PERKEMBANGAN APLIKASI 3D dan 4D Nama : Elsadai Oktaviana NIM : 1471650016 Prodi : Ilmu Komunikasi BAB I Banyaknya film impor berformat 3D tampaknya mempengaruhi perfilman nasional juga. Dua film 3D buatan Indonesia sudah muncul: Jendral Kancil danPetualangan Singa Pemberani. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang tekonologi 3D ini, ada baiknya kita mulai melihat sejarah awal dan perkembangannya. Sejarah Teknologi 3D sebenarnya sudah muncul tak lama sejak teknologi fotografi muncul pertama kali. Pada tahun 1856, JC d’Almeida memberikan demonstrasi di Academie de Sciences tentang gambar-gambar stereoscopik (dua gambar foto yang sama dengan perspektif sedikit berbeda satu sama lain berjarak sekitar dua setengah inci yang merepresentasikan jarak antara kedua mata manusia) yang diproyeksikan secara bergantian dengan cepat melalui slides cahaya lentera berwarna merah dan hijau. Sementara itu penonton memakai kaca mata merah dan hijau sehingga mereka bisa melihat gambar foto itu secara tiga dimensi. Setelah itu pada tahun 1890an, Ducos du Hauron mematenkan temuannya berupa dua warna, sistem anaglyph: dua lembar film positif transparan stereoscopik di-superimpose (ditumpuk). Ketika diproyeksikan, penonton bisa melihat efek tiga dimensi dengan memakai kacamataanaglyph (lensa merah di satu sisi dan lensa biru di sisi yang lain). Pada masa sekarang kaca mata anaglyph memakai lensa merah dan cyan. Pada tahun 1897, C. Grivolas mengadaptasi sistem anaglyph ini untuk memutar film bergerak (motion pictures) secara 3D namun pengaplikasian teknologi ini baru dipakai pertama kali untuk film layar lebar di tahun 1922 dengan film The Power of Love yang dibuat oleh Harry K Fairall. Secara teknis selain memakai sistem anaglyph, film ini juga memakai dual film strip projection. Artinya, dibutuhkan dua strip film yang diputar secara bersamaan dengan dua proyektor film sejajar. Setelah itu banyak bermunculan film-film lain dengan format 3D sistem anaglyph yang lain. Anaglyph sendiri memiliki kelemahan, yaitu untuk menghasilkan efek tiga dimensi, sistem ini melakukan pemblokiran warna-warna tertentu dari gambar stereoscopik yang diproyeksikan ke layar untuk mendapatkan efek 3D. Akibatnya tidak tercapai full colour. Hal ini tidak bermasalah di zaman film hitam-putih. Ketika muncul film berwarna di tahun 1935 maka ini menjadi sebuah problem. Sebuah gebrakan teknologi muncul ketika ilmuwan bernama Edwin Land mematenkan temuannya berupa filter Polaroid di tahun 1932. Filter Polaroid dibentuk dengan tumpukan lapisan-lapisan filter tipis transparan yang dimiringkan dengan sudut tertentu untuk meniadakan silau (glare) cahaya yang dilewati filter itu. Di kemudian hari filter ini bisa diaplikasikan untuk teknologi 3D dan kamera instan Polaroid. Dibandingkan dengan sistem anaglyph, Polaroid 3D (Polarized 3D) lebih baik karena prinsip kerjanya mempolarisasi (memfilter) gelombang cahaya tertentu tanpa memblokir warna apapun agar tercapai efek 3D ketika diproyeksikan di layar dan ditonton dengan kaca mataanaglyph. Di Uni Soviet pada tahun 30an, seorang insinyur Rusia berhasil menyempurnakan teknologi film 3D dengan sistem yang disebut parallax stereogram. Sistem ini sebelumnya dikembangkan secara terpisah oleh A. Berhtier, E. Estenave dan Frederick Ives. Tidak seperti anaglyph ataupun polirized 3D, sistem ini berfungsi menghasilkan proyeksi gambar film tiga dimensi tanpa penonton memakai kacamata anaglyph atau apapun. Kekurangan sistem ini adalah apabila duduk miring atau melihat dari perspektif yang miring maka efek stereoscopi atau 3D film itu buyar. BAB II 3D Pada saat ini sudah banyak film hollywood yang berformat 3D, bahkan beberapa film tidak memiliki versi biasanya dan hanya terdapat format 3D. Sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia