34-39

advertisement
I. Pendahuluan
Tujuan pendidikan adalah memberikan pengalaman belajar yang
meliputi domain kognitif, afektif, dan psikomotorik secara bermakna, yang
berfungsi menyiapkan siswa menjalani kehidupan dalam era global yang
sangat kompleks ini. Buchori (2000) menekankan bahwa pendidikan yang
bermakna dapat menolong kita, sedangkan pendidikan yang tidak bermakna
hanya menjadi beban hidup. Karena itu kebermaknaan belajar menjadi isu
penting dalam pendidikan seperti yang telah dilaporkan kepada UNESCO
oleh the International Commission on Education for the Twenty-first Century
(Delors, 1995).
Laporan itu mengatakan bahwa untuk memenuhi tuntutan kehidupan
masa depan, pendidikan tradisional yang sangat quantitatively-oriented and
knowledge-based tidak lagi relevan. Melalui pendidikan, setiap individu mesti
disediakan berbagai kesempatan belajar sepanjang hayat; baik untuk
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap maupun untuk dapat
menyesuaikan diri dengan dunia yang kompleks dan penuh dengan saling
ketergantungan. Untuk itu, pendidikan yang relevan harus bersandar pada
empat pilar pendidikan, yaitu (1) learning to know, yakni siswa mempelajari
pengetahuan, (2) learning to do, yakni siswa menggunakan pengetahuannya
untuk mengembangkan keterampilan, (3) learning to be, yakni siswa belajar
menggunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk hidup, dan (4)
learning to live together, yakni siswa belajar untuk menyadari adanya saling
ketergantungan sehingga perlu kesadaran untuk saling menghargai antara
sesama manusia.
Dalam konteks pembelajaran, kebermaknaan ini diartikan sebagai
penjabaran tujuan pendidikan dalam suatu proses belajar mengajar yang
bersifat linier, artinya adanya kesesuaian antara perencanaan, pelaksanaan,
dan asesmen; yang memungkinkan terbentuknya kompetensi life skills.
Terkait dengan itu, salah satu isu krusial pendidikan kita dewasa ini adalah
adanya kecenderungan sistem asesmen yang tidak dapat mencerminkan
kebermaknaan belajar seperti yang dimaksudkan oleh laporan komisi
pendidikan di atas.
Asesmen
memang
merupakan
satu
tahapan
dalam
siklus
pembelajaran, yang peranannya tidak bisa diabaikan. Dikatakan demikian
1
karena asesmen minimal dapat menghasilkan dua hal yaitu:
pertama,
sebagai umpan balik pada proses pembelajaran, dan kedua, dapat
memberikan informasi mengenai kualitas perolehan pada subjek didik.
Kecenderungan evaluasi di sekolah yang lebih memfokus pada satu jenis
sistim evaluasi, yaitu penggunaan tes objektif secara berlebihan menimbulkan
kerisauan yang sangat serius di kalangan ahli maupun praktisi pendidikan,
karena diprediksi hanya mampu menghasilkan pengembangan kognitif
semata. Fogarty (1996) mengatakan bahwa bentuk tes objektif digunakan
terutama
untuk
ujian
penentuan
(judgmental
testing)
dalam
rangka
menyeleksi dan mengevaluasi siswa. Tes seperti ini sangat sedikit
kontribusinya terhadap pembelajaran sehingga tidak tepat digunakan untuk
semua penilaian yang dilakukan di sekolah.
Ketidaktepatan penggunaan tes objektif untuk semua jenis penilaian
tersebut terkait dengan keterbatasan yang ada pada tes objektif itu sendiri.
Salvia dan Ysseldike (1996) menyebutkan tiga kelemahan utama tes objektif,
yaitu (1) ketergantungan yang terlalu besar pada pola acuan normatif dalam
menentukan prestasi belajar, (2) kebingungan guru terhadap apa yang mesti
diajarkan karena adanya orientasi pada keberhasilan dalam mengerjakan tes
(test-oriented learning), dan (3) ketergantungan yang sangat besar pada
pengukuran objektif dan numerik. Model penilaian seperti itu dianggap tidak
mampu mengukur kemampuan siswa yang sebenarnya karena hanya
terfokus pada beberapa aspek saja; jadi tidak memberi kesempatan pada
siswa untuk menunjukkan kemampuan dan kelebihan masing-masing.
Pendidikan saat ini harus mampu membekali setiap pebelajar dengan
pengetahuan, keterampilan, serta nilai-nilai dan sikap, dimana proses belajar
bukan semata-mata mencerminkan pengetahuan (knowledge-based) tetapi
mencerminkan keempat pilar di atas. Melalui keempat pilar itulah dapat
terbentuk kompetensi.
Pendidikan Indonesia
dengan
cepat telah
merespon
terhadap
kebutuhan pendidikan global seperti yang diisyaratkan dalam empat pilar
pendidikan, yaitu melalui pencanangan kurikulum berbasis kompetensi, yang
selanjutnya berubah menjadi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).
Adanya pengakuan terhadap muatan kurikulum dari kearifan lokal melalui
2
pengembangan kurikulum berbasis sekolah, telah menunjukkan kesadaran
tentang pentingnya pendidikan yang relevan dengan tuntutan kehidupan.
Kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang
memfasilitasi pebelajar dalam berfikir dan bertindak sesuai dengan situasi
yang dihadapi. Seseorang dikatakan kompeten apabila padanya terbentuk
suatu kemampuan yang dapat diandalkannya dalam menghadapi tuntutan
kehidupan. Dengan kata lain, kompetensi dibangun agar setiap individu dapat
survived dalam menghadapi kehidupan yang penuh dengan tantangan dalam
era global ini.
Pembentukan kompetensi mensyaratkan dilakukannya asesmen yang
bersifat komprehensif, dalam arti, asesmen dilakukan terhadap proses dan
produk belajar. Bila pada masa yang lalu fokus pembelajaran adalah pada
produk belajar, pada masa sekarang proses dan produk mendapat porsi
perhatian yang seimbang. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa suatu produk
yang baik seyogyanya didahului oleh proses yang baik. Untuk meyakinkan hal
tersebut, perlu dilakukan pemantauan terhadap proses. Disamping itu,
dengan dilakukannya pemantauan selama proses, terbuka peluang bagi
pebelajar untuk mendapatkan umpan balik yang dapat digunakannya untuk
menghasilkan produk terbaik. Dengan uraian di atas, kini dapat dipahami
kenapa KTSP menetapkan penggunaan asesmen berbasis kelas (ABK)
dalam praktik asesmen di sekolah. ABK dilakukan sebagai upaya
penjaminan pembentukan kompetensi (kemampuan nyata berupa suatu
unjuk kerja) karena meliputi pemantauan terhadap proses dan produk
belajar; dan menggunakan berbagai teknik pengumpulan data dari jenis
tes objektif maupun asesmen otentik.
Nitko
(1996) mengatakan bahwa
hampir 50
persen
kegiatan
pembelajaran diisi dengan kegiatan yang berkaitan dengan asesmen. Oleh
karenanya, asesmen merupakan hal integral dalam pembelajaran yang
perannya sangatlah penting.
II. TERMINOLOGI DALAM KHASANAH ASESMEN
Dalam konteks pendidikan, dewasa ini istilah asesmen atau penilaian
lebih banyak digunakan pada sistem pengujian dibandingkan dengan pada
masa-masa yang lalu. Ada tiga istilah yang terkait dengan konsep pengujian
3
dan yang sering digunakan untuk mengetahui keberhasilan belajar peserta
didik, yaitu pengukuran, asesmen atau penilaian, dan evaluasi. Menurut
Popham (1975), pengukuran adalah suatu tindakan menentukan sejauhmana
(the degree to which) seseorang memiliki suatu atribut tertentu. Pengukuran
menurut Guilford (1982) adalah proses penetapan angka terhadap suatu
gejala menurut aturan tertentu. Pengukuran pendidikan berbasis kompetensi
dasar berdasarkan pada klasifikasi observasi unjuk kerja atau kemampuan
peserta didik dengan menggunakan suatu standar.
Pengukuran dapat mengunakan tes dan non-tes. Tes adalah
seperangkat pertanyaan yang memiliki jawaban benar atau salah. Contohnya
adalah
teknik-teknik tes objektif
seperti
pilihan
ganda,
benar-salah,
menjadohkan, melengkapi, dan esai terstruktur. Non-tes berisi pertanyaan
atau pernyataan yang tidak memiliki jawaban benar atau salah. Instrumen
non-tes bisa berbentuk kuesioner atau inventori. Kuesioner berisi sejumlah
pertanyaan
atau
pernyataan,
peserta
didik
diminta
menjawab
atau
memberikan pendapat terhadap pernyataan atau pertanyaan tersebut.
Contoh kuesioner antara lain skala sikap seperti skala motivasi belajar, dan
banyak
skala
pengukuran
faktor-faktor
psikologis
lainnya.
Inventori
merupakan instrumen yang berisi tentang laporan diri, yaitu keadaan peserta
didik, misalnya potensi peserta didik.
Pengukuran
pendidikan
bisa
bersifat
kuantitatif
atau
kualitatif.
Pengukuran kuantitatif hasilnya berupa angka, sedangkan pengukuran
kualitatif hasilnya bukan angka tetapi pernyataan kualitatif, yaitu berupa
pernyataan sangat baik, baik, cukup, kurang, sangat kurang, dan sebagainya.
Penilaian atau asesmen adalah istilah umum yang mencakup semua metode
yang biasa digunakan untuk menilai unjuk kerja individu peserta didik atau
kelompok. Proses penilaian mencakup pengumpulan bukti-bukti yang
menunjukan pencapain belajar peserta didik. Salvia dan Ysseldike (1994)
mengatakan bahwa asesmen adalah suatu proses mengumpulkan data
dengan tujuan agar dapat dilakukan keputusan mengenai suatu objek.
Popham (1975) mengatakan bahwa asesmen adalah suatu upaya formal
untuk menentukan status suatu objek dalam berbagai aspek yang dinilai.
Nitko (1996) mengatakan bahwa asesmen merupakan suatu proses
mendapatkan data yang digunakan untuk pengambilan keputusan mengenai
4
siswa, program pendidikan, dan kebijakan pendidikan. Jika dikatakan
’mengases kompetensi siswa’, maka itu berarti pengumpulan informasi
untuk dapat ditentukan sejauhmana seorang siswa telah mencapai
suatu target belajar.
Kegiatan penilaian oleh karenanya tak terbatas pada karakteristik
peserta didik saja, tetapi juga mencakup karakteristik metode mengajar,
kurikulum, fasilitas dan administrasi sekolah. Jadi, penilaian berhubungan
dengan setiap bagian dari proses pendidikan, bukan hanya keberhasilan
belajar saja, tetapi mencakup semua proses mengajar dan belajar.
Instrumen penilaian bisa berupa metode prosedur formal atau informal, untuk
menghasilkan informasi tentang peserta didik, yaitu:tes tertulis, tes lisan,
lembar pengamatan, pedoman wawancara, tugas rumah, dan sebagainya.
Penilaian juga diartikan sebagai kegiatan menafsirkan data hasil pengukuran.
Evaluasi adalah keseluruhan proses untuk menilai sesuatu baik atau
tidak, bermanfaat atau tidak, dan seterusnya. Evaluasi adalah penilaian
sistematik tentang manfaat atau kegunaan suatu objek (Stufflebeam &
Shinkfield, 1985). Dalam melakukan evaluasi, di dalamnya ada kegiatan
untuk menentukan nilai (worth). Dalam melakukan judgement diperlukan
data hasil penilaian yang didalamnya dapat berisi hasil-hasil pengukuran.
Jadi, evaluasi adalah worth determination.
Selanjutnya, Popham (1975) mengatakan bahwa asesmen seringkali
dimaksudkan sama dengan evaluasi. Kata asesmen dianggap lebih ‘ramah’
dibandingkan dengan evaluasi. Setelah dua puluh tahun, Popham (1995)
lebih menekankan lagi bahwa pada hakikatnya kata asesmen maupun
evaluasi secara prinsip tidaklah berbeda, dan menggunakannya dengan
makna yang sama. Kini, penyamaan arti evaluasi dan asesmen seperti yang
dimaksudkan oleh Popham tersebut, telah digunakan secara luas. Istilah
evaluasi program yang secara klasik digunakan dalam penilaian suatu
program tertentu, kini lebih sering disebut asesmen program (program
assessment). Demikian pula kata self-evaluation kini lebih dikenal dengan
self-assessment. Sebab, dalam pengertian asesmen tersebut telah tercakup
adanya judgement.
5
Bila asesmen diartikan sama dengan evaluasi; maka daripadanya
dapat ditemukan beberapa unsur pokok yang ada dalam pengertian
asesmen, yaitu:
(1) Asesmen bersifat formal, artinya adanya suatu upaya sengaja untuk
menentukan status suatu objek dalam variabel-variabel yang menjadi
fokus.
(2) Asesmen terfokus pada variabel-variabel tertentu sesuai dengan tujuan
asesmen.
(3) Dalam asesmen ada keputusan mengenai status, yaitu sejauhmana
suatu objek telah menunjukkan perkembangan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan dan perlu tidaknya dilakukan program khusus.
Dengan demikian, dalam naskah ini, kata asesmen yang berarti penilaian
dan kata evaluasi dianggap memiliki pengertian yang sama. Kata asesmen
akan digunakan dalam pembahasan sepanjang naskah ini.
