MODUL PERKULIAHAN Pedologi Retardasi Mental Fakultas Program Studi Psikologi Psikologi Tatap Muka 02 Kode MK Disusun Oleh 61077 Yenny, M.Psi., Psikolog Abstract Kompetensi Keterlambatan yang mencakup rentang yang luas dalam perkembangan fungsi kognitif dan sosial Mahasiswa mampu menjelaskan dan mengkomunikasikan Retardasi Mental Retardasi mental (mental retardation), yaitu keterlambatan yang mencakup rentang yang luas dalam perkembangan fungsi kognitif dan sosial (APA, 2000). Retardasi mental didiagnosis berdasarkan kombinasi dari 3 kriteria; (1) Skor rendah pada tes intelegensi formal (skor IQ kira-kira 70 atau di bawahnya); (2) Adanya bukti hendaya dalam melakukan tugas sehari-hari dibandingkan dengan orang lain yang seusia dalam lingkup budaya tertentu; dan (3) Perkembangan gangguan terjadi sebelum usia 18 tahun(APA, 2000; Robinson, Zigler, & Gallagher, 2001). DSM mengklasifikasikan retardasi mental berdasarkan tingkat keparahannya, Derajat Keparahan Perkiraan Rentang IQ Retardasi mental ringan 50-55 sampai sekitar 70 (mild) Retardasi mental sedang 35-40 sampai 50-55 (moderate) Retardasi mental berat 20-25 sampai 35-40 (severe) Retardasi mental parah Di bawah 20 atau 25 (profound) Sumber : Diadaptasi dari DSM-IV-TR (APA, 2000). Jumlah Penyandang Retardasi Mental dalam Rentang Ini Kira-kira 85% 10% 3-4% 1-2% Perkiraan Rentang Usia Prasekolah 0- Usia Sekolah 6-21 Dewasa di atas 21 Skor IQ 5 tahun tahun tahun Kematangan & Pelatihan & Kemampuan Sosial Perkembangan Pendidikan & Vokasional Ringan 50-70 Sering terlihat tidak memiliki gangguan tetapi lambat dalam berjalan, makan sendiri, dan bicara dibanding anak-anak lainnya. Menguasai keterampilan praktis serta kemampuan membaca & aritmetika sampai kelas 3-6 SD dengan pendidikan khusus. Dapat diarahkan pada konformitas sosial. Biasanya dapat mencapai keterampilan sosial dan vokasional untuk membiayai diri sendiri; mungkin membutuhkan bimbingan dan dukungan dalam menghadapi tekanan sosial dan ekonomi yang tidak biasa. Sedang 35-49 Keterlambatan yang nyata pada perkembangan motorik, terutama Dapat mempelajari komunikasi sederhana, perawatan kesehatan Dapat melakukan tugas-tugas sederhana dalam lingkungan pusat 2016 2 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog PusatBahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id dalam bicara; dan keselamatan berespons terhadap dasar, serta pelatihan dalam keterampilan tangan berbagai aktivitas sederhana; tidak self-help. mengalami kemajuan dalam fungsi membaca atau aritmetika. pelatihan; berpartisipasi dalam rekreasi sederhana; bepergian secara mandiri ke tempattempat yang dikenal; biasanya tidak dapat melakukan selfmaintenance. Berat 20-34 Ditandai dengan adanya keterlambatan dalam perkembangan motorik, kemampuan komunikasi yang minim atau tidak ada sama sekali; dapat berespons terhadap pelatihan self-help mendasar – misalnya, makan sendiri. Biasanya mampu berjalan, tetapi memiliki ketidakmampuan yang spesifik; dapat mengerti pembicaraan dan memberikan respons; tidak memiliki kemajuan dalam kemampuan membaca atau aritmetika. Dapat menyesuaikan diri dengan rutinitas sehari-hari dan aktivitas repetitif; membutuhkan pengarahan dan supervisi terusmenerus dalam lingkungan yang melindungi. Parah Di bawah 20 Retardasi motorik kasar; kapasitas minimal untuk berfungsi pada area sensorimotor; membutuhkan bantuan perawat. Keterlambatan yang terlihat jelas dalam semua area perkembangan; dapat