Modul Pedologi [TM2]

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Pedologi
Retardasi Mental
Fakultas
Program Studi
Psikologi
Psikologi
Tatap Muka
02
Kode MK
Disusun Oleh
61077
Yenny, M.Psi., Psikolog
Abstract
Kompetensi
Keterlambatan yang mencakup
rentang yang luas dalam
perkembangan fungsi kognitif dan
sosial
Mahasiswa mampu menjelaskan dan
mengkomunikasikan Retardasi Mental
Retardasi mental (mental retardation), yaitu keterlambatan yang mencakup rentang yang
luas dalam perkembangan fungsi kognitif dan sosial (APA, 2000).
Retardasi mental didiagnosis berdasarkan kombinasi dari 3 kriteria;
(1) Skor rendah pada tes intelegensi formal (skor IQ kira-kira 70 atau di bawahnya);
(2) Adanya bukti hendaya dalam melakukan tugas sehari-hari dibandingkan dengan orang
lain yang seusia dalam lingkup budaya tertentu; dan
(3) Perkembangan gangguan terjadi sebelum usia 18 tahun(APA, 2000; Robinson, Zigler, &
Gallagher, 2001).
DSM mengklasifikasikan retardasi mental berdasarkan tingkat keparahannya,
Derajat Keparahan
Perkiraan Rentang IQ
Retardasi mental ringan 50-55 sampai sekitar 70
(mild)
Retardasi mental sedang 35-40 sampai 50-55
(moderate)
Retardasi
mental
berat 20-25 sampai 35-40
(severe)
Retardasi
mental
parah Di bawah 20 atau 25
(profound)
Sumber : Diadaptasi dari DSM-IV-TR (APA, 2000).
Jumlah
Penyandang
Retardasi Mental dalam
Rentang Ini
Kira-kira 85%
10%
3-4%
1-2%
Perkiraan Rentang Usia Prasekolah 0- Usia Sekolah 6-21 Dewasa di atas 21
Skor IQ
5 tahun
tahun
tahun
Kematangan
& Pelatihan
& Kemampuan Sosial
Perkembangan
Pendidikan
& Vokasional
Ringan 50-70
Sering terlihat tidak
memiliki gangguan
tetapi lambat dalam
berjalan,
makan
sendiri, dan bicara
dibanding anak-anak
lainnya.
Menguasai
keterampilan praktis
serta
kemampuan
membaca
&
aritmetika
sampai
kelas 3-6 SD dengan
pendidikan
khusus.
Dapat diarahkan pada
konformitas sosial.
Biasanya
dapat
mencapai
keterampilan sosial
dan vokasional untuk
membiayai
diri
sendiri;
mungkin
membutuhkan
bimbingan
dan
dukungan
dalam
menghadapi tekanan
sosial dan ekonomi
yang tidak biasa.
Sedang 35-49
Keterlambatan yang
nyata
pada
perkembangan
motorik,
terutama
Dapat
mempelajari
komunikasi
sederhana,
perawatan kesehatan
Dapat
melakukan
tugas-tugas
sederhana
dalam
lingkungan
pusat
2016
2
Pedologi
Yenny, M.Psi., Psikolog
PusatBahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dalam
bicara; dan
keselamatan
berespons terhadap dasar,
serta
pelatihan
dalam keterampilan tangan
berbagai
aktivitas sederhana;
tidak
self-help.
mengalami kemajuan
dalam
fungsi
membaca
atau
aritmetika.
pelatihan;
berpartisipasi dalam
rekreasi sederhana;
bepergian
secara
mandiri ke tempattempat yang dikenal;
biasanya tidak dapat
melakukan
selfmaintenance.
Berat 20-34
Ditandai
dengan
adanya
keterlambatan dalam
perkembangan
motorik, kemampuan
komunikasi
yang
minim atau tidak ada
sama sekali; dapat
berespons terhadap
pelatihan
self-help
mendasar
–
misalnya,
makan
sendiri.
Biasanya
mampu
berjalan,
tetapi
memiliki
ketidakmampuan
yang spesifik; dapat
mengerti
pembicaraan
dan
memberikan respons;
tidak
memiliki
kemajuan
dalam
kemampuan
membaca
atau
aritmetika.
