BAB IV KESIMPULAN Iran kini berada pada titik batas pembangunan dan kemajuan sebagai sebuah negara bangsa yang utuh. Revolusi Islam yang digawangi para mullah telah melepas rangkaian yang telah menjelma dan membentuk kembali wajah masyarakat Iran dalam setiap aspek yang ada. Perubahan-perubahan ini telah mempengaruhi bukan saja pada bidang politik dan ekonomi di Iran, tetapi secara fundamental juga merubah keadaan sosial dan kultur masyarakat. Revolusi Islam juga memberikan pengaruh besar pada status sosial, politik dan ekonomi dari para perempuan di Iran. Dengan berkuasanya kaum Islamis, masyarakat Iran berada di bawah peraturan hukum berdasarkan Quran. Sebagai konsekuensinya, kaum fundamentalis Islam telah menjadi ‘arsitek’ yang memasukkan nilai-nilai dan norma-norma Islami ke dalam setiap aspek kehidupan di Iran. Tidak ada satupun kebijakan, terutama mengenai status perempuan di masa Pahlevi yang diimplementasikan kembali oleh pemerintah Republik Islam. Khomeini memiliki persepsi tersendiri mengenai pandangannya terhadap posisi perempuan dalam masyarakat yang diatur oleh hukum Islam. Ketika masih berada dalam pengasingan, ia menyatakan bahwa perempuan akan memiliki peran yang sejajar dengan pria di negara Iran yang baru (Republik Islam). Persamaan hak mereka (perempuan) meliputi setiap aspek dalam kehidupan, termasuk aspek terpenting, yaitu pada ranah ekonomi dan politik. Atas kepercayaannya kepada Khomeini dan pengikutnya, perempuan Iran dalam jumlah banyak berani turun ke jalan menuntut diturunkannya Shah dan mendukung diadakannya revolusi. Namun pada kenyataannya, perempuan tetap harus memperjuangkan sendiri kesetaraannya di tengah dominasi budaya patriarki yang membelenggu Iran. Sebagai contoh mengenai penggunaan hijab yang meskipun dengan jelas berbeda secara legislatif, implikasi undang-undang mengenai pemakaian hijab dan cadar berbeda di masing-masing masa kepemimpinan. Ketika Shah Reza mengeluarkan undang-undang pelarangan menggunakan hijab dimuka umum, perempuan sama sekali tidak diperkenankan untuk memilih sendiri keputusannya, apakah ia berkenan melepaskan hijabnya atau tidak. Ketika revolusi berlangsung, Universitas Indonesia hukum penggunaan hijab diberlakukan. Bagi perempuan Iran diwajibkan memakai hijab jika berada di ruang publik. Dua peraturan opresif yang berbeda ini rupanya memiliki kesamaan mengingat kedua rezim menggunakan perempuan sebagai alat politik kebijakan pemerintah yang disaat bersamaan mengungkung kebebasan perempuan sendiri. Penguasa Republik Islam memiliki gagasan tersendiri terhadap perempuan, salah satunya mengenai kewajiban penggunaan hijab yang pelaksanaannya bersifat opresif dan semakin memperjelas dominasi budaya patriarki dalam kehidupan masyarakat Iran. Para sineas film Iran menyadari hal ini. Bahwa masih banyak kebijakan-kebijakan pemerintah Republik Islam yang masih tidak berpihak kepada kaum perempuan. Maka salah satu cara untuk menyuarakan pandangan mereka untuk menegur pemerintah dan membangunkan masyarakat yang tertidur lelap bahwa masih banyak perempuan yang terkungkung kebebasannya di tengah tradisi yang meminggirkan perempuan, adalah dengan memproyeksikan pandangan itu melalui pita seluloid atau ke dalam sebuah film. Dua sutradara kenamaan Iran, Abbas Kiarostami dan Marjane Satrapi masing-masing membuat film yang mengetengahkan perempuan sebagai tema utama dalam kedua filmnya. Alasan dibuatnya film-film berperspektif perempuan ini adalah ingin menunjukkan kepada masyarakat dan dunia luar bahwa di tengah budaya patriarki yang mendominasi masih ada perempuan-perempuan yang ingin meruntuhkan dominasi laki-laki yang berpotensi menciptakan diskriminasi, ketidakadilan dan penindasan terhadap perempuan. Masih ada perempuan yang memikirkan potensi dirinya dan tidak ingin berada pada posisi subordinat dan inferior. Karakter-karakter perempuan inilah yang diproyeksikan melalui tokohtokoh perempuan dalam film 10, karya Abbas Kiarostami dan dalam film Persepolis karya Marjane Satrapi. Cara sutradara menarasikan, menggambarkan dan menyorot tokoh di dalam film memperlihatkan pemahaman sutradara tentang konstruksi budaya yang membangun diskriminasi gender. Dalam kehidupan normatif yang sesuai dengan pandangan patriarki, perempuan ditempatkan sebagai makhluk subordinat yang inferior. Dengan ini, sutradara menggambarkan tokoh-tokoh perempuan di dalam filmnya memiliki citra tersendiri atas perempuan Muslim yang hidup di negara Universitas Indonesia berbasis teokrasi seperti Iran yang selama ini selalu digambarkan sebagai makhluk berstatus kelas kedua di Iran. Dengan ini fokus kedua film memiliki kesamaan dalam mencitrakan perempuan sebagai perempuan yang sesuai dengan syarat dan tujuan feminisme Islam. Syarat ini ditunjukkan oleh tokoh-tokoh perempuan yang: 1. memiliki kehendak untuk memberontak dan berani untuk melaksanakannya (tokoh Marjane, dalam Persepolis); 2. berani mengkritik ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat (tokoh ST, dalam 10); 3. berani menggugat adanya diskriminasi gender di masyarakat (tokoh ST), dapat mengelola penderitaan tanpa menunjukkan dirinya sebagai korban penindasan laki-laki (tokoh Marjane dan ST); 4. dapat menunjukkan kekuatan dan potensi diri meski terkurung dalam peran-peran tradisi (tokoh Marjane dan ST); 5. mampu mengendalikan dan menahan budaya patriarki melalui peristiwa dan perilaku tokoh (tokoh Marjane dan ST). Perjuangan perempuan tidak hanya untuk memperoleh kesetaraan saja, tetapi juga menunjukkan potensi dan kesadaran perempuan terhadap yang mereka perjuangkan, serta cara memperjuangkan sebuah gagasan, agar bisa diterima oleh semua pihak. Perjuangan ini memang tidak mudah, apalagi jika dilakukan di sebuah negara yang selama tiga puluh tahun masyarakatnya hidup dalam sistem yang berlandaskan hukum Islam seperti Iran. Di tengah sistem itu tumbuh tradisitradisi yang digaungkan oleh kaum patriarki dalam masyarakat yang selama ini meminggirkan kaum perempuan. Maka beberapa dari pihak yang ingin memperjuangkan gagasan itu melakukan berbagai cara supaya kaum perempuan tidak lagi terkotakkan dan mampu memperlihatkan dirinya bukan sebagai korban dominasi budaya patriarki tetapi mampu menjadi pejuang yang memihak kaum sesamanya dan memperlihatkan bahwa dirinya mempunyai potensi untuk dikembangkan. Dalam masyarakat dewasa ini, film beserta produksinya, merupakan media dan cara yang efektif untuk menyampaikan gagasan perjuangan perempuan seperti yang disebutkan diatas. Universitas Indonesia