menunjukkan respons emosional dasar; mungkin berespons terhadap pelatihan keterampilan dengan menggunakan kaki, tangan, dan rahang; memerlukan supervisi/pengawasan yang ketat. Dapat berjalan, mungkin membutuhkan bantuan perawat, dapat berbicara secara primitif; terbantu dengan aktivitas fisik teratur; tidak dapat melakukan selfmaintenance. Sumber : Dari Essentials of psychology (Edisi 6) oleh S.A. Rathus (1996). Copyright 2001. Dicetak ulang dengan izin Brooks/Cole, sebuah terbitan dari Wadsworth Group, sebuah divisi dari Thomson Learning. FAX 800-730-2215. Penyebab Retardasi Retardasi mental dapat disebabkan oleh aspek biologis, psikososial, atau kombinasi keduanya (APA, 2000). Penyebab biologis mencakup gangguan kromosom dan genetis, penyakit infeksi, dan penggunaan alkohol pada saat ibu mengandung. Walaupun demikian, lebih dari separuh kasus retardasi mental tetap tidak dapat dijelaskan, terutama yang tergolong dalam retardasi mental ringan (Flint dkk., 1995). Kasus-kasus yang tidak dapat dijelaskan ini mungkin melibatkan penyebab dari unsur budaya atau keluarga, seperti pengasuhan dalam lingkungan rumah yang miskin. Atau mungkin penyebabnya merupakan 2016 3 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog PusatBahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id interaksi antara faktor psikososial dan genetis, hal yang masih amat minim dipahami (Thaper dkk., 1994). Sindrom Down dan Abnormalitas Kromosom Lainnya Abnormalitas kromosom yang paling umum menyebabkan retardasi mental adalah sindrom Down (Down Syndrome) yang ditandai oleh adanya kelebihan kromosom atau kromosom ketiga pada pasangan kromosom ke-21, sehingga menyebabkan jumlah kromosom menjadi 47, bukan 46 seperti pada individu normal (Wade, 2000). Sindrom Down terjadi pada sekitar 1 dari 800 kelahiran. Kondisi ini biasanya terjadi bila pasangan kromosom ke-21 pada sel telur atau sperma gagal untuk membelah secara normal sehingga mengakibatkan ekstra kromosom. Abnormalitas kromosom akan lebih sering terjadi seiring dengan bertambahnya usia orang tua. Oleh karena itu, pasangan yang berada pada usia pertengahan 30 atau lebih yang sedang menantikan kehadiran bayi, sering menjalani tes genetis prenatal untuk mendeteksi sindrom Down dan abnormalitas genetis. Sindrom Down dapat dilacak melalui kerusakan kromosom ibu pada sekitar 95% kasus (Antonarakas dkk., 1991), sementara sisanya adalah kerusakan pada sperma ayah. Anak dengan sindrom Down dapat dikenali berdasarkan ciri-ciri fisik tertentu, seperti wajah bulat, lebar, hidung datar, dan adanya lipatan kecil yang mengarah ke bawah pada kulit di bagian ujung mata yang memberikan kesan mata sipit. Lidah yang menonjol, tangan yang kecil dan berbentuk segi empat dengan jari-jari pendek, jari kelima yang melengkung, dan ukuran tangan dan kaki yang kecil serta tidak proporsional dibandingkan keseluruhan tubuh juga merupakan ciri-ciri anak dengan sindrom Down. Hampir semua anak ini mengalami retardasi mental dan banyak di antara mereka mengalami masalah fisik, seperti gangguan pada pembentukan jantung dan kesulitan pernafasan. Yang menyedihkan, sebagian besar meninggal pada usia pertengahan. Pada tahun-tahun terakhir hidup, mereka cenderung kehilangan ingatan dan mengalami emosi yang kekanak-kanakan yang menandai senilitas. Anak-anak dengan sindrom Down menderita berbagai defisit dalam belajar dan perkembangan. Mereka cenderung tidak terkoordinasi dan kurang