1 MAKALAH KOLOKIUM Nama Pemrasaran/NIM Departemen Pembahas 1 Dosen Pembimbing/NIP Judul Rencana Penelitian : : : : : Tanggal dan Waktu : Farhatul Hanifah Amalia/I34100062 Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Ratu Anna Rufaida/ I34100093 Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS.DEA/19591114 198811 2 00 1 Persepsi Masyarakat Tentang Kemitraan PIR dan Hubungannya dengan Potensi Konflik di Desa Mukut, Sumatera Selatan 21 Maret 2011, 09.00-10.00 WIB 1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Indonesia sedang mengembangkan sektor perkebunan, karena sektor ini menyumbang devisa negara terbesar. Pada tahun 2013 perolehan ekspor perkebunan mencapai 21,4 miliar dolar Amerika. Perolehan ekspor subsektor perkebunan paling besar didapat dari komoditas kelapa sawit (11,5 miliar dolar AS), diikuti karet, kakao, dan kopi sebagaimana pernyataan Gamal Nasir, Dirjen Perkebunan Kementrian Pertanian kepada Antaranews. (Subagyo, 2014). Hal ini menjadikan komoditas kelapa sawit dinilai dapat mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Berkembangnya sektor perkebunan juga dapat ditandai dengan laju pertambahan luas lahan perkebunan yang kembali meningkat, setelah sempat mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan data Direktorat Jendral Perkebunan (2012), laju pertambahan luas lahan perkebunan antara tahun 2011 dan 2012 untuk perkebunan teh sebesar 0,29%, kopi 0,02%, tebu 2,06%, kelapa sawit 0,91% dan tembakau 9,18%. Perkembangan yang terjadi di sektor perkebunan tak hanya memberi dampak positif. Bahkan pertambahan luas lahan perkebunan yang terjadi memberikan dampak negatif. Seperti ungkapan Eric Wolf dalam Afandi (2013). “ ...di manapun perkebunan itu timbul atau diimpor dari luar, maka ia selalu merusak norma-norma budaya yang telah ada sebelumnya dan menetapkan ketentuan-ketentuannya sendiri, kadang-kadang dengan cara menbujuk, kadangkadang dengan paksaan, tetapi selalu berada dalam konflik-konflik dengan ketentuan-ketentuan budaya yang dilanda olehnya...” (Eric Wolf dalam Afandi, 2013:63). Dengan demikian, di perkebunan Indonesia seringkali terjadi konflik-konflik yang melibatkan paksaan dalam pengambilan lahan dari masyarakat lokal. Lahan-lahan yang sebelumnya dikelola oleh masyarakat kemudian berpindah hak ke pihak perkebunan tanpa prosedur yang jelas. Seperti yang dinyatakan Pruitt dan Rubin (2011) secara singkat bahwa konflik adalah persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest). Selain permasalahan lahan, perkebunan di Indonesia juga memiliki masalah kemitraan. Salah satunya dalam kemitraan PIR yang bermula pada sekitar tahun 1977. Kemitraan PIR yang awalnya dicanangkan sebagai pengentas kemiskinan dan peningkat pendapatan negara masih memiliki ketimpangan. Khususnya ketimpangan antara perkebunan inti (perusahaan) dengan kebun plasma (masyarakat). Selain itu, terjadi pula pelanggaran perjanjian baik yang dilakukan perusahaan atau yang dilakukan oleh petani mitra. Adanya ketimpangan dan permasalahan yang terjadi di kemitraan PIR dapat menimbulkan potensi konflik. Catatan konflik sosial di Indonesia meningkat 23,7 persen di tahun 2013 dengan 153 kasus, sebagaimana ditulis dalam harian Tribunnews (Widianto, 2014). Beberapa konflik juga berhubungan dengan masalah agraria atau sumberdaya alam. Hal ini berkaitan dengan Indonesia sebagai negara agraris yang memiliki 39.959.073 penduduk yang bekerja di sektor pertanian, perkebunan, perhutanan, perburuan dan perikanan (BPS 2013). Jumlah konflik pada sektor ini 2 paling tinggi dibandingkan dengan jenis lapangan pekerjaan lainnya. Menurut data Direktorat Jendral Perkebunan (2013) terdapat sekitar 21 juta tenaga kerja di sektor perkebunan, sehingga tidak dapat dipungkiri sektor ini memiliki potensi konflik yang cukup tinggi. KPA (2012) mencatat terjadinya 198 konflik agraria di seluruh Indonesia dengan luas areal konflik mencapai lebih dari 963.411,2 hektar. Dari beberapa sektor agraria, sektor perkebunan memiliki catatan konflik terbanyak dengan 90 kasus atau 45% (KPA 2012). Salah satu wilayah yang beberapa tahun belakangan mengalami konflik sosial di sektor perkebunan adalah Sumatera Selatan. Wilayah ini memiliki kawasan perkebunan kelapa sawit yang cukup luas. Beberapa kawasan perkebunan Sumetera Selatan juga menjadi kawasan program transmigrasi, sehingga keberagaman penduduk yang ada dapat menambah peluang terjadinya konflik sosial. Hal ini didukung oleh data kepolisian setempat yang menyebutkan bahwa terdapat 43 potensi pemicu konflik (Idrus, 2012). Potensi konflik yang ada di sektor perkebunan dapat diidentifikasi dengan mengetahui persepsi masyarakat. Persepsi negatif yang mungkin timbul dapat mempengaruhi timbulnya konflik. Salah satu potensi konflik perkebunan terjadi dalam pola kemitraan PIR-BUN, maka dirasa penting pula untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap pola kemitraan tersebut. Setelah potensi-potensi konflik yang ada di sektor perkebunan dapat dikenali, maka dapat dimungkinkan adanya perbaikan dari pihak perkebunan dan dimungkinkan adanya pengelolaan konflik. Dengan mengetahui potensi konflik yang ada maka, konflik tidak mencapai eskalasi dan perluasan permasalahan dapat dihindari. 1.2. MASALAH PENELITIAN Berdasarkan penjabaran dalam latar belakang di atas, maka terdapat tiga pemasalahan yang akan dibahas dalam penelitian mengenai Analisis Potensi Konflik dalam Kemitraan Perkebunan Inti Rakyat, yaitu: 1. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap kemitraan PIR? 2. Bagaimana hubungan antara karakteristik petani dengan persepsi mereka tentang kemitraan PIR? 1.3. TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibentuk maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis potensi konflik yang ada di perkebunan kelapa sawit karena adanya kemitraan PIR-BUN. Kemudian tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui persepsi masyarakat terhadap kemitraan PIR 2. Mengetahui hubungan antara karakteristik petani dengan persepsi mereka tentang kemitraan PIR 1.4. KEGUNAAN PENELITIAN Diharapkan dengan adanya penelitian ini terdapat banyak manfaat bagi berbagai pihak seperti akademisi, pemerintah, dan masyarakat yang berkaitan dengan konflik sosial dan kemitraan perkebunan. Secara rinci kegunaan tersebut dijabarkan sebagai berikut: 1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah penelitian serta dapat dijadikan referensi atau literatur mengenai konflik sosial khususnya di kawasan perkebunan. Serta dapat membuka pengetahuan mengenai kemitraan dalam perkebunan. 2. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan dalam pembuatan kebijakan yang baik untuk berbagai pihak dan membantu dalam mengantisipasi terjadinya konflik sosial di kawasan perkebunan. 