Hubungan Pengetahuan dan Sikap Orangtua Terhadap

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengetahuan
2.1.1
Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan diperlukan sebagai dukungan untuk menumbuhkan
rasa percaya diri dalam sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat
dikatakan bahwa pengetahuan merupakan fakta yang mendukung tindakan
seseorang (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil
penggunaan panca inderanya.
Pengetahuan juga merupakan hasil
mengingat suatu hal, termasuk mengingat kembali kejadian yang pernah
dialami baik secara sengaja maupun tidak disengaja dan ini terjadi setelah
orang melakukan kontak atau pengamatan terhadap suatu objek tertentu
(Mubarak, 2007).
2.1.2
Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan yang tercakup dalam
kognitif mempunyai enam aspek yaitu:
1. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali
terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, ini merupakan
8
9
tingkat pengetahuan yang paling rendah. Untuk mengukur bahwa
seseorang,
tahu
tentang
apa
yang
dipelajari
antara
lain
menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan, menyatakan dan
sebagainya.
2. Memahami (Comprehention)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara
benar
tentang
objek
yang
diketahui
dan
dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah
paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya
terhadap objek yang dipelajari.
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya, aplikasi
ini diartikan dapat sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum,
rumus metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi
yang lain.
4. Analisis (Analysis)
Suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
kedalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur
organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan
analisa ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja dapat
menggambarkan, membedakan, mengelompokkan dan sebagainya.
10
Analisis
merupakan
kemampuan
untuk
mengidentifikasi
memisahkan dan sebagainya.
5. Sintesa (Syntesis)
Suatu kemampuan untuk meletakkan atau menggabungkan bagianbagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata
lain syntesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formasi
baru dari informasi-informasi yang ada, misalnya dapat menyusun,
dapat menggunakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan
terhadap suatu teori atau rumusan yang telah ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
penilaian
terhadap
berdasarkan
suatu
suatu
kriteria
materi
yang
atau
objek.
ditentukan
Penilaian
sendiri
itu
atau
menggunakan kriteria yang telah ada. Pengukuran pengetahuan
dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan
tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui dapat
kita lihat sesuai dengan tingkatan-tingkatan di atas.
2.1.3
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Terdapat tujuh faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut
Notoatmodjo (2003) yaitu:
1. Umur, semakin bertambahnya umur seseorang maka semakin
banyak ilmu pengetahuan yang dimiliki.
11
2. Pendidikan, tingkat pendidikan mempengaruhi persepsi seseorang
untuk lebih menerima ide-ide dan tekhnologi baru.
3. Intelegensia, yang dapat diartikan sebagai kemampuan untuk belajar
dan berfikir untuk menyesuaikan diri secara mental dengan situasi
yang baru.
4. Lingkungan, lingkungan memberikan pengaruh pertama bagi
seseorang dimana seseorang mempelajari hal yang baik juga yang
buruk tergantung dari kelompoknya.
5. Sosial budaya, suatu kebudayaan diperoleh dalam hubunganya
dengan orang lain karena hubungan ini seseorang mengalami
proses belajar dan memperoleh suatu pengetahuan.
6. Sumber informasi, semakin banyak sumber informasi yang diperoleh
semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki.
7. Pengalaman, semakin banyak pengalaman maka semakin banyak
pula pengetahuan yang dimiliki.
2.2 Sikap
2.2.1
Pengertian Sikap
Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan
atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanan motif
tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi
merupakan suatu perilaku. Sikap masih merupakan reaksi tertutup, bukan
merupakan reaksi terbuka.
12
Sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi terhadap suatu
obyek, memihak atau tidak memihak yang merupakan keteraturan tertentu
dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan predisposisi tindakan
(konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya
(Azwar, 2005).
2.2.2
Tingkatan Sikap
Berbagai tingkatan sikap menurut Notoatmodjo (2003) yaitu:
1. Menerima (Receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau memperhatikan
stimulus yang diberikan (obyek).
2. Merespon (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan sesuatu dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari
sikap.
3. Menghargai (Valuation)
Mengajak orang lain untuk mendiskusikan suatu masalah adalah
suatu indikasi sikap.