Dapat menyesuaikan
diri dengan rutinitas
sehari-hari
dan
aktivitas
repetitif;
membutuhkan
pengarahan
dan
supervisi
terusmenerus
dalam
lingkungan
yang
melindungi.
Parah Di bawah 20
Retardasi
motorik
kasar;
kapasitas
minimal
untuk
berfungsi pada area
sensorimotor;
membutuhkan
bantuan perawat.
Keterlambatan yang
terlihat jelas dalam
semua
area
perkembangan; dapat
menunjukkan respons
emosional
dasar;
mungkin berespons
terhadap
pelatihan
keterampilan dengan
menggunakan kaki,
tangan, dan rahang;
memerlukan
supervisi/pengawasan
yang ketat.
Dapat
berjalan,
mungkin
membutuhkan
bantuan
perawat,
dapat
berbicara
secara
primitif;
terbantu
dengan
aktivitas fisik teratur;
tidak
dapat
melakukan
selfmaintenance.
Sumber : Dari Essentials of psychology (Edisi 6) oleh S.A. Rathus (1996). Copyright 2001.
Dicetak ulang dengan izin Brooks/Cole, sebuah terbitan dari Wadsworth Group, sebuah
divisi dari Thomson Learning. FAX 800-730-2215.
Penyebab Retardasi
Retardasi mental dapat disebabkan oleh aspek biologis, psikososial, atau kombinasi
keduanya (APA, 2000). Penyebab biologis mencakup gangguan kromosom dan genetis,
penyakit infeksi, dan penggunaan alkohol pada saat ibu mengandung. Walaupun demikian,
lebih dari separuh kasus retardasi mental tetap tidak dapat dijelaskan, terutama yang
tergolong dalam retardasi mental ringan (Flint dkk., 1995). Kasus-kasus yang tidak dapat
dijelaskan ini mungkin melibatkan penyebab dari unsur budaya atau keluarga, seperti
pengasuhan dalam lingkungan rumah yang miskin. Atau mungkin penyebabnya merupakan
2016
3
Pedologi
Yenny, M.Psi., Psikolog
PusatBahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
interaksi antara faktor psikososial dan genetis, hal yang masih amat minim dipahami
(Thaper dkk., 1994).
Sindrom Down dan Abnormalitas Kromosom Lainnya
Abnormalitas kromosom yang paling umum menyebabkan retardasi mental adalah sindrom
Down (Down Syndrome) yang ditandai oleh adanya kelebihan kromosom atau kromosom
ketiga pada pasangan kromosom ke-21, sehingga menyebabkan jumlah kromosom menjadi
47, bukan 46 seperti pada individu normal (Wade, 2000). Sindrom Down terjadi pada sekitar
1 dari 800 kelahiran. Kondisi ini biasanya terjadi bila pasangan kromosom ke-21 pada sel
telur atau sperma gagal untuk membelah secara normal sehingga mengakibatkan ekstra
kromosom. Abnormalitas kromosom akan lebih sering terjadi seiring dengan bertambahnya
usia orang tua. Oleh karena itu, pasangan yang berada pada usia pertengahan 30 atau lebih
yang sedang menantikan kehadiran bayi, sering menjalani tes genetis prenatal untuk
mendeteksi sindrom Down dan abnormalitas genetis. Sindrom Down dapat dilacak melalui
kerusakan kromosom ibu pada sekitar 95% kasus (Antonarakas dkk., 1991), sementara
sisanya adalah kerusakan pada sperma ayah.
Anak dengan sindrom Down dapat dikenali berdasarkan ciri-ciri fisik tertentu, seperti wajah
bulat, lebar, hidung datar, dan adanya lipatan kecil yang mengarah ke bawah pada kulit di
bagian ujung mata yang memberikan kesan mata sipit. Lidah yang menonjol, tangan yang
kecil dan berbentuk segi empat dengan jari-jari pendek, jari kelima yang melengkung, dan
ukuran tangan dan kaki yang kecil serta tidak proporsional dibandingkan keseluruhan tubuh
juga merupakan ciri-ciri anak dengan sindrom Down. Hampir semua anak ini mengalami
retardasi mental dan banyak di antara mereka mengalami masalah fisik, seperti gangguan
pada pembentukan jantung dan kesulitan pernafasan. Yang menyedihkan, sebagian besar
meninggal pada usia pertengahan. Pada tahun-tahun terakhir hidup, mereka cenderung
kehilangan ingatan dan mengalami emosi yang kekanak-kanakan yang menandai senilitas.