memiliki tekanan otot yang cukup sehingga sulit bagi mereka untuk melakukan tugas-tugas fisik dan terlibat dalam aktivitas bermain seperti anak-anak lain. Anak-anak ini mengalami defisit memori, khususnya untuk informasi yang ditampilkan secara verbal, sehingga sulit untuk belajar di sekolah. Mereka juga mengalami kesulitan mengikuti instruksi dari guru dan mengekspresikan pemikiran atau kebutuhan mereka dengan jelas secara verbal. Di samping kesulitan-kesulitan tersebut, sebagian besar dapat belajar membaca, menulis dan 2016 4 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog PusatBahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id mengerjakan tugas-tugas aritmetika sederhana bila mereka menerima pendidikan yang tepat dan dukungan yang baik. Walaupun lebih jarang terjadi daripada sindrom Down, abnormalitas kromosom pada kromosom seks dapat mengakibatkan retardasi mental, misalnya pada sindrom Klinefelter dan sindrom Turner. Sindrom Klinefelter, yang hanya muncul pada laki-laki, ditandai oleh adanya ekstra kromosom X sehingga menghasilkan pola kromosom XXY dan bukan XY yang biasanya dimiliki laki-laki normal. Estimasi prevalensi dari gangguan ini berkisar antara 1 di antara 500 sampai 1 di antara 1.000 kelahiran bayi laki-laki (Brody, 1993c). Pria dengan pola XXY ini gagal mengembangkan karakteristik seks sekunder yang tepat sehingga mengakibatkan adanya testis yang kecil dan tidak berkembang sempurna, produksi sperma yang rendah, pembesaran payudara, perkembangan otot yang kurang baik dan infertilitas. Retardasi mental atau gangguan belajar sering muncul pada pria-pria ini. Pria dengan sindrom Klinefelter ini sering kali tidak merasakan gangguan ini sampai mereka melakukan tes fertilitas. Sindrom Turner ditemukan hanya pada wanita yang ditandai oleh adanya kromosom seks X tunggal dan bukannya ganda seperti pada wanita normal. Walaupun anak perempuan akan mengembangkan genital luar yang normal namun indung telur tidak berkembang dengan baik dan juga cenderung mengalami retardasi ringan, terutama dalam keterampilan matematika dan ilmu pengetahuan alam. Sindrom Fragile X dan Abnormalitas Genetis Lainnya Sindrom fragile X merupakan tipe umum dari retardasi mental yang diwariskan (Kwon dkk., 2001). Gangguan ini merupakan bentuk retardasi mental yang paling sering muncul setelah sindrom Down (Plomin dkk., 1994). Gangguan ini dipercaya disebabkan oleh mutasi gen pada kromosom X (Hagerman, 1996). Gen yang rusak berada pada area kromosom yang tampak rapuh, sehingga disebut sindrom fragile X (fragile X syndrome). Sindrom ini menyebabkan retardasi mental pada 1.000 sampai 1.500 pria dan (biasanya tidak terlalu parah) hambatan mental pada setiap 2.000 sampai 2.500 perempuan (Angier, 1991b; Rousseau dkk., 1991). Efek dari sindrom fragile X berkisar antara gangguan belajar ringan sampai retardasi parah yang bisa menyebabkan gangguan bicara dan fungsi yang berat. Perempuan biasanya memiliki dua kromosom X, sementara laki-laki hanya satu. Pada perempuan, memiliki dua kromosom X tampaknya memberikan perlindungan dari gangguan ini bila kerusakan terjadi pada salah satunya (Angier, 1991b). Hal ini dapat menjelaskan mengapa gangguan ini umumnya akan berdampak lebih parah pada laki-laki daripada 2016 5 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog PusatBahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id perempuan. Namun demikian, mutasi ini tidak selalu terlihat. Banyak