3. Bagi perusahaan, penelitian ini diharapakan dapat membuka wawasan perusahaan dalam melakukan kemitraan dengan masyarakat sehingga mengurangi timbulkan konflik sosial di kawasan perkebunan. Serta menjadikannya referensi untuk membuat kemitraan yang lebih baik dengan masyarakat. 4. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai konflik sosial di kawasan perkebunan serta wawasan mengenai kemitraan usaha perkebunan. 3 2. PENDEKATAN TEORETIS 2.1. TINJAUAN PUSTAKA Konsep Persepsi Persepsi secara langsung memiliki kaitan dengan penginderaan, psikologis manusia dan pribadi masing- masing individu. Persepsi adalah cara kita memandang sesuatu. Perasaan dan reaksi kita ditentukan oleh apa yang kita lihat. Secara umum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, persepsi diartikan sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu dan merupakan proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca indera. Persepsi mengandalkan panca indera untuk menerima input. Penginderaan merupakan proses yang mendahului terjadinya persepsi. Proses ini terjadi setiap saat, ketika stimulus yang berkaitan dengan diri kita diterima oleh alat indera. Hal ini juga berlaku dalam konsep persepsi sosial, karena persepsi sosial tergantung dari mata orang yang mengamati, bahkan stimulus yang sederhana dapat memberikan hasil yang berbeda pada dua orang (Myers 2012). Pengamat menjadikan panca inderanya sebagai input stimulus yang kemudian dimaknai dalam otak. Proses pemaknaan stimulus sehingga dapat dipahami pengamatlah yang kemudian disebut sebagai persepsi. Secara lebih spesifik Baron dan Bryne (2004) mengartikan persepsi sebagai suatu proses memilih, mengorganisasi dan menginterpretasi informasi yang dikumpulkan oleh pengertian seseorang dengan maksud untuk memahami dunia sekitar. Persepsi tidak hanya ditujukan pada objek yang berada di dalam individu yang mempersepsi, tetapi juga objek yang berada di luar diri yang mempersepsi. Objek persepsi yang berada di luar diri memiliki banyak macam, seperti benda-benda, manusia, serta situasi. Mulanya objek persepsi difokuskan kepada benda-benda mati yang kemudian disebut things perception. Seiring perkembangannya, persepsi tidak hanya ditujukan pada benda mati namun juga pada manusia. Persepsi terhadap manusia lebih dikenal sebagai persepsi sosial atau sosial perception. Dalam bukunya Baron dan Byrne (2004) menyebutkan bahwa persepsi sosial adalah proses yang kita gunakan untuk mencoba mengetahui dan memahami orang lain. Sedangkan Aronson et al (2005) menjelaskan pesepsi sosial sebagai berikut “social perception – the study of how we form impressions of other people and how we make inferences about them”. Berarti persepsi sosial adalah bagaimana cara kita membentuk kesan mengenai orang lain dan bagaimana kita membuat kesimpulan tentang mereka. Persepsi setiap individu terhadap orang lain dapat berbeda-beda. Perbedaan ini didasarkan pada bermacam-macam hal yang dapat mempengaruhi orang yang mempersepsikan. Proses menafsirkan juga dapat mempengaruhi persepsi orang terhadap kita. Bagaimana kita mengutarakan pendapat terhadap orang lain seringkali juga dapat menentukan persepsi orang lain terhadap kita. Budaya menjadi hal yang seringkali membentuk perbedaan dalam mempersepsi orang lain. Pembentukan kesan yang diterima juga dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap orang lain. Kesan pertama yang dilihat seseorang sangat pempengaruhi persepsi seseorang, walaupun kesan pertama ini tidak selalu konsisten. Semakin baik kita mengenal seseorang, semakin akurat kita membaca pikiran dan perasaannya (Myers, 2012). Intensitas komunikasi yang dilakukan akan sangat mempengaruhi kesan selanjutnya sehingga persepsipun dapat ikut berubah. Hal ini berarti, Intensitas komunikasi mempengaruhi bagaimana kita mempersepsikan orang lain. Selain itu, aspek atribusi mempengaruhi pembentukan persepsi terhadap orang lain. Atribusi adalah suatu proses mengidentifikasi penyebab-penyebab perilaku orang lain dan kemudian mengerti tentang sifat-sifat trait yang menetap dan disposisinya (Baron dan Byrne 2004). Seseorang cenderung membentuk kesan tentang orang lain dengan cepat, berdasarkan informasi minimal dan kemudian menyebut ciri-ciri umum dari orang lain (Taylor et al, 2009). Informasi minimal yang didapat pemersepsi dapat diperolehnya dari bahasa non-verbal orang yang dipersepsi. Informasi juga bisa didapat dari pengalaman-pengalaman orang lain terhadap orang yang dipersepsi. Perbedaan pengalaman pribadi yang diterima, dapat mengarah pada 4 perbedaan pendapat dalam mempersepsikan. Oleh karena itu, pengetahuan dan pengalaman seseorang terhadap orang yang dipersepsi dapat sangat mempengaruhi pembentukan persepsi. Tujuan dan perasaan kita terhadap orang lain juga memengaruhi pandangan kita tentang informasi yang kita kumpulkan mengenai orang lain. Tipe kesan tentang orang lain juga akan bergantung pada jenis interaksi yang akan dilakukan dengan individu target (Taylor et al, 2009). Jika informasi yang didapat ambigu, maka seringkali hal tersebut dapat pula menimbulkan konflik (Myers, 2012). Perkebunan dan Kemitraan PIR Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian RI No. 98 tahun 2013, perkebunan diartikan sebagai segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengola dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat. Sedangkan usaha perkebunan adalah usaha yang menghasilkan barang dan/atau jasa perkebunan. Pelaku usaha perkebunan dapat dibagi menjadi pekebun dan perusahaan perkebunan yang mengelola usaha perkebunan. Pengertian pekebun dalam Permentan (2013) adalah perorangan warga negara Indonesia yang melakukan usaha perkebunan dengan skala usaha tidak mencapai skala tertentu. Kemudian perusahaan perkebunan dalam pengertian Badan Pusat Statistik (2012) adalah suatu perusahaan berbentuk badan usaha/badan hukum yang bergerak dalam kegiatan budidaya tanaman perkebunan diatas lahan yang dikuasai, dengan tujuan ekonomi/komersial dan mendapat izin usaha dari instansi yang berwenang dalam pemberian izin usaha perkebunan. Sedangkan menurut Permentan (2013) perusahan perkebunan adalah badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang mengelola usaha perkebunan dengan skala tertentu. Usaha budidaya tanaman perkebunan diluar bentuk badan usaha, seperti yang diusahakan perorangan tanpa izin usaha atau diusahakan oleh rumah tangga petani tidak termasuk konsep ini dan biasanya disebut usaha perkebunan rakyat. Setiap perusahaan perkebunan memiliki beberapa kewajiban diantaranya untuk melakukan kemitraan