Anak-anak dengan sindrom Down menderita berbagai defisit dalam belajar dan
perkembangan. Mereka cenderung tidak terkoordinasi dan kurang memiliki tekanan otot
yang cukup sehingga sulit bagi mereka untuk melakukan tugas-tugas fisik dan terlibat dalam
aktivitas bermain seperti anak-anak lain. Anak-anak ini mengalami defisit memori,
khususnya untuk informasi yang ditampilkan secara verbal, sehingga sulit untuk belajar di
sekolah.
Mereka
juga
mengalami
kesulitan
mengikuti
instruksi
dari
guru
dan
mengekspresikan pemikiran atau kebutuhan mereka dengan jelas secara verbal. Di samping
kesulitan-kesulitan tersebut, sebagian besar dapat belajar membaca, menulis dan
2016
4
Pedologi
Yenny, M.Psi., Psikolog
PusatBahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
mengerjakan tugas-tugas aritmetika sederhana bila mereka menerima pendidikan yang
tepat dan dukungan yang baik.
Walaupun lebih jarang terjadi daripada sindrom Down, abnormalitas kromosom pada
kromosom seks dapat mengakibatkan retardasi mental, misalnya pada sindrom Klinefelter
dan sindrom Turner. Sindrom Klinefelter, yang hanya muncul pada laki-laki, ditandai oleh
adanya ekstra kromosom X sehingga menghasilkan pola kromosom XXY dan bukan XY
yang biasanya dimiliki laki-laki normal. Estimasi prevalensi dari gangguan ini berkisar antara
1 di antara 500 sampai 1 di antara 1.000 kelahiran bayi laki-laki (Brody, 1993c). Pria dengan
pola XXY ini gagal mengembangkan karakteristik seks sekunder yang tepat sehingga
mengakibatkan adanya testis yang kecil dan tidak berkembang sempurna, produksi sperma
yang rendah, pembesaran payudara, perkembangan otot yang kurang baik dan infertilitas.
Retardasi mental atau gangguan belajar sering muncul pada pria-pria ini. Pria dengan
sindrom Klinefelter ini sering kali tidak merasakan gangguan ini sampai mereka melakukan
tes fertilitas.
Sindrom Turner ditemukan hanya pada wanita yang ditandai oleh adanya kromosom seks X
tunggal dan bukannya ganda seperti pada wanita normal. Walaupun anak perempuan akan
mengembangkan genital luar yang normal namun indung telur tidak berkembang dengan
baik dan juga cenderung mengalami retardasi ringan, terutama dalam keterampilan
matematika dan ilmu pengetahuan alam.
Sindrom Fragile X dan Abnormalitas Genetis Lainnya
Sindrom fragile X merupakan tipe umum dari retardasi mental yang diwariskan (Kwon dkk.,
2001). Gangguan ini merupakan bentuk retardasi mental yang paling sering muncul setelah
sindrom Down (Plomin dkk., 1994). Gangguan ini dipercaya disebabkan oleh mutasi gen
pada kromosom X (Hagerman, 1996). Gen yang rusak berada pada area kromosom yang
tampak rapuh, sehingga disebut sindrom fragile X (fragile X syndrome). Sindrom ini
menyebabkan retardasi mental pada 1.000 sampai 1.500 pria dan (biasanya tidak terlalu
parah) hambatan mental pada setiap 2.000 sampai 2.500 perempuan (Angier, 1991b;
Rousseau dkk., 1991). Efek dari sindrom fragile X berkisar antara gangguan belajar ringan
sampai retardasi parah yang bisa menyebabkan gangguan bicara dan fungsi yang berat.