perempuan dan lakilaki yang mengalami mutasi kromosom X tapi tidak menunjukkan bukti-bukti klinis dari mutasi tersebut, tetapi mereka dapat menurunkan sindrom ini pada keturunan mereka. Tes genetis dapat mendeteksi adanya mutasi dengan analisis DNA langsung (Rousseau dkk., 1991) dan dapat membantu calon orang tua dalam konseling genetis. Tes prenatal pada bayi dalam kandungan juga mungkin dilakukan (Sutherland dkk., 1991). Walaupun tidak ada penanganan bagi sindrom fragile X, mengidentifikasi gen yang rusak adalah langkah pertama ke arah pemahaman bagaimana protein yang dihasilkan oleh gen dapat mengakibatkan ketidakmampuan, yang menyebabkan perkembangan penanganan di masa datang (Angier, 1991b). Phenylketonuria (PKU) merupakan gangguan genetis yang terjadi pada 1 di antara 10.000 kelahiran (Plomin dkk., 1994). Gangguan ini disebabkan adanya satu gen resesif yang menghambat anak untuk melakukan metabolisme asam amino phenylalanine, yang terdapat pada banyak makanan. Konsekuensinya, phenylalanine dan turunannya, asam phenylpyruvic, menumpuk dalam tubuh menyebabkan kerusakan pada sistem saraf pusat yang mengakibatkan retardasi mental dan gangguan emosional. Adanya PKU dapat dideteksi pada bayi dengan menganalisis darah atau air seni. Walaupun tidak ada pengobatan untuk menyembuhkan PKU, anak-anak dengan gangguan ini mungkin tidak mengalami kerusakan yang berat atau dapat berkembang secara normal bila mereka melakukan diet rendah phenylalanine segera setelah kelahiran (Brody, 1990). Mereka menerima suplemen protein untuk mengganti kekurangan nutrisi. Saat ini berbagai tes prenatal dapat mendeteksi adanya abnormalitas kromosom dan gangguan genetis. Pada amniocentesis, yang biasanya dilakukan 14-15 minggu setelah pembuahan, sampel cairan amniotik dari kantong amniotik bayi diambil dengan menggunakan jarum suntik. Sel-sel dari fetus dapat dipisahkan dari cairan ini, dibiakkan dalam cairan tertentu, dan diperiksa abnormalitasnya, termasuk sindrom Down. Pemeriksaan darah juga digunakan untuk mendeteksi adanya bawaan dari gangguangangguan lain. Faktor-faktor Prenatal Beberapa kasus retardasi mental disebabkan oleh infeksi atau penyalahgunaan obat selama ibu mengandung. Rubella (cacar Jerman) pada ibu, misalnya, dapat ditularkan pada bayi yang belum lahir, mengakibatkan kerusakan otak sehingga menyebabkan retardasi, dan ini dapat berperan juga pada autisme. Walaupun ibu hanya mengalami simtom-simtom ringan 2016 6 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog PusatBahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id atau tidak merasakannya sama sekali, efeknya pada fetus amat tragis. Penyakit ibu yang juga dapat menyebabkan retardasi pada anak adalah sifilis, cytomegalovirus, dan herpes genital. Program-program imunisasi perempuan terhadap rubella sebelum kehamilan dan tes untuk mendeteksi sifilis selama kehamilan telah mengurangi risiko berpindahnya infeksi-infeksi ini kepada anak-anak. Sebagian besar anak yang tertular herpes genital dari ibu mengalaminya pada saat kelahiran yaitu karena adanya kontak dengan virus herpes simpleks pada saluran kelahiran. Operasi caesar mengurangi risiko bayi terkena virus saat proses kelahiran. Obat-obatan yang digunakan ibu selama kehamilan dapat mempengaruhi bayi melalui plasenta. Sebagian dapat menyebabkan cacat fisik dan retardasi mental yang parah. Anakanak yang ibunya minum alkohol selama kehamilan sering lahir dengan sindrom