4. Bertanggung jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya
dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.
13
2.2.3
Ciri-ciri Sikap
Menurut Sarwono (2008) sikap memiliki ciri-ciri tertentu yaitu:
1. Sikap adalah merupakan hasil belajar bukan bawaan. Sikap
diperoleh individu sepanjang perkembangannya yang merupakan
hasil interaksi individu dengan lingkungannya.
2. Sikap dapat berubah-ubah, karena sikap dipelajari atau dibentuk dari
lingkungan, sehingga sikap individu dapat berubah sesuai dengan
situasi pada suatu waktu dan kondisi tertentu.
3. Sikap akan berhubungan dengan objek tertentu. Jadi sikap tidak
dapat berdiri sendiri melainkan senantiasa mengandung reaksi
terhadap suatu objek. Objek tersebut dapat berupa objek tunggal
atau sekumpulan objek.
4. Sikap adalah afektif. Hal ini bearti bahwa afeksi atau perasaan
merupakan bagian sikap yang dapat positif dan negatif. Bentuk dari
sikap yang positif ini akan bermacam-macam seperti menyukai,
mendekati, memihak, menerima atau mendukung terhadap objek
sikap. Sebaliknya sikap yang negatif dapat ditunjukan dengan
perilaku seperti membenci, menjauhi dan menolak objek sikap.
5. Sikap evaluasi. Hal ini bearti bahwa sikap merupakan penilaiaan
terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai konsekuensi tertentu
bagi yang bersangkutan.
6. Sikap juga merupakan inferensi yaitu penafsiran dari perilaku yang
dapat dijadikan indikatornya.
14
2.2.4
Aspek-aspek Sikap
Menurut Azwar (2005) struktur sikap terdiri atas tiga komponen yang
saling menunjang yaitu komponen kognitif, afektif dan konatif:
1. Komponen kognitif
Kognitif terbentuk dari pengetahuan dan informasi yang diterima
yang selanjutnya diproses menghasilkan suatu keputusan untuk
bertindak.
2. Komponen afektif
Afektif menyangkut masalah emosional subjektif sosial terhadap
suatu objek, secara umum komponen ini disamakan dengan
perasaan yang dimiliki terhadap suatu objek.
3. Komponen konatif
Konatif menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan
berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek
sikap yang dihadapinya.
2.3 Kemandirian
2.3.1
Kemandirian Anak Retardasi Mental
Anak yang mengalami retardasi mental cenderung mengalami
ketergantungan terhadap orang tua sangat besar, tidak mampu memikul
tanggung jawab sosial dengan bijaksana, mereka juga mudah dipengaruhi
dan
cenderung
(Somantri, 2006).
melakukan
sesuatu
tanpa
memikirkan
akibatnya
15
2.3.2
Ciri-ciri Kemandirian Anak Retardasi Mental
Ciri-ciri kemandirian anak retardasi mental dilihat dari tingkat
kecerdasan atau standar intelegensinya (dalam Fadlilah, 2008) yaitu:
1. Retardasi mental berat atau imbecile berat, tingkat kecerdasan
20-35 umur mental 2-4 tahun. Ciri-cirinya: dapat dilatih dan tidak
dapat dididik, dapat dilatih merawat dirinya sendiri seperti: makan,
mandi, dan berpakaian sendiri. Perkembangan fisik dan berbicara
masih terlambat. Masih mudah terserang penyakit lain.
2. Retardasi mental sedang atau imbecile ringan, tingkat kecerdasan
35-50 umur mental 4-8 tahun. Ciri-cirinya: dapat dilatih dan dapat
dididik (Trainable dan Educable) sampai ke taraf kelas II-III SD,
dapat dilatih merawat dirinya
sendiri seperti: makan, mandi, dan
berpakaian sendiri, koordinasi motorik biasanya masih sedikit
terganggu dan bisa menghitung 1-20, mengetahui macam-macam
warna dan membaca beberapa suku kata.
3. Retardasi mental ringan atau Debil, tingkat kecerdasan 52-67 umur
mental 8-11 tahun. Ciri-cirinya: dapat dilatih dan dididik, dapat
merawat dirinya dan melakukan semua pekerjaan di rumah, tidak
dapat dididik di sekolah biasa tetapi harus di lembaga atau sekolah
luar biasa dan koordinasi motorik tidak mengalami gangguan.
