metodologis yang berlaku. Untuk itu, seseorang yang ingin menggunakan paradigma "rekonstruksi teori" haruslah memahami dengan benar teoriteori yang akan digunakannya dan memastikan dengan benar bahwa teori-teori itu saling menunjang dan berguna (dapat diterapkan) dalam penelitiannya. Berbagai pertimbangan yang sifatnya rasional, misalnya penguasaan teori dan kemampuan menerjemahkannya secara aplikatif, harus menjadi pertimbangan utama apabila seseorang akan menggunakan paradigma "rekonstruksi teori". Semua paradigma yang ada dapat digunakan oleh seorang peneliti dalam penelitiannya. Sebagai konsep berpikir, model penyelidikan ilmiah sangatlah abstrak. Paradigma digunakan untuk tujuan menuntun pola pikir seseorang ke arah norma metodologis sehingga secara de jure dapat dipertahankan secara benar dan sahih. Paradigma ilmu dapat diperkaya apabila si ilmuwan mampu merekonstruksikan berbagai teori yang telah ada. Rekonstruksi tersebut harus disertai dengan sebuah "catatan" bahwa berbagai teori yang akan direkonstruksi harus saling menunjang dan sesuai dengan tujuan penelitian. Kemampuan ilmuwan mengabstraksi sangat diperlukan agar rekonstruksi terhadap sebuah paradigma menjadi lebih sahih dan menunjang kebenaran ilmiah. BAB IV ETIKA Bab ini menguraikan rumusan etika dan pembagian etika menjadi etika deskriptif, etika normatif, metametika, dan etika terapan. Sebagai ilmu tentang moralitas manusia, muncul dalam perkembangannya etika profesi. Kaidah atau norma etika yang berkaitan dengan moralitas seperti hati nurani, kebebasan, tanggung jawab, nilai dan norma, hak dan kewajiban akan diuraikan secara sistematis. 4.1 DEFINISI ETIKA Etika adalah salah satu cabang dari filsafat yang bertitik tolak dari masalah nilai (value) dan moral manusia yang berkenaan dengan tindakan manusia. Kata etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, ethos, yang artinya ‘cara bertindak’, ‘adat’, ‘tempat tinggal’, ‘kebiasaan’. Sedang kata moral berasal dari bahasa Latin, mos yang berarti sama dengan etika. Istilah etika sendiri sudah dipakai oleh filsuf besar Yunani, Aristoteles (384— 3322 SM), untuk menunjukkan pengertian tentang filsafat moral. Etika dibedakan dari semua cabang filsafat lain, karena tidak hanya mempersoalkan keadaan manusia, melainkan juga bagaimana ia harus bertindak dan berperilaku. Tindakan manusia adalah norma-norma moral yang dapat berasal dari “suara batin – hati nurani”. Norma-norma ini merupakan bidang dan kajian etika. Perumusan dari sudut etimologis belumlah cukup untuk memahami etika. Penelusuran melalui beberapa rumusan atau sumber dapat memberikan gambaran yang utuh tentang pengertian etika. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1993), dijelaskan bahwa etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban (ahlak). Dalam KBBI tersebut dibedakan pula antara etika, etik dan etiket. Etik ialah kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan ahlak; atau, etik adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Penjelasan ini mengingatkan kita tentang kode etik profesi seperti kode etik dokter, kode etik profesional informasi, kode etik pegawai negeri, kode etik pustakawan, dan sebagainya. Etiket adalah tata cara (adat, sopan santun, dan sebagainya) di masyarakat beradab dalam memelihara hubungan yang baik dengan sesama manusia. Di kalangan masyarakat luas, orang mengenal pula etiket sebagai label atau penamaan tentang sesuatu yang dituliskan pada secarik kertas dan dilekatkan pada benda tertentu (botol, kaleng, kotak, dan sebagainya). Dari ketiga kata tersebut, hanya etika dan etik yang berkaitan dengan nilai, moral. Etiket tidak berkaitan atau berhubungan dengan moral. Ada istilah lain (yang sebenarnya merupakan kata dasar dari etika), yaitu ethos. Di dalam KBBI (1993) ethos dirumuskan sebagai pandangan hidup yang khas dari suatu golongan sosial. Dalam bahasa Indonesia, kata etos (ethos)1 dikaitkan dengan suatu profesi atau cara bekerja seseorang atau sekelompok masyarakat. Muncullah ethos kerja pegawai negeri, ethos kerja banker, ethos kerja profesional informasi, dan sebagainya. Arti ethos kerja menurut KBBI 1993 adalah ‘semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok’. Sebagian besar profesi memiliki aturan-aturan tertentu yang tercermin dalam kode etik (profesi pengacara, wartawan, arsiparis, dokter dan lainlain). Dari penjelasan tentang etika yang bersumber pada pengertian dasar, maka pemahaman selanjutnya adalah memahami tentang etika dari aspek filosofis. Etika merupakan bagian dari ilmu filsafat yang mempelajari berbagai nilai (value) yang diarahkan pada perbuatan manusia, khususnya yang berkaitan dengan kebaikan dan keburukan dari hasil tindakannya. Perbuatan seseorang itu baik ataukah buruk di mata orang lain telah menunjukkan tentang bagaimana penilaian orang lain terhadap dirinya. Sedang bagi seseorang yang melakukan tindakan atau perbuatan tertentu diharapkan darinya memunculkan keinginan atau kesadaran untuk berbuat baik. Berbuat baik tanpa merugikan orang lain merupakan suatu kehendak yang sangat terpuji. Tetapi tidak semua orang dapat melakukan perbuatan baik atau dianggap baik karena adanya berbagai faktor seperti keinginan dirinya terlalu besar untuk misalnya tidak ingin dipersalahkan dalam suatu hal, atau adanya konflik terhadap orang lain dan sebagainya. Oleh karenanya dalam melakukan tindakan etis atau melakukan perbuatan baik diperlukan berbagai pertimbangan yang sifatnya rasional. Pertimbangan rasional artinya mempertimbangkan berbagai kemungkinan untuk berbuat baik atau melakukan tindakan baik secara jernih, tanpa dilandasi oleh sikap emosional yang berlebihan. Mempelajari etika haruslah dilandasi dengan pendekatan rasional dan kritis agar etika itu dapat diterapkan pada tindakan keseharian seseorang, baik dalam bekerja maupun melakukan relasi dengan orang lain. Selain itu, etika harus dilihat dan dipahami di dalam cara seseorang bertindak atau berperilaku dalam mengikuti aturan maupun norma-norma moralitas yang berlaku (moralitas tertentu) serta bagaimana seseorang dapat mengambil sikap yang bertanggungjawab terhadap berbagai norma moralitasnya. Etika sering disebut filsafat tentang moral. Berfilsafat tentang moral berarti melakukan refleksi atau merenungkan secara mendalam berbagai ajaran moral (kebaikan) secara kritis. Harus dibedakan antara etika dengan moral. Etika tidak lain mempelajari “keilmiahan” – secara kritis dan logis tentang tindakan manusia mengenai “yang baik” dan “yang buruk”; atau, dengan kata lain, etika mempelajari berbagai ajaran moral secara kritis dan logis. Sedang moral lebih merupakan nasihat-nasihat, ataupun wejangan-wejangan yang berasal atau bersumber pada masyarakat, yang dapat berupa ajaran-ajaran pada adat-istiadat suatu masyarakat dan ajaran agama. Moral lebih menunjukan sifat yang aplikatif pada tindakan manusia tentang “yang baik” dan “yang buruk”. Apabila orang tidak memiliki atau bertentangan dengan sikap baik atau moralis, tidak etis, sering dikatakan orang itu immoral (bukan amoral, sebab amoral berarti ‘tidak berhubungan dengan konteks moral’). Seperti lazimnya dalam ilmu pengetahuan, maka etika memiliki objek atau sesuatu yang dibahas. Pokok bahasan yang sangat khusus pada etika adalah sikap kritis manusia dalam menerapkan ajaran-ajaran moral terhadap perilaku manusia yang bertanggung jawab. Ajaran-ajaran moral tersebut sangat menentukan tantang bagaimana moral manusia itu “dibina” baik melalui pendidikan formal maupun pendidikan non1 Kata ethos dari bahasa Yunani sudah lazim dipakai sesuai ejaan aslinya. Untuk itu sebaiknya kita menggunakan ejaan aslinya dalam kebutuhan akademis maupun di luar masyarakat akademis agar pengertian yang sebenarnya itu terungkap secara implisit. formal. Banyak yang mengatakan bahwa etika adalah ilmu yang bersifat praktis. Pengertian praktis menunjukan bahwa etika sebagai ilmu yang lebih mengarah pada kegunaan etika itu sendiri manakala menerapkannya pada perilakunya. Perilaku seseorang tersebut ditunjukan pada kehidupan sehari-hari baik itu secara individual maupun dalam kehidupan masyarakat. 4.2 ETIKA NORMATIF DAN ETIKA TERAPAN Sebagai ilmu tentang moralitas, etika juga dapat dianggap sebagai ilmu yang menyelidiki tingkah laku moral manusia. Di dalam perkembangannya, etika dibedakan menjadi etika deskriptif, etika normatif dan metaetika (Bertens, 2001: 15—22). Dalam bagian ini akan dibahas dahulu pembagian etika dan kemudian dibahas tentang etika terapan. 4.2.1 Etika Deskriptif Etika deskriptif memberikan gambaran tentang tingkah laku moral dalam arti yang luas, seperti berbagai norma dan aturan yang berbeda dalam suatu masyarakat atau individu yang berada dalam kebudayaan tertentu atau yang berada dalam kurun atau periode tertentu. Norma atau aturan tersebut ditaati oleh individu atau masyarakat yang berasal dari kebudayaan atau kelompok tertentu. Sebagai contoh, masayarakat Jawa mengajarkan bertatakrama terhadap orang yang lebih tua dengan menghormatinya, bahkan dengan sapaan yang halus merupakan ajaran yang harus diterima. Apabila seseorang menolak melakukan hal itu, maka masyarakat menganggapnya aneh; ia dianggap bukan orang Jawa. Norma-norma tersebut berisi ajaran atau semacam konsep etis tentang yang baik dan tidak baik, tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Dengan kata lain, etika deskriptif mengkaji berbagai bentuk ajaran-ajaran moral yang berkaitan dengan “yang baik” dan “yang buruk”. Ajaran tersebut lazim diajarkan oleh para pemuka masyarakat pada masyarakatnya ataupun individu tertentu dan nampaknya sering terdapat pada suatu kebudayaan manusia. Pemerian atau penggambaran etika orang Jawa, atau etika orang Bugis, adalah contoh bentuk etika deskriptif. 4.2.2 Etika Normatif Bagian yang dianggap penting dalam studi etika adalah etika normatif karena ketika mempelajari etika normatif muncul berbagai studi atau kasus yang berkaitan dengan masalah moral. Etika normatif merupakan etika yang mengkaji apa yang harus dirumuskan secara rasional dan bagaimana prinsip-prinsip etis dan bertanggung jawab dapat digunakan oleh manusia. Di dalam etika normatif hal yang paling menonjol adalah munculnya penilaian tentang norma-norma tersebut. Penilaian tentang normanorma tersebut sangat sangat menentukan sikap manusia tentang “yang baik’ dan “yang buruk”. Dalam mempelajari etika normatif, dijumpai etika yang bersifat umum dan etika yang bersifat khusus. Etika umum memiliki landasan dasar seperti norma etis/norma moral, hak dan kewajiban, hati nurani, dan tema-tema itulah yang menjadi kajiannya. Sedang etika khusus berupaya menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas perilaku manusia yang khusus. Lama kelamaan etika khusus tersebut berkembang menjadi etika terapan (applied ethics). Etika khusus mengembangkan dirinya menjadi etika individual dan etika sosial. Etika individual menyangkut kewajiban dan sikap individu terhadap dirinya sendiri. Sedang etika sosial berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota umat manusia atau masyarakat. Bentuk etika sosial yang diterapkan pada berbagai bentuk memunculkan kajian-kajian mengenai etika keluarga, etika profesi (etika biomedis, etika perbankan, etika bisnis, dan sebagainya), etika politik, dan etika lingkungan hidup. 4.2.3 Metaetika Metaetika adalah kajian etika yang membahas ucapan-ucapan atau kaidahkaidah bahasa, khususnya yang berkaitan dengan bahasa etis (yaitu bahasa yang digunakan dalam bidang moral). Kebahasaan seseorang dapat menimbulkan penilaian etis terhadap ucapan mengenai “yang baik” dan “yang buruk” dan kaidah logika. Sebagai contoh, sebuah tayangan iklan obat-obatan dengan merk tertentu di televisi swasta sering menyesatkan banyak orang dengan slogan-slogan yang menganjurkan untuk minum obat tertentu dengan khasiat semua penyakit yang diderita akan hilang dan orang menjadi sehat kembali. Slogan-slogan tersebut sangat berlebihan dan ketika orang mulai mengkritiknya, maka oleh sekelompok produsen dimunculkan sebuah ucapan etis yang berbunyi: “Jika sakit berlanjut, hubungi dokter”. Ucapan etis tersebut seakan menjadi semacam perilaku moral yang baik yang dihadirkan oleh sekelompok produsen dan disampaikan agar masyarakat menjadi lebih “bijaksana” dalam meminum obat. 4.2.4 Etika Terapan Etika terapan (applied ethics) adalah studi etika yang menitikberatkan pada aspek aplikatif teori etika atau norma yang ada. Etika terapan muncul akibat perkembangan yang pesat dari etika dan kemajuan ilmu lainnya. Sejak awal Abad XX, etika terapan menjadi suatu studi yang menarik karena terlibatnya berbagai bidang ilmu lain (ilmu kedokteran, ilmu ekonomi, ilmu sosial, ilmu keperawatan, dan sebagainya) dalam mengkaji etika. Disebut etika terapan karena sifatnya yang praktis, yaitu memperlihatkan sisi kegunaannya. Sisi kegunaan itu berasal dari penerapan teori dan norma etika ketika berada pada perilaku manusia. Sebagai ilmu praktis, etika bekerja sama dengan bidang ilmu lain dalam melihat prinsip yang baik dan yang buruk. Penyelidikan atau kajian etika terapan meliputi dua wilayah besar, yaitu kajian yang menyangkut suatu profesi dan kajian yang berkaitan dengan suatu masalah. Kajian tentang profesi berarti membahas etika terapan dari sudut profesi tertentu, misalnya etika kedokteran, etika politik, etika bisnis, etika keperawatan. Etika terapan yang meyoroti berbagai masalah misalnya pencemaran lingkungan hidup menimbulkan kajian tentang etika lingkungan hidup; pembuatan, pemilikan dan penggunaan senjata nuklir menimbulkan kajian tentang etika nuklir; diskriminasi dalam berbagai bentuk (ras, agama, gender, warna kulit, dan lain-lain) menyebabkan munculnya studi tentang hal itu (misalnya etika feminisme dan etika multikultural). Jadi jelaslah bahwa etika terapan yang berkaitan dengan masalah tersebut sangat diminati oleh masyarakat modern saat ini karena topiknya aktual dan sangat relevan dengan kehidupan kontemporer. a) Pengertian Etika Profesi Bidang etika terapan yang dapat dipelajari secara lebih khusus adalah etika profesi. Etika profesi merupakan bidang yang sangat diperlukan oleh dunia kerja, khususnya yang berkaitan dengan kemajuan teknologi. Dalam arus globalisasi yang sedemikian pesat ini, ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan sumber daya manusia yang memiliki kecerdasan, keterampilan, serta kepandaian dalam mengolah dan menguasai teknologi yang dihadapinya ketika ia bekerja. Selain menguasai pendidikan formal, dan berpengalaman bekerja, sumber daya manusia itu membutuhkan semacam sarana untuk berpijak dalam bidang yang digelutinya. Sarana itu adalah etika profesi. Mengapa harus etika profesi? Etika profesi adalah etika yang berkaitan dengan profesi atau etika yang diterapkan dalam dunia kerja manusia. Di dalam dunia kerjanya, manusia membutuhkan pegangan, berbagai pertimbangan moral dan sikap yang bijak. Secara lebih khusus, etika profesi dapat dirumuskan sebagai bagian dari etika yang membahas masalah etis tentang bidang-bidang yang berkaitan dengan profesi tertentu, seperti dokter (kedokteran), pustakawan (perpustakaan), arsiparis (kearsipan), profesional informasi, ahli hukum, dan pengacara. Yang menjadi pertanyaan sekarang, sebenarnya profesi itu apa? Profesi (dalam bahasa Latin: professues ) semula berarti suatu kegiatan manusia atau pekerjaan manusia yang dikaitkan dengan sumpah suci. Atas dasar sumpah itulah manusia harus bekerja dengan baik. Selain itu ada beberapa istilah profesi yang harus dijelaskan, yaitu profesi yang menyangkut tindak bekerja yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup serta mengandalkan keahlian tertentu. Pengertian profesi yang lain, adalah sebagai perbuatan seseorang yang dilakukan untuk memperoleh nilai komersial. Dalam perbuatan itu, misalnya Tuan Komang bekerja sebagai pegawai administrasi perusahaan rokok BB. la merasa tidak bahagia, tetapi ia terpaksa menerima pekerjaan itu (meskipun dengan honor yang dianggapnya kurang memadai) karena mencari pekerjaan yang lebih memadai sangat sulit. Selain itu terdapat pengertian profesi sebagai komunitas moral (moral community) yang diikat oleh adanya cita-cita dan nilai bersama yang dimiliki seseorang ketika ia berada dan bersama-sama dengan teman sejawat dalam dunia kerjanya. Di sisi lain, seorang profesional hendaknya memiliki sejumlah keahlian yang diperolehnya secara formal, misalnya belajar di perguruan tinggi, sekolah tinggi dan sebagainya. Perolehan keahlian secara formal sangat penting dan menjadi bagian terpenting bagi seorang profesional ketika ia kelak disumpah atas dasar profesi tertentu. Tidaklah mungkin seorang dokter melakukan sumpah jabatan (dokter) apabila ia belum menyelesaikan studinya secara penuh. Dengan keahliannya seorang profesional bekerja di suatu tempat, membuka praktek, memberikan pelayanan kepada khalayak yang membutuhkannya. Dalam kaitannya dengan profesinya itu, seorang profesional berhadapan dengan klien atau pasien atau pemakai jasa, yaitu seseorang yang menaruh kepercayaan terhadap dirinya sehingga profesional tersebut memberikan pelayanan tertentu atas dasar keahliannya Untuk itu seorang profesional dapat menerima sejumlah honor atau pembayaran atas pelayanan yang diberikannya. Hubungan professional – klien/pasien/pemakai jasa berdasarkan semacam kontrak kerja atau perjanjian yang disepakati bersama. Dengan kesepakatan itu seorang profesional wajib membela kepentingan kliennya/pasiennya/pemakai jasa dan, sebaliknya, si klien/pasien/pemakai jasa harus memberikan sejumlah pembayaran yang juga telah disepakati bersama. Dalam hubungan kerja antara profesional–klien terdapat juga beberapa aspek moral atau pertimbangan-pertimbangan etis. Aspek moral atau pertimbangan etis menjadi landasan bagi kedua pihak untuk menjaga kepercayaan di antara mereka. Segala bentuk pelayanan haruslah memiliki aspek pro bono publico (segala bentuk pelayanan untuk kebaikan umum). Dalam hubungan pelayanan itu kebaikan umum dapat beraspek ganda. Pertama, adanya profesional yang memiliki profesi khusus, yang mementingkan pro lucro, yaitu demi keuntungan, sehingga pelayanan diberikan kepada klien. Kedua, pro bono, demi kebaikan si klien, sehingga pelayanan yang diberikan si profesional tidak semata-mata demi pembayaran. Dampak aspekaspek itudapat berupa timbulnya ketidakpastian dalam hubungan pelayanan (saling tidak percaya sehingga antara si profesional dengan kliennya tidak terdapat hubungan yang harmonis yang dapat berakibat pada pemutusan hubungan). Namun, aspek pro bono dapat memunculkan profesional yang memiliki profesi luhur, yaitu profesi yang semata-mata tidak mementingkan upah melainkan berdasarkan pengabdian pada masyarakat, misalnya perawat, guru, dosen, dan rohaniwan. Sesuatu yang tidak terpisahkan dari etika profesi adalah kode etik profesi yang merupakan “akibat” dari hadirnya etika profesi, yang muncul karena etika profesi tersebut berada dalam komunitas tertentu yang memiliki keahlian yang sama. Kode etik profesi merupakan aturan atau norma yang diberlakukan pada profesi tertentu. Di dalam norma tersebut muncul beberapa persyaratan atau kriteria yang bersifat etis dan harus ditaati oleh para pemilik profesi. Di dalam masyarakat ilmiah seperti kedokteran, ilmu perpustakaan, atau ilmu sejarah muncul kode etik yang berlaku bagi para dokter, para pustakawan, atau sejarawan yang tergabung dalam “wadah” tertentu (Ikatan Dokter Indonesia, Masyarakat Sejarah Indonesia, Himpunan Dosen Etika Seluruh Indonesia, dan lain-lain). Kode etik profesi yang tertua dipelopori oleh Hippocrates, seorang dokter Yunani Kuno yang hidup pada Abad V SM, yang dianggap sebagai Bapak llmu Kedokteran. Kode etik profesi itu kemudian terkenal dengan sebutan “Sumpah Hippocrates”. Melalui pemikiran-pemikiran etis, produk etika profesi muncul dalam masyarakat moral (moral community) yang dianggap memiliki cita-cita bersama dan dipersatukan oleh latar belakang pendidikan yang sama dan keahlian yang sama pula. Refleksi etis muncul di dalam kode etik profesi. Itu berarti bahwa kode etik dapat diubah atau diperbaharui susunan “aturan”-nya atau dibuat baru demi situasi atau kondisi yang baru akibat implikasi-implikasi yang muncul. Perubahan kode etik tidak mengurangi nilai etis atau nilai moral yang telah ada, tetapi justru menjadi nilai tambah bagi kode etik profesi itu sendiri. Selain itu di dalam kode etik profesi termaktub pernyataan-pernyataan yang berisikan pesan moral dan rasa tanggung jawab moral bagi yang akan menjalankan profesi itu. Bila terjadi pelanggaran kode etik profesi, maka profesional yang melanggar itu akan mendapatkan sangsi dari masyarakat moralnya (dalam hal ini institusi atau lembaga yang memiliki masyarakat dengan keahlian tertentu). Tujuan sangsi tersebut ialah untuk menyadarkan betapa pentingnya tanggung jawab moral ditegakkan di dalam dunia profesi. Sebagai sebuah kajian yang berkaitan dengan perilaku etis manusia yang bekerja, etika terapan memiliki objek. Objek forma etika profesi adalah perilaku etis atau perilaku manusia yang berkaitan dengan yang baik dan buruk. Untuk memperjelas objek tersebut, haruslah disebut juga objek forma etika profesi. Objek forma atau pokok perhatian dari etika profesi adalah perilaku manusia tentang yang baik dan buruk yang berkaitan dengan pekerjaannya. Dan dalam kaitannya dengan pekerjaannya itu maka seseorang hendaknya dapat memiliki kepekaan moralitas atau kepedulian etis untuk bersikap baik terhadap sesama rekan kerja, dan sesama manusia yang berkaitan dengan profesinya tanpa merugikan orang lain. b) Etika Profesi sebagai Ilmu Praktis dan Terapan Etika profesi hendaknya dilihat sebagai ilmu yang bersifat praktis. Oleh karena itu, di dalam kajiannya etika profesi tidak meninggalkan segi atau landasan teoretisnya. Sebagai ilmu praktis, etika profesi memiliki sifat yang mementingkan tujuan perbuatan dan kegunaannya, baik secara pragmatis maupun secara utilitaristis dan deontologis. Memandang etika profesi secara pragmatis berarti melihat bagaimana kegunaan itu memiliki makna bagi seorang profesional melalui tindakan positif berupa pelayanan terhadap klien, pasien atau pemakai jasa. Kegunaan yang bersifat utilitaristis akan sangat bermanfaat apabila dapat menghasilkan perbuatan yang baik. Seorang arsitek akan mendapatkan kebahagiaan apabila rancang bangunnya dipakai oleh orang lain dan diterapkan dalam pembuatan rumahnya, dan pada akhirnya orang itu merasa puas atas disain rumahnya. Pada kegunaan etika profesi yang bersifat deontologis, kegunaan itu akan dinilai baik apabila disertai kehendak baik. Pelayanan kesehatan di rumah sakit “X” akan dinilai baik dan sangat berguna bagi masyarakat umum apabila para dokter rumah sakit itu memiliki kehendak baik dalam menjalankan tugasnya. Kegunaan secara deontologis tidak hanya menyaratkan unsur kehendak baik tetapi juga kewajiban, yakni apa yang harus dilakukan. Kewajiban moral, menurut Kant, mengandung imperatif kategoris, yakni perintah yang mewajibkan begitu saja, tanpa syarat. Seorang profesional menjalankan kewajiban atau tugasnya yang memang menjadi tanggung jawabnya tanpa harus diperingatkan berulang kali oleh pimpinannya. Di dalam penerapannya, yakni di dunia kerja, seorang profesional harus dibimbing oleh norma moral, yaitu norma yang mewajibkan tanpa syarat (begitu saja) tanpa disertai pertimbangan lain. c) Metode atau Pendekatan Etika Profesi Dalam mempelajari etika profesi, pendekatan yang harus dipakai adalah pendekatan kritis refleksif dan dialogis. Pendekatan (metode) tersebut dipakai oleh seseorang yang memiliki profesi tertentu (dokter, pustakawan, arsitek, dan sebagainya) dalam menilai apa yang telah ia lakukan (tindakan) terhadap bidang atau pekerjaan tertentu. Orang perlu merenungkan secara kritis dan mendialogkan segala sesuatu yang telah ia lakukan selama bekerja, baik saat itu maupun di masa mendatang. Pendekatan itu bertujuan agar seseorang profesional dapat bekerja dengan sebaik mungkin sehingga tercapai tujuan yang diinginkan. Dalam berdialog, pertimbangan-pertimbangan moral menjadi dasar bagi hubungan profesional dengan klien. Pertimbangan-pertimbangan moral yang baik membutuhkan sikap awal yang jernih dalam melihat kasus/bentuk pelayanan, norma etis, cara berpikir yang logis dan rasional, serta informasi yang memadai tentang kasus atau bentuk pelayanan yang ditanganinya. d) Peran Etika Profesi dalam Ilmu-ilmu Lain Sebenarnya etika profesi itu milik siapa atau diletakkan di mana? Etika profesi dapat diberlakukan pada, pertama, individu-individu yang memiliki kewajibankewajiban tertentu seperti kewajiban seorang profesional informasi terhadap kliennya, atau kewajiban seorang dokter terhadap pasiennya, atau kewajiban seorang pengacara terhadap kliennya. Kedua, etika profesi dapat diterapkan pada kelompok-kelompok tertentu yang memiliki profesi tertentu, misalnya kewajiban kelompok wartawan terhadap masyarakat pembacanya, atau kewajiban kelompok ilmuwan atas hasil temuan mereka yang berupa teknologi. Di sisi lain, bidang-bidang yang bersifat multi disipliner atau kajian lintas ilmu dapat menjadi media atau “lahan” penerapan etika profesi. Dengan perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi, etika profesi menjadi semakin diperkaya oleh ilmu-ilmu tersebut seperti munculnya etika profesi bagi ilmu-ilmu kesehatan, ilmu teknik, dan ilmu komputer. Etika profesi mampu berdialog dengan berbagai ilmu, bertahan dan dibutuhkan selama hubungan profesional-klien masih tetap ada. Bagi seorang profesional yang bergerak di bidang tertentu seperti perpustakaan, kedokteran, disain interior, atau dosen, etika profesi dapat berperan sebagai “kompas” moral, penunjuk jalan bagi si profesional yang berdasarkan nilai-nilai etisnya: hati nurani, kebebasan-tanggung jawab, kejujuran, kepercayaan, hak-kewajiban dalam bentuk pelayanan terhadap kliennya. Peran yang kedua, etika profesi diharapkan dapat menjamin kepercayaan masyarakat (klien-klien) terhadap pelayanan yang diberikan oleh si profesional. Untuk itulah harus diciptakan semacam kode etik yang baik (kode etik pustakawan, kode etik dokter, kode etik dosen, dan sebagainya). 4.3 KAIDAH ATAU NORMA ETIKA Pada bagian ini akan dijelaskan tentang kaidah atau norma etika/moral yang lazim dimunculkan pada etika normatif, yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan norma, serta hak dan kewajiban. 4.3.1 Hati Nurani Apakah yang dimaksud dengan hati nurani? Hati nurani, atau yang sering disebut kata hati, suara hati, hati kecil, adalah penghayatan tentang yang baik dan yang buruk yang berkaitan dengan tindakan nyata atau perilaku konkret manusia. Hati nurani semacam nur (cahaya) yang menerangi hati kita. Suara hati atau hati nurani memerintahkan atau melarang kita untuk melakukan sesuatu atau tindakan tertentu pada saat tertentu pula. Suara hati tidak berbicara tentang yang umum, melainkan tentang suatu situasi yang nyata. Sebagai contoh, Anti, seorang gadis remaja, ingin memiliki sebuah telpon genggam tetapi orangtuanya enggan membelikannya. Tanpa sepengetahuan orang tuanya, Anti sering ke kamar ayahnya dan diam-diam mengambil uang dari dompet ayahnya. Uang itu akan digunakan untuk membeli telpon genggam. Sebenarnya, ketika Anti mengambil uang tersebut, hati nuraninya “bekerja” – memerintahkan untuk tidak mengambil uang tanpa sepengetahuan ayahnya. Tetapi Anti tidak mengindahkan hati nuraninya, ia tertutup oleh keinginan yang kuat untuk memiliki telepon genggam. Contoh tersebut menunjukan bahwa Anti tidak mengikuti hati nuraninya. Tidak mengikuti hati nurani secara tidak langsung telah menghancurkan moralitas pribadi dan menghianati martabat yang terdalam pada kita. Hati nurani dikendalikan oleh kesadaran manusia (akal budi manusia). Dengan kesadaran atau rasionalitasnya, manusia sebenarnya mampu mempertimbangkan apa yang baik dan apa yang buruk baginya. Kesadaran manusia atau rasionalitas atau akal budi manusia, sesungguhnya adalah kemampuan manusia merefleksikan – merenungkan dirinya dengan lebih baik tentang apa yang telah diperbuatnya. Kesadaran manusia mampu menilai bagaimana hati nurani kita itu berperan di masa lalu atau masa yang akan datang. Perbuatan atau perilaku kita di masa lalu dinilai oleh hati nurani yang sifatnya retrospektif. Perbuatan atau perilaku kita itu di masa lalu buruk ataukah baik. Hati nurani prospektif dapat merencanakan perbuatan yang akan kita lakukan di masa yang akan datang dan menilainya, apakah perbuatan yang akan dilakukan itu nantinya baik atau buruk. Orang yang memiliki pekerjaan tertentu perlu mengembangkan hati nurani secara total agar kepribadian etis tetap terjaga dengan baik. Kedewasaan berpikir secara rasional akan membawa hati nurani kepada suatu penilaian (judgment) yang lebih bijaksana dan apabila pernyataanpernyataan itu muncul mungkin saja bersifat subjektif maka pernyataan subjektif itu pun berasal dari hati nurani yang sesuai dengan kualitas yang sebenarnya dari tindakannya itu. 4.3.2 Kebebasan dan Tanggung Jawab Kebebasan adalah salah satu unsur yang sangat hakiki dan manusiawi yang dimiliki oleh manusia. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebebasan, dan kebebasan itu melekat padanya tanpa mengenal perbedaan suku, ras, agama, derajat maupun bentuk-bentuk lainnya. Di dalam bahasa Indonesia, kebebasan berasal dari kata bebas, yang artinya tidak ada pembatasan atau tidak dibatasi oleh apa pun. Tetapi untuk mengerti kata bebas, seyogianya kata itu dilekatkan pada kata benda sehingga memperjelas arti kata itu sendiri. Sebagai contoh, seseorang mendapat tiket bebas pesawat terbang untuk bepergian ke Bali, artinya orang itu mendapatkan tiket bepergian ke Bali tanpa harus membayar sejumlah uang (seharga tiket tersebut). Kata lainnya, pergaulan bebas berarti berteman dengan siapa pun tanpa mengendalikan norma sopan santun dan adat-istiadat kebiasaan masyarakat setempat. Apabila kata bebas itu dilekatkan pada seseorang maka ia menjadi seseorang yang mampu menentukan diri sendiri, dan tidak dibatasi oleh orang lain atau masyarakat dalam menentukan dirinya sendiri atau pun jalan hidupnya. Dengan kebebasannya manusia “tampil” mengoptimalkan kemampuannya. Mungkin timbul pertanyaan, “Mengapa kebebasan begitu berarti bagi banyak orang sehingga orang seakan-akan berlomba-lomba mendapatkan kebebasan bagi dirinya?” Sebenarnya dengan kebebasannya itu manusia menjadi lebih manusiawi dan lebih berbudaya, dan itulah yang membedakannya dari makhluk lain di dunia ini. Perilaku hewan ditentukan oleh perangsang dari luar dan insting dari dalam organnya. Seorang pakar filsafat budaya, Ernst Cassirer mengatakan bahwa manusia lebih tinggi dari hewan, yang tidak hanya menerima perangsang dan memiliki insting saja melainkan mampu menentukan dan berperilaku melalui, dan sesuai dengan akal budinya. Dengan akal budinya, martabat manusia ditampilkan melalui kebebasannya. Kita berhak atas kebebasan kita. Tetapi apakah itu berarti bahwa kita dapat bertindak sewenang-wenang atau berperilaku sesuai dengan kehendak kita tanpa ada batasnya? Pertanyaan itu haruslah dijawab secara jernih. Sebagaimana disadari, manusia adalah mahluk sosial. Sebagai makhluk sosial, seseorang selalu ada bersama dengan orang lain, dengan sesamanya, dan ia menjadi bagian atau anggota dari suatu masyarakat atau komunitas atau kelompok tertentu. Dengan demikian kebebasan yang dimilikinya bukanlah kesewenangan, melainkan kebebasan yang secara hakiki dibatasi oleh kenyataan bahwa ia adalah anggota masyarakat. Ia harus menyadari bahwa ia hidup bersama orang lain yang memiliki kebebasan juga, dan ia berada pada suatu lingkup yang sebenarnya dibatasi atau ditentukan oleh, misalnya, suatu keadaan, peristiwa, situasi, ruang, waktu, atau aturan. Dengan pembatasan-pembatasan yang ada itu, maka kebebasan yang diberikan oleh anggota masyarakat kepada seseorang haruslah diisi dengan sikap, dan tindakan yang tepat. Orang itu sendirilah yang menentukan sikap yang tepat dan sesuai dengan keinginan tanpa merugikan orang lain. Menentukan sikap dan keinginan yang tepat adalah salah satu bentuk tanggung jawab seseorang. Ada hubungan yang erat antara kebebasan dengan tanggung jawab. Keputusan atau tindakan yang diambil harus dipertanggung-jawabkan oleh diri sendiri, bukan oleh orang lain. Seseorang tidak boleh melemparkan tanggung jawab kepada orang lain atas perbuatan yang tidak dilakukan orang itu. Tidak setiap keputusan dapat disebut bertanggung jawab. Bertanggung jawab haruslah sesuai dengan apa yang dilakukan oleh seseorang, yang berkaitan dengan tugasnya dan kewajiban terhadap apa yang dilakukannya dan terhadap harapan lainnya, dan itulah nilai-nilai kemanusiaannya yang sebenarnya. Dengan demikian kebebasan yang dimiliki manusia haruslah diisi dengan penuh makna tanpa kesewenang-wenangan. 