III. ASESMEN BERBASIS KELAS (ABK)
1. Fungsi dan Tujuan Asesmen Secara Umum
Fungsi asesmen dibedakan menjadi fungsi formatif dan fungsi sumatif,
yang terkait dengan tujuan dari dilakukannya asesmen. Secara formatif,
asesmen sangat bermanfaat dalam proses pembelajaran. Nitko (1996) lebih
suka menyebut fungsi formatif ini dengan instructional management function
of assessment; artinya, bahwa asesmen berfungsi dalam manajemen
pembelajaran. Dalam fungsinya ini, asesmen dapat digunakan sebagai
umpan balik bagi siswa, umpan balik bagi guru, alat memotivasi siswa, alat
pemodelan tujuan pembelajaran, dan alat untuk memberikan nilai (grade)
untuk siswa. Oleh karena itu, untuk memenuhi fungsi formatifnya, asesmen
sangat tepat dilakukan selama proses pembelajaran sebagai upaya untuk
mengoptimalkan hasil akhir (produk) dari proses belajar tersebut.
Fungsi sumatif asesmen merupakan fungsi penentuan (Judgment)
karena asesmen secara sumatif berarti menentukan (posisi/status) sesuatu.
Dalam fungsi sumatifnya, asesmen tidak dilakukan terhadap proses
melainkan pada produk suatu proses pembelajaran. Beberapa fungsi sumatif
6
dari asesmen antara lain sebagai alat seleksi, penempatan, klasifikasi, dan
sertifikasi.
2. Tujuan ABK
Secara umum, tujuan asesmen telah dibahas sebelumnya. Terkait
dengan itu, ABK memiliki tujuan spesifik yang khas terjadi dilingkup
kelas/pembelajaran. Arends (2004), menyarikan tujuan ABK menjadi tiga,
yaitu tujuan diagnostik, umpan balik, dan pelaporan. Berdasarkan ketiga
tujuan di atas, Arends selanjutnya melihat ketiganya dalam beberapa
variabel, sebagai berikut.
Tabel 1. Tiga Tujuan Utama Asesmen Kelas
Diagnostik
Umpanbalik
Evaluasi/Pelaporan
Penempatan,
perencanaan, dan
penentuan
keberadaan atau
ketiadaan
keterampilan dan
pengetahuan awal
Umpanbalik bagi
siswa dan guru
berdasarkan
kemajuan
Pemberian nilai
(grading) siswa
pada akhir unit atau
semester
Waktu
Pada awal
penggunaan pembahasan (unit),
semester, atau
tahun kuliah, atau
selama
pembelajaran
ketika siswa
memiliki
permasalahan
Selama
pembelajaran
Pada akhir suatu
pokok bahasan
(unit), kuwartal,
atau ujian semester.
Teknik
asesmen
Tes diagnostik
standar, observasi,
dan daftar centang
(checklists)
Kuis dan tes
khusus atau
pekerjaan rumah
Ujian akhir
Pemberian
skor
Menggunakan
acuan norma dan
acuan patokan
Menggunakan
acuan patokan
Menggunakan
acuan norma dan
acuan patokan
Fungsi
(Sumber: Arends, 2004:230)
Sejalan dengan itu, ABK oleh guru hendaknya diarahkan juga untuk
memperoleh hal-hal berikut (Chittenden,1991, dalam Buku Penilaian Tingkat
Kelas, Pedoman Bagi Guru : Jakarta: Pusat Penilaian Balitbang Depdiknas).
7
a. Penelusuran (Keeping track), yaitu untuk menelusuri agar proses
pembelajaran anak didik tetap sesuai dengan rencana. Guru
mengumpulkan informasi sepanjang semester dan tahun pelajaran
melalui berbagai bentuk penilaian kelas agar memperoleh gambaran
tentang pencapaian kompetensi oleh siswa.
b. Pengecekan (Checking-up), yaitu untuk mengecek adakah kelemahankelemahan yang dialami anak didik dalam proses pembelajaran.
Melalui penilaian kelas, baik yang sifat formal maupun informal guru
melakukan pengecekan kemampuan (kompetensi) apa yang siswa
kuasai dan yang belum dikuasai.
c. Pencarian (Finding-out), yaitu untuk mencari dan menemukan hal-hal
yang menyebabkan terjadinya kelemahan dan kesalahan dalam proses
pembelajaran. Guru harus selalu menganalisis dan merefleksikan hasil
penilaian kelas dan mencari hal-hal yang menyebabkan proses
pembelajaran tidak berjalan efektif.
d. Penyimpulan (Summing-up), yaitu untuk menyimpulkan apakah anak
didik telah menguasai seluruh kompetensi yang ditetapkan dalam
kurikulum atau belum. Penyimpulan sangat penting dilakukan guru,
khususnya pada saat guru diminta melaporkan hasil kemajuan belajar
anak kepada orang tua, sekolah, atau pihak lain seperti di akhir
semester atau akhir tahun ajaran baik dalam bentuk rapor siswa atau
bentuk lainnya.
3. Fungsi ABK
ABK yang disusun secara terencana dan sistematis oleh guru memiliki
fungsi motivasi, belajar tuntas, efektivitas pengajaran,dan umpan balik.
a. Fungsi Motivasi, dalam arti, penilaian yang dilakukan guru di kelas harus
mendorong motivasi siswa untuk belajar. Latihan, tugas, dan ulangan yang
diberikan
oleh
guru
harus
memungkinkan
siswa
melakukan
proses
pembelajaan baik secara individu maupun kelompok. Bentuk tugas, latihan
dan ulangan harus dirancang sedemikian rupa sehingga siswa terdorong
untuk terus belajar dan merasakan kegiatan itu menyenangkan dan menjadi
kebutuhannya. Dengan mengerjakan latihan, tugas, dan ulangan yang
diberikan, siswa sendiri memperoleh gambaran tentang hal-hal apa yang
8
telah dia kuasai dan belum kuasai. Jika
siswa merasa ada hal-hal yang
belum dia kuasai, ia terdorong untuk mempelajarinya kembali.
b. Fungsi Belajar Tuntas, dimana penilaian di kelas harus diarahkan untuk
memantau ketuntasan belajar siswa. Pertanyaan yang harus selalu diajukan
oleh guru adalah apakah siswa sudah menguasai kemampuan yang
diarahkan, siapa dari siswa yang belum menguasai kemampuan tetentu, dan
tindakan apa yang harus dilakukan agar siswa mampu menguasai
kemampuan tersebut. Ketuntasan belajar harus menjadi fokus dalam
perancangan materi yang harus dicakup setiap kali guru melakukan penilaian.
Jika suatu kemampuan belum dikuasai siswa, penilaian harus terus dilakukan
untuk mengetahi apakah semua atau sebagian besar siswa telah menguasai
kemampuan tersebut. Rencana penilaian harus harus disusun dengan target
kemampuan yang harus dikuasai siswa pada setiap semester dan kelas
sesuai dengan daftar kemapuan yang telah ditetapkan.
c. Fungsi Sebagai Indikator Efektivitas Pengajaran, disamping untuk
memantau kemajuan belajar siswa, penilaian kelas juga dapat digunakan
untuk melihat seberapa jauh proses belajar mengajar telah berhasil. Apabila
sebaian besar atau semua siswa telah menguasai sebagian besar atau
semua kemampuan yang diajarkan, maka dapat disimpulkan bahwa proses
belajar mengajar telah berhasil sesuai dengan rencana. Apabila guru
menemukan bahwa hanya seagian siswa saja yang menguasai keampuan
yang ditargetkan, guru perlu melakukan analisis dan refleksi mengapa hal ini
terjadi dan apa tindaka yang harus guru lakukan untuk meningkatkan
efektivitas pengajaran.
d. Fungsi Umpan balik, hasil penilaian harus dianalisis oleh guru sebagai
bahan umpan balikbagi sswa dan guru itu sendiri. Umpan balik hasil penilaian
sangat bermafaat bagi siswa agar siswa mengetahui kelemahan yang
dialaminya dalam mecapai kemampuan yang diharapakan, dan siswa diminta
melakukan latihan dan atau pengayaan yang dianggap perlu baik sebagai
tugas individu ataupun kelompok. Analisis hasil peilaiam juga berguna bagi
guru untuk melihat hal-hal apa yang perlu diperhatikan secara serius dalam
proses belajar mengajar. misalnya, analisis terhadap kesalahan yang umum
dilakukan siswa dalam memahami konsep tetentu mejadi umpan balik dari
guru dan melaukan perbaikan dalam proses belajar megajar berikutnya.
9
Dalam hal-hal tertentu hasil penilaian juga dapat menjadi umpan balik bagi
sekolah dan orang tua agar secara bersama-sama mendorong dan
membantu ketecapaiannya target penguasaan kemampuan yang telah
ditetapkan.
4. Prinsip ABK
Agar penilaian kelas memenuhi tujuan dan fungsi sebagaimana
dijelaskan di atas, perlu diperhatikan hal-hal berikut.
a. Mengacu pada pencapaian kompetensi (Competency Referenced),
penilaian kelas perlu disusun dan dirancang untuk mengukur apakah siswa
telah menguasai kemampuan sesuai dengan target yang ditetapkan dalam
kurikulum. Materi yang dicakup dalam penilaian kelas harus terkait secara
langsung dengan indikator pencapaian kemampuan tersebut. Ruang lingkup
materi penilaian disesuaikan dengan tahapan materi yang telah diajarkan
serta pengalaman belajar siswa yang diberikan. Materi penugasan atau
ulangan
harus
betul-betul
merefleksiksan
setiap
kemampuan
yang
ditargetkan untuk dikuasai siswa. Hanya materi yang secara esensial terkait
langsung dengan kemampuan yang perlu dicakup dalam penilaian di kelas.
Materi yang tidak langsung terkait dengan kemampuan tidak perlu dicakup
dalam penilaian di kelas. Namun demikian, guru tetap dapat mencatat hal-hal
tersebut sebagai bahan dalam melakukan analisis dan umpan balik hasil
penilaian.
b. Berkelanjutan (Continous), penilaian yang dilakukan di kelas oleh guru
harus merupakan proses yang berkelanjutan dalam rangkaian rencana
mengajar guru selama satu semester dan tahun ajaran. Rangkaian aktivitas
penilaian kelas yang dilakukan guru melalui pemberian tugas, pekerjaan
rumah (PR), ulangan harian, ulangan tengah dan akhir semester, serta akhir
tahun ajaran merupakan proses yang berkesinambuangan dan berkelanjutan
selama satu tahun ajaran.
c. Didaktis, alat yang akan digunakan untuk penilaian kelas berupa tes
amupun non-tes harus dirancang baik isi, format, maupun tata letak (layout)
dan tampilannya agar siswa menyenangi dan menikmati kegiatan penilaian.
Perancangan bahan penilaian yang kreatif dan menarik dapat mendorong
siswa untuk menyelesaikan tugas penilaian, baik yang bersifat individual
10
maupun kelompok dengan penuh antusias dan menyenangkan. Alat penilaian
kelas seperti ini dapat menumbuhkan rasa keingintahuan siswa lebih dalam
dan dorongan belajar lebih kuat.
d. Menggali Informasi, penilaian kelas yang baik harus dapat memberikan
informasi yang cukup bagi guru untuk mengambil keputusan dan umpan balik.
Pemilihan metoda, teknik, dan alat peniaian yang tepat sangat menentukan
jenis informasi yang ingin digali dari proses penilaian kelas acuan sederhana
yang dapat digunakan guru adalah prinsip “Sedikit-tapi-banyak” (less-ismore). Prinsip ini dimaksudkan agar guru melakukan penilaian dengan
cakupan materi yang tidak terlalu banyak tetapi informasi yang diperoleh dari
hasil penilaian tesebut sangat dalam dan luas. Oleh karenanya, untuk soal
dan penugasan yang tebuka, seperti soal uraian dan pemecahan masalah
sangat dianjurkan untuk ulangan harian yang disiapkan guru. Sebaliknya,
bentuk soal lebih tertutup, seperti pilihan ganda dan uraian terstruktur, lebih
dianjurkan untuk penilaian yang materinya bersifat luas dan komprehensif
seperti pada ulangan akhir semester dan akhir tahun pelajaran.
e. Melihat yang benar dan yang salah, Dalam melaksanakan penilaian,
guru hendaknya melakukan analisis teadap hasil penilaian dan kerja siswa
secara seksama untuk melihat adanya kesalahan yang secara umum terjadi
pada siswa dan sekaligus melihat hal-hal positif yang dilakukan siswa. Hal-hal
positif tersebut dapat berupa, misalnya, jawaban benar yang diberikan siswa
diluar perkiraan atau cakupan yang ada pada guru. Siswa yang memiliki
kelebihan kecerdasan, pengetahuan, dan pengalaman sangat mungkin
memberikan jawaban dan penyelesaian masalah yang tidak tersedia pada
bahan yang diajarkan di kelas. Demikian juga, melihat pola kesalahan yang
umum dilakukan siswa dalam menjawab dan menyelesaikan masalah untuk
materi serta kompetesi tetentu sangat membantu guru dalam melakukan
perbaikan dan penyesuaian dan penyelesaian program belajar mengajar.
analisis terhadap kesalahan jawaban dan penyelesaian masalah yang
diberikan siswa sangat berguna untuk menghindari terjadinya miskonsepsi
dan ketidakjelasan dalam proses pembelajaran. Guru harus hendaknya
memberikan penekanan terhadap kesalahan-kesalahan yang bersifat umum
tersebut.