4. Retardasi
mental
taraf
perbatasan
atau
subnormal,
tingkat
kecerdasan 68-85 umur mental 12-16 tahun. Ciri-cirinya: dapat
dididik di sekolah biasa, meskipun tiap kelas di capai dalam 2 tahun,
16
dapat berfikir secara abstrak dan dapat membedakan hal yang baik
dan buruk.
2.3.3
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Anak Retardasi
Mental
Faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian anak retardasi
mental (dalam Fadlilah, 2008) antara lain:
1. Jenis kelamin.
Anak laki-laki biasanya lebih mandiri dari pada anak perempuan,
karena anak laki-laki memiliki sifat yang agresif dominan dan
maskulin dibandingkan anak perempuan yang sifatnya pasif, lemah
lembut dan feminim.
2. Urutan posisi anak.
Anak pertama sangat diharapkan sebagai pengganti orangtua
dituntut untuk bertanggung jawab, sedangkan anak tengah memiliki
peluang untuk mandiri, anak bungsu yang memperoleh perhatian
berlebihan
dari
orangtua
dan kakak-kakaknya
lebih
banyak
bergantung dan tidak mandiri.
3. Usia.
Semenjak kecil anak melihat dan mengeksplorasi lingkungannya
atas kemampuannya sendiri dan melakukan apa yang menjadi
kemauannya sendiri. Semakin bertambah usia anak, maka semakin
tinggi tingkat kemandirian anak, karena anak belajar dan berproses
dari lingkungan dan dirinya sendiri.
17
4. Pendidikan.
Anak yang mendapatkan pendidikan akan bertindak lebih kreatif
daripada anak yang tidak mendapatkan pendidikan. Pendidikan
mengajarkan berbagai ketrampilan dan pengembangan bagi dirinya,
sehingga anak mampu belajar untuk mandiri.
2.4 Retardasi Mental
2.4.1
Pengertian Retardasi Mental
Retardasi mental ialah keadaan dengan intelegensia yang kurang
(subnormal) sejak masa perkembangan, baik sejak lahir atau sejak masa
kanak-kanak. Retardasi mental disebut juga oligofrenia (oligo: kurang atau
sedikit dan fren: jiwa) atau tuna mental (Maramis, 2005).
Menurut
Pedoman
Penggolongan
Diagnosis
Gangguan
Jiwa
(PPDGJ) III, retardasi mental ialah suatu keadaan perkembangan jiwa yang
terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya kendala
keteramplian selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada
tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya kemampuan kognitif,
bahasa, motorik dan sosial (Maslim, 2002).
Definisi yang dikemukakan oleh DSM IV TR retardasi mental
merupakan gangguan yang ditandai oleh fungsi intelektual yang di bawah
rata-rata kira-kira 70 atau lebih rendah, yang bermula sebelum usia 18
tahun dan kurangnya fungsi adaptif (kemampuan individu tersebut secara
18
efektif menghadapi kebutuhan untuk berdikari yang dapat diterima oleh
lingkungan sosialnya) (Lumbantobing, 2006 ).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
retardasi mental ialah keadaan perkembangan jiwa yang tidak lengkap yang
ditandai dengan keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam
interaksi sosial.
2.4.2
Penyebab Retardasi Mental
Penyebab retardasi mental menurut Sandra (2010), antara lain
adalah:
1. Infeksi
Adalah keadaan retardasi mental karena adanya kerusakan jaringan
otak akibat adanya infeksi intrakcranial, penggunaan obat-obatan,
atau zat toksin lainnya.
2. Masalah Pre natal
Keadaan retardasi mental yang timbul akibat adanya masalah
kesehatan sebelum bayi dilahirkan. Termasuk didalammnya adalah
anomali cranial primer (misalnya hidrosefalus, mikrosefali) atau efek
congenital yang tidak diketahui penyebabnya. Dapat juga akibat
terpapar sinar X atau radiasi, penggunaan alat kontrasepsi, atau
usaha melakukan aborsi saat ibu mengandung (hamil).