4.3.3 Nilai dan Norma Di dalam kehidupan manusia ada banyak nilai yang muncul, misalnya nilai ekonomis, nilai moral, nilai etis, nilai estetis, dan nilai keagamaan. Nilai di sini diartikan sebagai suatu perangkat untuk melakukan penilaian atas sesuatu. Hasil penilaian dapat bersifat positif sejauh itu menguntungkan atau memberikan hasil yang memuaskan bagi yang dinilai. Sedangkan hasil yang negatif menunjukkan bahwa penilaian terhadap sesuatu dianggap tidak memuaskan, bahkan tidak benar, atau ada semacam kesalahan yang terjadi ketika unsur-unsur nilai itu muncul. Setiap penilaian atas sesuatu selalu berkaitan dengan kaidah, atau norma, atau semacam aturan yang mendasarinya. Norma atau kaidah selalu memiliki semacam kriteria atau persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang ketika ia akan menilai sesuatu. Oleh karena itu muncul anggapan bahwa norma dapat dianggap sebagai aturan atau kaidah sebagai tolok ukur untuk menilai sesuatu. Dengan demikian terdapat banyak norma, seperti norma benda, norma hukum, norma etiket dan norma moral. Etika mengkaji nilai yang berasal dari moral, dari perbuatan yang baik dan buruk yang dilakukan oleh seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa nilai moral berkaitan dengan pribadi atau individu yang memiliki tanggung jawab. Nilai-nilai moral menentukan apakah seseorang bersalah atau tidak bersalah, karena ia bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya. Di dalam nilai moral terdapat norma moral yang menentukan apakah tindakan kita baik atau buruk. Di antara norma-norma yang ada, maka norma moral dianggap paling tinggi karena norma moral memberi kita berbagai pertimbangan secara rasional tentang apa yang menjadi tolok ukur ketika kita melakukan perbuatan tertentu. Apakah perbuatan atau tindakan itu memiliki kegunaan bagi seseorang atau tidak, hanya orang itu saja yang mengetahuinya. Oleh karena itu pertimbangan yang bersifat rasional sangat menentukan mutu dari tindakan seseorang. 4.3.4 Hak dan Kewajiban Seperti halnya dengan kebebasan, hak merupakan elemen yang sangat manusiawi yang dimiliki manusia. Pada dasarnya hak merupakan klaim yang dibuat oleh orang, atau kelompok yang satu terhadap yang lain, atau terhadap masyarakat. Dengan mempunyai hak, orang dapat menuntut bahwa orang lain akan memenuhi dan menghormati hak itu. Hak itu dapat berupa hak atas warisan, hak atas tanah, atau hak atas lingkungan alam. Bermacam jenis hak dapat memperjelas hak yang berkaitan dengan moral. Untuk itu akan dijelaskan jenis-jenis hak seperti hak legal, hak khusus dan hak umum, hak individual dan hak sosial, serta hak positif dan hak negatif. a) Hak legal Hak legal adalah hak yang didasarkan atas hukum dalam salah satu bentuk yang dimunculkan melalui undang-undang, peraturan, atau dokumen yang sifatnya resmi, atau yang berasal dari suatu lembaga atau instansi tertentu. Hak legal berfungsi dalam sistem hukum dan didasari oleh prinsip hukum. b) Hak khusus dan hak umum Hak khusus adalah hak yang dimiliki oleh seseorang atau beberapa orang. Hak tersebut timbul karena ada relasi khusus antara beberapa orang atau karena fungsi khusus yang dimiliki seseorang terhadap orang lain. Sebagai contoh, orang tua mempunyai hak bahwa anaknya akan patuh kepadanya dan, di pihak lain, anak memiliki hak bahwa ia akan diberi makanan serta kebutuhan lainnya oleh orang tuanya. Hak umum adalah hak yang diberikan kepada seseorang karena ia adalah manusia. Tanpa kecuali, setiap orang memiliki hak tersebut. Hak umum sering disebut hak asasi manusia (human right atau natural right). c) Hak individual dan hak sosial Hak individual adalah hak berupa kebebasan berpendapat, hak berserikat, hak beragama, hak menetap di suatu tempat, dan sebagainya, yang dimiliki oleh individu terhadap negara atau suatu masyarakat. Hak individual memperjuangkan hak hati nurani masing-masing individu. Apabila hak individual diarahkan pada anggota masyarakat atau suatu kelompok akan muncul hak yang sifatnya sosial. Jadi, hak sosial adalah hak yang diperoleh seseorang ketika sebagai anggota suatu masyarakat ia berinteraksi dengan anggota masyarakat lainnya. Contoh hak sosial adalah hak atas pelayanan kesehatan, hak atas pendidikan. hak atas pekerjaan, dan hak mendapatkan upah yang layak. d) Hak positif dan hak negatif Hak positif timbul apabila seseorang berhak atas tindakan orang lain kepadanya. Sebagai contoh, seseorang yang ditabrak oleh sepeda motor sehingga terjatuh di jalan berhak atas pertolongan orang lain. Contoh yang lain, sebagai seorang warganegara lndonesia saya berhak atas makanan sehat, pendidikan yang baik, dan pelayanan kesehatan. Hak negatif timbul apabila seseorang bebas menginginkan, atau mendapatkan atau menginginkan atau melakukan sesuatu. Contoh hak negatif adalah hak untuk berbicara di depan kelas, hak untuk mendapatkan pendidikan tinggi di luar negeri, dan sebagainya. Dalam hak negatif terkandung suatu maksud yaitu pihak lain atau orang lain tidak dapat atau tidak boleh menghindari apa yang saya inginkan. Kebebasan seseorang memungkinkan segala yang diinginkannya dan terwujud dalam hak-haknya. e) Hak moral Hak moral adalah hak seseorang yang didasari oleh prinsip atau peraturan etis. Oleh karena itu, hak moral berada dalam sistem moral, yakni sistem yang memiliki beberapa elemen atau kaidah moral (hati nurani, kebebasan, tanggung jawab, hak dan kewajiban). Kaidah itu saling terjalin sedemikian rupa, dan hasil sistem itu terwujud dalam tindakan atau perilaku baik atau perilaku buruk manusia. Contoh hak moral ialah hak seorang dosen untuk mengharapkan mahasiswanya berlaku jujur dalam menjawab soal ujian. Bagaimana dengan kewajiban? Kewajiban seseorang tergantung pada hak-hak yang diperolehnya. Terdapat kewajiban atas hak legal, hak individual dan hak sosial, hak khusus dan hak umum, serta hak negatif dan hak positif. Kewajiban yang harus ditunaikan oleh seseorang tidak selalu sama dengan kewajiban orang lain. Hal itu tergantung pada bagaimana hak-hak diperolehnya. Ketika ia berhak mendapatkan hak individual, misalnya hak pendidikan di perguruan tinggi, maka ia harus melakukan kewajiban sesuai dengan haknya itu, yaitu umpamanya membayar uang SPP secara tepat waktu. Dengan demikian antara hak dan kewajiban terjadi korelasi atau hubungan timbal balik. Kewajiban dapat terkait dengan hak orang tetapi dapat juga tidak. Menurut J. S. Mill (Bertens, 2001: 194-196) kewajiban dengan hak orang lain disebut sebagai kewajiban sempurna, karena adanya prinsip keadilan. Sedangkan kewajiban yang tidak terkait dengan hak orang lain disebut kewajiban tidak sempurna karena tidak adanya unsur keadilan. 4.4 PENTINGNYA ETIKA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI DAN DALAM KEHIDUPAN ILMIAH Setiap orang perlu bermoralitas, tetapi tidak setiap orang perlu beretika. Tetapi mengapa dan untuk tujuan apa etika masih diperlukan di masa kini, di Abad Globalisasi? Etika tidak langsung membuat kita menjadi manusia yang lebih baik (itu tugas ajaran moral!), tetapi etika merupakan sarana untuk memperoleh orientasi kritis yang berhadapan dengan berbagai moralitas yang kadangkala membingungkan. Sebagai pemikiran kritis dan sistematis, etika ingin menimbulkan suatu keterampilan intelektual, yaitu keterampilan untuk berargumentasi secara rasional dan kritis. Orientasi kritis dibutuhkan untuk mengambil sikap yang wajar dalam suasana pluralisme moral yang merupakan ciri khas zaman sekarang. Ada beberapa alasan mengapa etika masih dibutuhkan saat ini. Pertama, terdapat pandangan-pandangan moral yang beraneka ragam yang berasal dari berbagai suku, kelompok, daerah, dan agama yang berbeda dan yang hidup berdampingan dalam suatu masyarakat dan negara. Kedua, modernisasi dan kemajuan teknologi membawa perubahan besar dalam struktur masyarakat yang akibatnya dapat bertentangan dengan pandangan-pandangan moral tradisional. Ketiga, muncul berbagai ideologi yang menawarkan diri sebagai penuntun kehidupan manusia, masing-masing dengan ajarannya tentang kehidupan manusia. Alasan-alasan tersebut yang memicu manusia untuk memikirkan dan merenungkan kembali pentingnya etika dalam kehidupannya. Selama manusia berupaya mencari jati dirinya, dan eksistensi dirinya, dan berada dalam suatu “situasi” kehidupan, ia memerlukan semacam kompas moral, pegangan dan orientasi kritis agar tidak terjebak, bingung atau ikut-ikutan saja dalam pluralisme moral yang ada, dan terlebur dalam kehidupan yang nyata. Peran etika harus menjadi lebih nyata agar orang tidak mengalami krisis moral yang berkepanjangan. Etika dapat membangkitkan kembali semangat hidup manusia sehingga ia dapat menjadi manusia yang baik dan bijaksana melalui eksistensi, dan profesinya. Dalam kehidupan ilmiah, etika menjadi sangat penting. Pokok perhatiannya ialah problem dan proses kerja keilmuan sehingga muncullah studi etika keilmuan. Etika keilmuan menyoroti aspek bagaimana peran seorang ilmu-wan terhadap kegiatan yang sedang dilakukannya (belajar, melakukan riset dan sebagainya). Tanggung jawab ilmuwan dipertaruhkan ketika ia dalam proses kegiatan ilmiahnya, terutama dalam sikap kejujuran ilmiah. Pokok perhatian lain dalam etika keilmuan adalah masalah bebas nilai. Bebas nilai adalah suatu posisi atau keadaan di mana seorang ilmuwan memiliki hak berupa kebebasan dalam melakukan penelitian ilmiahnya. Ia boleh meneliti apa saja sejauh itu sesuai dengan keinginan atau tujuan penelitiannya. Kebalikan bebas nilai adalah tidak bebas nilai. Tidak bebas nilai dalam suatu penelitian adalah munculnya hambatan yang berasal dari luar (norma agama, norma hukum, norma budaya) ketika seorang peneliti sedang menyelesaikan penelitiannya. Norma-norma tersebut menjadi semacam “pagar” yang merintangi kebebasan si peneliti atas dasar tujuan dan kepentingan norma tersebut. Sebagai contoh, ketika penelitian tentang bayi tabung pertama kali dikemukakan, muncul penolakan dari berbagai pihak, terutama dari kelompok agama. Penolakan itu karena kelompok agama berpendapat bahwa munculnya makhluk baru (bayi) bukan berasal dari kreasi ilmuwan tetapi secara alamiah berasal dari persatuan laki-laki dan perempuan dalam suatu perkawinan yang disahkan oleh norma atau aturan agama. BAB V IDEOLOGI Pembaca tentu tak asing lagi dengan ideologi-ideologi seperti fasisme, liberalisme, sosialisme, dan Pancasila karena ideologi-ideologi itu seringkali dilontarkan untuk merujuk pada ideologi yang dianut sekelompok orang atau untuk menyebut ideologi diri sendiri. Sebagai contoh, seorang fasis akan melihat diri atau bangsanya sebagai bangsa yang superior sehingga meremehkan bangsa lain. Sementara itu, seorang sosialis akan menyuarakan hak-hak kelas pekerja, dan kelompok liberal menyuarakan kebebasan individu dan menuntut negara-negara komunis atau sosialis untuk tidak menutup mata terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia. Namun demikian, sekalipun istilah ideologi sering diucapkan, tak banyak orang yang mengetahui maknanya secara tepat atau mengetahui nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Kenyataan ini ditegaskan oleh David Mclellan, seorang ilmuwan politik, yang menyatakan bahwa ideologi merupakan konsep yang sulit dipahami (Heywood, 1998:5). Apa yang diungkapkan Mclellan benar adanya mengingat ideologi dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang yang mengakibatkan lahirnya pengertian yang berbeda satu sama lain. Sebagai gambaran, saat ini ideologi dapat dipahami sebagai pemikiran politik, sebagai norma-norma keyakinan, sebagai bahasa, simbol, dan mitos, serta sebagai kekuasaan elit. Keragaman sudut pandang tentulah mengaburkan pengertian ideologi sehingga sebagian pembaca akan bertanya, “Apa ideologi itu?” Untuk memahami apa ideologi itu, maka bab ini dibagi menjadi empat subbab: pertama, uraian tentang pengertian ideologi; kedua, bentuk-bentuk ideologi; ketiga, macam-macam ideologi; dan keempat, refleksi kritis terhadap ideologi. Melalui uraian dalam subbab-sub tersebut, pembaca diharapkan dapat memahami pengertian ideologi, fungsi ideologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan mampu mengkritisi ideologi sebagai suatu sistem pemikiran. Akhirnya, dengan pemahaman dan sikap kritis, pembaca dapat membangun pemikiran yang arif dan melakukan refleksi terus-menerus terhadap nilai-nilai dasar yang terkandung dalam ideologi, khususnya Pancasila. 5.1 PENGERTIAN IDEOLOGI Secara historis, pengertian ideologi mengalami perubahan dari masa ke masa. Untuk itu, di sini diuraikan pengertian awal ideologi dan perubahan-perubahan makna yang terjadi berikutnya. Ideologi (atau ideologie dalam bahasa Prancis) pertama kali dikumandangkan oleh Antoine Destutt de Tracy (1754—1836). De Tracy, yang hidup pada masa Revolusi Prancis, melihat bahwa ketika revolusi berlangsung banyak ide atau pemikiran telah menginspirasi ribuan orang untuk menguji kekuatan ide-ide dalam kancah pertarungan politik, dan mereka mau mengorbankan hidup demi ide-ide yang diyakininya. Latar belakang inilah yang mendorong de Tracy untuk mengkaji ideologi. Secara etimologis, kata ideologi berasal dari kata idea (‘ide,’ ‘gagasan’) dan logos ‘ilmu’. Dalam rumusan de Tracy, ideologi diharapkan menjadi cabang ilmu pengetahuan yang bertujuan mengkaji serta menemukan hukum-hukum yang melandasi pembentukan serta perkembangan ide-ide dalam masyarakat sehingga ide-ide tersebut dapat dijelaskan secara rasional, bebas dari prasangka ataupun takhayul-takhayul. Dengan demikian, ideologi dalam pengertian de Tracy merupakan kritik terhadap ideide ataupun keyakinan-keyakinan yang bercorak dogmatik dan tidak rasional. Upaya kritis de Tracy ini tak lepas dari tujuannya untuk mencerahkan dan menunjukkan ideide yang keliru di masyarakat, karena masyarakat Prancis saat itu masih dilingkupi oleh dogma-dogma agama dan otoritas politik yang absolut (Eagleton, 1991: 64). Upaya de Tracy mengalami kegagalan karena dalam kenyataannya, ideologi tidak lagi menjadi keyakinan ilmiah tentang ide-ide melainkan, sebaliknya, telah menjadi idealisme revolusioner. Akibatnya, kajian tentang ide-ide yang seharusnya menjadi kajian rasional telah menjadi ajaran-ajaran ideologis. Sebagai contoh, ideologi republikanisme dan liberalisme dipertentangkan dengan ideologi otoritarianisme yang dianut oleh Napoleon. Bahkan, Napoleon, yang semula mendukung lembaga bentukan de Tracy, kemudian berbalik menyerang dengan menyebut pengertian ideologi sebagai hal yang doktriner–pengertian yang sampai kini melekat pada ideologi. Pada masa de Tracy telah terlihat bahwa pengertian ideologi telah merosot dari ilmu tentang ide-ide menjadi ide-ide doktriner dan melekat pada kekuasan. Perubahan pengertian ideologi dari suatu ilmu tentang ide menjadi istilah yang bercorak politis lahir seiring dengan tertibnya tulisan Karl Marx dan Friedrich Engels, The German Ideology (1846). Dalam buku tersebut, Marx–yang menyorot masyarakat kapitalis – mengemukakan bahwa ideologi lahir dari sistem masyarakat yang terbagi dalam kelas-kelas. Kelas penguasa menguasai sarana-sarana produksi (material) dan mengontrol produk-produk mental seperti ide-ide dan keyakinan-keyakinan. Kelas penguasa pula yang mengatur produksi dan distribusi ideologi hingga, akhirnya, ide-ide atau ideologi kelas penguasalah yang menguasai jamannya (Ball dan Dagger (ed.), 1995: 6). Pandangan Marx tentang ideologi tersebut merupakan implikasi dari pandangannya tentang masyarakat. Marx membagi kehidupan masyarakat ke dalam dua bidang, yaitu bidang basis dan bangunan atas. Basis merupakan bidang produksi kehidupan material yang terdiri atas tenaga-tenaga produksi dan hubungan-hubungan produksi. Kedua unsur tersebut membentuk struktur organisasi sosial produksi yang nantinya menciptakan hubungan-hubungan produksi yang selalu berupa hubunganhubungan kelas, seperti hubungan antara kelas pemilik modal dengan kelas pekerja. Pada akhirnya, hubungan antarkelas tersebut melahirkan pertentangan kelas, yaitu antara kelas atas (pemilik modal) dengan kelas bawah (pekerja). Bangunan atas atau suprastruktur terdiri atas a) segala macam lembaga yang mengatur kehidupan bersama namun di luar bidang produksi material, seperti: sistem pendidikan, sistem hukum, sistem kesehatan, dan negara, dan b) semua sistem keyakinan, norma, nilai, makna, termasuk di dalamnya adalah pandangan dunia, agama, filsafat, nilai-nilai budaya dan seni (Magnis-Suseno, 2001: 143—145). Adapun hubungan antara kedua bidang tersebut adalah sebagai berikut: bagian basis, yang terdiri atas hubungan-hubungan produksi selalu berupa struktur kekuasaan, khususnya struktur kekuasan ekonomi. Kekuasaan ekonomi yang dipegang oleh pemilik modal menentukan bangunan atas, seperti kekuasaan politik dan ideologi. Dari analisis ini jelaslah bahwa ideologi ditentukan oleh kekuatan ekonomi yang berada di bagian basis. Oleh sebab itu, ideologi bukanlah sekumpulan ide-ide yang berpijak pada realitas empiris (atau berangkat dari kenyataan) melainkan merupakan rekayasa mental karena ia diciptakan oleh kekuatan-kekuatan yang membentuknya di bagian basis. Kekuatan tersebut memerlukan ideologi untuk mempertahankan posisi dan kekuatannya; dengan demikian, ideologi bersifat fungsional. Analisis Marx tentang ideologi akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahwa ideologi–dalam masyarakat kapitalis yang terpolarisasi antara kelas kapitalis (pemilik modal) dan kelas pekerja–tidaklah berbicara tentang keberadaan atau kenyataan empiris melainkan tentang kemanfaatan, kepentingan, dan pamrih. Ideologi merupakan ilusi, pandangan yang menyesatkan tentang dunia, dan kepalsuan (Engels menyebutnya sebagai kesadaran palsu). Disebut ilusi dan kepalsuan karena ideologi merefleksikan kepentingan kelas penguasa, dan kelas ini sendiri tidak pernah mengakui diri sebagai kelas penindas. Berkat ideologi, maka kaum kapitalis dapat menyembunyikan kontradiksi dalam masyarakat hingga kaum proletar (pekerja) yang tereksploitasi tidak menyadarinya, bahkan mendukung sistem kekuasaan yang ada. Contohnya adalah ide tentang hak milik dalam liberalisme yang diusung sebagai ide universal namun dalam kenyataannya hanya dinikmati oleh segelintir orang (Heywood, 1998: 7). Yang menarik dari pandangan Marx adalah bahwa ia tak pernah menyebut ideide pemikirannya sebagai ideologi melainkan sebagai sosialisme ilmiah. Barulah kemudian para pengikutnya (kelompok Marxis) menyebut pemikiran-pemikiran Marx sebagai ideologi. Pengikut Marx seperti Lenin dan Antonio Gramsci menunjukan minat yang lebih besar lagi kepada kajian tentang ideologi. Hasil kajian mereka sangat berpengaruh terhadap perkembangan pengertian ideologi. Dalam pandangan Lenin, pemimpin Revolusi Sosialis Rusia, ideologi merupakan ide-ide yang berasal dari kelas sosial tertentu yang berfungsi untuk mendukung kepentingan-kepentingan kelas tersebut. Dengan kerangka berfikir ini maka baik kaum borjuis maupun kaum proletar memiliki ideologi masing-masing.2 Dalam buku yang ditulisnya pada tahun 1902, What is to be done?, Lenin menunjukkan bahwa ideologi sosialis merupakan teori revolusioner yang digunakan untuk mendukung aksi revolusioner. Sebagai suatu teori, ideologi sosialis merupakan hasil pemikiran teoretis yang merefleksikan kepentingan kelas yang sesungguhnya. Di sini terlihat Lenin mencampuradukkan pengertian ideologi sebagai ilmu pengetahuan dengan ide-ide yang melayani kepentingan kelas. Akibatnya, Lenin telah mereduksi pengertian ideologi ke dalam arti peyoratif atau negatif3 (pengertian peyoratif sendiri telah dirintis oleh Marx). Setelah Lenin, seorang Marxis lain yang juga mengembangkan pengertian ideologi adalah Antonio Gramsci. Titik tolak kajiannya adalah adanya hegemoni kaum borjuis dalam masyarakat kapitalis. Dalam pemikirannya, sistem kapitalis dapat berdiri kukuh karena ditopang oleh ketidaksetaraan kekuatan ekonomi dan politik, serta oleh hegemoni ide-ide dan teori-teori borjuis. Yang dimaksud dengan hegemoni di sini adalah suatu dominasi, sedang hegemoni ideologis mengacu pada kapasitas ide-ide borjuis untuk menggeser ide atau pemikiran lawan hingga akhirnya ide-ide borjuis diterima oleh akal sehat pada zamannya. Dikatakan dapat diterima oleh akal sehat karena ideologi tersebut menyebar serta hidup di tiap lapisan masyarakat seperti dalam karya-karya sastra, sistem pendidikan, dan media massa. Selain itu ideologi borjuis juga digunakan dalam bahasa sehari-hari dan disebarkan melalui budaya-budaya populer. Hegemoni borjuis, menurut Gramsci, hanya dapat ditentang di tingkat intelektual dan politik melalui penciptaan hegemoni proletariat yang berbasis pada teori, nilai dan prinsip-prinsip sosialis. Marx dan kaum Marxis berpengaruh besar terhadap perkembangan pengertian ideologi. Namun demikian, di luar kelompok ini, Karl Mannheim, seorang sosiolog Jerman (1893—1947), mengkonstruksi konsep ideologi yang berbeda dari tradisi Marxis. Ia menolak pendapat Marx yang menekankan ideologi dari sisi peyoratif atau 2 3 Bandingkan dengan Marx yang menyatakan bahwa kaum proletar merupakan satu-satunya kelas yang tidak membutuhkan ilusi dalam ideologi karena tujuan kelas ini adalah masyarakat tanpa kelas sehingga ideologi tidak akan dibutuhkan lagi; Marx juga tidak pernah menyebut sosialismenya sebagai ideologi. Raymond Geuss (dalam Eagleton, 1991:43) memilah definisi ideologi menjadi tiga jenis yakni a) definisi deskriptif dalam arti antropologis, b) definisi peyoratif atau negatif (definisi model ini menghasilkan pengertian ideologi sebagai ide-ide yang melegitimasi kekuasan, suatu ilusi atau kepalsuan), dan c) definisi positif. negatif, walaupun di sisi lain ia sepakat dengan Marx bahwa ide-ide ditentukan oleh lingkungan sosial yang membentuknya. Dalam buku Ideology and Utopia (1924), Mannheim mendefinisikan ideologi sebagai sistem pemikiran yang menjadi dasar tatanan sosial. Di samping itu, ideologi juga mengekspresikan kepentingan-kepentingan kelompok penguasa atau kelompok yang dominan di masyarakat. Selanjutnya, Mannheim memilah ideologi menjadi dua jenis yakni ideologi partikular dan ideologi total. Ideologi partikular merupakan ide-ide individu atau kelompok tertentu, sedangkan ideologi total mengacu pada pandangan hidup (weltanschauung atau world view) yang diyakini oleh suatu kelas sosial, masyarakat luas, dan bahkan berlaku pada suatu periode jaman tertentu. Mannheim mengklasifikasikan kapitalisme liberal dan Marxisme ke dalam tipe total ini. Menginjak tahun 1960-an, kajian tentang ideologi bergeser ke arah analisis ideologi dari perspektif sosial dan politik, dan hasilnya adalah pengertian-pengertian ideologi yang netral dan objektif. Contohnya adalah definisi Martin Seliger yang menyebutkan bahwa ideologi merupakan seperangkat ide-ide. Melalui ide-ide tersebut seseorang mampu menjelaskan dan menjustifikasi tujuan serta tindakan sosial yang terorganisir; dengan kata lain, ideologi merupakan sistem pemikiran yang berorientasi pada tindakan (Heywood, 1998: 8—11). Dari uraian di atas jelaslah bahwa pengertian ideologi berkembang dari masa ke masa. Pada awalnya, ideologi diartikan sebagai ilmu tentang ide (Destutt de Tracy) kemudian berkembang ke arah pengertian yang bercorak peyoratif dan negatif (Marx dan Marxis), di mana ideologi dipahami sebagai bentuk ilusi, kekuasaan, kesadaran palsu dan hegemoni. Berikutnya, ideologi sebagai pandangan hidup (weltanschauung atau world view) yang dikemukakan Mannheim. Terakhir, sejak tahun 1960-an, minat terhadap kajian ideologi lebih difokuskan pada analisis sosial-politik sehingga lahirlah definisi-definisi yang netral, antara lain pengertian bahwa ideologi merupakan seperangkat ide yang berorientasi pada tindakan. Ideologi dalam arti yang netral tentu saja memiliki kelemahan karena tidak menjelaskan ideologi dari sudut baik atau buruk, benar atau salah, menindas atau membebaskan, terbuka atau tertutup. Ideologi dalam arti yang netral juga sulit dikritisi, karena dengan ke”netral”annya, ideologi dapat diartikan bermacam-macam, misalnya sebagai pandangan hidup, doktrin (ajaran), atau filsafat politik. Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam kajian ideologi yang dibangun sejak tahun 1960-an itu, harus diakui bahwa kajian itu mampu menghasilkan pengertian-pengertian ideologi yang bercorak deskriptif, di mana ideologi dipandang sebagai objek studi dan riset sehingga nantinya ideologi dapat dipahami sebagai salah satu bentuk pemikiran politik. Menurut Hardiman (dalam Eatwell dan Wright (ed.), 2001: ix), bila ideologi dipahami secara peyoratif semata maka yang timbul adalah suatu sikap antipati atau alergi terhadap, atau meremehkan ideologi. Penulis buku ajar ini mengadopsi definisi ideologi yang dikembangkan sejak tahun 1960-an, yaitu dari Andrew Heywood (1998). Definisi Heywood digunakan sebagai kerangka kerja untuk memahami pengertian ideologi dan untuk menjelaskan peran ideologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Adapun dasar pertimbangan pemilihan ini adalah kenyataan bahwa pengertian ideologi yang dirumuskan Heywood banyak membantu menjelaskan gejala ideologi yang kompleks. Heywood (1998:12) mendefinisikan ideologi sebagai seperangkat ide yang menjadi basis tindakan politik yang terorganisir. Dari pengertian singkat ini, Heywood lalu mengembangkan tiga ciri ideologi yakni a) sebagai pandangan hidup (world view) masyarakat, b) sebagai model, visi, dan cita-cita tentang tatanan masyarakat yang baik di masa depan, dan c) sebagai pedoman bagi perubahan-perubahan politik yang seharusnya dilakukan. Dari rumusan definisi serta ciri-ciri ideologi, Heywood kemudian mengkasifikasikan gejala ideologi ke dalam dua bentuk. Pada bentuk pertama, ideologi dapat dilihat sebagai bentuk pemikiran deskriptif dan normatif, yang keduanya menghasilkan sintesis antara pemahaman dan komitmen. Sebagai sintesis (gabungan) antara pemahaman dan komitmen, ideologi di satu sisi berisi pengetahuan deskriptif, yaitu berupa peta intelektual tentang masyarakat dan pandangan umum terhadap realitas. Melalui peta atau pandangan tersebut, seseorang atau sekelompok masyarakat mampu menempatkan diri dalam suatu lingkungan sosial. Di sinilah letak kapasitas ideologi sebagai pemersatu atau pengintegrasi individuindividu atau kelompok-kelompok. Di sisi lain, ketika individu atau kelompok telah memiliki pemahaman deskriptif yang sama, mereka akan memiliki keyakinan normatif atau preskriptif pula yaitu berupa suatu komitmen tentang tatanan masyarakat di masa kini maupun di masa mendatang. Dengan adanya corak normatif, maka ideologi menjadi sistem keyakinan yang memiliki kekuatan dan mendorong sikap emosional karena dapat menjadi alat untuk menyuarakan harapan, ketakutan, simpati dan kebencian. Sintesis antara pemahaman dan komitmen pada dasarnya meleburkan gejala ideologi sebagai fakta dan nilai, atau antara ciri (a) ideologi sebagai pandangan hidup dan (b) ideologi sebagai cita-cita tentang tatanan masyarakat yang baik.4 Adanya peleburan ini menyebabkan batas antara ideologi dengan ilmu pengetahuan menjadi kabur sehingga ideologi dapat digunakan sebagai paradigma,5 yaitu sebagai seperangkat prinsip, doktrin, dan teori yang dapat mendorong proses penelitian intelektual. Pada bentuk kedua, ideologi dapat dilihat sebagai teori politik dan tindakan politik. Keduanya akan menghasilkan sistesis antara pemikiran dan tindakan seperti tercermin pada ciri (b), ideologi sebagai cita-cita tentang tatanan masyarakat yang baik dan (c) ideologi sebagai pedoman perubahan politik yang diinginkan. Seliger (dalam Heywood, 1998: 13) secara lebih mendalam mengkaji hal ini dengan memilah ideologi ke dalam dua tingkat. Tingkat pertama adalah tingkat fundamental. Pada tingkat ini ideologi mirip dengan filsafat politik6 karena di dalamnya dibicarakan teori-teori dan ide-ide abstrak. Tingkat kedua adalah tingkat operatif. Pada tingkat ini ideologi berbentuk gerakan-gerakan politik seperti mobilisasi massa dan perjuangan untuk merebut kekuasaan. Dalam bentuk operatif, ideologi dapat dikenali dengan mudah dalam slogan-slogan, retorika politik, manifesto partai ataupun dalam kebijakankebijakan pemerintah. 5.2 IDEOLOGI DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita menjumpai adanya gejala sebuah ideologi tertentu dihayati sebagai sumber nilai, misalnya liberalisme di AS, sosialisme di Kuba, atau Pancasila di Indonesia. Satu pertanyaan dapat diajukan, 4 5 6 Lihat deskripsi Heywood tentang ciri-ciri ideologi Banyak definisi yang dapat diajukan untuk memahami paradigma, Guba (1990:18) mendefinisikan paradigma sebagai sistem-sistem keyakinan yang menjadi titik tolak untuk menentukan apa penelitian itu serta bagaimana pelaksanaannya. Masterman (dalam Lakatos dan Musgrave, 1989: 66) mengatakan bahwa paradigma adalah seperangkat kebiasaan-kebiasaan ilmiah. Suatu pemecahan masalah akan dihasilkan bila kebiasaan tersebut ditaati. Thomas Kuhn, filsuf yang memperkenalkan term paradigma, mendefinisikannya lebih ke aspek sosiologis, dan bercorak prateori. Ia mendeskripsikan paradigma sebagai suatu capaian ilmiah, suatu “wilayah” yang menuntut komitmen profesional. Namun yang menarik dari pendapat Kuhn adalah bahwa kedudukan paradigma telah ada sebelum pembentukan teori, sudut pandang ataupun hukum. Ia menggunakan term paradigma ketimbang teori untuk mendenotasikan apa yang ditolak dan digantikan dalam revolusi ilmu pengetahuan (Lakatos dan Musgrave, 1989:2). Ilmuwan lain menggunakan term teori. Ideologi dikatakan mirip namun tidak identik dengan filsafat politik kerena dalam ideologi tidak dijumpai konsistensi dan koherensi internal sebagaimana layaknya dalam filsafat politik. “Mengapa komunitas politik seperti negara bangsa memerlukan ideologi?” Salah satu ciri yang menandai suatu bangsa adalah kemajemukan yang dapat berupa a) kemajemukan budaya seperti ras, suku bangsa, agama, dan bahasa, atau b) kemajemukan sosial seperti perbedaan-perbedaan yang diakibatkan oleh pekerjaan, pendidikan, status ekonomi, dan kekuasaan yang dimiliki. Kemajemukan itu tentu saja menimbulkan permasalahan sehubungan dengan penciptaan identitas bersama yang merupakan hal mendasar dalam hidup berbangsa dan bernegara. Permasalahan identitas bersama ini akan semakin jelas dalam pertanyaan-pertanyaan berikut: Bagaimana individu mendefinisikan diri sebagai warga negara? bagaimana individu terhubung dengan negara? Apakah nilai-nilai etnis dan agama mampu memberikan solidaritas sebangsa? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dikatakan wajar karena kelompokkelompok masyarakat memiliki sistem nilai tersendiri yang digunakan untuk mengejar kepentingan kelompok masing-masing. Mengingat beragamnya sistem nilai yang dimiliki kelompok masyarakat dan tak jarang pula satu sama lain saling bertentangan, maka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diperlukan alat pemersatu dan suatu identitas bersama sebagai landasan untuk menyusun tatanan masyarakat. Dalam kajian yang dilakukan Andrain (1992:82—84) ditemukan empat tipe nilai yang merupakan sumber pembentuk identitas bersama. Pertama, nilai primordial, yaitu nilai-nilai yang bersumber pada nilai-nilai yang dihayati oleh kelompok-kelompok etnis. Kedua, nilai sakral7 yang berasal dari nilai-nilai agama dan ideologi. Ketiga, nilai personal yang muncul seiring dengan tampilnya pemimpin-pemimpin karismatik, yang mampu mempersatukan bangsa. Keempat, nilai-nilai sipil yang tidak hanya mengacu pada sikap hormat dan kesantunan dalam hidup berpolitik tetapi juga mengarah ada penciptaan sistem politik yang mampu mengembangkan loyalitas warga negara terhadap sistem politik, sementara ikatan warga terhadap kelompok-kelompok budayanya tetap dipertahankan. Adapun nilai-nilai sipil yang dipandang penting adalah nilai-nilai yang mengacu pada tertib hukum, kesejahteraan umum, dan pengembangan sistem politik yang berlandaskan pada kekuasaan yang dimiliki bersama. Ideologi merupakan bagian dari tipe nilai sakral yang, seperti telah dikemukakan, merupakan salah satu sumber pembentuk identitas bersama. Ideologi mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Alfian, 1986). Dengan demikian, melalui ideologi yang dihayati, suatu masyarakat atau bangsa mengetahui ke arah mana kehidupan bersama hendak dituju. Di samping memberikan arah dan tujuan dalam hidup berbangsa dan bernegara, ideologi juga memiliki fungsi lain yang tak kalah pentingnya. Fungsi yang perlu ditekankan di sini terkait dengan identitas bangsa karena ideologi memiliki kecenderungan untuk memisahkan ingroup (kita) dari outgroup (mereka atau bangsa lain). Oleh karena itu ideologi berfungsi untuk mempersatukan (Sastrapratedja, 1993; 143). Dari definisi-definisi yang dirumuskan oleh Heywood, Andrain, Alfian dan Sastrapratedja, jelaslah bahwa suatu ideologi (dalam hal ini ideologi nasional) merupakan salah satu sumber identitas bangsa yang mempersatukan seluruh unsur atau kelompok masyarakat serta menjadi cita-cita bersama yang ingin dicapai suatu bangsa. Pancasila dapat dicontohkan di sini. Dalam perjalanan panjang bangsa Indonesia, 7 Dalam pengertian Andrain, nilai sakral adalah nilai yang bertumpu pada keyakinan-keyakinan sakral yaitu suatu komitmen pada tujuan akhir yang berada di luar realitas empiris. Konsep ini oleh Andrain juga digunakan untuk merujuk pada sistem politik modern yang mengklaim diri bercorak sekular (memisahkan kehidupan politik dari kehidupan agama). Namun demikian, dalam sistem modern tersebut, nilai-nilai seperti profit (dalam kapitalisme), sosialisme-Marx, dan rasionalisme dihayati sebagaimana halnya agama, dan diyakini sebagai sumber kebenaran. Nilai-nilai tersebut digunakan sebagai acuan untuk menetapkan masyarakat yang ideal serta menuntut kesetiaan masyarakat. Pancasila telah diakui sebagai ideologi yang membentuk identitas bangsa sekaligus menjadi acuan untuk membangun tatanan masyarakat yang dicita-citakan. Pengakuan terhadap Pancasila sebagai ideologi nasional merupakan hasil konsensus seluruh kelompok masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena adanya kesadaran bahwa Pancasila yang di dalamnya terkandung nilai ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kemanusiaan, kebangsaan, musyawarah dan keadilan sosial yang merupakan nilai-nilai yang dipandang baik; oleh karenanya menjadi tujuan setiap warga negara Indonesia untuk mengejarnya. 5.3 BENTUK-BENTUK IDEOLOGI Ideologi dapat dipilah menjadi dua macam bentuk. Pertama, ideologi sebagai sistem pemikiran yang tertutup. Bentuk ini mengacu pada ideologi yang memonopoli kekuasaan, tidak mentolerir ide atau keyakinan yang bertentangan dengannya. Ideologi menjadi instrumen kontrol sosial dan menuntut adanya kepatuhan (Heywood, 1998:10). Ideologi semacam ini dapat dijumpai sebagai ideologi doktriner karena ajaran-ajaran yang ada di dalamnya disusun secara jelas dan sistematis, diindoktrinasikan kepada warga negara, dan pelaksanaannya pun diawasi secara ketat oleh aparat negara. Dalam masyarakat, ideologi yang diperkenankan hidup hanya ideologi yang diakui negara saja. Contohnya ialah komunisme di era tegaknya Uni Soviet, fasisme di Itali era Mussolini, dan nazisme di Jerman era Hitler. Kedua, ideologi sebagai bentuk pemikiran yang terbuka. Dalam ideologi semacam ini terkandung komitmen terhadap kebebasan, toleransi, dan pengakuan terhadap kemajemukan dalam masyarakat (Heywood, 1998:10). Ideologi sebagai bentuk pemikiran yang terbuka juga disebut ideologi yang tidak ketat karena ajaran-ajarannya tidak disusun secara terperinci, tidak diindoktrinasikan pada warga negara, dan pelaksanaannya tidak diawasi secara ketat oleh negara. Ideologi ini dapat menerima ideologi-ideologi lain sehingga dapat hidup berdampingan dengan ideologi-ideologi lain di masyarakat. Contohnya adalah Pancasila. 5.4 MACAM-MACAM IDEOLOGI Berbagai macam ideologi diuraikan berikut ini. a) Liberalisme Tampilnya ideologi liberalisme dilatarbelakangi oleh situasi di Eropa sebelum abad ke-18 yang diwarnai oleh perang agama, feodalisme, dominasi kelompok aristokrasi, dan bentuk pemerintahan yang bercorak monarki absolut. Dalam situasi demikian, ide-ide liberal yang mencerminkan aspirasi kelas menengah (terdiri atas kelompok industrialis dan pedagang) mulai diterima. Selanjutnya, dengan dukungan pemikir-pemikir liberal klasik seperti John Locke, J.S. Mill, Herbert Spencer, Adam Smith, dan David Hume, ide-ide liberal tersebut mulai tersistematisasi dan mewujud dalam pemikiran ekonomi, politik maupun sosial, dan akhirnya, perkembangan liberalisme sebagai ideologi politik, semakin mantap seiring dengan terjadinya Revolusi Inggris (1688), Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Prancis (1789). Ketiga Revolusi tersebut mengukuhkan dua prinsip hukum yang mendasari politik liberal, yaitu (1) pernyataan tentang hak asasi manusia (HAM), dan (2) adanya konstitusi yang menetapkan tatanan politik. Di tingkat praksis, kedua prinsip tersebut menjiwai pedoman-pedoman dalam kehidupan bernegara. Pedoman-pedoman tersebut antara lain ialah (1) adanya hukum yang tidak memihak dan berlaku umum (tidak ada keistimewaan bagi kelompok ningrat, agamawan, atau golongan terpandang lainnya) dan (2) hukum dibuat untuk menjamin sebesar mungkin hak yang sama bagi tiap individu agar mereka dapat mengejar tujuan hidupnya (Eatwell dan Wright (ed.), 2001: 33). Baik prinsip hukum maupun pedoman dalam tatanan politik tersebut dengan tegas membuat perbedaan antara negara dan masyarakat sipil. Negara tidak lagi diperkenankan untuk mengambil alih inisiatif individu. Capaian dalam hal ini tentu saja terkait erat dengan prinsip-prinsip dasar yang melandasi liberalisme, yaitu individualisme, kebebasan, keadilan dan kesetaraan, serta utilitarianisme (Vincent 1995: 321, 50, dan Heywood, 1998:27—28). 1) Individualisme Individualisme merupakan inti pemikiran liberal yang menjiwai seluruh basis moral, ekonomi, politik, dan budaya. Individualisme sendiri dapat didefinisikan sebagai pemikiran yang menjunjung keberadaan individu, dan masyarakat hanya dipandang sebagai sekumpulan individu semata. Individu memiliki otonomi dan merupakan sumber seluruh nilai. Individu juga dianggap sebagai hakim yang terbaik bagi dirinya serta dapat bertanggung jawab kepada dirinya sendiri. Bertitik tolak dari pandangan ini, kelompok liberal beranggapan bahwa negara tidak berhak mengintervensi kehidupan warga negara. 2) Kebebasan Kebebasan dalam liberalisme dipandang sebagai “hak” yang dimiliki tiap orang (Heywood, 1998:29). Hak ini yang memungkinkan tiap individu mendapat kesempatan yang sama untuk mengejar kepentingannya. Dari perspektif liberalisme, kebebasan tidak hanya dipandang sebagai hak melainkan juga sebagai kondisi yang memungkinkan tiap-tiap individu dapat mengembangkan bakat dan ketrampilannya. Pemikiran Liberalisme klasik memberi tempat kepada kebebasan negatif, yaitu tidak adanya batasan-batasan eksternal terhadap individu sehingga ia dapat bertindak sesuai dengan kehendaknya. Tetapi dalam pemikiran liberalisme modern– ditekankan bahwa terhadap kebebasan individu haruslah seminimal mungkin untuk mencegah kerugian di pihak lain. Pengertian ini kemudian dikenal dengan kebebasan positif. 3) Keadilan dan kesetaraan Nilai keadilan yang dijunjung kaum liberal dilandasi oleh komitmen terhadap nilai kesetaraan. Tekanan liberalisme di sini adalah keyakinan bahwa secara universal manusia memiliki hak yang sama, dan secara moral kedudukan manusia adalah setara. Dengan demikian, tiap-tiap individu memiliki hak dan kesempatan yang setara untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilannya. Walaupun tiap orang terlahir dengan bakat dan kemampuan yang berbeda-beda, berkat kerja keras mereka masing-masing akan mendapat reward. Tiap individu yang bekerja keras mengembangkan kemampuannya berhak untuk mengakumulasi kekayaan. Oleh sebab itu, menurut kaum liberal, kesetaraan kesempatan harus terbuka bagi tiap individu agar mereka dapat menikmati hak-hak dan penghormatan yang sama. Kaum liberal tidak melihat bahwa ide kesetaraan kesempatan akan mengarah pada ketidaksetaraan sosial dan ekonomi. 4) Utilitarianisme Prinsip utilitas atau manfaat adalah prinsip yang memungkinkan tiap-tiap individu dapat mengkalkulasi apa yang secara moral baik dengan menjumlahkan keuntungan/kenikmatan yang diperoleh dari setiap aspek tindakan yang dipilih. Di tingkat masyarakat pun, prinsip ini dapat dijadikan pedoman untuk pengambilan keputusan yang menguntungkan masyarakat banyak, yang kemudian dikenal sebagai prinsip “the greatest happiness for the greatest number”. Pandangan utilitarianisme ini berakar dari keyakinan bahwa tindakan individu selalu termotivasi oleh kepentingan-kepentingan pribadi yang dapat didefinisikan sebagai keinginan untuk mendapatkan keuntungan/kenikmatan dengan menghindari hal-hal yang merugikan. Dengan demikian, pilihan tindakan individu selalu didasarkan pada perhitungan jumlah keuntungan yang diperoleh ketimbang kerugiannya. Inilah yang dimaksud dengan prinsip utilitas. Liberalisme dapat dikatakan sebagai ideologi yang begitu menyatu dalam kehidupan masyarakat Barat, namun tidak lepas dari kritik. Pada abad ke-20, bahkan hingga awal abad ke-21 ini, telah banyak pihak yang mulai mempertanyakan prinsipprinsip dasar liberalisme klasik seiring dengan munculnya dampak industri modern. Hal ini disebabkan kelompok liberal terlalu membesar-besarkan nilai kebebasan dan kesetaraan kesempatan bagi individu, sementara dalam realitas, kesempatan dalam bentuk peluang kerja tidak tersedia secara merata di masyarakat. Sebagai upaya untuk menanggapi tantangan terhadap liberalisme klasik tersebut, dikembangkanlah liberalisme modern yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakat modern oleh tokohtokoh seperti T.H. Green, L.T. Hobhouse, J.M. Keynes, John Rawls, dan Robert Nozick. b) Kapitalisme Pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, lahirlah pemikiran, teori, dan sistem ekonomi baru yang dijiwai oleh semangat liberalisme yaitu kapitalisme. Kapitalisme merupakan buah pikiran dari tokoh-tokoh seperti Adam Smith dan David Ricardo. Keduanya menggagas ide-ide liberal dan rasional, khususnya tentang hakekat manusia serta peran pemerintah dalam masyarakat sipil. Latar belakang pemikiran ini tidak lepas dari kehidupan ekonomi pada saat itu yang berada di bawah sistem merkantilis–suatu sistem ekonomi di mana pemerintah berperan besar dalam membatasi kegiatan-kegiatan ekonomi guna mendorong ekspor dan membatasi impor. Pandangan-pandangan Smith yang kemudian menjadi acuan kapitalisme klasik dapat diringkas sebagai berikut (Heywood, 1998:52—53): Ekonomi adalah pasar dan pasar ini bergerak sesuai dengan harapan serta keputusan-keputusan individu yang bebas. Kebebasan dalam pasar dipandang sangat penting dan kebebasan itu meliputi: (a) kemampuan pengusaha untuk memilih barang yang hendak diproduksi, (b) kebebasan buruh untuk memilih majikan, dan (c) kemampuan konsumen untuk memilih produkproduk yang hendak dibeli. Adapun relasi-relasi yang terbangun dalam pasar, yaitu pengusaha–buruh dan penjual—pembeli, dilandasi oleh relasi yang bercorak sukarela dan kontraktual. Yang menarik dari kapitalisme klasik ini adalah bahwa tiap-tiap individu memiliki kebebasan dan kepentingan pribadi. Namun demikian aktivitas ekonomi sendiri beroperasi berdasarkan kekuatan-kekuatan pasar yang bercorak impersonal yang secara alami akan menjadi daya dorong untuk menuju kemakmuran ekonomi. Kekuatan pasar tersebut dikenal sebagai hukum penawaran dan permintaan yang dapat mengatur pasar sedemikian rupa sehingga tidak memerlukan aturan-aturan dari luar, bahkan untuk itu pasar harus dibebaskan dari intervensi pemerintah. Selain hukum penawaran dan permintaan, Smith juga meyakini adanya invisible hand sebagai pihak yang mengatur pasar. Dalam praktik, invisble hand digunakan untuk menjelaskan bagaimana masalahmasalah ekonomi seperti pengangguran, inflasi, defisit neraca pembayaran, dll. dapat terselesaikan oleh mekanisme dalam pasar itu sendiri. Selain mengurangi masalahmasalah seperti pengangguran, kekuatan-kekuatan pasat tersebut dipercaya juga dapat menjadikan kegiatan ekonomi semakin efisien. Efisiensi ekonomi didasari oleh pemikiran bahwa tiap-tiap perusahaan yang terjun ke pasar memiliki motif untuk mengejar profit, sehingga prosedur-prosedur yang dijalankan adalah bagaimana mempertahankan biaya yang rendah. Pemborosan dan inefisiensi tidak dapat ditoleransi. Namun demikian, pihak-pihak yang terlalu mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya pun dapat dicegah melalui kompetisi antarprodusen. Sementara, di pasar konsumen adalah raja. Oleh sebab itu, untuk mempertahankan keuntungan, perusahaan juga harus mampu mengindentifikasi kebutuhan-kebutuhan konsumen serta memuaskan mereka. Dapat diringkas bahwa menurut Adam Smith, kapitalisme mengandung beberapa prinsip dasar (Heywood, 1998:52—53 dan Ebenstein, dkk, 2000:23—26), yakni yang berikut. 1) Ekonomi pasar Ini merupakan kegiatan ekonomi yang ditentukan oleh kekuatan pasar, seperti penawaran dan permintaan. Hal ini dapat berjalan baik bila pihak-pihak eksternal, yaitu pemerintah tidak melakukan intervensi di dalamnya. Pasar yang berupa relasi pengusaha—pekerja dan penjual—pembeli dipercaya sebagai pengambil keputusan yang efektif. 2) Pengakuan atas hak untuk memiliki harta pribadi (secara khusus berupa saranasarana produksi seperti tanah dan pabrik). Harta milik pribadi ini tersebar pada individu-individu dan tidak terkonsentrasi pada pemerintah. 3) Kompetisi Prinsip ini bisa terlihat antarpengusaha maupun antarnegara. Di masa kini, kompetisi dalam pasar bebas bisa menjadi isu politik yang kontroversial menyangkut konsumen sebagai pihak yang diuntungkan karena barang-barang impor menjadi murah, sementara, di sisi lain, buruh dalam negeri akan kehilangan pekerjaan karena ketidakmampuan perusahaan-perusahaan dalam negeri tidak dapat bersaing sehingga harus menurunkan atau menghentikan produksinya. Namun demikian, para kapitalis tetap meyakini bahwa kompetisi antarbangsa dapat membawa kehidupan ekonomi menjadi efektif dan produktif. 4) Profit Kapitalisme memberi kesempatan seluas-luasnya untuk mencari keuntungan dan hal ini difasilitasi oleh tiga hal, yakni (a) kebebasan berdagang, (b) kebebasan untuk memiliki harta pribadi, dan (c) kebebasan untuk melakukan kontrak. Selama abad ke-19, kapitalisme menjadi semacam dogma di Amerika Serikat dan Inggris. Ideologi ini mencapai puncaknya ketika negara-negara tersebut memberlakukan doktrin laissez—faire, di mana negara memiliki peran minimal dalam bidang ekonomi sehingga kelompok bisnis benar-benar leluasa dalam menggerakkan roda ekonomi. Keadaan berbalik ketika memasuki abad ke-20 Amerika Serikat dilanda Depresi Besar pada tahun 1939 dan di Eropa berkecamuk Perang Dunia II. Pada situasi demikian, kapitalisme justru menampilkan efek kontra produktif dari doktrin laisse– faire. Menghadapi kemandegan ekonomi tersebut, lahir pemikiran J.M. Keynes dengan karyanya General Theory of Employment, Interest and Money (1936). Pemikiran Keynes menandai perubahan besar dalam liberalisme klasik karena ia menolak konsep pasar bebas yang dapat mengatur dirinya sendiri, Sebaliknya, ia mendukung peran pemerintah yang lebih besar di bidang ekonomi, yaitu dalam kebijakan tentang pajak, suku bunga, fiskal, insentif investasi, dan penyediaan pekerjaan umum untuk menyerap pengangguran (Heywood, 1998:61) Pemikiran Keynes banyak diterapkan di negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat. Dengan pemikiran Keynes, pemerintah mulai menerima tanggung jawab dalam menangani masalah pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan. Tampilnya peran pemerintah di bidang sosial dan ekonomi ini dikenal sebagai konsep negara kesejahteraan yang menjunjung prinsip-prinsip (1) tiap anggota masyarakat berhak menikmati standard kehidupan minimum, dan (2) negara kesejahteraan bertujuan menyediakan lapangan kerja sebagai tujuan sosial tertinggi (Ebenstein, dkk., 2000:40). Konsep negara kesejahteraan tidak luput dari berbagai tantangan. Hal ini terlihat pada tahun 1980an, ketika Ronald Reagan menjadi Presiden Amerika Serikat dan Margaret Thatcher menjadi Perdana Menteri Inggris. Keduanya mendorong kebijakankebijakan yang bercorak neokonservatisme. Tujuannya adalah untuk mempromosikan efisiensi dan pertumbuhan ekonomi dengan peran pemerintah seminim mungkin. Kedua tokoh tersebut juga memegang komitmen terhadap keberlangsungan pasar bebas, menekankan deregulasi, desentralisasi pemerintahan dan privatisasi sektor-sektor publik. Di satu sisi, kapitalisme memang dapat membawa kemakmuran ekonomi, namun di sisi lain juga mengandung kelemahan yaitu lahirnya bentuk-bentuk monopoli yang memperkecil keuntungan di pasar bebas. Selain itu, dalam ekonomi kapitalistis juga dikenal siklus dari kemakmuran ke resesi atau depresi yang mengakibatkan banyak orang sewaktu-waktu bisa menganggur. c) Kolonialisme Kolonialisme adalah paham tentang penguasaan oleh suatu negara atas daerah/bangsa lain dengan maksud untuk memperluas wilayah negara itu. Faktor penyebab timbulnya kolonialisme ialah keinginan untuk menjadi bangsa yang terkuat, menyebarkan agama dan ideologi, kebanggaan sebagai bangsa yang “istimewa,” keinginan untuk mencari sumber kekayaan alam dan tempat pemasaran hasil industri. (1) (2) (3) (4) (5) Ada beberapa tipe kolonialisme, yang yang berikut. Koloni penduduk: negeri asing yang kemudian menjadi tanah air baru karena migrasi besar-besaran, misalnya Amerika Utara dan Kanada. Koloni kelebihan penduduk: seperti koloni-koloni bangsa Italia dan Jepang. Koloni deportasi: tanah koloni yang dikerjakan oleh orang-orang buangan, misalnya Australia. Koloni eksploitasi: daerah jajahan yang dikerjakan hanya untuk mencari keuntungan, misalnya Hindia Belanda. Koloni sekunder: tanah koloni yang tidak menguntungkan negeri “induk”, tapi perlu dipertahankan karena kepentingan strategi. d) Nasionalisme Nasionalisme merupakan salah satu ideologi yang berpengaruh di Eropa pada akhir abad ke-18 sampai dengan awal abad ke-20, dan di Asia-Afrika pada abad ke-20. Dalam kurun waktu dua abad, nasionalisme telah merepresentasikan diri sebagai ideologi yang berperan penting dalam pembentukan negara-bangsa (nation-state) di ketiga belahan dunia tersebut. Dalam kajian-kajian tentang nasionalisme, titik tolak pembahasan terletak pada bangsa (nation). Berpijak pada konsep bangsa ini nasionalisme dapat dimengerti sebagai sebuah kesadaran nasional, ideologi politik, dan gerakan politik yang mengarahkan suatu bangsa menuju pembentukan organisasi politik yang ideal yaitu negara-bangsa. Negara bangsa adalah konsep di mana negara terdiri dari satu bangsa, dan yang disebut bangsa di sini adalah rakyat yang berdaulat. Jadi konsep bangsa yang digunakan tidak lagi mengacu pada aspek primordial seperti kesatuan etnis atau bahasa, namun lebih pada aspek politis. Pembentukan negarabangsa, sebagai tujuan nasionalisme, mensyaratkan adanya pemahaman tentang bangsa dalam arti modern, yaitu bangsa di mana para anggotanya memiliki kesadaran bahwa mereka (1) tinggal dalam teritori yang sama sehingga menimbulkan rasa memiliki negara yang sama, (2) memiliki identitas nasional yang terkristalisasi dari sejarah, bahasa, dan budaya yang sama, dan (3) merupakan anggota bangsa yang sama. Ketiga hal ini merupakan aspek-aspek yang dapat mempersatukan rakyat yang terpisah secara geografis sekaligus menumbuhkan tanggung jawab politik bersama. Bangsa dalam arti modern, seperti telah disebut, dicirikan oleh adanya tanggung jawab politik bersama dari para anggotanya. Dalam sejarah, pembangunan bangsa sebagai kesatuan politis dilatarbelakangi oleh gagasan kedaulatan rakyat yang merupakan reaksi terhadap gagasan kedaulatan raja yang bercorak absolut. Gagasan kedaulatan rakyat inilah yang kemudian melahirkan sebuah kata kunci yaitu warga negara. Sebagai akibat dari lahirnya gagasan kedaulatan rakyat, maka dalam konteks kenegaraan, negara dipahami sebagai tatanan politik yang melembagakan kehendak rakyat. Rakyat adalah subjek hukum, pihak yang memahami diri sebagai pembuat hukum itu sendiri. Selain itu, dengan adanya kesadaran dari rakyat bahwa mereka adalah warga negara, maka rakyat (yang juga) sebagai anggota bangsa akan melihat diri mereka sebagai kesatuan warga negara yang berhak menentukan pemerintahan sendiri. Jadi, dalam pengertian bangsa yang modern, terdapat hubungan yang erat antara bangsa, negara, dan rakyat sebagai warga negara. Adapun peran nasionalisme adalah sebagai ideologi yang mendorong kesadaran rakyat menjadi kesadaran nasional untuk menuju pembentukan negara-bangsa yang berdaulat. Untuk memahami nasionalisme di Eropa pada abad ke-18—20 dan di AsiaAfrika pada abad ke-20, maka dapat dijelaskan dari ideologi-ideologi lain yang mengiringi pemikiran nasionalisme di kawasan-kawasan tersebut. Di Eropa, perkembangan nasionalisme juga diiringi oleh ide-ide kedaulatan rakyat, liberalisme, dan kapitalisme. Dalam paham liberalisme, kebebasan individu dijamin. Sebagai akibatnya, tujuan negara dalam masyarakat yang liberal adalah untuk mempertahankan kebebasan, melindungi harta milik dan mewujudkan kebahagiaan individu. Dengan demikian, ketika nasionalisme, liberalisme, dan gagasan kedaulatan rakyat telah berhasil mentransformasi bangsa-bangsa di negara-negara Eropa (khususnya Eropa Barat) menjadi bangsa bercorak politis yang terdiri atas kesatuan warga negara, maka negarabangsa tak lebih dari sarana untuk melindungi kepentingan-kepentingan individuindividu warga negara. Dampaknya dalam hubungan antarnegara adalah bahwa yang disebut kepentingan nasional sebenarnya tak lain dari kepentingan individu-individu atau warga negara, yang wajib diwujudkan oleh negara. Bila tiap negara berkewajiban mewujudkan kepentingan nasional maka dalam hubungan internasional akan muncul benturan antarkepentingan nasional. Nasionalisme dan liberalisme (dan kemudian diikuti oleh liberalisme dalam bidang ekonomi yaitu kapitalisme) yang berkembang di Eropa akhirnya mendorong intensitas konflik internasional yang dipicu oleh persaingan ekonomi disertai persaingan untuk melakukan ekspansi wilayah guna mendapat sumber bahan mentah. Tiap negara berlomba membangun imperium dengan memperluas wilayah-wilayah jajahan di kawasan Asia dan Afrika. Sebagai contoh, antara tahun 1870–1900 Inggris menguasai wilayah jajahan seluas 4.250.000 mil2, Prancis 3.500.000 mil2 dan Jerman + 1.000.000 mil2. Nasionalisme dan kapitalisme di Eropa pada abad ke-18—19 telah melahirkan negara-bangsa yang kokoh dan dengan kekuatan negara ini pula, suatu bangsa dapat membangun koloni-koloni dan imperium. Semakin luas wilayah jajahan yang dimiliki, semakin makmur suatu negara-bangsa. Sebaliknya, di Asia dan Afrika, kolonialisme dan imperialisme bangsa-bangsa Eropa (yang kemudian diikuti oleh Jepang) telah menyadarkan rakyat pribumi untuk melawan. Nasionalisme yang bercorak antikolonialisme dan antiimperialisme merupakan jiwa dari seluruh gerakan nasional untuk memerdekakan bangsa-bangsa di Asia dan Afrika. Hasil perjuangan tersebut dapat dilihat dari data bahwa di antara tahun 1945 dan 1960, terdapat 55 bekas wilayah jajahan yang menjadi merdeka dan membentuk negara-negara berdaulat. Pada abad ke-21 ini, nasionalisme tidak lagi menjadi isu sentral dalam masalahmasalah global. Namun demikian, masih banyak negara yang harus menghadapi masalah-masalah kebangsaan yang bertumpu pada upaya persatuan bangsa (nation building) dan permasalahan ini umumnya terjadi di negara-negara yang terbentuk dari bangsa yang multietnis dan multikultural. Contohnya adalah Uni Sovyet dan Yugoslavia yang gagal dalam membangun kesatuan bangsa dari keragaman etnis, yang akhirnya berujung pada pembubaran kedua negara tersebut. Selain itu, negara-negara seperti Spanyol masih harus menghadapi gerakan separatis Basque. Sementara itu, negaranegara seperti Irak, Sri Lanka dan bahkan Indonesia masih harus terus berjuang menuju kesatuan bangsa ini. e) Sosialisme Sosialisme sebagai ideologi politik lahir pada abad ke-19. Ideologi ini berkembang sebagai reaksi terhadap kehidupan sosial—ekonomi yang dibangun di bawah sistem kapitalisme Eropa pada masa itu. Industrialisasi dan penerapan doktrin laissez faire yang dipraktikkan oleh negara-negara kapitalis Eropa telah melahirkan kelas buruh yang hidup miskin. Sementara itu, belum ada undang-undang yang mengatur tentang upah, jam kerja, dan perlindungan terhadap buruh, anak, dan perempuan. Pendek kata, buruh bekerja dalam kondisi pabrik-pabrik yang tidak manusiawi. Tekanan terhadap buruh semakin meningkat dengan adanya ancaman pengangguran di mana-mana. Kelas buruh yang baru tumbuh ini pun belum memiliki orientasi untuk menghadapi para majikan yang sangat berkuasa dalam menentukan tingkat upah maupun kondisi pabrik. Baru pada akhir abad ke-19 sosialisme berhasil ditransformasikan ke dalam serikat-serikat pekerja dan partai buruh. Kedua kelompok ini berhasil menekan para pengusaha sehingga terjadi perbaikan-perbaikan kondisi kehidupan kelas buruh. Sosialisme yang lahir di abad ke-19 ini sangat beragam karena di dalamnya terdapat buah pemikiran tokoh-tokoh seperti Owen, Saint Simon, Fourier, Proudhon, dan Karl Marx. Pemikiran mereka berbeda satu sama lain, namun terdapat beberapa nilai dasar yang melandasinya (Heywood, 1998: 106—113). 1) Komunitas Sosialisme melihat realitas manusia sebagai makhluk sosial yang mampu menangani masalah-masalah sosial–ekonomi dengan kekuatan komunitas. Dengan kata lain, sosialisme menekankan kapasitas manusia untuk bertindak secara kolektif daripada secara individual (bandingkan dengan pandangan individualis dalam liberalisme, di mana individu adalah otonom dan masyarakat hanya dipandang sebagai penjumlahan dari individu). Kaum sosialis melihat bahwa individu hanya dapat dipahami melalui kelompok-kelompok sosial di mana ia menjadi anggota. Manusia dengan manusia lainnya merupakan camerad, saudara yang terikat oleh ikatan kemanusiaan. Oleh sebab itu, ikatan-ikatan sosial seperti kelas, bangsa, dsb. merupakan entitas politik yang sangat bermakna. 2) Kooperasi Kelompok sosialis meyakini bahwa hubungan yang alami antarmanusia adalah hubungan kooperasi, bukan hubungan kompetisi. Ini berbeda dengan pandangan kelompok liberal yang melihat kompetisi sebagai hal yang alami karena manusia secara alami mementingkan diri sendiri sehingga kompetisi dianggap sehat karena mendorong orang bekerja keras guna mengembangkan seluruh kemampuannya. Kelompok sosialis beranggapan bahwa kompetisi menempatkan manusia berlawanan dengan manusia lainnya, mengingkari hakikat sosial serta menampilkan keegoisan dan agresi. Sebaliknya, kooperasi mendorong manusia untuk saling bekerja sama dan mengembangkan ikatan simpati. Komitmen terhadap kooperasi menstimulasi timbulnya usaha-usaha kooperatif yang ditujukan untuk menggantikan tipe-tipe usaha yang bercorak kompetitif. 3) Kesetaraan Kelompok sosialis melihat bahwa dalam kapitalisme yang dibangun oleh ekonomi yang liberal terlalu menekankan kompetisi dan kepentingan diri yang berdampak pada ketidaksetaraan yang dialami manusia yang terefleksikan dalam struktur masyarakat yang tidak setara pula. Ketidaksetaraan itu dipandang sebagai wujud dari perlakuan yang tidak setara di masyarakat dan bukan karena sesuatu yang alamiah. Dikatakan demikian karena kelompok sosialis tidak meyakini bahwa semua individu memiliki kapasitas dan keterampilan (bandingkan dengan penjelasan tentang kesetaraan kesempatan dalam liberalisme). Oleh sebab itu, sosialisme menekankan adanya kesetaraan sosial sebagai jaminan bagi tiap orang untuk mengembangkan seluruh potensi dirinya. Ketidaksetaraan sosial dipandang tidak adil dan memicu persaingan serta kesenjangan sosial. Sebaliknya, kesetaraan sosial memungkinkan manusia saling bekerja sama dan hidup harmonis—dua nilai yang dianggap sebagai pilar keberadaan komunitas. 4) Kebutuhan dan keadilan Nilai kesetaraan sosial dalam sosialisme terkait erat dengan teori tentang distribusi kekayaan (reward) yang bercorak material di masyarakat. Jika liberalisme menetapkan reward didistribusikan sesuai dengan kemampuan individu, maka sosialisme lebih menekankan distribusi reward tersebut berdasarkan kebutuhan. Menurut kelompok sosialis, kebutuhan-kebutuhan (needs) berbeda dengan keinginan (want atau preference). Kebutuhan mencakup hal-hal pokok serta menuntut keharusan untuk segera dipenuhi (ini sering disebut kebutuhan pokok). Hal ini berbeda dengan keinginan yang diartikan sebagai keinginan personal dan sangat dipengaruhi oleh faktor sosial-budaya. Kebutuhan pokok bersifat objektif dan universal serta dibutuhkan oleh tiap orang tanpa memandang bangsa. Kriteria kebutuhan pokok ini yang kemudian menjadi basis bagi prinsip keadilan. 