alkohol fetal (fetal alcohol syndrome/FAS). FAS merupakan kasus yang paling nyata sebagai penyebab retardasi mental. Ibu yang merokok selama kehamilan juga dikaitkan dengan terjadinya ADHD pada anak-anak (Millberger dkk., 1996). Komplikasi kelahiran, seperti kekurangan oksigen atau cedera kepala, menempatkan anak pada risiko yang lebih besar terhadap gangguan neurologis, termasuk retardasi mental. Kelahiran prematur juga menimbulkan risiko retardasi mental dan gangguan perkembangan lainnya. Infeksi otak, seperti encephalitis dan meningitis, atau trauma selama masa bayi dan kanak-kanak awal dapat menyebabkan retardasi mental dan gangguan kesehatan lainnya. Anak-anak yang terkena racun, seperti cat yang mengandung timah, juga dapat mengalami kerusakan otak yang menyebabkan retardasi mental. Penyebab-penyebab Budaya-Keluarga Sebagian besar kasus retardasi mental termasuk dalam rentang tingkat keparahan yang ringan. Pada sebagian besar kasus ini, tidak terdapat penyebab biologis yang nyata atau perbedaan ciri-ciri fisik yang membedakan seorang anak dengan anak-anak lain. Faktorfaktor psikososial, seperti lingkungan rumah atau sosial yang miskin, yaitu yang tidak memberikan stimulasi intelektual, penelantaran atau kekerasan dari orang tua, dapat menjadi penyebab atau memberi kontribusi dalam perkembangan retardasi mental pada anak-anak ini. Adanya kaitan keluarga terbukti dari suatu studi di Atlanta yang menunjukkan bahwa ibu-ibu yang tidak lulus SMA kemungkinannya empat kali lipat lebih besar untuk memiliki anak-anak dengan retardasi mental ringan berpendidikan (Drews dkk., 1995). 2016 7 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog PusatBahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id dibandingkan ibu-ibu yang Kasus-kasus ini dianggap retardasi budaya-keluarga (cultural-familial retardation). Anak-anak dalam keluarga yang miskin mungkin kekurangan mainan, buku, atau kesempatan untuk berinteraksi dengan orang dewasa melalui cara-cara yang menstimulasi secara intelektual. Akibatnya, mereka gagal mengembangkan keterampilan bahasa yang tepat atau menjadi tidak termotivasi untuk belajar keterampilan-keterampilan yang penting dalam masyarakat kontemporer. Beban-beban ekonomi, seperti keharusan memiliki lebih dari satu pekerjaan, dapat menghambat orang tua untuk meluangkan waktu membacakan buku pada anak-anak, mengobrol panjang lebar, dan memperkenalkan mereka pada permainan kreatif atau rekreasi ke museum dan taman. Anak-anak mungkin menghabiskan sebagian besar hari mereka di depan TV. Para orang tua, yang pada umumnya juga diasuh dalam kemiskinan, kurang memiliki keterampilan membaca atau berkomunikasi untuk membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan ini pada anak-anak mereka. Lingkaran kemiskinan dan buruknya perkembangan intelektual dapat berulang dari generasi ke generasi. Anak-anak dengan bentuk retardasi ini dapat berespons secara dramatis bila diberi pengalaman belajar yang kaya, terutama pada usia dini. Program-program sosial seperti Head Start, misalnya, telah membantu anak-anak dengan risiko retardasi budaya-keluarga agar berfungsi dalam rentang yang normal (misalnya, Barnett & Escobar, 1990). Intervensi Pelayanan yang dibutuhkan oleh anak-anak dengan retardasi mental untuk memenuhi tuntutan perkembangan, sebagian bergantung pada derajat keparahan dan tipe retardasi (Dykens & Hodapp, 1997; Snell, 1997). Dengan pelatihan yang tepat, anak-anak