11
5. Kaitan ABK dengan Proses Belajar Mengajar (PBM)
ABK yang baik mempersyaratkan adanya keterkaitan langsung dengan
aktivitas belajar mengajar (PBM). Demikian pula, PBM akan berjalan efektif
apabila didukung oleh penilaian kelas yang efektif oleh guru. Penilaian
merupakan bagian integral dari proses belajar mengajar. kegiatan penilaian
harus dipahami sebagai kegiatan untuk mengefektifkan proses belajar
mengajar agar sesuai dengan yang diharapkan. Keterkaitan dan keterpaduan
antara penilaian dan PBM dapat digambarkan pada siklus dibawah ini.
RENCANA
MENGAJAR
ANALSIS &
UMPAN BALIK
PROJEK
BELAJAR-MENGAJAR
PENILAIAN
KELAS
Pada gambar di atas tampak jelas bahwa langkah yang guru lakukan
dalam
rangkaian
aktivitas
pengajaran
meliputi
penyusunan
rencana
mengajar, proses belajar mengajar, penlaia, analisis dan umpan balik. Dalam
siklus pembelajara, hal pertama yang harus dilakan guru adalah menyususn
rencana mengajar. dalam menyusun rencana mengajar ini hal-hal yang harus
diperhatikan melputi rician kompetisi yang harus dicapai siswa, cakupan dan
kedalaman materi, indicator pencapaian kompetensi, pengalaman belajar
yang harus dialami siswa, persyaratan sarana belajar yang diperlukan, dan
metoda serta prosedur untuk menilai ketercapaian kompetensi.
Setelah rencana mengajar disusun dengan baik, guru melakukan
kegiatan mengajar sesuai rencana tersebut. Hal yang paling penting untuk
diperhatikan dalam proses belajar mengajar ini adalah adanya interaksi yang
efektif antara guru, siswa, dan sumber belajar lainnya sehingga menjamin
terjadinya pengalaman belajar yang mengaah ke penguasaan kompetensi
12
oleh siswa. Untuk mengetahui dengan pasti ketecapaian kompetensi dmasud,
guru harus melakuan penilaian secara terarah dan terprogram.
Asesmen harus digunakan sebagai proses untuk mengukur dan
menentukan tingkat ketercapaian kompetensi, dan sekaligus untuk mengukur
efektivitas proses belajar mengajar. Untuk itu, penilaian yang efektif harus
diikuti oleh kegiatan analisis terhadap hasil penilaian dan merumuskan umpan
balik yang perlu dilakukan dalam perencanaan proses belajar mengajar
selanjutnya. Dengan demikian, rencana mengajar yang disiapkan oleh guru
untuk siklus PBM berikutnya harus didasarkan pada hasil dan umpan balik
penilaian sebelumya. Jika ini dilakukan, maka kegiatan belajar mengajar yang
dilakukan sepanjang semester dan tahun aaran merupan rangkaian dari
siklus PBM yang saling bersambung. Pembelajaran secara tuntas dan
pencapaian kompetensi akan dapat dijamin apabila siklus PBM yang satu
terkait dengan siklus PBM berikutnya.
6. Jenis Asesmen Berbasis Kelas
a. Ditinjau dari Jenis Respons yang Ditagih
Bila ditinjau dari jenis respons yang ditagih, asesmen dibedakan
menjadi imposed response tests dan free response. Imposed response
adalah respons yang harus diberikan siswa dimana pilihan respons itu sendiri
telah ditentukan terlebih dahulu. Contoh tes jenis ini adalah tes objektif. Testes objektif menyediakan pilihan jawaban bagi siswa, mungkin dua pilihan
(Benar-salah), atau lebih (pilihan ganda dan skala sikap). Siswa diminta
memilih salahsatu pilihan jawaban yang disediakan. Dengan demikian, siswa
tidak memiliki kebebasan untuk memberikan respons sesuai dengan
kehendaknya. Di pihak lain, tes dengan free response memberikan
kesempatan yang luas bagi siswa untuk memberikan jawaban (respons)
sesuai dengan kehendaknya. Dilihat dari kebebasan respons yang diberikan
pada siswa, maka tes dengan free response (seperti tes kinerja, portofolio,
esai, dan sebagainya) lebih memberikan kesempatan siswa menunjukkan
kemampuan yang sesungguhnya dan secara riil, dalam arti, jawaban siswa
jelas dapat dketahui dari uraian/tindakan (respons) yang diberikannya.
13
b. Ditinjau dari bentuk Asesmen
Asesmen dapat berbentuk tes dan non-tes. Tes dibedakan menjadi tes
objektif dan esai terstruktur. Contoh non-tes antara lain skala isian, skala
rating, ceklis, inventori, dan asesmen otentik. Asesmen otentik yang
merupakan asesmen berbasis kompetensi meliputi asesmen portofolio,
kinerja, esai (tak terstruktur), projek, dan asesmen diri.
(i) Tes Objektif
Yang dimaksud dengan tes objektif adalah tes yang cara penilaiannya
bersifat objektif, dalam arti, sudah jelas jawaban mana yang benar dan mana
yang salah dan hanya satu jawaban yang benar.
Tes objektif memiliki beberapa variasi dan bentuk yang berbeda, tetapi
dapat diklasifikasikan ke dalam butir tes yang meminta siswa untuk mengisi
jawaban dan butir tes yang meminta siswa untuk memilih jawaban dari
sejumlah alternatif yang ada. Kedua golongan besar ini, menurut Gronlund
dan Linn, secara umum dapat dibagi menjadi bentuk butir tes sebagi berikut.
(1) Yang termasuk bentuk tes mengisi jawaban (supply type), yakni butir soal
jawaban singkat (short answer) dan butir soal melengkapi (completion). (2)
Yang termasuk bentuk butir tes yang meminta siswa untuk memilih jawaban,
yakni butir soal benar-salah, menjodohkan, dan pilihan ganda (Gronlund dan
Linn, 1991). Di antara bentuk tes objektif, yang umum digunakan adalah butir
tes pilihan ganda, menjodohkan, dan benar-salah. Dari ketiga bentuk butir tes
tersebut, bentuk pilihan ganda yang paling banyak digunakan (Salvia and
Ysseldyke, 1995). Dalam hubungan ini, Nitko (1996) mengemukakan bahwa
tes bentuk jawaban singkat meminta siswa untuk menjawab setiap
pertanyaan dengan sebuah kata, kalimat pendek, nomor, atau simbol. Bentuk
butir soal jawaban singkat bervariasi, seperti bentuk pertanyaan, melengkapi,
dan
asosiasi.
Variasi
bentuk
pertanyaan
biasanya
mengemukakan
pertanyaan secara langsung. Variasi bentuk tes melengkapi meminta siswa
untuk menambahkan kata-kata untuk melengkapi suatu pertanyaan yang
tidak lengkap. Sedangkan variasi bentuk asosiasi terdiri atas daftar istilahistilah atau gambar terhadap mana siswa dapat menyebutkan nomor-nomor,
label, simbol, atau bentuk lain.
14
Bentuk tes benar-salah terdiri dari sebuah pernyataan atau proposisi
dimana siswa harus menilai dan kemudian memberi tanda, apakah benar
atau salah. Dalam hubungan ini, paling sedikit terdapat enam variasi, yaitu:
betul-salah
(true-false),
ya-tidak
(yes-no),
benar-salah
(right-wrong),
pembetulan atau koreksi (correction), pilihan benar salah jamak (multiple truefalse), dan ya-tidak dengan penjelasan (yes-no with explanation).
Variasi “benar-salah” berbentuk proposisi yang harus dipilih oleh siswa,
apakah pernyataan itu benar atau salah. Variasi bentuk “ya-tidak”
menanyakan pertanyaan langsung, terhadap mana siswa menjawab ya atau
tidak. Pada variasi bentuk”betul-salah” dikemukakan perhitungan, persamaan,
atau kalimat yang harus dinilai oleh siswa apakah betul atau tidak betul.
Variasi bentuk “koreksi atau pembetulan” meminta kepada siswa untuk
menilai sebuah proposisi, seperti pada bentuk benar-salah, tetapi siswa juga
diminta untuk memperbaiki atau mengoreksi setiap pertanyaan yang salah
dan membetulkannya. Variasi bentuk pilihan “benar-salah” tampaknya sama
dengan butir pilihan ganda, malahan pada saat memilih satu opsi yang benar,
siswa memperlakukan tiap opsi sebagai pertanyaan “benar-salah” yang
terpisah, yakni lebih dari satu pilihan bisa benar. Sedangkan pada variasi “yatidak” dengan penjelasan, menanyakan pertanyaan langsung dan meminta
siswa untuk menjawab “ya” atau “tidak” dan dijelaskan mengapa pilihannya
benar (Nitko, 1996).
Tes objektif memiliki kelebihan dan kekurangan, antara lain adalah
sebagai berikut: (1) Kelebihan pada butir soal jawaban singkat adalah sangat
mudah menyusunnya, karena secara relatif biasanya mengukur hasil belajar
yang sederhana. Kecuali untuk mengukur hasil belajar pemecahan masalah
pada matematika dan sains, butir tes jawaban singkat hanya mengukur
ingatan (recall) tentang informasi ingatan. Kelebihan lain butir tes jawaban
singkat
adalah
bahwa
siswa
harus
menyisipkan
jawaban
sehingga
mengurangi kemungkinan bahwa siswa menjawab dengan benar karena
tebakan. Sedangkan kelemahan tes jawaban singkat adalah tidak cocok
untuk mengukur hasil belajar yang kompleks dan kesulitan untuk memberi
skor. (2) Kelebihan pada butir tes benar-salah adalah bahwa butir tes benarsalah mudah disusun, tetapi untuk menyusun butir tes benar-salah yang tidak
ambigius diperlukan keterampilan tertentu. Kelebihan kedua pada butir tes
15
benar-salah adalah bahwa dapat mencakup materi yang luas. Di samping itu,
salah satu kekurangan atau kelemahan yang serius pada butir benar-salah
adalah bentuk hasil belajar yang dapat diukur. Di samping itu, bentuk tes
benar-salah bisa ditebak, dan peluang benarnya adalah 50%. (3) Kelebihan
pada butir tes menjodohkan adalah bentuknya yang kompak dan dapat
mengukur sejumlah besar hasil belajar yang berkaitan dengan fakta-fakta,
dan mudah menyusunnya. Sedangkan kelemahannya adalah bahwa butir tes
menjodohkan terbatas untuk mengukur informasi tentang fakta-fakta pada
belajar hafalan, dan kesulitan untuk menemukan materi yang homogen dan
signifikan dengan tujuan dan hasil belajar. (4) Kelebihan pada butir tes pilihan
ganda adalah efektif untuk mengukur berbagai tipe pengetahuan dan hasil
belajar yang kompleks. Di samping itu, butir tes pilihan ganda memiliki tingkat
reliabilitas yang lebih tinggi daripada bentuk butir tes benar-salah karena
kesempatan untuk menebak dapat dikurangi. Sedangkan kelemahan butir tes
pilihan ganda adalah bahwa sebagai butir tes tertulis memiliki keterbatasan
untuk mengukur hasil belajar yang bersifat verbal, mengukur keterampilan
pemecahan masalah, mengukur kecakapan untuk mengorganisasikan dan
mengemukakan pendapat. Di samping itu, butir tes pilihan ganda memiliki
kesulitan untuk menemukan pengecoh yang tepat (Linn and Gronlund, 1995).
Tes esai jawaban terbatas, atau sering juga disebut esai terstruktur,
adalah jenis tes objektif sebab jawaban yang dikehendaki sudah jelas dan
harus sama pada setiap jawaban. Pada tes esai jawaban terbatas/terstruktur,
siswa lebih dibatasi pada bentuk dan ruang lingkup jawabannya, karena
secara khusus dinyatakan konteks jawaban yang harus diberikan oleh siswa.
Esai jawaban terbatas berada pada tataran tes objektif karena sifatnya lebih
banyak mengungkapkan informasi faktual saja. Sebagai contoh, soal:
Sebutkan kelima sila Pancasila dengan urutan yang benar. Maka siswa akan
menulis jawabannya sesuai dengan hafalannya. Hal ini tak ubahnya tes
objektif. Bedanya, disini siswa menuliskan jawaban, bukan menyilang atau
melingkari jawaban yang benar seperti pada tes pilihan ganda.
Sebenarnya, tes esai dapat digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu tes
esai jawaban terbuka (extended-response) dan jawaban terbatas (restrictedresponse)
dan
hal
ini
tergantung
pada
kebebasan
siswa
untuk
mengorganisasikan atau menyusun ide-idenya dan menuliskan jawabannya.
16
Esai jawaban terbuka merupakan salahsatu bentuk asesmen otentik. Esai
jenis ini akan dibahas secara lebih detail pada bagian asesmen otentik.
Seperti halnya pada tes objektif, butir tes esai juga memiliki kelebihan,
antara lain: (1) secara relatif lebih mudah untuk menyiapkan butir soalnya
dibandingkan dengan menyusun butir soal pilihan ganda, (2) merupakan alat
yang bisa mengukur kecakapan siswa untuk menyusun jawaban dan
mengemukakannya dalam prosa, (3) dapat membantu guru untuk melihat
kejujuran siswa dengan memberi tekanan pada kemampuan siswa untuk
mengisi jawaban yang benar, dan (4) dapat membantu merangsang hasil
yang baik bagi pembelajaran siswa. Di samping keunggulannya, tes esai juga
memiliki kelemahan, yaitu: (1) terbatas pada cakupan materi yang bisa diukur,
khususnya pada bentuk tes esai jawaban terbuka, dan (2) memiliki reliabilitas
keterbacaan yang rendah.