3. Masalah Post natal
Retardasi mental yang disebabkan oleh adanya neoplasma dan
beberapa reaksi sel-sel otak yang nyata, tapi belum diketahui
19
penyebabnya (diduga bersifat herediter). Salah satu penyebab
retardasi mental saat post natal adalah kelahiran bayi sebelum
waktunya atau prematuritas.
4. Gangguan metabolisme, pertumbuhan atau gizi
Semua keadaan retardasi mental yang disebabkan oleh gangguan
metabolisme, baik metabolisme lemak, karbohidrat dan protein yang
dapat mengganggu proses penyerapan zat-zat gizi di dalam tubuh.
Termasuk diantaranya adalah kurang gizi dan nutrisi pertumbuhan.
Gangguan gizi yang berat dan berlangsung lama sebelum anak
berusia 4 tahun sangat mempengaruhi perkembangan otak dan
dapat mengakibatkan retardasi mental. Keadaan ini dapat diperbaiki
dengan memperbaiki asupan gizi sebelum anak berusia 6 tahun.
Sesudah usia 6 tahun, biarpun anak diberikan makanan yang kaya
akan gizi, tetap akan sulit meningkatkan tingkat intelegensi yang
rendah akibat kekurangan gizi sebelumnya.
5. Kelainan kromosom
Retardasi mental yang diakibatkan kelainan kromosom, baik dalam
jumlah atau bentuk kromosom, misalnya Down Syndrome (DS).
6. Gangguan jiwa yang berat
Untuk membuat diagnosis ini, harus jelas terjadi gangguan jiwa yang
berat dan tidak terdapat tanda-tanda patologi otak.
20
7. Deprivasi psikososial
Retardasi mental yang disebabkan oleh faktor-faktor biomedis atau
sosial budaya.
2.4.3
Karakteristik Anak Retardasi Mental
Karakteristik umum anak retardasi mental (Sandra, 2010) yaitu:
1. Keterbatasan intelegensi
Adalah kemampuan belajar anak sangat kurang, khususnya yang
bersifat abstrak, seperti membaca, menulis, dan berhitung. Anak
retardasi mental sering tidak mengerti apa yang sedang dipelajari
atau cenderung belajar dengan meniru.
2. Keterbatasan sosial
Anak yang mengalami retardasi mental mengalami kesulitan dalam
melakukan perawatan diri dan dalam kehidupan bermasyarakat.
Anak retardasi mental cenderung berteman dengan anak yang lebih
muda usianya, memiliki ketergantungan terhadap orang tua sangat
besar, tidak mampu memikul tanggung jawab sosial dengan
bijaksana,
mereka
juga
mudah
dipengaruhi
dan
cenderung
melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya.
3. Keterbatasan fungsi-fungsi mental lainnya
Anak retardasi mental memerlukan waktu lebih lama untuk
menyelesaikan reaksi pada situasi yang baru dikenalnya, mereka
akan memperlihatkan reaksi bila mengikuti hal-hal yang rutin dan
secara konsisten dialaminya dari hari ke hari. Anak retardasi mental
21
juga mengalami keterbatasan dalam penguasaan bahasa. Selain itu,
anak yang mengalami retardasi mental kurang mampu untuk
mempertimbangkan sesuatu, membedakan antara yang baik dan
yang buruk, dan membedakan yang benar dan yang salah. Ini
semua dialami karena terbatasnya kemampuan yang dimiliki anak
retardasi mental sehingga mereka tidak dapat membayangkan
terlebih dahulu konsekuensi dari suatu perbuatan.