5) Kepemilikan bersama atas sarana-sarana produksi Kelompok sosialis melihat bahwa akar kompetisi dan ketidaksetaraan adalah harta milik pribadi berupa harta produktif atau kapital. Jika kelompok liberal memandang kepemilikan harta pribadi sebagai hal yang alami karena berasal dari jerih payah individu, maka kelompok sosialis memiliki pandangan lain, yakni yang berikut (1) Harta/kekayaan berasal dari tenaga manusia yang diupayakan secara kolektif; oleh sebab itu, kekayaan harus dimiliki oleh komunitas dan bukan oleh individu. (2) Harta milik pribadi melahirkan ketamakan dan sifat materialistis. (3) Harta milik pribadi dapat menimbulkan konflik antara pengusaha dan pekerja, serta antara orang kaya dan yang miskin. Dari perspektif sejarah terlihat bahwa sosialisme merupakan ideologi politik yang diadopsi oleh banyak kelompok atau negara, dari kelompok komunis revolusioner di era Uni Soviet, kelompok nasionalis di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, rejim fasis di Italia dan Jerman (sebelum P.D. II) hingga kelompok sosial demokrat di Eropa Barat. Namun demikian, sosialisme dan komunisme (terutama) tak luput dari kritik, khususnya mengenai kedudukan individu, hak milik pribadi, dan kontrol pemerintah dalam bidang ekonomi. f) Marxisme Marxisme tampil sebagai sebuah ideologi politik setelah kematian Karl Marx pada tahun 1863. Adapun tokoh-tokoh yang mengolah gagasan-gagasan Marx secara sistematis dan komprehensif serta dapat diterapkan pada gerakan sosialis saat itu adalah Engels, Karl Kautsky, dan Georgie Plekhanov. Gagasan-gagasan Karl Marx sebenarnya dapat dikelompokkan dalam rumpun sosialisme, tetapi Marx mengklaim bahwa sosialisme yang digagasnya adalah sosialisme ilmiah dan revolusioner (untuk membedakannya dari sosialisme Fabian, Owenis, Saint Simonis dan Fourieris yang disebutnya sebagai sosialisme utopis). Pemikiran khas Marx adalah interpretasinya tentang sejarah masyarakat. Ia menampilkan filsafat sejarah yang mencoba menjelaskan mengapa kapitalisme pada akhirnya hancur dan sosialisme ditakdirkan untuk menggantikan kedudukan kapitalisme. Letak perbedaan Marxisme dengan sosialisme lainnya adalah bahwa pemikiran Marx membuat pemisahan antara teori dan praksis. Dari pemikiran Marx tentang masyarakat dan sejarah, kemudian lahirlah suatu pemikiran yang oleh Engels disebut materialis sejarah (lihat pengertian Marx tentang ideologi di subbab 5.1, Pengertian Ideologi). Marx menyorot salah satu prinsip dasar kapitalisme, yakni kompetisi. Ia beranggapan bahwa demi kompetisi maka produktivitas produksi harus ditingkatkan, dan dijual semurah mungkin. Jika hal ini berlangsung dalam jangka panjang, maka semua bentuk usaha yang tidak diarahkan untuk mencari keuntungan akan kalah, dan itu berarti hanya usaha-usaha komersial besar yang dapat hidup. Akhirnya, persaingan hebat itu akan menyisakan dua kelas sosial saja yakni para pemilik modal besar dan kelas buruh. Kelas buruh akan semakin melarat karena pemilik modal terus menekan upah agar daya saing meningkat. Namun demikian, kelas buruh, yang sebelumnya tidak memiliki kesadaran kelas, lambat laun menjadi sadar bahwa mereka merupakan satu kelas dan mengorganisasikan diri dalam serikat-serikat buruh. Tujuan perjuangan buruh (proletariat) tidak lagi sekadar untuk menaikkan upah, melainkan juga untuk menghapus hak milik kelompok kapitalis atas sarana-sarana produksi. Jadi di sini kapitalisme telah melahirkan kelas buruh yang akan menghancurkannya sendiri. Kaum proletariat inilah yang nantinya menjalankan revolusi sosial, merebut negara dan mendirikan “kediktatoran proletariat”. Bentuk ini diperlukan untuk mencegah adanya revolusi balasan dari kaum kapitalis. Setelah itu hak milik pribadi atas sarana-sarana produksi dihapus dan dialihkan ke negara. Menurut analisis Marx, selain hak milik pribadi terhapus, negara juga menjadi layu dan mati. Proletariat menciptakan masyarakat tanpa kelas. Dalam masyarakat tanpa kelas ini kediktatoran proletariat juga hilang. Akhirnya terciptalah masyarakat komunis yang dicirikan oleh penghapusan kelas-kelas sosial, menghilangnya negara dan penghapusan pembagian kerja (Magnis-Suseno, 2001:165—171). Perlu diketahui bahwa konsep komunisme dalam pemikiran Marx berbeda dengan sistem komunis yang dibangun Lenin, di mana negara menguasai seluruh sarana produksi. Dominasi Marxisme dalam gerakan serikat buruh belum nampak pada awal abad ke- 19. Pada masa itu, khususnya tahun 1820—1830-an, kelompok-kelompok sosialis aliran Owenis, Saint Simonis dan Fourieris sudah mengawali gerakan buruh dan berpengaruh pada gerakan yang lebih luas, sehingga pada tahun 1840-1860 wacanawacana ideologi sosialis telah diterima sebagai aspirasi kelas buruh di Eropa. Baru pada tahun 1889 gagasan-gagasan Marx mendominasi gerakan buruh dan Asosiasi Buruh Internasional II (Internationale II). Hampir semua partai sosialis, termasuk Partai Sosial Demokrat Jerman (SPD) yang merupakan Partai Marxis terbesar di Eropa, mengesahkan program-program proMarxis. Di kemudian hari, SPD banyak melahirkan revisionis Marxisme yang bertujuan untuk menyesuaikan Marxisme dengan perkembangan ekonomi negara-negara industri di akhir abad ke-20. Tokoh-tokoh revisionis tersebut antara lain ialah: Eduard Bernstein dan Rosa Luxemburg. Perkembangan Marxisme berikutnya terlihat pada Internationale III, yang ditandai oleh meletusnya Revolusi Bolsheviks di Rusia (1914—1918). Sebagai pemimpin revolusi, Lenin segera menetapkan Marxisme-Leninisme sebagai ajaran yang paling benar namun ditentang oleh Rosa Luxemburg. Pertentangan tersebut dipicu oleh kebijakan-kebijakan Lenin pada tahun 1918 yang menghapus hak-hak demokrasi di Rusia. Sejak tahun 1930, terjadi polarisasi dalam ideologi dan gerakan Marxisme. SPD Jerman, misalnya, menjadi kelompok revisionis yang didasari oleh ide-ide demokrasi sosial. Setelah itu juga lahir varian-varian seperti Trotskyisme, Stalinisme, Marxisme revisionis, Marxisme humanis, Eurokomunisme, Maoisme, Marxisme Afrika, Marxisme eksistensialis, Marxisme strukturalis, Marxisme feminis dsb. Hingga saat ini Marxisme sebagai pemikiran masih tetap hidup dalam bentuk-bentuk yang reformis, demokratis, dan revisionis (Vincent, 1995:90). g) Fasisme dan Nazisme Berakhirnya Perang Dunia I pada tahun 1918 menimbulkan tragedi bagi Eropa dan dunia. Bagi negara-negara yang kalah perang, kenyataan ini tentu lebih menyakitkan lagi. Jerman misalnya, harus menerima isi Perjanjian Perdamaian Versaille (1919) yang isinya antara lain kedaulatan Jerman dikendalikan oleh Tentara Pendudukan Sekutu. Dalam situasi negara yang kacau setelah perang, di mana korbankorban sipil berjatuhan, dan kemiskinan yang merajalela, fasisme dan nazisme ditawarkan sebagai ideologi maupun gerakan yang mampu membangkitkan kembali kemakmuran, kehormatan dam kejayaan suatu negara bangsa.8 Istilah fasisme dikumandangkan pertama kali pada tahun 1919, pada saat berdirinya gerakan Fasis di Italia. Selanjutnya, sebagai sebuah ideologi, fasisme mengacu pada ideologi yang diterapkan Mussolini di Italia pada tahun 1922—1939. Fasisme dan nazisme memiliki beberapa kesamaan konsep dasar sehingga nazisme sering disebut sebagai fasisme varian Jerman. Nazisme berasal dari kata Nazi singkatan dari Nationalsozialistische yang menjadi ideologi Partai NSDAP (Nationalsozialstische Deutsche Arbeiter Partei atau Partai Buruh Nasional Sosialis Jerman). NSDAP menjadi terkenal berkat kemampuan pidato-pidato Hitler. Bagi kaum Nazi, buku tulisan Hitler, Mein Kampf (Perjuanganku) mrupakan buku yang wajib dibaca (Marbun, 1983:44-46). Nazisme diadopsi di Jerman antara tahun 1933—1938. Secara umum, fasisme dan nazisme bertitik tolak dari konsep-konsep dasar tentang (1) superioritas ras, (2) elit dan kepemimpinan yang karismatik, (3) negara totaliter, (4) nasionalisme, (5) sosialisme, dan (6) militerisme (Hayes, 1973:19). Pertama, konsep superioritas ras ini pada umumnya digunakan negara-negara industri di Eropa Barat menjelang PD I untuk menemukan wilayah dan pasar di luar negeri. Di antara negara-negara itu, Jerman dan Inggris menggunakan teori keunggulan ras untuk menyembunyikan tujuan ekonomi-politik mereka. Ide atau konsep keunggulan ras selanjutnya mendorong pemikiran-pemikiran atau konsep “negara unggul”, yang 8 Di sini terdapat ide nasionalisme dalam bentuk yang radikal yaitu chauvinisme. ide-idenya ditopang oleh teori geografi politik seperti teori MacKinder, Ratzel, dan Karl Haushoffer. Keseluruhan konsep tentang keunggulan ras, negara unggul, dan geografi politik itu nantinya menjadi justifikasi ilmiah bagi gerak ekspansi Jerman di bawah Hitler menjelang PD II. Secara khusus, konsep keunggulan ras tidak ditekankan dalam pemerintahan fasis di Italia namun menjadi semacam doktrin di Jerman dan Rusia (di kedua negara ini, populasi Yahudi cukup besar). Dampak dari konsep yang bahkan menjadi mitos ini adalah lahirnya anti-Semitisme (anti-Yahudi). Kaum Nazi berhasil mempropagandakan anti-Semitisme, dengan menuding kaum Yahudi sebagai penyebab masalah ekonomi-sosial yang menghalangi dominasi bangsa Jerman terhadap bangsabangsa Eropa. Kedua, konsep elit dan pemimpin yang karismatik yang lahir dari situasi masyarakat yang dilanda kahancuran dan ketidakpastian sosial-ekonomi. Dalam situasi seperti ini, masyarakat membutuhkan pemimpin yang mampu mengangkat harga diri bangsa dan memberi harapan. Mussolini maupun Hitler mampu menarik dukungan massa karena keduanya mampu memberi harapan dengan mempropagandakan bahwa bangsa mereka adalah bangsa elit yang ditakdirkan menguasai Eropa dan dunia. Untuk itu diperlukan pemimpin yang tegas dan kuat. Pemimpin harus memiliki otoritas luas dan disegani. Konsep pemimpin yang karismatik dan kuat inilah yang kemudian mengakibatkan lumpuhnya demokrasi karena kekuasaan pemimpin yang tanpa batas. Ketiga, konsep negara totaliter yang tidak mengenal demokrasi dan lebih menekankan negara totaliter.9 Dalam negara model ini, kemajemukan bangsa ditiadakan, dan negara mengontrol media massa, mengawasi serikat pekerja dan melarang partai politik oposisi. Keempat, konsep nasionalisme yang merupakan ide yang sangat berpengaruh dalam fasisme dan nazisme karena nantinya gerakan fasisme dan nazisme selalu berupa gerakan nasionalis. Hal ini dapat dilihat dari gerakan fasis dan nazi di Italia dan di Jerman. Kedua negara fasis ini meyakini adanya keharusan untuk membuat kebijakankebijakan luar negeri yang agresif. Namun demikian, nasionalisme yang dianut kaum fasis adalah dalam bentuk yang radikal yaitu chauvinisme, seperti terlihat dari ajaran tentang keharusan negara untuk melakukan aneksasi serta memegang teguh machtpolitik (politik berdasarkan kekuasaan). Kelima, konsep sosialisme yang terkandung dalam fasisme namun tidak mengacu pada Marxisme melainkan pada pemikiran-pemikiran tentang pemerataan ekonomi. Adapun tujuan ekonomi ini difokuskan untuk mendorong kemampuan ekonomi seluruh unsur bangsa agar menjadi bangsa unggul. Pada umumnya, sosialisme di negara-negara fasis mengijinkan usaha-usaha kelompok swasta tetapi negara tetap menguasai bidang-bidang tertentu seperti transportasi. Keenam, konsep militerisme yang menghendaki peran militer yang dominan, seiring dengan konsep tentang negara totaliter di mana negara mendominasi seluruh kehidupan warga negara. Militer merupakan organ negara yang berperan penting dalam menjalankan kekuasaan negara. Hal ini dapat dilihat dari organ-organ SS (Schutzstaffel), organ partai NSDAP Jerman yang bertugas mengontrol kehidupan warga. Fasisme dan nazisme kehilangan dukungan massa seiring dengan berakhirnya PD II, setelah Jerman dan Italia kalah perang. Selain itu, kemampuan negara-negara Eropa Barat membangun diri menjadi negara-negara makmur serta adanya hukum 9 Sebagai catatan, di dunia ini belum pernah ada satu negara pun yang berhasil mengintegrasikan seluruh aspek bangsa secara total, bahkan Hitler dan Stalin pun (pemimpin Rusia) tidak pernah berhasil mengontrol pikiran dan tingkah laku warga negaranya secara total. internasional yang mengatur perilaku ekspansif negara-negara di dunia ini juga turut melemahkan kedua ideologi tersebut. Yang menarik, selama tahun 1990-an, di Jerman muncul gerakan Neo-Nazi. Dengan dimotori kaum muda, mereka melakukan kerusuhan-kerusuhan. Walaupun kelompok ini seringkali menggunakan simbol-simbol Nazi, tindakan-tindakan semacam itu lebih dipahami sebagai bentuk ketegangan sosial dan tidak berakar pada ideologi politik, h) Feminisme Feminisme sebagai suatu pemikiran dan gerakan lahir di akhir abad ke-18, setelah Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Perancis (1792). Pemikiran ini lahir karena didorong oleh realitas di masyarakat yakni bahwa pada masa posisi perempuan kurang menguntungkan dibandingkan dengan posisi laki-laki. Pada masa ini, perempuan (baik dari kelas menengah–atas maupun kelas bawah) tidak memiliki hakhak seperti (1) hak untuk mendapat pendidikan, (2) hak untuk memilih dan dipilih (hak politik), (3) hak untuk memasuki lapangan pekerjaan di masyarakat, khususnya pada perempuan dari kelas menengahatas, dan (4) hak atas harta milik sehingga perempuan yang menikah tidak memiliki harta sendiri yang sah dan segala harta yang diperolehnya secara legal menjadi milik suaminya. Sebagai akibat dari tiadanya hak-hak tersebut maka perempuan tidak dapat masuk ke perguruan tinggi, parlemen, atau kantor-kantor dan tidak memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki di hadapan hukum. Kondisi ini pada akhirnya menimbulkan kesadaran akan ketidaksetaraan hak-hak perempuan dengan hak-hak lakilaki dan kemudian mendorong pemikiran serta gerakan untuk menuntut hak-hak perempuan. Gerakan feminisme mula-mula berlangsung di Amerika Serikat dan kemudian menyebar ke Prancis dan Inggris. Gerakan ini dimotori oleh perempuan kelas menengah-atas dengan tuntutannya yang terkenal, yaitu kesetaraan hak dengan laki-laki di dunia kerja, dan pendidikan, serta hak untuk memilih dan dipilih. Salah satu tokoh pemikir yang berpengaruh dan berperan dalam mendorong kesadaran akan nasib perempuan pada masa itu adalah Mary Wallstonecraft dari Inggris. Pada tahun 1792, ia menerbitkan buku Vindication of the Rights of Woman. Lima puluh enam tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1848, pemikiran-pemikiran Wallstonecraft dimuat dalam Konvensi Hak-hak Kaum Perempuan yang diadakan di Seneca Falls, A.S. Dalam sejarah gerakan terdapat satu gerakan perempuan yang dilandasi oleh gagasan sosialis dengan tokoh pemikir seperti Clara Zetkin (1857-1933) dan Charlotte Perkin Gilman (1860-1935). Kedua tokoh ini memandang bahwa tuntutan-tuntutan feminisme sebenarnya bukanlah kesetaraan hak dengan laki-laki semata melainkan juga meliputi perubahan secara total tatanan masyarakat yang penuh dengan ketidakadilan. Dengan demikian, ideologi feminisme yang bercorak sosialis mengarah pada penciptaan Dunia Baru yang berkeadilan dan tanpa penindasan. Pada abad ke-21 ini, perempuan telah menikmati hasil perjuangan gerakan feminisme. Pada saat ini tidak banyak orang yang masih mempersoalkan hak-hak perempuan untuk memperoleh pendidikan, mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum, mendapatkan pekerjaan di masyarakat atau memperoleh hak-hak politik. Namun demikian, tidak berarti bahwa kaum perempuan telah terbebas dari diskriminasi sama sekali. Gerakan perempuan di Indonesia misalnya, masih harus berjuang untuk mendukung pembuatan undang-undang perlindungan. Tujuan undang-undang ini adalah untuk melindungi perempuan dari dampak pekerjaan yang merugikan seperti kecelakaan kerja, upah rendah, dan jam kerja yang panjang. Peraturan-peraturan lain yang diperjuangkan meliputi penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perlindungan terhadap pekerja rumah tangga anak (untuk anak perempuan usia di bawah 15 tahun), perlindungan terhadap perdagangan perempuan dan anak (trafficking), perlindungan terhadap perempuan dan anak yang dilacurkan dan korban-korban pemerkosaan. i) Ekologisme Sejak berakhirnya Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur di akhir tahun 1990-an, isu-isu global didominasi oleh isu-isu tentang globalisasi, ledakan populasi, kemisikinan di Dunia Ketiga, dan lingkungan hidup. Sebagai isu global, masalah lingkungan hidup merupakan salah satu yang terpenting. Hal ini dapat dilihat dari diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) tentang lingkungan dan pembangunan pada tahun 1992 di Rio de Jeneiro. KTT ini dihadiri 100 kepala negara, 172 perwakilan resmi negara, 14 ribu organisasi non pemerintah dan diliput oleh lebih dari 8.000 wartawan dari seluruh dunia. Beberapa kesepakatan yang dihasilkan dalam KTT ini adalah konvensi tentang lingkungan dan pembangunan, konvensi mengenai perubahan iklim, dan konvensi tentang keanekaragaman hayati. Kesepakatan-kesepakatan ini tentu saja memberi harapan bagi penyelamatan dan kehidupan lingkungan. Apa yang dicapai melalui KTT tersebut merupakan hasil perjuangan dan pemikiran yang tak kenal lelah dari semua pihak yang sangat peduli terhadap kelestarian lingkungan. Untuk mendalami masalah lingkungan, di sini dikemukakan ideologi lingkungan yaitu ekologisme (atau ekologi politik) dan environmentalisme. Keduanya peduli terhadap lingkungan hidup tetapi berbeda dalam cara pandang. Kaum ekolog lebih menekankan keterkaitan faktor-faktor ekonomi dan politik dengan degradasi lingkungan sehingga timbul keyakinan bahwa kerusakan alam bisa diperbaiki melalui kerjasama dengan para industrialis. Sebaliknya, kelompok environmentalis berpandangan untuk membongkar jalinan ekonomi politik tersebut, bertindak berdasarkan gejala kerusakan lingkungan. Dalam kehidupan aktual, publik sebenarnya tidak terlalu membedakan keduanya dan bahkan menyamakan politik hijau (green politics) dengan ekologisme. Hal ini terjadi karena publik terbiasa melihat gerakan kelompok hijau sebagai kelompok penekan di tingkat internasional seperti Greenpeace dan Friends of Earth. Sebagai sebuah ideologi politik kontemporer, ekologisme merupakan reaksi terhadap proses industrialisasi yang cenderung memperluas produksi dan konsumsi tanpa mempedulikan keterbatasan bumi. Cepat atau lambat, proses produksi akan menghabiskan sumber daya alam melampaui kemampuan bumi untuk menyerap pembuangan zat-zat beracun. Bila hal ini dibiarkan maka kualitas hidup manusia akan semakin memburuk. Pada masa modern ini, masyarakat industri di negara maju, yang kemudian diikuti oleh negara-negara berkembang berlomba-lomba untuk mempercepat produksi dan meningkatkan konsumsi demi tercapainya kemakmuran. Dampak dari segala proses ini adalah pengurasan isi bumi (penggunaan energi fosil seperti batubara, minyak, dan gas) dan penciptaan polusi yang tak terkendali (sebagai akibat limbah gas seperti karbon dioksida dan metana), Fritz Schumacher dalam The Small is Beautiful memperlihatkan bahwa industri modern dengan segala kecanggihan intelektualnya telah menghabiskan unsur-unsur yang paling dasar di mana industri dibangun. Industrialisasi pula yang membentuk cara berpikir manusia yang bertumpu pada “modal”. Modal dipandang sebagai sesuatu yang diciptakan manusia dan dapat dihabiskan atau diinvestasikan. Dari sudut pandang ekolog maupun environmentalis, bumi dan sumber dayanya tidak dapat diperbaharui. Keduanya merupakan modal yang tidak diciptakan manusia dan tentu saja tidak dapat ditingkatkan. Jadi, ekologisme di sini bertujuan untuk membangun kepedulian terhadap hubungan antara manusia dengan lingkungan serta antara manusia dengan dirinya sendiri. Hasil gerakan-gerakan lingkungan hidup, baik dari kelompok environmentalis maupun ekolog, telah membuahkan kesadaran global akan masalah-masalah lingkungan hidup seperti pemanasan global. Gerakan-gerakan tersebut juga berhasil mendorong pengurangan atau penghentian penebangan hutan yang tujuannya (1) menghindari kelangkaan bahan genetika bagi pengembangan obat-obat baru, (2) menyerap karbon dioksida, (3) membantu mengurangi pemanasan global, (4) mencegah erosi, (5) melidungi suku-suku pribumi dari kehancuran lingkungannya, dan (6) menjadi wahana kontemplasi terhadap keindahan yang ditumpulkan oleh industrialisasi. Secara formal, keberhasilan gerakan ekologisme juga dapat dilihat dari penerapan berbagai kebijakan tentang lingkungan di negara-negara maju. Bahkan di tingkat internasional telah diadakan KTT Bumi yang kemudian melahirkan penandatanganan kovensi perubahan iklim di PBB (United Nation Framework Convention on Climate Change) pada 9 Mei 1992. 5.5 IDEOLOGI-IDEOLOGI DARI ASIA Secara historis, berbagai ideologi politik yang dideskripsikan di atas merupakan ideologi-ideologi yang lahir dan berkembang di Barat. Liberalisme, misalnya, merupakan reaksi kritis terhadap absolutisme yang tumbuh subur dalam masyarakat feodal-klerikal dan bentuk monarki absolut di Eropa. Jawaban liberalisme atas absolutisme tersebut adalah dengan mengajukan ide-ide jaminan hukum atas hak-hak dan kebebasan individu, serta kesetaraan sosial.10 Berikutnya, sosialisme dan Marxisme merupakan reaksi kritis terhadap liberalisme dan kapitalisme. Sungguhpun ideologi-ideologi tersebut lahir dalam kultur masyarakat Barat, tidaklah berarti bangsa-bangsa lain seperti di Asia, Afrika, dan Amerika Latin tidak pernah mengembangkan ideologi masing-masing. Ketiga kawasan ini sebenarya telah banyak melahirkan ideologi-ideologi politik. Sebagai contoh, sosialisme Arab dicetuskan oleh Gamal Abdel Nasser dari Mesir, Maoisme digagas oleh Mao Tse Tung dari China, Ujamaa dirumuskan oleh Julius Nyerere dari Afrika, serta ide-ide tentang hak milik dan masyarakat komunitarian dikumandangkan oleh Jaimee Castillo dari Amerika Latin. Lahirnya ideologi-ideologi politik di ketiga kawasan tersebut merupakan reaksi kritis terhadap ideologi kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme Barat, sehingga unsur-unsur dalam ideologi-ideologi bangsa Asia, Afrika, dan Amerika Latin ini sarat dengan ide-ide nasionalisme dan antikolonialisme, dan sangat menekankan ide keadilan sosial.11 Untuk mengenal dan memahami ideologi dari ketiga kawasan, di sini dikemukan dua ideologi dari Asia untuk mewakili yakni Hind Swaraj (Indian Home Rule) yang digagas Mahatma Gandhi dan Pancasila dari Indonesia. a) Hind Swaraj Hind Swaraj (berasal dari kata Hind yang berarti ‘bangsa India’ dan swaraj yang berarti ‘pemerintahan sendiri’), adalah ideologi yang digagas oleh Mohandas Karamchand Gandhi (1869-1948). Ia dikenal sebagai Bapak dan Guru bangsa India yang wafat karena ditembak pada tahun 1948. 10 Bahasan tentang perkembangan ideologi ini dapat dibaca lebih lanjut dalam tulisan Fransisco Budi Hardiman, dalam Pengantar untuk Ideologi-Ideologi Politik Kontemporer oleh Roger Eatwell dan Anthony Wright (ed) (Jakarta: Mediator, 2001), x 11 Jepang yang tidak pernah dijajah, tentunya mengembangkan ideologi yang tidak memiliki unsur-unsur umum yang dimiliki ideologi bangsa-bangsa Asia yang pernah berada di bawah kolonialisme. Sebagai sebuah ideologi, Hind Swaraj terdiri atas beberapa ide dasar yaitu nasionalisme humanistis, sarvodaya (kesejahteraan sosial), ekonomi khadi serta pemerintahan yang demokratis. Nasionalisme humanistis Gandhi bertumpu pada ajaran ahimsa (prinsip menghormati kehidupan; dalam arti khusus adalah tidak melakukan tindakan kekerasan apalagi pembunuhan) dan satyagraha (prinsip kekuatan jiwa dan cinta akan kebenaran, yang dalam bahasa Inggris sering dipadankan dengan passive resistance, non-violence atau perlawanan tanpa kekerasan/pasif). Dengan kedua prinsip tersebut, gerakan kemerdekaan India di bawah Gandhi memiliki ciri-ciri seperti tidak melakukan tindakan kekerasan tapi lebih memilih aksi-aksi semacam boikot dan mengedepankan peralihan kekuasan secara damai melalui negosiasi dan gentlemen agreement. Hind Swaraj juga meliputi ide tentang tatanan sosial-ekonomi yang ideal, yang disebut Sarvodaya (kesejahteraan untuk semua), yakni kesejahteraan dan kesetaraan sosial bagi bangsa India. Ide tentang kesetaraan diangkat mengingat India masih menganut sistem kasta, di mana kaum Pariah atau kaum Harijan (kelompok yang terpinggirkan) perlu diangkat, baik secara sosial maupun ekonomi, agar di dalam India yang merdeka, kelompok ini juga memiliki tempat dan kekuatan. Ide Gandhi tentang ekonomi disebut ekonomi khadi. Khadi sebenarnya adalah kain tenun yang ditenun dengan charkha (alat tenun yang dijalankan oleh tenaga manusia). Bagi Gandhi, kedua alat ini merupakan simbol sekaligus sarana untuk yang mendukung sarvodaya; keduanya merupakan alat sederhana namun dapat menjadi tumpuan jutaan rakyat miskin untuk memproduksi kain sendiri, hingga lepas dari ketergantungan pada kain impor dari Inggris. Ekonomi khadi dengan demikian merupakan simbol kemandirian ekonomi dari ketergantungan pada impor, dan simbol kebebasan dari eksploitasi sistem industri pabrik yang diyakini Gandhi dapat menimbulkan pengangguran di desa-desa. Ide ramrajya (negara yang demokratis) dan gram swaraj (pemerintahan lokal berbasis desa), merupakan dua ide Gandhi tentang negara dan kedaulatan negara yang dicirikan oleh desentralisasi kekuasaan. Bentuk-bentuk pemerintahan semacam ini diyakini oleh Gandhi dapat mewujudkan kedaulatan rakyat yang sesungguhnya, serta dapat memberi ruang bagi semua bentuk aliran atau pemikiran individu (Poerbasari, 2007:183—189) Tidak semua ide-ide dasar Gandhi termaktub di dalam konstitusi India. Ide tentang ekonomi khadi, misalnya, sulit diadopsi, namun sebagai suatu jiwa atau semangat kemandirian ekonomi, ide tersebut tetap hidup dalam kalbu bangsa India. b) Pancasila Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia yang dikumandangkan pertama kali oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945, pada saat berlangsungnya sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada awal pidato dalam sidang tersebut, Soekarno menekankan pentingnya sebuah dasar negara. Istilah dasar negara ini kemudian disamakan dengan fundamen, filsafat, pemikiran yang mendalam, jiwa dan hasrat yang mendalam. Sementara di bagian lain, Soekarno juga menyebut dasar negara sebagai Weltanschauung.12 Weltanschauung menurut Soekarno adalah dasar yang mempersatukan seluruh perjuangan bangsa karena ia merupakan citacita dan tujuan bersama, yaitu melawan imperialisme bangsa asing dan mencapai 12 Weltanschauung atau world view pada umumnya terdiri atas sejumlah nilai (konsep tentang apa yang dicita-citakan), merupakan pandangan hidup, kerangka pemikiran yang memberikan suatu konsep tentang realitas yang terintegrasi. Lihat juga pengertian Karl Mannheim tentang Weltanschauung dalam subbab VI.1. Pengertian Ideologi. kemerdekaan. Dan perjuangan suatu bangsa senantiasa memiliki karakter sendiri yang berasal dari kepribadian bangsa.13 Sesuai dengan rumusan ini, maka sejak pertama kali dikumandangkan, Pancasila diartikan sebagai ideologi (dalam arti Weltanschauung), yang mencerminkan identitas, kepribadian bangsa, sekaligus merupakan alat pemersatu seluruh bangsa untuk mencapai tujuan perjuangan kemerdekaan. Tujuan kemerdekaan tersebut sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD ’45 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dunia dan keadilan sosial. Pancasila, secara etimologis, berasal dari dua kata yaitu panca yang berarti ‘lima’ dan sila yang berarti ‘dasar’. Jadi, dari akar katanya, Pancasila berarti lima dasar, yakni dasar bagi negara Indonesia yang merdeka. Semenjak dikumandangkan pada tanggal 1 Juni 1945, Pancasila mengalami beberapa kali perubahan urutan sila maupun kata. Dalam rumusan asli Soekarno urutannya ialah (1) Kebangsaan Indonesia, (2) Internasionalisme atau peri kemanusiaan, (3) Mufakat atau demokrasi, (4) Kesejahteraan sosial, dan (5) Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa atau prinsip Ketuhanan. Dalam Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, Pancasila berubah menjadi (1) Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Perubahan berikutnya terlihat dalam Mukaddimah UUD RIS tahun 1950, di mana rumusan dan urutan sila dalam Pancasila adalah (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Peri kemanusiaan, (3) Kebangsaan, (4) Kerakyatan, dan (5) Keadilan sosial. Adapun rumusan dan urutan sila dalam Pancasila yang digunakan saat ini adalah seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD’45, yakni (1) Ketuhanan yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijakasanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penempatan sila Ketuhanan yang Maha Esa sebagai sila pertama dimaksudkan agar tidak hanya menjadi dasar untuk saling menghormati antaragama, melainkan juga menjadi dasar yang kuat untuk memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, dan persaudaraan, dan agar negara dan pemerintah mempunyai dasar moral. Dasar kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan kelanjutan dari praktek hidup dari Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua sila ini bercorak universal, tidak terikat oleh batas negara maupun bangsa. Dengan sila kedua, maka dalam perundangundangan, hak dan kewajiban warga negara diberi tempat seperti jaminan hak hidup dan hak atas keselamatan seseorang. Dalam sila Persatuan Indonesia, terkandung pengertian bahwa bangsa Indonesia adalah satu, tidak terpecah-belah, dan hal ini diperkuat dengan lambang kesatuan Bhinneka Tunggal Ika. Indonesia merupakan kesatuan di tengah luasnya wilayah dan keragaman suku bangsa, adat, bahasa daerah, agama dan bahasa. Hanya dengan dasar persatuan inilah bangsa dan negara tetap utuh; bila persatuan ini terpecah-belah, Indonesia pun runtuh. Oleh sebab itu, persatuan Indonesia merupakan syarat hidup bangsa dan negara Indonesia. Sila berikutnya, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, menunjukan bahwa kerakyatan yang dianut oleh bangsa 13 Isi pidato selengkapnya lihat pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia, “Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI),” (Jakarta, 1992 : 22-61) Indonesia bukanlah kerakyatan yang mencari suara terbanyak melainkan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dengan sila Ketuhanan dan Kemanusiaan yang adil dan beradab, maka kerakyatan harus berpijak pada kebenaran, keadilan, kebaikan, dan kejujuran. Dasar moral ini akan memelihara dasar kerakyatan dari bujukan korupsi dan anarki yang senantiasa mengancam demokrasi. Sila kerakyatan ini juga terkait erat dengan sila kelima, Keadilan sosial. Untuk mewujudkan tujuan ini, maka demokrasi yang tepat bukanlah demokrasi liberal atau yang bercorak totaliter. Sila kerakyatan dan keadilan sosial diharapkan mampu mewujudkan demokrasi dan keadilan di bidang ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia. Terakhir, sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan salah satu tujuan negara, yakni mencapai Indonesia yang adil dan makmur. Sila ini menjadi jiwa bagi pasal-pasal dalam UUD’45, seperti pasal 27 yang menyebutkan bahwa warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, Pancasila dapat diterima sebagai ideologi nasional karena sifatnya yang menyatukan berbagai kelompok masyarakat, memberi arah dan pedoman tingkah laku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta menjadi prosedur penyelesaian konflik (Surbakti, 1992:48). 5.6 HAMBATAN DAN TANTANGAN DALAM BERIDEOLOGI PANCASILA Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, terdapat potensi konflik yang besar mengingat adanya berbagai nilai yang dianut oleh berbagai kelompok masyarakat, dan hal ini dapat pula bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Untuk itu perlu diketengahkan di sini hambatan dan tantangan, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. 1) Hambatan Hambatan muncul karena adanya perbedaan aliran pemikiran, misalnya paham individualisme dan paham golongan (class theory). Menurut paham individualistis, negara adalah masyarakat hukum yang disusun atas kontrak semua individu dalam masyarakat (kontrak sosial). Di sini kepentingan harkat dan martabat manusia dijunjung tinggi. Hak kebebasan individu hanya dibatasi oleh hak yang sama yang dimiliki individu lain, bukan oleh kepentingan masyarakat. Sementara itu, menurut paham golongan (class theory), negara adalah suatu susunan golongan (kelas) untuk menindas kelas lain. Paham ini berhubungan dengan paham materialisme sejarah (suatu ajaran yang bertitik tolak pada hubungan-hubungan produksi dan kepemilikan sarana produksi serta berakibat pada munculnya dua kelas yang bertentangan, kelas buruh dan kelas majikan, dan semuanya itu terjadi dan berada dalam sejarah kehidupan manusia) . 