Tabel 2. Perbandingan antara Tes Esai dan Tes Objektif
Aspek
1. Hasil
Tes Objektif
Tes Esai
Baik untuk mengukur hasil Tidak efisien untuk mengukur
belajar
belajar
pada
yang
pengetahuan tentang fakta, Dapt mengukur pemahaman,
diukur
pemahaman,
berpikir,
dan
tingkat pengetahuan tentang fakta.
keterampilan keterampilan
hasil
untuk
dan
belajar hasil belajar yang kompleks
yang kompleks. Tetapi tidak lainnya
mampu
berpikir,
(khususnya
sangat
mengukur berguna jika jawaban orisinil
kemampuan untuk memilah yang diinginkan). Cocok untuk
dan
menyusun
kecakapan
ide-ide, memilih dan menyusun ide-
menulis,
beberapa
dan ide,
keterampilan
bentuk dan
keterampilan
menulis,
keterampilan
untuk
untuk memecahkan masalah yang
memecahkan masalah
menuntut
pemikiran
yang
orisinil
2. Penyiapan Banyak memerlukan waktu Hanya
butir soal
untuk menyusun butir soal. yang
17
sedikit
pertanyaan
diperlukan
untuk
Sukar mempersiapkan butir seperangkat tes. Menyiapkan
soal
yang
baik
dan butir soal relatif mudah, tetapi
memerlukan waktu lama.
lebih
sulit
dari
anggapan
orang.
3. Mengambi
l
Dapat mewakili semua materi Tidak dapat mewakili seluruh
sampel pelajaran dan dapat memuat materi
materi
butir soal yang banyak dalam hanya
pelajaran
seperangkat tes.
pelajaran,
sedikit
karena
pertanyaan
yang bisa dimasukkan dalam
seperangkat tes
4. Kontrol
Tinggal
memilih
jawaban Bebas menjawab atas dasar
terhadap
yang
telah
tersedia. kata-katanya
jawaban
Menghindari gertak sambal keterampilan
siswa
dan pengaruh keterampilan mempengaruhi skor, berpikir
menulis,
bisa
sendiri,
dan
menulis
menebak menebak bisa dikurangi
jawaban
5. Pemberia
n skor
Penskoran
dan
secara
cepat,
objektif Penskoran
mudah,
dan lambat,
konsisten
6. Pengaruh
subjektif
sulit,
dan
dan
tidak
konsisten
Biasanya mendorong siswa Mendorong
siswa
untuk
pada
untuk
pikiran
pada
proses
pengetahuan tentang fakta- sejumlah
pembelaja
fakta khusus dan kemampuan pelajaran, dengan penekanan
ran
untuk pembedaan di antara khusus
fakta
mengembangkan memusatkan
tersebut.
mendorong
pemahaman,
berpikir,
dan
besar
pada
materi
kemampuan
Dapat untuk
menyusun,
pengembangan mengintegrasikan,
dan
keterampilan mengemukakan
hasil
belajar secara
yang kompleks lainnya
mendorong
ide-ide
efektif.
Dapat
kebiasaan
menulis buruk jika waktunya
mendesak
7. Reliabilita
s
Reliabilitas
yang
tinggi Reliabilitasnya lebih rendah,
mungkin dicapai, khususnya terutama karena penskoran
jika tes disusun secara baik
18
yang tidak konsisten
Kaidah Penyusunan Tes Objekif
Untuk menyusun soal tes objektif, perlu dicermati dari segi materi soal,
konstruksinya, dan penggunaan bahasanya. Berikut ini adalah kriteria
penulisan Soal Pilihan Ganda:
 Materi
a. Soal
harus
sesuai
dengan
indikator.
Artinya,
soal
harus
menanyakan perilaku dan materi yang hendak diukur sesuai
dengan tuntutan indikator.
b. Pilihan jawaban harus homogen dan logis ditinjau dari segi materi.
Artinya semua pilihan jawaban harus berasal dari materi yang sama
seperti yang terkandung dalam pokok soal, penulisannya harus
setara, dan semua pilihan jawaban harus berfungsi.
c. Setiap soal harus mempunyai satu jawaban yang benar atau yang
paling benar. Artinya, satu soal hanya memiliki satu kunci jawaban.
Jika terdapat beberapa pilihan jawaban yang benar, maka kunci
jawabannya adalah pilihan jawaban yang paling benar.
 Konstruksi
d. Pokok soal harus dirumuskan secara jelas dan tegas. Artinya,
kemampuan/materi yang hendak diukur/ditanyakan harus jelas,
tidak menimbulkan pengertian atau penafsiran yang berbeda dari
yang dimaksud penulis, dan hanya mengandung satu persoalan
untuk setiap nomor. Bahasa yang digunakan harus komunikatif,
sehingga mudah dimengerti siswa. Apabila harus tanpa melihat
dahulu
pilihan
jawaban,
siswa
sudah
dapat
mengerti
pertanyaan/maksud pokok soal, maka dapat disimpulkan bahwa
pokok soal tersebut sudah jelas.
e. Rumusan pokok soal dan pilihan jawaban harus merupakan
pernyataan yang diperlukan saja. Artinya, apabila terdapat rumusan
atau pernyataan yang sebetulnya tidak diperlukan, maka rumusan
atau pernyataan tersebut dihilangkan saja.
f. Pokok soal jangan memberi petunjuk ke arah jawaban yang benar.
Artinya, pada pokok soal jangan sampai terdapat kata, frase, atau
ukapan yang dapat memberi petunjuk kearah jawaban yang benar.
19
g. Pokok soal jangan mengandung pernyataan yang bersifat negatif
ganda. Artinya, pada pokok soal jangan sampai terdapat dua kata
atau lebih yang mengandung arti negatif. Penggunaan kata negatif
ganda dapat mempersulit siswa dalam memahami maksud soal,
oleh karena itu perlu dihindari. Namun untuk keterampilan
brbahasa, penggunaan kata negatif ganda diperbolehkan kalau
yang ingin diukur justru pengertian tentang negatif ganda itu sendiri.
h. Panjang rumusan pilihan jawaban harus relatif sama. Kaidah ini
perlu diperhatikan karena adanya kecenderungan siswa untuk
memilih jawaban yang paling panjang, karena seringkali jawaban
yang lebih panjang itu lebih lengkap dan merupakan kunci jawaban.
i.
Pilihan jawaban jangan mengandung pernyataan, “semua pilihan
jawaban di atas salah”, atau “semua pilihan jawaban di atas benar”.
Artinya, dengan adanya pilihan jawaban seperti ini, maka dari segi
materi pilihan jawaban berkurang satu, karena pernyataan itu
hanya merujuk kepada materi dari jawaban sebelumnya.
j.
Pilihan jawaban yang berbentuk angka harus disusun berdasarkan
urutan besar kecilnya angka tersebut, dan pilihan jawaban
berbentuk angka yang menunjukkan waktu harus disusun secara
kronologis. Pengurutan angka dilakukan dari nilai angka paling kecil
ke nilai angka paling besar atau sebaliknya. Pengurutan waktu
berdasarkan
kronologis
waktunya.
Pengurutan
tersebut
dimasudkan untuk memudahkan siswa melihat dan memahami
pilihan jawaban.
k. Gambar, grafik, tabel, diagram, dan sejenisnya yang terdapat pada
soal harus berfungsi. Artinya, apa saja yang menyertai suatu soal
yang ditanyakan harus jelas, terbaca, dan dapat dimengerti oleh
siswa. Apabila soal tersebut dapat tetap dijawab tanpa melihat
gambar, grafik, tabel atau sejenisnya yang terdapat pada soal,
berarti gambar, grafik, atau tabel tersebut tidak berfungsi.
l.
Butir
materi
soal
jangan
bergantung
pada
jawaban
soal
sebelumnya. Ketergantungan pada soal sebelumnya menyebabkan
siswa yang tidak dapat menjawab soal pertama tidak aan dapat
menjawab soal berikutnya.
20
 Bahasa
m. setiap soal harus menggunakan bahasa yang sesuai dengan
kaidah bahasa Indonesia.
n. Jangan gunakan bahasa yang berlaku setempat, jika soal akan
digunakan untuk daerah lain atau nasional.
o. Pilihan jawaban jangan mengulang kata atau frase yang bukan
merupakan satu kesatuan pengertian. Letakkan kata tesebut pada
pokok soal.
(ii) Asesmen Otentik
Asesmen otentik termasuk non-tes, yaitu asesmen yang dilakukan
dalam suasana non-threatening, seperti yang terjadi pada tes. Bila pada tes
terjadi one-time response untuk melihat hasil belajar, maka pada non-tes,
asesmen dapat memantau proses dan hasil belajar. Oleh karenanya, non-tes
dilakukan secara terpadu dengan pembelajaran. Orientasi pendidikan
kontemporer yang menekankan pembentukan kompetensi memberi peluang
sangat luas bagi asesmen non-tes yang bersifat otentik seperti asesmen
portofolio dan asesmen kinerja.
Asesmen otentik adalah asesmen yang secara langsung bermakna,
dalam arti, apa yang diases memang demikian yang sesungguhnya terjadi,
dan dapat terjadi, dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, asesmen otentik
mengases kemampuan riil siswa dalam kaitannya dengan kehidupan seharihari. Penggunaan asesmen otentik sangat erat hubungannya dengan
kompetensi. Dalam KTSP dikenal istilah Standar Kompetensi (SK) dan
Kompetensi Dasar (KD). Kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, nilai
dan sikap yang tertunjukkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Jelas dari pengertian tersebut bahwa
kompetensi tidak bisa diasumsikan telah terbentuk pada diri siswa,
melainkan harus benar-benar tertunjukkan dalam suatu unjuk kerja/kinerja.
Oleh sebab itulah, jenis-jenis tes objektif seperti pilihan ganda, benar-salah
bukanlah alat yang baik untuk mengukur tingkat kompetensi siswa.
Sebaliknya, jenis-jenis asesmen otentik seperti asesmen kinerja dan
portofolio lebih relevan untuk mengukur kompetensi. Sebagai contoh
perbandingan, untuk mengetahui apakah siswa telah memiliki kompetensi
21
menulis sebuah paragraf deskriptif, misalnya, cara yang tepat digunakan
adalah dengan meminta siswa menulis sebuah paragraf deskriptif, kemudian
hasil karya siswa tersebut diases dengan cara membandingkan kualitas
paragraf itu dengan sebuah paragraf standar (benchmark) atau diases
dengan sebuah rubrk penilaian (sebuah rubrik penilaian berisi komponenkomponen paragraf deskriptif beserta deskriptornya). Mengetahui kompetensi
siswa dalam menulis paragraf tidak dapat digunakan tes objektif.
Asesmen otentik mengharuskan pembelajaran berpusat pada siswa,
bukan pada guru sebab pelaku belajar adalah siswa. Sangatlah tidak tepat
bila guru melakukan hal yang semestinya dilakukan oleh siswa. Sebagai
contoh, untuk mengenal habitat sungai (pelajaran IPA), siswa mesti melihat
sendiri habitat tersebut, bukan guru yang menceritakan habitat sungai pada
siswa. Jika terjadi guru yang menggambarkan sesuatu pada siswa,
sementara siswa pasif dan hanya mendengarkan saja penjelasan guru, maka
pembelajaran tersebut tidak riil atau tidek otentik. Bagaimana mengases hasil
belajar otentik? Asesmen otentik sangat baik bila dilakukan bersamaan
dengan saat berlangsungnya pembelajaran. Misalnya, pada pembelajaran
eksperimen membedah katak (topik pembelajaran mengenal organ tubuh
amphibia), maka asesmen langsung dilakukan pada saat eksperimen
berlangsung; bukan seminggu setelah eksperimen, lalu dilakukan tes objektif
tentang eksperimen tersebut.
Asesmen otentik memiliki sifat-sifat: (1) berbasis kompetensi yaitu
asesmen yang mampu memantau kompetensi seseorang; (2) individual.
Kompetensi tidak dapat disamaratakan pada semua orang, tetapi bersifat
personal. Asesmen otentik dapat secara langsung mengukur kemampuan
individu; (3) berpusat pada siswa, karena direncanakan, dilakukan, dan
dinilai oleh siswa sendiri; mengungkapkan seoptimal mungkin kelebihan
setiap individu, dan juga kekurangannya (untuk bisa dilakukan perbaikan); (4)
tak terstruktur dan open-ended, dalam arti, percepatan penyelesaian tugastugas otentik tidak bersifat uniformed dan klasikal, juga kinerja yang
dihasilkan tidak harus sama antar individu di suatu kelompok/kelas; (5)
terintegrasi dengan proses pembelajaran, dengan demikian siswa tidak
selalu dalam situasi tes (yang seringkali membuat tegang); dan (6) on-going
atau berkelanjutan, oleh karena itu asesmen harus dilakukan secara
22
langsung pada saat proses belajar dan untuk produk belajar yang
dihasilkannya. Sifat asesmen otentik yang komprehensif ini juga dapat
membentuk unsur-unsur metakognisi dalam diri siswa seperti risk-taking,
kreatif, mengembangkan kemampuan berfikir tingkat tinggi dan divergen,
tanggungjawab terhadap tugas dan karya, dan rasa kepemilikan (ownership).
Jenis-jenis asesmen otentik meliputi asesmen kinerja, evaluasi diri,
esai, projek, dan portofolio. Kegiatan-kegiatan asesmen otentik antara lain
presentasi, observasi, diskusi, wawancara, dan lain-lain kegiatan unjuk kerja
yang sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari. Kegiatan asesmen yang
tidak otentik adalah tes objektif seperti pilihan ganda, menghapal materi, dan
kegiatan-kegiatan lain yang hanya menuntut siswa secara mekanis dan tidak
langsung terkait dengan kehidupan.