dengan pekebun, karyawan dan masyarakat sekitar wilayah perkebunan. Kemudian perusahaan juga diwajibkan memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat bersamaan dengan pembangunan kebun perusahaan. Kewajiban ini harus dipenuhi perusahaan jika lahan IUP (Izin Usaha Perkebunan) yang diajukan memiliki luas 250 hektar atau lebih. Luasan perkebunan masyarakat yang perlu difasilitasi adalah 20% luasan IUP yang diajukan dan pembangunan kebun masyarakat diselesaikan paling lama dalam waktu tiga tahun. Kebun yang dibangun oleh perusahaan untuk rakyat ini kemudian dapat pula disebut sebagai kebun plasma, sedangkan kebun milik perusahaan merupakan kebun inti. Kebun plasma dalam pengertian BPS (2013) adalah kebun yang dibangun dan dikembangkan oleh perusahaan serta ditanami dengan tanaman perkebunan. Kebun ini ditanami dan dikelola oleh perusahaan, kemudian setelah mulai berproduksi dikonversi kepada petani rakyat. Korversi yang dimaksudkan adalah pengalihan kredit biaya pembangunan plasma dari atas nama pemerintah menjadi beban petani peserta. Kebun inti dibangun oleh perusahaan dilengkapi dengan fasilitas pengelolaan dan merupakan hak milik perusahaan perkebunan tersebut, perkebunan ini kemudian dipersiapkan menjadi pelaksana Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Perkebunan Inti Rakyat atau yang disingkat PIR sebelumnya disebut Nucleus Estate Smallholder (NES). Konsep PIR seperti ini sebenarnya bukan asli Indonesia, tetapi merupakan pola agribisnis modern yang dikembangkan di Amerika pada akhir abad ke- 19 ( Gunawan et al 1995 dalam Fadjar 2006). PIR dan NES memiliki makna yang sama, yaitu untuk mengintegrasikan secara formal struktur usaha perkebunan besar dengan perkebunan rakyat. Model PIR ini, mencoba menggabungkan kepentingan pekebun dengan perusahaan perkebunan. Dalam hal ini dinyatakan bahwa kebun milik petani/pekebun dibangun oleh perusahaan inti dengan dana kredit perbankan yang menjadi hutang petani. Tujuan diadakannnya kemitraan PIR ini adalah untuk mengangkat harkat hidup petani dan keluarganya dengan cara meningkatkan produksi dan mendapatkan usaha inti. 5 Setelah NES menjadi PIR, terdapat pembagian- pembagian sesuai dengan konteksnya yaitu PIR-Perkebunan, PIR-Transmigrasi dan PIR-Kredit Koperasi Primer. PIR-Perkebunan (PIRBUN) adalah pola pelaksanaan pembangunan perkebunan dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti yang membantu dan membimbing perkebunan rakyat di sekitarnya berupa plasma dalam suatu sistem kerjasama yang saling menguntungkan, utuh dan berkesinambungan. PIR- Transmigrasi (PIR-Trans) adalah pola pelaksanaan pembangunan perkebunan yang sama seperti PIR-BUN hanya saja dikaitkan dengan program transmigrasi. Sedangkan PIR-Kredit Kopersi Primer (PIR-KKPA) adalah pola PIR yang difasilitasi kredit kepada koperasi primer untuk anggota. Pola PIR-Trans dilkasanakan untuk menunjang keberhasilan program transmigrasi yang dilakasanakan pemerintah. Pada pola ini, pemerintah (dalam hal ini menteri transmigrasi) menyiapkan lahan pangan, pembangunan pemukiman dan pembinaan transmigrasi. Pola kemitraan PIR juga dijelaskan dalam UU No. 9 Tahun 1995 tentang usaha kecil pada pasal 27. Dalam UU ini pola inti plasma disebutkan sebagai hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar sebagai inti yang membina dan mengembangkan usaha kecil yang menjadi plasmanya melalui penyediaan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi, perolehan dan peningkatan teknologi yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha. Dari uraian tersebut, seharusnya pola kemitraan ini bersifat profit sharing (bagi hasil). Sistem bagi hasil ini ditandai dengan adanya pembagian hasil antara masyarakat (petani atau pekebun) dengan perusahaan perkebunan sebagai inti. Tetapi dengan berjalannya kemitraan ini, ditemukan pula beberapa ketimpangan. Salah satunya adalah timpangnya sharing system yang terjadi karena penerima kemitraan bukanlah petani miskin. Peserta penerima kemitraan PIR merupakan petani atau penduduk setempat yang sudah menikah dan terdaftar dalam daftar nomintif yang ditetapkan oleh SK Bupati, berdasarkan usulan dari desa dan kecamatan. Sebelum membuka kebun plasma perusahaan inti bersama dengan Dinas Perkebunan melakukan pendataan dan sosialisasi kebun plasma, serta melakukan pendaftaran calon petani peserta kebun plasma. Petani peserta memiliki hak-hak dalam kemitraan, yaitu: 1. Memperoleh lahan kebun lebih kurang 1,5-2 Ha 2. Menerima perumahan, lahan pekarangan dan lahan pangan sesuai pola pengembangan PIR-BUN 3. Memperoleh sertifikat tanah hak milik yang dikeluarkan oleh BPN yang sementara menjadi agunan kredit di Bank 4. Menerima penyuluhan, bimbingan, latihan usaha tani 5. Meperoleh jaminan penjualan hasil usaha tanaman pokok 6. Memanfaatkan fasilitas umum (sekolah, puskesmas, rumah ibadah dll). Selain hak-hak diatas petani juga memiliki beberapa kewajiban berkaitan dengan kemitraan PIR, yaitu: 1. Menandatangani perjanjian kerja dengan pemimpin proyek perkebunan inti rakyat. 2. Memelihara kebun dengan baik sesuai dengan petunjuk perusahaan inti/petugas penyuluh. 3. Memanfaatkan lahan pekarangan dengan baik. 4. Menjual seluruh hasil tanaman pokok dengan mutu yang baik kepada perusahaan inti sesuai dengan perjanjian produksi dan jual beli hasil kebun. 5. Mematuhi kewajiban pembayaran kembali hutang-hutannya sampai lunas dari hasil penjualan produksi petani kepada perusahaan inti sesuai akad kresit dengan Bank. 6. Menjadi anggota kelompok tani dan KUD. Konsep Konflik Mengacu dari pengertian konflik yang dikutip dari Webster, Pruitt dan Rubin (2011) menuliskan kembali bahwa konflik diartikan sebagai perkelahian, peperangan, atau perjuangan. Sedangkan pendapat Pruitt dan Rubin (2011) menyatakan secara singkat bahwa konflik adalah persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest). Dilihat dari wujud konflik yang terjadi, konflik dapat dibagi menjadi konflik laten, konflik mencuat dan konflik manifest (Musdalifah, 2006). Konflik laten berarti konflik masih dapat diredam atau dikendalikan sehingga 6 tidak terjadi bentrokan di dalamnya, sehingga potensi-potensi konflik tidak mencuat. Hal ini biasanya dikarenakan adanya pendekatan kekuasaan dan keamanan yang ketat. Masyarakat belum mendapat penyadaran bahwa konflik pertanahan telah terjadi di banyak tempat, sehingga masyarakat masih pasrah dengan keadaannya. Kemudian konflik mencuat biasanya terjadi setelah adanya penyadaran dari pihak-pihak ketiga seperti LSM. Setelah adanya penyadaran tersebut masyarakat berani bertindak dan menyatukan kelompoknya melawan perusahaan. Kemudian dengan adanya perlawan dan klaim atas lahan dari