2) Perbedaan Kepentingan Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa penafsiran Pancasila secara subjektif dan kepentingan sendiri sama dengan membuat kabur Pancasila dan menjadi tidak bermakna. Perbedaan kepentingan ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan pola pikir masing-masing kekuatan politik, golongan, atau kelompok dalam masyarakat. 3) Bentuk-Bentuk Ancaman Ada beberapa bentuk ancaman terhadap ideologi Pancasila. Pertama ialah isu (penyebaran berita bohong dan fitnah atau desas desus dengan tujuan tertentu). Berikutnya, gejala-gejala/kecenderungan (antara lain pola hidup konsumtif, sikap mental individualistis, pemaksaan kehendak, kemalasan, menurunnya disiplin, menurunnya keteladanan, sikap acuh tak acuh, dan penyalahgunaan wewenang). Dengan runtuhnya komunisme, ada pendapat yang cenderung pendapat yang membenarkan paham kapitalisme di Indonesia. Selanjutnya, perbuatan, tindakan, dan tingkah laku yang mengganggu (seperti tindak kekerasan dan pelanggaran hukum), dan subversi (sabotase, spionisme, dan lain-lain). 4) Tantangan a) Tantangan dari dalam negeri antara lain: (1) Tantangan dari disintegrasi: adanya perpecahan-perpecahan yang disebabkan tidak puasnya sikap daerah menimbulkan permasalahan-permasalahan yang dapat menghancurkan persatuan dan kesatuan NKRI, antara lain: lepasnya Timor Timur pada tahun 1999, adanya gerakan pengacau keamanan di Papua. (2) Permesta dan pemberontakan-pemberontakan lainnya sejak jaman Rovolusi. (3) Tantangan dari masalah agama: adanya usaha-usaha yang timbul karena keinginan untuk mengganti Pancasila dengan simbol-simbol keagamaan. antara lain: Gerakan Aceh Merdeka, Gerakan Republik Maluku Selatan Pemberontakan DI/TlI dan lain-lain. (4) Tantangan dari masalah SARA: adanya perpecahan yang mengatas namakan SARA menyebabkan beberapa peristiwa yang dapat menghancurkan Pancasila antara lain: Peristiwa Poso, Peristiwa Tanjung Periok, Peristiwa Sambas, dan Peristiwa Mei 1998. b) Tantangan dari luar negeri, antara lain: (1) Adanya tantangan dari ideologi lain yang ingin rnengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lain, misalnya ideologi Komunisme dalam peristiwa PKI Madiun dan Pemberontakan G-30 S/PKl. Atau ideologi Liberal dalam Peristiwa Ratu Adil dan Pembantaian di Sulawesi oleh Westerling. (2) Adanya intervensi dari negara lain untuk menghancurkan NKRI contohnya privatisasi BUMN atau campur tangan Amerika dalam penanganan hukum dan keamanan di Indonesia. Oleh karena itu Pancasila bagaimana pun juga akan berusaha untuk tetap mempertahankan diri dari segala macam tantangan tersebut demi kelangsungan negara Indonesia. 5.7 REFLEKSI KRITIS TERHADAP IDEOLOGI Ideologi dapat ditinjau dari pelbagai sudut. Ideologi dapat menjadi sistem pemikiran yang terbuka atau tertutup, ideologi dapat dimengerti sebagai ilusi dan berorietntasi pada kekuasaan yang bersifat menindas. Namun, di sisi lain, ideologi juga dapat menjadi pandangan (world view), pandangan hidup. Bertolak dari seluruh pengertian tersebut, maka diperlukan refleksi kritis terhadap ideologi mengingat adanya satu ciri penting yang melekat pada ideologi, yakni sifatnya yang futuristik (berisi citacita tentang tatanan masyarakat yang baik di masa depan dan merupakan acuan untuk melakukan perubahan politik). Ideologi berfungsi memberikan harapan akan dunia baru yang lebih baik dari keadaan masa kini dan masa lampau yang kurang ideal, serta memberikan langkah-langkah strategis untuk mencapai tujuan yang ideal. Oleh karena itu, maka ideologi sangat menarik baik rakyat, baik secara rasional maupun emosional. Sering ada kecenderungan ideologi dikeramatkan, dimitoskan sebagai sesuatu yang mampu membawa keselamatan bagi bangsa, bahkan seluruh umat manusia. Dengan demikian, ideologi diterima sebagai ajaran suci yang tidak bisa dibantah dan tertutup bagi ide dan realitas baru sehingga menjadi steril, kaku, dan tidak berkembang. Pengaruh ideologi sedemikian besarnya terhadap masyarakat sehingga, sebagai eksesnya, bisa terjadi manusia dikorbankan untuk ideologi, dan bukan ideologi untuk manusia. Karena ideologi menyangkut masalah strategi bernegara, tidak jarang kelompok-kelompok masyarakat menggunakan ideologi sebagai alat untuk mempertahankan dan memperoleh kepentingan diri secara sepihak dengan merugikan pihak lain. Mengatasnamakan serta memperalat ideologi untuk mempertahankan dan memperoleh kepentingan diri secara sepihak itu dapat mengakibatkan terjadinya suatu ”pengkhianatan” terhadap ilmu dan kebenaran. Misalnya dalam ilmu sejarah seringkali terjadi ”penggelapan” kebenaran fakta historis, bahkan pemutarbalikan kenyataan demi kepentingan pihak tertentu dalam membenarkan ideologinya. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai-nilai yang dapat mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Sisi futuristik yang melekat pada Pancasila sebagai ideologi ini di satu pihak, dapat membawa orang pada harapan yang kurang realistik. Oleh karena itu, perlu selalu berdialog dengan kenyataan yang ada. Dalam hal ini ilmu pengetahuan dapat berperan. Di pihak lain, sifat futuristik ideologi mengimplikasikan bahwa kenyataan yang ada (sistem ekonomi, politik, budaya) tidak dapat dipandang sebagai perwujudan yang telah tuntas dari sudut sebagai ideologi—dalam hal ini ideologi Pancasila. Apabila sistem yang ada telah dianggap perwujudan yang tuntas, maka fungsi ideologi hanya menjadi legitimasi atau pembenaran saja dari status quo. Padahal ideologi harus mampu berfungsi menyoroti kenyataan yang ada dan berfungsi kritis terhadap perwujudannya yang selalu belum sempurna. Dengan kata lain, ideologi Pancasila dapat menjadi titik referensi bagi kritik sosial (Sastrapratedja, 1993:143-144). BAB VI PANCASILA DITINJAU DARI PERSPEKTIF KEILMUAN Untuk memahami relevansi Pancasila dalam kehidupan berbangsa di masa kini, berikut ini Pancasila ditelaah dari perspektif filsafat ilmu untuk Pancasila dapat dikaji secara kritis. Upaya ini dilakukan mengingat Pancasila sebagai suatu ideologi memiliki sifat futuristik (Sastrapratedja, 1993:143). Nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila merupakan nilai-nilai yang dicita-citakan. Nilai-nilai itu sendiri masih bersifat umum dan abstrak, yakni berupa patokan-patokan umum tentang sesuatu yang dicitacitakan (Andrain, 1992:77). Nilai juga tidak selalu realistis dalam arti dapat diwujudkan secara penuh dalam kehidupan sosial. Hal ini seringkali bertentangan dengan harapan individu. Oleh karena itu, dialog terus-menerus dengan kenyataan yang ada sangat diperlukan agar secara jernih kita dapat melihat bahwa sifat futuristik Pancasila tidak serta merta mengimplikasikan bahwa sistem politik, ekonomi, dan budaya yang ada merupakan perwujudan yang telah tuntas. Apabila sistem yang telah ada dianggap sebagai perwujudan yang tuntas, maka fungsi ideologi hanya menjadi pembenar dari status quo (Sastrapratedja, 1993:143). Ideologi Pancasila harus mampu menyoroti kenyataan yang ada dan berfungsi kritis terhadap perwujudan yang selalu belum sempurna. Dengan kata lain, ideologi Pancasila harus menjadi acuan untuk melakukan kritik sosial, juga sebagai paradigma pembangunan nasional yang menentukan pola pikir bangsa Indonesia dalam menentukan kehidupan bernegara dan berbangsa. 6.1 PANCASILA DAN FILSAFAT ILMU 6.1.1 Pancasila dan Problem Epistemologis Filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan yang melihat bagaimana kegiatan dan proses (cara kerja) ilmiah serta ciri ilmu pengetahuan secara kritis. Ini berarti bahwa dalam kegiatan filsafat ilmu akan bertumpu pada dua aspek, yakni aspek pembenaran ilmiah (context of justification) dan aspek penemuan ilmu (context of discovery). Kedua aspek itu mengarahkan kita sebagai pelaku ilmu (mahasiswa, peneliti, ilmuwan) untuk memiliki sebuah “paspor” keilmuan (petunjuk atau pola berpikir) dalam berkecimpung di dunia ilmu pengetahuan. “Paspor” itu berupa cara berpikir yang kritis, penalaran yang logis, dan berkemampuan berdialog secara rasional dalam melihat berbagai persoalan atau fenomena yang ada di sekitar kehidupan kita, baik kehidupan sehari-hari maupun kehidupan ilmiah. Aspek pembenaran ilmiah sangat memperhatikan keruntutan logis bagaimana sebuah ilmu pengetahuan itu ditampilkan, apakah ilmu pengetahuan itu memiliki objek untuk pengkajiannya, metodologi untuk dalam kegiatannya dan teori kebenaran. Sejalan dengan analogi itu maka Pancasila hendak dikaji dari sudut pandang filsafat ilmu. Apabila hal itu diterapkan, maka Pancasila haruslah dikaji dan dipahami dari aspek pembenaran ilmiah secara epistemologis. Untuk itu Pancasila harus dianggap sebagai sebuah fenomena yang di dalamnya terdapat pengandaian atau asumsi tentang objek, metodologi atau metode atau pendekatan yang logis dalam melihat fenomena tersebut. Pengandaian atau asumsi tersebut membawa kita pada suatu penalaran logis sehingga kita dapat memberikan suatu ulasan yang bersifat kritis, dan rasional terhadap Pancasila. Objek yang sedang kita hadapi atau kita teliti selalu memiliki dua aspek, yaitu objek material dan objek formal (ini sejalan dengan yang kita pelajari dalam filsafat ketika melihat sesuatu atau fenomena sebagai objek). Objek material adalah bahan atau materi yang menjadi acuan suatu kajian kita, sedangkan objek formal adalah pokok perhatian atau fokus perhatian dari objek material tadi. Jadi, apabila kita sedang mempelajari Pancasila, maka ada dua objek yang akan dikaji, yaitu objek material dan objek formal. Objek material Pancasila adalah wacana dan pengetahuan yang dimiliki rakyat Indonesia yang bersumber pada berbagai pandangan hidup dan telah berakar pada kebudayaan berbagai suku di Indonesia. Wacana tersebut menjadi pengetahuan yang dimiliki oleh manusia Indonesia, baik dalam kehidupan individual, sosial, berbangsa, dan bernegara. Objek formal Pancasila adalah lima sila yang ada pada Pancasila dan termuat dalam pembukaan UUD 1945, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia. Kelima sila itu, yang merupakan fokus perhatian dari objek formal Pancasila, haruslah ditinjau dari kesesuaian perilaku manusia Indonesia yang memiliki kemajemukan atau heterogenitas suku, pandangan hidup, nilai (value) seperti nilai religius, moral (etika), kebersamaan dan toleransi, kemanusiaan, pluralitas, keadilan intelektualitas, nasionalisme, dan kebangsaan. Beragam nilai (value) pada Pancasila akan diuraikan lebih rinci pada bagian lain, yaitu Pancasila sebagai sistem nilai. Kesesuaian persepsi dan perilaku dari butir Pancasila dengan, misalnya, nilai (value) yang telah disebutkan di atas dan menghasilkan perilaku individual atau perilaku kolektif yang baik dan sebenarnya juga menghasilkan sebuah kebenaran secara korespondensi dan koherensi (dalam sudut pandang epistemologi) dan sejalan dengan dasar etika secara deontologis dan utilitaristis. Sebenarnya, itulah yang dikehendaki ketika kita melihat bahwa Pancasila harus dipahami secara kritis dan rasional. Persepsi manusia Indonesia, baik sebagai makhluk individual maupun makhluk sosial, haruslah bertolak dari kesadaran atau cara berpikirnya yang dimulai ketika dia belajar dalam pendidikan non-formal dan formal (pendidikan dasar, menengah, dan tinggi). Kekhususan manusia terletak pada cara berpikir atau akal budinya dan keinginannya atau kehendaknya. Pendidikan tinggi membuat kita harus lebih kritis dalam memahami dan memaknai Pancasila dengan tepat. Kita tidak boleh terjebak dalam fanatisme yang sempit dalam memaknai Pancasila; kita harus terbuka dalam memandang Pancasila. Pancasila harus dianggap sebagai “arena”, sebagai ajang untuk dikritisi, diinterpretasi, dan dimaknai dengan rasionalitas manusia Indonesia yang benar dewasa secara intelektual. Butir Pancasila yang ada dalam benak kita harus diaplikasikan dengan tepat melalui perilaku yang tepat pula. Meminjam pandangan dalam filsafat ilmu, bahwa pengetahuan harus berada pada dua tataran, yaitu teoretis dan praktis, maka kita pun dapat mengatakan bahwa belajar dan memahami Pancasila dapat berada pada dua tataran, yaitu teoritis dan praktis. Sisi teoretis adalah ketika kita belajar tentang butir Pancasila dengan nilai dasar yang menyertainya serta dipahami dan dimaknai dengan arif, dan sisi praktis pada perilaku konkret yang baik atau perilaku etis dalam seluruh kehidupan manusia. Untuk dapat menjaga keseimbangan antara perilaku teoretis dan praksis diperlukan metodologi dalam menerapkan nilai dasar tersebut. 6.1.2 Metodologi Pancasila Metodologi adalah upaya seseorang (ilmuwan, calon ilmuwan/mahasiswa) untuk mencari “jalan” atau cara yang tepat dalam suatu kegiatan ilmiah atau penelitian. Demikianlah, kita dapat memiliki cara atau pendekatan yang dianggap tepat dan benar dalam memahami Pancasila, khususnya yang berkaitan dengan nilai yang muncul dari Pancasila itu (nilai dasar dan nilai praksis). Berbagai pendekatan, atau metode dalam memahami Pancasila akan diuraikan berikut. Metode itu antara lain, observasi (pengamatan), pemahaman (verstehen), interpretasi, teori kritis, dialog, pembauran multikultural, integrasi, adaptasi, sosialisasi, dan seni budaya. Metode observasi digunakan untuk mengamati berbagai gejala yang dialami manusia, khususnya dalam melakukan berbagai tindakan dalam kapasitasnya sebagai makhluk individu, makhluk sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perilaku orang lain atau perilaku kita sendiri dapat diamati apakah sesuai dengan butir Pancasila atau tidak. Metode pemahaman (understanding method) adalah metode yang lazim digunakan dalam bidang humaniora dan ilmu sosial. Tujuan metode pemahaman adalah mencari makna tentang berbagai hal yang berkaitan dengan bidang humaniora dan sosial seperti perilaku manusia, peristiwa sejarah, interaksi masyarakat dengan lembaga, interaksi individu dengan individu lainnya, benda artefak (benda peninggalan atau warisan budaya suatu masyarakat) yang masih ada, ritual masyarakat, dan kehidupan beragama. Metode pemahaman bersifat subjektif; artinya, keterarahan seorang pengamat (subjek) terhadap apa yang dihadapinya (objek) menggunakan rasa empatinya, kesadaran (rasionalitas) yang dipenuhi oleh berbagai nuansa yang menyertainya. Sebagai contoh, seorang mahasiswa ketika menghadiri upacara bendera pada tanggal 17 Agustus yang dilaksanakan di Istana Merdeka Jakarta akan tersentuh hatinya pada saat menyaksikan teks Proklamasi dikumandangkan kembali. Pembacaan kembali teks Proklamasi itu sebenarnya hendak mengingatkan kita bahwa sekian tahun yang lalu (17 Agustus 1945) bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan negaranya. Hal itu juga untuk mengingatkan pada kita, bahwa sejak detik itu bangsa Indonesia telah menjadi bangsa yang merdeka, bebas untuk menyongsong masa depannya. Pesan (message) itulah yang ingin disampaikan oleh para generasi lama kepada generasi baru melalui upacara 17 Agustus agar kita sekarang ini memaknainya dengan baik dan arif. Pancasila sebagai pengetahuan yang bersumber pada pandangan hidup bangsa Indonesia harus dipahami dengan lebih objektif dan rasional. Artinya, pemahaman itu harus dimulai dengan menelusuri secara historis atau mencari latar belakang mengapa pengetahuan tentang Pancasila itu muncul dan menjadi landasan Negara Indonesia. Latar belakang historis menjadi dasar lebih lanjut bagi kita untuk mengkaji butir Pancasila. Pesan (message) yang sebenarnya berasal dari akar pandangan hidup masyarakat Indonesia dan butir Pancasila itulah yang harus dicari dan dikembangkan. Tugas generasi mudalah memahaminya dengan konteks yang lebih relevan, terutama pada kondisi sekarang ini. Metode interpretasi adalah metode untuk melakukan penafsiran terhadap pemahaman suatu fenomena tertentu. Fenomena itu dapat berupa kehidupan masyarakat Indonesia dalam konteks bernegara dan berbangsa dipayungi oleh pandangan hidupnya yang kemudian menjadi landasan negara, yaitu Pancasila. Penafsiran terhadap Pancasila berarti seseorang melakukan pemahaman terhadap makna butir Pancasila untuk kemudian dimengerti dan direnungkan (direfleksikannya) dengan jelas. Seseorang yang melakukan penafsiran terhadap butir Pancasila (misalnya butir pertama), maka ia mengerti dengan benar kata dalam butir pertama itu dan kemudian apabila ia berperilaku tertentu maka perilaku itu harus sejalan dengan pemahamannya terhadap butir sila itu. Bagaimana mungkin seseorang meyakini Ketuhanan Yang Maha Esa dan sejalan dengan imannya, tetapi di sisi lain melakukan tindakan buruk yaitu membunuh seseorang dengan sadis? Teori kritis adalah upaya metodologis atau metode yang mencoba menggabungkan antara pemahaman filsafat dengan kehidupan sosial. Metode teori kritis berusaha melihat bahwa realitas sosial sebagai fakta sosiologis dapat dipahami sebagai kegiatan yang sifatnya konseptual. Kegiatan konseptual adalah kegiatan pemikiran kritis manusia dalam melihat makna sesuatu di balik fakta yang sifatnya empiris atau konkret. Dalam studi filsafat, kegiatan konseptual kadang-kadang disebut sebagai usaha manusia yang sifatnya transendental atau metafisis. Dengan demikian kegiatan konseptual adalah kegiatan rasionalitas seseorang dalam melihat hal di balik (di belakang) fenomena atau perilaku konkret. Ketika kita berusaha menggali Pancasila secara mendalam maka pendekatan teori kritis juga menawarkan kemungkinan melakukan upaya kritik (lazim disebut kritik ideologi). Kritik ideologi ada dua macam, yakni (1) kritik yang sifatnya transendental (konseptual) dengan menemukan syarat yang memungkinkan pengetahuan berada dalam diri subjek, dan (2) kritik imanen yang mencoba menemukan kondisi sosio-historis dalam konteks tertentu yang mempengaruhi pengetahuan manusia. Jadi, dengan kata lain, kritik ideologi adalah pendekatan refleksif diri yang membebaskan pengetahuan manusia itu apabila jatuh dan membeku dalam aspek transendental dan imanen (Hardiman, 2003:19). Dalam konteks Pancasila, teori kritis sebagai kritik ideologi mengemban tugas untuk “membuka” kedok ideologis dari pemikiran pengetahuan yang berasal dari kesadaran masyarakat dan mengatasi penindasan ideologis yang ditujukan pada tatanan mormatif dalam kehidupan sosial. Pemikiran pengetahuan yang berasal dari masyarakat dianggap sebagai cara berpikir masyarakat yang menekankan pola ideologis tertentu, yang belum tentu sesuai dengan realitas sosial masyarakat Indonesia. Kedok ideologis yang menekankan status quo masyarakatnya hendaknya dikritisi. Kedok ideologis semacam itu muncul dalam berbagai bentuk interaksi sosial. Atas nama Pancasila berbagai kelompok menginginkan paradigma Pancasila diubah sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Untuk menghindari hal semacam itu perlu dipikirkan adanya teori kritis atau kritik ideologi yang mendorong praksis kehidupan politis manusia. Interaksi sosial, baik antara pihak pemimpin negara dengan masyarakat, maupun antarindividu didasarkan pada cara berpikir kritis dengan menekankan unsur emansipatoris. Pada saatnya nanti unsur itu membawa misi emansipatoris yang mengarahkan masyarakat Indonesia lebih rasional melalui refleksi diri. Pancasila dapat menjadi media untuk merefleksi diri manusia Indonesia dalam derap pembangunan di tengah masyarakatnya. Di tengah derap pembangunan dalam masyarakat kita, perubahan sosio kultural tidak hanya menghasilkan kemajuan tetapi juga ketimpangan. Situasi ketidakadilan sosial menjadi suatu tantangan untuk diperbaiki dengan paradigma kritik ideologi yang menekankan adanya realitas sosial sesungguhnya bukannya utopia. Dan itu menjadi tugas para ilmuwan sosial khususnya untuk menyumbangkan kontribusi intelektual dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Metode dialog adalah metode yang menekankan komunikasi atau alih informasi melalui sifat yang dinamis dan dua arah. Dalam komunikasi yang sifatnya dua arah itu sebenamya terdapat relasi antara si pembicara dengan si pendengar. Pada pembicaraan yang komunikatif, peran si pembicara dapat menjadi pendengar dan, sebaliknya, si pendengar dapat berperan sebagai pembicara. Pembicaraan yang komunikatif dengan topik tertentu itu sebenamya mengandung pesan dari si pembicara terhadap lawan bicaranya. Dalam konteks Pancasila, metode dialog dapat digunakan oleh seseorang untuk memberikan informasi dan pesan tentang isi atau makna Pancasila kepada pendengarnya. Agar pesan dapat diterima dengan baik, sosialisasi menjadi hal yang penting. Melalui penyebaran informasi yang baik kepada masyarakat, Pancasila dapat diterima oleh banyak orang. Bentuk sosialisasi dapat berupa penyebaran informasi, baik secara tertulis (misalnya buku tentang Pancasila yang ditulis oleh para pakar berbagai bidang), maupun lisan (misalnya dialog Pancasila di tengah para mahasiswa, masyarakat perkotaan atau perdesaan, masyarakat lndonesia di luar negeri dan sebagainya). Untuk itulah metode dialog Pancasila dengan sosialisasi yang tepat dapat diharapkan menjangkau masyarakat luas dan dipahami secara kritis dan dapat menjadi pedoman dalam berperilaku. Dialog tentang Pancasila yang dilakukan di tengah masyarakat dapat menumbuhkan dinamika cara berpikir memunculkan perdebatan dan berbagai argumen (pendapat), baik pro maupun kontra. Dialog yang baik harus memunculkan semacam sintesis (kesimpulan) yang menampung berbagai pendapat. Dengan demikian, tujuan dan cita-cita Pancasila dapat tercapai dengan yang diinginkan. Berbagai metodologi tersebut (observasi, pemahaman, interpretasi, dialog, dan teori kritis) dapat menjadi "alat" untuk mencapai tujuan dan cita-cita Pancasila. Masyarakat lndonesia yang memiliki sifat heterogen, suku, bahasa, adat istiadat, agama dan kehidupan sosial menjadi semacam wacana yang tidak mudah dipahami atau dikaji. Untuk itulah perlu adanya metodologi yang tepat dalam mengatasi heterogenitas masyarakat atau masyarakat multikultural. Hal yang menjadi nilai tambah, yaitu Pancasila sebagai ideologi negara dapat digunakan untuk mengatasi berbagai masalah yang timbul karena sifat masyarakat lndonesia yang heterogen itu. Bagaimana caranya? Salah satu cara dengan metode pemahaman (verstehen). Metode pemahaman mengajak kita memahami bahwa setiap individu memiliki identitas tertentu, yang berasal dan dibentuk dari latar belakang budaya, pendidikan, agama, dan lingkungan. Setiap indentitas dari individu akan membentuk, atau melebur menjadi, indentitas tertentu; dengan kata lain identitas individual menjadi landasan bagi indentitas kolektif (masyarakat). Indentitas individu dan kolektif sebenarnya dipayungi oleh pola pikir atau kesadaran masyarakatnya. Apabila setiap individu atau masyarakat memahami betul tentang makna Pancasila, maka identitas individu dan kolektif akan sejalan dengan nilai (value) dalam Pancasila, seperti nilai kebangsaan, moral, keadilan, dan kejujuran. Penghargaan terhadap identitas individu, kolektif melalui kehidupan yang layak secara ekonomis, kebebasan berpikir, keamanan dan perlindungan, pendidikan, kebebasan beragama, kesehatan, dapat mengangkat harkat martabat bangsa dan emansipatoris yang sesungguhnya. Masyarakat akan belajar bagaimana realitas sosial yang sebenarnya itu harus dijalaninya secara kritis. Metodologi yang tepat juga akan mengarahkan bagaimana Pancasila itu terintegrasi dengan baik. Artinya, melalui masyarakat yang plural dan heterogen, Pancasila juga dapat diterima generasi mudanya, diadaptasi, dan disesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Setiap warga masyarakat pasti memiliki cara untuk mengadaptasi Pancasila, dan cara itulah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Pancasila dapat menjadi ideologi yang terbuka karena dianggap sebagai "arena" yang terbuka untuk didekati, diolah, dan diramu menjadi ideologi yang baik, tepat, dan cocok untuk bangsa Indonesia. Pancasila dapat menjadi "payung besar" yang dapat menampung berbagai hal, baik yang sifatnya memiliki nilai tambah maupun nilai kurang. Nilai kurang itulah (seperti kurangnya pembauran multikultural dalam kehidupan masyarakat, kurangnya toleransi beragama, kurangnya kebebasan akademis yang memberikan kontribusi kehidupan intelektual di kampus, dan sebagainya) yang menjadi ancaman sehingga tugas kita untuk melakukan refleksi dan kritik ideologi terhadap nilai kurang tersebut. 6.2 PANCASILA SEBAGAI SISTEM NILAI Bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan kenyataan dan kebenaran yang berasal dari dirinya sendiri dan telah diterima sebagai filsafat dan pandangan hidup. Karena itu, bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan ukuran dalam seluruh kegiatan kemasyarakatan. Istilah Pancasila sebagai dasar negara, pertama kali diucapkan dikemukakan oleh Ir. Soekarno dalam sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945. Usulan Ir. Soekarno tersebut diterima secara bulat oleh seluruh anggota sidang BPUPKI. Sila-sila dalam Pancasila adalah satu kesatuan yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena merupakan satu susunan organik bertingkat dan terstruktur berbentuk piramida. Sila-sila di dalam Pancasila pada dasarnya dapat dibedakan atas “hakikat Pancasila” yang bersifat umum dan universal yang merupakan “substansi sila-sila Pancasila” sebagai pedoman pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, yaitu sebagai dasar negara yang bersifat umum atau kolektif, dan pengamalan Pancasila yang bersifat khusus dan konkret. Hakikat Pancasila adalah nilai-nilai yang terkandung di dalam silasila Pancasila. Sebagai pedoman bernegara dan bermasyarakat, Pancasila merupakan norma, sedangkan aktualisasi Pancasila merupakan realisasi konkret. 6.2.1 Struktur Pancasila Untuk mengetahui susunan Pancasila yang terstruktur berbentuk piramida, maka terlebih dahulu harus memahami suatu teori filsafat yang disebut hilemorfisme. (dari bahasa Yunani hyle ‘materi’ dan morphe ‘bentuk, rupa’. Hilomorfisme diartikan sebagai segala sesuatu yang berlangsung terus di dalam setiap perubahan tetapi ia sendiri tidak berubah; olehnya terjamin suatu kesinambungan dan identitas. Teori itu dipergunakan oleh Aristoteles sebagai landasan teori kausalitas yang kemudian dikembangkannya. Intinya ialah bahwa setiap perubahan atas segala sesuatu mempunyai empat macam sebab atau kausa, yaitu kausa materialis (sebab yang berhubungan dengan materi atau bahannya); kausa formalis (sebab yang berhubungan dengan bentuknya); kausa efisien (sebab yang berhubungan dengan efisiensinya); dan kausa finalis (sebab yang berhubungan dengan tujuannya). Beberapa ahli sudah mempergunakan teori ini, tetapi hanya melihat dari sejarah terbentuknya Pancasila yaitu Pidato Lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 1945 oleh Ir. Soekarno, sebagai kausa materialis; maksud dan tujuan pidato tersebut sebagai kausa finalis; sidang BPUPKI dan PPUPKI dalam merumuskan Pancasila sebagai kausa efisien, dan rumusan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai kausa formalis. Pendekatan ini menjadi kabur, karena ternyata rumusan Pancasila mengalami beberapa kali perubahan, seperti rumusan dalam Pidato 1 Juni 1945 berbeda dengan Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Pembukaan UUD 18-8-1945, Pembukaan Konstitusi RIS 1946, Pembukaan UUD (S) 1950. Karena apabila demikian halnya, maka apakah kausalitasnya akan berubah sesuai dengan perubahan rumusan Pancasila. Lain halnya, apabila kita konsekuen dalam mempergunakan teori kausalitas, yang kita mulai dengan mempelajari pemikiran Aristoteles tentang metafisika yang menganggap objek-objek partikular sebagai substansi yang nyata, yang dirumuskan demikian. Pertama, materi mengandaikan bentuk-bentuk yang berbeda, tetapi bentuk permulaan bersifat tetap dan tidak berubah. Kedua, materi merupakan asas kebolehjadian; bentuk (morphe) merupakan asas kenyataan atau aktualitas. Dengan menyatukan materi dan bentuk dan memasukkan sebab ke dalam tindakan (entelechy) pendekatan bertahap atas kesatuan dari semua benda menjadi tujuan dari alam semesta. Alam semesta adalah dunia ideal, suatu keseluruhan organis yang saling berhubungan, suatu sistem idea-idea (forma) yang abadi dan tetap. Idea-idea memberikan bentuk dan kehidupan. Bentuk-bentuk adalah kekuatan yang diciptakan oleh pikiran itu sendiri. Setiap organisme menjadi sesuatu hal melalui tindakan dari idea tujuan. Akhirnya, keseluruhan hal tersebut diakibatkan oleh adanya empat sebab, sebagaimana dikatakan oleh teori kausalitas. Berdasarkan teori tersebut maka dapat diperoleh pemahaman bahwa Pancasila adalah ideal; sila-sila dalam Pancasila merupakan keseluruhan organis yang saling berhubungan. Sebagai ide filosofis, bentuk penerapannya dapat berbeda-beda, tetapi sebagai bentuk awal (rumusan Pancasila 1 Juni 1945), esensinya bersifat tetap dan tidak berubah. Rumusan Pancasila dalam Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 ialah Kebangsaan (Nasionalisme), Internasionalisme (Perikemanusiaan), Mufakat (Demokrasi), Kesejahteraan Sosial dan Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Hlm. 55 Sila-sila dalam Pancasila pada hakikatnya merupakan satu kesatuan yang bersifat umum dan universal, yang bersumber pada hakikat dasar ontologis, yaitu hakikat manusia yang “monopluralis”. Manusia sebagai individu memiliki susunan kodrat jasmani, sifat kodrat (sebagai makhluk sosial) dan kedudukan kodrat sebagai individu dan sosial sebagai makhluk Tuhan. Setiap unsur memiliki fungsi sendirisendiri tetapi terikat dalam susunan satu kesatuan yang bersifat organis, sebagai penjelmaan hakikat manusia yang monopluralis. Susunan Pancasila adalah hierarkis dan berbentuk piramida artinya tersusun dalam urutan luas (kuantitas) dan isi sifatnya (kausalitas), yang menunjukkan suatu rangkaian tingkat dan luasnya serta isinya sifat yang merupakan pengkhususan sila-sila di mukanya. Oleh karena itu antara kelima sila tersebut saling mengikat, sehingga Pancasila merupakan kesatuan yang bulat. Dari sisi kausalitas, sila pertama Pancasila yaitu kebangsaan, diartikan bahwa bangsa adalah sekumpulan manusia sebagai makhluk individu dan sosial yang bebas; oleh karena itu, segala bentuk penghalang kebebasan harus dihilangkan. Demikian pula halnya, perjuangan bangsa Indonesia membebaskan diri dari penjajahan merupakan cara untuk mempertahankan eksistensinya sebagai manusia dan/atau bangsa yang bebas merdeka. Esensi sila pertama ini adalah kemanusiaan, asas yang menjadi bahan atau materi atau sebab materil (Causa Materialis). Adapun struktur di atas Kebangsaan adalah Internasionalisme atau peri kemanusiaan sebagai pelaksana esensi sila pertama, yaitu kemanusiaan, yang merupakan sebab yang berhubungan dengan bentuk (Causa Formalis). Asas kemanusiaan ini hanya dapat diberlakukan apabila seluruh aspek kehidupan dilaksanakan berdasarkan demokrasi atau mufakat, hal yang merupakan sebab efisien (Causa efisien). Secara bersama-sama, semuanya menuju Keadilan Sosial yang menjadi sebab yang berhubungan dengan tujuan (Causa finalis). Struktur tersebut dijalankan dengan landasan Ketuhanan Yang Berkebudayaan, yang menghormati kebebasan beragama (freedom of religious), yang bebas untuk menjalankan agama dan kepercayaannya masing-masing. Berdasarkan kausalitas tersebut dapat diketahui bahwa nilai-nilai Pancasila bersifat objektif karena, dari hakikat yang terdalam, Pancasila menunjukkan sifat-sifat umum dan universal serta abstrak. Esensi nilai-nilai Pancasila akan tetap ada dalam kehidupan manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu akan tetap berlaku bagi bangsa Indonesia dan dapat diberlakukan bagi bangsa-bangsa di dunia, karena mengandung makna yang dijadikan norma-norma dalam setiap aspek kehidupan yang terpancar dalam adat istiadat, seni budaya, religi dan lain-lainnya, dan sebagai filsafat negara Pancasila menjadi kaedah dan sumber dari segala sumber hukum. Nilai-nilai Pancasila juga bersifat subjektif, karena timbul dari “diri sendiri” bangsa Indonesia dan merupakan hasil pemikiran kritis dan reflektif filosofis. Di dalam nilainilai subjektif Pancasila, terkandung tujuh nilai kerohanian, yaitu nilai-nilai religius, moral, kemanusiaan, kebangsaan, keadilan, kebersamaan, dan toleransi, yang merupakan manifestasi dari budi nurani dan kepribadian bangsa Indonesia. Untuk dapat menelusuri nilai-nilai tersebut, maka terlebih dahulu harus memahami susunan dan bentuk Pancasila 1 Juni 1945, dan perumusan Pancasila sebagai Dasar Negara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 18-8-1945. yang merupakan realisasi konkret dari Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara. 6.3 NILAI PANCASILA Pada hakikatnya, segala sesuatu memiliki nilai. Hanya saja, nilai apa saja yang ada dan bagaimana hubungan nilai itu dengan manusia, sebagai makhluk jasmani dan rohani, para pemikir dan filsuf memiliki pandangan yang beragam sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Max Scheler (1874-1928), seorang fenomenolog Jerman, menggolongkan nilai menurut tinggi rendahnya dalam empat tingkatan, yaitu: nilai kenikmatan, nilai kehidupan, nilai kejiwaan, dan nilai kerohanian. Nilai-nilai semacam itu terutama terdiri atas nilai-nilai pribadi. Notonagoro menggolongkan nilai dalam tiga tingkatan, yaitu nilai material, nilai vital, nilai kerohanian. Nilai kerohanian dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu nilai kebenaran (nilai yang bersumber pada rasio, akal budi, atau hasil cipta manusia); nilai religius nilai kerohanian tertinggi dan bersifat mutlak, yang bersumber pada Tuhan Yang Maha Esa). Menurut Notonagoro, nilai-nilai Pancasila termasuk nilai-nilai kerohanian yang mengakui nilai-nilai material dan nilai-nilai vital. (Notonagoro, 1980). Darmodihardjo menyatakan bahwa di dalam nilai-nilai Pancasila terkandung tujuh nilai-nilai kerohanian, yaitu nilai kebenaran, keadilan, kebaikan, kebijaksanaan, etis, estetis, dan nilai religius, yang manifestasinya sesuai dengan budi nurani bangsa Indonesia karena bersumber pada kepribadian bangsa. Menurut Meliono, nilai-nilai yang melandasi Pancasila adalah nilai religius, moral, kemanusiaan, kebangsaan, keadilan, kebersamaan, dan toleransi. Nilai-nilai yang dimaksud di sini adalah nilai-nilai kerohanian. Untuk dapat memahami nilai-nilai kerohanian Pancasila, maka terlebih dahulu kita harus memahami pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, yang kemudian diterima sebagai Dasar Filosofi Negara dan direalisasikan secara konkret dalam Pembukaan UUD 1945. Adapun rumusan Pancasila di dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 ialah sebagai berikut, Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. 