(iii) Asesmen Kinerja
Asesmen kinerja adalah suatu prosedur yang menggunakan berbagai
bentuk
tugas-tugas
untuk
memperoleh
informasi
tentang
apa
dan
sejauhmana yang telah dilakukan dalam suatu program. Pemantauan
didasarkan
pada
kinerja
(performance)
yang
ditunjukkan
dalam
menyelesaikan suatu tugas atau permasalahan yang diberikan. Hasil yang
diperoleh merupakan suatu hasil dari unjuk kerja tersebut.
Asesmen kinerja adalah penelusuran produk dalam proses. Artinya,
hasil-hasil kerja yang ditunjukkan dalam proses pelaksanaan kegiatan itu
digunakan sebagai basis untuk dilakukan suatu pemantauan/penilaian
terhadap produk dari aktivitas tersebut.
Terdapat tiga komponen utama dalam asesmen kinerja, yaitu tugas
kinerja (performance task), rubrik performansi (performance rubrics), dan
cara penilaian (scoring guide). Tugas kinerja adalah suatu tugas yang berisi
topik, standar tugas, deskripsi tugas, dan kondisi penyelesaian tugas (lihat:
Tugas Pertunjukan Drama, dalam asesmen projek). Rubrik performansi
merupakan suatu rubrik yang berisi komponen-komponen suatu performansi
ideal, beserta deskriptornya. Cara penilaian kinerja, yang dapat dilakukan
secara holistik, analitik, atau primary traits.
Secara lebih rinci, tugas kinerja yang valid harus memenuhi kriteria
berikut.
23
(1) Memusatkan pada elemen-elemen yang penting
(2) Sesuai dengan tuntutan kurikulum
(3) Mengintegrasikan informasi, konsep, keterampilan, dan kebiasaan belajar
(4) Melibatkan siswa
(5) Mengaktifkan kemauan untuk bekerja
(6) Layak, aman, dan cocok untuk seluruh siswa
(7) Seimbang antara kerja kelompok dan individual
(8) Terstruktur untuk memudahkan pemahaman.
(9) Memiliki produk yang otentik
(10)
Memasukkan penilaian diri dan memungkinkan umpan balik dari orang
lain (Hibbard, 1999:5).
(iv) Asesmen Diri
Menurut Rolheiser dan Ross (2005), asesmen diri adalah suatu cara
untuk melihat kedalam diri sendiri. Melalui asesmen diri siswa dapat melihat
kelebihan maupun kekurangannya, untuk selanjutnya kekurangan ini menjadi
tujuan perbaikan (improvement goal). Dengan demikian, siswa lebih
bertanggungjawab terhadap proses dan pencapaian tujuan belajarnya.
Salvia dan Ysseldike (1996) menekankan bahwa refleksi dan asesmen
diri merupakan cara untuk menumbuhkan rasa
kepemilikan (ownership),
yaitu timbul suatu pemahaman bahwa apa yang dilakukan dan dihasilkan
siswa tersebut memang merupakan hal yang berguna bagi diri dan
kehidupannya.
Rolheiser
dan
Ross
mengajukan
suatu
model
teoretik
untuk
menunjukkan kontribusi asesmen diri terhadap pencapaian tujuan. Model
tersebut menekankan bahwa, ketika mengases sendiri performansinya, siswa
terdorong untuk menetapkan tujuan yang lebih tinggi (goals). Untuk itu, siswa
harus melakukan usaha yang lebih keras (effort). Kombinasi dari goals dan
effort ini menentukan prestasi (achievement); selanjutnya prestasi ini
berakibat pada judgment terhadap diri (self-judgment) melalui kontemplasi
seperti pertanyaan, ‘Apakah tujuanku telah tercapai’? Akibatnya timbul reaksi
(self-reaction) seperti ‘Apa yang aku rasakan dari prestasi ini?’
Goals, effort, achievement, self-judgment, dan self-reaction
dapat
terpadu untuk membentuk kepercayaan diri (self-confidence) yang positif.
24
Kedua penulis menekankan bahwa sesungguhnya, evaluasi diri adalah
kombinasi dari komponen self-judgment dan self-reaction dalam model di
atas. Model tersebut digambarkan dalam bagan berikut.
(1)
Tujuan
(2)
Usaha
(3)
Prestai
Asesmen Diri
(4)
Judgment Diri
(5)
Reaksi Diri
(6)
Rasa Percaya Diri
Belakangan ini, asesmen diri sebagai salahsatu cara asesmen otentik
banyak dibicarakan. Dunia global yang menciptakan persaingan, menuntut
setiap orang untuk memiliki kompetensi yang tinggi agar dapat eksis dalam
persaingan tersebut. Untuk itu, setiap orang harus terbiasa melakukan
evaluasi terhadap dirinya – apa yang telah dicapai, apa yang belum; bila
gagal mencapai sesuatu dimana letak penyebabnya, dan apa yang harus
dilakukan untuk mencapai sukses.
Hal di atas juga sangat penting untuk dipupuk dalam proses belajar.
Asesmen diri adalah suatu unsur metakognisi yang sangat berperan dalam
proses belajar. Oleh karena itu, agar asesmen diri dapat berjalan dengan
efektif, Rolheiser dan Ross menyarankan agar siswa dilatih untuk
melakukannya. Kedua peneliti mengajukan empat langkah dalam berlatih
melakukan asesmen diri, yaitu: (1) libatkan semua komponen dalam
menentukan kriteria penilaian, (2) pastikan semua siswa tahu bagaimana
caranya menggunakan kriteria tersebut untuk menilai kinerjanya, (3) berikan
umpan balik pada mereka berdasarkan hasil evaluasi dirinya, dan (4) arahkan
mereka untuk mengembangkan sendiri tujuan dan rencana kerja berikutnya.
25
Untuk langkah pertama, yaitu menentukan kriteria penilaian. Guru
mengajak siswa bersama-sama menetapkan kriteria penilaian. Pertemuan
dalam bentuk sosialisasi tujuan pembelajaran dan curah pendapat sangat
tepat dilakukan. Kriteria ini dilengkapi dengan bagaimana cara mencapainya.
Dengan kata lain, kriteria penilaian adalah target pencapaian, sedangkan
proses mencapai kriteria tersebut dipantau dengan menggunakan ceklis
asesmen diri. Cara mengembangkan kriteria penilaian sama dengan
mengembangkan rubrik penilaian dalam asesmen kinerja. Ceklis asesmen diri
dikembangkan
berdasarkan
hakikat
tujuan
tersebut
dan
bagaimana
mencapainya (lihat contoh-contoh kriteria penilaian dan ceklis evaluasi diri).
Ada kendala-kendala potensial yang dapat dialami seorang guru yang
baru memulai menggunakan kegiatan asesmen diri dalam pembelajarannya.
Marhaeni (2007) menyebutkan tiga, yaitu kendala budaya, kendala psikologis,
dan kendala pedagogis. Secara kultural, masyarakat pendidikan kita masih
top-down oriented dan kurang bernuansa demokratis; sehingga dalam
asesmen siswa merasa tidak berhak melakukan asesmen sebab yang berhak
melakukan itu (dan secara tradisional terjadi) adalah guru, bukan siswa.
Secara psikologis, siswa merasa tidak yakin dapat menilai kinerjanya sendiri
sebab bagi mereka, orang yang melakukan suatu penilaian harus tahu apa
yang benar sedangkan mereka sendiri masih dalam proses belajar. Kedua
potensi kendala ini, jika terjadi, menimbulkan kendala lain, yaitu kendala
pedagogik bagi guru. Guru harus menemukan cara-cara yang tepat untuk
dapat melatih siswa melakukan asesmen diri, terutama meyakinkan mereka
bahwa mereka mampu melakukannya.
(v) Esai
(Tes)
esai
menghendaki
siswa
untuk
mengorganisasikan,
merumuskan, dan mengemukakan sendiri jawabannya. Ini berarti siswa tidak
memilih jawaban, akan tetapi memberikan jawaban dengan kata-katanya
sendiri secara bebas.
Seperti telah diulas di depan, esai dapat digolongkan menjadi dua
bentuk, yaitu tes esai jawaban terbuka (extended-response) dan jawaban
terbatas (restricted-response) dan hal ini tergantung pada kebebasan yang
diberikan kepada siswa untuk mengorganisasikan atau menyusun ide-idenya
26
dan menuliskan jawabannya. Esai jawaban terbuka disebut sebagai salahsatu
bentuk asesmen otentik karena kemampuannya memberi peluang yang besar
bagi siswa untuk mendemonstrasikan kemampuannya secara bebas. Pada
tes
esai
bentuk
jawaban
terbuka
atau
jawaban
luas,
siswa
mendemonstrasikan kecakapannya untuk: (1) menyebutkan pengetahuan
faktual, (2) menilai pengetahuan faktualnya, (3) menyusun ide-idenya, dan (4)
mengemukakan idenya secara logis dan koheren. Contoh esai jenis ini adalah
hasil
suatu
eksperimen
dan
pemaparannya,
makalah,
dan
komposisi/karangan.
Esai terbuka/tak terstruktur memiliki potensi untuk mengukur hasil
belajar pada tingkatan yang lebih tinggi atau kompleks. Butir tes esai memberi
kesempatan
kepada
siswa
untuk
menyusun,
menganalisis,
dan
mensintesiskan ide-ide, dan siswa harus mengembangkan sendiri buah
pikirannya
serta
terorganisasi.
menuliskannya
Kelemahan
esai
dalam
adalah
bentuk
berkaitan
yang
tersusun
dengan
atau
penskoran.
Ketidakkonsistenan pembaca/penilai merupakan penyebab kurang objektifnya
dalam memberikan skor dan terbatasnya reliabilitas tes. Namun hal ini dapat
diminimalkan melalui penggunaan rubrik/pedoman penilaian, dan penilai
ganda (inter-rater).
Kaidah Penulisan (Tes) Esai
Materi
a. Soal harus sesuai dengan indikator, yaitu menanyakan kinerja dan materi
yang hendak diukur oleh indikator.
b. Batasan pertanyaan dan jawaban (ruang lingkup)harus jelas.
c. Isi materi sesuai dengan jenjang, jenis sekolah, dan tingkat kelas.
Konstruksi
d. menggunakan kata-kata tanya yang menghendaki jawaban terurai, seperti
mengapa, uraikan, jelaskan, bandingkan, hubungkan, buktikan. Hindari
pertanyaan yang dapat dijawab dengan ya-tidak, siapa, dimana, dan kapan;
karena dapat dijawab secara singkat tanpa uraian.
27
e. petunjuk mengerjakan soal harus jelas: cara pengerjaan, kondisi yang
disediakan/dituntut, waktu penyelesaian soal. Tabel, peta, dan lain-lain yang
menyertai soal harus jelas, bermakna, dan tidak menimbulkan penafsiran
ganda.
f. buat benchmark atau rubrik penilaian segera setelah soal selesai dibuat.
Bahasa
g. bahasa yang digunakan sederhana, efektif, komunikatif sehingga mudah
dipahami oleh siswa.
h. bahasa yang digunakan tidak menimbulkan penafsiran ganda atau salah
pengertian
i. bahasa yang digunakan harus netral, tidak menyinggung secara pribadi,
kelompok, maupun etnis
j. menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
k. tidak menggunakan bahasa yang berlaku setempat bila akan digunakan
untuk daerah lain atau nasional.
(vi) Projek
Projek, atau seringkali disebut pendekatan projek (project approach)
adalah investigasi mendalam mengenai suatu topik nyata. Dalam projek,
siswa
mendapat
kesempatan
mengaplikasikan
keterampilannya.
Pelaksanaan projek dapat dianalogikan dengan sebuah cerita, yaitu memiliki
fase awal, pertengahan, dan akhir projek. Pada bagian contoh diberikan
sebuah asesmen projek, yaitu tugas pertunjukan drama.
(vii) Asesmen Portofolio
Portofolio adalah sekumpulan artefak (bukti karya/kegiatan/data)
sebagai bukti (evidence) yang menunjukkan perkembangan dan pencapaian
siswa dalam suatu program pembelajaran. Penggunaan portofolio dalam
kegiatan evaluasi sebenarnya sudah lama dilakukan, terutama dalam
pendidikan seni dan bahasa. Sekarang, dengan adanya KTSP yang berbasis
kompetensi, asesmen portofolio menjadi primadona dalam asesmen berbasis
kelas.
28
Perlu dipahami bahwa sebuah portofolio (biasanya ditaruh dalam
folder) bukan semata-mata kumpulan bukti yang tidak bermakna. Portofolio
harus
disusun
berdasarkan
tujuannya.
Wyatt
dan
Looper
(2002)
menyebutkan, berdasarkan tujuannya sebuah portofolio dapat berupa
developmental
portfolio,
bestwork
portfolio,
dan
showcase
portfolio.
Developmental portfolio disusun demikian rupa sesuai dengan langkahlangkah kronologis perkembangan yang terjadi. Oleh karena itu, pencatatan
mengenai kapan suatu artefak dihasilkan menjadi sangat penting, sehingga
perkembangan program tersebut dapat dilihat dengan jelas. Bestwork
portfolio adalah portofolio karya terbaik. Karya terbaik diseleksi sendiri oleh
pemilik portofolio dan diberikan alasannya. Karya terbaik dapat lebih dari
satu. Showcase portfolio adalah portofolio yang lebih digunakan untuk tujuan
pajangan, sebagai hasil dari suatu kinerja tertentu.