Perempuan biasanya memiliki dua kromosom X, sementara laki-laki hanya satu. Pada
perempuan, memiliki dua kromosom X tampaknya memberikan perlindungan dari gangguan
ini bila kerusakan terjadi pada salah satunya (Angier, 1991b). Hal ini dapat menjelaskan
mengapa gangguan ini umumnya akan berdampak lebih parah pada laki-laki daripada
2016
5
Pedologi
Yenny, M.Psi., Psikolog
PusatBahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
perempuan. Namun demikian, mutasi ini tidak selalu terlihat. Banyak perempuan dan lakilaki yang mengalami mutasi kromosom X tapi tidak menunjukkan bukti-bukti klinis dari
mutasi tersebut, tetapi mereka dapat menurunkan sindrom ini pada keturunan mereka.
Tes genetis dapat mendeteksi adanya mutasi dengan analisis DNA langsung (Rousseau
dkk., 1991) dan dapat membantu calon orang tua dalam konseling genetis. Tes prenatal
pada bayi dalam kandungan juga mungkin dilakukan (Sutherland dkk., 1991). Walaupun
tidak ada penanganan bagi sindrom fragile X, mengidentifikasi gen yang rusak adalah
langkah pertama ke arah pemahaman bagaimana protein yang dihasilkan oleh gen dapat
mengakibatkan ketidakmampuan, yang menyebabkan perkembangan penanganan di masa
datang (Angier, 1991b).
Phenylketonuria (PKU) merupakan gangguan genetis yang terjadi pada 1 di antara 10.000
kelahiran (Plomin dkk., 1994). Gangguan ini disebabkan adanya satu gen resesif yang
menghambat anak untuk melakukan metabolisme asam amino phenylalanine, yang terdapat
pada
banyak
makanan.
Konsekuensinya,
phenylalanine
dan
turunannya,
asam
phenylpyruvic, menumpuk dalam tubuh menyebabkan kerusakan pada sistem saraf pusat
yang mengakibatkan retardasi mental dan gangguan emosional. Adanya PKU dapat
dideteksi pada bayi dengan menganalisis darah atau air seni. Walaupun tidak ada
pengobatan untuk menyembuhkan PKU, anak-anak dengan gangguan ini mungkin tidak
mengalami kerusakan yang berat atau dapat berkembang secara normal bila mereka
melakukan diet rendah phenylalanine segera setelah kelahiran (Brody, 1990). Mereka
menerima suplemen protein untuk mengganti kekurangan nutrisi.
Saat ini berbagai tes prenatal dapat mendeteksi adanya abnormalitas kromosom dan
gangguan genetis. Pada amniocentesis, yang biasanya dilakukan 14-15 minggu setelah
pembuahan, sampel cairan amniotik dari kantong amniotik bayi diambil dengan
menggunakan jarum suntik. Sel-sel dari fetus dapat dipisahkan dari cairan ini, dibiakkan
dalam
cairan
tertentu,
dan
diperiksa
abnormalitasnya,
termasuk sindrom
Down.
Pemeriksaan darah juga digunakan untuk mendeteksi adanya bawaan dari gangguangangguan lain.
Faktor-faktor Prenatal
Beberapa kasus retardasi mental disebabkan oleh infeksi atau penyalahgunaan obat selama
ibu mengandung. Rubella (cacar Jerman) pada ibu, misalnya, dapat ditularkan pada bayi
yang belum lahir, mengakibatkan kerusakan otak sehingga menyebabkan retardasi, dan ini
dapat berperan juga pada autisme. Walaupun ibu hanya mengalami simtom-simtom ringan
2016
6
Pedologi
Yenny, M.Psi., Psikolog
PusatBahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
atau tidak merasakannya sama sekali, efeknya pada fetus amat tragis. Penyakit ibu yang
juga dapat menyebabkan retardasi pada anak adalah sifilis, cytomegalovirus, dan herpes
genital.
Program-program imunisasi perempuan terhadap rubella sebelum kehamilan dan tes untuk
mendeteksi sifilis selama kehamilan telah mengurangi risiko berpindahnya infeksi-infeksi ini
kepada anak-anak. Sebagian besar anak yang tertular herpes genital dari ibu mengalaminya
pada saat kelahiran yaitu karena adanya kontak dengan virus herpes simpleks pada saluran
kelahiran. Operasi caesar mengurangi risiko bayi terkena virus saat proses kelahiran.