6.3.1 Nilai-nilai Religius Nilai religius adalah nilai yang berkaitan dengan keterikatan individu dengan sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuatan sakral, suci, dan agung. Dalam kehidupan sosial dan budaya, keterikatan seseorang dihubungkan dengan pandangan hidup suatu masyarakat atau kehidupan beragama. Pada dasarnya setiap orang selalu memiliki pandangan atau persepsi akan sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuatan yang melebihi manusia. "Sesuatu" dalam pandangan orang yang beragama disebut Yang Maha Kuasa, Allah, Sang Hyang Widi, Tuhan, dan sebagainya. Dengan nilai religius orang mengukur hubungannya dengan Yang Sakral itu, apakah hubungan itu berlangsung dengan baik ataukah tidak baik, sejalan dengan yang diyakininya. Keterkaitan nilai religius dengan butir Pancasila, yaitu keterikatan terhadap Yang Sakral, muncul dalam pembukaan UUD 1945 Yang Maha Kuasa menjadi "kendali" bagi perilaku orang dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa. Nilai religius dimaknai sebagai keterikatan dan ketergantungan pada kekuasaan Ilahi yang dapat memberikan pedoman dan pencerahan bagi umat manusia. Di sisi lain, nilai religius menjadi "penuntun" dalam keragaman bangsa lndonesia yang multi agama dengan melihat bahwa religiositas (keterikatan terhadap yang sakral, agung) memiliki sifat yang universal (kesemestaan). Nilai religius selalu berbicara tentang hubungan manusia dengan Tuhan, baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal, Tuhan dianggap oleh manusia sebagai "kekuatan" yang melebihi manusia, sebagai Yang Maha Kuasa atau Yang Maha Tahu, yang oleh karenanya manusia sangat tergantung dan menaruh hormat pada "kekuatan" itu. Sedangkan dalam hubungan secara horizontal, nilai religius diungkapkan manusia melalui ekspresi atau perasaannya terhadap kehidupan dan pengalaman beragama dengan saling menghargai, dan menghormati kebebasan agama masing-masing. Itulah sebabnya kita dapat mengatakan bahwa di mana, kapan, dan oleh siapa pun nilai religius memiliki sifat universal. Meskipun latar belakang agama berbeda satu dengan yang lain, kita dapat menjalin hubungan yang akrab dengan orang yang berbeda agama dengan kita atas dasar nilai religiositas yang sifatnya universal. Bila nilai religius diyakini dan dipahami dengan benar oleh masyarakat, toleransi agama dapat ditumbuhkan. Untuk itu, penting memahami dan melaksanakan nilai religius yang baik (yang telah ada pada butir Pancasila) agar muncul kehidupan religiositas yang “sehat”, jauh dari fanatisme sempit. Nilai religius muncul pada pembukaan UUD 1945 seperti yang berikut. Pertama, pada alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 dinyatakan, “Atas berkat rahmat Tuhan yang Maha Kuasa dan . . . . “ Kedua, pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945, dinyatakan, “ . . . . dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa . . . .” Pernyataan dalam alinea ketiga dan keempat UUD 1945 bermula dari penjelasan dalam Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, di mana Ir. Soekarno menyatakan, “Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan.” Dijelaskan selanjutnya bahwa prinsip-prinsip Kebangsaan, Perikemanusiaan, Mufakat dan Kesejahteraan Sosial adalah dilandasi oleh Ketuhanan. Keterangan tersebut jelas merupakan pengakuan “Nilai Religius”; hal ini mengandung makna bahwa negara Indonesia mengakui nilai-nilai religius, bahkan merupakan suatu dasar negara Pancasila, dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, secar filosofis, bangsa Indonesia mengakui bahwa manusia adalah mahluk Tuhan, sehingga kemerdekaan dan negara Indonesia di samping merupakan hasil perjuangan bangsa Indonesia juga yang terpenting adalah merupakan “berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa”. 6.3.2 Nilai Moral Nilai moral adalah nilai tentang kebaikan yang muncul sebagai akibat perilaku orang, baik sebagai individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain atau masyarakat. Ada beberapa pengertian tentang nilai moral yang bersumber pada etika. Pertama, nilai dan norma moral yang ada dapat menjadi pegangan bagi seseorang atau se kelompok dalam berperilaku. Kedua, nilai moral merupakan kumpulan asas tentang perilaku tertentu atau kegiatan tertentu, misalnya kode etik. Kode etik dianggap sebagai kumpulan nilai moral yang memiliki prinsip kebaikan dalam suatu organisasi profesi seperti kode etik dokter, kode etik pengacara, dan kode etik dosen. Ketiga, nilai moral yang bersumber pada etika atau filsafat moral yaitu suatu ilmu yang mengkaji tentang prinsip yang baik dan yang buruk. Ini merupakan bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Bagaimana nilai moral itu berkaitan dengan Pancasila? Rupanya nilai moral yang dimaksud itu adalah nilai moral yang bersumber pada suatu prinsip kebaikan, dan hal itu menjadi bahan untuk direfleksikan lebih lanjut, khususnya ketika kita mengkaji dan memahami Pancasila. Prinsip kebaikan pada filsafat moral bersumber pada hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab, serta hak dan kewajiban. Sumber itu disebut juga kaidah moral yang dapat menjadi pegangan seseorang dalam mengarahkan dirinya menjadi manusia yang baik. Manusia yang baik diartikan sebagai Manusia lndonesia yang baik yang harus memiliki sikap etis yang mengarahkan pada etika kewajiban dan etika keutamaan (misalnya menjunjung kejujuran, dan keadilan dalam mengambil keputusan, bekerja, dan berorganisasi dalam kehidupan masyarakat) dan berpegang pada norma dan prinsip moral. Norma dan prinsip moral dapat dicari melalui kehidupan beragama, dan bernegara dalam kehidupan yang menghargai perbedaan multikultural. dan juga pada butir Pancasila. Nilai moral dapat ditemukan dalam butir Pancasila seperti yang dikutip berikut ini. Pertama, pada alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 dinyatakan, “ ... didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas .... “ Kedua, pada alinea keempat dinyatakan, “ ... Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab ... “ Sila kedua Pancasila adalah kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Dalam Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, Ir. Soekarno mengatakan, “Kita bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch principle yang nomor dua, ...“ Prinsip kedua itu adalah Internasionalisme atau Peri kemanusiaan, yang alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dirumuskan sebagai “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Sila ini tidak menyebutkan secara eksplisit kata Indonesia, tetapi kata adil dan beradab merupakan ciri khusus dari kemanusiaan, dan sebagai kesatuan dari sila-sila Pancasila, maka kata kemanusiaan di sini berbeda dengan humanisme karena adanya ciri khusus tersebut. Jadi, jelaslah bahwa pokok pikiran keempat, negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, merupakan nilainilai Dasar Moral Negara. Prinsip negara sebagaimana terkandung dalam pokok pikiran tersebut menunjukkan bahwa kehidupan bernegara, di samping berdasarkan hukum perundang-undangan, juga harus tetap berdasarkan moralitas, karena kehidupan berbangsa dan bernegara pada hakikatnya adalah untuk mencapai tujuan kemanusiaan yang adil dan beradab dan bermartabat luhur. 6.3.3 Nilai Kebangsaan Nilai kebangsaan adalah nilai tentang manusia yang secara kodrat memiliki hak dan kewajiban, kebebasan dan tanggung jawab, serta identitas yang membentuk eksistensi manusia atau jati diri dalam kehidupan bernegara. Secara kodratiah setiap orang memiliki nilai kemanusiaan seperti hak dan kewajiban, kebebasan dan tanggung jawab serta identitas tertentu. Dalam kehidupan bernegara, hal itu dipersatukan dengan tujuan dan pandangan hidup. Persatuan antara nilai secara kodratiah dengan tujuan dan pandangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat membentuk eksistensi dan jati diri suatu bangsa. Bagi bangsa Indonesia, terutama generasi muda, jati dirinya akan tampil dengan baik apabila dapat menampilkan nilai kebangsaan (hak dan kewajiban, kebebasan dan tanggung jawab, serta identitas) dengan optimal dalam kehidupan bernegara. Orang akan bangga dengan nilai kebangsaan yang dimilikinya, bangga menjadi orang Indonesia, dan itu harus “diisi” dengan sikap yang menjunjung nilai moral yang tinggi. Nilai kebangsaan adalah prinsip pertama dalam Pancasila 1 Juni 1945. Prinsip atau sila pertama ini kemudian direalisasikan secara konkret dalam pembukaan UUD 1945 dan dirumuskan sebagai sila Persatuan Indonesia. Pada alinea kedua Pembukaan UUD 1945, dinyatakan, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” Kemudian, pada alinea ketiga dinyatakan, “ ... dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas ...” Selanjutnya, pada alinea keempat dinyatakan, “... yang melindungi bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa ... maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia ...“ Di dalam Pidato Lahirnya Pancasila dijelaskan bahwa bangsa Indonesia adalah kesatuan antara manusia dan tanah airnya. Soekarno juga menjelaskan mengenai bangsa dengan menunjuk teori geopolitik. Selanjutnya Ir. Soekarno mengatakan, “Pendek kata bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekadar satu golongan orang yang hidup dengan “le desire d’etre ensemble’. Di atas daerah kecil, seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah SWT, tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian. Seluruhnya! karena sudah ada “le desire d’etre ensemble’, sudah terjadi charactergemeinschaft, Natie Indonesia.” Selanjutnya ia mengatakan, “Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme.” Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diperoleh pengertian bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian dari umat manusia di dunia adalah makhluk Tuhan. Sebagai makhluk Tuhan, pada hakikatnya manusia memiliki sifat kodrat sebagai makhluk individu dan sosial. Oleh karena itu, pada hakekatnya bangsa merupakan penjelmaan dari sifat kodrat manusia tersebut dalam merealisasikan harkat dan martabat kemanusiaanya. Dalam usaha tersebut manusia tidak mungkin melakukannya sendiri. Bangsa Indonesia terbentuk dalam proses sejarah yang panjang dan terdiri atas bermacam-macam kelompok suku bangsa. Perbedaan tersebut tidak untuk dipertentangkan tetapi justru dijadikan persatuan Indonesia, yang dituangkan dalam suatu asas kerohanian yang merupakan satu kepribadian yang bersifat majemuk tunggal yang disimbolkan dalam Lambang Garuda Pancasila dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. 6.3.4 Nilai Keadilan Nilai keadilan adalah nilai yang menjunjung norma berdasarkan ketidakberpihakan, keseimbangan, dan pemerataan atas sesuatu hal. Norma tersebut merupakan hal yang sangat manusiawi dan menjadi hak yang asasi dari manusia di mana pun dan kapan pun. Sebagai sesuatu yang sangat manusiawi, nilai keadilan sering diarahkan kepada kepentingan atau tujuan tertentu dalam kehidupan manusia. Nilai keadilan dapat dimiliki oleh individu, tetapi juga berlaku di masyarakat. Sesuai asal katanya yaitu adil, maka keadilan dapat diartikan sebagai tuntutan yang seimbang antara hak dan kewajiban (Lihat modul PDPT, 2004: Bagian Akhlak dan Budi Pekerti, Bab III: 40-41). Dengan demikian, dalam nilai keadilan juga dibutuhkan berbagai pertimbangan dalam melaksanakan tuntutan yang tidak berpihak, seimbang, begitu juga pada hak dan kewajiban. Apabila nilai keadilan dihubungkan dengan Pancasila, maka nilai tersebut diarahkan pada kepentingan individu dan masyarakat dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Apakah seseorang atau masyarakat memiliki hak, misalnya hak atas perlindungan keamanan sebagai warga masyarakat tanpa membedakan strata masyarakat? Sudahkah warga masyarakat melakukan kewajibannya sebagai anggota masyarakat dengan membayar restribusi listrik sesuai dengan yang harus dibayarkan? Pertanyaan tersebut merupakan contoh tentang bagaimana nilai keadilan itu tampil dalam perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Nilai keadilan dalam UUD 1945 dan Pancasila tercantum sebagai berikut. Pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945, dinyatakan, “. . . . maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” Lalu, pada alinea kedua Pembukaan UUD 1945 dinyatakan,“. . . ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang Merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Kemudian, pada alinea keempat dinyatakan, “. . . . dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial . . . .“ Kalimat selanjutnya berbunyi, “. . . . dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia . . . .” Di dalam Pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945, Soekarno menyatakan, “Keadilan ialah sociale rechtvaardigheid rakyat ingin sejahtera, Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan, kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan . . . .“ Sila Kesejahteraan Sosial dalam rumusan Pancasila 1 Juni 1945 direalisasikan secara konkret pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Nilai Keadilan yang terkandung dalam Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia serta Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Dalam sila kelima terkandung nilai-nilai keadilan yang harus terwujud dalam kehidupan bersama (kehidupan sosial). Keadilan tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat keadilan kemanusiaan, yaitu keadilan dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri, manusia yang satu dengan yang lain, manusia dengan masyarakat, bangsa, dan negara, serta hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Hal itu sesuai dengan tujuan negara yaitu melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia serta mewujudkan kesejahteraan umum ... serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (huruf miring dari penulis). 6.3.5 Nilai Kebersamaan dan Toleransi Nilai kebersamaan dan toleransi adalah dua nilai yang saling melengkapi. Nilai kebersamaan adalah nilai yang dimiliki oleh manusia dalam interaksinya dengan sesama yang berkaitan dengan tujuan dan kepentingan tertentu. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu membutuhkan teman, hidup berdampingan dengan orang lain dalam suatu situasi tertentu, misalnya bekerja, belajar, berorganisasi, dan melakukan ibadah. Dalam interaksi itu biasanya terjadi kesepakatan, dan saling menghargai satu sama lain atas dasar tujuan dan kepentingan tertentu. Nilai toleransi adalah nilai yang menghargai berbagai pendapat dan keyakinan orang lain tentang sesuatu hal dan dalam situasi tertentu. Menghargai pendapat atau keyakinan orang lain yang berbeda dengan kita menjadi hal yang penting dalam bertoleransi dengan orang lain. Itulah sebabnya nilai kebersamaan dan toleransi saling melengkapi. Kedua nilai itu diungkapkan dengan perilaku tertentu, perilaku yang terjadi dalam interaksi dengan sesama. Bagaimana nilai kebersamaan dan toleransi berkaitan dengan Pancasila? Nilai kebersamaan dan toleransi haruslah dimiliki oleh setiap individu yang berinteraksi dengan individu yang lainnya dan ada dalam kehidupan berbangsa atau bernegara. Nilai kebersamaan dan toleransi menjadi milik individu secara rasional; artinya, individu menghargai kebersamaan dan toleransi atas dasar kesadarannya dan pemahamannya tentang hal itu. Dengan kata lain, nilai kebersamaan dan toleransi bukanlah nilai yang harus dipaksakan melainkan muncul melalui kesadaran diri sendiri. Untuk dapat mengetahui nilai-nilai kebersamaan dan toleransi yang terkandung di dalam Pancasila, terlebih dahulu harus dimengerti isi Pembukaan UUD 1945. Pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945 dinyatakan, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Kemudian, pada alinea kedua dinyatakan, “. . . . ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Selanjutnya, pada alinea ketiga, dinyatakan, “. . . . Supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas . . . . “ Akhirnya, pada alinea keempat dinyatakan, “. . . . dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Pernyataan-pernyataan tersebut menunjukkan pengakuan atas “nilai moral” dan hak kodrati manusia untuk hidup dalam kebersamaan dan toleransi. Hal ini mengacu kepada eksistensi manusia atau bangsa, yang secara kodrati bebas dan merdeka untuk bersama-sama menjalin kehidupan berbangsa dan bernegara atas dasar saling menghormati, berdasarkan keadilan kemanusiaan, demi tercapainya tingkatan harkat dan martabat manusia yang lebih tinggi, yang meliputi seluruh unsur kodrat manusia. 6.4 PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN NASIONAL 6.4.1 Pengertian Paradigma Dalam Kamus Besar Bahasa lndonesia, salah satu arti kata paradigma ialah ‘kerangka berpikir’, yakni sebuah kerangka atau asumsi dasar yang menjadi landasan suatu kegiatan pemikiran untuk menentukan metode, pola dan berbagai aspek yang berkaitan dengan objek kegiatan. Istilah paradigma pertama kali dikembangkan oleh Thomas S. Kuhn dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution. Paradigma selalu berkaitan dengan gerak atau perubahan dalam suatu aktivitas. Paradigma diperlukan agar aktivitas dapat berlangsung melalui gerak atau menimbulkan perubahan tertentu secara sistematis, dan terarah, menuju sasaran yang diinginkan. Dalam filsafat ilmu terdapat paham determinisme yang dikembangkan oleh William Hamilton dari doktrin Thomas Hobbes yang mengatakan bahwa pengetahuan bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat universal. Faham ini menggambarkan sifat ilmu pengetahuan melalui pola tertentu. Dalam sebuah kegiatan ilmiah, paradigma merupakan pilihan pada proses pikir atau metode tertentu, sehingga kebenaran yang ditemukan terbatas pada pola atau metode yang dipergunakannya tersebut. Budianto (2002: 81) menyatakan bahwa ilmu mengenal enam paradigma, yaitu, (1) paradigma kuantitatif; (2) paradigma kualitatif; (3) paradigma induktifdeduktif; (4) paradigma piramida atau limas ilmu; (5) paradigma siklus empiris; dan (6) paradigma "rekonstruksi teori". Sekalipun dalam filsafat ilmu paradigma sering dipertentangkan dengan pilihan bebas (karena telah membatasi kegiatan dengan metode atau pola pikir tertentu sehingga kebenaran yang ditemukannya pun dipengaruhi oleh metode atau pola pikir yang dipergunakannya tersebut), paradigma diperlukan agar kegiatan yang dilakukan lebih terarah atau terpola secara sistematis, dan terdapat tolak ukur yang jelas terhadap kebenaran yang ditemukannya. Paradigma sebenarnya tidak membatasi pilihan bebas karena pilihan bebas bukan berarti "segalanya", sehingga tidak ada arah, sistem, atau pola dalam berpikir. Pancasila menjadi paradigma bangsa Indonesia; artinya, Pancasila menjadi pilihan bangsa Indonesia yang memberikan arah atau pola kehidupan berbangsa dan bernegara dalam berbagai bidang kehidupan, mulai dari bidang yang sangat mendasar, yaitu berideologi hingga bidang yang sangat teknis, yaitu pembangunan. Melalui para pendiri bangsa (founding fathers) dalam sidang-sidang BPUPKI dan kemudian oleh PPKI, oleh bangsa Indonesia Pncasila diterima sebagai ideologi negara karena diyakini mencerminkan karakter asli bangsa lndonesia melalui nilai luhur yang berlaku pada masyarakat Indonesia. 6.4.2 Pengertian Pembangunan Nasional Dalam Pembukaan UUD 1945, alinea keempat, disebutkan bahwa: Pemerintah Negara lndonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa lndonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Perlindungan terhadap segenap bangsa lndonesia [. . .] tersebut berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan lndonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Dasar dalam melakukan perlindungan [. . .] oleh Pemerintah Negara lndonesia dijadikan sebagai Tujuan Nasional Indonesia. Untuk mewujudkan tujuan nasional itu diperlukan kegiatan pembangunan secara nasional, yaitu pembangunan yang berkesinambungan dan meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Hakikat dari pembangunan nasional itu adalah pembangunan manusia lndonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya dengan Pancasila sebagai dasar, tujuan, dan pedomannya. Pembangunan mencerminkan rangkaian gerak perubahan menuju kepada kemajuan dan kehidupan yang lebih baik. Perubahan berarti pembaharuan. Dalam kerangka pembangunan nasional, pembaharuan dilakukan dengan mengembangkan kepribadian bangsa Indonesia sendiri sehingga tidak kehilangan identitas diri bangsa dengan tetap membuka diri terhadap kemajuan yang positif dari bangsa lain, terutama kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan, dalam beberapa hal, perubahan itu perlu diadakan dengan melakukan perombakan dalam tatanan yang sangat mendasar (Soeprapto, 2004:98). Dengan demikian, pembangunan nasional bertitik tolak pada kemampuan, kemandirian, kebersamaan, keadilan, dan kemanfaatan bagi bangsa lndonesia. Kerjasama dengan bangsa atau negara lain dalam tatanan global tetap diperlukan sepanjang tidak menimbulkan ketergantungan dan tetap menjaga identitas diri bangsa, kebebasan dan kemandirian sebagai sebuah bangsa yang merdeka. Dalam praktik, pelaksanaan pembangunan nasional dilakukan melalui sebuah kegiatan nasional yang mencerminkan program, pola, dan sasaran dalam tahapan tertentu dengan tetap konsisten menuju terwujudnya tujuan nasional. Pembangunan nasional menjadi kewajiban seluruh bangsa lndonesia, dengan pemerintah bersama dengan lembaga legislatif dan eksekutif sebagai pemeran utama. Kesadaran akan tanggung jawab secara nasional untuk melakukan pembangunan oleh seluruh unsur masyarakat, bangsa, dan negara menjadi kunci keberhasilan pembangunan nasional. Insan akademik sebagai unsur masyarakat terdidik, baik secara individu maupun kolektif kelembagaan, menjadi modal penting dalam menentukan keberhasilan pembangunan nasional. 6.4.3 Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Ilmu pengetahuan lahir melalui konsep berpikir metodologis, sedangkan teknologi adalah studi tentang keterampilan untuk membuat sesuatu yang membutuhkan sejumlah materi tertentu (alamiah dan buatan) disertai dengan aktivitas akal budi dan keinginan atau tujuan tertentu (Meliono, 2002:16). Sebagai produk rohaniah manusia tentang realitas alam (termasuk manusia sendiri), ilmu pengetahuan diperlukan dalam kehidupan yang memberikan kepuasan batin (rasio), dan menjadi dasar pembangunan teknologi. Adapun teknologi diperlukan oleh manusia untuk memberikan kemudahan dan kesejahteraan demi terpenuhinya kebutuhan primer dan sekunder dalam kehidupannya. Dari aspek kemanusiaan sebagai makhluk ciptaan Tuhan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan wujud rasa syukur manusia kepada Tuhan yang telah menciptakan manusia dengan potensi diri yang paling tinggi dibandingkan dengan makhluk lain dan menyediakan alam sebagai sarana memenuhi kebutuhan hidupnya. Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan tolak ukur kemajuan peradaban suatu bangsa. Sesuai dengan fungsinya, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi tolok ukur tingkat kemajuan dan kesejahteraan bangsa itu. Produk teknologi tinggi bernilai ribuan kali lipat dibandingkan dengan produk alamiah yang dihasilkan oleh tenaga alamiah manusia. Sebuah mobil dengan teknologi tinggi lebih mahal daripada hasil panen padi petani dari seribu hektar yang dihasilkan dengan ribuan tenaga kerja, atau, dengan kata lain, lahan pertanian yang luas, biaya yang besar dan dengan resiko kegagalan panen yang besar. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan keuntungan yang besar bagi manusia seperti terpenuhinya kebutuhan hidup, baik primer maupun sekunder. Tetapi karena dipengaruhi oleh keinginan ego manusia yang kadang-kadang tidak disadari, pengembangan itu juga dapat menimbulkan bencana atau kerugian bagi manusia sendiri. Teknologi senjata nuklir, misalnya, memperlihatkan betapa ego manusia telah menguasai akal sehat dan nuraninya. Ledakan sebuah senjata nuklir dapat menimbulkan malapetaka kematian atau kesengsaraan hidup jutaan manusia dan kerusakan alam yang luar biasa. Padahal teknologi nuklir sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan damai, sumber energi. Dalam skala yang terbatas, kerusakan lingkungan, dalam bentuk pencemaran udara atau terganggunya ekosistem, juga merupakan dampak negatif dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang transportasi, industri obat pembasmi hama, dan lain-lain. Oleh karena itu diperlukan panduan, kerangka dasar, atau paradigma dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila (sebagai dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara) menjadi paradigma dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bentuk paradigma Pancasila itu teraplikasi melalui nilai Pancasila berikut. (1) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa Sebagai makhluk ciptaan Tuhan juga, manusia harus menyadari bahwa Tuhan Yang Maha Esa menciptakan alam sebagai sarana kehidupan dan menciptakan kemakmuran di alam kehidupan ini. Pemanfaatan alam harus dilakukan secara proporsional dan diimbangi dengan pelestariannya. Sebagai makhluk yang berTuhan dan beragama, manusia harus mempergunakan karunia Tuhan dalam bentuk kekayaan alam untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam rangka berbakti kepada Tuhan. Hal itu berarti bahwa manusia tidak boleh berbuat berdasar keinginan dan kepentingannya sendiri, tetapi terikat oleh norma-norma agama yang diberikan Tuhan kepadanya. (2) Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Di hadapan Tuhan, manusia mempunyai kedudukan yang sama. Tidak ada kelebihan satu orang dari orang yang lainnya kecuali dalam hal taqwanya kepada Tuhan, baik dalam bentuk peribadahan secara langsung kepada Tuhan melalui kontribusi kebaikan sesama, maupun perbaikan lingkungan hidup. Pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi harus meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan. Dalam konteks kemanusiaan, hal itu tidak boleh mengakibatkan terjadinya eksploitasi alam, atau, bahkan orang ataupun kelompok orang lain. Semakin tinggi ilmu pengetahuan yang dikuasainya, manusia harus semakin bersyukur kepada Tuhan, semakin tinggi tingkat amal kebaikannya, dan tidak sombong atau lupa diri. Nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi harus semakin penting dalam pergaulan global. Hal ini disebabkan oleh adanya pandangan dan kepentingan yang sempit suatu bangsa yang memiliki kelebihan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang mengeksploitasi bangsa lain. Penjajahan pada abad ini berkembang melalui strategi penciptaan ketergantungan suatu bangsa kepada bangsa lain. Hal ini sering dilakukan atas nama kemanusiaan, tetapi justru mengakibatkan kesengsaraan. Sejak tahun 1948, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah meletakkan landasan untuk mencagah terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia melalui Deklarasi Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Rights). Deklarasi yang berisi penghormatan terhadap hak universal manusia ini menjadi acuan setiap negara untuk mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam konteks bangsa dan negara yang bersangkutan. Sekalipun tidak secara formal menyebutnya hak asasi manusia, pada tahun 1945 secara implisit bangsa Indonesia telah menjadikan hak asasi manusia sebagai dasar pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Istilah yang sering disebut dalam pengembangan teknologi ialah, misalnya, teknologi tepat guna, teknologi ramah lingkungan. (3) Persatuan lndonesia Sejak awal masa kemerdekaan. bangsa lndonesia telah mengalami banyak hal yang bertentangan dengan sikap persatuan bangsa, seperti berbagai pemberontakan atau gerakan separatis. Negara Indonesia lahir melalui komitmen bersama dari berbagai komponen bangsa yang plural dalam hal agama, etnis, bahasa, dan lain-lain. Eksistensi bangsa dan negara Indonesia tergantung pada komitmen bersama untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa yang telah disepakati dan dijadikan dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Komitmen tersebut tidak boleh diingkari hanya karena aspirasi atau kepentingan sebagai anggota masyarakat belum terpenuhi, atau mungkin karena kebijakan pemerintah dalam melaksanakan fungsinya belum optimal. Kekurangan atau kesalahan kebijakan dalam mengelola negara tidak bisa menjadi alasan untuk melakukan gerakan separatisme. Kita harus berpikir secara rasional dan objektif, bahwa separatisme hanya menuruti ego dan kepentingan sempit anggota masyarakat tertentu yang justru akan menyengsarakan sebagian besar anggota masyarakat lainnya. Bangsa dan negara Indonesia adalah satu kesatuan secara intergral. Konsep persatuan dan kesatuan harus menjadi landasan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada tahun 1928 para pemuda lndonesia telah berikrar melalui Sumpah Pemuda yang mengintegrasikan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa persatuan. (4) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Prinsip kebersamaan dalam pluralitas untuk mencapai tujuan bersama dan mencari solusi problem bersama dengan cara musyawarah yang dijiwai oleh sikap bijaksana telah menjadi tekad kita dalam kehidupan berbangsa dan benegara. Sistem musyawarah boleh saja berubah sesuai dengan kebutuhan pada masanya, begitu pula teori-teori di bidang politik, sosial, budaya, dan lain-lainnya, tetapi perubahan itu harus bertitik tolak dari kepentingan rakyat dan hak-hak rakyat secara keseluruhan. Gerakan reformasi telah melahirkan perubahan-perubahan baru di bidang politik dan sosial budaya yang mendasar. Pemilihan presiden dan kepalakepala daerah secara langsung, misalnya, merupakan perubahan mendasar dalam sistem politik bangsa, tetapi itu tetap menghargai hak-hak rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Dalam pengelolaan negara dengan penduduk yang besar (lebih dari 200 juta jiwa), sistem perwakilan tetap diperlukan sekalipun hak politik warga negara untuk memilih presiden dan kepala-kepala daerah telah dilakukan secara langsung. Dalam bidang tertentu seperti pembuatan undang-undang, misalnya, tidak mungkin seluruh rakyat melakukannya secara langsung. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam hal ini perlu diarahkan guna menjamin hak-hak rakyat dan kemaslahatan. (5) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat lndonesia Unsur dominan dalam sila ini terletak pada keadilan hukum dan ekonomi, sekalipun unsur-unsur lainnya tetap tercakup. Dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, nilai dan sila kelima ini dapat berupa pemerataan secara adil untuk memperoleh kesempatan menuntut ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperoleh kesejahteraan hidup, di samping aspek yang lainnya. Nilai sila kelima ini sesungguhnya memberikan amanah bagi setiap orang yang memperoleh kepercayaan dalam bidang tertentu untuk menggunakan kewenangannya bagi kepentingan rakyat secara keseluruhan. Oleh karena itu, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merupakan penyimpangan dari nilai-nilai luhur yang diamanatkan kepada para pemegang kekuasaan. Namun demikian, masalah keadilan sosial ini sampai saat ini masih menjadi problem nasional yang belum terpecahkan, sehingga muncul tindakan destruktif yang merugikan. 6.5 PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN NASIONAL DALAM BIDANG POLEKSOSBUDHANKAM Pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 alinea ke-IV tercantum tujuan negara, yang salah satu di antaranya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, khususnya untuk mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Untuk mewujudkan kesejahteraan umum atau mencapai masyarakat adil dan makmur tersebut, Republik ini harus membangun, bukan hanya secara fisik saja melainkan secara keseluruhan—ini disebut dengan sebutan membangun manusia Indonesia seutuhnya. Dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya, salah satu masalah penting dewasa ini yang harus diatasi ialah rendahnya taraf kehidupan masyarakat Indonesia, karena hal itu dapat menimbulkan kesenjangan sosial. Kesenjangan ini terlihat jelas, misalnya di antara masyarakat yang tinggal di pedesaan dan yang tinggal di perkotaan. Kesenjangan sosial juga terjadi di daerah perkotaan, yaitu antara masyarakat yang tinggal di daerah kumuh dan yang tinggal di daerah elit. Untuk menanggulangi masalah ini perlu dilakukan kerja sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah perlu merumuskan dan melaksanakan kegiatan pengentasan kemiskinan di setiap daerah Indonesia guna mewujudkan program pembangunan nasional secara keseluruhan. Secara filosofis hakikat kedudukan Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional mengandung konsekuensi bahwa dalam segala aspeknya pembangunan nasional harus didasarkan pada hakikat nilai-nilai Pancasila karena hakikat nilai-nilai itu memang didasarkan pada keberadaan manusia Indonesia sebagai subjek pendukung sila-sila Pancasila sekaligus pendukung pokok negara Republik Indonesia. Hal ini berdasarkan kenyataan objektif bahwa Pancasila dasar negara dan negara adalah organisasi persekutuan hidup manusia. Oleh karena itu, dalam rangka mencapai tujuannya melalui pembangunan nasional, negara harus dikembalikan pada dasar-dasar hakikat manusia “monopluralis.” Unsur-unsur hakekat manusia “monopluralis” meliputi susunan kodrat manusia, rokhani, (jiwa) dan raga, sifat kodrat manusia makhluk individu dan mahluk sosial; serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena pembangunan nasional merupakan upaya praktis untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka pembangunan itu haruslah didasarkan pada paradigma hakikat manusia “monopluralis” tersebut. Jadi, dalam realisasi pembangunan nasional di berbagai bidang untuk mewujudkan peningkatan harkat dan martabat manusia secara konsisten berdasarkan nilai-nilai hakekat kodrat manusia tersebut, maka pembanguan nasional harus meliputi aspek jiwa (rohani) yang mencakup akal, rasa, dan kehendak; aspek raga (jasmani); aspek individu; aspek makhluk sosial; aspek pribadi; dan juga aspek kehidupan ketuhanannya. Berbagai bidang pembangunan nasional itu antara lain, ialah politik, ekonomi, hukum, pendidikan, sosial budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, dan kehidupan agama. 6.5.1 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Politik Pembangunan dan pengembangan bidang politik harus bersendikan ontologi manusia. Hal ini didasarkan pada kenyataan objektif bahwa manusia adalah subjek negara sehingga kehidupan politik negara harus benar-benar untuk merealisasikan tujuan demi harkat dan martabat manusia. Sistem politik negara harus berasaskan tuntutan hak dasar kemanusiaan yang di dalam istilah ilmu hukum dan kenegaraan disebut hak asasi manusia. Hal ini merupakan perwujudan hak atas martabat kemanusiaan sehingga sistem politik negara harus mampu menciptakan sistem yang menjamin hak-hak tersebut. Sistem politik negara juga harus berasaskan kekuasaan yang bersumber pada hakikat manusia sebagai individu-makhluk sosial yang menjelma sebagai rakyat. Rakyat merupakan asal mula kekuasaan negara. Oleh karena itu kekuasaan negara harus didasarkan pada kekuasaan rakyat, bukan kekuasaan perorangan atau kelompok. Selain sistem politik negara, Pancasila memberikan dasar-dasar moral politik negara, sebagaimana telah dikemukakan oleh para pendiri negara seperti Moh. Hatta yang menyatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa, atas dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab. Menurut Moh. Hatta, hal ini memberikan dasardasar moral supaya negara tidak berdasarkan kekuasaan. Oleh karena itu dalam politik negara, para elit politik dan para penyelenggara negara harus berpegang teguh pada budi pekerti kemanusiaan dan cita-cita moral rakyat yang luhur. Dalam sila Pancasila tersusun atas urut-urutan sistematis, bahwa alam politik negara harus mendasarkan pada kerakyatan (Sila IV). Adapun pengembangan dan aktualisasi politik negara berdasarkan moralitas, berturut-turut ialah moral Ketuhanan (Sila I), moral kemanusiaan (Sila II) dan moral persatuan, yaitu ikatan moralitas sebagai suatu bangsa (Sila III). Dapat dikatakan bahwa pengembangan politik negara harus bersendikan moralitas sebagaimana tertuang dalam sila-sila Pancasila. Dengan demikian, praktikpraktik politik yang menghalalkan segala cara dengan memfitnah, memprovokasi, dan menghasut rakyat yang tidak berdosa untuk diadu domba dapat dielakkan. 6.5.2 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Ekonomi Pada awalnya pengembangan ekonomi didasarkan pada persaingan bebas yang pada akhirnya menghasilkan yang kuat menang. Hal ini merupakan implikasi dan perkembangan ilmu ekonomi pada akhir abad ke-18 yang menumbuhkan ekonomi kapitalis. Atas dasar kenyataan objektif ini, maka pada awal abad ke-19 di Eropa muncul pemikiran sebagai reaksi atas perkembangan ekonomi tersebut, yaitu sosialisme-komunisme yang memperjuangkan nasib kaum proletar yang ditindas oleh kaum kapitalis. Sistem ekonomi yang berdasarkan sosialisme komunisme mengandung kelemahan seperti tidak mengakui kepemilikan individu sehingga tidak mendorong lahirnya hak untuk berinisiatif dan berkompetisi. Oleh karena itu dipandang sangat penting untuk mengembangkan sistem ekonomi yang bersifat humanistik. Pengembangan ekonomi bukan hanya untuk mengejar pertumbuhan saja melainkan demi kemanusiaan dan demi kesejahteraan seluruh rakyat. Pengembangan ekonomi tidak dapat dipisahkan dari nilai moral kemanusiaan. Demikian halnya karena pada hakikatnya tujuan ekonomi adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia agar manusia menjadi lebih sejahtera. Jadi, ekonomi harus berdasarkan kepentingan masyarakat umum, yaitu demi kesejahteraan masyarakat. Harus dihindari pengembangan ekonomi yang didasarkan pada persaingan bebas, monopoli, dan lainnya yang hanya menimbulkan, penderitaan dan kesengsaraan manusia karena penindasan manusia lainnya. Dengan demikian perekonomian Indonesia bersendikan kekeluargaan, sebagaimana dinyatakan pada butir kelima Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia. Keadilan sosial dalam aspek ekonomi tersebut harus memenuhi kebutuhan hidup manusia secara layak. 6.5.3 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial Budaya Pembangunan aspek sosial budaya hendaknya didasarkan pada sistem nilai yang sesuai dengan nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat di Indonesia. Nilai budaya itu digunakan sebagai kerangka pikir bangsa Indonesa untuk melakukan reformasi di segala bidang. Sangat disayangkan bahwa sebagai antiklimaks proses reformasi sering terjadi kemandekan (stagnasi) nilai sosial budaya dalam masyarakat. Tidak mengherankan bahwa di berbagai wilayah Indonesia dewasa ini muncul berbagai macam gejolak yang sangat memprihatinkan antara lain amuk masa yang cenderung anarkis dan bentrok antarkelompok masyarakat yang bermuara pada masalah politik. Pengembangan sosial budaya harus mengangkat nilai-nilai Pancasila. Dalam prinsip etika, Pancasila pada hakekatnya bersifat humanistik; artinya, nilai-nilai Pancasila didasarkan pada nilai kebaikan yang bersumber pada harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang berbudaya. Sebagaimana dirumuskan dalam sila kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang adil dan beradab,” maka Pancasila harus menjadi sumber normatif bagi peningkatan humanisasi dalam bidang sosial budaya. Sebagai kerangka berpikir manusia, Pancasila pun dapat menjadi (1) pendorong untuk bersikap dalam kehidupan berbangsa, yaitu melepaskan simbol budaya dari keterikatan struktur masyarakat, dan (2) transendentalisasi, yaitu meningkatkan derajat kemanusiaan dan kebebasan rohani. Dalam proses reformasi dewasa ini sering kita saksikan gejolak masyarakat yang jauh dari nilai kemanusiaan yang beradab. Hal ini merupakan akibat perbenturan kepentingan politik demi kekuasaan sehingga masyarakat melakukan aksi (demontrasi yang disertai oleh kekerasan, penjarahan, dan lain-lain) sebagai akibat akumulasi persoalan politik. Suatu aksi yang tidak beradab dan tidak manusiawi itu sering mendapat afirmasi politis dari kalangan elit politik tertentu. Demikian pula meningkatnya fanatisme di berbagai daerah mengakibatkan lumpuhnya keberadaban di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, suatu tugas berat bagi bangsa Indonesia pascareformasi dewasa ini ialah mengembangkan aspek sosial budaya sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, yakni Ketuhanan, nilai kemanusian, nilai persatuan, dan nilai kerakyatan. 6.5.4 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Bidang Hankam Negara pada hakikatnya merupakan masyarakat hukum. Demi tegaknya hak warga negara maka diperlukan peraturan perundangan negara, baik dalam rangka mengatur ketertiban warga negara, maupun dalam rangka melindungi haknya. Oleh karena itu negara bertujuan melindungi segenap wilayah negara dan bangsa Indonesia. Atas dasar pengertian ini, maka keamanan merupakan syarat mutlak tercapainya kesejahteraan warga negara. Demi tegaknya integritas seluruh masyarakat negara diperlukan suatu pertahanan negara. Untuk itu diperlukan aparat keamanan dan penegak hukum. Oleh karena Pancasila sebagai dasar negara berlandaskan hakikat kemanusiaan, maka pertahanan dan keamanan negara harus ditujukan pada tercapainya harkat manusia sebagai pendukung pokok negara. Demikianlah pertahanan dan keamanan negara harus diarahkan pada tujuan demi terjaminnya harkat dan martabat manusia, khususnya hak asasi manusia. Pertahanan dan keamanan bukanlah untuk kekuasaan sebab kalau demikian halnya sudah dapat dipastikan terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Pertahanan dan keamanan negara bukan hanya untuk suatu kelompok warga atau kelompok politik tertentu yang berakibat negara menjadi totaliter dan otoriter. Oleh karena itu, pertahanan dan keamanan negara harus dikembangkan berdasarkan nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila. Pertahanan dan keamanan negara harus: (1) ditujukan pada tercapainya kesejahteraan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa (sila pertama dan kedua); (2) dilakukan demi kepentingan seluruh warga negara (sila ketiga); (3) mampu menjamin hak dasar persamaan derajat dan kebebasan kemanusiaan (sila keempat) dan ditujukan pada terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat (sila kelima). Dengan demikian, negara menjalankan fungsinya yang sebenarnya sebagai suatu negara hukum, bukan sebagai suatu negara yang berlandaskan kekuasaan. CATATAN KRITIS Dalam perjalanan panjang bangsa Indonesia, Pancasila telah diakui sebagai ideologi yang membentuk identitas bersama, sekaligus menjadi acuan untuk membangun tatanan masyarakat yang dicita-citakan. Pengakuan terhadap Pancasila sebagai ideologi nasional merupakan hasil konsensus seluruh kelompok masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena adanya kesadaran bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila, yakni nilai ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial, merupakan nilai-nilai yang dipandang baik sehingga menjadi tujuan setiap warga negara Indonesia. Sebagai makhluk sosial sekaligus individual, manusia Indonesia terkait dengan berbagai fenomena dan latar belakang budaya yang berasal dari beragam suku yang ada di Indonesia. Meskipun terdapat perbedaan, ada yang mempersatukan mereka, yaitu cita-cita bersama menuju Indonesia Jaya dengan manusia Indonesia yang berkualitas dan berkehidupan yang layak. Perilaku manusia yang baik menjadi inti tercapainya citacita itu. Dalam kehidupannya bernegara dan berbangsa, hal itu menjadikan manusia senantiasa memiliki hak dan kewajiban, baik hak maupun kewajiban individu dan sosial. Dimensi sosial politis menekankan bagaimana, dalam hubungannya dengan sesama, manusia harus mematuhi norma dan kewajiban moral. Di samping itu, manusia Indonesia juga memiliki kebebasan dan tanggung jawab sebagai makhluk yang hidup dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Kebebasan yang dimilikinya tidak mutlak. Sebagai contoh, ia tidak boleh berbuat sesuka hatinya tanpa menghargai norma yang ada (misalnya norma agama, keluarga, negara, universitas, dan tempat bekerja). Dalam kehidupan bermasyarakat, ia harus menghargai sesama, baik yang memiliki pendapat yang sama maupun yang berbeda dengannya, dan menghargai norma atau hukum positif yang ada serta kebijakan yang berasal dari suatu lembaga negara, sejauh semuanya itu diterapkan untuk masyarakat dan demi kebaikan bersama. Sebagai akibat dari rumusan Pancasila tanggal 18 Agustus 1945 maka Pancasila merupakan sebuah peristiwa politik yang mengandung unsur filsafat politik tentang dasar negara Republik Indonesia. Apa artinya itu? Kehidupan politis suatu negara dapat dikaji secara kritis dengan melihat adanya norma dan kewajiban yang berkaitan dengan kehidupan bernegara, misalnya konsep negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kewenangan (authorithy), pembagian (distribution), serta alokasi. Norma dan kewajiban itu haruslah sesuai dengan tujuan atau kepentingan seluruh masyarakat. BAB VII UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Bab ini akan menguraikan sejarah terbentuknya Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), pelaksanaan UUD 1945, dan amandemen UUD 1945. Dengan dinamika keberadaan UUD (termasuk di dalamnya amandemen), diharapkan kehidupan ketatanegaraan Indonesia akan menjadi lebih baik. 7.1 SEJARAH TERBENTUKNYA UUD 1945 Bangsa Indonesia lahir dari sejarah dan kebudayaan yang tua melalui kebesaran kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram, yang kemudian mengalami masa penjajahan yang cukup panjang. Penjajahan telah membawa penderitaan yang sangat pedih. Bagi bangsa Indonesia, wujud penderitaan yang diakibatkan oleh penindasan kaum penjajah ialah, antara lain, dominasi di bidang politik; eksploitasi atau penghisapan di bidang ekonomi; masuknya kebudayaan penjajah ke dalam kebudayaan Indonesia dengan berbagai cara, baik halus maupun paksaan; dan diskriminasi di bidang sosial yang menempatkan bangsa penjajah pada kedudukan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bangsa Indonesia yang hanya dianggap sebagai bangsa kelas rendah. Penderitaan tersebut kemudian membangkitkan semangat bangsa Indonesia untuk melawan penjajah tetapi perlawanan terhadap kaum penjajah melalui pergerakan nasional baru terjadi pada awal abad XX, yang diawali dengan Pergerakan Budi Utomo yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908. Berdirinya Budi Utomo disusul dengan pendirian organisasi lain termasuk organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1928 lahirlah Sumpah Pemuda, yang merumuskan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dengan semboyan, “satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa Indonesia.” Setelah Sumpah Pemuda timbullah angkatan yang secara tegas memperjuangkan Indonesia Merdeka. Perjuangan melawan penjajah Belanda terus berlanjut hingga runtuhnya penjajahan Pemerintah Hindia Belanda yang menyerah kepada Jepang pada tahun 1942. Jepang memasuki Perang Dunia II pada tanggal 7 Desember 1941 dengan cara menyerang kekuatan armada Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawai. Jepang kemudian menyerang ke Selatan dan menduduki tanah jajahan negara-negara Barat. Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat pada tanggal 9 Maret 1942. Sebelum Jepang menyerbu Hindia Belanda, Jepang telah berpropaganda secara gencar bahwa mereka akan membebaskan bangsa Asia dari penjajahan Barat, sehingga tidak mengherankan bahwa kedatangan tentara Jepang mula-mula disambut dengan gembira oleh rakyat. Namun, sesungguhnya Jepang tidak bermaksud untuk menolong atau memerdekakan bangsa-bangsa Asia. Niat Jepang segera tampak dari tindakan kerasnya, antara lain pernyataannya bahwa daerah-daerah yang diduduki Jepang segera mendapat pemerintahan militer, melarang nasional mereka masing-masing. Pada tahun 1944 tentara Jepang mengalami kekalahan di semua medan perang pertempuran. Jepang kemudian mencoba mengambil hati bangsa yang dijajah seperti Indonesia, Filipina, dan Birma. Ini dilakukan agar bangsa-bangsa tersebut tetap membantunya dalam perang melawan sekutu. Pada tanggal 7 September 1944 di depan parlemen di Tokyo pemerintah Jepang menjanjikan kemerdekaan bersyarat kepada bangsa Indonesia: jika Jepang memenangkan perang, maka Indonesia diperbolehkan melakukan hal-hal tertentu seperti mengibarkan bendera merah putih di samping bendera Jepang, menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan membicarakan soal-soal politik. Pada tanggal 1 Maret 1945 janji kemerdekaan itu diulang kembali, tetapi kini tanpa syarat. Maka pada tanggal 29 April 1945 dibentuklah Badan Penyelidik Usahausaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) beranggotakan 62 orang, dengan Dr. Radjiman Wedyadiningrat sebagai ketua dan R. P. Soeroso sebagai ketua muda. Badan itu ditugasi untuk mempelajari hal-hal yang diperlukan untuk menyelenggarakan negara merdeka. Kemudian anggota BPUPKI ditambah jumlahnya sehingga menjadi 68 orang. Pada tanggal 28 Mei 1945 anggota BPUPKI dilantik oleh pembesar tertinggi balatentara Jepang di Jawa dan pada tanggal 29 Mei keesokan harinya mulailah sidang yang pertama BPUPKI yang berlangsung hingga tanggal 1 Juni 1945, dan sidang kedua dari tanggal 10 Juli hingga 16 Juli 1945. Melalui perdebatan yang sengit, pada tanggal 16 Juli 1945 BPUPKI berhasil menyusun Rancangan Undang-Undang Dasar yang kemudian dilaporkan kepada Pemerintah Balatentara Jepang disertai usulan agar dibentuk suatu badan baru yang jangkauannya lebih luas. Atas dasar usulan itu maka dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 7 Agustus 1945. PPKI beranggotakan 21 orang dengan Ir. Soekarno sebagai ketua dan Drs. Moh Hatta sebagai wakil ketua. Pada tanggal 9 Agustus 1945, ketua dan wakil ketua PPKI beserta mantan ketua BPUPKI diminta menghadap Jendral Besar Terauchi, Panglima Besar Tentara Jepang derah Selatan yang berkedudukan di Dalat, suatu kota di sebelah Utara kota Saigon (Kota Ho Chi Minh). Dalam upacara singkat di Dalat tanggal 12 Agustus itu, Jendral Besar Terauchi menyampaikan dua hal. Pertama, Pemerintah Agung di Tokyo telah menyetujui kemerdekaan bangsa Indonesia. Kedua, kapan kemerdekaan Indonesia itu akan diumumkan terserah kepada PPKI yang dipimpin oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta. Pada tanggal 14 Agustus 1945 para pejuang yang bergerak di bawah tanah memberitahukan bahwa Jepang telah meminta berdamai kepada Sekutu. Mereka meminta agar Ir. Soekarno sendiri, sebagai pemimpin rakyat, menyatakan kemerdekaan. Dengan menyerahnya Jepang pada sekutu, maka semua janji Jepang untuk kemerdekaan bangsa Indonesia telah dicabutnya, sehingga sejak itu bangsa Indonesia mengambil putusan untuk menentukan nasib di tangannya sendiri. Hal ini membuktikan bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia bukan hadiah Jepang. Teks Proklamasi disusun dan, setelah disetujui, kemudian ditandatangani oleh Ir. Soekarno dan Drs Moh. Hatta, atas nama bangsa Indonesia, menjelang dinihari tanggal 17 Agustus. Pagi harinya, teks itu dibacakan oleh Ir. Soekarno di halaman rumahnya, Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Isi lengkap teks proklamasi itu ialah sebagai berikut: Proklamasi Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta, hari 17 bulan 8 tahun ‘45 Atas nama bangsa Indonesia Soekarno/Hatta. Pernyataan proklamasi tersebut membawa bangsa Indonesia bebas dari penjajahan Jepang. Dengan semangat persatuan, maka pada kesokan harinya, tanggal 18 Agustus 1945, ketua menambah anggota PPKI dari 21 orang menjadi 27 orang. Setelah mengadakan perubahan yang mendasar atas Rancangan Undang-Undang Dasar yang disusun oleh BPUPKI, yaitu sebagai akibat dihapuskannya “tujuh kata” dari sila pertama dasar negara dalam Rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar dan lainlain perubahan, maka pada tanggal 18 Agustus 1945 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yaitu UUD 1945, secara sah ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemedekaan Indonesia. UUD 45 itu memuat (1) Pembukaan yang terdiri atas 4 alinea; (2) Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 yang berisi 37 Pasal yang dikelompokkan dalam 16 Bab, 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan; dan (3) Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang terbagi dalam Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal demi Pasal. 7.2 PELAKSANAAN UUD 1945 Dalam kurun waktu 1945—1949, Undang Undang Dasar 1945 tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena berbagai situasi dan kondisi yang tidak stabil dalam kehidupan politik. Usaha-usaha dilakukan untuk mempertahakan kemerdekaan yang baru diproklamasikan. Sementara itu, pihak kolonial Belanda justru ingin menjajah kembali Indonesia yang telah merdeka. Segala perhatian bangsa dan negara diarahkan untuk memenangkan Perang Kemerdekaan. Sistem pemerintahan dan kelembagaan yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 belum dapat dilaksanakan. Dalam kurun waktu itu sempat diangkat Anggota DPA Sementara, sedangkan MPR dan DPR belum dapat dibentuk. Dalam hal ini masih diberlakukan ketentuan Aturan Peralihan pasal IV yang menyatakan, “Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Petimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional.” Dalam kurun waktu 1959—1966, sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 UndangUndang Dasar 1945 berlaku lagi bagi bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sejak itu telah cukup banyak pengalaman yang diperoleh dalam melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945. Apabila diadakan perbandingan mengenai pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 untuk kurun waktu antara 1950-1965 (Orde Lama) dan kurun waktu 1966—1998 (Orde Baru), maka terlihat serta dirasakan kemajuan yang telah dicapai dalam pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen oleh Orde Baru. Pada masa Orde Lama, lembaga-lembaga negara seperti MPR, DPR, DPA, dan BPK belum dibentuk berdasarkan Undang-Undang seperti ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Lembaga-lembaga negara yang dibentuk masih bersifat sementara. Pada masa Orde Lama, Presiden, selaku pemegang kekuasaan eksekutif dan pemegang kekuasaan legislatif bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat, telah menggunakan kekuasaannya dengan tidak semestinya. Presiden telah mengeluarkan produk legislatif yaitu Undang-Undang (menurut UUD 1945 harus dengan persetujuan DPR) dalam bentuk Penetapan Presiden, tanpa persetujuan DPR. Selain itu terdapat pula penyimpangan lainnya, antara lain: MPRS, dengan Ketetapan No. I/MPRS /1960 telah mengambil keputusan menetapkan pidato Presiden tanggal 17 Agusrus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang lebih dikenal dengan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) sebagai GBHN bersifat tetap, yang jelas bertentangan dengan ketentuan UUD 1945. MPRS telah mengambil keputusan untuk mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. Hal ini bertentangan dengan ketentuan UUD 1945, yang menetapkan jabatan Presiden lima tahun. Hak budget DPR tidak berjalan karena setelah tahun 1960 Pemerintah tidak mengajukan Rancangan Undang-Undang APBN untuk mendapat persetujuan DPR sebelum berlakunya tahun anggaran yang bersangkutan. Pada tahun 1960, karena DPR tidak dapat menyetujuai rancangan Pendapatan dan Belanja Negara yang diajukan oleh Pemerintah, Presiden membubarkan DPR hasil Pemilihan Umum 1955 dan membentuk DPR Gotong Royong, disingkat DPR-GR. Pimpinan lembaga-lembaga negara dijadikan menteri-menteri negara dan Presiden sendiri menjadi ketua DPA, hal yang tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Itulah beberapa contoh kasus penyimpangan konstitusional yang serius terhadap pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945. Penyimpangan itu mengakibatkan tidak berjalannya sistem yang ditetapkan UUD 1945, memburuknya keadaan politik dan keamanan, dan terjadinya kemunduran di bidang ekonomi yang mencapai puncaknya dengan pemberontakan G-30 S PKI. Pemberontakan G-30 S PKI dapat digagalkan berkat kewaspadaan dan kesigapan ABRI dengan dukungan kekuatan rakyat. Kemudian lahirlah Orde Baru yang bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen. Dalam kurun waktu 1966-1998, dengan berlandaskan Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret), pengemban Supersemar, Letnan Jendral TNI Soeharto, membubarkan PKI dan ormas-ormasnya yang disambut dengan penuh kelegaan oleh seluruh rakyat. Dengan semangat Supersemar itu pula Orde Baru mawas diri dan melaksanakan koreksi total dengan cara konsistusional, terutama dalam menegakkan, mengamankan, dan mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen. Orde Baru telah berhasil menyalurkan aspirasi rakyat dalam mengadakan koreksi terhadap penyimpangan, kekacauan, dan keadaan buruk di berbagai bidang selama masa Orde Lama dengan cara konstitusional, artinya melalui sidang MPRS, yaitu Sidang Umum MPRS IV tahun 1966, sidang Istimewa MPRS tahun 1967, dan Sidang Umum MPRS V tahun 1968. Orde Baru berusaha melaksanakan UndangUndang Dasar 1945 sebaik-baiknya secara murni dan konsekuen. Pembentukan lembaga-lembaga negara, MPR, DPA, DPR, BPK, dan M.A. diusahakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 menuntut bahwa pembentukan lembaga negara menuntut harus dilakukan dengan Undang-Undang. Oleh karena itu Pemerintah bersama dengan DPR berusaha keras membuat Undang-Undang, antara lain: Undang-Undang No. 15 tahun 1969 tentang Pemilu; Undang No.16 tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD; Undang-Undang No. 3 tahun 1967 tentang Dewan Pertimbangan Agung, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 4 tahun 1978; Undang-Undang No. 5 tahun 1973 tentang Susunan dan Kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan; dan Undang-Undang N0. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan–ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menjadi landasan kerja bagi Mahkamah Agung dan Badan-badan Peradilan lainnya. Undang-Undang Dasar 1945 kurun waktu 1998 sampai dengan sekarang (masa Reformasi). Dalam proses reformasi hukum dewasa ini, banyak yang melontarkan ide untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Amandemen tidak dimaksudkan untuk mengganti sama sekali UUD 1945, tetapi hanya merupakan suatu proses penyempurnaan terhadap UUD 1945 tanpa dengan serta-merta mengubah UUD itu sendiri. Amandemen lebih merupakan perlengkapan dan rincian yang dijadikan lampiran otentik bagi UUD tersebut. Dengan sendirinya amandemen DIBUAT dengan melakukan berbagai perubahan pada pasal DAN memberikan tambahan-tambahan (Kaelan, 2003: 177; Mahfud, 199: 64). Ide tentang amandemen terhadap UUD 1945 tersebut didasarkan pada suatu kenyataan sejarah, bahwa selama masa Orde Lama dan Orde Baru, penerapan terhadap pasal-pasal UUD telah menumbuhkan sentralisasi kekuasaan, terutama pada Presiden. Orde Baru berupaya untuk melestarikan UUD 1945 bahkan memperlakukannya seakanakan bersifat keramat sehingga tidak boleh diganggu gugat. Demikianlah, tidak ada sistem kekuasaan dengan “checks and balances”, terutama terhadap kekuasaan eksekutif. Bagi bangsa Indonesia, proses reformasi terhadap UUD 1945 merupakan suatu keharusan karena hal itu akan mengantar bangsa Indonesia ke arah tahapan baru penataan ketatanegaraan. Amandemen pertama terhadap UUD 1945 dilakukan pada tahun 1999 berupa, dilakukan dengan memberikan tambahan dan perubahan terhadap pasal 9 UUD 1945. Kemudian, secara berturut-turut, amandemen kedua dilakukan pada tahun 2000, amandemen ketiga pada tahun 2001, dan amandemen terakhir pada tahun 2002 yang disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Demikianlah bangsa Indonesia memasuki suatu babak baru dalam kehidupan ketatanegaraan yang diharapkan membawa ke arah perbaikan tingkat kehidupan rakyat. UUD 1945 hasil amandemen 2002 dirumuskan dengan melibatkan sebanyak-banyaknya partisipasi rakyat dalam mengambil keputusan politik, sehingga diharapkan sturuktur kelembagaan negara yang lebih demokratis ini akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan ditetapkannya perubahan UndangUndang Dasar, maka Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 terdiri atas pembukaan dan pasal-pasalnya (Tiga UUD Republik Indonesia, 2006: 196). 