Bagaimanakah asesmen portofolio membantu memantau pencapaian
target kompetensi? Asesmen portofolio adalah suatu pendekatan asesmen
yang komprehensif karena: (1) dapat mencakup ranah kognitif, afektif, dan
psikomotor secara bersama-sama, (2) berorientasi baik pada proses maupun
produk belajar, dan (3) dapat memfasilitasi kepentingan dan kemajuan siswa
secara individual. Dengan demikian, asesmen portofolio merupakan suatu
pendekatan asesmen yang sangat tepat untuk menjawab tantangan penilaian
dalam KTSP.
Asesmen portofolio mengandung tiga elemen pokok yaitu: (1) sampel
karya siswa, (2) evaluasi diri, dan (3) kriteria penilaian yang jelas dan terbuka.
(1) (Sampel) Karya Siswa
Sampel karya siswa merupakan bukti (evidence) yang menunjukkan
perkembangan belajarnya dari waktu ke waktu. Sampel tersebut dapat
berupa tulisan/karangan, audio atau video, laporan, problem matematika,
maupun eksperimen. Karya tersebut disusun secara sistematis tergantung
pada tujuan pembelajaran, preferensi guru, maupun preferensi siswa.
Asesmen portofolio menilai proses maupun hasil. Oleh karena itu proses dan
hasil sama pentingnya. Meskipun asesmen ini bersifat berkelanjutan, yang
berarti proses mendapatkan porsi penilaian yang besar (bandingkan dengan
asesmen konvensional yang hanya menilai hasil belajar) tetapi kualitas hasil
29
sangat penting. Dan memang, penilaian proses yang dilakukan tersebut
sesungguhnya memberi kesempatan siswa mencapai produk yang sebaikbaiknya.
Berbagai bukti fisik selama asesmen berlangsung disimpan dalam
folder (seringkali dipakai map, amplop besar, locker, kardus yang diisi nama
masing-masing siswa). Bukti fisik diperoleh dari hasil tes maupun non-tes (tes
objektif diupayakan minimal). Bukti fisik non-tes antara lain karya (artefak),
rekaman, draf, kinerja, dan lain-lain yang dapat menunjukkan perkembangan
siswa sebagai siswa. Catatan dan bahan evaluasi-diri juga merupakan bagian
dalam folder.
(2) Kriteria Penilaian yang Jelas dan Terbuka
Mengenai kriteria penilaian, juga ada dalam evaluasi diri. Bila pada
praktik asesmen konvensional kriteria penilaian menjadi ‘rahasia’ guru atau
pun penguji, dalam asesmen portofolio kriteria penilaian justru harus
disosialisasikan kepada siswa secara jelas. Hal ini sangatlah logis dan
manusiawi. Bagimana seseorang bisa memenuhi target yang dibebankan
padanya, jika target tersebut tidak secara jelas dia ketahui? Bahkan, cara
mencapai target itu pun harus diketahuinya agar dapat dia tentukan strategi
yang tepat, bagaimana cara mencapai target tersebut dengan waktu, biaya,
dan tenaga yang seefektif dan seefisien mungkin. Demikian yang mesti terjadi
dalam asesmen otentik.
Karena itu, kriteria penilaian harus mencakup prosedur dan standar
penilaian. Para ahli menganjurkan agar sistem dan standar asesmen tersebut
ditetapkan bersama-sama dengan siswa, atau paling tidak diumumkan secara
jelas.
(3) Asesmen Diri dalam Asesmen Portofolio
O’Malley dan Valdez Pierce (1994) bahkan mengatakan bahwa ‘selfassessment is the key to portfolio’. Hal ini disebabkan karena melalui evaluasi
diri siswa dapat membangun pengetahuannya serta merencanakan dan
memantau perkembangannya apakah rute yang ditempuhnya telah sesuai.
Melalui evaluasi diri siswa dapat melihat kelebihan maupun kekurangannya,
untuk selanjutnya kekurangan ini menjadi tujuan perbaikan (improvement
30
goal). Dengan demikian siswa lebih bertanggungjawab terhadap proses
belajarnya dan pencapaian tujuan belajarnya.
Asesmen diri dalam asesmen portofolio persis sama dengan asesmen
diri yang dibahas di atas. Memang, asesmen portofolio adalah asesmen
otentik yang paling komprehensif dalam khasanah asesmen otentik karena
melibatkan jenis-jenis asesmen yang lain seperti asesmen kinerja, asesmen
diri, projek, esai, dan juga tes objektif. Semua hasil asesmen tersebut, jika
diatur secara sistematis mulai dari tujuan asesmen (berdasarkan KD dan
indikator), serta mengikuti langkah-langkah implementasi seperti yang
disebutkan di atas, dan mengandung ketiga elemen pokok asesmen portofolio
(karya, kriteria penilaian, dan asesmen diri), maka sudah merupakan praktik
asesmen portofolio. Jadi, semua jenis asesmen yang telah dibahas di atas,
dapat dilakukan secara sendiri-sendiri (seperti kinerja, projek); dapat pula
masing-masing asesmen tersebut merupakan bagian dari suatu portofolio.
7. Model Implementasi Asesmen Otentik Berbasis Kelas
Berikut ini adalah modifikasi dari model asesmen portofolio oleh Moya
dan
O’Malley (1994).
Model
tersebut
(Portfolio
Assessment
Model)
disesuaikan dengan tiga komponen pembelajaran, yaitu Perencanaan,
Pelaksanaan, dan Analisis dan Pelaporan.
(a). Perencanaan
(1) Menentukan tujuan dan fokus (standar kompetensi, kompetensi
dasar, indikator pencapaian kompetensi, domain (kognitif, afektif,
psikomotor) yang diases)
(2) Merencanakan isi asesmen otentik yang meliputi: pemilihan prosedur
asesmen, menentukan isi/topik, dan menetapkan frekuensi dan waktu
dilakukannya asesmen.
(3) Mendesain cara menganalisis data, yaitu dengan menetapkan: standar
atau kriteria penilaian, menetapkan cara memadukan hasil penilaian
dari berbagai sumber (misalnya dari kinerja, portofolio, evaluasi diri,
tes. Dan lain-lain), dan menetapkan waktu analisis.
31
(4) Merencanakan langkah-langkah kegiatan asesmen (terpadu dalam
pembelajaran, ada kegiatan pemberian umpan balik, penilaian proses,
penilaian produk)
(5) Menentukan prosedur pengujian keakuratan informasi, yaitu
menetapkan cara mengetahui validitas informasi dan reliabilitas
penilaian.
(b). Implementasi/pelaksanaan
(1) Mengumumkan tujuan dan fokus pembelajaran kepada siswa.
(2) Menyepakati prosedur asesmen yang digunakan serta kriteria
penilaiannya.
(3) Mendiskusikan cara-cara yang perlu dilakukan untuk mencapai
hasil maksimal.
(4) Melaksanakan kegiatan asesmen sesuai dengan perencanaan
dan kesepakatan bersama (pengumpulan data)
(5) Memberikan umpan balik
(c). Analisis dan pelaporan
(1) Menganalisis data yang telah dikumpulkan
(2) Memadukan hasil analisis dari berbagai data yang didapat
(3) Menerapkan kriteria penilaian akhir
(4) Melaporkan hasil asesmen
8. Cara Penilaian Dalam Asesmen Berbasis Kelas
(i) Pemberian Skor Tes Objektif
Secara umum, penskoran pada tes objektif cukup sederhana. Cukup
dengan menghitung jumlah jawaban yang benar dan dikalikan bobot setiap
soal (bila ada), lalu dibandingkan dengan skor maksimal idealnya. Misalnya,
skor maksimal ideal sebuah tes dengan 50 butir soal adalah 100. Dengan
demikian bobot tiap butir soal adalah 2. Seorang siswa yang menjawab benar
36 butir soal akan mendapat skor 72.
Variasi penskoran dapat dilakukan untuk tes objektif, misalnya dengan
juga menghitung kemungkinan kemungkinan siswa melakukan tebakan
32
(guessing). Namun untuk kepentingan praktis di dalam penilaian kelas,
variasi-variasi tersebut jarang digunakan.
(ii) Pedoman Penilaian Asesmen Otentik
Seperti telah dijelaskan, asesmen otentik berbeda dengan tes objektif
karena dalam asesmen otentik, penilaian dilakukan terhadap unjuk kerja
siswa, dan pencapaian siswa adalah berupa tingkat (the degree to which)
pencapaian, jadi bukan jawaban benar atau salah. Untuk itu, diperlukan suatu
cara penilaian untuk dapat mengukur tingkat pencapaian siswa.
Penilaian otentik dapat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama,
dengan cara membandingkan kinerja siswa dengan suatu kinerja standar.
Dalam khasanah ilmu asesmen, standar jawaban tersebut disebut dengan
benchmark. Sebagai contoh, siswa diminta untuk menulis sebuah paragraf
naratif (pelajaran menulis Bahasa Indonesia di SMP) dengan tema suatu
pengalaman pribadi. Guru menentukan suatu paragraf yang diambil dari
buku, bahkan dapat pula dibuat sendiri oleh guru, yang memiliki jenis
karangan dan tema yang sama. Paragraf pilihan tersebut harus memenuhi
standar suatu paragraph naratif yang baik, seperti cara pengembangan yang
tepat, memiliki kalimat topik, detail, dan penutup yang tepat, dan
menggunakan ungkapan bahasa yang baik dan sesuai dengan karakteristik
karangan naratif. Guru menetapkan beberapa unsur penting pada benchmark
tersebut yang harus muncul pada karangan siswa. Ketika menilai karya
siswa, guru berpedoman pada benchmark tersebut.
Cara kedua, dengan mengembangkan rubrik penilaian. Rubrik
digunakan untuk menilai kinerja dalam tugas (performance task). Sebuah
rubrik penilaian merupakan suatu skala yang berisi sejumlah karakteristik
yang menjelaskan kinerja siswa pada tiap poin skala. Nitko (1996)
mengatakan bahwa dalam rubrik penilaian analitik, penilai memberi skor pada
komponen-komponen, lalu dijumlah untuk mendapatkan skor total.
Rubrik penilaian mengandung: a) aspek-aspek, konsep-konsep, atau
dimensi kinerja yang akan dinilai, dan b) tingkatan kinerja yang berupa
gradasi mutu dari kinerja yang dinilai. Dengan semakin tingginya upaya
menggunakan asesmen otentik dewasa ini, berbagai bentuk rubrik telah
banyak dikembangkan dan digunakan.
33
(iii) Cara Skoring (Scoring Guides)
Marhaeni (2005) menyebutkan tiga cara penskoran (scoring guides),
yaitu cara holistik, analitik, dan unsur utama (primary traits). Holistic scoring,
yaitu pemberian skor berdasarkan impresi penilai secara umum terhadap
kualitas performansi; analytic scoring, yaitu pemberian skor terhadap aspekaspek yang berkontribusi terhadap suatu performansi; dan primary traits
scoring, yaitu pemberian skor berdasarkan beberapa unsur dominan atau
khusus dari suatu performansi. Sebagai contoh, ketika menilai suatu
karangan siswa dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Jika skor diberikan
secara menyeluruh tanpa melihat bagian-bagian karangan (holistik) untuk
suatu karangan, misalnya, 80 (rentang 0-100), maka itu disebut skor holistik.
Jika skor diberikan pada beberapa komponen karangan (misalnya ditetapkan
5 komponen: isi, organisasi isi, penggunaan tatabahasa, kosakata, dan
mekanika) dimana setiap komponen diberi skor (selanjutnya boleh dijumlah
atau dirata-ratakan, sama saja), maka penilaian seperti itu disebut skor
analitik. Dan jika skor diberikan pada beberapa komponen khusus yang
sesuai dengan jenis karangan (misalnya, untuk jenis karangan deskriptif
ditetapkan tiga komponen khusus: pemilihan topik cocok untuk karangan
deskriptif, kualitas deskripsi, cara pendeskripsian) dimana setiap komponen
tersebut diberi skor (selanjutnya boleh dijumlah atau dirata-ratakan, sama
saja), maka penilaian seperti itu disebut skor unsur utama (primary-traits
scoring).
Beberapa hasil penelitian tentang penggunaan scoring guides di atas
menunjukkan bahwa cara analitik (yang juga dapat divariasi dengan primary
traits) ternyata dapat dengan lebih objektif menilai kinerja.
(iv) Pengembangan Rubrik
Kinerja siswa dapat direkam dengan berbagai bentuk rubrik, seperti
menggunakan checklist (daftar centang) atau rating scale (skala lajuan).
Dalam
pembuatan
instrumen
asesmen
kinerja
ini
perlu
dilakukan
perencanaan terlebih dahulu mengenai aspek-aspek kinerja yang dapat
diamati dan yang akan diases. Daftar centang digunakan untuk mengases
kinerja siswa yang tampak sesuai atau tidak sesuai dengan aspek-aspek
34
kinerja. Jadi dalam hal ini asesor hanya menyatakan ada atau tidak adanya
aspek-aspek kinerja yang dituntut. Daftar centang yang dibuat minimal ada
dua komponen, yaitu deskripsi aspek kinerja dan tanda yang menyatakan ada
tidaknya aspek kinerja yang diases.