Obat-obatan yang digunakan ibu selama kehamilan dapat mempengaruhi bayi melalui
plasenta. Sebagian dapat menyebabkan cacat fisik dan retardasi mental yang parah. Anakanak yang ibunya minum alkohol selama kehamilan sering lahir dengan sindrom alkohol
fetal (fetal alcohol syndrome/FAS). FAS merupakan kasus yang paling nyata sebagai
penyebab retardasi mental. Ibu yang merokok selama kehamilan juga dikaitkan dengan
terjadinya ADHD pada anak-anak (Millberger dkk., 1996).
Komplikasi kelahiran, seperti kekurangan oksigen atau cedera kepala, menempatkan anak
pada risiko yang lebih besar terhadap gangguan neurologis, termasuk retardasi mental.
Kelahiran prematur juga menimbulkan risiko retardasi mental dan gangguan perkembangan
lainnya. Infeksi otak, seperti encephalitis dan meningitis, atau trauma selama masa bayi dan
kanak-kanak awal dapat menyebabkan retardasi mental dan gangguan kesehatan lainnya.
Anak-anak yang terkena racun, seperti cat yang mengandung timah, juga dapat mengalami
kerusakan otak yang menyebabkan retardasi mental.
Penyebab-penyebab Budaya-Keluarga
Sebagian besar kasus retardasi mental termasuk dalam rentang tingkat keparahan yang
ringan. Pada sebagian besar kasus ini, tidak terdapat penyebab biologis yang nyata atau
perbedaan ciri-ciri fisik yang membedakan seorang anak dengan anak-anak lain. Faktorfaktor psikososial, seperti lingkungan rumah atau sosial yang miskin, yaitu yang tidak
memberikan stimulasi intelektual, penelantaran atau kekerasan dari orang tua, dapat
menjadi penyebab atau memberi kontribusi dalam perkembangan retardasi mental pada
anak-anak ini. Adanya kaitan keluarga terbukti dari suatu studi di Atlanta yang menunjukkan
bahwa ibu-ibu yang tidak lulus SMA kemungkinannya empat kali lipat lebih besar untuk
memiliki
anak-anak
dengan
retardasi
mental
ringan
berpendidikan (Drews dkk., 1995).
2016
7
Pedologi
Yenny, M.Psi., Psikolog
PusatBahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dibandingkan
ibu-ibu
yang
Kasus-kasus ini dianggap retardasi budaya-keluarga (cultural-familial retardation).
Anak-anak dalam keluarga yang miskin mungkin kekurangan mainan, buku, atau
kesempatan untuk berinteraksi dengan orang dewasa melalui cara-cara yang menstimulasi
secara intelektual. Akibatnya, mereka gagal mengembangkan keterampilan bahasa yang
tepat atau menjadi tidak termotivasi untuk belajar keterampilan-keterampilan yang penting
dalam masyarakat kontemporer. Beban-beban ekonomi, seperti keharusan memiliki lebih
dari satu pekerjaan, dapat menghambat orang tua untuk meluangkan waktu membacakan
buku pada anak-anak, mengobrol panjang lebar, dan memperkenalkan mereka pada
permainan kreatif atau rekreasi ke museum dan taman. Anak-anak mungkin menghabiskan
sebagian besar hari mereka di depan TV. Para orang tua, yang pada umumnya juga diasuh
dalam kemiskinan, kurang memiliki keterampilan membaca atau berkomunikasi untuk
membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan ini pada anak-anak mereka.
Lingkaran kemiskinan dan buruknya perkembangan intelektual dapat berulang dari generasi
ke generasi.
Anak-anak dengan bentuk retardasi ini dapat berespons secara dramatis bila diberi
pengalaman belajar yang kaya, terutama pada usia dini. Program-program sosial seperti
Head Start, misalnya, telah membantu anak-anak dengan risiko retardasi budaya-keluarga
agar berfungsi dalam rentang yang normal (misalnya, Barnett & Escobar, 1990).
