RUSIA DAN CHINA DALAM KASUS NUKLIR IRAN Surwandono (Dosen Fisipol UMY dan Kandidat Doktor Ilmu Politik UGM) Persoalan nuklir Iran telah menjadi persoalan dunia yang sangat masif diperbincangkan dengan segala replika dan peliknya masalah dari berbagai media. Nuklir Iran sepertinya akan menjadi berita yang berarti seperti halnya ketika masyarakat Iran melakukan Revolusi di 1979, hampir semua media massa memperbincangkan dalam bentuk “payung ketakutan” akan adanya ekspor revolusi. Yang cukup menarik dalam kasus Nuklir Iran kali ini adalah dua negara berbasis regim “komunis” yakni Rusia dan China sebagai negara yang senantiasa memberikan dukungan secara moril dan materiil terhadap segala upaya internasional untuk “menghukum” Iran. Dalam kaitan ini, ada kecenderungan yang sangat menarik, tatkala dukungan dari komunitas dunia Islam cenderung “diam” termasuk Indonesia, Rusia dan Cina segera memasang “badan” untuk Iran, setelah IAEA secara terbuka menyatakan akan membawa kasus nuklir Iran ke Dewan Keamanan PBB sampai lahirnya Resolusi 1747. Tulisan ini akan mencoba melakukan analisis kepentingan Rusia dan China terhadap Nuklir Iran, termasuk implikasinya bagi masa depan Iran dan dunia Islam. Aliansi Dua Kaki Seorang penulis terkemuka dalam bidang hubungan internasional, KJ Holsti mendefinisikan aliansi sebagai bentuk orientasi dan strategi politik luar negeri suatu negara untuk membangun kekuatan bersama dalam menghadapi persoalan bersama. Dari aliansi ini kemudian muncul sebuah implikasi besar, “musuh kamu juga musuh saya, musuh saya juga musuh kamu.” Dalam konteks perang dingin, gejala aliansi ini cenderung dibakukan dalam bentuk kerjasama intenasional yang terlembagakan. Sehingga muncullah kerjasama NATO, CENTO, ANZUS, SEATO sebagai jaringan aliansi militer idiologi yang pro Amerika, sedangkan WARSAWA sebagai bangunan aliansi pro Soviet. Pasca Perang dingin, dari 5 organisasi tersebut tinggal satu saja yang dipertahankan yakni NATO, bahkan Rusia sendiri sebagai “pewaris” tradisi Uni Soviet dalam Pakta WARSAWA sekarang ini telah masuk dalam struktur keanggotaan NATO yang dulu menjadi musuh abadinya. Dalam batas tertentu memang struktur aliansi pada waktu perang dingin dan pasca perang dingin cenderung berbeda, namun sebagai sebuah peringkatan tetap menunjukan gejala yang sama yakni “esprite de corp” dan solidaritas organis. Rusia tampaknya sedang membangun aliansi “dua kaki” yakni mendekati dunia Islam dan dengan komunitas negara Barat, sedangkan China juga demikian halnya, membangun aliansi dua kaki, mendekati negara dunia ketiga, dan mendekati Amerika Serikat. Aliansi “dua kaki” ini yang tampaknya merupakan model terbaru dari negara-negara komunis, baik berlaku di China, Vietnam, Kuba ataupun Rusia. Sebelumnya kelompok negara komunis dalam masa perang dingin merupakan negara yang rigid memegang idiloginya. Tradisi baru inilah yang sepantasnya harus dicermati oleh Iran yang sekarang ini “tampaknya” sedang dibela oleh dua negara komunis ini. Dalam aliansi dua kaki sangat mungkin sekali “bangunan aliansinya” tidak sekokoh aliansi sebelumnya. Dan memang dalam konteks sekarang ini, Iran secara resmi juga tidak membangun aliansi secara rigid pula kepada kedua negara tersebut, bangunan kerjasamanya cenderung melakukan kerjasama yang saling menguntungkan