Rating scale dapat digunakan untuk memperoleh informasi tentang
kualitas kinerja siswa pada setiap aspek kinerja yang dituntut. Ada beberapa
tipe rating scale, antara lain numerical rating scale, graphic rating scale, dan
descriptive rating scale. Numerical rating scale terdiri dari deskripsi tentang
aspek kinerja yang disertai dengan angka yang menunjukkan tingkatan
kualitas kinerja yang diases. Graphic rating scale sama dengan numerical
rating scale, hanya dalam graphic rating scale yang digunakan bukan angka
sebagai tanda kualitas kinerja, tetapi dengan memberi tanda tertentu pada
suatu kontinum baris. Descriptive rating scale sama dengan graphic rating
scale, tetapi pada setiap skala diberi deskripsi tentang kualitas kinerja yang
diases.
d. Cara Menginterpretasikan Hasil Asesmen
Linn dan Gonlund (1995) menguraikan bahwa hasil tes dapat
diinterpretasikan dengan dua cara (metode), yaitu berdasarkan standar
absolut (criterion-referenced interpretation) yang kita kenal dengan PAP
(Penilaian
Acuan
Patokan),
dan
standar
relatif
(norm-referenced
interpretation) yang kita kenal dengan PAN (Penilaian Acuan Norma).
Interpretasi berdasarkan standar absolut meliputi penentuan hasil tes dengan
menggunakan suatu standar atau mengacu pada kriterium (patokan). Jika
dalam penilaian menggunakan skala 0-100, yaitu skor minimal 0 dan skor
maksimal 100, maka nilai siswa merentang dari 0 sampai 100.
Seiring dengan pergeseran orientasi pembelajaran dari berbasis
konten menuju berbasis kompetensi, sesuai dengan hakikat kompetensi itu
sendiri yang bersifat individual bukan kelompok, maka PAP menjadi satusatunya cara interpretasi yang digunakan untuk mengetahui tingkat
kompetensi siswa.
Berbagai acuan patokan telah dikembangkan oleh sekolah karena
KTSP
sendiri
memberi
peluang
bagi
masing-masing
sekolah
untuk
menetapkan standar minimal pencapaian yang disebut KKM. Acuan patokan
35
atau disebut juga acuan kriteria berasumsi bahwa hampir semua orang bisa
belajar apa saja namun waktunya yang berbeda. Konsekuensi acuan ini
adalah adanya program remidi atau pengayaan. Mereka yang belum memiliki
kompetensi
dasar
seperti
diisyarakatkan
harus
belajar
lagi
sampai
kemampuannya mencapai kriteria atau standar yang ditetapkan. Bagi mereka
yang telah mencapai standar, diberi pelajara tambahan yaitu yang disebut
dengan pengayaan. Jadi irama belajar pada pendidikan berbasis komp[etensi
adalah individu, yang cepat diberi pengayaan dan yang lambat diberi
remedial.
Penafsiran hasil penskoran selalu dibandingkan dengan kriteria yang
telah ditetapkan lebih dahulu. Keputusannya adalah lulus atau tidak. Lulus
berarti telah memiliki kompetensi dasar, tidak lulus berarti belum memiliki
kompetensi dasar. Pada praktiknya batas lulus yang banyak digunakan
adalah 75%. Batas lulus ini sebenarnya tergantung pada resiko yang ada
pada tiap mata pelajaran. Mata pelajaran dengan resiko tinggi batas lulus
tinggi, sedang yang resikonya rendah batas lulusnya bisa lebih rendah batas
lulusnya bisa lebih rendah dari 75%. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sistem
penilaian hasil kegiatan pembelajaran berbasis kompetensi menggunakan
acuan kriteria; yaitu berdasarkan apa yang bisa dilakukan peserta didik
setelah peserta didik mengikuti proses pembelajaran, dan bukan untuk
menentukan posisi seseorang terhadap kelompoknya.
9. Contoh-contoh Asesmen Otentik dan Instrumennya
(i) Contoh asesmen Projek
(Projek terdiri dari tiga fase, yaitu fase awal, fase pengembangan, dan
fase akhir).
Fase awal: Guru memberikan tugas projek pada siswa, sebagai berikut.
Tugas Projek : Pertunjukan Drama
Petunjuk
:
- Pilihlah salahsatu drama karya Putu Wijaya
- Setiap kelompok terdiri dari 5 – 10 orang siswa
36
- Pertunjukan akan dilakukan pada tanggal 12 Februari 2008 di
auditorium sekolah
- Lama waktu pertunjukan adalah 30 menit untuk setiap kelompok,
karena itu naskah dapat dimodifikasi tanpa meninggalkan pesan
aslinya.
Fase Pengembangan;
Siswa mencari bahan, memodifikasi naskah, berdiskusi dengan ahli, berlatih
secara terbimbing maupun mandiri.
Fase Akhir: siswa menampilkan hasil kerja mereka, yaitu berupa pertunjukan
drama.
(ii) Contoh Rubrik dan Cara Penskoran
Rubrik Holistik Menghitung dengan Cara Susun
Skor
Deskripsi
3
Hasil dan cara penyelesaiannya benar
2
Hasil salah, cara penyelesaiannya benar
1
Hasil benar, cara penyelesaiannya salah
0
Hasil dan cara penyelesaiannya salah
Rubrik Analitik Mengarang dengan 150 kata
Skor
Aspek yang
diukur
Kesesuaian
0
1
2
3
tidak sesuai
agak sesuai
sesuai
Ketepatan
kesalahan
kesalahan
Kesalahan
tidak ada
penulisan
ejaan lebih
ejaan 4-6 kata
ejaan 1-3 kata
kesalahan
ejaan
dari 6 kata
Ketepatan
kesalahan
kesalahan
kesalahan
tidak ada
penulisan
ejaan lebih
ejaan 6-10 kata
ejaan 1-5 kata
kesalahan
antara judul
dengan isi
ceritra
ejaan
37
tanda baca
dari 10 kata
tanda baca
Ketepatan
lebih dari 2
2 kalimat
1 kalimat
semua kalimat
struktur
kalimat
strukturnya
strukturnnya
memiliki
kalimat
strukturnya
tidak tepat
tidak tepat
struktur yang
tidak tepat
tepat
Keterpaduan
lebih dari 2
2 kalimat tidak
1 kalimat tidak
semua kalimat
antar kalimat
kalimat tidak
padu
padu
padu
padu
Skor Maksimum = 14
Contoh Rubrik Penilaian Analitik
(digunakan oleh guru pada saat siswa mempresentasikan suatu tugas, misalnya
presentasi hasil percobaan)
Presentasi Makalah
No.
Dimensi
Deskriptor
Skor
Bobot
(1-10)
1.
Kualitas presentasi
Paparan sistematis,
dukungan
4
visual
tepat, bahasa baik
2.
Kemampuan
menjawab Menjawab
pertanyaan
pertanyaan,
4
isi
jawaban tepat dan
lugas
3.
Etika presentasi
Tegas dan luwes,
mengikuti tatatertib,
mengikuti tatakrama
kegiatan ilmiah
38
2
SxB
(iii) Contoh Ceklis Asesmen Diri
Ceklis Persiapan Presentasi
No.
Dimensi
Deskriptor
1.
Kualitas presentasi
paparan sistematis
Cek
dukungan visual tepat
bahasa baik
2.
3.
Kemampuan
menjawab menjawab pertanyaan
pertanyaan
isi jawaban tepat dan lugas
Etika presentasi
tegas dan luwes
mengikuti tatatertib
mengikuti tatakrama kegiatan ilmiah
Contoh-contoh Ceklis Proses Menulis
Ceklis untuk Isi dan Organisasi Tulisan/Karangan
No.
Deskripsi
Cek
1.
Topik karangan cukup spesifik
2.
Ide-ide utamanya baik
3.
Setiap ide dikembangkan dengan detail cocok yang cukup
4.
Detail untuk setiap ide seimbang
5.
Ada paragraf pembuka dan penutup
6.
Ada keserasian antara ide-ide sehingga menjadi suatu
kesatuan (unity)
7.
Ide-ide dikembangkan dengan lancar (koherensi/coherence)
Ceklis untuk Kosakata (termasuk gaya pengungkapan)
No.
Deskripsi
1.
Pemilihan kata tepat dan bervariasi
2.
Menggunakan sinonim, dan antonim untuk menghindari
pengulangan
3.
Menggunakan kata-kata yang sesuai dengan audience
39
Cek
4.
Kalimat-kalimat yang digunakan cocok dengan registernya
(misalnya, naratif)
5.
Ada variasi panjang-pendeknya kalimat
6.
Bentuk-bentuk kalimat bervariasi
7.
Menggunakan kalimat-kalimat efektif
8.
Meniru gaya bercerita dari apa yang telah dibaca
9.
Menggunakan kamus
Ceklis Untuk Mekanika (aturan-aturan penulisan)
No.
Deskripsi
1.
Menggunakan tanda-tanda baca dengan tepat
2.
Permulaan paragraf menjorok kedalam
3.
Menggunakan huruf besar untuk nama
4.
Menggunakan huruf pada setiap awal kalimat
5.
Menggunakan ejaan kata dengan baik
6.
Menggunakan prefiks, infiks, dan sufiks dangan tepat
7.
Ada jarak yang cukup antar kata
8.
Garis pinggir (margin) 2 cm keliling
9.
Menulis nama sendiri pada sudut kanan atas kertas
10.
Membaca ulang karangan sendiri
Cek
(iv) Contoh Penilaian Kinerja Berpidato dengan berbagai cara rating.
Instrumen Asesmen Kinerja Berpidato dengan checklist rating scale
Nama : …………………………………………….
Kelas : …………………………………………….
Petunjuk :
Berilah tanda centang (√) pada kolom yang disediakan mengenai
aspek-aspek kinerja siswa yang diamati pada saat berpidato
Komponen Kinerja
Centang
I. Ekspresi Fisik (Physical Expression)
1. Berdiri tegak melihat pada penonton
40
…………
2. Mengubah ekspresi wajah sesuai dengan perubahan
…………
pernyataan yang disajikan
3. Mata melihat pada penonton
II Ekspresi Suara (Vocal Expression)
1. Berbicara dengan kata-kata yang jelas
................
2. Nada suaranya berubah-ubah sesuai pernyataan
yang ditekankan
................
3. Berbicara cukup keras untuk didengar oleh penonton ................
III Ekspresi Verbal (Verbal Expression)
1. Memilih kata-kata yang tepat untuk menegaskan arti
................
2. Tidak mengulang-ulang pernyataan
................
3. Menggunakan kalimat yang lengkap untuk
mengutarakan satu pikiran
................
4. Menyimpulkan pokok-pokok pikiran yang penting
...............
Skor Total
Instrumen Asesmen Kinerja Berpidato dengan numerical Rating Scale
Nama : ………………………………………….
Kelas : …………………………………………
Petunjuk:
Berilah lingkaran pada setiap aspek kinerja yang sesuai dengan
ketentuan sebagai berikut
1 bila siswa selalu melakukan
2 bila kadang-kadang
3 bila jarang, dan
4 bila tidak pernah
41
I Ekspresi Fisik (Physical Expression)
A. Berdiri tegak melihat pada penonton
1
2
3
4
B. Mengubah ekspresi wajah sesuai dengan perubahan pernyataan
yang disajikan
1
2
3
4
C. dst.
Instrumen Asesmen Kinerja Berpidato dengan Graphic Rating Scale
Nama : .....................................................
Kelas : ....................................................
Petunjuk
Berikanlah tanda silang (X) pada garis dimana aspek
kinerja siswa teramati pada waktu berpidato
1. Ekspresi Fisik (Physical Expression)
A. Berdiri tegak melihat pada penonton
Selalu
Kadang-
Jarang
Tidak Pernah
kadang
42
B. Mengubah ekspresi wajah sesuai dengan perubahan pernyataan
yang disajikan
Selalu
Kadang-
Jarang
kadang
Tidak
Pernah
C. dst.
Instrumen Asesmen Kinerja Berpidato dengan Descriptive rating Scale
Nama : .....................................................
Kelas : ....................................................
Petunjuk
Berikanlah tanda silang (X) pada garis dimana aspek
kinerja siswa teramati pada waktu berpidato
1. Ekspresi Fisik (Physical Expression)
A. Berdiri tegak melihat pada penonton
Berdiri tegak,
Kadang-kadang
Tidak pernah
selalu melihat
berdiri tegak,
berdiri tegak, maka
pada
melihat ke
tidak pernah
penonton
langit-langit
kontak dengan
kadang-kadang
penonton
melihat
penonton
B. dst.
(v) Contoh instrumen lain
Contoh Jurnal Membaca (untuk tugas membaca suatu karya sastra)
43
Jurnal Membaca
Judul Buku: ………..
Tanggal mulai :
NO. TGL.
Tanggal selesai:
HALAMAN RINGKASAN
(misalnya,
(tentang
isi
KOMENTAR
yang (perasaan/pendapat
hal. 1 – 15) dibaca)
tentang
alur/topik/tokoh, dll).
Contoh Inventori Minat
Inventori Minat Membaca
Nama Siswa:_____________________________
No.
Deskripsi
Ya/
Tidak
1.
Saya suka membaca cerita apapun, terutama kisah-kisah
orang terkenal
2.
Saya lebih banyak membaca cerita untuk waktu luang saya
3.
Saya tidak sabar untuk mengetahui akhir dari kisah yang
saya baca
4.
Banyak hal yang menarik dalam cerita-cerita yang saya baca
5.
Saya sering melihat kehidupan dalam cerita-cerita
6.
Saya lebih asyik membaca dibandingkan dengan melakukan
hal-hal yang lain
7.
Dst……..