2.4.4
Klasifikasi Retardasi Mental
Retardasi mental dapat digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu
retardasi mental ringan, retardasi mental sedang, dan retardasi mental berat
(Somantri, 2006) yaitu:
1. Retardasi Mental Ringan
Retardasi mental ringan disebut juga moron atau debil. Menurut
Binet, tingkat kecerdasan retardasi mental ringan berkisar antara
68-52, sedangkan menurut Skala Weschler (WISC), tingkat
kecerdasan retardasi mental ringan berkisar antara 55-69. Penderita
retardasi mental ringan masih dapat belajar membaca, menulis dan
berhitung sederhana. Pada umumnya, penderita retardasi mental
ringan tidak mengalami gangguan fisik. Secara fisik, penderita
retardasi mental ringan tampak seperti anak normal. Penderita
retardasi mental ringan dapat dididik menjadi tenaga kerja semiskilled seperti pekerjaan laundry, pertanian, peternakan, pekerjaan
rumah tangga, bahkan jika dilatih dan dibimbing dengan baik dapat
22
pula bekerja di pabrik-pabrik dengan sedikit pengawasan. Namun,
penderita
retardasi
mental
ringan
tidak
mampu
melakukan
penyesuaian sosial secara mandiri. Penderita retardasi mental
ringan biasanya akan membelanjakan uangnya dengan lugu, tidak
dapat merencanakan masa depan dan bahkan suka berbuat
kesalahan.
2. Retardasi Mental Sedang
Retardasi mental sedang disebut juga imbesil. Menurut Binet, tingkat
kecerdasan retardasi mental sedang berkisar
antara 36-51,
sedangkan menurut Skala Weschler (WISC), tingkat kecerdasan
retardasi mental sedang berkisar antara 40-54. Penderita retardasi
mental sedang dapat dididik mengurus diri sendiri, misalnya mandi,
berpakaian, makan, minum, mengerjakan pekerjaan rumah yang
sederhana seperti menyapu, membersihkan perabot rumah tangga,
dan sebagainya. Penderita retardasi mental sedang dapat pula
dididik untuk melindungi diri sendiri dari bahaya seperti menghindari
kebakaran, berjalan di jalan raya, berlindung dari hujan, dan
sebagainya. Penderita retardasi mental sedang sangat sulit, bahkan
tidak dapat belajar secara akademik seperti belajar menulis,
membaca, dan berhitung walaupun masih dapat menulis secara
sosial, misalnya menulis namanya sendiri, alamat rumahnya, dan
lain-lain.
23
3. Retardasi Mental Berat
Retardasi mental berat disebut juga idiot. Menurut Binet, tingkat
kecerdasan retardasi mental sedang berkisar
antara 20-35,
sedangkan menurut Skala Weschler (WISC), tingkat kecerdasan
retardasi mental sedang berkisar antara 25-39. Penderita retardasi
mental berat memerlukan bantuan perawatan secara total dalam hal
berpakaian, mandi, makan, dan lain-lain.
2.5 Kerangka Konsep
Kerangka konsep membahas saling ketergantungan antarvariabel
yang dianggap perlu untuk melengkapi dinamika situasi atau hal yang
sedang atau akan diteliti. Penyusunan kerangka konsep akan membantu
untuk membuat hipotesis, menguji hubungan tertentu, dan membantu
peneliti dalam menghubungkan hasil penemuan dengan teori yang hanya
dapat diamati atau diukur melalui variable (Nursalam, 2003). Berikut adalah
kerangka konsep dalam penelitian ini:
X1
Pengetahuan Orangtua
X2
Sikap Orangtua
Y
Kemandirian Anak
Retardasi Mental
Gambar 2.1: Kerangka Konsep
24
Keterangan :
X1 dan X2
= Variabel Bebas
Y
= Variabal Terikat
2.6 Hipotesis
Hipotesis merupakan suatu kesimpulan sementara atau jawaban
sementara
dari
rumusan
masalah
atau
pertanyaan
penelitian
(Nursalam, 2003). Berdasarkan latar belakang masalah dan landasan teori
yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan hipotesis:
Ha : Ada hubungan antara pengetahuan orangtua terhadap kemandirian
anak usia sekolah dengan retardasi mental di SLB Bina Putra
Salatiga.
Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan orangtua
terhadap kemandirian anak usia sekolah dengan retardasi mental di
SLB Bina Putra Salatiga.
Ha : Ada hubungan yang signifikan antara sikap orangtua terhadap
kemandirian anak usia sekolah dengan retardasi mental di SLB
Bina Putra Salatiga.
Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara sikap orangtua
terhadap kemandirian anak usia sekolah dengan retardasi mental di
SLB Bina Putra Salatiga.
Download