Intervensi
Pelayanan yang dibutuhkan oleh anak-anak dengan retardasi mental untuk memenuhi
tuntutan perkembangan, sebagian bergantung pada derajat keparahan dan tipe retardasi
(Dykens & Hodapp, 1997; Snell, 1997). Dengan pelatihan yang tepat, anak-anak dengan
retardasi ringan dapat mencapai kemampuan setara dengan anak kelas 6 SD. Mereka dapat
menguasai keterampilan-keterampilan vokasional yang memungkinkan mereka untuk
membiayai diri sendiri melalui pekerjaan yang bermakna. Banyak anak-anak seperti ini
dapat bersekolah di kelas reguler. Sebaliknya, anak-anak dengan retardasi mental berat
atau parah membutuhkan penanganan institusi atau ditempatkan pada pusat pelayanan
residensial (residential care) yang ada di komunitas, misalnya group home. Penempatan di
institusi sering kali didasarkan pada kebutuhan untuk mengontrol perilaku destruktif atau
agresif, bukan karena parahnya gangguan intelektual.
Kontroversi mengenai apakah anak-anak dengan retardasi mental harus diikutkan pada
kelas reguler atau ditempatkan pada kelas-kelas dengan pendidikan khusus masih terjadi.
Walaupun sebagian anak dengan retardasi ringan dapat berprestasi lebih baik bila mereka
berada di sekolah umum, yang lainnya mungkin tidak seperti itu. Mereka mungkin merasa
2016
8
Pedologi
Yenny, M.Psi., Psikolog
PusatBahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kelas-kelas ini terlalu berat dan akhirnya menarik diri dari teman-teman mereka. Terdapat
pula tren untuk tidak menempatkan orang dengan retardasi mental berat di institusi,
perubahan ini dipicu oleh kemarahan masyarakat terhadap kondisi yang mengerikan di
institusi-institusi yang menangani anak-anak tersebut. Di Amerika, undang-undang
mengenai Hak untuk Penyandang Cacat (The Developmentally Disabled Assistance and Bill
of Rights Act) yang disahkan Kongres pada tahun 1975, menyatakan bahwa individu dengan
retardasi mental memiliki hak untuk menerima penanganan yang layak dalam lingkup yang
tidak terlalu membatasi. Dalam skala nasional, jumlah institusi bagi orang-orang dengan
retardasi mental menciut hampir dua pertiganya selama tahun 1970-an sampai 1990-an.
Orang-orang dengan retardasi mental yang mampu berfungsi dalam masyarakat memiliki
hak untuk menerima penanganan yang tidak terlalu membatasi seperti yang mereka peroleh
di institusi besar. Banyak di antaranya yang mampu hidup di luar institusi dan ditempatkan di
kompleks perumahan di bawah pengawasan. Para penghuni biasanya berbagi tanggung
jawab pekerjaan rumah dan didorong untuk berpartisipasi dalam kegiatan harian yang
bermakna, seperti program-program pelatihan atau bengkel kerja. Sebagian lainnya tinggal
dengan keluarga mereka dan menghadiri program-program harian yang terstruktur. Orang
dewasa dengan retardasi ringan sering bekerja di luar rumah dan tinggal di apartemen
pribadi atau berbagai apartemen dengan mereka yang memiliki gangguan yang sama.
Walaupun pengeluaran pasien jiwa dalam skala besar dari institusi-institusi psikiatrik telah
menyebabkan masalah sosial yang besar dan meningkatkan jumlah penduduk Amerika
yang tidak memiliki rumah tinggal, deinstitusionalisasi para penderita retardasi mental ringan
ini dapat dikatakan sukses (Winerip, 1991).
Anak-anak dan orang dewasa dengan retardasi mental mungkin membutuhkan konseling
psikologis untuk membantu menyesuaikan diri dengan kehidupan di masyarakat. Banyak di
antara mereka kesulitan dalam berteman dan terisolasi secara sosial. Masalah yang
berkaitan dengan self-esteem umum terjadi, terutama karena orang-orang dengan retardasi
mental sering kali direndahkan dan dijadikan bahan ejekan. Konseling suportif dapat
digabungkan
dengan
teknik-teknik
perilaku yang
membantu
mereka
memperoleh
keterampilan-keterampilan mengenai kesehatan pribadi, pekerjaan, dan hubungan sosial.