masyarakat, perusahaan akan melakukan perlawan yang bersifat agresif dan menciptakan konflik manifest. Konflik yang terjadi di perkebunan di Indonesia umumnya merupakan konflik sosial perebutan sumberdaya alam berupa lahan. Konflik perebutan lahan seperti ini disebabkan adanya perbedaan persepsi mengenai status lahan yang menjadi sengketa, baik menurut masyarakat sendiri atau pemerintah. Pada dasarnya konflik sumberdaya alam diartikan sebagai konflik sosial yang berpusat pada isu “claim” dan “reclaiming” pengusaan sumberdaya alam seperti tanah atau air sebagai pokok sengketa (Dharmawan, 2006). Konflik seperti ini kemudian dapat pula dikategorikan sebagai konflik agraria karena lahan atau tanah menjadi objek perebutan dalam konflik ini. Konflik di sektor perkebunan melibatkan beberapa pihak dan berlangsung antar kelompok. Seperti konflik antara organisasi formal yaitu perusahaan perkebunan dengan organisasi petani (masyarakat), sehingga konflik dikatakan sebagai konflik sosial. Secara umum dapat disebutkan bahwa konflik di sektor perkebunan berkaitan dengan sumberdaya alam, kepentingan pihak-pihak tertentu, dan asimetri peluang ekonomi yang dialami buruh perkebunan. Konflik-konflik ini bergantung kepada objek yang diperebutkan atau disengketakan. Adapula konflik yang bersifat horizontal dan yang bersifat vertikal tergantung kepada pihak yang menjadi lawan dalam konflik perkebunan tersebut. Berdasarkan subjek yang menjadi lawan, maka konflik dapat dikategorikan sebagai konflik vertikal. Apabila subjek yang dilawan oleh masyarakat merupakan pihak yang memiliki kelas yang lebih tinggi yaitu pemerintah atau perusahaan perkebunan sebagai pemilik modal. Perbedaan kepentingan antar pihak yang terlibat konflik juga menjadikan konflik sosial semakin rumit dalam kenyataannya. Kembali pada pengertian konflik menurut Puitt dan Rubin (2011) yaitu konflik adalah persepsi mengenai perbedaan kepentingan. Kepentingan berupa perasaan yang mendasar dan sentral dalam pikiran seseorang. Beberapa kepentingan juga mendasari kepentingan lainnya sehingga akan membentuk sikap, tujuan dan niat (Pruitt dan Rubin, 2011). Selain konflik vertikal, terjadi pula konflik yang berupa asimetri peluang ekonomi. Terdapat ketimpangan yang dirasakan oleh buruh perkebunan atas hasil atau fasilitas yang didapatkan. Misalnya pada konflik antar buruh yang berasal dari komunitas lokal dan buruh yang merupakan warga pendatang. Kasus ini juga terjadi dalam kawasan perkebunan PIR-BUN seperti yang dituliskan Fadjar (2006). Sumber konflik berupa ketimpangan karena peserta PIR-BUN yang berasal dari masyarakat lokal harus menyerahkan lahan mereka untuk dipakai sebagai areal perkebunan. Sedangkan masyarakat pendatang tidak perlu menyerahkan lahan. Kemudian adanya konflik internal dalam organisasi petani mungkin saja terjadi. Konflik ini merupakan konflik horizontal karena lawan konflik mereka adalah kaum dari kelas yang sama. Semakin lama konflik berkembang maka semakin banyak pihak yang terlibat dalam konflik. Jika awalnya konflik merupakan konflik laten, maka kemungkinan hanya dua aktor yang terlibat yaitu masyarakat dan pihak perkebunan. Tetapi, apabila konflik mengalami eskalasi dan berubah menjadi konflik terbuka, aktor bertambah dengan terlibatnya pihak lembaga swadaya masyarakat, pemerintah dan pihak militer atau kepolisian. Mengutip hasil modifikasi Dharmawan (2006) dari Bebbington (1997) terdapat tiga ruang di mana konflik sosial dapat terjadi yaitu “ruang kekuasaan negara”, “masyarakat sipil atau kolektivitas-sosial”, dan “sektor swasta” (lihat gambar 1). Ketiga ruang kekuasaan inilah yang menjadi aktor dalam setiap konflik yang ada di sektor perkebunan tersebut. Ketiga stakeholder ini saling terlibat, baik untuk saling mendukung atau saling saling melawan. Konflik dapat terjadi dalam setiap ruang kekuasaan atau bahkan melibatkan struktur antar ruangan. Konflik perebutan sumberdaya alam menurut HuMa dalam Widiyanto (2012) melibatkan sembilan pihak. Namun, jika disempitkan hanya pada konflik di sektor perkebunan dapat digolongkan sebagai berikut: a) Masyarakat Adat; b) Komunitas Lokal; c) Kelompok Petani; d) 7 Perkebunan Nusantara (PTPN); e) Perusahaan/Korporasi; f) Perusahaan Daerah; g) Instansi Lain. Masyarakat adat, komunitas lokal, dan kelompok petani seringkali menjadi pihak yang tertindas di mana lahan-lahan mereka dirampas oleh pihak-pihak perkebunan yang didukung oleh pemerintah. Masyarakat petani dan buruh akhirnya bersatu membentuk sebuah organisasi persatuan petani. Mereka bahkan bekerjasama dengan LSM dan penggiat advokasi pertanian. Pihak-pihak LSM terlibat sebagai aktor dalam konflik ketika konflik tersebut bukan lagi sebagi konflik laten, tapi telah mengalami eskalasi. Organisasi petani bekerjasama dengan LSM setelah itu mulai mengajukan tuntutan dan advokasi ke berbagai pihak dalam rangka mengembalikan hak lahan mereka. Saat inilah lembaga seperti pemerintah mulai terlibat, seperti pemerintah daerah hingga Badan pertanahan Nasional. Peraturan-peraturan dikeluarkan atas tuntutan kedua pihak yang bersengketa. Umumnya pemerintah lebih membela perusahaan karena mereka merupakan pemilik modal. Pihak perusahaan yang memiliki hak dan dilindungi pemerintah kemudian melibatakan aparat keamanan seperti, Polisi, Militer bahkan pemuda pancasila untuk melawan masyarakat. Masyarakat Sipil atau Kolektivitas Sosial “Ruang Kekuasan” dimana konflik sosial mungkin berlangsung Negara / Pemerintah Swasta/Badan Ekonomi berorientasi Profit Gambar 1 Tiga Ruang di mana Konflik Sosial Dapat Berlangsung Selain permasalahan lahan, konflik perkebunan juga terjadi diakibatkan hak-hak buruh yang dipekerjakan belum terpenuhi. Konflik disebabkan karena masyarakat yang menjadi buruh belum menerima hasil kerja mereka, kemudian pemilik kebun malah mendatangkan buruh dari luar daerah (Aprianto, 2009). Adapula konflik yang disebabkan pihak perkebunan yang kurang tepat waktu dalam membayar buruh dan tidak transparannya perkebunan dalam pembayaran . Hal seperti ini terjadi dalam kasus perkebunan yang memakai sistem inti plasma (PIR-BUN) yang umumnya perkebunan kelapa sawit. Ketimpangan demi ketimpangan terjadi dalam metode kemitraan perkebunan PIR-BUN. Dalam kerjasama yang dijalin, masyarakat atau petani yang menjadi buruh kurang diperhatikan kesejahteraannya. Terdapat tiga ketimpangan dalam kemitraan perkebunan metode PIR-BUN yang dikutip Fadjar (2006) yaitu; ketimpangan dalam struktur pemilikan asset, ketimpangan dalam hal persepsi dan konsepsi dan ketimpangan antara apa yang dikatakan dengan yang dilakukan. Ketimpangan tersebutlah yang menjadi sumber konflik yang muncul pada pola kemitraan usaha