7.3 REFORMASI Pada tahun 1997 bangsa Indonesia dilanda krisis, bukan hanya krisis di bidang ekonomi dan moneter, melainkan juga krisis di bidang politik. Krisis tersebut yang semula dipicu oleh ketidakmampuan pemerintah mengatasi gejolak moneter, membawa implikasi politik yang besar yaitu krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Dalam keadaan itu muncul desakan agar krisis di bidang ekonomi dan moneter segera diatasi. Selain itu juga muncul desakan agar segera dilaksanakan reformasi menyeluruh, terutama di bidang politik, ekonomi, dan hukum. Sidang Umum MPR pada bulan Maret 1998 antara lain memilih dan mengangkat H.M. Soeharto sebagai Presiden RI untuk ketujuh kalinya berdasarkan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1998 dan B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden berdasarkan Ketetapan MPR No. VI/MPR/1998. Krisis moneter tersebut oleh para pakar diperkirakan akan berlangsung 2-3 tahun lagi. Demonstrasi mahasiswa makin marak dan mulai diikuti oleh dosen dan cendekiawan lain. Di tengah maraknya tuntutan reformasi, pada tanggal 1 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundang Pimpinan DPR, Pimpinan Fraksi-fraksi di DPR, dan Pimpinan ketiga organisasi sosial politik untuk membahas perkembangan situasi. Pertemuan tersebut tidak mendapat tanggapan yang berarti dari para mahasiswa. Mahasiswa menegaskan agar dilaksanakan reformasi politik. Selain mahasiswa, unjuk rasa juga dilakukan oleh masyarakat umum. Di tengah kesulitan ekonomi, pada tanggal 4 Mei 1998 pemerintah mengeluarkan keputusan yaitu kenaikan harga bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik melalui Keputusan Presiden No. 69 dan 70 tahun 1998. Kebijakan tersebut mendapat tanggapan serius dari Komisi V DPR yang kemudian meminta pemerintah membatalkannya. Pemerintah dituding tidak memikirkan beban berat rakyat akibat krisis moneter. Aksi mahasiswa di sejumlah kota besar semakin berani dengan turun ke jalan. Pada tanggal 12 Mei 1998 petang, empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas ditembak petugas dari jembatan layang di luar kampus. Peristiwa bentrokan bermula ketika para mahasiswa menolak permintaan petugas keamanan agar masuk ke areal kampus sekitar pukul 6 sore. Aparat keamanan tidak sabar lagi dengan tindakan persuasif, serentak melakukan tindakan pembubaran aksi mimbar bebas dan aksi duduk. Bentrokan fisik tidak dapat dihindarkan. Sebagian mahasiswa lari menyelamatkan diri, sebagian yang lain berusaha melawan petugas dengan melemparkan batu. Esok harinya, tanggal 13-14 Mei 1998, terjadi huru-hara, pembakaran toko-toko dan penjarahan di wilayah Jakarta, Tangerang, dan daerah lainnya yang memakan korban meninggal dan kerugian harta benda yang sangat besar. Akibat peristiwa Trisakti dan kerusuhan massal pada tanggal 13-14 Mei 1998, muncul tuntutan rakyat agar MPR segera menyelenggarakan sidang istimewa dengan meminta pertanggungjawaban presiden atau pengunduran diri secara konstitusional. Para mahasiswa semakin gencar melakukan aksi menuntut diadakannya reformasi menyeluruh, termasuk pergantian kepemimpinan nasional. Para tokoh kritis yang berdiri di belakang mahasiswa mendesak penyelenggaraan Sidang Istimewa MPR untuk meminta pertanggungjawaban Presiden/Mandataris MPR atas krisis nasional yang menimpa bangsa Indonesia. Dalam pertemuan dengan Presiden tanggal 16 Mei 1998, Pimpinan DPR menyampaikan aspirasi masyarakat agar Pemerintah mengadakan reformasi total Presiden mengundurkan diri, dan Sidang Istimewa MPR diadakan. Kemudian, setelah mengadakan konsultasi dengan fraksi-fraksi, pada tanggal 18 Mei 1998 Pimpinan DPR membuat pernyataan. Ketua DPR Harmoko yang didampingi oleh empat orang wakilnya, yaitu Syarwan Hamid, Abdul Gafur, Ismail Hasan Metareum, dan Fatimah Akhmad, menyatakan agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri demi persatuan dan kesatuan bangsa. Pada tanggal 19 Mei 1998 Presiden Suharto menyatakan menolak permintaan tersebut. Presiden, sebagai Mandataris MPR menyatakan akan melaksanakan dan memimpin reformasi nasional secepatnya. Untuk itu Presiden akan membentuk Komite Reformasi dengan tugas untuk segera menyelesaikan Undang-Undang Pemilu, UndangUndang Kepartaian, Undang-Undang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, Undang-Undang Anti-Monopoli, Undang-Undang Anti-Korupsi, dan lain-lain sesuai keinginan masyarakat. Pemilu akan dilaksanakan secepatnya berdasarkan UndangUndang Pemilu yang baru. Sidang Umum MPR hasil pemilu tersebut akan menetapkan GBHN, memilih Presiden dan Wakil Presiden, dan ketetapan-ketetapan MPR lainnya. Presiden menyatakan bahwa ia tidak bersedia lagi dicalonkan sebagai Presiden dan akan segera mengadakan reshuffle kabinet Pembangunan VII yang dinamakan Kabinet Reformasi.Gagasan Presiden itu tidak mendapat tanggapan positif dari mahasiswa dan kelompok kritis. Gedung MPR/DPR dibanjiri oleh ribuan mahasiswa yang menuntut reformasi secara menyeluruh dan mendesak agar diselenggarakan Sidang Istimewa MPR. Selain itu mahasiswa minta agar presiden mundur. Pada tanggal 21 Mei 1998 pagi, bertempat di Istana Merdeka, di hadapan Pimpinan DPR yang juga merupakan Pimpinan MPR, Presiden Suharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI. Ini dilakukan karena rencananya untuk membentuk Komite Reformasi tidak terwujud. Dalam keadaan seperti itu baginya sangat sulit untuk menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan setelah memperhatikan pandangan Pimpinan DPR dan Pimpinan Fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, ia memutuskan untuk berhenti sebagai Presiden RI terhitung sejak dibacakan pernyataan itu pada tanggal 21 Mei 1998. Kemudian, sesuai dengan Pasal 8 UUD 1945, Wakil Presiden B.J. Habibie melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden/Mandataris MPR 19982003. Mulai hari itu Kabinet Pembangunan VII demisioner. Untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, maka B.J. Habibie mengucapkan sumpah jabatan Presiden di hadapan Mahkamah Agung RI setelah Presiden Suharto mengumumkan pernyataan berhenti. Namun, gerakan reformasi belum selesai. Para pengunjuk rasa tetap menuntut diadakannya reformasi secara menyeluruh serta pemberantasan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dalam pertemuan konsultasi antara Presiden B.J. Habibie dengan pimpinan DPR beserta pimpinan fraksi-fraksi di DPR tanggal 28 Mei 1998 disepakati untuk mempercepat pemilu dan Sidang Istimewa MPR. Dalam rapat Paripurna tanggal 29 Juni 1998 DPR secara resmi meminta MPR untuk melaksanakan Sidang Istimewa MPR. Sidang Istimewa MPR dilaksanakan mulai tanggal 10 Nopember 1998; diharapkan bahwa semangat hari pahlawan dapat menjiwai sidang. Beberapa ketetapan MPR dihasilkan, antara lain Ketetapan MPR No. VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum dan Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang pencabutan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). MPR hasil Pemilu tahun itu mengadakan amandemen terhadap UUD 1945. 7.4 AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Sebelum diuraikan tentang amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945, perlu dipaparkan terlebih dahulu tentang kapan dan bagaimana Pasal 37 dibahas dan ditetapkan. Pasal tersebut, yang masuk dalam Bab XVI tentang Perubahan UUD, baru dibicarakan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada rapat hari pertama tanggal 18 Agustus 1945, tetapi dalam Rancangan UUD yang dibuat oleh BPUPKI tidak tercantum pasal tentang Perubahan UUD. Pada rapat hari pertama itu, anggota Iwa Kusuma Sumantri mengusulkan agar ada pasal tentang perubahan undangundang dasar. Menanggapi usul itu, Ketua PPKI Soekarno mempersilakan Prof. Supomo berbicara. Menurut Supomo, memang harus ada Bab XVI tentang perubahan undang-undang dasar. Ia mengusulkan sebuah pasal baru dengan dua ayat. Ayat (1) berbunyi, “Untuk mengubah undang-undang dasar, sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir dalam persidangan.” Ayat (2), “Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota yang hadir”. Dalam pembahasan pasal tersebut, anggota Ahmad Subardjo menyetujui kalimat pertama, tetapi keberatan terhadap kalimat kedua dengan alasan hal itu akan menjadi diktator dalam praktik kalau disebutkan dengan suara 2/3. Ia mengusulkan “dengan suara terbanyak saja”, karena dengan adanya keinginan untuk mengubah itu sudah ada jaminan yang baik. Setelah Supomo memberi penjelasan dan kemudian diadakan pungutan suara, maka 16 orang anggota PPKI setuju dengan usul Supomo. Dengan demikian kalimat kedua berbunyi, “Putusan diambil dengan persetujuan sekurangkurangnya 2/3 daripada anggota yang hadir”. Ketika menutup pembicaraan Pasal 37 Ketua berkata, “Tuan-tuan, inilah bab pengunci dan pasal pengunci daripada undangundang dasar” Bunyi selengkapnya tentang Pasal 37, adalah sebagai berikut. “(1) Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir. (2) Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yang hadir”. Selesai membahas Pembukaan Undang-Undang Dasar, sebelum membahas pasal-pasal UUD, Ketua PPKI Soekarno mengatakan, “…Tuan-tuan semuanya tentu mengerti bahwa undang-undang dasar yang kita buat sekarang ini adalah undangundang dasar kilat. … Tuan-tuan nanti mengerti, ini sekadar undang-undang dasar sementara, undang-undang dasar kilat, bahkan, barangkalai boleh dikatakan, inilah revolute-grondwet. Nanti kita membuat undang-undang dasar yang lebih sempurna dan lengkap…” Setelah UUD 1945 disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, undang-undang dasar tersebut berlaku di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Akan tetapi ketika negara Republik Indonesia berbentuk federal sejak tanggal 27 Desember 1949 hingga 17 Agustus 1950, UUD 1945 hanya berlaku; di wilayah negara Repubulik Indonesia yang merupakan negara bagian dari Republik Indonesia Serikat. Mulai 17 Agustus 1950 hingga 5 Juli 1959 UUD 1945 tidak berlaku, yang berlaku adalah UUDS 1950. Baru mulai 5 Juli 1959 setelah keluar Dekrit Presiden, UUD 1945 berlaku kembali di seluruh wilayah negara RI. Pada masa revolusi, Pasal 37 (Perubahan UUD) belum digunakan, demikian pula pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966). Melihat bahwa pemerintah pada masa Demokrasi Terpimpin telah melakukan penyelewengan dalam melaksanakan UUD 1945, maka Pemerintah Orde Baru menyatakan tekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Pada masa Orde Baru UUD 1945 disakralkan. Pembicaraan tentang amandemen terhadap pasal-pasal UUD 1945 merupakan hal yang tabu. Perubahan terhadap UUD 1945 menjadi makin sulit bahkan terhalang setelah MPR pada tahun 1983 mengeluarkan ketetapan tentang Referendum (Tap No. IV/MPR/1983). Dalam ketetapan tersebut dinyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadapnya serta akan melaksanakan secara murni dan konsekuen (Pasal 1). Jika MPR berkehendak untuk merubah UUD 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum (Pasal 2). Referendum dilaksanakan oleh Presiden/Mandataris MPR yang diatur dengan undang-undang. Pada masa reformasi UUD 1945 tidak lagi disakralkan. Wacana tentang UUD tersebut terbuka lebar. Ide tentang amandemen terhadap UUD 1945 didasarkan pada suatu kenyataan sejarah selama masa Orde Lama dan Orde Baru, bahwa penerapan terhadap pasal-pasal UUD 1945 adanya sentralisasi kekuasaan terutama kepada Presiden. Oleh karena latar belakang politik inilah maka masa Orde Baru berupaya untuk melestarikan UUD 1945. Menurut Deliar Noer, dua puluh lima dari tiga puluh tujuh pasal UUD 1945 interpretatif, sehingga perlu penyempurnaan. Kemudian, berdasarkan pemikiran-pemikiran lain dan dengan runtuhnya rezim Orde Baru, pada era reformasi gagasan untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945 semakin kuat. UUD 1945 tidak lagi disakralkan (Estiko, 201: 3). Beberapa partai politik mencantukan amandemen terhadap UUD 1945 sebagai program partai. Hasil penelitian oleh Lembaga Kajian dan Praksis Demokrasi ITB menunjukkan bahwa di antara 48 partai politik sebanyak 38 partai politik menyatakan mendukung dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945. Partai yang mempunyai komitment tinggi untuk melakukan amandemen adalah Partai Persatuan Pembangunan, Partai Bulan Bintang, dan Partai Amanat Nasional. (Basroni, 2000:112). Sebelum melakukan amandemen, MPR dalam Sidang Istimewa tahun 1998 terlebih dahulu mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum. Dengan dicabutnya ketetapan tersebut MPR tidak perlu lagi minta pendapat rakyat untuk mengubah UUD 1945. Sidang Istimewa tersebut juga membuat ketetapan (Ketetapan MPR No. XIII/MPR/1998) tentang pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI. Pasal 1 ketetapan tersebut berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden RI memangku jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan (Sekretariat Jenderal MPR, 2002: 1348). MPR RI melakukan perubahan terhadap UUD 1945 dengan cara yang sama seperti amandemen terhadap UUD Amerika Serikat. Artinya, pasal-pasal dari UUD yang lama tetap tertulis, hanya saja sudah tidak berlaku lagi. Sedangkan pasal-pasal amandemennya ditempatkan di akhir UUD seperti sebagai tambahan/lampiran. Dalam tambahan atau lampiran itu dituliskan “Perubahan Pertama UUD Negara RI Tahun 1945” yang diikuti pasal-pasal perubahannya; selanjutnya, “Perubahan Kedua UUD Negara RI Tahun 19945” diikuti pasal-pasal perubahannya; “Perubahan Ketiga UUD Negara RI Tahun 1945” diikuti pasal-pasal perubahannya; akhirnya, “Perubahan Keempat UUD Negara RI Tahun 1945” pasal-pasal perubahannya. Amandemen atau perubahan terhadap UUD 1945 dilakukan oleh MPR sebanyak empat kali: pertama dalam Sidang Umum MPR Tahun 1999, kedua dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2000, ketiga dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2001, dan keempat dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002. Perubahan pertama UUD 1945, MPR RI mengubah Pasal 5 Ayat (1); Pasal 7; Pasal 9; Pasal 13 Ayat (2); Pasal 14; Pasal 15; Pasal 17 Ayat (2) dan (3); Pasal 20, dan Pasal 21. Perubahan kedua UUD 1945, MPR RI mengubah dan/atau menambah Pasal 18; Pasal 18A; Pasal 18B; Pasal 19; Pasal 20 Ayat (5); Pasal 20A; Pasal 22A; Pasal 22B; Bab IXA, Pasal 25E; Bab X, Pasal 26 Ayat (2), dan Ayat (3); Pasal 27 Ayat (3); Bab XA, Pasal 28A; Pasal 28B; Pasal 28C; Pasal 28D; Pasal 28E; Pasal 28F; Pasal 28G; Pasal 28H; Pasal 28I; Pasal 28J; Bab XII, Pasal 30; Bab XV, Pasal 36A; Pasal 36B; dan Pasal 36C. Perubahan ketiga UUD 1945, MPR RI mengubah dan/atau menambah Pasal 1 Ayat (2) dan (3); Pasal 3 Ayat (1), (3), dan (4); Pasal 6 Ayat (1) dan (2); Pasal 6A Ayat (1), (2), (3), dan (5); Pasal 7A; Pasal 7B Ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7); Pasal 7C; Pasal 8 Ayat (1) dan (2); Pasal 11 Ayat (2) dan (3); Pasal 17 Ayat (4); Bab VIIA, Pasal 22C Ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 22D Ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab VIIB, Pasal 22E Ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6); Pasal 23 Ayat (1), (2), dan (3); Pasal 23A; Pasal 23C; Bab VIIIA, Pasal 23E Ayat (1), (2), dan (3); Pasal 23F Ayat (1) dan (2); Pasal 23G Ayat (1) dan (2); Pasal 24 Ayat (1) dan (2); Pasal 24A Ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Pasal 24B Ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 24C Ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6). Perubahan keempat UUD 1945, MPR RI menetapkan hal-hal berikut: (a) UUD Negara RI Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga, dan perubahan keempat ini ialah UUD Negara RI Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh DPR; (b) Penambahan bagian akhir pada Perubahan Kedua UUD Negara RI Tahun 1945 dengan kalimat, “Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna MPR RI ke9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan MPR RI dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan; (c) Pengubahan penomoran Pasal 3 Ayat (3) dan Ayat (4) Perubahan Ketiga UUD Negara RI Tahun 1945 menjadi Pasal 3 Ayat (2) dan Ayat (3); Pasal 25E Perubahan Kedua UUD Negara RI tahun 1945 menjadi Pasal 25A; (d) Penghapusan judul Bab IV tentang Dewan Pertimbangan Agung dan pengubahan substansi Pasal 16 serta penempatannya ke dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintrahan Negara; (e) Pengubahan dan/atau penambahan Pasal 2 Ayat (1); Pasal 6A Ayat (4); Pasal 8 Ayat (3); Pasal 11 Ayat (1); Pasal 16; Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 Ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (4), dan Ayat (5); Pasal 32 Ayat (1), Ayat (2); Bab XIV, Pasal 33 Ayat (4) dan Ayat (5); Pasal 34 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4); Pasal 37 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4), dan Ayat (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, III; Aturan Tambahan Pasal I dan II. Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar 1945, maka UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasalnya (Tiga UUD Republik Indonesia, 2006:196). PENUTUP Sebagai kesimpulan dari Buku Ajar I ini ialah bahwa pemahaman tentang filsafat sangat penting bagi pemahaman yang lebih lanjut, yaitu Pancasila. Filsafat menjadi akar dan landasan dalam kegiatan orang untuk mencari pengetahuan, baik pengetahuan sehari-hari maupun pengetahuan ilmiah. Dimulai dengan berpikir tepat melalui belajar logika, orang atau siapa pun diajak mengenal, mempelajari, dan mempraktikkan bagaimana proses penalaran manusia itu dan mengekspresikannya ke dalam berbagai ujaran manusia. Tentu saja yang diminta adalah penalaran yang tepat dan lurus, artinya kaidah dalam logika ditaati dengan benar. Penalaran yang tepat dan benar membuahkan sikap yang kritis dalam pemahaman manusia untuk mengenal berbagai fenomena di sekitarnya. Untuk itulah pengenalan berbagai fenomena tersebut diarahkan dengan belajar filsafat sebagai suatu ilmu. Belajar tentang objek materi dan objek forma, serta metode dalam filsafat merupakan awal upaya seseorang untuk bersifat kritis. Pengetahuan tentang bagaimana tiga tema filsafat, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi, sangat berguna dalam penelusuran secara kritis bagi seseorang untuk mempelajari berbagai fenomena di sekitarnya dan mengembangkannya dalam penalaran kritis yang lebih lanjut. Filsafat ilmu menekankan context of justification dan context of discovery, sisi teoretis dan praksis dari kegiatan ilmiah. Seorang ilmuwan dituntut berpijak pada kebenaran, baik secara teoretis maupun praktis. Melalui tanggung jawab sebagai seorang ilmuwan atau calon ilmuwan, perilaku baik dan jujur ditampilkan dalam kegiatan ilmiahnya Etika mengajak kita untuk menyadari bahwa perilaku baik dan buruk seseorang timbul karena berbagai pertimbangan yang mengharuskan kita lebih arif dan bijaksana tentang hal itu. Melalui pertimbangan yang melihat peran suara hati, kebebasan dan tanggung jawab, serta hak dan kewajiban seseorang, diharapkan ia dapat berperilaku etis dan memiliki kaidah moral yang baik, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Belajar tentang ideologi akan mengarahkan tujuan hidup seseorang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, ideologi juga memiliki beberapa fungsi lain yang tak kalah pentingnya. Fungsi yang perlu ditekankan di sini adalah sebagai pembentuk identitas bangsa karena ideologi memiliki kecenderungan untuk memisahkan ingroup (kita) dari outgroup (mereka). Oleh sebab itu ideologi berfungsi untuk mempersatukan. Apabila kita bandingkan dengan agama, agama berfungsi juga mempersatukan orang dari berbagai pandangan hidup, bahkan dari berbagai ideologi. Sebaliknya, ideologi mempersatukan orang dari berbagai agama. Oleh karena itu pula, ideologi juga berfungsi untuk mengatasi berbagai konflik atau ketegangan sosial. Di sini, ideologi mampu berfungsi sebagai “solidarity making” dengan mengangkat berbagai perbedaan ke dalam tatanan yang lebih tinggi. Pemahaman Pancasila secara kritis berarti memahaminya dengan landasan filosofis dan berpikir yang tepat. Untuk itulah pendekatan secara kritis dan logis dan kritik ideologi menjadi sarana utama dalam mempelajari Pancasila. Pancasila hendaknya dilihat sebagai suatu realitas, suatu kenyataan yang berasal dari warisan pemikiran bangsa lndonesia di masa lalu. Sebagai suatu kenyataan yang dapat dijabarkan melalui butir-butirnya, maka butir-butir itu memiliki substansi dan esensi. Pendekatan secara logika membawa kita kepada pemahaman bahwa masing-masing butir tersebut memiliki hubungan yang logis, keteraturan yang sistematis, dan terkait erat dengan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Sedang pendekatan secara etis mengajak kita untuk memahami bahwa di dalam Pancasila terdapat kaidah moral berupa ajaran untuk berperilaku baik dalam pengamalannya. Selain itu, Pancasila juga harus dilihat sebagai sebuah ideologi yang memiliki ajaran atau ide dengan tujuan tertentu atau perubahan yang menyertakan kesejahteraan bagi rakyat. Oleh karena itu Pancasila juga memiliki sifat sebagai ideologi terbuka bagi pembaharuan, bahkan ideologi yang lain, sejauh itu tidak bertentangan dengan Pancasila. Perilaku etis dapat dihadirkan tidak saja dalam kegiatan ilmiah tetapi juga ketika seseorang menjadi warga negara Indonesia. Warga negara yang baik itulah yang ingin dicapai dan itu dapat terwujud apabila kita menghargai dan memahami Pancasila dengan kritis dan arif. Sebagai penutup, Buku Ajar I Logika, Filsafat Ilmu, dan Pancasila menjadi bekal dan fondasi bagi mahasiswa untuk memahami berbagai materi dan substansi pada Buku Ajar II Manusia, Ahlak, Budi Pekerti, dan Masyarakat, serta Buku Ajar III, yaitu Bangsa, Negara, dan Lingkungan Hidup di Indonesia. Dengan demikian ketiga Buku Ajar tersebut saling berintegrasi dan menjadi kesatuan yang terpadu, logis dan sistematis dalam pengajaran MPKT PDPT. KATA-KATA PENTING 1. Aksiologi: ilmu pengetahuan yang membahas tentang nilai (value) dan norma yang berkenaan dengan kehidupan manusia. Aksiologi berkembang menjadi etika dan estetika. Etika lebih menitikberatkan pada nilai kebaikan yang ada pada perilaku manusia, sedang estetika membahas tentang pengalaman keindahan manusia yang diungkapkan melalui perasaan dan persepsinya terhadap karya seni, dan bangun. 2. Epistemologi: ilmu pengetahuan yang membahas tentang sumber, batas, dan kebenaran dari pengetahuan. Sebagai cabang dari ilmu filsafat, epistemologi juga berkembang, dan lahirlah bidang ilmu seperti metodologi, logika, dan filsafat ilmu. 3. Etika: cabang dari ilmu filsafat, dan merupakan ilmu pengetahuan yang membahas tentang prinsip baik dan buruk yang diterapkan pada perilaku seseorang atau masyarakat. 4. Etika Normatif: salah satu bentuk/jenis etika yang bertitik tolak pada normanorma atau aturan yang membatasi manusia dalam berperilaku, misalnya suara hati, prinsip kebebasan dan tanggungjawab, serta hak dan kewajiban. 5. Etika terapan: bentuk etika yang memiliki sifat praktis, dan dapat diterapkan dan berguna pada suatu situasi, keadaan, atau lembaga tertentu. Contoh etika terapan adalah etika profesi yang mengacu pada profesi tertentu, misalnya etika kedokteran, etika keperawatan, etika bisnis, dan etika lingkungan. 6. Filsafat: ilmu pengetahuan yang mencari hakekat tentang segala sesuatu dari realitas yang ada dan berlandaskan pada pemikiran yang bersifat rasional, kritis, sistematis, logis, metodis, dan koheren. 7. Filsafat Ilmu: ilmu pengetahuan yang membahas ciri dan proses atau cara kerja ilmiah secara kritis. Dalam proses kerja filsafat ilmu pengetahuan terdapat dua aspek, yaitu aspek justifikasi yang menekankan secara de jure kebenaran ilmiah dan aspek temuan (discovery) yang secara de facto berupa teknologi. 8. Ideologi: seperangkat ide yang menjadi basis tindakan politik yang terorganisir. Ada tiga ciri ideologi yakni: a) sebagai world view (pandangan hidup) masyarakat; b) sebagai model, visi, cita-cita tentang tatanan masyarakat yang baik di masa depan; dan c) sebagai pedoman bagi perubahan-perubahan politik yang seharusnya dilakukan. 9. Logika: ilmu tentang berpikir secara tepat. Mempelajari logika secara akademis memungkinkan seseorang untuk mengetahui metode-metode dan prinsip berpikir. Dengan dasar pengetahuan ini seseorang dituntut untuk terus menerus melatih dan mengasah akal budinya sehingga mampu membedakan pemikiran yang tepat dan teratur dari pemikiran yang sesat dan kacau. 10. Ontologi: ilmu pengetahuan yang membahas tentang keberadaan sesuatu secara nyata, faktual dan konkret. Sebagai cabang dari ilmu filsafat maka ontologi dalam perkembangannya memunculkan berbagai studi lain, seperti filsafat manusia, filsafat budaya, dan metafisika. 11. Pancasila: dasar negara bangsa Indonesia. Sebagai dasar negara bangsa, Pancasila dapat dikaji secara kritis. Ini berarti selain sebagai pandangan hidup, Pancasila dapat diteliti sebagai suatu wacana dan ideologi yang ditinjau dari berbagai aspek filsafat (mencari esensi dan substansi secara metafisis, kosmologis, logis, dan etis). 12. Revolusi Ilmu Pengetahuan: revolusi (perubahan) dalam cara berpikir manusia untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah yang berlandaskan pada perhitungan matematis dan aspek pragmatis (kegunaan), terjadi pada abad XVII di Eropa. Sejak itu lahirlah bentuk ilmu pengetahuan yang memiliki objek yang konkret (terlihat secara inderawi) dan terukur oleh perhitungan matematika, dan disebut sebagai ilmu pengetahan kealaman. Contoh ilmu pengetahuan kealaman adalah ilmu kedokteran, fisika, biologi, dan ilmu kimia. 13. Teori Koherensi: teori kebenaran yang melihat adanya persesuaian subjek dengan sesuatu yang dilihatnya dan dalam persesuaian tersebut muncul kesepakatan yang terjadi di antara subjek. 14. Teori Korespondensi: teori kebenaran yang berlandaskan pada persepsi seseorang (subjek) terhadap sesuatu yang dilihatnya. 15. Teori Pragmatis: teori kebenaran yang bertitik tolak pada kegunaan dari sesuatu yang diamati atau dikajinya. DAFTAR PUSTAKA Alfian, 1986. “Ideologi, Idealisme dan Integrasi Nasional” dalam Jurnal Prisma No. 8, Agustus 1986. Andrain, Charles F. 1992 Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial (Terjemahan Luqman Hakim). Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Ball, Terence dan Richard Dagger (ed.). 1995. Ideals and Ideologies (edisi ke-2). New York: Harper Collins Publishers Inc. Basroni, Amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Tesis, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2000. Bertens, K. 1979. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius. Bertens, K. 2001. Etika. Jakarta: Gramedia. Budianto, Irmayanti M. 2002. Realitas dan Objektivitas: Refleksi atas Cara Kerja Ilmiah, Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Copi, Irving M. 1976. Introduction to Logic. New York: The Mcmillan Company. Eagleton, Terry. 1991. Ideology. London: Verso. Eatwell, Roger dan Anthony Wright (ed.) 2003. Ideologi-Ideologi Politik Kontemporer (Terjemahan Marselus Ruben Payong). Jakarta: Penerbit Mediator. Ebenstein, Alan (dkk). 2000. Today’s isms (ed. ke-7). New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Guba, Egon G. (ed.). 1990. The Paradigma Dialog. Sage Publications. Hardiman, Fransisco Budi. 2003. Kritik Ideologi. Yogyakarta: Buku Baik. Hayes, Paul M. 1973. Fascism. London: George Allen & Unwin Ltd. Hayon, Y. P. 2005. Logika: Prinsip-prinsip Bernalar Tepat, Lurus, dan Teratur (Edisi revisi). Jakarta: ISTN. Heywood, Andrew. 1998. Political Ideologies (ed.ke-2). New York: Palgrave. Kaelan, M. S. 1999. Pendidikan Pancasila: Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta: Pradigma. Lakatos, Imre dan Alan Musgrave (ed.). 1989. Critism and the Growth of Knowledge. Cambridge: Cambridge University Press. Marbun, B.N.1983. Demokrasi Jerman, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan. Magnis-Suseno, Franz Magnis. 1982. Mengenal Pancasila: Pendekatan Melalui Etika Pancasila, Yogyakarta: Hanindita -------------. 1987. Mengenal Pancasila: Pendekatan Melalui Sejarah dan Pelaksanaannya, Yogyakarta: Hanindita --------------. 2001. Pemikiran Karl Marx. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Meliono, Irmayanti. 2002. Realitas dan Objektivitas: Refleksi atas Cara Kerja Ilmiah. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Notonagoro. 1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Jakarta: Pantjuran Tujuh Poespoprodjo. 1981. Logika, Ilmu Menalar, Bandung: Remaja Karya. Sastrapratedja, M. 1993. “Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Budaya”, dalam Pancasila sebagai Ideologi (Oetoyo Oesman dan Alfian (editor)), Jakarta: BP-7 Pusat. Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1992. “Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)”. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Vincent, Andrew. 1995. Modern Political Ideologies (ed. ke-2). Cambridge, Massachussettes: Blackwell Publishers Inc. *** TENTANG PENULIS Irmayanti Meliono adalah pengajar tetap Program Studi Filsafat FIB UI dan fasilitator PDPT UI – MPKT dan MPK Seni di lingkungan Universitas Indonesia. Latar belakang pendidikannya adalah S1 Filsafat, S2 Program Studi Antropologi Program Pascasarjana Universitas Indonesia (PPS UI) tahun 1992, dan S3 Filsafat di PPS UI tahun 1998. Saat ini menjabat Ketua Departemen Kewilayahan FIB UI. Y. P. Hayon adalah pengajar luar biasa pada Program Studi Filsafat FIB UI. Latar belakang pendidikannya adalah Sarjana Muda STF Lenaldo Flores tahun 1974, Sarjana Sastra (S1) UI tahun 1987 dan Magister Humaniora (S2) FSUI pada Program Studi Filsafat tahun 1997. Ita Syamtasiah adalah pengajar tetap Program Studi Sejarah FIB UI dan fasilitator PDPT UI – MPKT di lingkungan Universitas Indonesia. Latar belakang pendidikannya adalah S1 Sejarah FSUI tahun 1984, dan Magister Humaniora (S2) di Program Studi Sejarah PPS FIB UI tahun 1992, dan doktor (S3) dengan konsentrasi Sejarah Peradaban Islam di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Agnes Sri Poerbasari adalah fasilitator PDPT UI – MPKT di lingkungan Universitas Indonesia. Latar belakang pendidikannya adalah S1 jurusan Hubungan Internasional di FISIP Universitas Airlangga, dan S2 di Program Studi Kajian Wilayah Amerika, Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Suharto adalah pengajar tetap Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Latar belakang pendidikannya adalah S1 Jurusan Sejarah FSUI tahun 1972, S2 di UGM tahun 1993 dengan tesis berjudul Pagoeyoeban Pasoendan 1927-1942: Profil Pergerakan Etnonasionalis. Doktor ilmu sejarah (S3) diperolehnya di UI pada tahun 2001 dengan disertasi berjudul Banten Masa Revolusi 1945—1949: Proses Integrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.