Dampak Kebijakan Nuklir Ahmadinejad Terhadap Kepentingan Amerika Serikat Di Timur Tengah Oleh : Okky Fitradana (201010360311011) Iran dan nuklirnya merupakan kalimat yang saling mengikat dan tidak mudah dipisahkan. Hal ini sendiri dikarenakan dari sepak terjang Iran dalam memperjuangkan dan membuktikan kepada dunia, terlebih kepada pihak Amerika Serikat dan sekutu bahwa program nuklir Iran dikembangkan untuk tujuan teknologi negerinya sendiri, bukan untuk menciptakan bom nuklir ataupun menyerang Amerika Serikat. Pengembangan nuklir Iran sebenarnya telah dibangun sejak Iran dengan Amerika Serikat masih mempunyai hubungan yang baik. Tercatat pada tahun 1965, Iran telah mengesahkan pendirian pusat atom di Universitas Teheran, dan kemudian disusul dengan perjanjian pertama mengenai nuklir yang ditanda tangani oleh Iran dengan Amerika Serkat. Dalam menindak lanjuti kerja sama bidang nuklir tersebut, 11 tahun pasca penanda tanganan perjanjian, Amerika Serikat mulai mengoperasikan sebuah reaktor yang berkapasitas 5 megawatt yang bertujuan untuk riset dan kegiatan akademik di Universitas Teheran. Pada tahun 1968, Iran menandatangani traktat non-proliferasi pada 1 Juli 1968, dan traktat ini mulai berlaku pada 5 Maret 1970. Dalam traktar tersebut, pada pasal IV terdapat bahasan mengenai hak-hak Iran yang diperbolehkan untuk mengembangkan penelitian, memproduksi, dan menggunakan nuklir untuk tujuan damai tanpa diskriminasi, serta memperoleh pealatan material, informasi dan teknologi. Dengan menandatangani traktat tersebut Iran menyetujui bahwa tidak akan mengembangkan nuklir untuk tujuan senjata. Selain meandatangani traktat, pada 1974 Iran tercatat telah mengajukan draft refolusi kepada Majelis Umum PBB untuk membangun zona bebas senjata nuklir (nuclear weapon free zone). Pasca revolusi 1979, iran sempat mengehentikan progam nuklirnya, akan tetapi setelah vakum selama 3 tahun, pada 1982 Iran kembali melanjutkan program pengembangan nuklir tersebut. Pada tahun 1985, National Intelligence Councilmelaporkan bahwa Iran bisa menjadi ancaman terhadap proliferasi, hal ini diakibatkan bahwasanya Teheran menarik tertarik untuk mengembangkan fasilitas nuklirnya yang sewaktu-waktu dapat memproduksi material yang dapat digunakan untuk senjata. Di lain sisi, pemerintah Iran menyatakan menyatakan bahwa pengembangan program nuklir Iranmurni digunakan untuk kepentingan energi, mengingat Iran tidak bisa terus-menerus menggantungkan energi pada cadangan fosil yang sifatnya tidak dapat diperbarui. Pada tahun 2002, kontroversi mengenai pengembangan nuklir iran mulai mencuat, hal ini didasari dari infomasi yang disampaikan oleh National Council of Resistence in Iran (NCRI) yang mengungkapkan bahwa Iran telah membangun fasilitas nuklir di Natanz dan Arak. Selain itu, Internatinal Atomic Energy Agency (IAEA) juga melaporkan bahwa Iran telah melakukan aktivitas-aktivitas mengenai nuklir secara terselubung, dan beberapa dari aktivitas tersebut telah melanggar kesepakatan, yakni eksperimen mengenai pemisahan plutonium, pengayaan uranium dan mengimpor komponen-komponen uranium. Pada tanggal 11 Februari 2003, Iran mengumumkan keberhasilannya dalam memperbanyak pengolahan uranium. Pada Agustus 2005, 2 bulan pasca terpilihnya mahmoud Ahmadinejad menjadi presiden, Iran melanjutkan konversi uraniumnya. Iran dibawah kepemimpinan Ahmadinejad kembali pada kisaran Januari 2006 kembali mengumumkan bahwa Iran akan melanjutkan penelitian dan mengembangkan nuklir di Natanz.IAEA sendiri memberikan bentuk respon terhadap kebijakan tersebut dengan cara mengadopsi resolusi 4 Februari 2006 yang mencantumkan mengenai dewan Keamanan, akan tetapi Ahmadinejad tidak menggubris respon dari IAEA bahkan ia semakin gencar menyuarakan aspirasinya. Pada 28 Agustus 2007, Ahmadinejad menegaskan bahwa Iran tidak akan menghentikna ataupu memperlambat aktivitas nuklirnya, sedangkan pada November 2007, Ahmadinejad menyatakan bahwa Iran telah berhasil mencapai target kunci nuklir dengan mengoperasikan 3,000 alat pengayaan uranium, akan tetapi pernyataan Ahmadiejad tersebut bertentangan dengan laporan IAEA yang menyatakan bahwa kuci nuklir yang telah dioperasikan hanya sebanyak 2000 saja, sedangkan 650 lainnya masih pada tahap percobaan. Keberhasilan iran dalam mengembangkan teknologi nuklirnya membuat Amerika Serikat menjadi geram, meski bekali-kali Iran menyataka bahwa nuklir tersebut digunakan untuk tujuan damai, akan tetapi Amerika Serikat tetap saja menganggap bahwa teknologi yag dimiliki iran dpat digunakan untuk kepentingan persenjataan. Geramnya Amerika serikat dapat dikatakan wajar, mengingat Amerika Serikat telah berupaya untuk menjaga hegemoninya di daratan Timur Tengah. Apabila kapabilitas nuklir Iran semakin mumpuni maka yang dikhawatirkan ialah, Iran dapat memanfaatkan teknologi tersebut utuk pembuatan senjata yang nantinya dapat digunakan untuk megoperasikan peluru kendali. Dengan adanya peluru kendali maka tidak mustahil bahwa Iran dapat menyerang Israel, selaku sekutu terdekat Amerika Serikat kapan saja. Selain itu, meskipun teknologi nuklir Iran belum dapat menjangkau dataran Amerika Serikat, akan tetapi teknologi tersebut telah mampu untuk mengacaukan seluruh pangkalan militer Amerika Serikat yang terdapat di Timur Tengah, bahkan Eropa, dan akibat lain dari pengembangan nuklir yang semakin kuat, Iran dapat menggantikan posisi Amerika Serikat sebagai “polisi” di Timur Tengah.