perkebunan. Terbentuknya kelompok pejuang atau strunggle group, terkadang malah semakin membuat konflik yang ada mengalami eskalasi. Sebagaimana mengutip penjelasan Pruitt dan Rubin sebagai berikut: “Ketika beberapa orang dengan kepentingan laten (tidak disadari) yang sama saling bercakap-cakap, maka kepentingan laten mereka sering kali muncul ke kesadaran. Setelah merasa yakin dengan pendirian masing-masing, mereka mungkin akan mulai mengembangkan aspirasi baru, yang dapat mengarah ke 8 konflik dengan orang lain yang kepentingannya bertentangan dengan aspirasi tersebut. ...” (Pruitt dan Rubin, 2011: 34). Hal ini disebabkan adanya kesamaan tujuan yang terjalin dalam kelompok-kelompok tersebut mengenai musuh yang sama. Konflik menjadi manifest setelah salah satu pihak melakukan tindakan agresif serta melakukan tindakan anarkis hingga bentrok fisik terjadi di antara kedua belah pihak (Musdalifah 2007). Hal ini dapat dijelaskan dengan adanya persepsi mengenai kekuasaan. Jika seseorang berhadapan dengan orang lain atau sekelompok orang yang memiliki sumberdaya yang dianggap langka atau berharga namun terlihat lebih lemah dari dirinya. Maka, aspirasi orang tersebut akan meningkat dan konflik yang bersifat eksploitatif akan sangat mungkin terjadi (Pruitt dan Rubin, 2011). Konflik-konflik yang terjadi di perkebunan di Indonesia banyak pula yang merupakan hasil dari perbedaan kepentingan antar pihak yang berkonflik. Seperti yang dituliskan oleh Widiyanto (2013), terdapat beberapa penyebab konflik perkebunan terkait kepentingan para pihak yaitu: a. b. c. d. e. Pemerintah dinilai lebih memprioritaskan pemilik modal besar; Keinginan untuk mengembangkan komoditi tertentu seperti sawit, kapas transgenik, ekaliptus, dll; Konflik ruang yang tidak hanya terjadi antara masyarakat dengan pemilik modal, tapi juga antara pemilik modal dengan pemilik modal lainnya; Pola kerjasama yang tidak seimbang antara perusahaan dengan petani; Penentuan pola ruang yang tidak partisipatif; Selaras dengan pernyataan Suparlan (1999) yang dikutip oleh Fadjar (2006) bahwa konflik terjadi karena adanya upaya untuk memenuhi kepentingan pribadi dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Pemerintah dan perusahaan dinilai telah mengabaikan kepentingan masyarakat terhadap lahan hidupnya. Pemerintah lebih memilih melindungi pemilik modal untuk meningkatkan pendapatan daerah atau devisa negara. Kemitraan yang dijalin dengan perusahaan perkebunan oleh masyarakat hanya menguntungkan pihak-pihak pada lapisan atas saja. Terdapat beberapa teori utama mengenai sebab konflik menurut Fisher et al (2000). Salah satunya adalah teori transformasi konflik yang mengangkat masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah sosial, budaya dan ekonomi. Ketika masyarakat tergusur dari lahannya, sebagian dari mereka ada yang dipekerjakan sebagai buruh di perkebunan. Masyarakat menjadi buruh di lahannya sendiri sementara pihak perkebunan mengambil keuntungan dari hasil kerja mereka. Hal tersebut menjadi kesenjangan tersendiri dalam masyarakat. Rasa ketidakadilan juga bertambah ketika adanya buruh perkebunan dari luar daerah yang pada dasarnya tidak mengorbankan lahan mereka untuk mendapat pekerjaan. Konflik di perkebunan dapat berkembang ke konflik antar komunitas buruh. Seperti salah satu sumber konflik di banyak kawasan PIR-BUN di Indonesia. 2.2. KERANGKA PEMIKIRAN Konflik merupakan permasalah yang banyak ditemui di Indonesia. Khususnya di sektor perkebunan karena memiliki jumlah konflik terbanyak dibanding sektor lainnya. Konflik sosial secara umum dapat disebabkan oleh perbedaan persepsi antara pihak-pihak yang terlibat. Persepsi dapat dipengaruhi oleh karakteristik petani penerima kemitraan PIR. Bagaimana petani membentuk kesan tentang kemitraan PIR dipengaruhi oleh apasaja yang didapatkannya dari kemitraan tersebut. Petani mitra biasanya mendapatkan lahan beserta fasilitas lainnya seperti penyuluhan. Kemudian lamanya petani melakukan usaha di sektor perkebunan dan keanggotaan petani dalam suatu kelompok juga dapat mempengaruhi persepsi dan pengetahuan mereka tentang kemitraan PIR. Selain itu, intensitas komunikasi mereka dengan pihak perusahaan perkebunan dalam hal ini mungkin penyuluh pertanian juga dapat membentuk persespi mereka tentang kemitraan PIR. Setelah itu akan dilihat bagaimana persepsi mereka tentang kemitraan PIR. Apabila mereka memiliki persepsi yang positif tentang kemitraan, maka kecenderungan petani untuk ikut menjadi petani mitra akan cukup tinggi. Namun, bila persepsi petani negatif maka 9 kemungkinan untuk menjadi petani mitra akan cedrung kecil dan malah memungkinkan adanya potensi konflik antara kedua belah pihak. Intensitas Komunikasi Karakteristik petani: - Luas lahan perkebunan yang dimiliki - Fasilitas yang didapat - Lamanya usaha di sektor perkebunan - Keanggotaan dalam kelompok Positif: - Kemitraan Persepsi tentang kemitraan PIR Negatif: - Konflik Keterangan: : Berhubungan Gambar 2. Kerangka Pemikiran 2.3. HIPOTESIS PENELITIAN Hipotesis penelitian ini disajikan sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan antara karakteristik petani dengan persepsi masyarakat tentang kemitraan PIR 2. Terdapat hubungan antara intensitas komunikasi dengan persepsi masyrakat tentang kemitraan PIR 2.4. DEFINISI OPERASIONAL Untuk menghindari adanya kesalah pahaman terhadap variabel yang akan dikaji dalam penelitian ini, masing-masing variabel diberi batasan terlebih dahulu agar dapat ditentukan indikator pengukurannya. Variabel-variabel penelitian didefinisikan sebagai berikut: 1. Karakteristik petani: a. Keanggotaan dalam Kelompok yaitu keterlibatan responden dalam suatu kelompok atau organisasi tertentu sebagai pengurus atau anggota, baik yang bersifat formal atau informal. b. Luas Lahan Milik yaitu luas lahan yang dimiliki oleh responden, luas lahan dikelompokkan menjadi lima kelompok terdiri dari: x ≤ 0,5 Ha 0,5 Ha < x ≤ 1 Ha 1 Ha < x ≤ 1,5 Ha 1,5 Ha < x ≤ 2 Ha > 2 Ha c. Fasilitas yang Didapat adalah berbagai macam kebutuhan yang mendukung kehidupan responden yang didapat dari kemitraan PIR. d. Lamanya Usaha yaitu jumlah waktu yang dihitung dari responden memulai usaha yang berkaitan dengan perkebunan hingga saat diambilnya kuesioner. Lama usaha dibagi menjadi: ≤ 1 tahun 1 tahun < x ≤ 2 tahun 10 2 tahun < x ≤ 3 tahun 3 tahun < x ≤ 4 tahun ≥ 4 tahun e. Intensitas Komunikasi yaitu frekuensi dan substansi yang dibicarakan dalam percakapan antara individu dengan pihak perusahaan perkebunan dalam kegiatan individu dan kelompok. Interaksi kemudian dikelompokkan menjadi tiga yaitu: Sering Jarang Tidak Pernah 2. Persepsi adalah penilaian responden terhadap pengertian, manfaat dan tingkat kepuasan terhadap kemitraan PIR. Indikator yang diukur adalah: a. Tingkat pengetahuan masyarakat tentang kemitraan PIR b. Tingkat pemahaman masyarakat terhadap manfaat ekonomi dan sosial dari pelaksanaan PIR c. Respon masyarakat tentang kemitraan PIR 3. Konflik adalah persepsi mengenai perbedaan kepentingan yang dapat menimbulakn perkelahian, peperangan dan perjuangan. 