dengan retardasi ringan dapat mencapai kemampuan setara dengan anak kelas 6 SD. Mereka dapat menguasai keterampilan-keterampilan vokasional yang memungkinkan mereka untuk membiayai diri sendiri melalui pekerjaan yang bermakna. Banyak anak-anak seperti ini dapat bersekolah di kelas reguler. Sebaliknya, anak-anak dengan retardasi mental berat atau parah membutuhkan penanganan institusi atau ditempatkan pada pusat pelayanan residensial (residential care) yang ada di komunitas, misalnya group home. Penempatan di institusi sering kali didasarkan pada kebutuhan untuk mengontrol perilaku destruktif atau agresif, bukan karena parahnya gangguan intelektual. Kontroversi mengenai apakah anak-anak dengan retardasi mental harus diikutkan pada kelas reguler atau ditempatkan pada kelas-kelas dengan pendidikan khusus masih terjadi. Walaupun sebagian anak dengan retardasi ringan dapat berprestasi lebih baik bila mereka berada di sekolah umum, yang lainnya mungkin tidak seperti itu. Mereka mungkin merasa 2016 8 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog PusatBahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id kelas-kelas ini terlalu berat dan akhirnya menarik diri dari teman-teman mereka. Terdapat pula tren untuk tidak menempatkan orang dengan retardasi mental berat di institusi, perubahan ini dipicu oleh kemarahan masyarakat terhadap kondisi yang mengerikan di institusi-institusi yang menangani anak-anak tersebut. Di Amerika, undang-undang mengenai Hak untuk Penyandang Cacat (The Developmentally Disabled Assistance and Bill of Rights Act) yang disahkan Kongres pada tahun 1975, menyatakan bahwa individu dengan retardasi mental memiliki hak untuk menerima penanganan yang layak dalam lingkup yang tidak terlalu membatasi. Dalam skala nasional, jumlah institusi bagi orang-orang dengan retardasi mental menciut hampir dua pertiganya selama tahun 1970-an sampai 1990-an. Orang-orang dengan retardasi mental yang mampu berfungsi dalam masyarakat memiliki hak untuk menerima penanganan yang tidak terlalu membatasi seperti yang mereka peroleh di institusi besar. Banyak di antaranya yang mampu hidup di luar institusi dan ditempatkan di kompleks perumahan di bawah pengawasan. Para penghuni biasanya berbagi tanggung jawab pekerjaan rumah dan didorong untuk berpartisipasi dalam kegiatan harian yang bermakna, seperti program-program pelatihan atau bengkel kerja. Sebagian lainnya tinggal dengan keluarga mereka dan menghadiri program-program harian yang terstruktur. Orang dewasa dengan retardasi ringan sering bekerja di luar rumah dan tinggal di apartemen pribadi atau berbagai apartemen dengan mereka yang memiliki gangguan yang sama. Walaupun pengeluaran pasien jiwa dalam skala besar dari institusi-institusi psikiatrik telah menyebabkan masalah sosial yang besar dan meningkatkan jumlah penduduk Amerika yang tidak memiliki rumah tinggal, deinstitusionalisasi para penderita retardasi mental ringan ini dapat dikatakan sukses (Winerip, 1991). Anak-anak dan orang dewasa dengan retardasi mental mungkin membutuhkan konseling psikologis untuk membantu menyesuaikan diri dengan kehidupan di masyarakat. Banyak di antara mereka kesulitan dalam berteman dan terisolasi secara sosial. Masalah yang berkaitan dengan self-esteem umum terjadi, terutama karena orang-orang dengan retardasi mental sering kali direndahkan dan dijadikan bahan ejekan. Konseling suportif dapat digabungkan dengan teknik-teknik perilaku yang membantu mereka memperoleh keterampilan-keterampilan mengenai kesehatan pribadi, pekerjaan, dan hubungan sosial. Pendekatan perilaku yang lebih terstruktur dapat digunakan untuk mengajar orang-orang dengan tingkat retardasi yang lebih berat, misalnya mengajarkan perilaku kesehatan dasar seperti menggosok gigi, memakai pakaian, dan menyisir rambut. 