Pendekatan perilaku yang lebih terstruktur dapat digunakan untuk mengajar orang-orang
dengan tingkat retardasi yang lebih berat, misalnya mengajarkan perilaku kesehatan dasar
seperti menggosok gigi, memakai pakaian, dan menyisir rambut.
2016
9
Pedologi
Yenny, M.Psi., Psikolog
PusatBahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Teknik-teknik penanganan perilaku lainnya mencakup pelatihan keterampilan sosial, yang
memfokuskan pada peningkatan kemampuan individu untuk berhubungan secara efektif
dengan orang lain, dan pelatihan pengelolaan amarah (anger management) untuk
membantu individu mengembangkan cara-cara yang lebih efektif dalam mengatasi konflik
tanpa bertindak agresif (Huang & Cuvo, 1997; Rose, 1996).
Anak-anak dengan retardasi mental memiliki peluang tiga atau empat kali lebih besar
daripada anak normal untuk mengalami gangguan psikologis lain, seperti ADHD, depresi,
atau gangguan kecemasan (Borthwick-Duffy, 1994). Sebanyak tiga dari empat laki-laki
dengan sindrom fragile X, misalnya, juga mengalami ADHD (Matson & Sevin, 1994). Para
ahli kesehatan mental masih lambat dalam mengetahui prevalensi masalah-masalah
kesehatan mental pada orang-orang dengan retardasi mental. Mungkin hal ini disebabkan
oleh perbedaan konseptual yang ada selama ini antara hendaya emosional di satu sisi dan
defisit intelektual di sisi lain (Nezu, 1994). Banyak ahli yang bahkan berasumsi (secara
salah) bahwa orang-orang yang menderita retardasi mental bagaimanapun kebal terhadap
masalah-masalah psikologis atau bahwa mereka dianggap kurang memiliki kemampuan
verbal yang dibutuhkan untuk psikoterapi (Butz, Bowling, & Bliss, 2000; Nezu, 1994).
Dengan adanya keyakinan-keyakinan tersebut maka tidak mengherankan bila banyak
masalah-masalah psikologis pada orang-orang dengan retardasi mental menjadi terabaikan
dan tidak ditangani (Reiss & Valenti-Hein, 1994). Namun, bukti-bukti menunjukkan bahwa
orang-orang dengan retardasi mental dapat terbantu dengan psikoterapi (Butz dkk., 2000).
Kasus Retardasi Mental Sedang
Seorang ibu memohon pada dokter di ruang gawat darurat untuk mau menerima anak lakilakinya yang berusia 15 tahun karena ia sudah tidak sanggup lagi. Anaknya, pasien sindrom
Down dengan IQ 45, sudah berpindah-pindah tinggal di institusi dan di rumah sejak usia 8
tahun. Setiap kali dikunjungi, anak ini memohon agar dibawa pulang. Tiap sekitar satu tahun
di setiap tempat, ibunya akan membawanya pulang, dan pada akhirnya merasa bahwa
dirinya tidak dapat mengontrol perilaku si anak. Bila sedang mengalami tantrum, anak ini
akan memecahkan perabot makan dan menghancurkan furnitur, dan akhir-akhir ini mulai
mengancam ibunya secara fisik, memukulnya di bagian tangan dan pundak ketika ibunya
mencoba menghentikannya untuk tidak memukulkan sapu berkali-kali ke lantai.
Diadaptasi dari Spitzer dkk., 1989, hal. 338-340.
2016
10
Pedologi
Yenny, M.Psi., Psikolog
PusatBahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
Nevid, Jeffrey S., Spencer A. Rathus, & Beverly Greene. 2005. Psikologi Abnormal, Edisi
Kelima, Jilid 2. Jakarta : Erlangga.
Web Link
American Association on Mental Retardation
2016
11
Pedologi
Yenny, M.Psi., Psikolog
PusatBahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download