4. Kemitraan adalah persamaan persepsi mengenai kepentingan sehingga menimbulkan kesepakatan hubungan antara dua atau lebih pihak untuk mencapai tujuan bersama tertentu dalam hal ini dikhususkan dalam bidang perkebunan. 3. PENDEKATAN LAPANGAN 3.1. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian survei karena unit analisisnya adalah individu. Menurut Singarimbun et al. (1989), penelitian survei merupakan penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data yang pokok. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif yang didukung dengan metode kualitatif. Data untuk metode kuantitatif didapat melalui kuesioner yang akan disebarkan kepada responden (Lampiran 1). Sedangkan data pendukung metode kualitatitf didapat melalui wawancara mendalam dengan responden dan informan yang dipilih serta observasi lapang. Kedua jenis metode ini digunakan untuk memperkaya data dan memungkinkan adanya informasi tak terduga dari responden atau informan. Selain itu, dengan didukung metode kualitatif diharapkan mampu memberikan pemahaman yang mendalam dan rinci dalam menganalisis data kuantitatif. 3.2. LOKASI DAN WAKTU Penelitian ini dilakukan di Desa Mukut Kecamatan Pulau Rimau Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan (Lampiran 2). Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan lokasi tersebut memenuhi ciri-ciri tempat yang sesuai dengan topik penelitian. Desa ini memiliki kawasan perkebunan kelapa sawit swasta yang salah satunya telah melaksanakan program kemitraan PIR. Pada lokasi ini juga terdapat masyarakat yang telah bekerja sebagai buruh perkebunan dan mengolah lahan kebun plasma. Waktu penelitian direncanakan seperti tabel dibawah ini: Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011 Kegiatan Februari Maret April Penyusunan proposal skripsi Kolokium Mei Juni 11 Perbaikan proposal penelitian Pengambilan data lapangan Pengolahan data dan analisis data Penulisan draft skripsi Sidang skripsi Perbaikan skripsi 3.3. TEKNIK PENGUMPULAN DATA Unit analisis penelitian adalah individu petani atau pekebun. Populasi sampel dalam penelitian ini adalah petani yang telah didaftarkan untuk mengikuti kemitraan PIR. Responden merupakan kepala keluarga yang menerima kemitraan PIR dan bekerja sebagai petani atau pekebun di sektor perkebunan kelapa sawit. Hal tersebut sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui persepsi petani tentang kemitraan PIR. Teknik sampling adalah suatu teknik atau cara dalam mengambil sampel yang representatif dari populasi (Rianse et al. 2009). Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara acak sederhana (simple random sampling). Sampel akan diambil secara acak dari daftar penerima kemitraan PIR Desa. Jumlah responden yang akan diambil sebanyak 70 orang yang 35 orang diantaranya adalah penerima kemitraan PIR yang telah menjalankan kemitraan dan 35 orang petani yang baru terdaftar dan belum menjalankan kemitraan. Sedangkan Informan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah aparat desa atau pihak lain seperti penyuluh pertanian yang dipilih dengan teknik bola salju (snowball). Proses snowball akan dimulai dengan mewawancarai sekertaris desa. Data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder didapatkan dari studi literatur terkait dan pihak-pihak yang berkaitan dengan lokasi penelitian, yaitu profil Desa Mukut, data demografi Desa Mukut, dan data dari Badan Pusat Statistika. Data primer diperoleh dari hasil pengambilan data langsung di lapangan melalui kuisioner dan wawancara mendalam kepada responden dan informan. Wawancara mendalam diberikan kepada responden dan informan berdasarkan panduan pertanyaan yang telah disiapkan dan diikuti dengan pemikiran responden yang berhubungan dengan pertanyaan. Wawancara tersebut digunakan untuk mendalami lebih lanjut mengenai pengetahuan petani dan informan tentang kemitraan PIR. 3.4. TEKNIK PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA Data kuantitatif yang telah diperoleh melalui kuesioner, selanjutnya akan diproses menggunakan uji statistik. Tipe data yang digunakan yaitu data nominal dan ordinal. Untuk uji statistik dilakukan dengan menggunakan Chi-square dan Rank Sperman. Analisis data ini selanjutnya akan memberikan gambaran umum mengenai hubungan antar variabel. Data kuantitatif yang sudah diperoleh, akan ditabulasi menggunakan Microsoft Excel 2010 dan diolah dengan software SPSS for Windows 19.0. Selain analisis data kuantitatif, dilakukan pula analisis data kualitatif sebagai pendukung data kuantitatif. Data kualitatif akan diolah melalui tiga tahap analisis data kualitatif, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Penyimpulan hasil penelitian dilakukan dengan 12 mengambil hasil analisis antar variabel yang konsisten. Seluruh hasil penelitian dituliskan dalam rancangan skripsi (Lampiran 3). DAFTAR PUSTAKA [BPS]. Badan Pusat Statistik. 2012. Konsep Perkebunan. [Internet]. [diunduh 2013 Oktober 20]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tab_sub/excel.php?id_subyek=06%20&notab=2 [BPS]. Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Indonesia Tenaga Kerja. [Internet]. [diunduh 2013 Oktober 20]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tab_sub/excel.php?id_subyek=06%20&notab=2 [Ditjenbun]. Direktorat Jendral Perkebunan. 2012. Produksi, Luas Areal dan Produktivitas Perkebunan di Indonesia. [Internet]. [diunduh 2013 Oktober 21]. Tersedia pada: http://www.deptan.go.id/Indikator/tabel-3-prod-lsareal-prodvitas-bun.pdf [Ditjenbun]. Direktorat Jendral Perkebunan. 2013. Perkebembangan Jumlah Petani dan Tenaga Kerja (KK+TK) Sub Sektor Perkebunan Komoditas Unggulan Nasional. [Internet]. [diunduh 2013 Desember 7]. Tersedia pada: http://ditjenbun.deptan.go.id/tinymcpuk/gambar/file/Tenaga_Kerja_Estimasi2013.pdf [KPA]. Konsorsium Pembaruan Agraria. 2012. Laporan Akhir Tahun 2012 Konsorsium Pembaruan Agraria. [Internet]. [diunduh 2013 Oktober 25]. Tersedia pada: http://www.kpa.or.id/wpcontent/uploads/2011/11/Laporan-Akhir-Tahun-KPA-2012.pdf Afandi M. 2013. Perlawanan Ekstra Legal: “Transformasi Perlwanan Petani Menghadapi Korporasi Perkebunan”. Jurnal Bhumi [Internet]. [diunduh 2013 Oktober 6]. 