10. Kesahihan dan Keandalan Alat Asesmen
Kesahihan suatu alat asesmen menyangkut kemampuan alat tersebut
mengukur/mengungkap apa yang ingin diukur/diungkap. Kesahihan alat
asesmen dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu kesahihan isi, konstruk dan
kriteria. Kesahihan isi dilihat dari bahan yang diujikan, yang dapat dilihat dari
kisi-kisinya; kesahihan konstruk dilihat dari dimensi-dimensi yang diukur, dan
kesahihan kriteria dilihat dari daya prediksinya. Untuk asesmen otentik,
44
kesahihan merupakan isu yang cukup kompleks, terutama dalam hal
keterwakilan domain yang hendak diukur dan pengumpulan datanya (validity
evidence).
Keandalan suatu alat asesmen memberikan informasi tentang
besarnya kesalahan pengukuran. Keandalan dapat dikategorikan menjadi
tiga, yaitu konsistensi internal, stabilitas, dan antar penilai (inter-rater).
Besarnya indeks konsistensi internal diperoleh dari data hasil asesmen
karena untuk mencari indeks ini cukup dilakukan satu kali pengujian. Indeks
stabilitas merupakan tingkat kestabilan
hasil pengukuran yang dilakukan
paling tidak dua kali untuk orang yang sama dalam waktu yang berbeda,
dengan asumsi tidak ada efek pengujian. Keandalan antar penilai diperoleh
dari besarnya korelasi hasil penskoran dari dua orang terhadap lembar
jawaban atau kinerja yang sama. Besarnya indeks keandalan merentang dari
0 sampai 1. Inter-rater reliability coefficient yang dapat diterima minimal 0,7.
Keandalan antara penilai umum diperlukan pada instrumen non-tes seperti
kinerja, esai, dan portofolio. Untuk menjamin kesesuaian penilaian (antara
dua atau lebih penilai untuk kinerja yang sama) diperlukan pedoman
pensekoran yang disepakati dan dilatihkan diantara penilai sebelum
digunakan.
Semakin
andal
suatu
alat
asesmen
berarti
kesalahan
pengukuranya semakin kecil.
11. Beberapa pertanyaan terkait dengan implementasi asesmen otentik
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan terhadap cara-cara penilaian
yang lebih bermakna, guru telah mulai bergeser dari orientasi yang berlebihan
terhadap tes-tes objektif, ke cara-cara penilaian otentik. Sesuai dengan
hukum rule of practice, pada awal melakukan asesmen otentik, berbagai
kendala pasti dialami. Berikut ini rekaman dari beberapa pertanyaan guru
terkait dengan implementasi asesmen otentik dalam asesmen berbasis kelas.
(i). Bagaimana caranya/strategi melakukan asesmen otentik dalam kelas
besar dan waktu yang terbatas?
Dari pengalaman dan pengamatan selama ini, masalah ukuran kelas
memang menjadi salahsatu kendala dalam implementasi asesmen otentik.
Namun, ada rencana yang tertuang dalam Standar Proses Pendidikan (belum
45
terbit sebagai Permen) bahwa ukuran kelas di SD nantinya adalah 30 orang,
dan di SMP SMA 32 orang, lebih kecil dari umumnya ukuran kelas sekarang.
Disamping
itu,
menyelenggarakan
terlihat
para
guru
pembelajaran
belum
terpadu.
terampil
Dalam
betul
pelajaran
dalam
Bahasa
Indonesia, misalnya, guru memisahkan pembelajaran Membaca dengan
Menulis, padahal materinya sama, yaitu tentang Ringkasan. Mestinya,
sebuah naskah ringkasan yang digunakan dalam kegiatan membaca secara
langsung merupakan model/contoh untuk melatih siswa menulis ringkasan.
Dengan cara ini, pembelajaran dan asesmen dapat efisien dalam waktu, dan
tetap bermakna.
(ii). Apa asesmen otentik sesuai dengan cara evaluasi dalam UN?
Dilihat dari pendekatan evaluasi yang dilakukan UN selama ini, yaitu
dengan menggunakan tes objektif, maka secara langsung cara-cara asesmen
otentik tidak sesuai dengan UN. Namun, perlu dicermati beberapa hal berikut:
(i) asesmen otentik adalah amanat KTSP yang harus dilakukan, (ii) dengan
berlakunya KTSP, diharapkan pendekatan evaluasi UN yang terjadi selama
ini dapat dievaluasi dan ditingkatkan relevansinya dengan kurikulum yang
berlaku, (iii) sebenarnya, asesmen otentik bila dilakukan dengan baik, akan
benar-benar dapat membangun kompetensi. Bila siswa sudah kompeten,
maka jenis evaluasi apapun yang dipakai pasti dapat diselesaikan dengan
baik, (iv) guru masih bisa menggunakan tes-tes objektif untuk KD yang
relevan diukur dengan cara tersebut, misalnya dalam mengukur aspek
kognitif tingkat rendah. Namun perlu dihindari penggunaan tes objektif secara
berlebihan karena selain kemampuannya mengukur tingkat kompetensi
sangat rendah, juga dapat menimbulkan ketergantungan (over-reliance);
jangan sampai siswa tidak bisa mengerjakan soal selain soal-soal objektif.
Jangan pula sampai terjadi persepsi, bila mengerjakan tes objektif baru
namanya ujian, baru serius mengerjakan tugas. Perlu pula diingat bahwa
terdapat kombinasi untuk ujian nasional dan ujian sekolah, dimana untuk ujian
sekolah dilakukan melalui tes kinerja.
46
(iii). Apakah semua KD harus diases dengan asesmen otentik?
Sudah disinggung di atas, hendaknya guru menyesuaikan jenis
asesmen yang digunakan dengan target kompetensi seperti yang dijabarkan
dalam indikator pencapaian. Bila indikator pencapaian berkisar di tataran
konsep, maka tes objektif dapat digunakan. Namun, mengingat validitas yang
tinggi pada asesmen otentik untuk mengukur kompetensi, maka sudah
saatnya para guru mengurangi penggunaan tes objektif. Sebagai saran,
gunakan perbandingan 80:20 untuk asesmen otentik dan tes objektif.
Suatu saran, bila Anda akan melakukan asesmen otentik, maka
lakukanlah secara kecil-kecilan dulu, misalnya asesmen kinerja untuk satu
KD,
misalnya
dalam
pelajaran
Bahasa
Indonesia,
yaitu
KD
untuk
keterampilan Menulis. Contoh lain, untuk suatu materi tertentu dalam
pelajaran IPA, misalnya materi Sistem Tata Surya, dengan menggunakan
asesmen Projek. Yang penting, siapkan dengan baik model implementasi
seperti tersebut di atas. Pada awalnya memang sulit dan butuh waktu. Hal ini
wajar karena Anda mencoba suatu hal baru. Memulai apapun yang baru
pastilah terasa sulit. Namun, lambat laun, Anda akan terbiasa dengan
asesmen otentik, dan juga akan menyadari bahwa banyak alat asesmen yang
Anda gunakan sebelumnya, dapat digunakan lagi berikutnya, misalnya,
kriteria penilaian. Dengan demikian, pekerjaan Anda akan semakin mudah.
Karena itu, biasakanlah menyimpan alat-alat asesmen yang Anda gunakan.
IV. BAHAN LATIHAN DAN TUGAS
1. Membuat Tes Objektif
Langkah Pengembangan Tes
Ada sembilan langkah yang harus ditempuh dalam mengembangkan
tes hasil atau prestasi belajar, yaitu: (a) menyusun spesifikasi tes,(b) menulis
soal tes,(c) menelaah soal tes,(d) melakukan uji coba tes, (e) menganalisis
butir soal,(f) memperbaiki tes,(g) merakit tes, (h) melaksanakan tes, dan (i)
menafsirkan hasil tes. Khusus mengenai uji coba tes, dalam menyusun tes
untuk mengukur prestasi/ hasil pembelajaran yang diselenggarakan oleh guru
di kelas seperti ulangan harian, ulangan umum, dan ulangan kenaikan kelas,
tidak harus dilakukan secara tersendiri. Pembakuan tes dilakukan melalui
beberapa kali uji coba.
47
Langkah awal dalam mengembangkan tes adalah menetapkan
spesifikasi
tes,
yaitu
berisi
uraian
yang
menunjukkan
keseluruhan
karakteristik yang harus dimiliki suatu tes. Spesifikasi yang jelas akan
mempermudah dalam menulis soal, dan siapa saja yang menulis soal akan
menghasilkan tingkat kesulitan yang relatif sama. Penyusunan spesifikasi tes
mencakup kegiatan berikut ini: (a) menentukan tujuan tes, (b) menyusun kisikisi tes, (c) memilih bentuk tes, dan (d) menentukan panjang tes.
a. Kisi-Kisi Tes
Kisi-kisi merupakan matriks yang berisi spesifikasi soal-soal yang akan
dibuat. Kisi-kisi ini merupakan acuan bagi penulis soal, sehingga siapapun
yang menulis soal akan menghasilkan soal yang isi dan tingkat kesulitannya
relatif sama. Matriks kisi-kisi soal terdiri atas dua jalur, yaitu kolom dan baris.
Kolom menyatakan standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok,
indikator, jenis tagihan, betuk soal, dan contoh soal (lihat lampiran I)
Ada tiga langkah dalam mengembangkan kisi-kisi tes dalam sistem
penilaian berbasis kompetensi dasar, yaitu:
1) Menulis kompetensi dasar
2) Menulis materi pokok
3) Menentukan indikator, dan
4) Menentukan jumlah soal.
Penentuan
indikator-indikator
yang
dapat
diukur
digunakan
kompetensi dasar sebagai acuan.. hal ini dimaksudkan untuk mengurangi
penyimpangan-penyimpangan dalam memilih bahan yang diujikan agar
memenuhi persyaratan kesahihan isi. Hal yang penting dalam menentukan
materi tes adalah kompetensi dasar yang diukur melalui tugas rumah, ada
yang melaui ulangan harian.
b. Pemilihan Bentuk Tes
Pemilihan bentuk tes yang tepat ditentukan oleh tujuan tes, jumlah
peserta tes, waktu yang tersedia untuk memeriksa lembar jawaban tes,
cakupan materi tes, dan karakteristik mata pelajaran yang diujikan.
48
c. Panjang Tes
panjang tes ditentukan oleh waktu yang tersedia untuk melakukan
ujian dengan memperhatikan bahan yang diujikan dan tingkat kelelahan
peserta tes. Pada umumnya tes dilakukan selama 90 menit sampai dengan
120 menit. Untuk tes bentuk pilihan ganda dengan tingkat kesulitan rata-rata
sedang, tiap butir soal memerlukan waktu pengerjaan sekitar 1 menit. Untuk
bentuk uraian banyaknya bentuk soal tergantung pada pada kompleksitas
soal. Namun demikian, disarankan menggunakan lebih banyak soal dibanding
hanya beberapa soal agar kesahihan isi tes lebih baik.
Latihan:
1. Membuat Kisi-kisi dan mengembangkan butir soal pilihan ganda
2. Menilai suatu kinerja dengan menggunakan scoring guides.
Latihan: Suatu kinerja akan ditayangkan melalui alat bantu, Anda
diberikan suatu scoring guides dan diminta untuk menskor kinerja yang
ditayangkan.
3. Merancang Asesmen Otentik
Latihan: merancang suatu asesmen kinerja/otentik; dengan tahapan:
menentukan
indikator,
membuat
tugas
kinerja
(performance
task),
mengembangkan rubrik penilaian dan menetapkan cara skoringnya, dan
pengembangan skenario kecil langkah-langkah pembelajaran dan asesmen
untuk mencapai indikator.
49
V. REFERENSI
Arends, R.I. (1997). Classroom Management and Instruction. New York: Mc.
Graw-Hill Companies Inc.
Buchori, M. (2000). Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Delors, J. (1996). Learning: The Treasure Within. France: UNESCO
Publishing.
Fogarty, R. (Ed.). (1996). Student Portfolios, A Collection of Articles. Victoria,
Australia: Hawker Brownlow Education.
Gronlund, N.E & Linn, R.L. (1995). Measurement and Evaluation in Teaching.
New York: McMillan Publishing Company
Hibbard, M. 1999. Performance Assessment in The Science Classroom. New
York: McGraw-Hill.
Marhaeni, A.A.I.N. (2005). Pengaruh Asesmen Portofolio dan Motivasi
Berprestasi terhadap Kemampuan Menulis Bahasa Inggris (disertasi
tak dipublikasikan), Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.
Marhaeni, A.A.I.N. (2007). Self-assessment in EFL Instruction: Why Does It
Matter? Makalah disampaikan dalam 55th TEFLIN International
Conference. Jakarta.
Nitko A.J. (1996). Educational Assessment of Students, 2nd Ed. Columbus
Ohio : Prentice Hall.
O’Malley, J.M. & Valdez Pierce, L. (1996). Authentic Assessment for English
Language Learners. New York: Addison-Wesley Publishing
Company.
Popham, W.J. (1975). Educational Evaluation. New Jersey: Prentice Hall Inc.
Popham, W.J. (1995). Classroom Assessment, What Teachers Need to
Know. Boston: Allyn and Bacon.
Rolheiser, C. & Ross, J. A. (2005) Student Self-Evaluation: What Research
Says and What Practice Shows. Internet download.
Salvia, J. & Ysseldyke, J.E. (1996). Assessment. 6th Edition. Boston:
Houghton Mifflin Company.
Stufflebeam, D. L. & Shienkfield, A. J. (1985). Systematic Evaluation. Boston:
Kluwer-Nijhoff Publishing.
50
Wyaatt III, R.L. & Looper, S. (1999). So You Have to Have A Portfolio, a
Teacher’s Guide to Preparation and Presentation. California:
Corwin Press Inc.
51
Download