dalam konteks transfer tehnologi dalam persenjataan ataupun dalam konteks tukar-menukar informasi bersama. Kepentingan dan Implikasi ADa beberapa hal yang menarik untuk dicermati dalam konteks kepentingan Rusia dan Cina terhadap Iran. Pertama, akses minyak dan tradisi perlawanan. Dalam konteks minyak, Iran merupakan negara pengekspor minyak yang relatif mapan dan independen terhadap kepentingan Barat. Artinya membangun aliansi dengan Iran akan menjamin suplai bagi proses industrialisasi di ke dua negara tersebut. Sedangkan dari aspek tradisi perlawanan, Iran merupakan negara yang sangat konsisten untuk melakukan kritik pedas terhadap hemegon dunia yakni Amerika Serikat, meskipun posisi Iran dalam konstalasi global adalah negara yang tidak memiliki power yang memadai kecuali “semangat dan keyakinan”. Bagi Rusia dan China, semangat dan keyakinan dari Iran ini perlu dipelajari secara mendalam agar posisi Rusia dan China sebagai counter-part dari Amerika Serikat bisa tampil lebih elegan. Kedua, Rusia dan Cina baru saja kehilangan satu sekutu tradisionalnya sekaligus negara yang berkapasitas nuklir yang selama ini sedemikian dekat dengan keduanya yakni India yang telah jatuh dalam “pelukan” Amerika Serikat. Artinya, di area Asia Selatan, dua negara dengan kapasitas nuklir yakni Pakistan dan India telah berada dalam lingkaran pengaruh AS. Hal ini akan sangat berpengaruh dalam konstalasi pernukliran dunia dari sisi kekuatan negara pro Rusia dan Cina. Demikian pula Korea Utara, sebagai negara yang sangat berdekatan dengan China dan Rusia juga telah “diakuisisi” oleh kekuatan AS melalui IAEA. Sedangkan di sisi lain negara yang juga turut memproduksi nuklir secara diam-diam, semisal Israel yang setali tiga uang dengan regim AS, tidak banyak dipersoalkan. Artinya secara kalkulatif, hampir semua negara “baru” nuklir adalah negara yang dalam satu garis komando dengan kepentingan AS. Dalam konteks inilah, Iran menjadi sangat berarti bagi Rusia dan China karena potensi nuklir Iran yang sangat besar sekaligus secara idiologis berjarak bahkan diametral dengan kepentingan AS. Jika Iran tidak dibela secara mati-matian oleh China dan Rusia, maka dalam konteks kepentingan nasional keduanya akan membuat struktur perimbangan nuklir menjadi kacau, bahkan akan bisa berimplikasi terhadap dicabutnya kesepakatan dalam NPT yang bisa memicu kembali konflik nuklir yang lebih luas. Ketiga, perhatian yang sangat kuat dari Rusia dan China dalam batas tertentu akan menyebabkan Iran akan semakin bersikap lunak kepada proses kerjasama terhadap keduanya, terutama dalam penyebaran kembali tradisi komintern (komunisme internasional). Memang tradisi ini sudah mulai mengendur --tapi tidak menutup kemungkinan pula partai Tudeh (partai yang berhaluan komunis di Iran—bisa berkembang lagi dengan menumpang kedekatan Iran dengan dua negara super power komunis ini. Namun, Iran di bawah regim Ahmadinejad ini merupakan regim yang sangat konservatif terhadap tradisi revolusioner dari Ayatollah Khoemeini yang dengan lantang menyatakan semangat “laa syarqiyyah laa gharbiyyah illa Islam”. Adalah hal yang musykil, Ahmadinejad membuka kran bagi berkembangnya partai Komunis di Iran. Iran tentunya tidak mau berdagang dengan Rusia dan Cina dengan konsesi berkembangnya komunisme di Iran. Wallohu A’lam