37 (12): 63. Tersedia pada: http://www.stpn.ac.id/images/Data/EJurnal/Jurnal%20Bhumi%20No%2037%20Tahun%2012-203.pdf Aprianto TC. 2009. Manakala Konflik Berkepanjangan Harus Diselesaikan: Kasus Konflik Perkebunan Ketajek, Jember. Jurnal Ilmus Sosial dan Ilmu Politik [Internet]. [diunduh 2013 Oktober 6]. 13 (1): 71-90. Tersedia pada: http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/67/58 Aronson E, Wilson DT, Akert RM. 2005. Social Psycology. Edisi ke-5. New Jersey (US): Pearson Education Inc. Baron RA, Byrne D. 2004. Psikologi Sosial. Djuwita R, Parman MM, Yasmina D, Lunanta LP, penerjemah; Kristiaji WC, Medya R, editor. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Sosial Psikologi. Ed ke-10. Dharmawan AH. 2006. Konflik-Sosial dan Resolusi Konflik: Analisi Sosio-Budaya (Dengan Fokus Perhatian Kalimantan Barat). Seminar dan Lokakarya Nasional Pengembangan Perkebunan Wilayah Perbatasan Kalimantan [Internet]. 2006 Januari 10-11; Pontianak, Indonesia. [diunduh pada 2013 Desember 17]. Tersedia pada: http://dosen.narotama.ac.id/wpcontent/uploads/2012/03/Konflik-Sosial-dan-Resolusi-Konflik-Analisis-Sosio-BudayaDengan-Fokus-Perhatian-Kalimantan-Barat.pdf Fadjar U. 2006. Kemitraan Usaha Perkebunan: Perubahan Struktur yang Belum Lengkap. Forum Penelitian Agro Ekonomi [Internet]. [diunduh 2013 Desember 18]. 24(1): 46-60. Tersedia pada: http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/FAE24-1d Fisher S, Ludin J, Williams S, Abdi DI, Smith R, Williams S. 2000. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. Karikasari SN, Tapilatu MD, Maharani R, Rini DN, penerjemah; Kartikasari SN, editor. Jakarta (ID): The British Council. Terjemahan dari: Working with Conflict: Skills and Strategies for Action. Idrus U. 2012 Juli 1. Upaya Pemerintah Sumsel Antisipasi Konflik Sosial. Antarannews Sumsel. Edisi Khusus [Internet]. [diunduh 2014 Februari 11]. Tersedia pada: http://www.antarasumsel.com/berita/264161/upaya-pemerintah-sumsel-antisipasi-konfliksosial Musdalifah. 2007. Konflik Agraria dalam Relasi antara Perusahaan Perkebunan dengan Masyarakat (Kasus Konflik antara Petani dengan PT. PP Lonsum di Kabupaten Bulukumba). Jurnal UNHAS [Internet]. [diunduh 2013 Desember 25]. Hlm 1-11. Tersedia pada: http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/f37a36b6ee43f77056c67e2905ac9798.pdf 13 Myers DG. 2012. Psikologi Sosial. Tusyani A, Sembiring LS, Gayatri PG, Sofyan PN, penerjemah; Mandusar D, editor. Jakarta (ID): Salemba Humanika. Terjemahan dari: Social Psycology. Ed. Ke-10. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Pruitt DG, Rubin JZ. 2011. Teori Konflik Sosial. Soetjipto HP, Soetjipto SM, penerjemah; Khatamie M, editor. Jakarta (ID): Pustaka Pelajar. Terjemahan dari: Social Conflict: Escalation, Stalemate, and Settlement. Rianse U, Abdi. 2009. Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi. Jakarta (ID): Alfabeta. Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta (ID): LP3S Subagyo. 2014 Januari 3. Sektor Perkebunan Sumbang Devisa 21,4 Miliar Dolar AS. Antaranews. Ekonomi [Internet]. [diunduh 2014 Februari 11]. Tersedia pada: http://www.antaranews.com/berita/412361/sektor-perkebunan-sumbang-devisa-214-miliardolar-as. Taylor SE, Peplau LA, Sears DO. 2009. Psikologi Sosial. Wibowo T, penerjemah. Jakarta (ID): Kencana Prenada Media Grup. Terjemah dari: Social Psychology. Ed ke-12. Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1995. Tentang Usaha Kecil. Departemen Pertanian. 1995. Widianto W. 2014 Januari 2. IPW: Waspadai Konflik Sosial Tahun 2014. Tribunnews. Politik [Internet]. [diunduh 2014 Februari 10]. Tersedia pada: http://www.tribunnews.com/nasional/2014/01/02/ipw-waspadai-konflik-sosial-tahun-2014 Widiyanto. 2013. Potret Konflik Agraria di Indonesia. Jurnal Bhumi [Internet]. [diunduh 2013 Oktober 6]. 37 (12): 15-27. Tersedia pada: http://www.stpn.ac.id/images/Data/EJurnal/Jurnal%20Bhumi%20No%2037%20Tahun%2012-203.pdf 14 Lampiran 1. Kuesioner No. Kode Sampel: Hari, Tanggal: KUESIONER PENELITIAN PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG KEMITRAAN PIR DAN HUBUNGANNYA TERHADAP POTENSI KONFLIK DI DESA MUKUT, SUMATERA SELATAN MUKUT, SUMATERA SELATAN Kuesioner ini merupakan instrumen penelitian untuk mengumpulkan data responden guna kepentingan penyelesaian skripsi Farhatul Hanifah Amalia (I34100062), mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat – Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Untuk itu, mohon kesediaan dan kerjasama Bapak/Ibu/Saudara menjawab pertanyaan pada kuesioner ini dengan jujur dan benar. Data dan informasi yang Anda berikan terjamin kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk keperluan akademik. Terima kasih. I. Identitas Responden Lingkari pada pilihan yang benar/sesuai ATAU isi jawaban pada bagian yang disediakan! 1. Nama lengkap 2. Alamat /No. Telepon 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Umur Jenis kelamin Pendidikan terakhir Lama tinggal di lokasi Status kependudukan Pekerjaan utama Pekerjaan sampingan : .................................................................................. : .................................................................................. .................................................................................. ......................................................../......................... : ............... tahun : Laki-laki/ Perempuan : SD/SMP/SMA/PTN/lainnya,.................................... : ............... tahun : Asli/ pendatang, ................. : .................................................................................. : .................................................................................. II. Karakteristik Petani Berilah tanda [X] pada pilihan yang benar/sesuai ATAU isi jawaban pada bagian yang disediakan! No. Kepemilikan Lahan 10. Jenis Lahan 11. Luas Lahan 12. Sumber Kepemilikan Kebun Kelapa Sawit ............. m2 a. Lahan turun temurun b. Membeli lahan dari orang lain c. Menyewa lahan milik orang lain Perumahan dan pekarangan ............. m2 a. Lahan turun temurun b. Membeli lahan dari orang lain c. Menyewa lahan milik orang lain Lahan pangan Lainnya,....... ............. m2 ............. m2 a. Lahan turun temurun b. Membeli lahan dari orang lain c. Menyewa lahan milik orang lain a. Lahan turun temurun b. Membeli lahan dari orang lain c. Menyewa lahan milik orang lain 15 d. Lahan plasma perusahaan perkebunan e. Lainnya,..... d. Lahan plasma perusahaan perkebunan e. Lainnya,..... d. Lahan plasma perusahaan perkebunan e. Lainnya,..... d. Lahan plasma perusahaan perkebunan Lainnya,..... Berilah tanda [X] pada pilihan yang benar/sesuai ATAU isi jawaban pada bagian yang disediakan! No. 13. 