NUKLIR IRAN: PROPAGANDA YAHUDI INTERNASIONAL1 Surwandono Debat tentang nuklir Iran telah berlangsung secara intensif dalam 2 tahun terakhir semenjak Presiden Ahmadinejad menggantikan tampuk kepemimpinan Muhammad Khatami. Dialektika politik internasional menunjukkan gejala yang dinamis untuk membawa persoalan nuklir Iran ke dalam Dewan Keamanan PBB, terutama yang dipelopori oleh Amerika Serikat dan Inggris. Beberapa sekutu tradisional Iran, Rusia dan China sampai saat ini masih bersikap abstain sampai menolak membawa nuklir Iran ke Dewan Keamanan PBB. Dalam pandangan negara ini, membawa masalah pengembangan nuklir Iran ke DK PBB bukan menyelesaikan masalah tetapi menambah masalah yang lebih akut. Dalam headline Kompas, 25 Januari 2006 kasus Nulir Iran telah menyebabkan kontraksi ekonomi yang sangat berarti yang ditandai dengan naiknya harga minyak dunia yang mencapai 70 $US per barrel, apalagi jika kemudian masalah Iran dibawa ke DK PBB dan menjatuhkan sangsi padanya, harga minyak dunia bisa mencapai 100 US$. Bahkan juga turut mempengaruhi indeks harga emas dunia yang melambung. Bahkan Republika, 25 Januari 2005 menurunkan wawancara khusus tentang sikap Indonesia terhadap masalah nuklir Iran, terkait dengan posisi Indonesia sebagai bagian tak terpisahkan dari negara dengan penduduk muslim terbesar. Tulisan ini akan menganalisis faktor dinamika hubungan Iran dan Israel dengan ekskalasi kebijakan internasional untuk memojokan Iran dari komunitas internasional dan dunia Islam. Iran dan Israel Dua negara ini sekarang ini sedang menjalankan perang urat saraf yang masif. Ahmadinejad dengan bahasa retorika yang amat jelas melontarkan statemen pedas terhadap watak agresif Israel selama ini, dengan sebuah istilah “akan memusnahkan” Israel dari kawasan Arab. Statement ini kemudian memancing reaksi keras dari Israel dan negara-negara sekutunya. Ahmadinejad dianggap sebagai presiden yang tidak punya fatsun politik dan diplomasi yang elegan sebagai representasi kepala negara. Sebenarnya hubungan Israel Iran dalam 2 dekade terakhir tidak mengalami konstraksi yang berarti. Setidaknya terdapat dua faktor yang menyebabkan Israel tidak melakukan tindakan agresif pada Iran. Pertama, Iran secara psikologis-historis-keagamaan bukanlah wilayah target idiologis Israel sebagai daerah yang disebut Kanaan. Sehingga dalam skenario agresi Israel, Iran tidak mendapatkan serangan dari Israel secara intensif, sangat berbeda dengan negara-negara Timur Tengah lainnya, yang sempat mengalami konstraksi dengan Israel. Kedua, selama ini akar masalah Israel dengan negara di Timur Tengah lebih mengedepankan masalah ashabiyyah qaumiyyah; Arab-Yahudi . Palestina diyakini sebagai entitas tak terpisahkan dari etnis Arab, dan Israel mewakili etnis Yahudi yang juga mengklaim pernah menjadi etnis besar di kawasan Timur Tengah. Artinya, posisi Iran sebagai etnis di luar etnis Arab menjadikan Israel tidak menjadikan Iran sebagai ancaman aktual. Sederhananya, musuh etnis utama dari Israel adalah etnis Arab, bukan etnis Persia. 1 Disampaikan Seminar Perang Nuklir Terhadap Iran yang diadakan oleh Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UMY, Kamis, 18 Mei 2006 1 Kalaupun keduanya melakukan konflik secara konfrontatif, cenderung mempergunakan media kelompok lain, semisal faksi Hizbullah pro Syi’ah Iran di Lebanon. Terhadap kelompok ini, Israel teramat sering melakukan serangan dan manuver untuk memarginalisasi perannya dalam ranah konflik, berupa serangan-serangan udara dan roket. Double Scenario Israel Pasca runtuhnya regim Irak di bawah Saddam Hussein, ada kecenderungan tidak ada lagi negara berbasis Arab yang secara lantang menyuarakan menentang eksistensi Israel dengan segala macam tindakan agresifya. Arab Saudi, Yordania, Suriah, dan Mesir sebagai negara-negara major power di Timur Tengah mengalami transformasi kepemimpinan yang mengarah kepada sikap akomodatif nya kepada Israel. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari pola yang terbentuk, semakin keras melakukan perlawanan kepada Israel, maka akan mempengaruhi investasi asing ke negara tersebut dan akan menganggu pertumbuhan ekonomi nasional. Pola inilah yang kemudian menyebabkan banyak negara Arab semakin meninggalkan Palestina dalam proses memperjuangkan haknya. Tatkala terdapat kevakuman kepemimpinan Arab yang mendeklarasikan politik konfrontatif terhadap Israel, maka Iran mengambil alih peran Iraq. Iran sedemikian rupa berani mengambil peran ini juga tidak bisa dilepaskan dari kemampuan Iran pasca Revolusi Putih 1979 untuk tidak tergantung kepada bantuan dan investasi asing. Kondisi inilah yang memungkinkan Iran tumbuh sebagai negara termandiri di dunia. Sehingga stigma memusuhi Israel akan menyebabkan kolapsnya ekonomi dan politik domestik bagi Iran hanyalah sebagai mitos belaka. Dan Israel menyadari betul, bahwa posisi politik dan ekonomi Iran sekarang ini dalam posisi yang stabil, baik dalam interaksinya dengan negara-negara di Dunia Islam ataupun dengan Gerakan-Gerakan Islam internasional. Iran juga sebagai negara yang memiliki kartu truff sebagai negara pengekspor minyak yang tidak tergantung eksplorasi dengan sekutu besar Israel yakni Amerika Serikat. Sangat berbeda dengan Arab Saudi dan Kuwait sebagai negara pengekspor minyak yang sangat tergantung proses eksplorasinya kepada Amerika Serikat. Artinya dengan posisi yang independen terhadap Amerika Serikat, Iran akan sangat mungkin mempergunakan kartu truff minyak seperti yang pernah dilakukan negara minyak di dekade 1970-an. Dan sekarang ini terbukti dengan membumbungnya harga minyak dan emas dunia atas ketidakjelasan nasib Iran dalam sistem internasional. Untuk itu ada kecenderungan Israel menjalankan 2 skenario dengan mempergunakan kemampuan nuklir Iran sebagai sebuah senjata untuk memarginalkan peran Iran dalam konteks regional dan internasional. Pertama, Israel melakukan provokasi diplomatik terhadap Iran agar Iran melakukan tindakan pembalasan diplomatik pula. Israel sangat faham betul bagaimana track record seorang Ahmadinejad yang temperamental. Terbukti provokasi Israel sangat berhasil, sehingga lahirlah berbagai statemen Ahmadinejad yang sangat disesalkan oleh komunitas internasional. Maka dalam batas tertentu Israel akan menggiring publik internasional, bahwa Iran di bawah regim Ahmadinejad adalah regim yang tidak beradab dalam tata pergaulan internasional. Sehingga layak kiranya Iran untuk segera dihukum. Rusia dan China yang selama ini cenderung menolak dengan tegas membawa nuklir Iran ke DK PBB, akhir-akhir ini mulai menunjukkan sikap netral dan 2 abstein. Scenario diplomatik ini sedemikian sukses dijalankan oleh misi diplomatik Israel untuk menjadi Iran sebagai “musuh peradaban dunia”. Kedua, sinyal temperamental Ahmadinejad ini kemudian disublimasikan ke dalam komunitas dunia Islam secara regional bahwa Iran secara ashabiyyah qaumiyyah Arab adalah kompetitor bahkan musuh bagi negara-negara Arab. Hal ini penting bagi Israel, karena Iran secara simpatik melakukan pendekatan secara intensif kepada negara-negara Arab dan terlibat dalam berbagai program kemanusiaan terhadap berbagai bencana yang melanda dunia islam. Skenario bahwa Iran sebagai komunitas Syi’ah yang secara idiologis memiliki perbedaan yang substantif dengan mayoritas Sunni Arab, kemudian dibongkar dan diungkit kembali dengan masif. Hal ini kemudian ditandai dengan bagaimana khawatirnya para pemimpin Arab terhadap proses politik di Iraq yang dimenangkan oleh kelompok Syi’ah, dengan ditunjukkannya sikap yang mendua kepada pengakuan regim baru di Iraq bahkan cenderung “membiarkan” kekerasan yang dilakukan oleh kelompok perjuangan Sunni Iraq. Sebagai sebuah makar, tampak sekali makar yang dilakukan Israel sedemikian rupa canggih dengan mempergunakan multilateral dan pimpong diplomasi untuk memojokkan Iran. Namun, wa makaru wamakaralloh. Wallahu Khairul Maakiriin. Wallohu A’lam 3