2016 9 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog PusatBahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Teknik-teknik penanganan perilaku lainnya mencakup pelatihan keterampilan sosial, yang memfokuskan pada peningkatan kemampuan individu untuk berhubungan secara efektif dengan orang lain, dan pelatihan pengelolaan amarah (anger management) untuk membantu individu mengembangkan cara-cara yang lebih efektif dalam mengatasi konflik tanpa bertindak agresif (Huang & Cuvo, 1997; Rose, 1996). Anak-anak dengan retardasi mental memiliki peluang tiga atau empat kali lebih besar daripada anak normal untuk mengalami gangguan psikologis lain, seperti ADHD, depresi, atau gangguan kecemasan (Borthwick-Duffy, 1994). Sebanyak tiga dari empat laki-laki dengan sindrom fragile X, misalnya, juga mengalami ADHD (Matson & Sevin, 1994). Para ahli kesehatan mental masih lambat dalam mengetahui prevalensi masalah-masalah kesehatan mental pada orang-orang dengan retardasi mental. Mungkin hal ini disebabkan oleh perbedaan konseptual yang ada selama ini antara hendaya emosional di satu sisi dan defisit intelektual di sisi lain (Nezu, 1994). Banyak ahli yang bahkan berasumsi (secara salah) bahwa orang-orang yang menderita retardasi mental bagaimanapun kebal terhadap masalah-masalah psikologis atau bahwa mereka dianggap kurang memiliki kemampuan verbal yang dibutuhkan untuk psikoterapi (Butz, Bowling, & Bliss, 2000; Nezu, 1994). Dengan adanya keyakinan-keyakinan tersebut maka tidak mengherankan bila banyak masalah-masalah psikologis pada orang-orang dengan retardasi mental menjadi terabaikan dan tidak ditangani (Reiss & Valenti-Hein, 1994). Namun, bukti-bukti menunjukkan bahwa orang-orang dengan retardasi mental dapat terbantu dengan psikoterapi (Butz dkk., 2000). Kasus Retardasi Mental Sedang Seorang ibu memohon pada dokter di ruang gawat darurat untuk mau menerima anak lakilakinya yang berusia 15 tahun karena ia sudah tidak sanggup lagi. Anaknya, pasien sindrom Down dengan IQ 45, sudah berpindah-pindah tinggal di institusi dan di rumah sejak usia 8 tahun. Setiap kali dikunjungi, anak ini memohon agar dibawa pulang. Tiap sekitar satu tahun di setiap tempat, ibunya akan membawanya pulang, dan pada akhirnya merasa bahwa dirinya tidak dapat mengontrol perilaku si anak. Bila sedang mengalami tantrum, anak ini akan memecahkan perabot makan dan menghancurkan furnitur, dan akhir-akhir ini mulai mengancam ibunya secara fisik, memukulnya di bagian tangan dan pundak ketika ibunya mencoba menghentikannya untuk tidak memukulkan sapu berkali-kali ke lantai. Diadaptasi dari Spitzer dkk., 1989, hal. 338-340. 2016 10 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog PusatBahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Daftar Pustaka Nevid, Jeffrey S., Spencer A. Rathus, & Beverly Greene. 2005. Psikologi Abnormal, Edisi Kelima, Jilid 2. Jakarta : Erlangga. Web Link American Association on Mental Retardation 2016 11 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog PusatBahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id