14. Pertanyaan Lama Usaha Berapa lama Anda mengelola lahan perkebunan Anda? Berapa lama total Anda bekerja di sektor perkebunan kelapa sawit? Jawaban a. b. c. d. e. a. b. c. d. e. 15. 16. Fasilitas yang didapat Apakah Anda peserta kemitraan PIR? (jika tidak, langsung ke no. 17) Fasilitas apa saja yang Anda terima dari pola kemitraan PIR? (dapat diisi lebih dari satu) Ket. ≤ 1 tahun 1 tahun < x ≤ 2 tahun 2 tahun < x ≤ 3 tahun 3 tahun < x ≤ 4 tahun ≥ 4 tahun ≤ 1 tahun 1 tahun < x ≤ 2 tahun 2 tahun < x ≤ 3 tahun 3 tahun < x ≤ 4 tahun ≥ 4 tahun ......... tahun ......... tahun a. Ya b. Tidak a. Lahan (kebun) plasma b. Perumahan (pemukiman) c. Lahan pekarangan d. Pembinaan, penyuluhan atau pelatihan tentang perkebunan e. Dana operasional f. Lainnya,.... Berilah tanda [√] pada pilihan yang benar/sesuai ATAU isi jawaban pada bagian yang disediakan! Keanggotaan dalam kelompok No. 17. Pertanyaan Apakah Anda mengikuti perkumpulan atau organisasi tertentu dalam masyarakat? Sebutkan,..... 18. Apakah Anda mengikuti organisasi yang berkaitan Ya Tidak Ket. 1................. 2................. 3................. 4................. 16 19. 20. 21. 22. 23. dengan perkebunan atau kemitraan PIR? Sebutkan,...... Apakah Anda berperan aktif (hadir, memberikan ide atau pertanyaan) dalam organisasi tersebut? Apakah dalam organisasi tersebut Anda dapat berdialog dengan pihak perusahaan perkebunan? Apakah organisasi tersebut dibentuk atas keinginan pihak perkebunan? Apakah setelah mengikuti organisasi tersebut Anda mendapat pengetahuan tentang kemitraan PIR? Apakah setelah mengikuti organisasi tersebut Anda mendapat manfaat dalam peningkatan usaha perkebunan Anda? III. Intensitas Komunikasi Berilah tanda [√] pada pilihan yang benar/sesuai ATAU isi jawaban pada bagian yang disediakan! No. Pertanyaan Tidak Jarang Sering pernah 24. Apakah dalam 3 bulan belakangan Anda pernah bertemu dengan pihak perusahaan perkebunan? 25. Apakah dalam 3 bulan belakangan Anda pernah berbincang dengan pihak perkebunan mengenai kemitraan PIR? 26. Apakah pihak perkebunan membantu Anda dalam memecahkan permasalahan mengenai perkebunan? 27. Selain mengenai kemitraan PIR, apakah Anda pernah berbincang dengan pihak perusahaan? 28. Apakah pihak perkebunan menanggapi dengan baik jika sedang berdiskusi? IV. Persepsi masyarakat terhadap kemitraan PIR Tingkat pengetahuan Berilah tanda [X] pada pilihan yang benar/sesuai ATAU isi jawaban pada bagian yang disediakan 29. Apakah Anda mengetahui tentang kemitraan PIR? a. Ya b. Tidak 30. Dari siapa pertama kali Anda mendengar kemitraan PIR? a. TV/Radio/Koran b. Teman/Saudara c. Pemerintah desa 17 d. Pihak perusahaan e. Lainnya, ............. 31. Jenis kemitraan PIR apa yang Anda ketahui? (Jawaban boleh lebih dari satu) a. PIR-BUN b. PIR-TRANS c. PIR-KKPA 32. Menurut Anda apakah yang dimaksud kemitraan PIR? (Jawaban boleh lebih dari satu) a. Program pemerintah untuk mendukung program transmigrasi. b. Kewajiban perusahaan perkebunan untuk menyediakan kebun plasma bagi masyarakat. c. Pola kemitraan yang menjadikan perusahaan perkebunan sebagai inti dan perkebunan rakyat sebagai plasma. d. Pola kemitraan yang saling menguntungkan antara perusahaan perkebunan sebagai inti dan perkebunan rakyat sebagai plasma. e. Lainnya,................................................................................................... 33. Menurut Anda apa tujuan dari kemitraan PIR? (Jawaban boleh lebih dari satu) a. Membantu meningkatkan pendapatan perusahaan b. Membantu meningkatkan pendapatan masyarakat (petani kecil). c. Membantu meningkatkan pengembangan wilayah desa d. Membantu menunjang keberhasilan program transmigrasi e. Membantu meningkatakan produksi komoditas kelapa sawit 34. Siapa saja peserta penerima kemitraan PIR yang Anda ketahui? (Jawaban boleh lebih dari satu) a. Transmigran b. Petani miskin c. Penduduk setempat (petani) yang tanahnya terkena proyek d. Petani (peladang) berpindah yang ditetapkan pemerintah e. Lainnya,................................................................................................... 35. Menurut Anda siapa saja yang mendapatkan manfaat dari kemitraan PIR? (Jawaban boleh lebih dari satu) a. Masyarakat desa b. Petani penggarap/ petani mitra c. Pekerja kebun d. Pemerintah desa e. Perusahaan Berilah tanda [√] pada pilihan jawaban 1,2,3,4,5, yang masing-masing mempunyai arti: 1 = sangat tidak setuju, 2 = tidak setuju, 3 = netral, 4 = setuju, 5 = sangat setuju. No. Pernyataan Jawaban Keterangan 1 2 3 4 5 Kesesuaian Pendapat 36. Kemitraan PIR sesuai dengan harapan Anda 37. kemitraan PIR sesuai dengan kebutuhan Anda 38. Kemitraan PIR sesuai dengan keinginan Anda Manfaat sosial dan ekonomi 39. Kemitraan PIR meningkatkan pendapatan/ penghasilan Anda 18 40. Kemitraan PIR memberikan lapangan pekerjaan baru 41. Kemitraan PIR membantu meningkatkan fasilitas sosial (listrik, jalan, sekolah, rumah ibadah, dll) Keterbukaan Kemitraan 42. 43. 44. Pembiayaan dan alokasi dana untuk kemitraan PIR diberitahukan secara terbuka Prosedur pengajuan kemitraan PIR mudah Penjualan hasil kebun ke perusahaan perkebunan mudah Respon tentang Kemitraan 45. 46. 47. 48. 49. Anda bersedia menerima lahan kebun plasma dari kemitraan PIR Anda bersedia memelihara kebun sesuai dengan petunjuk penyuluh Anda bersedia menjual seluruh hasil kebun ke perusahaan perkebunan Anda bersedia menjadi anggota koperasi. Anda bersedia menandatangani perjanjian kerja dengan perkebunan TERIMAKASIH ATAS KERJASAMANYA 19 Lampiran 2. Peta Desa Mukut, Kecamatan Pulau Rimau, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Lampiran 3. Rancangan Skripsi 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Masalah Penelitian 1.3. Tujuan Penelitian 1.4. Kegunaan Penelitian 2. PENDEKATAN TEORETIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Konsep Konflik 2.1.2. Konsep Kemitraan PIR 2.1.3. Konsep Persepsi 2.2. Kerangka Pemikiran 20 2.3. Hipotesis 2.4. Definisi Operasional 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu 3.2. Teknik Sampling 3.3. Pengumpulan Data 3.4. Pengolahan dan Analisis Data 4. GAMBARAN LOKASI PENELITIAN 4.1. Profil Desa Mukut 4.1.1. Kondisi Geografis 4.1.2. Kondisi Ekonomi 4.1.3. Karakteristik Penduduk 4.1.4. Kondisi Sosial dan Kultur 5. KARAKTERISTIK PETANI DI DESA MUKUT 6. PERSEPSI MASYARAKAT DESA MUKUT TERHADAP KEMITRAAN PIR 7. HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETANI DENGAN PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEMITRAAN PIR 8. HUBUNGAN ANTARA INTERAKSI KOMUNIKASI DENGAN PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEMITRAAN PIR 9. HUBUNGAN PERSEPSI DENGAN POTENSI KONFLIK DAN KEMITRAAN 10. PENUTUP 10.1. Kesimpulan 10.2. Saran