mengenai film berformat 3D ini, karena format ini mengharuskan kita menggunakan kacamata 3D. Dan film-film tersebut juga memiliki efek nyata, yaitu efek gambar yang keluar dari layar, dan hanya bisa terlihat jika kita menggunakan kacamata 3D ini. Di tahun-tahun sebelumnya, hanya film animasi sajalah yang memiliki format 3D. Namun, akibat berkembangnya kecanggihan CGI, maka film biasa seperti live action pun sudah berformat 3D. Di beberapa film 3D, bahkan tidak terdapat Subtitle nya, dikarenakan memasukan suatu subtitle ke film dengan format 3D ini akan menurunkan kualitas film sebesar 10%. 3D tidak hanya dipakai untuk kebutuhan film, melainkan teknologi 3D sudah digunakan di kehidupan sehari-hari, contohnya: Gambar diatas merupakan salah satu contoh produk yang menggunakan teknologi 3D, selain gambar diatas ada banyak contoh lainnya seperti blender, tv bahkan sama bioskop pun sudah menyediakan sarana menonton secara 3D dengan menggunakan kacamata yang sudah dirancang sedemikian rupa untuk menghasilkan gambar terlihat lebih nyata lagi. 4D Tidak berbeda jauh dengan format 3D, hanya saja efek dari film 4D ini, bukan hanya gambarnya saja yang keluar, melainkan ada getaran-getaran atau efek-efek nyata yg dihasilkan. Misalnya saja film-film animasi bertema kehidupan alam, ketika adegan di air, maka ada air yang menyipratkannya ke wajah kita, atau uap air menetes. Lalu ketika adegan gempa bumi, maka kursi yang kita duduki akan bergetar juga, memang unik dan mengasyikan tetapi para penonton pasti tidak akan fokus ke filmnya melainkan ke efeknya saja. Film berformat seperti ini tidak hanya mengacu pada layar bioskop saja, melainkan beberapa aplikasi media seperti penggerak kursi yang menghasilkan getaran, uap air, serta beberapa efek lainnya, termasuk AC yang bisa tiba-tiba berubah menjadi sangat dingin saat adegan salju, dan Heater yang dapat memanas saat adegan padang pasir. Dan format film ini pun harus diputar pada bioskop-bioskop khusus saja. Gambar diatas merupakan salah satu contoh gambar dengan menggunakan teknologi 4D.Untuk kehidupan sehari-hari teknologi 4D jarang ditemui, khususnya di Indonesia. Karena sumber daya yang kita miliki sangat minim sehingga jarang sekali kita menemukan teknologi 4D, namun teknologi 4D sudah mulai digunakan dibeberapa kota di Indonesia. Di Yogyakarta sudah menyediakan bioskop berbasis teknologi 4D, dan sekali lagi karena sumber daya kita sangat minim sehingga penggunaan teknologi 4D ini sangat dibatasi. BAB III Keunggulan dan kesimpulan Keunggulannya: menghasilkan gambar 3d di level yang berbeda dari produk lainnya gambar yang dihasilkan lebih jernih dan terang menghasilkan gambar dengan kualitas bebas blur (blur-free) dan bebas kedipan (flicker-free), 1. orang yang menonton 3d lebih nyaman tanpa rasa pusing dan lelah pada mata 2. membuat orang yang menonton lebih nyaman, sehingga bisa menonton 3d hingga jangka waktu yang lama 3. memberi cahaya 2x lebih terang dari tv 3d biasa 4. mampu memaksimalkan backlighting LED TV 5. bisa menonton 3d dengan kacamata ini tidak dibatasi waktu, lebih ringan, tidak membebani pengguna 6. bebas memposisikan kepala dan lebih fleksibel, sehingga sangat nyaman dipakai.menghadirkan sudut pandang yang lebih luas 7. menonton 3d lebih nyaman Kesimpulan: Dengan semakin berkembangnya jaman maka semakin canggih teknologi untuk membagikan informasi dll. Sehingga kita sebagai generasi masa depan dituntut untuk terbiasa dengan teknologi-teknologi yang nanti kedepannya akan semakin canggih. Refrensi: http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-12656-Chapter1.pdf http://www.hadissoft.com/2010/11/perkembangan-teknologi-3d-computer.html http://www.academia.edu/7964397/MEDIA_AUDIO_VISUAL_BAB_1_PENDAHULUAN Buku Media Audio Visual